hukum islam iiii

21
LEGISLASI HUKUM ISLAM : PERSPEKTIF PERIODE POLITIK Di Indonesia, ada pembaru yang menghendaki pemurnian (skripturalis, puritan, ortodoks) dan ada yang menghendaki “penyesuaian (substansialis, liberal). Kedua kelompok ini sering kali terlibat pertentangan yang tajam. Kaum skripturalis enggan melakukan kegiatan intelektual untuk mengadaptasikan ajaran Islam dengan konteks sosial. Bagi mereka, ajaran Islam sudah jelas dan dengan sendirinya tinggal mengimplementasikannya. Sebaliknya, pembaruan yang dimotori oleh kalangan nonskripturalis, sebut saja kaum substansialis, memberikan harapan bagi revitalisasi umat dan bagi penyelesaian ketegangan berkepanjangan. antara Islam dan negara serta masalah hubungan antara umat Islam dan pemeluk agama lain. Mengamati gerakan pembaruan Islam di Indonesia, hal yang luar biasa, kata Andrèè FeilIard, adalah bahwa pembaru yang paling progresif dan terkenal justru berasal dari kalangan tradisionalis yang sering dianggap kolot. Masdar mengusulkan pendekatan untuk memahami agama yang disebutnya sebagal pendekatan transformatif (dalam bahasa Arabnya diterjemahkan dengan hijriyyah, dan kata hijrah, yang berarti perpindahan dari satu posisj ke posisi yang lain untuk mengejar tingkat kualitas yang

Upload: irie-hime

Post on 16-Feb-2016

228 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Tugas Hukum Islam

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Islam iiii

LEGISLASI HUKUM ISLAM : PERSPEKTIF PERIODE POLITIK

Di Indonesia, ada pembaru yang menghendaki pemurnian

(skripturalis, puritan, ortodoks) dan ada yang menghendaki “penyesuaian

(substansialis, liberal). Kedua kelompok ini sering kali terlibat

pertentangan yang tajam. Kaum skripturalis enggan melakukan kegiatan

intelektual untuk mengadaptasikan ajaran Islam dengan konteks sosial.

Bagi mereka, ajaran Islam sudah jelas dan dengan sendirinya tinggal

mengimplementasikannya. Sebaliknya, pembaruan yang dimotori oleh

kalangan nonskripturalis, sebut saja kaum substansialis, memberikan

harapan bagi revitalisasi umat dan bagi penyelesaian ketegangan

berkepanjangan. antara Islam dan negara serta masalah hubungan antara

umat Islam dan pemeluk agama lain.

Mengamati gerakan pembaruan Islam di Indonesia, hal yang luar

biasa, kata Andrèè FeilIard, adalah bahwa pembaru yang paling progresif

dan terkenal justru berasal dari kalangan tradisionalis yang sering

dianggap kolot.

Masdar mengusulkan pendekatan untuk memahami agama yang

disebutnya sebagal pendekatan transformatif (dalam bahasa Arabnya

diterjemahkan dengan hijriyyah, dan kata hijrah, yang berarti perpindahan

dari satu posisj ke posisi yang lain untuk mengejar tingkat kualitas yang

lebih baik, yaitu suatu “pendekatan yang memandang perubahan (change)

sebagai sarana untuk mencapai cita kebaikan kualitatif yang bermuara

pada cita kebaikan mutlak dalam bahasa agama disebut Tuhan.

Baik pandangan ortodoksi maupun pandangan transformasi

menerima kategorisasi ayat-ayat ke dalam ayat muhkamat dan ayat

mutasyabihat. Menurut Imam as-Sayuthi dalam aI-Itqan, inti pandangan

ulama tentang apa yang disebut sebagal ayat muhkamat adalah ayat yang

jelas maksudnya , sedangkan ayat mutasyabihat adalah

ayat yang kurang atau tidak jelas maksudnya.

Page 2: Hukum Islam iiii

Pendekatan ortodoksi dan pendekatan transformasi memiliki cara

pandang yang berbeda terhadap kategorisasi ayat ini yang selanjutnya

membawa konsekuensi pada perbedaan pendefinisiannya.

