hukum islam iiii
DESCRIPTION
Tugas Hukum IslamTRANSCRIPT
LEGISLASI HUKUM ISLAM : PERSPEKTIF PERIODE POLITIK
Di Indonesia, ada pembaru yang menghendaki pemurnian
(skripturalis, puritan, ortodoks) dan ada yang menghendaki “penyesuaian
(substansialis, liberal). Kedua kelompok ini sering kali terlibat
pertentangan yang tajam. Kaum skripturalis enggan melakukan kegiatan
intelektual untuk mengadaptasikan ajaran Islam dengan konteks sosial.
Bagi mereka, ajaran Islam sudah jelas dan dengan sendirinya tinggal
mengimplementasikannya. Sebaliknya, pembaruan yang dimotori oleh
kalangan nonskripturalis, sebut saja kaum substansialis, memberikan
harapan bagi revitalisasi umat dan bagi penyelesaian ketegangan
berkepanjangan. antara Islam dan negara serta masalah hubungan antara
umat Islam dan pemeluk agama lain.
Mengamati gerakan pembaruan Islam di Indonesia, hal yang luar
biasa, kata Andrèè FeilIard, adalah bahwa pembaru yang paling progresif
dan terkenal justru berasal dari kalangan tradisionalis yang sering
dianggap kolot.
Masdar mengusulkan pendekatan untuk memahami agama yang
disebutnya sebagal pendekatan transformatif (dalam bahasa Arabnya
diterjemahkan dengan hijriyyah, dan kata hijrah, yang berarti perpindahan
dari satu posisj ke posisi yang lain untuk mengejar tingkat kualitas yang
lebih baik, yaitu suatu “pendekatan yang memandang perubahan (change)
sebagai sarana untuk mencapai cita kebaikan kualitatif yang bermuara
pada cita kebaikan mutlak dalam bahasa agama disebut Tuhan.
Baik pandangan ortodoksi maupun pandangan transformasi
menerima kategorisasi ayat-ayat ke dalam ayat muhkamat dan ayat
mutasyabihat. Menurut Imam as-Sayuthi dalam aI-Itqan, inti pandangan
ulama tentang apa yang disebut sebagal ayat muhkamat adalah ayat yang
jelas maksudnya , sedangkan ayat mutasyabihat adalah
ayat yang kurang atau tidak jelas maksudnya.
Pendekatan ortodoksi dan pendekatan transformasi memiliki cara
pandang yang berbeda terhadap kategorisasi ayat ini yang selanjutnya
membawa konsekuensi pada perbedaan pendefinisiannya.
Masdar menduga, diperkenakannya kategorisasi qath’i-dzanny,
padahal sudah ada kategorisasi serupa yang diintrodusir Qur’an sendiri
(muhkamat-mutasyabihat), merupakan kecerdikan ulama fikih unituk
membebaskan diri dari kontroversi mengenai ‘mutasyabihat’ itu tadi
(manusia mungkIn mengetahui ataukah hanya Allah yang mengetahui).
Konsekuensi kategorisasi muhkamat-mutasyabihat menurut
pendekatan transformasi adalah bahwa ayat-ayat muhkamat pasti,
bensifat universal karena dalam dirinya prinsip-prinsip itu memang
universal (seperti keadilan). Sebagai penegasannya, ayat-ayat muhkamat
itu tidak memerlukan terobosan atau ijtihad, tidak diperlukan pemikiran
ulang apakah prinsip-prinsip universal (seperti keadilan) itu perlu
ditegakkan atau tidak.
Masdar menegaskan, ayat-ayat yang bersifat tasyri’ atau metodis
ini secara praktis bisa saja diterapkan di berbagai tempat dan zaman.
Akan tetapi, penerapan demikian dasar penerapannya bukan pada klaim
universalitasnya, melainkän pada efektivitasnya sebagai metode.
