jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-bab-3

17
BAB III TENTANG EVOLUSI AGAMA MENURUT E.B TYLOR A. Biografi E.B. Tylor dan Karya-Karyanya E.B.Tylor termasuk tokoh yang beraliran klasik. Dia mendapatkan pendidikan secara privat dan tidak pernah memasuki dunia Perguruan Tinggi. Pada tahun 1856 dia pergi bersama Henry Christy seorang ahli prasejarah ke Meksiko, dan kemudian pada tahun 1861 dia menerbitkan bukunya yang merupakan karya pertamanya yaitu Anahuac, Or Mexico And Mexicants, Ancient And Modern. Karyanya yang sangat terkenal adalah yang berjudul” Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language. Art and Custom yang terbit pada tahun 1871. Dalam karyanya ini, salah satu lembaga yang ditelitinya dalam perkembangan evolusi adalah evolusi religi. Dalam uraiannya, E.B.Tylor mendahului analisisnya dengan suatu statemen bahwa tidak ada satu bangsa di dunia ini yang tidak mengneanl agama. Minimum adalah animisme yaitu kepercayaan akan adanya spiritual being. 1 Karena pembahasan utamanya mengenai animisme, maka yang merupakan hal paling pokok adalah jiwa (soul) di mana orang-orang primitif sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pertama, apakah yang menyebabkan manusia hidup dan mati, demikian juga yang menyebabkan manusia tidak sadar, bangun atau terjaga, sakit dan mati. Kedua, apa yang muncul pada 1 Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama, Jilid I, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 81-83 34

Upload: bondan-lesmana

Post on 20-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

SSS

TRANSCRIPT

Page 1: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

BAB III

TENTANG EVOLUSI AGAMA MENURUT E.B TYLOR

A. Biografi E.B. Tylor dan Karya-Karyanya

E.B.Tylor termasuk tokoh yang beraliran klasik. Dia mendapatkan

pendidikan secara privat dan tidak pernah memasuki dunia Perguruan Tinggi.

Pada tahun 1856 dia pergi bersama Henry Christy seorang ahli prasejarah ke

Meksiko, dan kemudian pada tahun 1861 dia menerbitkan bukunya yang

merupakan karya pertamanya yaitu Anahuac, Or Mexico And Mexicants,

Ancient And Modern. Karyanya yang sangat terkenal adalah yang berjudul”

Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology,

Philosophy, Religion, Language. Art and Custom yang terbit pada tahun 1871.

Dalam karyanya ini, salah satu lembaga yang ditelitinya dalam perkembangan

evolusi adalah evolusi religi. Dalam uraiannya, E.B.Tylor mendahului

analisisnya dengan suatu statemen bahwa tidak ada satu bangsa di dunia ini

yang tidak mengneanl agama. Minimum adalah animisme yaitu kepercayaan

akan adanya spiritual being.1

Karena pembahasan utamanya mengenai animisme, maka yang

merupakan hal paling pokok adalah jiwa (soul) di mana orang-orang primitif

sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pertama, apakah yang menyebabkan

manusia hidup dan mati, demikian juga yang menyebabkan manusia tidak

sadar, bangun atau terjaga, sakit dan mati. Kedua, apa yang muncul pada

1 Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama, Jilid I, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 81-83

34

Page 2: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

35

waktu orang sedang tidur atau mimpi. Dari sini kemudian dia menyimpulkan

adanya dua hal yang ada pada manusia yaitu kehidupannya dan bayangannya.

Kemudian pendapatnya meningkat pada uraiannya tentang soul.

Menurut E.B. Tylor, “soul” adalah gambaran, bayangan dari manusia yang

sangat lembut dan halus, seolah-olah uap. Soul tidak tergatung pada

pemiliknya baik dahulu maupun sekarang. Soul ini mempunyai kesadaran

pribadi yang dapat meninggalkan jasad atau badan dan dapat berpindah dari

satu tempat ke tempat lain. Soul ini tidak dapat dilihat, namun dapat

menyebabkan daya kekuatan fisik dan dapat muncul pada saat manusia, dalam

keadaan bangun atau terjaga (tidak tidur), maupun dalam keadaan tidur, dalam

bentuk seolah-olah seperti hantu atau setan. Soul ini sekalipun sudah

meninggalkan jasad atau badan lain baik manusia, hewan, maupun benda-

benda, dan mampu menggerakkan yang ditempatinya. Definisi atau batasan

soul ini dapat digunakan untuk meneliti fenomena animisme pada semua

bangsa.