Masdar menduga, diperkenakannya kategorisasi qath’i-dzanny,

padahal sudah ada kategorisasi serupa yang diintrodusir Qur’an sendiri

(muhkamat-mutasyabihat), merupakan kecerdikan ulama fikih unituk

membebaskan diri dari kontroversi mengenai ‘mutasyabihat’ itu tadi

(manusia mungkIn mengetahui ataukah hanya Allah yang mengetahui).

Konsekuensi kategorisasi muhkamat-mutasyabihat menurut

pendekatan transformasi adalah bahwa ayat-ayat muhkamat pasti,

bensifat universal karena dalam dirinya prinsip-prinsip itu memang

universal (seperti keadilan). Sebagai penegasannya, ayat-ayat muhkamat

itu tidak memerlukan terobosan atau ijtihad, tidak diperlukan pemikiran

ulang apakah prinsip-prinsip universal (seperti keadilan) itu perlu

ditegakkan atau tidak.

Masdar menegaskan, ayat-ayat yang bersifat tasyri’ atau metodis

ini secara praktis bisa saja diterapkan di berbagai tempat dan zaman.

Akan tetapi, penerapan demikian dasar penerapannya bukan pada klaim

universalitasnya, melainkän pada efektivitasnya sebagai metode.

Pernyataan Masdar yang terakhir ini adalah pengakuan akan

“kewenangan mutlak” Tuhan untuk menetapkan hukum, dan pada

ketidakpantasan manusia untuk mencoba-coba memberikan alternatif

pada hukum yang telah Allah tetapkan.

Untuk memecahkan dilema pelik tentang bagaimana manusia

melakukan perubahan atas hukum (“petunjuk praktis”) yang ditawarkan

Allah, Masdar menawarkan pemikiran bahwa pembagian hukum dalam

kategori ubudiyah dan nonubudiyah, tentu juga dengan modifikasi, bisa

dimanfaatkan. Sekarang harus dikatakan bahwa ayat-ayat tentang

ubudiyah, secara teoretis, karena sebagal metode tetap nonuniversal, bisa

berubah, meskipun perubahan itu tidak perlu. Sedangkan ayat-ayat

Page 3: Hukum Islam iiii

nonubudiyah (mu’amalat) secara teoretis bisa berubah dan dalam kondisi-

kondisi tertentu perubahan itu memang perlu.

Masdar memahami hukum sebagal metode, bukan tujuan. Oleh

karena syari’at adalah metode, bukan tujuan, maka, bagi Masdar, “keislaman suatu masyarakat, misalnya dalam aspek sosial ekonominya,

tidak harus diukur dari kenyataan apakah mereka sudah membayar

zakat”, tetapi ukurannya ada pada kenyataan apakah keadilan ekonomi di

situ sudah tegak” atau belum. Ini berseberangan dengan pandangan

kaum ortodoksi yang formalis-scripturalis, yang menjadikan tegaknya

syari’at Islam” sebagai tujuan.

Masdar menyadari bahwa resistensi terhadap ide reaktualisasi

ajaran lslamnya Munawir, mendemonstrasikan bahwa keraguan apalagi

gugatan terhadap teks ajaran (nash) merupakan sesuatu yang sangat

tabu dalam tradisi pemahaman agama di lingkungan umat Islam.

Sepintas, kata Masdar, masyarakat dengan semangat ortodoksi

adalah masyarakat yang “idealis”: Namun, ketika mereka harus

memberikan treatment, perlakuan terhadap realitas yang nyata-nyata

berbeda dengan ketika teks itu turun belasan abad yang lalu, mereka

acapkali menjadi naif. Kenaifan itu memicu sikap-sikap ekstrem penuh

kutukan, bahkan kekerasan dari kalangan ortodoksi itu. Atas dasar itu,

Masdar menganggap Iebih tepat kaum ortodoksi itu disebut sebagai

“scripturalis” bukan “idealis”, karena yang sesungguhnya mereka pegangi

adalah scrip itu sendiri dan bukan ide yang menjiwai scrip (huruf dalam

teks).

Pemikiran Masdar tersebut di atas jelas “radikal’ untuk/di kalangan

pesantren NU; Menurut Afifuddin, pembaruan yang berasal dari

pesantren sumbernya dari usul fikih. Hanya saja, sayangnya, selama ini

usul fikih tidak dipahami sebagaimana mestinya, hanya dibaca dan

dihafalkan.