Pernyataan Masdar yang terakhir ini adalah pengakuan akan
“kewenangan mutlak” Tuhan untuk menetapkan hukum, dan pada
ketidakpantasan manusia untuk mencoba-coba memberikan alternatif
pada hukum yang telah Allah tetapkan.
Untuk memecahkan dilema pelik tentang bagaimana manusia
melakukan perubahan atas hukum (“petunjuk praktis”) yang ditawarkan
Allah, Masdar menawarkan pemikiran bahwa pembagian hukum dalam
kategori ubudiyah dan nonubudiyah, tentu juga dengan modifikasi, bisa
dimanfaatkan. Sekarang harus dikatakan bahwa ayat-ayat tentang
ubudiyah, secara teoretis, karena sebagal metode tetap nonuniversal, bisa
berubah, meskipun perubahan itu tidak perlu. Sedangkan ayat-ayat
nonubudiyah (mu’amalat) secara teoretis bisa berubah dan dalam kondisi-
kondisi tertentu perubahan itu memang perlu.
Masdar memahami hukum sebagal metode, bukan tujuan. Oleh
karena syari’at adalah metode, bukan tujuan, maka, bagi Masdar, “keislaman suatu masyarakat, misalnya dalam aspek sosial ekonominya,
tidak harus diukur dari kenyataan apakah mereka sudah membayar
zakat”, tetapi ukurannya ada pada kenyataan apakah keadilan ekonomi di
situ sudah tegak” atau belum. Ini berseberangan dengan pandangan
kaum ortodoksi yang formalis-scripturalis, yang menjadikan tegaknya
syari’at Islam” sebagai tujuan.
Masdar menyadari bahwa resistensi terhadap ide reaktualisasi
ajaran lslamnya Munawir, mendemonstrasikan bahwa keraguan apalagi
gugatan terhadap teks ajaran (nash) merupakan sesuatu yang sangat
tabu dalam tradisi pemahaman agama di lingkungan umat Islam.
Sepintas, kata Masdar, masyarakat dengan semangat ortodoksi
adalah masyarakat yang “idealis”: Namun, ketika mereka harus
memberikan treatment, perlakuan terhadap realitas yang nyata-nyata
berbeda dengan ketika teks itu turun belasan abad yang lalu, mereka
acapkali menjadi naif. Kenaifan itu memicu sikap-sikap ekstrem penuh
kutukan, bahkan kekerasan dari kalangan ortodoksi itu. Atas dasar itu,
Masdar menganggap Iebih tepat kaum ortodoksi itu disebut sebagai
“scripturalis” bukan “idealis”, karena yang sesungguhnya mereka pegangi
adalah scrip itu sendiri dan bukan ide yang menjiwai scrip (huruf dalam
teks).
Pemikiran Masdar tersebut di atas jelas “radikal’ untuk/di kalangan
pesantren NU; Menurut Afifuddin, pembaruan yang berasal dari
pesantren sumbernya dari usul fikih. Hanya saja, sayangnya, selama ini
usul fikih tidak dipahami sebagaimana mestinya, hanya dibaca dan
dihafalkan.
B. HUKUM ISLAM, HUKUM ADAT, DAN HUKUM BARAT : PERSINGGUNGAN DAN PERSAINGAN
Di Indonesia ada bermacam-macam hukum. Salah satunya adalah
hukum Islam. Menurut M.A. Jaspan, pada tahun 1960-an, di Indonesia
ada tiga atau empat aliran utama teori hukum : adat, Islam, positif (Barat)
dan “sosialis Indonesia”. Membangun hukum nasional, dengan demikian,
bukan pekerjaan mudah. Dalam ungkapan M.A. Jaspan, filsafat sinkretis
tentang hukum yang diasarkan pada keanekaragaman tradisi dan ideologi
yang sudah disesuaikan tidak mudah diciptakan.
Interaksi antara bermacam-macam hukum itu mengakibatkan
adanya persinggungan dan persaingan satu sama lain. Pembahasan di
sini dibatasi hanya pada persinggungan dan persaingan antara hukum
Islam dan hukum adat serta antara hukum Islam dan hukum Barat. Hukum
Islam pada dasarnya bersifat terbuka terhadap unsur-unsur dari luar.