Mengenai “spirit”, diuraikannya bahwa setelah manusia meninggalkan,

maka soulnya pergi ke dunia atau alam spirit dan menjadi makhluk-makhluk

halus. Spirit dapat merasuk dan menempati benda-benda, kita harus mengingat

bahwa kepercayaan tentang fetish, ‘fetishisme’ memberi pengertian adanya

spirit dan soul tersebut menimbulkan kepercayaan dan pemujaan serta

penyembahan terhadap arwah para leluhur, pemujaan terhadap patung-patung

dan benda-benda yang mempunyai jiwa.

Page 3: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

36

Dalam tahapan kedua mengenai evolusi religi, manusia percaya bahwa

semua fenomena alam yang bergerak adalah disebabkan oleh spirit, dan

kemudian dipersonifikasikan sebagai makhluk-makhluk atau pribadi-pribadi

yang mempunyai kemauan, pikiran dan kehendak. Dalam perkembangan

selanjutnya, makhluk-makhluk yang ada dibalik fenomena alam ini disebut

sebagai “dewa-dewa alam”.

Kemudian dalam tahapan ketiga evolusi Religi, ternyata bertautan dan

berjalan dengan perkembangan suatu masyarakat yang terwujud dalam

susunan dan tata pemerintahan, yaitu muncul kepercayaan bahwa tokoh-tokoh

leluhur atau ‘dewa-dewa’ tadi juga hidup dalam suatu susunan lapisan-lapisan

tata pemerintahan yang serupa dengan dunia manusia yang masih hidup.

Tokoh-tokoh leluhur atau ‘dewa-dewa’ mempunyai pangkat-pangkat

kedudukan tertentu, berlapis-lapis, bertingkat-tingkat, mulai dari yang

terendah sampai yang tertinggi, sehingga dalam perkembangannya kemudian

muncullah satu tokoh atau satu “dewa” yang tertinggi saja dan ini sangat

berpengaruh serta menentukan baik terhadap alamnya maupun terhadap

manusia yang masih di dunia ini.

Pendapat-pendapat dan konsep maupun teori E.B. Tylor ini kemudian

ternyata tidak dapat bertahan, karena ternyata evolusi klasik dihadapkan pada

suatu suasana sosial di mana di Barat sendiri, perkembangan masyarakat

secara mekanis bergerak ke arah kemajuan yang menyeluruh. Demikian juga

timbulnya pengaruh dari filsafat tentang ‘Relatifisme Kultur’. Karena itu

tidaklah mengherankan bahwa dalam perkembangannya kemudian teori

Page 4: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

37

evolusi klasik ini digoyahkan oleh perubahan pandangan dan filsafat

masyarakat sendiri. Dalam bidang antropologi sendiri, teori evolusi mendapat

kritik yang santer juga sehingga pada sekitar abad kedua puluh banyak ahli-

ahli antropologi yang meninggalkannya.2

Edward Burnett Tylor yang sering disingkat dengan nama E.B. Tylor

(1832-1917) adalah orang Inggris yang mula-mula mendapatkan pendidikan

dalam kesusastraan dan peradaban Yunani serta Rum klasik dan baru

kemudian tertarik akan ilmu arkeologi.3 Karena ia mendapat kesempatan

untuk turut dengan keluarganya berkelana ke Afrika dan Asia, ia menjadi

tertarik untuk membaca etnografi.4

E.B Tylor sebagai orang yang dianggap memiliki kemahiran dalam

ilmu arkeologi, maka dalam tahun 1856 ia turut dengan suatu ekspedisi

Inggris untuk menggali benda-benda arkeologi di Mexico. Walaupun ia hanya

turut sebagai asisten saja, namun ia dapat menghasilkan sebuah buku sendiri

mengenai kebudayaan Mexico kuno dibandingkan dengan kebudayaan

Mexico masa kini, berjudul Anahuac, or Mexico and the Mexicans, Ancient

and Modern (1861). Buku ini merupakan hasil karya Tylor yang pertama, dan

beratus-ratus buku serta karangan yang lain terbit kemudian, baik dari waktu

sebelum ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Oxford dalam tahun

2 Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama Bagian I, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 81-