Page 4: Hukum Islam iiii

B. HUKUM ISLAM, HUKUM ADAT, DAN HUKUM BARAT : PERSINGGUNGAN DAN PERSAINGAN

Di Indonesia ada bermacam-macam hukum. Salah satunya adalah

hukum Islam. Menurut M.A. Jaspan, pada tahun 1960-an, di Indonesia

ada tiga atau empat aliran utama teori hukum : adat, Islam, positif (Barat)

dan “sosialis Indonesia”. Membangun hukum nasional, dengan demikian,

bukan pekerjaan mudah. Dalam ungkapan M.A. Jaspan, filsafat sinkretis

tentang hukum yang diasarkan pada keanekaragaman tradisi dan ideologi

yang sudah disesuaikan tidak mudah diciptakan.

Interaksi antara bermacam-macam hukum itu mengakibatkan

adanya persinggungan dan persaingan satu sama lain. Pembahasan di

sini dibatasi hanya pada persinggungan dan persaingan antara hukum

Islam dan hukum adat serta antara hukum Islam dan hukum Barat. Hukum

Islam pada dasarnya bersifat terbuka terhadap unsur-unsur dari luar.

Islam sendiri, sebagaimana ditunjukkan oleh Khalil Abdul Karim,

mengakomodasi banyak warisan pra-Islam, baik dalam ritus peribadatan,

ketentuan hukum, maupun teori politik.

Sejalan dengan perkembangan zaman dan kompleksitas

permasalahan, kesadaran hukum masyarakat juga mengalami

perkembangan. Salah satu wujudnya adalah : bisa terjadi pengaruh-

mempengaruhi antarsuatu aliran atau mazhab hukum Islam. Coulson mencontohkan, konsep “kesetaraan” (kafaah) dalam perkawinan

dilahirkan oleh kesadaran kelas pada masyarakat Kufah yang beragam.

Konsep tersebut tidak dikenal di masyarakat Madinah pertama yang tidak

merasakan perbedaan kelas, tetapi dalam perkembangannya konsep

tersebut dilkuti oleh mazhab Maliki. Lebih dari itu hukum Islam bersikap

terbuka terhadap unsur-unsur dari luar, baik berupa unsur asing (dari

Barat) maupun adat istiadat setempat, selama tidak bertentangan dengan

syari’at. Kaum Muslimin tidak harus mengesampingkan aspek positif

kebudayaan Barat.

Page 5: Hukum Islam iiii

Antara Islam dan adat-istiadat setempat saling mempengaruhi.

Salah satu bukti pengaruh Islam di Indonesia adalah pengalihan sistem

penanggalan tahun Saka yang berdasarkan solar system, kepada lunar

system (penanggalan Hijriah) yang dilakukan oleh Sultan Agung.

Pengaruh Islam terhadap adat ditentukan oleh tingkat pembaurannya

dengan kebudayaan dan sejarah daerah yang bersangkutan, tidak sama

di berbagai daerah di Indonesia. Sebaliknya, adat juga mempengaruhi

hukum Islam.

Syari’at mengakui “urf sebagai sumber hukum karena menyadari

kenyataan bahwa adat kebiasaan telah memainkan peranan penting

dalam mengatur masyarakat.

Di Indonesia, hukum adat menghargai hukum Islam. Adat

menempatkan hukum Islam mengatasi adat itu sendini, seperti tampak

dalam ungkapan Minangkabau : “Syara’ mengatakan Adat memakai”,

“syara’ disunggi, adat dipangku”. Di Aceh, Minangkabau, Riau, Jambi,

Palembang, Bengkulu, dan Lampung ada kepercayaan bahwa adat

mereka dapat dijalankan dengan aman kalau dilindungi oleh-dan tidak

bertentangan dengan agama Islam.