Islam sendiri, sebagaimana ditunjukkan oleh Khalil Abdul Karim,
mengakomodasi banyak warisan pra-Islam, baik dalam ritus peribadatan,
ketentuan hukum, maupun teori politik.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan kompleksitas
permasalahan, kesadaran hukum masyarakat juga mengalami
perkembangan. Salah satu wujudnya adalah : bisa terjadi pengaruh-
mempengaruhi antarsuatu aliran atau mazhab hukum Islam. Coulson mencontohkan, konsep “kesetaraan” (kafaah) dalam perkawinan
dilahirkan oleh kesadaran kelas pada masyarakat Kufah yang beragam.
Konsep tersebut tidak dikenal di masyarakat Madinah pertama yang tidak
merasakan perbedaan kelas, tetapi dalam perkembangannya konsep
tersebut dilkuti oleh mazhab Maliki. Lebih dari itu hukum Islam bersikap
terbuka terhadap unsur-unsur dari luar, baik berupa unsur asing (dari
Barat) maupun adat istiadat setempat, selama tidak bertentangan dengan
syari’at. Kaum Muslimin tidak harus mengesampingkan aspek positif
kebudayaan Barat.
Antara Islam dan adat-istiadat setempat saling mempengaruhi.
Salah satu bukti pengaruh Islam di Indonesia adalah pengalihan sistem
penanggalan tahun Saka yang berdasarkan solar system, kepada lunar
system (penanggalan Hijriah) yang dilakukan oleh Sultan Agung.
Pengaruh Islam terhadap adat ditentukan oleh tingkat pembaurannya
dengan kebudayaan dan sejarah daerah yang bersangkutan, tidak sama
di berbagai daerah di Indonesia. Sebaliknya, adat juga mempengaruhi
hukum Islam.
Syari’at mengakui “urf sebagai sumber hukum karena menyadari
kenyataan bahwa adat kebiasaan telah memainkan peranan penting
dalam mengatur masyarakat.
Di Indonesia, hukum adat menghargai hukum Islam. Adat
menempatkan hukum Islam mengatasi adat itu sendini, seperti tampak
dalam ungkapan Minangkabau : “Syara’ mengatakan Adat memakai”,
“syara’ disunggi, adat dipangku”. Di Aceh, Minangkabau, Riau, Jambi,
Palembang, Bengkulu, dan Lampung ada kepercayaan bahwa adat
mereka dapat dijalankan dengan aman kalau dilindungi oleh-dan tidak
bertentangan dengan agama Islam.
Persaingan dan bahkan konfIik antara hukum Islam dan hukum
adat serta antara hukum Islam dan hukum Barat, salah satu penyebabnya
adalah campur tangan penjajah, yang untuk melihat kesinambungan
kenyataan dan pemikiran yang berkembang tentangnya, pembahasan ini
harus juga memperhatikan dan tidak boleh mengabaikan kebijakan sejak
masa penjajahan. Dalam hal ini, penjajah Belanda dan Jepang sama-
sama mengeksploitasi Islam untuk kepentingan mereka. Akan tetapi,
Belanda hanya menyisakan peluang yang sangat kecil bagi kegiatan
politik Islam, sedangkan Jepang membuka pintu bagi umat Islam untuk
berpengalaman dan turut serta dalam politik dan latihan militer.
Menurut Lev, pada abad kesembilan belas sebagian besar orang
Belanda yakin bahwa hukum adat Indonesia banyak didasarkan pada
hukum Islam. Sejak sekitar tahun 1800, para ahli hukum dan ahli
kebudayaan Belanda mengakui bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam.
Tokohnya : Carel Frederik Winter (1799 - 1859), Salomon Keyzer (1823
- 1868), dan Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845 - 1927).