83. 3 Arkeologi adalah ilmu tentang kehidupan dan kebudayaan zaman kuno berdasarkan

benda peningglannya, seperti patung dan perkaks rumah tangga (ilmu purbakala). Lihat Tim Penyusuhn Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, hlm. 63.

4 Etnografi adalah deskripsi tentang kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup; atau ilmu tentang pelukisan kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup tersebar dimuka bumi. Lihat Sutan Muhammad Zaen, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Yayasan Darma, tt, hlm. 309.

Page 5: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

38

1883, maupun setelah itu merupakan sumbangannya terhadap perkembangan

antropologi.5 Dari karangan-karangan itu, terutama dari buku yang tebalnya

dua jilid berjudul Researches into the Early History of Mankind (1871),

tampak pendiriannya sebagai penganut cara berpikir evolusionisme. Menurut

uraiannya sendiri, seorang ahli antropologi bertujuan mempelajari sebanyak

mungkin kebudayaan yang beranekaragam di dunia, mencari unsur-unsur

persamaan dalam kebudayaan-kebudayaan itu, dan kemudian

mengkelaskannya berdasarkan unsur-unsur persamaan itu sedemikian rupa,

sehingga tampak sejarah evolusi kebudayaan manusia itu dari satu tingkat

ketingkat yang lain.

Suatu penelitian serupa itu dilakukan sendiri dengan mengambil

sebagai pokok, unsur-unsur kebudayaan seperti sistem religi, kepercayaan,

kesusastraan, adat istiadat, upacara, dan kesenian. Penelitian itu menghasilkan

karyanya yang terpenting, yaitu dua jilid Primitive Culture: Researches into

the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language. Art and

Custom (1874).

Dalam buku itu ia juga mengajukan teorinya tentang asal mula religi

yang berbunyi sebagai berikut: asal mula religi adalah kesadaran manusia

akan adanya jiwa. Kesadaran akaan paham jiwa itu karena dua hal, yaitu

1. perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dsan hal-

hal yang mati.satu organisma pada satu saat bergerak-gerak, artinya hidup,

tetapi tak lama kemudian organisma itu tak bergerak lagi, artinya

5 Kuntjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta,

1987, hlm. 46-48.

Page 6: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

39

mati.maka manusia mulai sadar akan adanya suatu kekuatan yang

menyebabkan gerak itu, yaitu jiwa.

2. Peristiwa mimpi dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-

tempat lain (bukan di tempat di mana ia sedang tidur). Maka manusia

mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan

suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat lain. Bagian

lain itulah yang disebut jiwa

B. Pendapat E.B. Tylor Tentang Evolusi Agama

Sebagaimana telah diterangkan dalam biografinya, bahwa dalam

penelitiannya yang dilakukan sendiri dengan mengambil sebagai pokok

penelitian, dengan unsur-unsur kebudayaan seperti sistem religi, kepercayaan,

kesusastraan, adat istiadat, upacara, dan kesenian. Penelitian itu menghasilkan

karyanya yang terpenting, yaitu dua jilid Primitive Culture: Researches into

the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language. Art and

Custom (1874). Dalam buku itu E.B. Tylor mengajukan teori tentang asal

mula agama, yang berbunyi sebagai berikut: asal mula agama adalah

kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran akan paham jiwa itu

disebabkan karena dua hal, yaitu:

1. Perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-

hal yang mati. Satu organisma pada suatu saat bergerak-gerak, artinya

hidup, tetapi tak lama kemudian organisma itu tak bergerak lagi, artinya

mati. Dalam kondisi seperti ini, manusia mulai sadar akan adanya suatu

kekuatan yang menyebabkan gerak itu, yaitu jiwa.