Persaingan dan bahkan konfIik antara hukum Islam dan hukum

adat serta antara hukum Islam dan hukum Barat, salah satu penyebabnya

adalah campur tangan penjajah, yang untuk melihat kesinambungan

kenyataan dan pemikiran yang berkembang tentangnya, pembahasan ini

harus juga memperhatikan dan tidak boleh mengabaikan kebijakan sejak

masa penjajahan. Dalam hal ini, penjajah Belanda dan Jepang sama-

sama mengeksploitasi Islam untuk kepentingan mereka. Akan tetapi,

Belanda hanya menyisakan peluang yang sangat kecil bagi kegiatan

politik Islam, sedangkan Jepang membuka pintu bagi umat Islam untuk

berpengalaman dan turut serta dalam politik dan latihan militer.

Menurut Lev, pada abad kesembilan belas sebagian besar orang

Belanda yakin bahwa hukum adat Indonesia banyak didasarkan pada

hukum Islam. Sejak sekitar tahun 1800, para ahli hukum dan ahli

Page 6: Hukum Islam iiii

kebudayaan Belanda mengakui bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam.

Tokohnya : Carel Frederik Winter (1799 - 1859), Salomon Keyzer (1823

- 1868), dan Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845 - 1927).

Mereka dikenal sebagai aliran Delft, semacam sekolah kepamongprajaan

di negeri Belanda. Van den Berg-lah yang memberikan nama teori

Receptio in Complexu, dan Ia disebut sebagai “orang yang menemui dan

memperlihatkan berlakunya hukum Islam di Indonesia”. Menurut teori ini,

bagi orang Islam berlaku hukum Islam walaupun terdapat juga

penyimpangan-penyimpangan. Teori ini rnempengaruhi kebijakan

pemerintah (Belanda) terhadap hukum Islam.

Van Vollenhoven (1874 - 1933) dan Snouck Hurgronje (1857 -

1936) mengritik Pasal 75 dan Pasal 109 Regeringsreglement 1855.

Snouck Hurgronje memperkenalkan pendapat yang dikenal dengan

nama teori Receptie. Teori ini menyatakan: yang berlaku di Indonesia

adalah hukum adat. Ke dalam hukum adat memang masuk pengaruh

hukum Islam. Hukum Islam itu baru mempunyai kekuatan kalau telah

diterima hukum adat dan lahirlah dia keluar sebagai hukum adat.

Pendapat tersebut mempengaruhi politik hukum pemerintah Hindia

Belanda. Kata-kata tegas memperlakukan godsdienstige wetten - undang-

undang agama dalam Pasal 75 Regeringsreglement 1855, dihilangkan,

diperlunak, dan diganti pada tahun 1906 dengan Stbl. Belanda 1906

Nomor 364 yang diberlakukan di Indonesia dengan Stbl. Hindia Belanda

1907 Nomor 204, dengan kata-kata bersayap diperlakukan untuk orang

Indonesia dan Timur Asing itu godsdienstige en gewoonten

samenhangende rechtsregelen, atau yang berkenaan dengan agama dan

kebiasaan mereka worden gevolgd”. Di sini baru dllemahkan. Teorinya

Van den Berg juga mendapat tantangan dari Djojodigoeno. Menurutnya,

adat masih merupakan sumber hukum fundamental di masyarakat Jawa,

meskipun mayoritas muslim, setidak-tidaknya Islam nominal.

Menurut M.A. Jaspan, konsep hukum adat hampir dapat dipastikan

merupakan ciptaan orang Belanda. Busthanul Arifin berpendapat, istilah

Page 7: Hukum Islam iiii

“hukum adat” adalah artifisial. Pertentangan “adat” dengan hukum Islam

adalah pertentangan artifisiaf hasil rekayasa politik hukum kolonial.

Stanley Diamond menyatakan adat istiadat adalah moralitas sosial, yang

hubungannya dengan hukum pada dasarnya merupakan suatu

pertentangan dan bukan kesinambungan. Upaya menetapkan suara hati

menjadi undang-undang dengan kekuatan politik merupakan antitesis

terhadap adat istiadat, yang meliputi aspek-aspek perilaku sosial, baik

yang bersifat tradisional (menyangkut segi moral) maupun keagamaan,

yang semuanya bersifat konvensional dan nonhukum. Dengan demikian,

istilah “hukum adat istiadat” sebenarnya mengaburkan masalah secara

semantik. Sebelum adanya campur tangan Barat, apa yang disebut

sebagai hukum adat bukan merupakan suatu entitas yang terpisah dan

tersendiri, melainkan dalam banyak hal terjalin dengan sejarah mitologi

dan lembaga-lembaga adat dari masing-masing kelompok etnis atau

budaya.

lstilah “hukum adat” digunakan secara resmi dalam Pasal 134 ayat

(2) lndische Staatsregeling 1929. Hukum Adat itu sendiri dikembangkan

oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje dengan tujuan untuk

memecah atau mengebiri hukum Islam. Kolonialisme ternyata juga

berhubungan dengan penyebaran agama. Penjajah juga merangkap

sebagai penginjil.