Mereka dikenal sebagai aliran Delft, semacam sekolah kepamongprajaan
di negeri Belanda. Van den Berg-lah yang memberikan nama teori
Receptio in Complexu, dan Ia disebut sebagai “orang yang menemui dan
memperlihatkan berlakunya hukum Islam di Indonesia”. Menurut teori ini,
bagi orang Islam berlaku hukum Islam walaupun terdapat juga
penyimpangan-penyimpangan. Teori ini rnempengaruhi kebijakan
pemerintah (Belanda) terhadap hukum Islam.
Van Vollenhoven (1874 - 1933) dan Snouck Hurgronje (1857 -
1936) mengritik Pasal 75 dan Pasal 109 Regeringsreglement 1855.
Snouck Hurgronje memperkenalkan pendapat yang dikenal dengan
nama teori Receptie. Teori ini menyatakan: yang berlaku di Indonesia
adalah hukum adat. Ke dalam hukum adat memang masuk pengaruh
hukum Islam. Hukum Islam itu baru mempunyai kekuatan kalau telah
diterima hukum adat dan lahirlah dia keluar sebagai hukum adat.
Pendapat tersebut mempengaruhi politik hukum pemerintah Hindia
Belanda. Kata-kata tegas memperlakukan godsdienstige wetten - undang-
undang agama dalam Pasal 75 Regeringsreglement 1855, dihilangkan,
diperlunak, dan diganti pada tahun 1906 dengan Stbl. Belanda 1906
Nomor 364 yang diberlakukan di Indonesia dengan Stbl. Hindia Belanda
1907 Nomor 204, dengan kata-kata bersayap diperlakukan untuk orang
Indonesia dan Timur Asing itu godsdienstige en gewoonten
samenhangende rechtsregelen, atau yang berkenaan dengan agama dan
kebiasaan mereka worden gevolgd”. Di sini baru dllemahkan. Teorinya
Van den Berg juga mendapat tantangan dari Djojodigoeno. Menurutnya,
adat masih merupakan sumber hukum fundamental di masyarakat Jawa,
meskipun mayoritas muslim, setidak-tidaknya Islam nominal.
Menurut M.A. Jaspan, konsep hukum adat hampir dapat dipastikan
merupakan ciptaan orang Belanda. Busthanul Arifin berpendapat, istilah
“hukum adat” adalah artifisial. Pertentangan “adat” dengan hukum Islam
adalah pertentangan artifisiaf hasil rekayasa politik hukum kolonial.
Stanley Diamond menyatakan adat istiadat adalah moralitas sosial, yang
hubungannya dengan hukum pada dasarnya merupakan suatu
pertentangan dan bukan kesinambungan. Upaya menetapkan suara hati
menjadi undang-undang dengan kekuatan politik merupakan antitesis
terhadap adat istiadat, yang meliputi aspek-aspek perilaku sosial, baik
yang bersifat tradisional (menyangkut segi moral) maupun keagamaan,
yang semuanya bersifat konvensional dan nonhukum. Dengan demikian,
istilah “hukum adat istiadat” sebenarnya mengaburkan masalah secara
semantik. Sebelum adanya campur tangan Barat, apa yang disebut
sebagai hukum adat bukan merupakan suatu entitas yang terpisah dan
tersendiri, melainkan dalam banyak hal terjalin dengan sejarah mitologi
dan lembaga-lembaga adat dari masing-masing kelompok etnis atau
budaya.
lstilah “hukum adat” digunakan secara resmi dalam Pasal 134 ayat
(2) lndische Staatsregeling 1929. Hukum Adat itu sendiri dikembangkan
oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje dengan tujuan untuk
memecah atau mengebiri hukum Islam. Kolonialisme ternyata juga
berhubungan dengan penyebaran agama. Penjajah juga merangkap
sebagai penginjil.