Page 7: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

40

2. Peristiwa mimpi dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-

tempat lain (bukan di tempat di mana ia sedang tidur). Maka manusia

mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada di tempat tidur, dan

suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat lain. Bagian

lain itulah yang disebut jiwa.6

Dalam Ensiklopedi Agama dan Filsafat dijelaskan bahwa animisme

berasal dari kata anima artinya nyawa atau ruh. Di dalam artian teknis artinya

kepercayaan terhadap adanya ruh dan nyawa pada setiap isi alam ini. Manusia,

pohon, sungai, gunung atau lautan mempunyai nyawa atau roh. Inilah

animisme yang pertama kali diperkenalkan pertama kali oleh E.B.Tylor Tahun

1807. oleh karena itu kadang-kadang sukar dibedakanantara animisme dengan

politheisme. Animisme itu meliputi berbagai kepercayaan.7

(1) Di dunia ini tidak ada benda yang tidak berjiwa; (2) Yang terpenting

adalah jiwa dan bukan benda (materi) karena tanpa jiwa maka semuanya akan

mati; (3) Matahari, bulan, bintang bergerak dan bercahaya karena mempunyai

jiwa. Itulah sebabnya ia menganggap animisme adalah paham, semua benda

mempunyai roh.8

Sifat abstrak dari jiwa itu menimbulkan keyakinan pada manusia

bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmaninya. Pada hidup,

jiwa itu masih tersangkut kepada tubuh jasmani, dan hanya dapat

meninggalkan tubuh waktu manusia tidur atau pingsan. Karena pada saat-saat

6 Kuntjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Dian Rakyat, 1977, hlm. 220. 7 Mochtar Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Entri A-B, Universitas Sriwijaya,

Palembang, 2000, hlm.256. 8 Ibid

Page 8: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

41

serupa itu kekuatan hidup pergi melayang, maka tubuh dalam keadaan lemah.

Tetapi E.B. Tylor berpendirian bahwa walaupun sudah melayang, hubungan

jiwa dengan jasmani pada saat tidur atau pingsan tetap ada. Hanya apabila

manusia mati, jiwa maleyang terlepas, dan terputuslah hubungan dengan tubuh

jasmani untuk selama-lamanya. Hal itu jelas terlihat apabila tubuh jasmani

sudah hancur, berubah menjadi debu di dalam tanah atau hilang berganti

menjadi abu di dalam api upacara pembakaran mayat. Jiwa yang telah

merdeka terlepas dari jasmaninya itu dapat berbuat sekehendaknya. Alam

semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka itu, yang oleh E.B. Tylor tidak

disebut soul atau jiwa lagi, tetapi disebut spirit (makhluk halus atau roh).

Dengan demikian pikiran manusia telah mentransformasikan kesadarannya

akan adanya jiwa menjadi keyakinan kepada makhluk-makhluk halus.9

Pada tingkat tertua dalam evolusi agamanya, manusia percaya bahwa

makhluk-makhluk halus itulah yang menempati alam sekeliling tempat

tinggalnya. Makhluk-makhluk halus yang tinggal dekat tempat tinggal

manusia itu, yang bertubuh halus sehingga tidak dapat tertangkap oleh panca

indera manusia, mendapat tempat yang sangat penting dalam kehidupan

manusia, sehingga menjadi obyek penghormatan dan penyembahannya, yang

disertai berbagai upacara berupa doa, sajian atau korban. Agama serupa itulah

yang oleh E.B. Tylor disebut animism.10

9Hilman Hadi Kusuma, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya Terhadap

Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Kong Hukum Cu, di Indonesia), PT Citra aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 31.

10 Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama, Jilid I, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 81-83.