Rekayasa ini dilakukan demikian rapinya sehingga masih

membekas sampai sekanang. Koesnoe mengnitik ilmu hukum adat yang

dipelopori oleh Van Vollenhoven dan dikembangkan oheh Ter Haar sebagai suatu “westerse vertolking” (penyajian secara Barat) mengenai

hukum adat dan bukan penyajian ilmu hukum adat yang berjiwa

Indonesia. Sejak semula ilmu hukum adat modern diilhami oleh disiplin

berpikir dalam ilmu pengetahuan dan ajaran hukum Barat. Ini terlihat jelas

dalam kategori llmiah yang digunakan seperti pengertian hak-kewajiban,

sanksi, dan pendefinisian suatu terminologi secara tepat.

Page 8: Hukum Islam iiii

Politik hukum penjajah Belanda tersebut (pernah) mengakibalkan

terjadinya pertentangan antara tokoh hukum adat dan tokoh hukum Islam.

Dalam pertentangan tersebut, tokoh-tokoh adat berusaha memperoleh

bantuan Belanda untuk menghancurkan ulama dan para pengikutnya.

Politik hukum panjajah Belanda tersebut juga masih membekas sampai

zaman Indonesia merdeka.

Hazairin, juru bicara dan tokoh yuris aliran Islam, yang sudah

terkenal sebagal ahli hukum adat yang paling terkemuka berpendapat

bahwa hukum Islam memiliki keunggulan atas hukum adat dan hukum

Barat. Menurut Hazairin undang-undang berhak mengubah atau

rnenghapuskan hukum adat, tetapi tidak berhak mengubah atau

menghapuskan hukum agama.

Di samping persaingan antara hukum Islam dan hukum adat

sebagaimana disebutkan di atas, di kalangan Islam sendiri ada perbedaan

pendapat antara kalangan yang menggunakan pendekatan akomodatif

terhadap budaya lokal di satu sisi dan kalangan yang menggunakan

pendekatan purifikatif, yang cenderung mencurigai unsur-unsur yang

berasal dari “luar Islam” di sisi lain. Perbedaan pendapat ini merupakan

salah satu masalah yang harus dihadapi dalam kaitannya dengan

gagasan legislasi hukum Islam.

Salah satu pemikiran Gus Dur, Ketua Umum PBNU selama tiga

periode (1984 - 1999), yang pemikirannya bersama Nurchollsh Madjid,

Djohan Effendi dan Ahmad Wahib oleh Greg Barton digolongkan

sebagai Neo-Modernisme, yang menarik dicermati adalah apa yang

diperkenalkannya sebagai “pribumisasi Islam” : menjadi Islam tidak perlu

menjadi Arab, tetapi bisa di-Indonesiakan, ajaran Islam dikembangkan

sebagai sumber etika sosial dan bukan sebagai sumber materi hukum,

dalam arti mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan Iokal di dalam

merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri”.

Pribumisasi Islam yang menentang arabisasi kebudayaan

Indonesia adaIah salah satu gagasan Gus Dur yang kontroversial. Dasar

Page 9: Hukum Islam iiii

gagasannya adalah bahwa Islam harus dijabarkan menurut pemikiran

atau kebudayaan daerah di mana ia hidup.

