analisis pendapat imam al-syafi'i tentang...

103
1 ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG HAKAM TIDAK MEMILIKI KEWENANGAN DALAM MENCERAIKAN SUAMI ISTRI YANG SEDANG BERSELISIH SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I Dalam Ilmu Syari’ah Oleh: ANIK MUKHIFAH NIM: 2103072 JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH FAKULTAS SYARI’AH IAIN WALISONGO SEMARANG 2010

Upload: vutu

Post on 16-Apr-2018

229 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

1

ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG

HAKAM TIDAK MEMILIKI KEWENANGAN DALAM

MENCERAIKAN SUAMI ISTRI YANG SEDANG BERSELISIH

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh:

ANIK MUKHIFAH

NIM: 2103072

JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH

IAIN WALISONGO SEMARANG

2010

Page 2: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

2

Page 3: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

3

Page 4: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

4

M O T T O

������� ��� �������� ������ ��� ������ ����������� ����������� ����� �!"#�$�% �&�'��))�*�+� :-.(

Artinya: "Dan jika kamu mengkhawatirkan terjadinya persengketaan antara

keduanya (suami istri), maka kirimkanlah seorang juru damai dari

keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.

(QS. An-Nisa': 35)".∗

∗∗∗∗Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an

dan Terjemahnya, Surabaya: Depag RI, 1986, hlm. 123.

Page 5: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

5

Buat sendiri

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk:

o Orang tuaku tercinta dan Mertuaku tercinta yang selalu memberi semangat,

membimbing dan mengarahkan hidupku, yang memberi tahu arti hidup ini.

o Suamiku terkasih (Rochmad Rully Rudini), yang selalu tak henti-hentinya

memberi semangat dan motivasi dalam hidup ini terutama dalam

menyelesaikan studi dan khususnya skripsi ini serta mendampingiku dalam

suka dan duka.

o Kakak dan adikku (Mbak Isih Siti Fatimah S.Pdi, Mas adib Ghozali SHi, Adik

Rosita Noor Farida Amd., Dik H. Fachrul Arif, Dik Muh Ulin Nuha, dan

Keponakanku Ziyada Mauhiba, Faras Naura Khasanah). Semoga selalu dalam

lindungan Allah SWT. Amin.

o Teman-Temanku yang tak dapat kusebutkan satu persatu yang selalu bersama-

sama dalam meraih cita-cita

Penulis

Page 6: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

6

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,

penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak

berisi materi yang telah pernah ditulis oleh

orang lain atau diterbitkan. Demikian juga

skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-

pemikiran orang lain, kecuali informasi yang

terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan

rujukan.

Semarang, 01 Juni 2010

ANIK MUKHIFAH

NIM: 2103072

A.

Page 7: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

7

ABSTRAK

Islam mengajarkan jika terjadi perpecahan antara suami-istri sehingga

timbul permusuhan yang dikhawatirkan mengakibatkan pisah dan hancurnya

rumah tangga, maka hendaknya diadakan hakam (wasit) untuk memeriksa

perkaranya dan hendaklah hakam ini berusaha mengadakan perdamaian guna

kelanggengan kehidupan rumah tangga dan hilangnya perselisihan. Pernyataan

Imam al-Syafi'i ini mengisyaratkan bahwa hakam tidak memiliki kewenangan

untuk menceraikan suami istri yang sedang berselisih. Sebagai perumusan

masalah yaitu apa pendapat Imam al-Syafi'i tentang hakam? Bagaimana

metode istinbat hukum Imam al-Syafi'i tentang hakam yang tidak memiliki

kewenangan dalam menceraikan suami istri yang sedang berselisih?

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Sumber data

primernya yaitu karya-karya Imam Al-Syafi'i yaitu Al-Umm dan (2) Kitab al-

Risalah sedangkan sumber data sekundernya yaitu literatur lainnya yang

relevan dengan judul di atas. Dalam pengumpulan data ini penulis

menggunakan teknik library research (penelitian kepustakaan). Pemilihan

kepustakaan diseleksi sedemikian rupa dengan mempertimbangkan aspek

mutu atau kualitas dari kemampuan pengarangnya. dan dianalisis dengan

deskriptif analitis.

Hasil penulisan menunjukkan bahwa menurut Imam al-Syafi'i, apabila

suami istri bersengketa, sementara suami atau istri itu tidak ada yang mau

mengalah, sehingga jika situasi perselisihan dibiarkan berkepanjangan maka

tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian bahkan permusuhan yang

menimbulkan saling benci dan dendam, maka hendaknya ada seorang hakam

sebagai juru wasit yang mendamaikan kedua belah pihak. Kedua hakam ini

tentunya hakam dari keluarga suami dan hakam dari keluarga istri. Hakam

tersebut hanya boleh mendamaikan dan mencari solusi yang dapat

menghentikan perselisihan. Kedua hakam tidak boleh menyuruh suami istri itu

untuk bercerai. Dengan kata lain kedua hakam tidak mempunyai kewenangan

untuk memisahkan suami istri itu jika tidak diminta suami yang berselisih itu.

Dalam hubungannya dengan metode istinbath hukum Imam al-Syafi'i tentang

hakam tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami istri yang

sedang berselisih, maka Imam al-Syafi'i menggunakan istinbat hukum yaitu

al-Qur'an surat An-Nisa (4) ayat 35, juz 5. Dalam penafsiran Imam al-Syafi'i

bahwa ayat ini mengisyaratkan dibolehkannya hakam mendamaikan kedua

belah pihak, namun hakam tidak memiliki kewenangan menyuruh mereka

suami istri untuk bercerai.

Page 8: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

8

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas

taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

ini. Skripsi yang berjudul: “ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I

TENTANG HAKAM TIDAK MEMILIKI KEWENANGAN DALAM

MENCERAIKAN SUAMI ISTRI YANG SEDANG BERSELISIH” ini disusun

untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu

(S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan

saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat

terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. H. Muhyiddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN

Walisongo Semarang.

2. Prof Dr. H. Muslich Shabir, MA selaku Dosen Pembimbing yang telah

bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan

bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan

layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo,

beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan

5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang

tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para

pembaca pada umumnya. Amin.

Penulis

Page 9: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

9

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii

HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v

HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi

ABSTRAK ................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................. ix

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1

B. Perumusan Masalah .................................................... 5

C. Tujuan Penelitian .................................................... 5

D. Telaah Pustaka .................................................... 6

E. Metode Penelitian .................................................... 9

F. Sistematika Penulisan .................................................... 11

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN HAKAM

A. Pengertian dan Macam-Macam Perceraian............................ 13

1. Pengertian Perceraian .................................................... 13

2. Dasar-Dasar Perceraian .................................................... 18

3. Macam-Macam Perceraian.................................................. 21

B. Hakam .................................................... 37

1. Pengertian Hakam .................................................... 37

2. Fungsi atau Tugas Hakam.................................................. 38

3. Orang yang Berhak Jadi Hakam ........................................ 40

BAB III : PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG HAKAM TIDAK

MEMILIKI WEWENANG DALAM MENCERAIKAN SUAMI

ISTRI YANG SEDANG BERSELISIH

A. Biografi Imam Syafi'i, Pendidikan dan Karya-Karyanya...... 43

Page 10: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

10

1. Latar Belakang Kehidupan ..................................... 43

2. Pendidikan dan Karya-Karyanya ..................................... 47

3. Situasi Sosio-Politik yang Mengitarinya............................ 50

B. Pendapat Imam Syafi'i tentang Hakam Tidak

Memiliki Kewenangan dalam Menceraikan Suami Isteri

yang Sedang Berselisih ..................................... 52

C. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Hakam

Tidak memiliki Kewenangan dalam Menceraikan Suami

Isteri yang Sedang Berselisih ..................................... 54

BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG

HAKAM TIDAK MEMILIKI WEWENANG DALAM

MENCERAIKAN SUAMI ISTRI YANG SEDANG BERSELISIH

A. Analisis Pendapat Imam al-Syafi'i tentang Hakam Tidak

Memiliki Wewenang dalam Menceraikan Suami Istri yang

Sedang Berselisih ..................................... 63

1. Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam .......... 63

2. Pendapat Imam al-Syafi'i tentang Hakam Tidak

Memiliki Wewenang dalam Menceraikan Suami Istri

Yang Sedang Berselisih ..................................... 66

3. Analisis Penulis ..................................... 69

B. Analisis Metode Istinbath Hukum Imam Syafi'i tentang

Hakam Tidak Memiliki Kewenangan dalam Menceraikan

Suami Isteri yang Sedang Berselisih ..................................... 72

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................... 81

B. Saran-saran .................................................... 82

C. Penutup .................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Page 11: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

1

BAB I

PENDAHULUAN

B. Latar Belakang Masalah

Dasar sebuah keluarga dalam Islam adalah ikatan darah dan

perkawinan.1 Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang

memberikan banyak hasil yang penting di antaranya untuk membentuk sebuah

keluarga.2 Perkawinan ditujukan untuk selama hidup dan kebahagiaan bagi

pasangan suami istri yang bersangkutan.3 Dalam kenyataannya terkadang

perkawinan tidak mampu dipertahankan dan berakhir dengan perceraian

dalam hal ini suami menjatuhkan talak. Kata talak merupakan isim masdar

dari kata tallaqa-yutalliqu-tatliiqan,4 jadi kata ini semakna dengan kata tahliq

yang bermakna "irsal" dan "tarku" yaitu melepaskan dan meninggalkan.

Abul A'la Maududi mengatakan, salah satu prinsip hukum perkawinan

Islam adalah bahwa ikatan perkawinan itu harus diperkuat sedapat mungkin.

Oleh karena itu, segala usaha harus dilakukan agar persekutuan tersebut dapat

terus berlangsung. Namun, apabila semua harapan dan kasih sayang telah

musnah dan perkawinan menjadi sesuatu yang membahayakan untuk

kepentingan mereka dan kepentingan masyarakat, maka perpisahan di antara

mereka boleh dilakukan. Islam memang berusaha untuk menguatkan ikatan

1Hammudah Abd. Al'ati, The Family Structure In Islam, Terj. Anshari Thayib, " Keluarga

Muslim", Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984, hlm. 69 2Ibrahim Amini, Principles of Marriage Family Ethics, Terj. Alwiyah Abdurrahman,

"Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri", Bandung: al-Bayan, 1999, hlm. 17. 3Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 99. 4Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,

Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 32.

Page 12: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

2

perkawinan, namun berbeda dengan ajaran agama lain, Islam tidak

mengajarkan bahwa pasangan perkawinan itu tidak dapat dipisahkan lagi. Bila

pasangan tersebut telah benar-benar rusak dan bila mempertahankannya malah

akan menimbulkan penderitaan berkepanjangan bagi kedua belah pihak dan

akan melampaui ketentuan-ketentuan Allah, ikatan itu harus dikorbankan. Itu

berarti pintu perceraian harus dibuka, walaupun tidak selebar yang dilakukan

negara Rusia, Amerika, dan sebagian negara Barat.5

Meskipun tidak ada ayat al-Qur’an yang menyuruh atau melarang

melakukan talak yang mengandung arti hukumnya mubah, namun talak itu

termasuk perbuatan yang tidak disenangi oleh Allah SWT. Hal itu

mengandung arti perceraian itu hukumnya mubah. Adapun ketidaksenangan

Allah SWT kepada perceraian itu terlihat dalam hadis dari Ibnu Umar menurut

riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Al-Hakim, sabda Nabi:

0�1 ����2 3� 456 7�2 ��� �2 : !8�9� ���2 3� 4�: 3� 0�96 0�1���";<�0=>� "�=8?+� 3� @' ) A� ���� B��B ��� C��6 �DED:� �

!F�>�(6

Artinya: "Ibnu Umar ra., mengatakan: Rasulullah Saw., bersabda: "Perbuatan

halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah talak" (HR. Abu Daud

dan Ibnu Majah dan disahkan oleh al-Hakim).

Fuad Said mengemukakan bahwa perceraian dapat terjadi dengan cara:

talak, khulu', fasakh, li'an dan ila' .7 Oleh sebab itu menurut Mahmud Yunus

5Abul A'la Maududi, The Laws of Marriage and Divorce in Islam, Terj. Achmad Rais,

"Kawin dan Cerai Menurut Islam", Jakarta: anggota IKAPI, 1991, hlm. 41. 6Al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani, Bulug al-Marram, Terj. Salim Bahreisy dan Abdullah

Bahreisy, Surabaya: Balai Buku, hlm. 539.

Page 13: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

3

Islam memberikan hak talak kepada suami untuk menceraikan istrinya dan

hak khulu' kepada istri untuk menceraikan suaminya dan hak fasakh untuk

kedua belah pihak. Dengan demikian maka yang memutuskan perkawinan dan

menyebabkan perceraian antara kedua suami istri, ialah talak, khulu', fasakh.8

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perceraian berarti perpisahan

atau perpecahan.9 Islam melarang perceraian yang bisa merobohkan sendi-

sendi keluarga dan menyebarkan aib-aibnya, melemahkan kesatuan umat dan

membuat perasaan mendendam serta mengkoyak-koyak tabir kehormatan.10

Islam mengajarkan jika terjadi perpecahan antara suami-istri sehingga

timbul permusuhan yang dikhawatirkan mengakibatkan pisah dan hancurnya

rumah tangga, maka hendaknya diadakan hakam (wasit) untuk memeriksa

perkaranya dan hendaklah hakam ini berusaha mengadakan perdamaian guna

kelanggengan kehidupan rumah tangga dan hilangnya perselisihan.11

Allah

berfirman:

�&�'�� ������� ��� �������� ������ ��� ������ ����������� ����������� ����� �!"#�$�% ))�*�+� :-.(

Artinya: "Dan jika kamu mengkhawatirkan terjadinya persengketaan antara

keduanya (suami istri), maka kirimkanlah seorang juru damai dari

keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.

(QS. An-Nisa': 35)".12

7Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm. 2. 8Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidayakarya Agung,

1990, hlm. 110. 9Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 209. 10Syekh Muhammad Alwi al-Maliki, Adab al-Islam fi Nidham al-Usrah, "Sendi-Sendi

Kehidupan Keluarga Bimbingan Bagi Calon Pengantin", Terj. Ms. Udin dan Izzah Sf, Yogyakarta:

Agung Lestari, 1993, hlm. 87. 11Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 329. 12Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Departemen Agama 1986, hlm. 123.

Page 14: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

4

Masalahnya, apakah hakam ini memiliki kewenangan atau dibolehkan

menceraikan suami istri yang sedang berselisih. Imam Malik dan para

pengikutnya berpendapat bahwa pendapat dua hakam itu untuk mengadakan

pemisahan atau pengumpulan dibolehkan tanpa memerlukan pemberian kuasa

ataupun persetujuan dari suami istri yang diwakili. Adapun Imam al-Syafi'i

beserta para pengikutnya berpendapat bahwa kedua hakam itu tidak boleh

mengadakan pemisahan, kecuali jika suami menyerahkan pemisahan tersebut

kepada kedua juru damai.13

Pernyataan Imam al-Syafi'i di atas dapat dilihat dalam kitabnya al-

Umm:

)G���H+� 0�1( I$J6� �K�� &�A�L+� MD� !F�>� @' ���1�� N�OP� � ���� Q�RS & ���2 T��+�� U2���+� T� � ���� � ����� ���

�6V1 &' ������ �D�WS� �X7 �$H��+)0�1( &�17$S �X7 YS & �+ Z�+� 6 &'�[K\� ]' ^7P� 0� � ��?�S ]� _�L+� 7 Y� ]' �S14

Artinya: Imam al-Syafi'i berkata : "Apabila dua orang suami istri yang

khawatir terjadi persengketaan di antara keduanya mengadu kepada

hakim, maka kewajiban hakim mengutus seorang hakam dari

keluarga si perempuan dan seorang hakam dari keluarga laki-laki,

yang termasuk orang yang saleh dan berakal/berfikir supaya

keduanya mengungkap urusan dua orang suami istri itu, dan

keduanya mendamaikan antara dua suami istri jika keduanya

mampu. Imam al-Syafi'i, berkata: Hakim tidak berhak

memerintahkan dua orang hakam untuk menceraikan dua orang

13Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil,

1409 H/1989, hlm. 74. 14Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz V, Beirut: Dâr al-

Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 208

Page 15: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

5

suami istri meskipun keduanya berpendapat demikian kecuali

dengan perintah suami".