Rekayasa ini dilakukan demikian rapinya sehingga masih
membekas sampai sekanang. Koesnoe mengnitik ilmu hukum adat yang
dipelopori oleh Van Vollenhoven dan dikembangkan oheh Ter Haar sebagai suatu “westerse vertolking” (penyajian secara Barat) mengenai
hukum adat dan bukan penyajian ilmu hukum adat yang berjiwa
Indonesia. Sejak semula ilmu hukum adat modern diilhami oleh disiplin
berpikir dalam ilmu pengetahuan dan ajaran hukum Barat. Ini terlihat jelas
dalam kategori llmiah yang digunakan seperti pengertian hak-kewajiban,
sanksi, dan pendefinisian suatu terminologi secara tepat.
Politik hukum penjajah Belanda tersebut (pernah) mengakibalkan
terjadinya pertentangan antara tokoh hukum adat dan tokoh hukum Islam.
Dalam pertentangan tersebut, tokoh-tokoh adat berusaha memperoleh
bantuan Belanda untuk menghancurkan ulama dan para pengikutnya.
Politik hukum panjajah Belanda tersebut juga masih membekas sampai
zaman Indonesia merdeka.
Hazairin, juru bicara dan tokoh yuris aliran Islam, yang sudah
terkenal sebagal ahli hukum adat yang paling terkemuka berpendapat
bahwa hukum Islam memiliki keunggulan atas hukum adat dan hukum
Barat. Menurut Hazairin undang-undang berhak mengubah atau
rnenghapuskan hukum adat, tetapi tidak berhak mengubah atau
menghapuskan hukum agama.
Di samping persaingan antara hukum Islam dan hukum adat
sebagaimana disebutkan di atas, di kalangan Islam sendiri ada perbedaan
pendapat antara kalangan yang menggunakan pendekatan akomodatif
terhadap budaya lokal di satu sisi dan kalangan yang menggunakan
pendekatan purifikatif, yang cenderung mencurigai unsur-unsur yang
berasal dari “luar Islam” di sisi lain. Perbedaan pendapat ini merupakan
salah satu masalah yang harus dihadapi dalam kaitannya dengan
gagasan legislasi hukum Islam.
Salah satu pemikiran Gus Dur, Ketua Umum PBNU selama tiga
periode (1984 - 1999), yang pemikirannya bersama Nurchollsh Madjid,
Djohan Effendi dan Ahmad Wahib oleh Greg Barton digolongkan
sebagai Neo-Modernisme, yang menarik dicermati adalah apa yang
diperkenalkannya sebagai “pribumisasi Islam” : menjadi Islam tidak perlu
menjadi Arab, tetapi bisa di-Indonesiakan, ajaran Islam dikembangkan
sebagai sumber etika sosial dan bukan sebagai sumber materi hukum,
dalam arti mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan Iokal di dalam
merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri”.
Pribumisasi Islam yang menentang arabisasi kebudayaan
Indonesia adaIah salah satu gagasan Gus Dur yang kontroversial. Dasar
gagasannya adalah bahwa Islam harus dijabarkan menurut pemikiran
atau kebudayaan daerah di mana ia hidup.
Di antara masalah yang dihadapi oleh umat Islam adalah
bagaimana mempertemukan budaya (‘adah) dengan norma (syari’ah),
yang juga menjadi persoalan dalam ushul fiqh. Ia berpendapat, pada
dasarnya harus diupayakan titik temu antara keduanya. Ia mencontohkan
arsitektur mesjid Indonesia kuno yang selalu mempunyai atap tiga Iapis,
yang sekarang dipopulerkan Iagi oleh Yayasan AmaI Bakti Muslim
Pancasila, pada bangunan mesjid bantuannya. Atap tiga lapis ini
menggambarkan Iman, Islam, dan Ihsan. Atap tiga lapis ini diambil dari
simbolisasi pada masa Hindu-Budha, yang semula lapis sembilan, yang
menggambarkan lingkaran hidup manusia. Oleh Wali Songo, sembilan
lapis ini disisakan tinggal tiga disertai penggantian maknanya. Artinya,
mereka mengambil bentuk budayanya dan memberi isi lain. Mereka
melakukan penyesuaian dan tidak langsung membuat sesuatu yang sama
sekali baru. Contoh lain adalah adat yang berkembang di sekitar hari
pasaran (Jawa) yang dipadukan dengan hari-hari yang dikenal dalam
Islam. Perpaduan ini tidak melanggar syara’, tetapi dapat ngemong
budaya lokal.