Di antara masalah yang dihadapi oleh umat Islam adalah

bagaimana mempertemukan budaya (‘adah) dengan norma (syari’ah),

yang juga menjadi persoalan dalam ushul fiqh. Ia berpendapat, pada

dasarnya harus diupayakan titik temu antara keduanya. Ia mencontohkan

arsitektur mesjid Indonesia kuno yang selalu mempunyai atap tiga Iapis,

yang sekarang dipopulerkan Iagi oleh Yayasan AmaI Bakti Muslim

Pancasila, pada bangunan mesjid bantuannya. Atap tiga lapis ini

menggambarkan Iman, Islam, dan Ihsan. Atap tiga lapis ini diambil dari

simbolisasi pada masa Hindu-Budha, yang semula lapis sembilan, yang

menggambarkan lingkaran hidup manusia. Oleh Wali Songo, sembilan

lapis ini disisakan tinggal tiga disertai penggantian maknanya. Artinya,

mereka mengambil bentuk budayanya dan memberi isi lain. Mereka

melakukan penyesuaian dan tidak langsung membuat sesuatu yang sama

sekali baru. Contoh lain adalah adat yang berkembang di sekitar hari

pasaran (Jawa) yang dipadukan dengan hari-hari yang dikenal dalam

Islam. Perpaduan ini tidak melanggar syara’, tetapi dapat ngemong

budaya lokal.

Di Indonesia banyak nilal agama yang “terserap” dalam budaya

sehingga menimbulkan kesan budaya tersebut merupakan tampilan

agama dalam bentuk yang lain. Keuntungan sikap akomodatif terhadap

budaya adalah : di satu sisi masyarakat yang telah lama hidup dalam

suatu tradisi tidak merasa asing atau terancam dengan kehadiran Islam

dan di samping itu, Islam memiliki kemampuan mengkonversi tradisi

tersebut menjadi salah satu gugus dalam khazanah keislaman tanpa

merusak inti ajarannya. Sikap akomodatif memberikan nilai Iebih berupa

semakin dekatnya pesan ilahiah yang dibawa agama dengan realitas

kemanusiaan.

Menurut Hasyim Muzadi, keragaman budaya di Indonesia harus

disikapi melalui pendekatan kultural yang pro-pluralisme dan bukan

Page 10: Hukum Islam iiii

dengan gerakan purifikasi yang menyebabkan hilangnya kekayaan

budaya lokal yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai budaya Arab

yang oleh sebagian umat Islam diklaim sebagai budaya Islam.

Dengan pendekatan purifikasi, yang bermula dari penghakiman

secara hitam putih terhadap budaya (Islami atau tidak), kata Hasyim Muzadi, lambat laun menimbulkan konflik tersendiri di kalangan umat

Islam, di luar ketegangan yang sudah ada ketika mereka berbeda

pendapat dalam menafsirkan kitab suci.

Pendukung pendekatan akomodatif mengajak untuk menjaga agar

unsur-unsur manusiawi jangan sampai memalsukan pesan Ilahi yang

rawan dalam pendekatan purifikatif. Bagi mereka, puritarisasi berpotensi

menghapus semua unsur manusiawi, serta budaya lokal dan nasional

dimusuhi dan dianggap sebagai ancaman terhadap komurnian agama.

Pendekatan purifikatif yang “kurang toleran” untuk sebagian

memang mengandung bahaya dalam masyarakat yang pluralistik, tidak

saja antaragama, tetapi intern agama. Sekedar menyebut contoh,

sebagian muslim menganggap Pancasila sebagai konsep bid’ah Hindu-

Budhis. Padahal, bagaimanapun, Pancasila diperlukan sebagai pemersatu

bangsa. Sebaliknya, pendekatan akomodatif, setidak-tidaknya di tingkat

masyarakat awam, mengakibatkan kekaburan tentang mana yang Islam

dan mana pula yang budaya.

C. PIAGAM JAKARTA DAN PASAL 29 UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Kajian tentang kedudukan hukum Islam di Indonesia setelah

kemerdekaan harus dimulai dari pembicaraan tentang apa yang akan.

dijadikan dasar negara setelah Indonesia merdeka. Waktu itu ada

perbedaan pandangan yang cukup tajam antara golongan kebangsaan

dan golongan Islam.

Dalam perdebatan mengenai dasar negara itu, Wahid Hasyim mengusuIkan rumusan “Agama negara adalah Islam, dengan jaminan

Page 11: Hukum Islam iiii

bagi pemeluk agama lain untuk dapat beribadah menurut agamanya

masing masing”. Ia juga mengusulkan agar presiden dan wakilnya harus

beragama Islam. Hanya saja, Agus Salim keberatan terhadap usulan

tersebut mengingat janji perlindungan terhadap agama lain. Piagam

Jakarta merupakan usaha untuk memperjelas suatu struktur negara Islam

pada masa yang akan datang.