Pernyataan Imam al-Syafi'i ini mengisyaratkan bahwa hakam tidak

memiliki kewenangan untuk menceraikan suami istri yang sedang berselisih.

Atas dasar inilah peneliti memilih tema ini dengan judul: Analisis Pendapat

Imam al-Syafi'i tentang Hakam tidak Memiliki Kewenangan dalam

Menceraikan Suami Istri yang Sedang Berselisih

C. Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah, maka yang menjadi

perumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa pendapat Imam al-Syafi'i tentang hakam?

2. Bagaimana metode istinbat hukum Imam al-Syafi'i tentang hakam yang

tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami istri yang sedang

berselisih dan apa yang menjadi alasannya?

D. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pendapat Imam al-Syafi'i tentang hakam yang tidak

memiliki kewenangan dalam menceraikan suami istri yang sedang

berselisih

2. Untuk mengetahui metode istinbat hukum Imam al-Syafi'i tentang hakam

yang tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami istri yang

sedang berselisih

Page 16: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

6

E. Telaah Pustaka

Sampai dengan disusunnya proposal ini, penulis belum menemukan

penelitian yang membahas tentang kewenangan hakam dalam menceraikan

suami istri yang sedang berselisih. Penelitian yang banyak ditemukan adalah

yang membahas perihal talak atau perceraian secara umum. Beberapa

penelitian tersebut di antaranya:

1. Skripsi yang disusun oleh Siti Nur Khasanah (Fakultas Syariah, Tahun

2008) dengan judul: Studi Komperatif terhadap Pendapat Imam Syafi'i

dan Ibnu Hazm tentang Taklik Talak Kaitannya dengan Waktu Tertentu

(Waktu Yang Akan Datang). Menurut penyusun skripsi ini bahwa ucapan

ta'lik talak yang dikaitkan pada waktu akan datang maksudnya ialah: talak

yang diucapkan dikaitkan dengan waktu tertentu sebagai syarat

dijatuhkannya talak, dimana talak itu jatuh jika waktu yang dimaksud

telah datang. Contohnya: seorang suami berkata kepada isterinya: Engkau

besok tertalak atau engkau tertalak pada akhir tahun; dalam hal ini

talaknya akan berlaku besok pagi atau pada akhir tahun, selagi

perempuannya masih dalam kekuasaannya ketika waktu yang telah tiba

yang menjadi syarat bergantungnya talak. Apabila seorang suami berkata

kepada isterinya: Engkau tertalak setahun lagi, maka menurut pendapat

Abu Hanifah dan Malik berarti perempuannya tertalak seketika itu juga.

Tetapi Syafi'i dan Ahmad berpendapat belum berlaku sebelum waktu

setahun itu berlalu. Ibnu Hazm berkata: Barang siapa berkata: Apabila

akhir bulan datang maka engkau tertalak atau ia menyebutkan waktu

Page 17: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

7

tertentu maka dengan ucapan seperti ini tidak berarti jatuh talak baik

sekarang ini maupun nanti ketika akhir bulan tiba. Alasannya ialah karena

di dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi tidak ada keterangan tentang

jatuhnya talak seperti itu atau karena Allah telah mengajarkan kepada kita

tentang mentalak isteri yang sudah dikumpuli atau yang belum dikumpuli.

2. Skripsi yang disusun oleh Nur Kheli (Fakultas Syariah, Tahun 2007)

dengan judul: Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Talak Tiga yang

Dijatuhkan Sekaligus sebagai Talak Sunni. Penyusun skripsi ini

menjelaskan bahwa talak tiga yang dijatuhkan sekaligus menurut Imam

Malik adalah bukan talak sunni, sedangkan Imam Syafi'i dan juga menurut

Daud al-Zhahiriy memandang yang demikian adalah talak sunni.

Alasannya adalah bahwa selama talak yang diucapkan itu berada sewaktu

suci yang belum dicampuri adalah talak sunni. Menurut ulama Hanafiyah

talak tiga yang termasuk talak sunni itu adalah talak tiga yang setiap talak

dilakukan dalam masa suci, dalam arti talak tiga tidak dengan satu ucapan.

3. Skripsi yang disusun oleh Romdhon (Fakultas Syariah, Tahun 2009),

dengan judul: Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Perceraian Akibat

Li'an. Pada intinya menurut Imam Syafi'i bahwa saat terjadinya perceraian

akibat li'an sebagai berikut: Menurut Imam Syafi'i, perkawinan

diputuskan terhitung semenjak selesainya suami mengucapkan li'an.

Alasannya ialah bahwa li'an itu adalah perceraian yang terjadi karena

ucapan, oleh karena itu terjadi dengan telah diucapkan oleh suami dan

tidak memerlukan ucapan yang lainnya. Penulis sependapat dengan alasan

Page 18: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

8

Imam Syafi'i karena ucapan li'an dari suami saja sudah menunjukkan

bahwa suami tidak lagi menyukai istrinya dan telah merusak harga diri

atau kehormatan istri dimata publik. Jika ucapan suami tersebut belum

menjadi talak maka hal ini tidak akan mendatangkan kebaikan jika rumah

tangga diteruskan. Bagaimanapun suami yang menuduh istrinya telah

berzina atau suami yang tidak mengakui anak tersebut sebagai anaknya,

hal itu sudah menunjukkan bahwa suami tidak lagi ada keinginan untuk

meneruskan rumah tangga dengan istrinya tersebut. Jadi sejak kapan

putusnya perkawinan, maka tidak perlu menunggu ucapan istri juga tidak

perlu menunggu sampai pengadilan memutuskan. Karena itu pendapat

Imam Syafi'i logis dan rasional, dalam arti bisa dimengerti bahwa ucapan

li'an suami sudah sama dengan talak. Dalam hubungannya dengan saat

terjadinya perceraian akibat li'an, bahwa menurut Imam Syafi'i, jika suami

telah menyelesaikan li'an-nya, maka perpisahan pun telah terjadi.

Berdasarkan telaah pustaka yang telah disebutkan di atas, maka

penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaannya yaitu

penelitian yang telah dijelaskan tersebut belum mengetengahkan kewenangan

hakam, sedangkan penelitian yang penulis susun hendak mengungkapkan

pendapat Imam al-Syafi'i tentang hakam yang tidak memiliki kewenangan

dalam menceraikan suami istri yang sedang berselisih dan metode istinbat

hukum Imam al-Syafi'i tentang hakam yang tidak memiliki kewenangan

dalam menceraikan suami istri yang sedang berselisih.

Page 19: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

9

F. Metode Penelitian

Metode penelitan bermakna seperangkat pengetahuan tentang langkah-

langkah sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan

masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan selanjutnya

dicarikan cara pemecahannya. Dalam versi lain dirumuskan, metode penelitian

adalah cara yang dipakai dalam mengumpulkan data, sedangkan instrumen

adalah alat bantu yang digunakan dalam mengumpulkan data itu,15

maka

metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:16

1. Jenis Penelitian

Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian

kualitatif. Jenis penelitian ini hanya berbentuk kata-kata, yang dalam hal

ini tidak menggunakan angka-angka secara langsung17

Dalam studi tokoh ini data dianalisis secara induktif berdasarkan

data langsung dari subyek penelitian. Oleh karena itu pengumpulan dan

analisis data dilakukan secara bersamaan, bukan terpisah sebagaimana

penelitian kuantitatif di mana data dikumpulkan terlebih dahulu, baru

kemudian dianalisis. Analisis data kualitatif dalam studi tokoh ini

dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: pertama, menemukan

pola atau tema tertentu. Artinya peneliti berusaha menangkap karakteristik

pemikiran Imam al-Syafi'i dengan cara menata dan melihatnya

berdasarkan dimensi suatu bidang keilmuan sehingga dapat ditemukan

15Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2002, hlm. 194. 16Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University

Press, 1991, hlm. 24. 17Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda Karya,

2001, hlm. 2.

Page 20: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

10

pola atau tema tertentu. Kedua, mencari hubungan logis antar pemikiran

Imam al-Syafi'i dalam berbagai bidang, sehingga dapat ditemukan alasan

mengenai pemikiran tersebut. Di samping itu, peneliti juga berupaya untuk

menentukan arti di balik pemikiran tersebut berdasarkan kondisi sosial,

ekonomi, dan politik yang mengitarinya. Ketiga, mengklasifikasikan

dalam arti membuat pengelompokan pemikiran Imam al-Syafi'i sehingga

dapat dikelompokkan ke dalam berbagai aspek.18

2. Sumber Data

a. Data Primer, yaitu karya-karya Imam Al-Syafi'i yang berhubungan

dengan judul di atas di antaranya: (1) Al-Umm. (2) Kitab al-Risalah.

Yang akhir ini merupakan kitab ushul fiqh yang pertama kali dikarang

dan karenanya Imam Syafi’i dikenal sebagai peletak ilmu ushul fiqh.

Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran beliau dalam

menetapkan hukum.19

b. Data Sekunder, yaitu literatur lainnya yang relevan dengan judul di

atas, di antaranya: Kitab Fiqh al-Sunnah; Bidayah al-Mujtahid wa

Nihayah al-Muqtasid; Kifayah al-Akhyar; Fathul Mu'in; Tafsir Ibnu

Katsir; al-Fiqh 'ala Mazahib al-Arba'ah; I'anah at-Talibin; Subulus

Salam; Nail al-Autar.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data menggunakan teknik library research

(penelitian kepustakaan). Pemilihan kepustakaan diseleksi sedemikian

18Arief Furchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 60. 19Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132

Page 21: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

11

rupa dengan mempertimbangkan aspek mutu atau kualitas dari

kemampuan pengarangnya.

4. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini data dianalisis secara deskriptif analitis

berdasarkan data langsung dari subyek penelitian. Oleh karena itu

pengumpulan dan analisis data dilakukan secara bersamaan, bukan

terpisah sebagaimana penelitian kuantitatif di mana data dikumpulkan

terlebih dahulu, baru kemudian dianalisis.

Dalam penelitian ini, digunakan metode analisis komparatif yaitu

dengan membandingkan pendapat Imam Syafi'i dengan pendapat Imam

Malik tentang hakam. Dari perbandingan ini hendak dicari persamaan,

perbedaan, kelebihan dan kekurangan masing-masing pendapat.

Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa pendapat

dua hakam itu untuk mengadakan pemisahan (perceraian) atau

pengumpulan dibolehkan tanpa memerlukan pemberian kuasa ataupun

persetujuan dari suami istri yang diwakili.20

Berbeda dengan Imam Syafi'i

yang berpendapat bahwa kedua hakam tidak mempunyai kewenangan

untuk memisahkan suami istri itu jika tidak diminta suami yang berselisih

itu.21

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-

masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan

20Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil,

1409 H/1989, hlm. 74. 21

Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz V, Beirut: Dâr

al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 208

Page 22: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

12

yang saling mendukung dan melengkapi.

Bab pertama berisi pendahuluan, memuat latar belakang masalah,

permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan

sistematika Penulisan.

Bab kedua berisi tinjauan umum tentang perceraian dan hakam yang

meliputi pengertian hakam, fungsi atau tugas, siapa yang berhak jadi hakam.

Perceraian meliputi: pengertian perceraian, dasar hukum perceraian, macam-

macam perceraian, sifat dan kedudukan hukum perceraian.

Bab ketiga berisi pendapat Imam al-Syafi'i tentang hakam tidak

memiliki wewenang dalam menceraikan suami istri yang sedang berselisih.

Bab ini meliputi biografi Imam Al-Syafi'i, pendidikan dan karya-karyanya,

situasi sosial politik yang mengitarinya, pendapat Imam Al-Syafi'i tentang

hakam tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami isteri yang

sedang berselisih, metode istinbat hukum Imam al-Syafi'i tentang hakam

tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami isteri yang sedang

berselisih.

Bab keempat berisi analisis pendapat Imam al-Syafi'i tentang hakam

tidak memiliki wewenang dalam menceraikan suami istri yang sedang

berselisih. Bab ini meliputi analisis pendapat Imam Al-Syafi'i tentang hakam

tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami isteri yang sedang

berselisih, metode istinbat hukum Imam al-Syafi'i tentang hakam tidak

memiliki kewenangan dalam menceraikan suami isteri yang sedang berselisih.

Bab kelima berisi penutup yang berisi kesimpulan, saran dan penutup.

Page 23: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

13

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DAN HAKAM

A. Pengertian dan Macam-Macam Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Akad pernikahan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata

semata, melainkan juga ikatan suci (misaqan galiza) yang terkait dengan

keyakinan dan keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah

dalam sebuah pernikahan. Untuk itu pernikahan itu harus dipelihara dengan

baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan pernikahan dalam Islam

yakni terwujudnya keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat

terwujud.22

Suatu pernikahan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan suami

istri yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang

sejahtera dan bahagia di sepanjang masa. Setiap pasangan suami istri selalu

mendambakan agar ikatan lahir batin yang dibuhul dengan akad pernikahan

itu semakin kokoh terpateri sepanjang hayat masih dikandung badan. Namun

demikian kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan

kesinambungan hidup bersama suami istri itu bukanlah perkara yang mudah

dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yang

harmonis antara suami istri itu tidak dapat diwujudkan. Faktor-faktor

22Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,

Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 206.

Page 24: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

14

psikologis, biologis, ekonomis, perbedaan kecenderungan, pandangan hidup,

dan lain sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan

dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya.

Dalam mengatur dan memelihara kehidupan bersama antara suami

istri, syariat Islam tidak terhenti pada membatasi hak dan kewajiban timbal

balik antara keduanya dan memaksakan keduanya hidup bersama terus

menerus tanpa mempedulikan kondisi-kondisi obyektif yang ada dan timbul

dalam kehidupan bersama, namun lebih dari itu syariat Islam mengakui

realitas kehidupan dan kondisi kejiwaan yang mungkin berubah dan silih

berganti. Munculnya perubahan pandangan hidup yang berbeda antara suami

dan istri, timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya

kecenderungan hati pada masing-masing memungkinkan timbulnya krisis

rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan,

persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, kesemuanya

merupakan hal -hal yang harus ditampung dan diselesaikan.23

Hikmah dari suatu pernikahan dalam Islam adalah mewujudkan suatu

keluarga harmonis dan berbahagia. Akan tetapi jika ada suatu hal yang dapat

mengancam kebahagiaan keluarga itu, maka harus ada upaya yang dapat

memisahkan keduanya. Tidak boleh bagi keduanya untuk tetap

mempertahankan tali ikatan pernikahannya itu dalam kondisi yang saling

membenci antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu Allah Subhanahu

wa Ta'ala telah membolehkan adanya perceraian pasangan suami-istri

23Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, jilid II, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Waqaf, 1995, hlm.

168.