Page 9: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

42

Kemudian E.B. Tylor melanjutkan teorinya tentang asal mula agama

dengan suatu uraian tentang evolusi agama, yang berdasarkan cara berpikir

evolusionisme. Katanya, animisme yang pada dasarnya merupakan keyakinan

kepada roh-roh yang mendiami alam semesta sekeliling tempat tinggal

manusia merupakan bentuk religi yang tertua. Pada tingkat kedua dalam

evolusi religi, manusia yakin bahwa gerak alam yang hidup itu juga

disebabkan adanya jiwa dibelakang peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala alam

itu. Sungai-sungai yang mengalir dan terjun ke laut, gunung-gunung yang

meletus, gempa bumi, angin topan, gerak matahari, tumbuhnya tumbuhan;

pokoknya seluruh gerak alam disebabkan oleh makhluk-makhluk halus yang

menempati alam.11

Jiwa alam itu kemudian dipersonifikasikan dan dianggap seperti

makhluk-makhluk yang memiliki suatu kepribadian dengan kemauan dan

pikiran, yang disebut dewa-dewa alam. Pada tingkat ketiga dalam evolusi

religi, bersama dengan timbulnya susunan kenegaraan dalam masyarakat

manusia, timbul pula keyakinan bahwa dewa-dewa alam itu juga hidup dalam

suatu susunan kenegaraan, serupa dalam dunia makhluk manusia. Maka

terdapat pula suatu susunan pangkat dewa-dewa, mulai dari raja dewa-dewa

sebagai dewa tertinggi, sampai pada dewa-dewa yang terendah pangkatnya.

Susunan serupa itu lambat laun menimbulkan kesadaran bahwa semua dewa

itu pada hakekatnya hanya merupakan penjelmaan dari satu dewa saja, yaitu

dewa yang tertinggi. Akibat dari keyakina itu adalah berkembangnya

11 E.E Evan Pritchard, Teori-Teori Tentang Agama Primitif, PLP2M, Pusat Latihan

Penelitian dan Pengembangan Masyarakat, Yogyakarta, 1984, hlm. 32.

Page 10: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

43

keyakinan kepada satu Tuhan dan timbulnya agama-agama yang bersifat

monoteisme sebagai tingkat yang terakhir dalam evolusi religi manusia.12

Penelitian E.B. Tylor mengenai tingkat-tingkat evolusi kebudayaan

manusia telah menimbulkan padanya konsep survivals. Para sarjana penganut

teori tentang tingkat-tingkat evolusi kebudayaan tentu mempunyai suatu

konsepsi tentang bentuk kebudayaan bagi tiap-tiap tingkat. Dengan demikian

tiap tingkat mempunyai kebudayaan teladan masing-masing.13 Walaupun

demikian di antara kebudayaan-kebudayaan yang ditelitinya tidak ada satu pun

yang seratus persen cocok atau memenuhi syarat-syarat dari contoh-contoh

kebudayaan yang dikonstruksikan secara teoritis oleh para ahli evolusionisme

sendiri. Dalam kenyataan, pada semua kebudayaan itu ada beberapa unsur

yang tidak terdapat dalam kebudayaan teladan, sehingga secara teori tidak

dapat dimasukkan ke dalam salah satu tingkat evolusi tertentu. E.B. Tylor

memecahkan persoalan itu dengan suatu pendirian bahwa unsur-unsur itu

adalah unsur-unsur sisa-sisa dari kebudayaan-kebudayaan yang berasal dari

suatu tingkat evolusi sebelumnya. Unsur-unsur itu merupakan survivals.

Dengan demikian, paham suvivals itu menjadi alat yang penting sekali bagi

12 Robert Brow, Asal Mula Agama (Religion, Original, Ideas), terj. Stanley Heath, Ruth

Rahmat, Iskandri K. Iskandar, Tonis, Bandung, 1986, hlm. 14. 13 Kebudayaan menurut Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan

kebudayaan sebagai semua hasil karya rasa dan cipta masyarakat. Lihat Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, edisi Pertama, Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1964, hlm. 113. lihat juga Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, CV Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 167.