Piagam Jakarta, tidak berarti tarik-menarik telah sepenuhnya

selesai. Pada 10 Juli 45, Piagam Jakarta dipertanyakan oleh tokoh

nasionalis dan Kristen, seperti Wongsonegoro, Hoesein Djajadiningrat, dan Latuharhary, khawatir syariat akan menimbulkan masalah bagi

agama lain dan adat istiadat. Sebaliknya, dalam sidang Pleno Panitia 62

pada 14 Juli, Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan penghapusan kata

“bagi pemeluknya”, yang berarti syari’at harus dijalankan oleh semua

warga negara, baik Muslim maupun nonmuslim. Hadikusumo tidak

menginginkan adanya dua sistem hukum.

Perdebatan paling seru terjadi pada 15 Juli, ketika Kahar Muzakir dan Ki Bagus Hadikusumo dengan nada keras menyatakan kalau

Piagam Jakarta tidak disetujui, Iebih baik semua acuan pada agama Islam

dihapuskan saja. Ketegangan meningkat. Pada 16 Juli Soekarno menyerukan pada kaum nasionalis untuk bersedia berkorban dan

menerima Piagam Jakarta dan presiden harus orang yang beragama

Islam. Akhimya, semua usul tokoh NU yang mengambil, jalan tengah

antara usul tokoh Muhammadiyah dan kelompok nasionalis disetujui.

Perbedaan antara rumusan dalam Piagam Jakarta dan rumusan

Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 adalah bahwa Pasal 29

Undang-Undang Dasar berbicara tentang “kemerdekaan”, sedangkan

Piagam Jakarta mencantumkan kata “kewajiban”. Jika Wahid Hasyim puas dengah rumusan “kemerdekaan”, berarti Ia memberikan penafsiran

liberal terhadap Piagam Jakarta.

Dari sembilan orang penanda tangan Piagam Jakarta, hanya tiga

orang - Soekarno, Hatta, dan Soebardjo (ketiganya adalah nasionalis

Page 12: Hukum Islam iiii

sekular) yang terlibat dalam proses pengubahan tersebut, sedangkan

enam orang lainnya tidak. Artinya, tidak seorang pun dari nasionalis Islami

yang terlibat. Keadaan ini memberikan dasar bagi pendapat : terdapat

fakta historis bahwa toleransi para nasionalis Islami dengan penyelesaian

kompromis tersebut, ternyata kemudian diabaikan dan ditentang oleh

nasionalis sekular.

Penghapusan kompromi tersebut menyebabkan kedudukan hukum

Islam menjadi samar-samar. Tokoh-tokoh Islam menerima pencoretan

tersebut karena :

1. Keadaan mendesak dan semangat persatuan, dan

2. Undang-undang dasar yang disahkan pada 18 Agustus 1945

dimaksudkan sebagai undang-undang dasar sementara.

Menurut Hatta, sebagaimana dikutip Yusril, meskipun rumusan

kompromis tersebut dihapuskan, semangatnya tidak lenyap; syariat Islam

yang hanya berhubungan dengan kepentingan umat Islam dapat diajukan

ke DPR untuk diatur dalam bentuk undang-undang.

Sebenarnya, rumusan dalam Piagam Jakarta, “dengan kewajiban

menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar

kemanusiaan yang adil dan beradab” telah menempatkan kedudukan

syariat Iebih rendah daripada kemanusiaan yang adil dan beradab.

Menurut A. Gani Abdullah, rumusan ini lahir dari persepsi (sebagian)

masyarakat yang menganggap hukum Islam kejam. Atas dasar itu,

Piagam Jakarta merumuskan pelaksanaan syari’at Islam menurut

kemanusiaan yang beradab. Maksudnya, hukum Islam tidak lagi kejam

karena harus didasarkan pada kemanusiaan.