Page 25: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

15

meskipun hal tersebut adalah suatu perbuatan halal yang paling dibenci-Nya,

karena hal itu akan menyebabkan hancurnya mahligai rumah tangga yang

telah sekian lama dibina, terpisahnya antara anak dengan orang tuanya, dan

hati yang selalu dirundung kesedihan.24

Dalam Kamus Arab Indonesia, talak berasal dari ���– ��� –� ��

(bercerai).25

Demikian pula dalam Kamus Al-Munawwir, talak berarti

berpisah, bercerai (ا���أة ���� ).26

Kata talak merupakan isim masdar dari

kata tallaqa-yutalliqu-tatliiqan, jadi kata ini semakna dengan kata tahliq yang

bermakna "irsal" dan "tarku" yaitu melepaskan dan meninggalkan.27

Talak menurut istilah adalah:

�4��Y�� � =�?�: �]�� ab��"W�O� ac�$��� ��d���� �&��W��"e ��� � ��d��+� �U+��f�� "�ge28

Artinya: Talak itu ialah menghilangkan ikatan pernikahan atau

mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-

kata tertentu.

4����hT�� �i�7gH+��e���� �_��gL+� �U?����6 g��A��gL+� �U1=���+� j)����U 29

Artinya: Talak menurut syara' ialah melepaskan tali pernikahan dan

mengakhiri tali pernikahan suami istri.

24Ra'd Kamil Musthafa Al-Hiyali, Membina Rumah Tangga yang Harmonis, Terj. Imron

Rosadi, Jakarta: Pustaka Azam, 2001, hlm. 169. 25

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan

Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973, hlm. 239. 26

Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia

Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 861 27

Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 172. 28Abdurrrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. IV, Beirut: Dar

al-Fikr, 1972, hlm. 216. 29Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth, hlm. 278.

Page 26: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

16

��"��� �B�6�� k4������A lc�$+ ��"��� � ��d��+� �V��1 d�T�D�+ m!�9�� �i�7gH+�n�� �7���#�� �i�7gH+� �T����+� �T��� "i����A���� �Ug�o*+��� �p��#���+� ������ �T�:qr���� �C�7�S

�Ug�o*+� �T��� �I� 30

Artinya; "Talak menurut syara' ialah nama untuk melepaskan tali

ikatan nikah dan talak itu adalah lafaz jahiliyah yang

setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata

melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak adalah

berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma' ahli agama

dan ahlus sunnah.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa talak

adalah memutuskan tali pernikahan yang sah, baik seketika atau di masa

mendatang oleh pihak suami dengan mengucapkan kata-kata tertentu atau

cara lain yang menggantikan kedudukan kata-kata itu.

Menurut Fuad Said, perceraian adalah putusnya hubungan pernikahan

antara suami istri.31

Menurut Zahry Hamid suatu pernikahan antara seorang

laki-laki dan seorang perempuan dapat berakhir dalam keadaan suami istri

masih hidup dan dapat pula berakhir sebab meninggalnya suami atau istri.

Berakhirnya pernikahan dalam keadaan suami dan istri masih hidup dapat

terjadi atas kehendak suami, dapat terjadi atas kehendak istri dan terjadi di

luar kehendak suami istri. Menurut hukum Islam, berakhirnya pernikahan atas

inisiatif atau oleh sebab kehendak suami dapat terjadi melalui apa yang

disebut talak, dapat terjadi melalui apa yang disebut ila' dan dapat pula terjadi

30Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah Al Akhyar, Beirut:

Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 84 31Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, hlm. 1.

Page 27: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

17

melalui apa yang disebut li'an, serta dapat terjadi melalui apa yang disebut

zihar.32

Berakhirnya pernikahan atas inisiatif atau oleh sebab kehendak istri

dapat terjadi melalui apa yang disebut khiyar aib, dapat terjadi melalui apa

yang disebut khulu' dan dapat terjadi melalui apa yang disebut rafa'

(pengaduan). Berakhirnya pernikahan di luar kehendak suami dapat terjadi

atas inisiatif atau oleh sebab kehendak hakam, dapat terjadi oleh sebab

kehendak hukum dan dapat pula terjadi oleh sebab matinya suami atau istri.33

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa

perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian, dan c. atas

keputusan pengadilan. Undang-undang ini tidak memberi definisi tentang arti

perceraian. KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh undang-

undang perkawinan, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang

menunjukkan aturan-aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah putusnya

perkawinan pada Bab XVI. Pasal 113 KHI menyatakan: perkawinan dapat

putus karena: a. kematian; b. perceraian, dan; c. Atas putusan pengadilan.

Dalam Pasal 117 KHI ditegaskan bahwa talak adalah ikrar suami di hadapan

sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya

perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130 dan

131.

32Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang Pernikahan

di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978, hlm. 73. 33

Ibid., hlm. 73.

Page 28: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

18

2. Dasar-Dasar Perceraian

Sejalan dengan prinsip perkawinan dalam Islam yang antara lain

disebutkan bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, tidak boleh dibatasi

dalam waktu tertentu, dalam masalah talak pun Islam memberikan pedoman

dasar sebagai berikut,

1. Pada dasarnya Islam mempersempit pintu perceraian. Dalam hubungan

ini hadis Nabi riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah mengajarkan, "Hal

yang halal, yang paling mudah mendatangkan murka Allah adalah

talak." Hadis Nabi riwayat Daruquthni mengajarkan, "Ciptaan Allah

yang paling mudah mendatangkan murka-Nya adalah talak." Al-

Qurthubi dalam kitab Tafsir Ayat-Ayat Hukum mengutip hadis Nabi

berasal dari Ali bin Abi Thalib yang mengajarkan, "Kawinlah kamu,

tetapi jangan suka talak sebab talak itu menggoncangkan arsy." Dari

banyak hadis Nabi mengenai talak itu, dapat kita peroleh ketentuan

bahwa aturan talak diadakan guna mengatasi hal-hal yang memang telah

amat mendesak dan terpaksa.

2. Apabila terjadi sikap membangkang/melalaikan kewajiban (nusyus) dari

salah satu suami atau istri, jangan segera melakukan pemutusan

perkawinan. Hendaklah diadakan penyelesaian yang sebaik-baiknya

antara suami dan istri sendiri. Apabila nusyus terjadi dari pihak istri,

suami supaya memberi nasihat dengan cara yang baik. Apabila nasihat

tidak membawakan perbaikan, hendaklah berpisah tidur dari istrinya.

Page 29: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

19

Apabila berpisah tidur tidak juga membawa perbaikan, berilah pelajaran

dengan memukul, tetapi tidak boleh pada bagian muka, dan jangan

sampai mengakibatkan luka.

3. Apabila perselisihan suami istri telah sampai kepada tingkat syiqaq

(perselisihan yang mengkhawatirkan bercerai), hendaklah dicari

penyelesaian dengan jalan mengangkat hakam (wasit) dari keluarga

suami dan istri, yang akan mengusahakan dengan sekuat tenaga agar

kerukunan hidup suami istri dapat dipulihkan kembali.34

4. Apabila terpaksa perceraian tidak dapat dihindarkan dan talak benar-

benar terjadi, harus diadakan usaha agar mereka dapat rujuk kembali,

memulai hidup baru. Di sinilah letak pentingnya, mengapa Islam

mengatur bilangan talak sampai tiga kali.

5. Meskipun talak benar-benar terjadi, pemeliharaan hubungan dan sikap

baik antara bekas suami istri harus senantiasa dipupuk. Hal ini hanya

dapat tercapai, apabila talak terjadi bukan karena dorongan nafsu,

melainkan dengan pertimbangan untuk kebaikan hidup masing-

masing.35

Pasal 39 UU Perkawinan terdiri dari 3 ayat dengan rumusan:

(1). Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak.

34Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UUI Press, Yogyakarta, 1999, hlm.

71-72.

35Ibid., hlm. 72.

Page 30: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

20

(2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara

suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

(3). Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam

peraturan perundangan tersendiri.

Ayat (1) tersebut disebutkan pula dengan rumusan yang sama

dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam Pasal 65

dan begitu pula disebutkan dengan rumusan yang sama dalam KHI dalam

satu pasal tersendiri, yaitu Pasal 115.

Ketentuan tentang keharusan perceraian di pengadilan ini memang

tidak diatur dalam fiqh mazhab apa pun, termasuk Syi'ah Imamiyah,

dengan pertimbangan bahwa perceraian khususnya yang bernama talak

adalah hak mutlak seorang suami dan dia dapat menggunakannya di mana

saja dan kapan saja; dan untuk itu tidak perlu memberi tahu apalagi minta

izin kepada siapa saja. Dalam pandangan fiqh, perceraian itu sebagaimana

keadaannya perkawinan adalah urusan pribadi dan karenanya tidak perlu

diatur oleh ketentuan publik.36

Dalam penjelasan Pasal 39 Perkawinan No. 1 Tahun 1974

dijelaskan secara terinci bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar

untuk perceraian adalah :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain di luar kemampuannya

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau

hukuman berat yang membahayakan pihak yang lain.

36

Karsayuda, Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-Nilai Keadilan

Kompilasi Hukum Islam, Total Media, Yogyakarta, 2007, hlm. 227

Page 31: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

21

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.

Pasal 19 PP ini diulangi dalam KHI pada Pasal 116 dengan

rumusan yang sama dengan menambahkan dua anak ayatnya, yaitu:

a suami melanggar taklik talak.

b peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Pasal 40 UU Perkawinan tentang cara melakukan perceraian

dirumuskan:

1. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.

2. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur

dalam peraturan perundangan tersendiri.

PP mengatur apa yang dikehendaki Pasal 40 tersebut di atas dalam

Pasal 20 sampai dengan Pasal 36. Selanjutnya UU Perkawinan mengatur

tata cara perceraian itu dalam Pasal-pasal 66; 67; 68; 69; 70; 71; 72; 73;

74; 75; 76; 77; 78; 79; 80; 81; 82; 83; 84; 85; 86; sedangkan KHI

mengatur lebih lengkap tentang tata cara perceraian itu pada Pasal-pasal:

131; 132; 133; 134; 135; 136:137; 138; 139; 140; 141; 142; 144; 145; 146;

dan 147.

3. Macam-Macam Perceraian

Page 32: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

22

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, macam-macam

perceraian di antaranya bisa berbentuk talak, khulu, fasakh, li'an. Oleh sebab

itu ketiga bentuk perceraian ini akan diuraikan sebagai berikut:

a. Talak

Ditinjau dari keadaan istri, jenis talak terbagi dua

1). Talak sunni, yaitu talak yang sesuai dengan ketentuan agama, yaitu

seorang suami menalak istrinya yang pernah dicampuri dengan sekali

talak di masa bersih dan belum didukhul selama bersih tersebut.37

2). Talak bid'i, yaitu talak yang menyalahi ketentuan agama, misalnya talak

yang diucapkan dengan tiga kali talak pada yang bersamaan atau talak

dengan ucapan talak tiga, atau menalak istri dalam keadaan haid atau

menalak istri dalam keadaan suci, tetapi sebelumnya telah di-dukhul.38

Akan tetapi, sebagian ulama mengatakan talak seperti ini pun jatuhnya

sah juga, hanya saja talak jenis ini termasuk berdosa. Keabsahan talak

bid'i ini menurut mereka berdasarkan riwayat Ibnu Abbas bahwa Ibnu

Umar menceraikan istrinya yang sedang haid, Nabi Muhammad Saw

menyuruhnya kembali dengan ucapan beliau.

��V�R�2 ���2 aI����e ���2 ms�+�� G��tgV�� 0�1 ��u�+��V�R�2 "��� �T��2����9�' ���tgV�� ��u�+"����2 �u�+� G�5�6 �7��"2 ���� "��J�7� � �Mu�v "�ge �V���2 4��2 m;�w��� �G���� �0�"9�6

37Syekh Kamil Muhammad Uwaidah, al-Jami' fi Fiqh an-Nisa, Terj. M. Abdul Ghofar, "

Fiqih Wanita", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998, hlm. 438. 38

Rahmat Hakim, Hukum Pernikahan Islam, Bandung: Pustaka Setia,

2000, hlm. 161

Page 33: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

23

�u�+� 4u��: ��u�+��p�u?�O�+� "��� "7��"2 0Y�*� �!u��9�� ������2 4u��: ��u�+� 0�"9�6 �u�+� �!u��9�� ������2 !�u�+� 4u��: ��u�+� �0�"9�6 0��� �s�+K ���2 �!u��9�� ������2

g!�t ������A��7"���� "C�7" �&�' g!�t �7"��?�J g!�t �;��D�J g!�t �7"��?�J 4g#�� ������*��"��+ u+� � gV���+� �s���#� gZ���S �& T�R1 �Mu�v q)�� �&�'�� "V���� �s�*� q)�� j3� �7� G�#

j)��*��+� ���+ �Mu�?"J �&)x6�OR+� C��6 (39

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Ismail bin Abdullah

dari Malik dari Nafi' dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Ibnu

Umar r.a. mentalak istrinya sewaktu haid dalam masa

Rasulullah Saw, maka Umar (ayahnya) menanyakan kepada

Nabi Saw tentang hal itu. Nabi Saw. bersabda: "Suruh dia

(Ibnu Umar) kembali kepada istrinya, kemudian

menahannya sehingga istrinya itu suci kemudian haid dan

kemudian suci. Sesudah itu bila ia mau dia dapat

menahannya dan kalau dia mau dia boleh mentalak istrinya

itu sebelum digaulinya. Itulah masa 'iddah yang disuruh

Allah bila akan mentalak istrinya. (HR. al-Bukhary)

Perintah meruju', seperti dalam hadis di atas menandakan

sahnya (jadi/absah) talak bid'i. Kalau tidak sah, Nabi tidak akan

menyuruh ruju', sebab ruju' hanya ada setelah talak jatuh.

Ditinjau dari berat-ringannya akibat:

1). Talak raj'i, yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya yang

telah dikumpuli, bukan talak yang karena tebusan, bukan pula talak

yang ketiga kali.40

Pada talak jenis ini, si suami dapat kembali kepada

39

Imam Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz. III, Beirut: Dar al-Fikr, 1410

H/1990 M, hlm. 286 40

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Pernikahan Islam, Yogyakarta: UII Press,

2004, hlm. 80.

Page 34: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

24

istrinya dalam masa ''iddah" tanpa melalui pernikahan baru, yaitu pada

talak pertama dan kedua, seperti difirmankan Allah Swt:

a&��*���\�� myS�7�*�J �� aN�"7������ mz��*� �\� �&��Jg7� "�=u?+�)^7�R+� :{{|(

Artinya: "Talak yang bisa diruju' itu dua kali, maka peganglah ia

dengan baik atau lepaskan dia dengan baik pula. (QS. Al-

Baqarah : 229).41

2). Talak Ba'in, yaitu jenis talak yang tidak dapat diruju' kembali karena

talak tiga, talak ini memutuskan ikatan pernikahan, kecuali dengan

pernikahan baru walaupun dalam masa ''iddah, seperti talak yang

belum dukhul (menikah tetapi belum disenggamai kemudian ditalak).

42

Talak ba'in terbagi dua:

a). Ba'in Shughra

Talak ini dapat memutuskan ikatan pernikahan, artinya

setelah terjadi talak, istri dianggap bebas menentukan pilihannya

setelah habis ''iddahnya. Adapun suami pertama bila masih

berkeinginan untuk kembali kepada istrinya harus melalui

pernikahan yang baru, baik selama 'iddah maupun setelah habis

'iddah. Itu pun kalau seandainya mantan istri mau menerimanya

kembali, seperti talak yang belum dikumpuli, talak karena tebusan

41

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara,

1993, hlm. 55. 42Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar

Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986, hlm. 411.