Page 11: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

44

para penganut evolusionisme dalam menganalisa kebudayaan-kebudayaan dan

dalam menentukan tingkat-tingkat evolusi dari tiap kebudayaan itu.14

Kecuali sebagai survivals, E.B. Tylor sering juga menerangkan adanya

unsur-unsur kebudayaan yang tidak termasuk kebudayaan teladan sebagai

akibat persebaran dan pengaruh kebudayaan lainnya. Terutama dalam

bukunya mengenai perkembangan agama tersebut di atas dan juga dalam

beberapa karangan kecil lainnya, E.B. Tylor menerangkan adanya unsur-unsur

kebudayaan seperti motif dengan mitologi, permainan, bentuk bajak, bentuk

tiang keramat (tiang totem), motif perhiasan, alat pertanian dan sebagainya,

sebagai akibat dari persebaran pengaruh kebudayaan-kebudayaan tetangga.15

Di antara beratus-ratus karangan E.B. Tylor, maka salah satunya

menjadi pangkal dari suatu metode penelitian baru, yang kurang lebih empat

puluh tahun kemudian berkembang dalam ilmu antropologi, yaitu

karangannya On a Method of Investigating the Development of Institutions;

Applied to the Laws of Marriage and Decent (1889). Dalam karangan itu

antara lain mencoba menunjukkan dengan bukti angka-angka statistika

bagaimana tingkat matriarchate berevolusi ke tingkat patriarchate (suatu

pendirian yang mula-mula berasal dari J.J. Bachofen). Ia mengambil tiga ratus

masyarakat yang tersebar di berbagai tempat di dunia, dan khusus

memperhatikan adat istiadat yang bersangkutan dengan perkawinan, lalu

mencoba menghitung berapa kali sesuatu unsur dalam adat istiadat

14 Francisco Jose Moreno, Agama dan Akal Fikiran Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa

Manusiawi, terj. M. Amin Abdullah, CV Rajawali, Jakarta, 1989, hlm. 129. 15 Koenjtaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Universitas Indonesia (UI Perss), Jakarta,

1987, hlm. 51.

Page 12: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

45

perkawinan berdampingan dengan unsur yang lain dalam ketiga ratus

masyarakat itu. Mengenai adat couvade misalnya ia mendapatkan bahwa adat

itu tidak pernah berdampingan dengan sistem matriarchate, sedangkan ada

delapan masyarakat di mana couvade berdampingan dengan patriarchate, dan

ada duapuluh masyarakat di mana couvade berdampingan dengan sistem

patriarchate yang masih mengandung ciri-ciri matriarchate. Oleh E.B. Tylor

angka-angka serupa itu dianggap sebagai bukti bahwa adat couvade

dimaksudkan untuk memperkuat hubungan antara ayah dengan si anak di

dalam masa perubahan dari tingkat matriarchate ke tingkat patrirchate.

Demikian juga ia memperhitungkan hubungan-hubungan korelasi lain yang

disebutnya adhesions antara unsur kebudayaan yang bersangkutan dengan

sistem kekerabatan dengan menggunakan metode-metode statistik. Lepas dari

kesimpulan-kesimpulan dari tiap perhitungan yang selalu dihubungkan oleh

E.B. Tylor dengan perkembangan evolusi masyarakat, metode untuk

membandingkan unsur-unsur kebudayaan dalam jumlah kebudayaan yang

besar (misalnya tiga ratus buah), diterapkan secara luas oleh para sarjana

antropologi yang melakukan penelitian-penelitian cross-culttural..16

Dalam uraiannya, E.B. Tylor mendahului analisisnya dengan suatu

statemen bahwa tidak ada satu bangsa di dunia ini yang tidak mengenal

agama. Minimum adalah animisme yaitu kepercayaan akan adanya Spiritual

Being.

16 Ibid, hlm. 51-53.

Page 13: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

46

Karena pembahasan utamanya mengenai animisme, maka yang

merupakan hal pokok adalah pada jiwa (soul) di mana orang-orang primitif

sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pertama, apakah yang menyebabkan

manusia hidup dan mati, demikian juga yang menyebabkan manusia tidak

sadar, bangun atau terjaga, sakit dan mati. Kedua, apa yang muncul pada

waktu orang sedang tidur atau mimpi. Dari sini kemudian dia menyimpulkan

adanya dua hal yang ada pada manusia yaitu kehidupannya dan bayangannya.