Di Indonesia banyak nilal agama yang “terserap” dalam budaya
sehingga menimbulkan kesan budaya tersebut merupakan tampilan
agama dalam bentuk yang lain. Keuntungan sikap akomodatif terhadap
budaya adalah : di satu sisi masyarakat yang telah lama hidup dalam
suatu tradisi tidak merasa asing atau terancam dengan kehadiran Islam
dan di samping itu, Islam memiliki kemampuan mengkonversi tradisi
tersebut menjadi salah satu gugus dalam khazanah keislaman tanpa
merusak inti ajarannya. Sikap akomodatif memberikan nilai Iebih berupa
semakin dekatnya pesan ilahiah yang dibawa agama dengan realitas
kemanusiaan.
Menurut Hasyim Muzadi, keragaman budaya di Indonesia harus
disikapi melalui pendekatan kultural yang pro-pluralisme dan bukan
dengan gerakan purifikasi yang menyebabkan hilangnya kekayaan
budaya lokal yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai budaya Arab
yang oleh sebagian umat Islam diklaim sebagai budaya Islam.
Dengan pendekatan purifikasi, yang bermula dari penghakiman
secara hitam putih terhadap budaya (Islami atau tidak), kata Hasyim Muzadi, lambat laun menimbulkan konflik tersendiri di kalangan umat
Islam, di luar ketegangan yang sudah ada ketika mereka berbeda
pendapat dalam menafsirkan kitab suci.
Pendukung pendekatan akomodatif mengajak untuk menjaga agar
unsur-unsur manusiawi jangan sampai memalsukan pesan Ilahi yang
rawan dalam pendekatan purifikatif. Bagi mereka, puritarisasi berpotensi
menghapus semua unsur manusiawi, serta budaya lokal dan nasional
dimusuhi dan dianggap sebagai ancaman terhadap komurnian agama.
Pendekatan purifikatif yang “kurang toleran” untuk sebagian
memang mengandung bahaya dalam masyarakat yang pluralistik, tidak
saja antaragama, tetapi intern agama. Sekedar menyebut contoh,
sebagian muslim menganggap Pancasila sebagai konsep bid’ah Hindu-
Budhis. Padahal, bagaimanapun, Pancasila diperlukan sebagai pemersatu
bangsa. Sebaliknya, pendekatan akomodatif, setidak-tidaknya di tingkat
masyarakat awam, mengakibatkan kekaburan tentang mana yang Islam
dan mana pula yang budaya.
C. PIAGAM JAKARTA DAN PASAL 29 UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Kajian tentang kedudukan hukum Islam di Indonesia setelah
kemerdekaan harus dimulai dari pembicaraan tentang apa yang akan.
dijadikan dasar negara setelah Indonesia merdeka. Waktu itu ada
perbedaan pandangan yang cukup tajam antara golongan kebangsaan
dan golongan Islam.
Dalam perdebatan mengenai dasar negara itu, Wahid Hasyim mengusuIkan rumusan “Agama negara adalah Islam, dengan jaminan
bagi pemeluk agama lain untuk dapat beribadah menurut agamanya
masing masing”. Ia juga mengusulkan agar presiden dan wakilnya harus
beragama Islam. Hanya saja, Agus Salim keberatan terhadap usulan
tersebut mengingat janji perlindungan terhadap agama lain. Piagam
Jakarta merupakan usaha untuk memperjelas suatu struktur negara Islam
pada masa yang akan datang.