Page 35: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

25

(khulu') atau talak satu atau dua kali, tetapi telah habis masa

tunggunya (habis 'iddah).43

b). Ba'in Kubra

Seperti halnya ba'in shughra, status pernikahan telah

terputus dan suami tidak dapat kembali kepada istrinya dalam masa

'iddah dengan ruju' atau menikah lagi. Namun, dalam hal ba'in

kubra ini ada persyaratan khusus, yaitu istri harus menikah dahulu

dengan laki-laki lain (diselangi orang lain) kemudian suami kedua

itu menceraikan istri dan setelah habis masa 'iddah barulah mantan

suami pertama boleh menikahi mantan istrinya. Sebagian ulama

berpendapat bahwa pernikahan istri dengan suami kedua tersebut

bukanlah suatu rekayasa licik, akal-akalan, seperti nikah muhallil

(sengaja diselang). Sebagian lainnya mengatakan bahwa hal itu

dapat saja terjadi dan halal bagi suami pertama.44

Ketentuan ini

berdasarkan firman Allah swt

=� ����u�v &�\�4g#�� "V���� �� "�+ hT�D�J &�\� "C�7��} ��A���f �y����J ����A��7�#�S & ���������2 � ���"A =� ����u�v ��8�+� �B�"V"� ������"S & �g�~ &�'

)^7�R+� :{-�( Artinya: Kemudian jika kamu menalaknya (setelah talak yang

kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya hingga ia

kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang

lain itu menceraikannya kembali, maka tidak berdosa bagi

keduanya untuk kawin kembali, jika keduanya

43

Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 177. 44

Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 81.

Page 36: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

26

diperkirakan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

(QS. Al-Baqarah: 230).45

Di samping itu, pernikahan yang dilakukan dengan suami

yang kedua (yang menyelangi), harus merupakan suatu pernikahan

yang utuh, artinya melakukan akad nikah dan melakukan hubungan

seksual. Oleh karena itu, tidak menjadi halal bagi suami pertama

kalau pernikahan tersebut hanya sekadar akad atau tidak

melakukan akad, tetapi hanya melakukan hubungan seksual.

Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam memuat aturan-aturan

yang berkenaan dengan pembagian talak. KHI membagi talak

kepada talak raj'i, talak ba'in sughra dan bain kubra. Seperti yang

terdapat pada pasal 118 dan 119. Yang dimaksud dengan talak raj'i

adalah, talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama

dalam masa iddah (Pasal 118). Sedangkan talak bai'n shugra

adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh dengan akad nikah

baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah Pasal 119 ayat

1).

Talak ba'in shughra sebagaimana tersebut pada pasal 119

ayat (2) adalah talak yang terjadi qobla al dukhul; talak dengan

tebusan atau khulu'; dan talak yang dijatuhkan oleh pengadilan

Agama. Sedangkan talak ba'in kubra (Pasal 120) adalah talak yang

terjadi untuk yang ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat

dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila

45

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 55.

Page 37: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

27

pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang

lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan telah

melewati masa 'iddah.

Ditinjau dari ucapan suami, talak terbagi menjadi dua bagian;

1). Talak sharih, yaitu talak yang diucapkan dengan jelas, sehingga karena

jelasnya, ucapan tersebut tidak dapat diartikan lain, kecuali perpisahan

atau perceraian, seperti ucapan suami kepada istrinya, "Aku talak

engkau atau aku ceraikan engkau".46

Dalam hal ini, Imam Syafi'i dan sebagian fuqaha Zhahiri

berpendapat bahwa kata-kata tegas atau jelas tersebut ada tiga, yaitu

kata talak yang berarti cerai, kemudian kata firaq yang berarti pisah,

dan kata sarah yang berarti lepas. Di luar ketiga kata tersebut bukan

kata-kata yang jelas dalam kaitannya dengan talak. Para ulama

berselisih pendapat apakah harus diiringi niat atau tidak. Sebagian

tidak mensyaratkan niat bagi kata-kata yang telah jelas tadi, sebagian

lagi mengharuskan adanya niat atau keinginan yang bersangkutan.

Imam Syafi'i dan Imam Malik berpendapat bahwa

mengucapkan kata-kata saja tidak menjatuhkan talak bila yang

bersangkutan menginginkan talak dari kata-kata tersebut, kecuali

apabila saat dikeluarkan kata-kata tadi terdapat kondisi yang

mendukung ke arah perceraian. Seperti dikatakan ulama Maliki, ada

46

Zakiah Daradjat, op.cit., hlm. 178.

Page 38: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

28

permintaan dari istri untuk dicerai, kemudian suami mengucapkan

kata-kata talak, firaq, atau sarah.47

2). Talak kinayah, yaitu ucapan talak yang diucapkan dengan kata-kata

yang tidak jelas atau melalui sindiran. Kata-kata tersebut dapat

diartikan lain, seperti ucapan suami." Pulanglah kamu" dan

sebagainya. Menurut Malik, kata-kata kinayah itu ada dua jenis,

pertama, kinayah zhahiriah, artinya kata-kata yang mengarah pada

maksud dan kedua, kinayah muhtamilah, artinya sindiran yang

mengandung kemungkinan. Kata-kata sindiran yang zhahir, misalnya

ucapan suami kepada istrinya, "Engkau tidak bersuami lagi atau ber-

'iddah kamu." Adapun kata-kata sindiran yang mengandung

kemungkinan, seperti kata-kata suami kepada istrinya, "Aku tak mau

melihatmu lagi." Batas antara sindiran yang zhahir dan sindiran yang

muhtamilah sangat tipis dan agak sulit dipisahkan.48

Baik kata-kata tegas maupun sindiran keabsahannya pada dasarnya

terpulang pada keinginan suami tadi, yang dikaitkan dengan kondisi dan

situasi ketika kata-kata itu diucapkan. Oleh karena itu, pengucapan kata-

kata, baik sharih apalagi kinayah yang tidak bersesuaian atau tidak

kondusif, tidak mempunyai kekuatan hukum. Sebaliknya, kata-kata

kinayah apalagi yang zhahir kalau dihubungkan dengan situasi yang

kondusif mempunyai kekuatan hukum. Umpamanya ucapan suami pada

47

Ahmad Azhar Basyir, op. cit, hlm. 82. 48

Ibrahim Muhammad al-Jamal, op.cit., hlm. 411.

Page 39: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

29

saat terjadi perselisihan yang berkepanjangan atau karena permintaan istri,

kata-kata sindiran apalagi yang sharih akan mempunyai akibat hukum.

Ditinjau dari masa berlakunya, talak terdiri atas:

1). Talak yang berlaku seketika, yaitu ucapan suami kepada istrinya

dengan kata-kata talak yang tidak digantungkan pada waktu atau

keadaan tertentu. Maka ucapan tersebut berlaku seketika artinya

mempunyai kekuatan hukum setelah selesainya pengucapan kata-kata

tersebut. Seperti kata suami, "Engkau tertalak langsung," maka talak

berlaku ketika itu juga.

2). Talak yang berlaku untuk waktu tertentu, artinya ucapan talak tersebut

digantungkan kepada waktu tertentu atau pada suatu perbuatan istri

berlakunya talak tersebut sesuai dengan kata-kata yang diucapkan atau

perbuatan tersebut benar-benar terjadi. Seperti ucapan suami kepada

istrinya, engkau tertalak bila engkau pergi ke tempat seseorang.

b. Khulu'

Khulu' adalah mashdar dari khala'a seperti khata'a, artinya

menanggalkan;

�e�V� �2 �+�f ���% ���t TA7+� I�%��2 �2Le� 49

Artinya: Laki-laki menanggalkan pakaiannya, atau dia melepaskan

pakaiannya dari badannya.

I�%TA7+��� ��V#�� �K' U�+����A�f ^7P� ��+�%� �J7 � 50

Artinya: Seorang laki-laki meng-khulu' istrinya, berarti dia

menanggalkan istrinya itu sebagai pakaiannya apabila istri

membayar tebusan.

49

Abdurrrahmân al-Jazirî, op.cit., hlm. 299. 50

Ibid.,hlm. 299-230

Page 40: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

30

Abdurrahman Al-Jaziri memberikan definisi Khulu' menurut

masing-masing madzhab:

1). Golongan Hanafi mengatakan :

��� �� I��� c$�� ^7P� 0�R1 4�2 U$81�#P� `��E�+� s� U+�f� I� ^��� � 51

Artinya: Khulu' ialah menanggalkan ikatan pernikahan yang

diterima oleh istri dengan lafaz khulu' atau yang

semakna dengan itu."

2). Golongan Malikiyah mengatakan:

���� �=?+��� �27 I��� 52

Artinya: Khulu' menurut syara' adalah talak dengan tebus.

3). Golongan Asy-Syafi'iyah mengatakan:

I��� ���27 +�8�c$ ����� �A�L�+� �� ��7$+� 4�2 0�EV+� �� ^78��# ��7EH+� � 53

Artinya: Khulu' menurut syara' adalah lafaz yang menunjukkan

perceraian antara suami istri dengan tebusan yang harus

memenuhi persyaratan tertentu.

4). Golongan Hanabilah mengatakan:

I��� �� ��7� EL+� C�%YS ���� �J7 � _�EL+� �� _� ��J7 � U:�W� ��$+Y����}��54

Artinya: Khulu adalah suami menceraikan istrinya dengan tebusan

yang diambil oleh suami dan istrinya atau dari lainnya

dengan lafaz tertentu.

51

Ibid.,hlm. 300 52

Ibid., hlm. 304. 53

Ibid., hlm. 304. 54

Ibid., hlm. 304.

Page 41: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

31

Lafaz Khulu' itu terbagi dua, yaitu lafaz sharih dan lafaz

kinayah. Lafaz sharih misalnya; khala'tu, fasakhtu dan fadaitu.

Berdasarkan pengertian dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

Khulu' adalah perceraian .yang terjadi atas permintaan istri dengan

memberikan tebusan atau 'iwadh kepada suami untuk dirinya dan

perceraian disetujui oleh suami.

c. Fasakh

Fasakh artinya putus atau batal. Yang dimaksud memfasakh

akad nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan

antara suami dan istri. Menurut Amir Syarifuddin, fasakh adalah

putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah

melihat adanya sesuatu pada suami dan atau pada istri yang menandakan

tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan.55

Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat

ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang

kemudian dan membatalkan kelangsungannya pernikahan.

1). Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah

2). Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istri merupakan

saudara sepupu atau saudara sesusuan pihak suami.

3). Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain

ayah atau datuknya. Kemudian setelah dewasa ia berhak

meneruskan ikatan pernikahannya dahulu atau mengakhirinya.

55Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,

2006, hlm. 197.

Page 42: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

32

Khiyar ini dinamakan khiyar balig. Jika yang dipilih mengakhiri

ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh balig.

4). Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad

a). Bila salah seorang dari suami istri murtad atau keluar dari Islam

dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh)

karena kemurtadan yang terjadi belakangan.

b). Jika suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi istri masih

tetap dalam kekafirannya itu tetap menjadi musyrik, maka

akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istri orang ahli kitab,

maka akadnya tetap sah seperti semula. Sebab pernikahannya

dengan ahli kitab dari semulanya dipandang sah.56

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan

bahwa perkawinan dapat putus: a. kematian, b. perceraian, dan c. atas

keputusan pengadilan. Menurut K. Wancik Saleh bahwa dari ketentuan-

ketentuan tentang perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan (pasal 39

sampai dengan pasal 41) dan tentang Tatacara Perceraian dalam Peraturan

Pelaksanaan (pasal 14 sampai dengan pasal 36) dapat ditarik kesimpulan

adanya dua macam perceraian yaitu 1. cerai talak; dan 2. cerai gugat.57

Dalam perkawinan dapat putus disebabkan perceraian dijelaskan

pada pasal 114 KHI yang membagi perceraian kepada dua bagian,

perceraian yang disebabkan karena talak dan perceraian yang disebabkan

56

Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 333. 57

K. Wancik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1982, hlm. 37.

Page 43: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

33

oleh gugatan perceraian. Berbeda dengan UUP yang tidak mengenal istilah

talak, KHI menjelaskan yang dimaksud dengan talak adalah,

Ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah

satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud

dalam pasal 129, 130, dan 131.

KHI mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus

disampaikan di hadapan sidang pengadilan agama. Tampaknya UU No.

7/1989 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti

yang terdapat pada Pasal 66 ayat (1) yang berbunyi,

"Seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan

istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk

mengadakan sidang guna penyaksian ikrar Talak."

Menurut KHI, talak atau perceraian terhitung pada saat perceraian itu

dinyatakan di depan sidang pengadilan. Di samping mengatur tentang talak,

KHI juga memberi aturan yang berkenaan dengan khulu'58

dan li'an59

seperti

yang terdapat pada pasal 124,125,126,127 dan 128.

d. Li'an

Suatu perceraian bisa saja terjadi akibat adanya li'an. Li'an adalah

lafaz dalam bahasa Arab yang berasal dari akar kata laa-'a-na, yang secara

harfiah berarti "saling melaknat". Cara ini disebut dalam term li'an karena

dalam prosesinya tersebut kata "laknat" tersebut. Di antara definisi yang

58

Khulu' adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan. tebusan

('iwad) kepada dan atas persetujuan suaminya. Lihat Bab I KHI tentang ketentuan umum. 59

Li'an adalah seorang suami menuduh istri berbuat zina dan atau

mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya,

sedangkan istri menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut. Lihat pasal 126

KHI.

Page 44: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

34

representatif, yang mudah dipahami adalah: "Sumpah suami yang menuduh

istrinya berbuat zina, sedangkan dia tidak mampu mendatangkan empat orang

saksi".60

Dalam definisi yang sederhana tersebut terdapat beberapa kata kunci

yang akan menjelaskan hakikat dari perbuatan li'an itu, yaitu sebagai berikut:

Pertama: kata "sumpah". Kata ini menunjukkan bahwa li'an itu adalah

salah satu bentuk dari sumpah atau kesaksian kepada Allah yang jumlahnya

lima kali. Empat yang pertama kesaksian bahwa ia benar dengan ucapannya

dan kelima kesaksian bahwa laknat Allah atasnya bila dia berbohong.

Kedua: kata "suami" yang dihadapkan kepada "istri". Hal ini

mengandung arti bahwa li'an berlaku antara suami istri dan tidak berlaku di

luar lingkungan keduanya. Orang yang tidak terikat dalam tali pernikahan

saling melaknat tidak disebut dengan istilah li'an.

Ketiga: kata "menuduh berzina", yang mengandung arti bahwa sumpah

yang dilakukan oleh suami itu adalah bahwa istrinya berbuat zina, baik ia

sendiri mendapatkan istrinya berbuat zina atau meyakini bahwa bayi yang

dikandung istrinya bukanlah anaknya. Bila tuduhan yang dilakukan suami itu

tidak ada hubungannya dengan zina atau anak yang dikandung, tidak disebut

dengan li'an.

Keempat: kata "suami tidak mampu mendatangkan empat orang

saksi". Hal ini mengandung arti bahwa seandainya dengan tuduhannya itu

60Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006, hlm. 288

Page 45: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

35

suarni mampu mendatangkan empat orang saksi sebagaimana dipersyaratkan

waktu menuduh zina, tidak dinamakan dengan li'an; tetapi melaporkan apa

yang terjadi untuk diselesaikan oleh hakim.61

Dengan demikian li'an merupakan perceraian yang terjadi karena

suami menuduh istrinya telah berzina dengan pria lain, atau suami tidak

mengakui anak yang ada dalam kandungan istrinya sebagai anaknya dengan

tuduhan bahwa hal itu hasil hubungan dengan pria lain. Dalam kondisi yang

demikian maka apabila seorang suami menuduh istrinya berbuat zina, atau

tidak mengakui anak yang lahir dari istrinya sebagai anak kandungnya,

sedangkan istrinya tersebut menolak tuduhannya itu; padahal si suami tidak

punya bukti bagi tuduhannya itu, maka dia boleh melakukan sumpah li'an

terhadap istrinya itu. Caranya adalah: suami bersumpah dengan saksi Allah

sebanyak empat kali bahwa dia adalah termasuk orang-orang yang berkata

benar tentang apa yang dituduhkan kepada istrinya itu. Kemudian pada

sumpahnya yang kelima dia hendaknya mengatakan bahwa, laknat Allah akan

menimpa dirinya manakala dirinya termasuk orang-orang yang berdusta.