Kemudian pendapatnya meningkat pada uraiannya tentang soul.

Menurut E.B. Tylor, “soul” adalah gambaran, bayangan dari manusia yang

sangat lembut dan halus, seolah-olah uap. Soul tidak tergatung pada

pemiliknya baik dahulu maupun sekarang. Soul ini mempunyai kesadaran

pribadi yang dapat meninggalkan jasad atau badan dan dapat berpindah dari

satu tempat ke tempat lain. Soul ini tidak dapat dilihat, namun dapat

menyebabkan daya kekuatan fisik dan dapat muncul pada saat manusia, dalam

keadaan bangun atau terjaga (tidak tidur), maupun dalam keadaan tidur, dalam

bentuk seolah-olah seperti hantu atau setan. Soul ini sekalipun sudah

meninggalkan jasad atau badan lain baik manusia, hewan, maupun benda-

benda, dan mampu menggerakkan yang ditempatinya. Definisi atau batasan

soul ini dapat digunakan untuk meneliti fenomena animisme pada semua

bangsa.

Mengenai “spirit”, diuraikannya bahwa setelah manusia meninggalkan,

maka soulnya pergi ke dunia atau alam spirit dan menjadi makhluk-makhluk

halus. Spirit dapat merasuk dan menempati benda-benda, kita harus mengingat

Page 14: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

47

bahwa kepercayaan tentang fetish, ‘fetishisme’ memberi pengertian adanya

spirit dan soul tersebut menimbulkan keprcayaan dan pemujaan serta

penyembahan terhadap arwah para leluhur, pemujaan terhadap patung-patung

dan benda-benda yang mempunyai jiwa, dan syamanisme.

Dalam tahapan kedua mengenai evolusi religi, manusia percaya bahwa

semua fenomena alam yang bergerak adalah disebabkan oleh spirit, dan

kemudian dipersonifikasikan sebagai makhluk-makhluk atau pribadi-pribadi

yang mempunyai kemauan, pikiran dan kehendak. Dalam perkembangan

selanjutnya, makhluk-makhluk yang ada dibalik fenomena alam ini disebut

sebagai “dewa-dewa alam”.

Kemudian dalam tahapan ketiga evolusi Religi, ternyata bertautan dan

berjalan dengan perkembangan suatu masyarakat yang terwujud dalam

susunan dan tata pemerintahan, yaitu muncul kepercayaan bahwa tokoh-tokoh

leluhur atau ‘dewa-dewa’ tadi juga hidup dalam suatu susunan lapisan-lapisan

tata pemerintahan yang serupa dengan dunia manusia yang masih hidup.

Tokoh-tokoh leluhur atau ‘dewa-dewa’ mempunyai pangkat-pangkat

kedudukan tertentu, berlapis-lapis, bertingkat-tingkat, mulai dari yang

terendah sampai yang tertinggi, sehingga dalam perkembangannya kemudian

muncullah satu tokoh atau satu “dewa” yang tertinggi saja dan ini sangat

berpengaruh serta menentukan baik terhadap alamnya maupun terhadap

manusia yang masih di dunia ini.