Undang-Undang Dasar 1945 berlaku dalam dua periode. Periode

pertama, sejak disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 sampai

diberlakukannya Konstitusi RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Periode

kedua, sejak diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5

Juli 1959 sampal sekarang. Hingga akhir tahun 50-an, kekuatan gerakan

Page 13: Hukum Islam iiii

Islam masih relatif kompak menjadi pendukung Piagam Jakarta, termasuk

di dalamnya Nahdlatul Ulama (NU) yang dalam perkembangannya

meninggalkan Piagam Jakarta, sebagaimana akan diungkapkan di bawah.

Dalam suasana pemberontakan di mana-mana, pada bulan

Februari 1959, Kabinet Djuanda “mengakui bahwa Piagam Jakarta

tanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945”. Pengakuan

ini sangat penting untuk menghadapi umat Islam. Perdana Menteri

Djuanda menyatakan bahwa pengakuan tersebut tidak mengenai

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 saja, tetapi juga mengenai

Pasal 29-nya, yang harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang

keagamaan.

Penegasan bahwa Piagam Jakarta menjiwai Undang-Undang

Dasar 1945 itu, menurut Hazairin, adalah maha penting bagi penjelasan

Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Tanpa penegasan

tersebut, dapat menimbulkan berbagai tafsiran yang absurd, seperti :

1. Penghapusan “delapan kata” dalam Piagam Jakarta adalah bukti

bahwa pihak Islam terpaksa berkapitulasi terhadap pihak lain, atau

2. Pihak Islam melepaskan tuntutannya bahwa negara berkewajiban

menjalankan syari’at Islam bagi mereka, atau

3. Penghapusan tersebut tepat benar, karena syari’at Islam memang

harus dijalankan oleh pemeluk-pemeluknya, bukan oleh negara,

atau

4. Untung “delapan kata’ itu sudah dihapuskan, jika tidak, dapat

digunakan oleh pihak Islam sebagai bom waktu untuk mendirikan

negara Islam.

Penyebutan Piagam Jakarta dalam konsiderans Dekrit Presiden

membawa akibat hukum karena hukum Indonesia Iebih banyak

dipengaruhi oleh tradisi hukum Eropa Kontinental. Dalam konteks teori

Konstitusi Eropa Kontinental, kedudukan konsiderans justru lebih tinggi

daripada batang tubuhnya; berbeda dengan sistem hukum Anglo Saxon

Page 14: Hukum Islam iiii

yang menganggap “law’ hanya apa yang tertulis dalam pasal-pasal suatu

peraturan tertulis, sementara konsiderans, bahkan judul bab dan judul

pasal, tidak membawa akibat hukum.

Meskipun isi dari kalimat Undang-Undang Dasar 1945 sarna saat

berlaku pertama kali dengan yang kedua kali, tetapi suasana kebatinan

(geistlichem hintergrund)-nya berbeda. Pada yang pertama, “kalimat-

kalimat Islami disingkirkan, sedangkan pada yang kedua “kalimat-kalimat

Islami itu diraih kembali. Kedudukan hukum Islam dalam Undang-Undang

Dasar 1945 sesudah Dekrit Presiden Iebih kuat daripada dalam Undang-

Undang Dasar 1945 yang disahkan oleh PPKI. Menurut Ismail Suny,

seperti dikutip Yusril, jika Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan

oleh PPKI telah menghilangkan delapan kata dalam Piagam Jakarta,

dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang didekritkan, konstitusi itu dijiwai

oleh delapan perkataan itu. Menurut Ahmad Sanusi sebagaimana dikutip

Yusril, perkataan dijiwai berarti “memberi jiwa”, yakni memberi kehidupan

dan kekuatan.

Menurut Yusril, setelah … Dekrit Presiden 5 Juii 1959 itu,

merupakan suatu keharusan konstitusional bagi perumus politik hukum

negara RI untuk mempertimbangkan tempat yang sesuai bagi hukum

Islam”. Menurut Notonagoro, seperti dikutip Endang Saifuddin Anshari bahwa :

Kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pembukaan, setelah

tanggal 5 Juli 1959, tanggal ditetapkannya dan berlakunya Dekrit

Presiden, isi artinya mendapat tambahan, dan lengkapnya dengan

tambahan itu ialah “kesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang Maha

Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi

pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan

beradab”. Begitulah juga halnya dengan isi arti daripada Pasal 29

ayat (1) Undang-Undang Dasar.

Page 15: Hukum Islam iiii