Selanjutnya, istrinya bersumpah pula dengan saksi Allah sebanyak empat kali,

bahwa suaminya itu termasuk orang-orang yang berdusta. Lalu pada

sumpahnya yang kelima, hendaknya dia mengatakan bahwa, murka Allah

akan menimpanya manakala suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.62

61

Ibid., hlm. 288. 62

Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah,

Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta:

Lentera, 2001, hlm. 333

Page 46: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

36

Apabila si suami tidak bersedia melakukan mula'anah (saling

bersumpah li'an), maka dia harus dijatuhi had (hukuman). Sebaliknya, bila

sang suami melakukan li'an dan istrinya menolak, maka istrinya harus dijatuhi

had. Bila mula'anah telah dilaksanakan oleh kedua belah pihak, hukuman

tidak dijatuhkan kepada mereka berdua. Keduanya dipisahkan, dan si anak

tidak dinyatakan sebagai anak suaminya itu.63

Landasan untuk itu adalah firman Allah yang berbunyi:

�!���V�� � �B����H� �!"�"*�$e �u+�' )��V��" �!"�u+ ����S �!+�� �!"��A����f &�" �7�S ��S��u+��� ���1�B�gW+� ����+ "�ge�' ��u�+��� a���B���� "I���6}� {������+ u& �U�*� ��O�+��� ������2 ��u�+�

�����K���+� ��� &�F &�' ��6�V�S��}� { a���B���� �I���6 �V���H�J �& �p�����+� ������2 �����K���+� ����+ "�ge�' ��u�+���}� { ��� &�F &�' �������2 ��u�+� ����} u& U�*� ��O�+���

���1�B�gW+�)6��+� :��|(

Artinya: "Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka

tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka

persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah,

bahwasanya dia termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah)

yang kelima: bahwa laknat Allah atas dirinya, jika dia termasuk

orang-orang yang berdusta, Istrinya itu dihindarkan dari hukuman

oleh sumpah empat kali atas nama Allah, bahwasanya suaminya itu

termasuk orang-orang yang berdusta. Dan (sumpah) yang kelima:

bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang

yang benar" (QS. an-Nur: 6-9).64

Dengan demikian yang dimaksud li'an yaitu sumpah suami di muka

hakim yang menuduh istrinya berzina, sedangkan suami tersebut tidak

63

Ibid., hlm. 333. 64

Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 544.

Page 47: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

37

mempunyai empat orang saksi. Masalah yang muncul adalah sejak kapan saat

terjadinya perceraian akibat li'an tersebut. Dalam masalah ini terjadi

perbedaan pendapat:

1). Menurut Imam Malik, akibat li'an itu, maka perceraian terjadi apabila

keduanya (suami dan istri) telah selesai mengucapkan li'an. Hal ini

mengandung arti bahwa hakim hanya berada dipihak yang menyaksikan

terjadinya perceraian itu.

2). Menurut Abu Hanifah, akibat li'an itu, maka perceraian terjadi bukan

setelah selesainya suami dan istri mengucapkan li'an, melainkan

perceraian baru terjadi setelah adanya putusan hakim yang menceraikan

keduanya.

3). Menurut Imam Syafi'i, akibat li'an itu, maka perceraian terjadi apabila

suami telah selesai mengucapkan li'an. Jadi tidak perlu setelah selesai

keduanya mengucapkan li'an namun cukup setelah suami mengucapkan

li'an. Alasannya: li'an suami itu sudah menjadi talak, sedangkan li'an istri

adalah hanya sekedar untuk menghindari hukuman.65

B. Hakam

1. Pengertian Hakam

Islam melarang perceraian yang bisa merobohkan sendi-sendi keluarga

dan menyebarkan aib-aibnya, melemahkan kesatuan umat dan membuat

65

Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II,

Beirut: Dâr Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 91.

Page 48: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

38

perasaan mendendam serta mengkoyak-koyak tabir kehormatan.66

Itulah

sebabnya jika antara suami isteri terdapat pertentangan pendapat dan

pertengkaran yang memuncak sehingga kedua belah pihak tidak mungkin

dapat mengatasinya dan tidak mungkin pula mendamaikannya sendiri, maka

dapat diutus seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak

isteri. Kasus krisis rumah tangga yang memuncak ini dalam istilah fiqh

disebut syiqaq.67

Syiqaq mengandung arti pertengkaran, kata ini biasanya dihubungkan

kepada suami istri sehingga berarti pertengkaran yang terjadi antara suami

istri yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh keduanya. Syiqaq ini timbul

bila suami atau istri atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban yang mesti

dipikulnya. Bila terjadi konflik keluarga seperti ini, Allah SWT., memberi

petunjuk untuk menyelesaikannya.68

Hal ini terdapat dalam firman-Nya pada

surat an-Nisa (4) ayat 35 yang bunyinya:

������� ��� �������� ������ ��� ������ ����������� ����������� ����� �!"#�$�% �&�'��

))�*�+� :-.(

Artinya: "Dan jika kamu mengkhawatirkan terjadinya persengketaan antara

keduanya (suami istri), maka kirimkanlah seorang juru damai dari

66Syekh Muhammad Alwi al-Maliki, Adab al-Islam fi Nidham al-Usrah, "Sendi-Sendi

Kehidupan Keluarga Bimbingan Bagi Calon Pengantin", Terj. Ms. Udin dan Izzah Sf, Yogyakarta:

Agung Lestari, 1993, hlm. 87. 67

Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993 68

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta:

Prenada Media, 2006, hlm. 194.

Page 49: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

39

keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.

(QS. An-Nisa': 35)".69

Yang dimaksud dengan hakam dalam ayat tersebut adalah seorang

bijak yang dapat menjadi penengah dalam menghadapi konflik keluarga

tersebut.70

2. Fungsi atau Tugas Hakam

Makna syiqaq adalah retak. Jadi syiqaq cenderung sebagai predikat

bagi hubungan ikatan perkawinan yang sedang berlangsung. Hubungan itu

sudah tidak pada keadaan yang diharapkan dan dapat diberi poin negatif. Dari

predikat negatif ini sering mengarah kepada berakhirnya pada putusnya

hubungan ikatan perkawinan tersebut. Oleh karena itu, bila syiqaq dibahas

dalam bagian dari bab mengenai pemutusan ikatan perkawinan terasa masih

tepat. Walaupun sebenarnya dari sisi peristiwa hukum putusnya itu nanti bisa

saja dalam bentuk talaq, dalam bentuk khulu', dalam bentuk fasakh, dan

bahkan bisa jadi ikatan perkawinannya tidak jadi putus melainkan tetap

bcrlangsung. Kerclakan hubungan ini ada yang discbabkan oleh dua pihak,

yailu pihak suami dan pihak istri secara bcrsama-sama.

Gambarannya ialah apabila terdapat perbedaan watak yang amat sukar

dipertemukan, masing-masing bertahan dan tidak ada yang bersedia mengalah

sama sekali, titik temu benar-benar jarang diperoleh sehingga kehidupan

dalam rumah tangga ada saja gangguan ketenteramannya dan ketegangan

69Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Departemen Agama 1986, hlm. 123. 70Amir Syarifuddin, op.cit., hlm.195.

Page 50: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

40

tidak kunjung reda. Ada pula yang disebabkan hanya satu pihak, pihak suami

misalnya seorang pria tidak bertanggung jawab sebagai pelindung, bertindak

semena-mena hanya mau menang sendiri yang melekat di dalam pikirannya

sehingga perlu dinasihati tetapi nasihat orang tidak didengar. Suasana rumah

tangga demikian tentu menekan istri, dan sampai batas tertentu beban tekanan

itu tidak kuat lagi ditanggung pihak istri. Atau sebaliknya, penyebab syiqaq

justru datang dari pihak istri yang nusyuz (durhaka) yang sekalipun

diupayakan perbaikannya melalui tahapan yang diajarkan al-Qur'an yaitu

diberi nasihat, tidak berhasil lalu dipisahkan tempat tidur, tidak berhasil lagi

dipukul sebagai pengajaran tidak berhasil juga.71

Firman Allah tentang syiqaq terdapat dalam ayat 35 surat an-Nisa'.

Dari ayat ini terdapat satu arahan islah (perdamaian) kepada pihak suami dan

istri melalui penetapan atau pengangkatan dua orang hakam. Memang satu

alternatif islah adakalanya harus cerai setelah dua orang hakam melakukan

penelitian dan pengkajian permasalahan dua pihak suami dan istri. Tetapi

alternatif lain bukan cerai mungkin sekali sebagai langkah islah yang dipilih

dari kesepakatan dua orang hakam.72

Fungsi atau tugas kedua hakam ini adalah menyelidiki dan mencari

hakikat permasalahan yang menimbulkan krisis itu, mencari sebab musabab

yang menimbulkan persengketaan, kemudian berusaha sedapat mungkin

mendamaikan kembali kedua suami isteri itu. Apabila masalah ini tidak

71

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo

Persada, 1995, hlm. 146. 72

Ibid., hlm. 147.

Page 51: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

41

mungkin untuk didamaikan, maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif

untuk menceraikannya. Atas prakarsa kedua hakam ini mereka mengajukan

permasalahannya kepada hakim dan hakim memutuskan dan menetapkan

perceraian tersebut. Perceraian dengan kasus syiqaq ini bersifat ba'in, artinya

suami istri tersebut hanya dapat kembali melalui akad nikah yang baru.73

3. Orang yang Berhak Jadi Hakam

Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan istri, yang

dalam al-Quran disebut syiqaq. Dalam hal ini, al-Quran memberi petunjuk:

�!"#�$�% �&�'�� ������� ��� �������� ������ ��� ������ ����������� ����������� �����

))�*�+� :-.(

Artinya: "Dan jika kamu mengkhawatirkan terjadinya persengketaan antara

keduanya (suami istri), maka kirimkanlah seorang juru damai dari

keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.

(QS. An-Nisa': 35)".74

Penunjukan hakam dari kedua belah pihak ini diharapkan dapat

mengadakan perdamaian dan perbaikan untuk menyelesaikan persengketaan

di antara dua belah pihak suami dan istri. Apabila karena sesuatu hal, hakam

yang ditunjuk tidak dapat melaksanakan tugasnya, dicoba lagi dengan

73

Djamaan Nur, op.cit., hlm. 168. 74Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Departemen Agama 1986, hlm. 123.

Page 52: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

42

menunjuk hakam lainnya, Dalam hal ini, di Indonesia dikenal sebuah Badan

Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) yang tugas dan

fungsinya menjalankan tugas hakam (arbitrator) untuk mendamaikan suami-

istri yang bersengketa, atau dalam hal-hal tertentu memberi nasihat calon

suami istri yang merencanakan perkawinan.

Ulama berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan orang yang

diangkat menjadi hakam tersebut. Salah satu riwayat dari Imam Ahmad yang

juga menjadi pegangan bagi 'Atha' dan salah satu pendapat dari Imam al-

Syafi'i, menurut satu hikayat dari al-Hasan dan Abu Hanifah, mengatakan

bahwa kedudukan dua orang hakam itu adalah sebagai wakil dari suami istri.

Dalam kedudukan ini dua orang hakam tersebut hanya berwenang untuk

mendamaikan kedua suami istri itu dan tidak berwenang untuk menceraikan

keduanya kecuali atas izin dan persetujuan dari kedua suami istri. Alasan yang

dikemukakan oleh golongan ini adalah bahwa kehormatan yang dimiliki istri

menjadi hak bagi suami, sedangkan harta yang dimiliki suami menjadi hak

bagi istri; keduanya telah dewasa dan cerdas; oleh karena itu pihak lain tidak

dapat berbuat sesuatu atas keduanya kecuali seizin keduanya.75

Golongan kedua terdiri dari Ali, Ibnu Abbas, al-Sya'bi, al-Nakha'iy,

Imam Malik, al-Awza'iy, Ishak, dan Ibnu Munzir. Menurut mereka bahwa dua

orang hakam itu berkedudukan sebagai hakim. Dalam kedudukan ini

keduanya dapat bertindak menurut apa yang dianggapnya baik tanpa

persetuJuan kedua suami istri, baik untuk mendamaikannya atau

75

Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 196.

Page 53: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

43

menceraikannya dengan uang tebusan atau menceraikannya tanpa tebusan.

Alasan yang dikemukakan ulama ini adalah petunjuk ayat yang disebutkan di

atas.

Baik atas pendapat golongan yang mengatakan hakam berkedudukan

sebagai wakil atau sebagai hakim, keduanya harus memenuhi syarat yang

ditetapkan syara' yaitu keduanya telah dewasa, sehat akalnya, laki-laki dan

bersikap adil. Ini adalah syarat umum untuk yang bertindak bagi kepentingan

publik. Dalam ayat memang disebutkan dua orang hakam itu satu dari pihak

suami dan seorang lagi dari pihak istri. Namun apakah keduanya merupakan

keluarga dari pihak masing-masing, menjadi perbincangan di kalangan ulama.

Jumhur ulama mengatakan bahwa kedua orang hakam itu tidak dipersyaratkan

dari keluarga kedua belah pihak, namun sebaiknya bila keduanya dari pihak

keluarga, karena dianggap lebih sayang dan lebih mengetahui persoalan

dibandingkan dengan yang lainnya.76

76

Ibid., hlm. 196.

Page 54: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

43

BAB III

PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG HAKAM TIDAK MEMILIKI

WEWENANG DALAM MENCERAIKAN SUAMI ISTRI YANG SEDANG

BERSELISIH

A. Biografi Imam Syafi'i, Pendidikan dan Karya-Karyanya

1. Latar Belakang Kehidupan

Nama lengkap Imam al-Syafi'i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-

Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn

Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf.77

Lahir di Ghaza (suatu

daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H/767 M, kemudian dibawa oleh

ibunya ke Makkah. Ia lahir pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada

zaman kekuasaan Abu Ja’far al Manshur (137-159 H./754-774 M.), dan

meninggal di Mesir pada tahun 204 H/820 M.78

Imam al-Syafi'i berasal dari keturunan bangsawan yang paling

tinggi di masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana,

namun kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia

terpelihara dari perangai-perangai buruk, tidak mau merendahkan diri dan

berjiwa besar. Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan

penderitaan-penderitaan mereka.

77

Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan

Asmu'i Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006,

hlm. 355. 78

Ibid, hlm. 356.

Page 55: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

44

Imam al-Syafi'i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-

Qur'an dalam umur yang masih sangat muda (9 tahun) dan umur sepuluh

tahun sudah hafal kitab al-Muwatta' karya Imam Malik.79

Kemudian ia

memusatkan perhatian menghafal hadis. Ia menerima hadis dengan jalan

membaca dari atas tembikar dan kadang-kadang di kulit-kulit binatang.

Seringkali pergi ke tempat buangan kertas untuk memilih mana-mana yang

masih dapat dipakai.80

Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri

dari pengaruh Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu.

Ia pergi ke Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari

bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam al-Syafi'i tinggal di

Badiyah itu, mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam

bidang syair yang digubah golongan Huzail itu, amat indah susunan

bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain

panah. Dalam masa itu Imam al-Syafi'i menghafal al-Qur'an, menghafal

hadis, mempelajari sastera Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai

kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah dan penduduk-

penduduk kota. 81

Imam al-Syafi'i belajar pada ulama-ulama Makah, baik pada

ulama-ulama fiqih, maupun ulama-ulama hadis, sehingga ia terkenal

79

Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi'i, Jakarta:

Pustaka Tarbiyah, 2004, hlm. 28. 80

Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf,

Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hlm. 17. 81

Syaikh Ahmad Farid, op.cit, hlm. 357 – 360.