Piagam Jakarta, tidak berarti tarik-menarik telah sepenuhnya
selesai. Pada 10 Juli 45, Piagam Jakarta dipertanyakan oleh tokoh
nasionalis dan Kristen, seperti Wongsonegoro, Hoesein Djajadiningrat, dan Latuharhary, khawatir syariat akan menimbulkan masalah bagi
agama lain dan adat istiadat. Sebaliknya, dalam sidang Pleno Panitia 62
pada 14 Juli, Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan penghapusan kata
“bagi pemeluknya”, yang berarti syari’at harus dijalankan oleh semua
warga negara, baik Muslim maupun nonmuslim. Hadikusumo tidak
menginginkan adanya dua sistem hukum.
Perdebatan paling seru terjadi pada 15 Juli, ketika Kahar Muzakir dan Ki Bagus Hadikusumo dengan nada keras menyatakan kalau
Piagam Jakarta tidak disetujui, Iebih baik semua acuan pada agama Islam
dihapuskan saja. Ketegangan meningkat. Pada 16 Juli Soekarno menyerukan pada kaum nasionalis untuk bersedia berkorban dan
menerima Piagam Jakarta dan presiden harus orang yang beragama
Islam. Akhimya, semua usul tokoh NU yang mengambil, jalan tengah
antara usul tokoh Muhammadiyah dan kelompok nasionalis disetujui.
Perbedaan antara rumusan dalam Piagam Jakarta dan rumusan
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 adalah bahwa Pasal 29
Undang-Undang Dasar berbicara tentang “kemerdekaan”, sedangkan
Piagam Jakarta mencantumkan kata “kewajiban”. Jika Wahid Hasyim puas dengah rumusan “kemerdekaan”, berarti Ia memberikan penafsiran
liberal terhadap Piagam Jakarta.
Dari sembilan orang penanda tangan Piagam Jakarta, hanya tiga
orang - Soekarno, Hatta, dan Soebardjo (ketiganya adalah nasionalis
sekular) yang terlibat dalam proses pengubahan tersebut, sedangkan
enam orang lainnya tidak. Artinya, tidak seorang pun dari nasionalis Islami
yang terlibat. Keadaan ini memberikan dasar bagi pendapat : terdapat
fakta historis bahwa toleransi para nasionalis Islami dengan penyelesaian
kompromis tersebut, ternyata kemudian diabaikan dan ditentang oleh
nasionalis sekular.
Penghapusan kompromi tersebut menyebabkan kedudukan hukum
Islam menjadi samar-samar. Tokoh-tokoh Islam menerima pencoretan
tersebut karena :
1. Keadaan mendesak dan semangat persatuan, dan
2. Undang-undang dasar yang disahkan pada 18 Agustus 1945
dimaksudkan sebagai undang-undang dasar sementara.
Menurut Hatta, sebagaimana dikutip Yusril, meskipun rumusan
kompromis tersebut dihapuskan, semangatnya tidak lenyap; syariat Islam
yang hanya berhubungan dengan kepentingan umat Islam dapat diajukan
ke DPR untuk diatur dalam bentuk undang-undang.
Sebenarnya, rumusan dalam Piagam Jakarta, “dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab” telah menempatkan kedudukan
syariat Iebih rendah daripada kemanusiaan yang adil dan beradab.
Menurut A. Gani Abdullah, rumusan ini lahir dari persepsi (sebagian)
masyarakat yang menganggap hukum Islam kejam. Atas dasar itu,
Piagam Jakarta merumuskan pelaksanaan syari’at Islam menurut
kemanusiaan yang beradab. Maksudnya, hukum Islam tidak lagi kejam
karena harus didasarkan pada kemanusiaan.
Undang-Undang Dasar 1945 berlaku dalam dua periode. Periode
pertama, sejak disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 sampai
diberlakukannya Konstitusi RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Periode
kedua, sejak diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5
Juli 1959 sampal sekarang. Hingga akhir tahun 50-an, kekuatan gerakan
Islam masih relatif kompak menjadi pendukung Piagam Jakarta, termasuk
di dalamnya Nahdlatul Ulama (NU) yang dalam perkembangannya
meninggalkan Piagam Jakarta, sebagaimana akan diungkapkan di bawah.