Pendapat-pendapat dan konsep maupun teori E.B. Tylor ini kemudian

ternyata tidak dapat bertahan, karena ternyata evolusi klasik dihadapkan pada

Page 15: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

48

suatu suasana sosial di mana di Barat sendiri, perkembangan masyarakat

secara mekanis bergerak ke arah kemajuan yang menyeluruh. Demikian juga

timbulnya pengaruh dari filsafat tentang ‘Relatifisme Kultur’. Karena itu

tidaklah mengherankan bahwa dalam perkembangannya kemudian teori

evolusi klasik ini digoyahkan oleh perubahan pandangan dan filsafat

masyarakat sendiri. Dalam bidang antropologi sendiri, teori evolusi mendapat

kritik yang santer juga sehingga pada sekitar abad kedua puluh banyak ahli-

ahli antropologi yang meninggalkannya.17

C. Latar Belakang dan Alasan E.B. Tylor Mengemukakan Evolusi Agama

Sarjana yang dianggap pertama kali mengemukakan pendapat bahwa

asal mula dari agama yaitu animisme (paham tentang jiwa atau roh) adalah

sarjana Antropologi Inggris E. B. Tylor dalam bukunya “Primitive Culture”,

Researches Into the Development of Mythology, Philosophy, Religion,

Language, Art and Custom (1873). Ia berpendapat asal mula agama adalah

kepercayaan manusia tentang adanya jiwa. Mengapa manusia sederhana itu

menyadari tentang adanya jiwa atau roh, maka dalam hal ini E.B.Tylor

membuat alasan bahwa dikarenakan yang nampak dan dialaminya sebagai

berikut:

1. Peristwa hidup dan mati

Bahwa adanya hidup karena adanya gerak, dan gerak itu terjadi

karena adanya jiwa. Selama jiwa itu ada dalam tubuh maka nampak tubuh

17 Zakiah Daradjat, Perbandingan Agama Bagian I, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm.

81-83.

Page 16: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

49

itu bergerak, apabila jiwa itu lepas dari tubuh berarti mati dan tubuh tidak

bergerak lagi.

2. Peristiwa mimpi

Bahwa ketika manusia itu tidur atau pingsan ia mengalami mimpi

di mana tubuh itu diam dan masih ada gerak (nafas), tetapi ia tidak sadar

karena sebagian dari jiwanya terlepas dan gentayangan ke tempat lain,

sehingga jiwa yang terlepas itu bertemu dengan jiwa yang lain, baik jiwa

manusia yang masih hidup atau yang sudah mati, mungkin juga dengan

jiwa makhluk yang lain. Kemudian setelah jiwa itu kembali ke dalam

tubuh maka ia menjadi sadar, ingat dan bergerak kembali.18

Dalam konteksnya dengan pendapat E. B. Tylor di atas yang

pembahasan utamanya mengenai animisme, maka yang paling merupakan hal

yang pokok adalah pada jiwa (soul) di mana orang-orang primitif sangat di

pengaruhi oleh dua hal yaitu pertama apakah yang menyebabkan manusia

hidup dan mati, demikian juga yang menyebabkan manusia tidak sadar

bangun atau terjaga, sakit dan mati. Kedua, apa yang muncul pada orang

sedang tidur atau mimpi. Dari sini kemudian dia menyimpulkan adanya dua

hal yang ada pada manusia yaitu kehidupannya dan bayangannya.19

Sebagai fenomena religius, animisme tampaknya bersifat universal,

terdapat dalam semua agama, bukan pada orang-orang primitif saja, meskipun

penggunaan populer dari istilah itu sering dikaitkan dengan agama-agama

18 H. Hilman Hadi Kusuma, Antropologi Agama Bagian I (Pendekatan Budaya terhadap

Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, di Indonesia), PT. Citra Adtya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 29.

19 Zakiah Daradjat, dkk., Perbandingan Agama I, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 81.

Page 17: jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-3

50

“primitif” atau masyarakat kesukuan. Animisme dapat kita definisikan

sebagai kepercayaan pada makhluk-makhluk adikodrati yang

dipersonalisasikan. Manifestasinya adalah dari Roh yang Mahatinggi hingga

pada roh halus yang tak terhitung banyaknya, roh leluhur, roh dalam obyek-

obyek alam.20

Jika dikaji teori E. B. Tylor, bahwa pada intinya ia menganggap asal mula

dari agama adalah animisme (paham tentang jiwa atau roh). Alasannya: (1)

Di dunia ini tidak ada benda yang tidak berjiwa; (2) Yang terpenting adalah

jiwa dan bukan benda (materi) karena tanpa jiwa maka semuanya akan mati;

(3) Matahari, bulan, bintang bergerak dan bercahaya karena mempunyai jiwa.

Itulah sebabnya ia menganggap animisme adalah paham, semua benda

mempunyai roh.

20 Mariasusai Dhavamony, terj. A. Sudiarja et.al, Fenomenologi Agama, Kanisius,

Yogyakarta, 1995, hlm. 67.