Page 56: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

45

dalam bidang fiqh dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang

itu. Gurunya Muslim Ibn Khalid Al-Zanji, menganjurkan supaya Imam al-

Syafi'i bertindak sebagai mufti. Sungguh pun ia telah memperoleh

kedudukan yang tinggi itu namun ia terus juga mencari ilmu.82

Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah ada seorang ulama

besar yaitu Malik, yang memang pada masa itu terkenal di mana-mana

dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu dan hadis. Imam al-

Syafi'i ingin pergi belajar kepadanya, akan tetapi sebelum pergi ke

Madinah ia lebih dahulu menghafal al-Muwatta', susunan Malik yang

telah berkembang pada masa itu. Ia berangkat ke Madinah untuk belajar

kepada Malik dengan membawa sebuah surat dari gubernur Makah. Mulai

ketika itu ia memusatkan perhatian mendalami fiqh di samping

mempelajari al-Muwatta’. Imam al-Syafi'i mengadakan mudarasah

dengan Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan Malik. Di waktu

Malik meninggal tahun 179 H, Imam al-Syafi'i telah mencapai usia

dewasa dan matang.83

Di antara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam al-

Syafi'i adalah tentang metode pemahaman' Al-Qur'an dan sunnah atau

metode istinbat (usul fikih). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya

dalam berijtihad terikat dengan kaidah-kaidahnya, namun belum ada

kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai satu disiplin ilmu

82

Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan

Qaul Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 28. 83

TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab,

Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 480 – 481.

Page 57: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

46

yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum Islam. Dalam kondisi

demikianlah Imam al-Syafi'i tampil berperan menyusun sebuah buku usul

fikih. Idenya ini didukung pula dengan adanya permintaan dari seorang

ahli hadis bernama Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar

Imam al-Syafi'i menyusun metodologi istinbat.84

Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M; ahli hukum

Islam berkebangsaan Mesir) menyatakan buku itu (al-Risalah) disusun

ketika Imam al-Syafi'i berada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin

Mahdi ketika itu berada di Mekah. Imam al-Syafi'i memberi judul

bukunya dengan "al-Kitab" (Kitab, atau Buku) atau "Kitabi" (Kitabku),

kemudian lebih dikenal dengan "al-Risalah" yang berarti "sepucuk surat."

Dinamakan demikian, karena buku itu merupakan surat Imam 'asy-Syafi'i

kepada Abdurrahman bin Mahdi. Kitab al-Risalah yang pertama ia susun

dikenal dengan ar-Risalah al-Qadimah (Risalah Lama).85

Dinamakan demikian, karena di dalamnya termuat buah-buah

pikiran: Imam al-Syafi'i sebelum pindah ke Mesir. Setelah sampai di

Mesir, isinya disusun kembali dalam rangka penyempurnaan bahkan ada

yang diubahnya, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan al-Risalah al-

Jadidah (Risalah Baru). Jumhur ulama usul-fikih sepakat menyatakan

bahwa kitab ar-Risalah karya Imam al-Syafi'i ini merupakan kitab pertama

yang memuat masalah-masalah usul fikih secara lebih sempurna dan

84

Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 29. 85

Syaikh Ahmad Farid, op.cit, hlm. 361.

Page 58: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

47

sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun pertama usul fikih

sebagai satu disiplin ilmu.86

2. Pendidikan dan Karya-Karyanya

Imam al-Syafi'i menerima fiqh dan hadis dari banyak guru yang

masing-masingnya mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-

tempat berjauhan bersama lainnya. Imam al-Syafi'i menerima ilmunya dari

ulama-ulama Makah, ulama-ulama Madinah, ulama-ulama Iraq dan ulama-

ulama Yaman.87

Imam al-Syafi'i berguru dari ulama-ulama Makkah, Madinah, Irak

danYaman. Ulama Makkah yang menjadi gurunya diantaranya adalah:

Sufyan bin 'Uyainah, Muslim bin Khalid al-Zanzi, Sa'id bin Salim al-

Kaddah, Daud bin 'Abdirahman al-Attars dan Abdul Hamid bin Abdul

Aziz Abi Zuwad. Ulama Madinah yang menjadi gurunya adalah: Malik

bin Anas, Ibrahim bin Sa'ad al-Ansari, Abd al-Aziz bin Muhammad

Addahrawardi, Ibrahim bin Abi Yahya al-Asami, Muhammad bin Abi

Sa'id bin Abi Fudaik, Abdullah bin Nafi' teman ibnu Abi Zuwaib. Ulama

Yaman yang menjadi gurunya adalah: Muttaraf bin Hazim, Hisyam bin

Yusuf, 'Umar bin Abi Salamah teman al-Auza'i dan Yahya bin Hasan

teman al-Lais.

Sedangkan ulama Irak yang menjadi gurunya adalah: Waki' bin

Jarrah, Abu Usamah, Hammad bin Usamah, dua ulama Kuffah, Isma'il bin

86

Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 30. 87

Mahmud Syalthut, op.cit., hlm. 18.

Page 59: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

48

Ulaiyah dan Abdul Wahab bin Abdul Majid, dua ulama Bashrah, juga

menerima ilmu dari Muhammad bin al-Hasan yaitu dengan mempelajari

kitab-kitabnya yang didengar langsung dari padanya. Dari sinilah ia

memperoleh pengetahuan fiqh Irak.88

Setelah sekian lama mengembara menuntut ilmu, pada tahun 186 H

Imam al-Syafi'i kembali ke Makah. Di masjidil Haram ia mulai mengajar

dan mengembangkan ilmunya dan mulai berijtihad secara mandiri dalam

membentuk fatwa-fatwa fiqihnya. Tugas mengajar dalam rangka

menyampaikan hasil-hasil ijtihadnya ia tekuni dengan berpindah-pindah

tempat. Selain di Makah, ia juga pernah mengajar di Baghdad (195-197

H), dan akhirnya di Mesir 198-204 H). Dengan demikian ia sempat

membentuk kader-kader yang akan menyebarluaskan ide-idenya dan

bergerak dalam bidang hukum Islam. Di antara murid-muridnya yang

terkenal ialah Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri madzhab Hanbali), Yusuf

bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-

Muzani (w. 264 H), dan Imam Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (174-270

H). Tiga muridnya yang disebut terakhir ini, mempunyai peranan penting

dalam menghimpun dan menyebarluaskan faham fiqih Imam al-Syafi'i.89

Imam al-Syafi'i wafat di Mesir, tepatnya pada hari Jum’at tanggal

30 Rajab 204 H, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak

88

Muhammad Abu Zahrah, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-uhu wa

Fiqhuhu, Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, “Imam al-Syafi'i

Biografi dan Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, Jakarta:

PT Lentera Basritama, 2005, hlm. 42-45 89

Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar

Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1680.

Page 60: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

49

orang. Kitab-kitabnya hingga saat ini masih banyak dibaca orang, dan

makamnya di Mesir sampai detik ini masih diziarahi orang.90

Karya-karya Imam Asy-Syâfi'i yang berhubungan di antaranya:

(1) Al-Umm. Kitab ini disusun langsung oleh Imam Asy-Syâfi'i

secara sistematis sesuai dengan bab-bab fikih dan menjadi rujukan utama

dalam Mazhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Imam Asy-Syâfi'i

dalam berbagai masalah fikih. Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Imam

Asy-Syâfi'i yang dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama)

dan al-qaul al-jadid (pendapat baru). Kitab ini dicetak berulang kali dalam

delapan jilid bersamaan dengan kitab usul fikih Imam Asy-Syâfi'i yang

berjudul Ar-Risalah. Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asy-

Sya'b Mesir, kemudian dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.91

(2) Kitab al-Risalah. Ini merupakan kitab ushul fiqh yang pertama

kali dikarang dan karenanya Imam Asy-Syâfi'i dikenal sebagai peletak

dasar ilmu ushul fiqh. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran

Syafi'i dalam menetapkan hukum.92

(3) Kitab Imla al-Shagir; Amali al-

Kubra; Mukhtasar al-Buwaithi;93

Mukhtasar al-Rabi; Mukhtasar al-

Muzani; kitab Jizyah dan lain-lain kitab tafsir dan sastera.94

Siradjuddin

Abbas (ulama yang lahir di Sumatera Barat, pengarang buku 40 Masalah

90

Ibid.,hlm. 18. 91

TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm, 488. 92

Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132. 93

Ahmad Asy Syurbasyi, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin,

"Biografi Empat Imam Mazhab", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 144. 94

Ali Fikri, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para

Imam Madzhab", Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 109-110.

Page 61: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

50

Agama) dalam bukunya telah mengumpulkan 97 (sembilan puluh tujuh)

buah kitab dalam fiqih Syafi’i. Namun dalam bukunya itu tidak diulas

masing-masing dari karya Syafi’i tersebut.95

Ahmad Nahrawi Abd al-

Salam menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam Asy-Syâfi'i adalah

Musnad li al-Syafi'i; al-Hujjah; al-Mabsut, al-Risalah, dan al-Umm.96

3. Situasi Sosio-Politik yang Mengitarinya

Imam al-Syafi'i lahir di masa Dinasti Abbasiyah. Seluruh

kehidupannya berlangsung pada saat para penguasa Bani Abbas

memerintah wilayah-wilayah negeri Islam. Saat itu adalah saat di mana

masyarakat Islam sedang berada di puncak keemasannya. Kekuasaan Bani

Abbas semakin terbentang luas dan kehidupan umat Islam semakin maju

dan jaya. Masa itu memiliki berbagai macam keistimewaan yang memiliki

pengaruh besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebangkitan

pemikiran Islam. Transformasi ilmu dari filsafat Yunani dan sastra Persia

serta ilmu bangsa India ke masyarakat Muslim juga sedang semarak.

Mengingat pentingnya pembahasan ini, maka kami akan memberikan

gambaran singkat tentang tentang kondisi pemikiran dan sosial

kemasyarakatan pada masa itu.97

Kota-kota di negeri Islam saat itu sedikit demi sedikit mulai

dimasuki unsur-unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi,

India dan Nabath. Dahulu, kota Baghdad adalah pusat pemerintahan

95

Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta:

Pustaka Tarbiyah, 2004, hlm. 182-186. 96

Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 28. 97

Muhammad Abu Zahrah, Hayatuhu…, op.cit, hlm. 84.

Page 62: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

51

sekaligus pusat peradaban Islam. Kota tersebut dipenuhi oleh masyarakat

yang terdiri dari berbagai jenis bangsa. Kaum Muslim dari berbagai

penjuru dunia berduyun-duyun berdatangan ke Baghdad dari berbagai

pelosok negeri Islam. Tentunya, kedatangan mereka sekaligus membawa

kebudayaan bangsanya dalam jiwa dan perasaannya yang dalam.98

Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan

banyak timbul aneka problema sosial. Oleh karena itu, di masyarakat

Baghdad banyak muncul fenomena-fenomena yang beraneka ragam yang

disebabkan oleh interaksi sosial antara sesama anggota masyarakatnya di

mana masing-masing ras mempunyai kekhususan ras-ras tersebut. Setiap

permasalahan yang timbul dari interaksi antar masyarakat tersebut

tentunya akan diambil ketentuan hukumnya dari syariat. Sebab, syariat

Islam adalah syariat yang bersifat umum.99

Syariat tersebut akan memberikan muatan hukum bagi setiap

permasalahan yang terjadi; baik permasalahan itu masuk dalam kategori

permasalahan ringan ataupun berat. Pengamatan terhadap permasalahan

yang terjadi akan memperluas cakrawala pemikiran seorang faqih

sehingga ia dapat menemukan penyelesaian (solusi hukum) bagi masalah-

masalah yang terjadi. Selain itu, sang faqih akan dapat memperluas medan

pembahasan dengan menghadirkan permasalahan yang mungkin terjadi,

98

Ibid., hlm. 84. 99

Ibid., hlm. 85.

Page 63: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

52

kemudian memberikan kaidah-kaidah umum untuk masalah-masalah furu'

yang berbeda.100

B. Pendapat Imam Syafi'i tentang Hakam Tidak memiliki Kewenangan dalam

Menceraikan Suami Isteri yang Sedang Berselisih

Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm, Juz. V menyatakan:

����� ����� �� ��� ���� ���� ��� ��� �� �� �� !��"#� �� $� � %&� '( ����� )%&* '( +�,* ��( -. �%�* ��� !��"#� �� /0

1���� �2 !�10 �* 3���#� 3� ���"#� 4�� �5� /0$� 6&�7 �(8� �( 9�:�5� );��<# �� �( 1��� =�:0 >� ?@� A�( );��B C%� �� �( ���"#�� D���#� E6F >� G%B >� / 6�� �� ��� �( A:��0 >� )� CH60

�"I J �K* ��� �� �� �* L#K� M6N�#�� O6PQ�� /R#�� O*6S� T U���� V�� �� +�1� ����0 > �* ���� �K5� G%<#�� ��6#� T�"�#� W�T ���( W�T ��1;�X� W��#� +�,* �K� CY� )� Z1��� ���� �� �%�

�[�� �&�F\ �] ^�80 �* 4��_S� ������#� A��F,� �K�� !��"#� �� ���� `;0 �* )�%� ?a� �2�@� b� �� ��� '�( ����� )%&* '(

�,1� �� �� ��� �a%<0� �c6(* ��"��# ��#�� /����#� �&* '( � %&*

100

Ibid, hlm., 86

Page 64: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

53

, �� �� 6�0 �c6(80 �* )# d�#� �� * '�( ��:0 >� W��#� 6(8� >� �0 �YK5� >� O*6S� ��(101

Artinya: Imam al-Syafi'i berkata : Firman Allah Azza wajalla, yang artinya:

"Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya maka

kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam

dari keluarga perempuan" (An Nisa : 35). Imam al-Syafi'i berkata :

"Dan Allah lebih mengetahui dengan makna apa yang ia ingini.

Adapun zhahir ayat maka kekhawatiran sengketa antara suami istri di

mana masing-masing dari keduanya mendakwa bahwa temannya itu

mencegah hak dan salah seorang dari keduanya tidak berbuat baik

terhadap kawannya dengan memberikan apa yang ia sukainya, dan

tidak terputus di antara keduanya dengan sebab perceraian, tidak pula

mendamaikan dan tidak pula meninggalkan kewajiban karena

persengketaan itu. Yang demikian itu bahwa Allah Azza wa jalla

mengizinkan dalam masalah nusyuz wanita untuk memberi nasihat,

meninggalkan tempat-tidur dan memukul. Dan Allah mengizinkan

karena nusyuz laki-laki untuk mengadakan perdamaian. Apabila

keduanya khawatir tidak dapat menegakkan ketentuan-ketentuan Allah

maka tidak berdosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan

oleh istri untuk menebus dirinya. Dan Allah melarang bila laki-laki

menginginkan menukar istri pada tempat istri untuk mengambil

sesuatu yang telah diberikan kepada istri. Imam al-Syafi'i berkata:

101

Imam al-Syafi’î, Al-Umm, Juz V, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth,

hlm. 208.

Page 65: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

54

"Bila dua orang suami istri yang khawatir terjadi persengketaan di

antara keduanya mengadu kepada hakim, maka kewajiban hakim

mengutus seorang hakam dari keluarga si perempuan dan seorang

hakam dari keluarga laki-laki, yang termasuk orang yang saleh dan

berakal/berfikir supaya keduanya mengungkap urusan dua orang

suami istri itu, dan keduanya mendamaikan antara dua suami istri jika

keduanya mampu. Imam al-Syafi'i, berkata: "Hakim tidak berhak

memerintahkan dua orang hakam untuk menceraikan dua orang suami

istri meskipun keduanya berpendapat demikian kecuali dengan

perintah suami. Dan ke duanya tidak boleh memberikan harta wanita

kecuali dengan izinnya".