Dalam suasana pemberontakan di mana-mana, pada bulan
Februari 1959, Kabinet Djuanda “mengakui bahwa Piagam Jakarta
tanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945”. Pengakuan
ini sangat penting untuk menghadapi umat Islam. Perdana Menteri
Djuanda menyatakan bahwa pengakuan tersebut tidak mengenai
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 saja, tetapi juga mengenai
Pasal 29-nya, yang harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang
keagamaan.
Penegasan bahwa Piagam Jakarta menjiwai Undang-Undang
Dasar 1945 itu, menurut Hazairin, adalah maha penting bagi penjelasan
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Tanpa penegasan
tersebut, dapat menimbulkan berbagai tafsiran yang absurd, seperti :
1. Penghapusan “delapan kata” dalam Piagam Jakarta adalah bukti
bahwa pihak Islam terpaksa berkapitulasi terhadap pihak lain, atau
2. Pihak Islam melepaskan tuntutannya bahwa negara berkewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi mereka, atau
3. Penghapusan tersebut tepat benar, karena syari’at Islam memang
harus dijalankan oleh pemeluk-pemeluknya, bukan oleh negara,
atau
4. Untung “delapan kata’ itu sudah dihapuskan, jika tidak, dapat
digunakan oleh pihak Islam sebagai bom waktu untuk mendirikan
negara Islam.
Penyebutan Piagam Jakarta dalam konsiderans Dekrit Presiden
membawa akibat hukum karena hukum Indonesia Iebih banyak
dipengaruhi oleh tradisi hukum Eropa Kontinental. Dalam konteks teori
Konstitusi Eropa Kontinental, kedudukan konsiderans justru lebih tinggi
daripada batang tubuhnya; berbeda dengan sistem hukum Anglo Saxon
yang menganggap “law’ hanya apa yang tertulis dalam pasal-pasal suatu
peraturan tertulis, sementara konsiderans, bahkan judul bab dan judul
pasal, tidak membawa akibat hukum.
Meskipun isi dari kalimat Undang-Undang Dasar 1945 sarna saat
berlaku pertama kali dengan yang kedua kali, tetapi suasana kebatinan
(geistlichem hintergrund)-nya berbeda. Pada yang pertama, “kalimat-
kalimat Islami disingkirkan, sedangkan pada yang kedua “kalimat-kalimat
Islami itu diraih kembali. Kedudukan hukum Islam dalam Undang-Undang
Dasar 1945 sesudah Dekrit Presiden Iebih kuat daripada dalam Undang-
Undang Dasar 1945 yang disahkan oleh PPKI. Menurut Ismail Suny,
seperti dikutip Yusril, jika Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan
oleh PPKI telah menghilangkan delapan kata dalam Piagam Jakarta,
dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang didekritkan, konstitusi itu dijiwai
oleh delapan perkataan itu. Menurut Ahmad Sanusi sebagaimana dikutip
Yusril, perkataan dijiwai berarti “memberi jiwa”, yakni memberi kehidupan
dan kekuatan.
Menurut Yusril, setelah … Dekrit Presiden 5 Juii 1959 itu,
merupakan suatu keharusan konstitusional bagi perumus politik hukum
negara RI untuk mempertimbangkan tempat yang sesuai bagi hukum
Islam”. Menurut Notonagoro, seperti dikutip Endang Saifuddin Anshari bahwa :
Kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pembukaan, setelah
tanggal 5 Juli 1959, tanggal ditetapkannya dan berlakunya Dekrit
Presiden, isi artinya mendapat tambahan, dan lengkapnya dengan
tambahan itu ialah “kesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang Maha
Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab”. Begitulah juga halnya dengan isi arti daripada Pasal 29
ayat (1) Undang-Undang Dasar.