Pernyataan Imam al-Syafi'i tersebut menunjukkan bahwa apabila

suami istri bersengketa, sementara suami atau istri itu tidak ada yang mau

mengalah, sehingga jika situasi perselisihan dibiarkan berkepanjangan maka

tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian bahkan permusuhan yang

menimbulkan saling benci dan dendam, maka hendaknya ada seorang hakam

sebagai juru wasit yang mendamaikan kedua belah pihak.

Kedua hakam ini tentunya hakam dari keluarga suami dan hakam dari

keluarga istri. Hakam tersebut hanya boleh mendamaikan dan mencari solusi

yang dapat menghentikan perselisihan. Kedua hakam tidak boleh menyuruh

suami istri itu untuk bercerai. Dengan kata lain kedua hakam tidak mempunyai

Page 66: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

55

kewenangan untuk memisahkan suami istri itu jika tidak diminta suami yang

berselisih itu.

C. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Hakam Tidak memiliki

Kewenangan dalam Menceraikan Suami Isteri yang Sedang Berselisih

Imam al-Syafi'i menyusun konsep pemikiran ushul fiqihnya dalam

karya monumentalnya yang berjudul al-Risalah. Di samping itu, dalam al-

Umm banyak pula ditemukan prinsip-prinsip ushul fiqh sebagai pedoman

dalam ber-istinbat. Di atas landasan ushul fiqh yang dirumuskannya sendiri

itulah ia membangun fatwa-fatwa fiqihnya yang kemudian dikenal dengan

mazhab Syafi’i. Menurut Imam al-Syafi'i “ilmu itu bertingkat-tingkat”,

sehingga dalam mendasarkan pemikirannya ia membagi tingkatan sumber-

sumber itu sebagai berikut:

1. Ilmu yang diambil dari kitab (al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah SAW

apabila telah tetap kesahihannya.

2. Ilmu yang didapati dari ijma dalam hal-hal yang tidak ditegaskan dalam al-

Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.

3. Fatwa sebagian sahabat yang tidak diketahui adanya sahabat yang

menyalahinya.

4. Pendapat yang diperselisihkan di kalangan sahabat.

5. Qiyas apabila tidak dijumpai hukumnya dalam keempat dalil di atas.102

Tidak boleh berpegang kepada selain al-Qur’an dan sunnah dari

beberapa tingkatan tadi selama hukumnya terdapat dalam dua sumber tersebut.

102

Imam al-Syafi'i, al-Umm. Juz 7, Beirut: Dar al-Kutub, Ijtimaiyyah, t.th,

hlm. 246.

Page 67: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

56

Ilmu secara berurutan diambil dari tingkatan yang lebih atas dari tingkatan-

tingkatan tersebut.

Dalil atau dasar hukum Imam al-Syafi'i dapat ditelusuri dalam fatwa-

fatwanya baik yang bersifat qaul qadim (pendapat terdahulu) ketika di

Baghdad maupun qaul jadid (pendapat terbaru) ketika di Mesir. Tidak berbeda

dengan mazhab lainnya, bahwa Imam al-Syafi'i pun menggunakan Al-Qur’an

sebagai sumber pertama dan utama dalam membangun fiqih, kemudian

sunnah Rasulullah SAW bilamana teruji kesahihannya.103

Dalam hubungannya dengan metode istinbath hukum Imam al-Syafi'i

tentang hakam, maka sebagai istidlal yaitu al-Qur'an surat An-Nisa (4) ayat

35, juz 5. Imam al-Syafi'i meletakkan sunnah sahihah sejajar dengan al-Qur’an

pada urutan pertama, sebagai gambaran betapa penting sunnah dalam

pandangan Imam al-Syafi'i sebagai penjelasan langsung dari keterangan-

keterangan dalam al-Qur’an. Sumber-sumber istidlal104

walaupun banyak

namun kembali kepada dua dasar pokok yaitu: al-Kitab dan al-Sunnah. 105

Imam al-Syafi'i menjawab sendiri pertanyaan ini. Menurutnya, al-

Kitab dan al-Sunnah kedua-duanya dari Allah dan kedua-duanya merupakan

dua sumber yang membentuk syariat Islam. Mengingat hal ini tetaplah al-

103

Syaikh Ahmad Farid, op.cit, hlm. 362. 104

Istidlal artinya mengambil dalil, menjadikan dalil, berdalil. Lihat TM.

Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT

Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 588 dan 585. Menurut istilah menegakkan dalil

untuk sesuatu hukum, baik dalil tersebut berupa nash, ijma' ataupun lainnya atau

menyebutkan dalil yang tidak terdapat dalam nash, ijma ataupun qiyas. Lihat TM.

Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra,

2001, hlm. 214. 105

Ibid., hlm. 239.

Page 68: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

57

Sunnah semartabat dengan al-Qur’an. Al-Sunnah yang dimaksud yaitu al-

Sunnah yang memiliki derajat sahih. Pandangan Imam al-Syafi'i sebenarnya

adalah sama dengan pandangan kebanyakan sahabat.106

Imam al-Syafi'i

menetapkan bahwa al-Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al-Qur’an.

Namun demikian, tidak memberi pengertian bahwa hadis-hadis yang

diriwayatkan dari Nabi semuanya berfaedah yakin. Ia menempatkan al-Sunnah

semartabat dengan al-Kitab pada saat meng-istinbat-kan hukum, tidak

memberi pengertian bahwa al-Sunnah juga mempunyai kekuatan dalam

menetapkan aqidah. Orang yang mengingkari hadis dalam bidang aqidah,

tidaklah dikafirkan.107

Imam al-Syafi'i menyamakan al-Sunnah dengan al-Qur’an dalam

mengeluarkan hukum furu’, tidak berarti bahwa al-Sunnah bukan merupakan

cabang dari al-Qur’an. Oleh karenanya apabila hadis menyalahi al-Qur'an

hendaklah mengambil al-Qur'an.Adapun yang menjadi alasan ditetapkannya

kedua sumber hukum itu sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah

karena al-Qur'an memiliki kebenaran yang mutlak dan al-sunnah sebagai

penjelas atau ketentuan yang merinci Al-Qur'an.108

.

Ijma109

menurut Imam al-Syafi'iadalah kesepakatan para mujtahid di

suatu masa, yang bilamana benar-benar terjadi adalah mengikat seluruh kaum

106

Imam al-Syafi'i, al-Risalah, Mesir: al-Ilmiyyah, 1312 H, hlm. 32. 107

Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 45. 108

Ibid 109

Menurut Abdul Wahab Khallaf, ijma’ menurut istilah para ahli ushul

fiqh adalah kesepakatan para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa

setelah Rasulullah SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Abd

al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978, hlm, hlm. 45.

Page 69: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

58

muslimin.

Oleh karena ijma baru mengikat bilamana disepakati seluruh

mujtahid di suatu masa, maka dengan gigih Imam al-Syafi'i menolak ijma

penduduk Madinah (amal ahl al-Madinah), karena penduduk Madinah hanya

sebagian kecil dari ulama mujtahid yang ada pada saat itu.110

Imam al-Syafi'i berpegang kepada fatwa-fatwa sahabat Rasulullah

SAW dalam membentuk mazhabnya, baik yang diketahui ada perbedaan

pendapat, maupun yang tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di

kalangan mereka. Imam al-Syafi'i berkata:111

��e�I f ��0 *, '( g� ��# � 0 *,

Artinya: "Pendapat para sahabat lebih baik daripada pendapat kita

sendiri untuk kita amalkan"

Bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tersurat dalam

sumber-sumber hukum tersebut di atas, dalam membentuk mazhabnya, Imam

al-Syafi'i melakukan ijtihad. Ijtihad dari segi bahasa ialah mengerjakan

sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali

untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah. Menurut istilah,

ijtihad ialah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-

hukum syari’at. Dengan ijtihad, menurutnya seorang mujtahid akan mampu

mengangkat kandungan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW secara lebih

maksimal ke dalam bentuk yang siap untuk diamalkan. Oleh karena demikian

penting fungsinya, maka melakukan ijtihad dalam pandangan Imam al-Syafi'i

adalah merupakan kewajiban bagi ahlinya. Dalam kitabnya al-Risalah, Imam

110

Imam al-Syafi'i, al-Risalah , op. cit, hm. 534. 111

Imam al-Syafi'i, al-Risalah, Mesir: al-Ilmiyyah, 1312 H, hlm. 562.

Page 70: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

59

al-Syafi'i mengatakan, “Allah mewajibkan kepada hambanya untuk berijtihad

dalam upaya menemukan hukum yang terkandung dalam al-Qur'an dan as-

Sunnah”.112

Metode utama yang digunakannya dalam berijtihad adalah qiyas.

Imam al-Syafi'i membuat kaidah-kaidah yang harus dipegangi dalam

menentukan mana ar-rayu yang sahih dan mana yang tidak sahih. Ia membuat

kriteria bagi istinbat-istinbat yang salah. Ia menentukan batas-batas qiyas,

martabat-martabatnya, dan kekuatan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.

Juga diterangkan syarat-syarat yang harus ada pada qiyas. Sesudah itu

diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam istinbat yang

lain selain qiyas.113

Ulama usul menta'rifkan qiyas sebagai berikut:

)2�6��> )��� D�%( 6(8� )��� C%� h�<�(gi6(* ��@���@� /j%� k )(114

Artinya: "Menyamakan sesuatu urusan yang tidak ditetapkan

hukumnya dengan sesuatu urusan yang sudah diketahui

hukumnya karena ada persamaan dalam illat hukum."

Dengan demikian Imam al-Syafi'i merupakan orang pertama dalam

menerangkan hakikat qiyas. Sedangkan terhadap istihsan, Syafi'i menolaknya.

Khusus mengenai istihsan ia mengarang kitab yang berjudul Ibtalul Istihsan.

Dalil-dalil yang dikemukakannya untuk menolak istihsan, juga disebutkan

dalam kitab Jima’ul Ilmi, al-Risalah dan al-Umm. Kesimpulan yang dapat

112

Ibid, hm. 482. 113

Ibid, hlm. 482. 114

TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 257.

Page 71: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

60

ditarik dari uraian-uraian Imam al-Syafi'i ialah bahwa setiap ijtihad yang tidak

bersumber dari al-Kitab, al-Sunnah, asar, ijma’ atau qiyas dipandang istihsan,

dan ijtihad dengan jalan istihsan, adalah ijtihad yang batal.115

Jadi alasan

Imam al-Syafi'i menolak istihsan adalah karena kurang bisa

dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Dalil hukum lainnya yang dipakai Imam al-Syafi'i adalah maslahah

mursalah. Menurut Imam al-Syafi’i, maslahah mursalah adalah cara

menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di

dalam Al-Qur’an maupun dalam kitab hadis, berdasarkan pertimbangan

kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.116

Menurut istilah para ahli

ilmu ushul fiqh maslahah mursalah ialah suatu kemaslahatan di mana syari’

tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak

ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.117

Dalam menguraikan keterangan-keterangannya, Imam al-Syafi'i

terkadang memakai metode tanya jawab, dalam arti menguraikan pendapat

pihak lain yang diadukan sebagai sebuah pertanyaan, kemudian ditanggapinya

dengan bentuk jawaban. Hal itu tampak umpamanya ketika ia menolak

penggunaan istihsan.118

115

Ibid, hlm. 146. 116

Imam al-Syafi'i, al-Risalah, op.cit., hlm. 479. 117

Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm. 84. Cf. Sobhi Mahmassani,

Falsafah al-Tasyri fi al-Islam, Terj. Ahmad Sudjono, “Filsafat Hukum dalam

Islam”, Bandung: PT al-Ma’arif, 1976, hlm.184. 118

Imam al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. 7, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth,

hlm. 271-272.

Page 72: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

61

Pada kesempatan yang lain ia menggunakan metode eksplanasi dalam

arti menguraikan secara panjang lebar suatu masalah dengan memberikan

penetapan hukumnya berdasarkan prinsip-prinsip yang dianutnya tanpa ada

sebuah pertanyaan, hal seperti ini tampak dalam penjelasannya mengenai

persoalan pernikahan.119

Dalam format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang

terdapat kitab-kitab lain yang juga dibukukan dalam satu kitab al-Umm

diantaranya adalah :

1 Al-Musnad, berisi sanad Imam al-Syafi'i dalam meriwayatkan hadis-hadis

Nabi dan juga untuk mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru Imam

al-Syafi'i.

2 Khilafu Malik, berisi bantahan-bantahannya terhadap Imam Malik

gurunya.

3 Al-Radd 'Ala Muhammad Ibn Hasan, berisi pembelaannya terhadap

mazhab ulama Madinah dari serangan Imam Muhammad Ibn Hasan,

murid Abu Hanifah.

4 Al-Khilafu Ali wa Ibn Mas'ud, yaitu kitab yang memuat pendapat yang

berbeda antara pendapat Abu Hanifah dan ulama Irak dengan AH Abi

Talib dan Abdullah bin Mas'ud.

5 Sair al-Auza'i, berisi pembelaannya atas imam al-Auza'i dari serangan

Imam Abu Yusuf.

119

Ibid., hlm. V.

Page 73: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

62

6 Ikhtilaf al-Hadis, berisi keterangan dan penjelasan Imam al-Syafi'i atas

hadis-hadis yang tampak bertentangan, namun kitab ini juga ada yang

dicetak tersendiri.

7 Jima' al-'llmi, berisi pembelaan Imam al-Syafi'i terhadap Sunnah Nabi

Saw.

Dalam hubungannya dengan metode istinbat hukum Imam al-Syafi'i

tentang hakam tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami istri

yang sedang berselisih, maka Imam al-Syafi'i menggunakan istinbat hukum

yaitu al-Qur'an surat An-Nisa (4) ayat 35, juz 5.

�l m%n&o* n'p( q��o�l�l� m)m%n&o* n'p( q��o�l� r��sln��o� �l�m m�n�l� l��o�m� n�t�r�m� r�m�l� l)j%#� u�m� �l�t l�n�l� t)j%#� m?v�l�t0 q��oVnBm� �l10m6t0 �m� q�gm;l� q���m%l� o��o2 }xy{

Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara

keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-

laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua

orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya

Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya

Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. An-Nisa

ayat 35).120

Dalam penafsiran Imam al-Syafi'i bahwa ayat ini mengisyaratkan

dibolehkannya hakam mendamaikan kedua belah pihak, namun hakam tidak

memiliki kewenangan menyuruh mereka suami istri untuk bercerai.

120

Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Surabaya:: DEPAG RI, 1978, hlm. 123.

Page 74: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

63

Jadi apabila suami istri bersengketa, sementara suami atau istri itu

tidak ada yang mau mengalah, sehingga jika situasi perselisihan dibiarkan

berkepanjangan maka tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian

bahkan permusuhan yang menimbulkan saling benci dan dendam, maka

hendaknya ada seorang hakam sebagai juru wasit yang mendamaikan kedua

belah pihak.

Hakam ini adalah menyelidiki dan mencari hakikat permasalahan yang

menimbulkan krisis itu, mencari sebab musabab yang menimbulkan

persengketaan, kemudian berusaha sedapat mungkin mendamaikan kembali

kedua suami isteri itu. Apabila masalah ini tidak mungkin untuk didamaikan,

maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif untuk menceraikannya. Atas

prakarsa kedua hakam ini mereka mengajukan permasalahannya kepada

hakim dan hakim memutuskan dan menetapkan perceraian tersebut.

Perceraian dengan kasus syiqaq ini bersifat ba'in, artinya suami istri tersebut

hanya dapat kembali melalui akad nikah yang baru.

Adanya hakam itu adalah karena perceraian secara langsung bisa

menimbulkan dampak. Dengan demikian, apabila antara suami istri terdapat

perbedaan watak yang amat sukar dipertemukan, masing-masing bertahan dan

tidak ada yang bersedia mengalah sama sekali. Hal ini berarti titik temu benar-

benar jarang diperoleh sehingga kehidupan dalam rumah tangga ada saja

gangguan ketenteramannya dan ketegangan tidak kunjung reda. Ada pula yang

disebabkan hanya satu pihak, pihak suami misalnya seorang pria tidak

Page 75: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

64

bertanggung jawab sebagai pelindung, bertindak semena-mena hanya mau

menang sendiri, maka disini pentingnya ada seorang hakam.

Page 76: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

63

BAB IV

ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG HAKAM

TIDAK MEMILIKI WEWENANG DALAM MENCERAIKAN SUAMI

ISTRI YANG SEDANG BERSELISIH

A. Analisis Pendapat Imam al-Syafi'i tentang Hakam Tidak Memiliki

Wewenang dalam Menceraikan Suami Istri yang Sedang Berselisih

Sebelum menganalisis pendapat Imam al-Syafi'i, ada baiknya

dikemukakan sepintas pendapat para ulama lainnya tentang kewenangan

hakam. Berdasarkan hal itu maka dalam sub ini hendak diketengahkan tiga

hal: (1) pendapat para ulama tentang kewenangan hakam; (2) Pendapat Imam

al-Syafi'i tentang hakam tidak memiliki wewenang dalam menceraikan suami

istri yang sedang berselisih; (3) Analisis penulis.

1. Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam

Islam melarang perceraian yang bisa merobohkan sendi-sendi keluarga

dan menyebarkan aib-aibnya, melemahkan kesatuan umat dan membuat

perasaan mendendam serta mengkoyak-koyak tabir kehormatan.121

Itulah

sebabnya jika terjadi perpecahan antara suami-istri sehingga timbul

permusuhan yang dikhawatirkan mengakibatkan pisah dan hancurnya rumah

tangga, maka hendaknya diadakan hakam (wasit) untuk memeriksa

121Syekh Muhammad Alwi al-Maliki, Adab al-Islam fi Nidham al-Usrah, "Sendi-Sendi

Kehidupan Keluarga Bimbingan Bagi Calon Pengantin", Terj. Ms. Udin dan Izzah Sf, Yogyakarta:

Agung Lestari, 1993, hlm. 87.

Page 77: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

64

perkaranya dan hendaklah hakam ini berusaha mengadakan perdamaian guna

kelanggengan kehidupan rumah tangga dan hilangnya perselisihan.122

Allah

berfirman:

������� ��� �������� ������ ��� ������ ����������� ����������� ����� �!"#�$�% �&�'��))�*�+� :-.(

Artinya: "Dan jika kamu mengkhawatirkan terjadinya persengketaan antara

keduanya (suami istri), maka kirimkanlah seorang juru damai dari

keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.

(QS. An-Nisa': 35)".123

Masalahnya, apakah hakam ini memiliki kewenangan atau dibolehkan

menceraikan suami istri yang sedang berselisih. Imam Malik dan para

pengikutnya berpendapat bahwa pendapat dua hakam itu untuk mengadakan

pemisahan atau pengumpulan dibolehkan tanpa memerlukan pemberian kuasa

ataupun persetujuan dari suami istri yang diwakili. Imam Malik beralasan

dengan atsar yang diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib r.a. bahwa ia

mengatakan tentang kedua juru damai itu:

�D�S G��tgV��"��<��� �ge s�+�� ���2 4�� ��������D�+� G�� 0�1 a��+�v G�� ���� gG���2 u& 4+����J "�u�+� 0�1 ���S�u�+� ) ������ ��� ������ ���������� ����������� ����� �!"#�$�% �&�'��

���� ��� �������� �������2 &�F ��u�+� u&�' ���"������� "�u�+� �M����"S ������:�' ��VS�7"S �&�' ��� ����R�% ( �� "��*�� �s�+K�� s�+�� 0�1 �i����#�A��+��� ���"������� U1�7�$�+� �������+�' u&�'

��1 "f�"��S ��������D�+� u& �!�����+� �T�� ��� "������9 G�� ���J�7� ��� �T"Ag7+� ������ ���"��+

122Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970, hlm. 329. 123Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Departemen Agama 1986, hlm. 123.

Page 78: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

65

�i����#�A��+��� �U1�7�$�+� u& �!�����+� �T�� ��� "������9 �� "��*�� �s�+K�� s�+�� 0�1�i����#�A��+��� �U1�7�$�+� G�� ���J�7� ��� �T"Ag7+� ������ ���"��+��1 "f�"��S ��������D�+� ) C��6

s+� (124

Artinya: Yahya menyampaikan kepadaku [hadits] dari Malik bahwa ia

telah mendengar bahwa 'Ali ibn Abi Talib berkata tentang

dua orang penengah yang dikatakan Allah SWT.: Jika

engkau takut akan pemutusan hubungan di antara keduanya

(suami-istri), maka tunjuklah seorang penengah dari pihak

laki-laki kemudian tunjuklah seorang penengah dari pihak

perempuan. Jika mereka menginginkan perbaikan, maka

Allah akan mendamaikan mereka, sungguh Allah Maha

Mengetahui, dan Maha Pemberi Tahu (Surat 4 ayat 35).

Sesungguhnya perpisahan dan pertemuan terletak pada

mereka. Malik berkata: "Itu yang terbaik sejauh yang aku

dengar dari orang-orang berilmu. Apapun yang dikatakan

oleh dua orang penengah/pendamai dijadikan pertimbangan

(HR. Malik).

Para pengikut Imam Malik berselisih pendapat dalam hal apabila dua

juru damai itu menjatuhkan talak tiga kali. Ibnul Qasim berpendapat yang

terjadi satu talak. Sedang Asyhab dan Mughirah berpendapat terjadi tiga talak

juga, jika dua juru damai itu menjatuhkan talak tiga kali. Pada dasarnya, talak

itu berada di tangan suami, kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan

ketentuan lain. Dalam hal ini, Malik menyamakan dua juru damai dengan

penguasa. Baginya, penguasa dapat menjatuhkan talak, jika nyata-nyata telah

terjadi hal-hal yang merugikan.125

124Al-Imam Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir al-Asbahi, al-Muwatta'

Malik, Mesir: Tijariyah Kubra, Mesir tth, hlm. 357. 125Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil,

1409 H/1989, hlm. 74.

Page 79: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

66

2. Pendapat Imam al-Syafi'i tentang Hakam Tidak Memiliki Wewenang

dalam Menceraikan Suami Istri Yang Sedang Berselisih

Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm, Juz. V menyatakan:

� ���� ������� ������ ��� !#$% &'� TA� L2 3� 0�1 G���H+� 0�1 �� Y� B�6 �� ��� !�2 3�� G���H+� 0�1 US�� ����� � ����� ��� ����� V��� TF G2VS & �A�L+� �� ���H+� N�% &\� US�� 7��~ 4�57S � )�?2\� �R��W+ ���� V��� ��?S ]� M>� I� �R��: 4�2 & s+K� ���H+�� ����+� z7J ]� y�: ]� U17$� ������ � I?��S ]� �� TA7+� f�H�+� p7�+�� ^7���� U��+�� ^7P� f�He � &K TA� L2 3� �� �V#�� ���� �����2 `��A =� 3� B�V� ����S ] & ���% �K\� y�W+��

��� ���J  �¡ �%YS & _�f &�� _�f 0�VR#9� _�L+� B�6 �K' 4[� 0�1 !F�>� @' ���1�� N�OP� &�A�L+� I$J6� �K�� G���H+� & ����2 MD�

�$H���+ T��+�� U2���+� T� � ���� � ����� ��� � ���� Q�RS ]' �S�6 &' &�17$S �X7 YS & �+ Z�+� 0�1 �6V1 &' ������ �D�WS� �X7

�[K\� ]' ^7P� 0� � ��?�S ]� _�L+� 7 Y�126

Artinya: Imam al-Syafi'i berkata : Firman Allah Azza wajalla, yang artinya:

"Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya maka

kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam

dari keluarga perempuan" (An Nisa : 35). Imam al-Syafi'i berkata :

126Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz V, Beirut: Dâr

al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 208

Page 80: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

67

"Dan Allah lebih mengetahui dengan makna apa yang ia ingini.

Adapun zhahir ayat maka kekhawatiran sengketa antara suami istri di

mana masing-masing dari keduanya mendakwa bahwa temannya itu

mencegah hak dan salah seorang dari keduanya tidak berbuat baik

terhadap kawannya dengan memberikan apa yang ia sukainya, dan

tidak terputus di antara keduanya dengan sebab perceraian, tidak pula

mendamaikan dan tidak pula meninggalkan kewajiban karena

persengketaan itu. Yang demikian itu bahwa Allah Azza wa jalla

mengizinkan dalam masalah nusyuz wanita untuk memberi nasihat,

meninggalkan tempat-tidur dan memukul. Dan Allah mengizinkan

karena nusyuz laki-laki untuk mengadakan perdamaian. Apabila

keduanya khawatir tidak dapat menegakkan ketentuan-ketentuan Allah

maka tidak berdosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan

oleh istri untuk menebus dirinya. Dan Allah melarang bila laki-laki

menginginkan menukar istri pada tempat istri untuk mengambil

sesuatu yang telah diberikan kepada istri. Imam al-Syafi'i berkata :

"Bila dua orang suami istri yang khawatir terjadi persengketaan di

antara keduanya mengadu kepada hakim, maka kewajiban hakim

mengutus seorang hakam dari keluarga si perempuan dan seorang

hakam dari keluarga laki-laki, yang termasuk orang yang saleh dan

berakal/berfikir supaya keduanya mengungkap urusan dua orang

suami istri itu, dan keduanya mendamaikan antara dua suami istri jika

keduanya mampu. Imam al-Syafi'i, berkata: "Hakim tidak berhak

Page 81: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

68

memerintahkan dua orang hakam untuk menceraikan dua orang suami

istri meskipun keduanya berpendapat demikian kecuali dengan

perintah suami. Dan ke duanya tidak boleh memberikan harta wanita

kecuali dengan izinnya".

Pernyataan Imam al-Syafi'i tersebut menunjukkan bahwa apabila

suami istri bersengketa, sementara suami atau istri itu tidak ada yang mau

mengalah, sehingga jika situasi perselisihan dibiarkan berkepanjangan maka

tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian bahkan permusuhan yang

menimbulkan saling benci dan dendam, maka hendaknya ada seorang hakam

sebagai juru wasit yang mendamaikan kedua belah pihak.

Kedua hakam ini tentunya hakam dari keluarga suami dan hakam dari

keluarga istri. Hakam tersebut hanya boleh mendamaikan dan mencari solusi

yang dapat menghentikan perselisihan. Kedua hakam tidak boleh menyuruh

suami istri itu untuk bercerai. Dengan kata lain kedua hakam tidak mempunyai

kewenangan untuk memisahkan suami istri itu jika tidak diminta suami yang

berselisih itu.

3. Analisis Penulis

Ditinjau secara historis, bahwa di kalangan ulama terdapat keraguan

dan perbedaan pendapat, apakah kitab al-Umm itu ditulis oleh Imam al-Syâfi'i

sendiri ataukah karya para murid-muridnya. Menurut Ahmad Amin, kitab al-

Umm bukanlah karya langsung dari Imam al-Syâfi'i, namun merupakan karya

muridnya yang menerima dari Imam al-Syâfi'i dengan jalan didiktekan.

Page 82: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

69

Sedangkan menurut Abu Zahrah dalam al-Umm ada tulisan Imam al-Syâfi'i

langsung tetapi ada juga tulisan dari muridnya,127

bahkan ada yang

mendapatkan petunjuk bahwa dalam al-Umm terdapat juga tulisan orang

ketiga selain Imam al-Syâfi'i dan al-Rabi' muridnya. Namun menurut riwayat

yang masyhur diceritakan bahwa kitab al-Umm adalah catatan pribadi Imam

al-Syâfi'i, karena setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya ditulis, dijawab

dan didiktekan kepada murid-muridnya. Oleh karena itu, ada pula yang

mengatakan bahwa kitab itu adalah karya kedua muridnya Imam al-Buwaiti

dan Imam al-Rabi'. Ini dikemukakan oleh Abu Talib al-Makki.128

Pendapat ini

menyalahi ijma' ulama yang mengatakan, bahwa kitab ini adalah karya

orisinal Imam al-Syâfi'i yang memuat pemikiran-pemikirannya dalam bidang

hukum.

Imam al-Syâfi'i lahir di masa Dinasti Abbasiyah. Seluruh

kehidupannya berlangsung pada saat para penguasa Bani Abbas memerintah

wilayah-wilayah negeri Islam. Saat itu adalah saat di mana masyarakat Islam

sedang berada di puncak keemasannya. Kekuasaan Bani Abbas semakin

terbentang luas dan kehidupan umat Islam semakin maju dan jaya. Masa itu

memiliki berbagai macam keistimewaan yang memiliki pengaruh besar bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan kebangkitan pemikiran Islam.

Transformasi ilmu dari filsafat Yunani dan sastra Persia serta ilmu bangsa

127Muhammad Abu Zahrah, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-uhu wa Fiqhuhu, Terj.

Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, “Imam Syafi'i Biografi dan Pemikirannya Dalam

Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, Jakarta: PT Lentera Basritama, 2005, hlm. 268. 128

Ibid., hlm. 178.

Page 83: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

70

India ke masyarakat Muslim juga sedang semarak. Mengingat pentingnya

pembahasan ini.129

Kota-kota di negeri Islam saat itu sedikit demi sedikit mulai dimasuki

unsur-unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi, India dan

Nabath. Dahulu, kota Baghdad adalah pusat pemerintahan sekaligus pusat

peradaban Islam. Kota tersebut dipenuhi oleh masyarakat yang terdiri dari

berbagai jenis bangsa. Kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia berduyun-

duyun berdatangan ke Baghdad dari berbagai pelosok negeri Islam. Tentunya,

kedatangan mereka sekaligus membawa kebudayaan bangsanya dalam jiwa

dan perasaannya yang dalam.130

Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak

timbul aneka problema sosial. Oleh karena itu, di masyarakat Baghdad banyak

muncul fenomena-fenomena yang beraneka ragam yang disebabkan oleh

interaksi sosial antara sesama anggota masyarakatnya di mana masing-masing

ras mempunyai kekhususan ras-ras tersebut. Setiap permasalahan yang timbul

dari interaksi antar masyarakat tersebut tentunya akan diambil ketentuan

hukumnya dari syariat. Sebab, syariat Islam adalah syariat yang bersifat

umum.131

Syariat tersebut akan memberikan muatan hukum bagi setiap

permasalahan yang terjadi; baik permasalahan itu masuk dalam kategori

permasalahan ringan ataupun berat. Pengamatan terhadap permasalahan yang

129

Ibid., hlm. 84. 130

Ibid., hlm. 84. 131

Ibid., hlm. 85.

Page 84: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

71

terjadi akan memperluas cakrawala pemikiran seorang faqih sehingga ia dapat

menemukan penyelesaian (solusi hukum) bagi masalah-masalah yang terjadi.

Selain itu, sang faqih akan dapat memperluas medan pembahasan dengan

menghadirkan permasalahan yang mungkin terjadi, kemudian memberikan

kaidah-kaidah umum untuk masalah-masalah furu' yang berbeda.132

Melihat problem-problem sosial di masa hidupnya, Imam al-Syafi'i

melihat kenyataan adanya pertengkaran suami istri, kemudian dua hakam

tidak berusaha mendamaikan melainkan ada kecenderungan secara tidak

langsung menggiring pertengkaran suami istri itu ke arah perceraian, padahal

suami yang bersangkutan tidak meminta dan mengizinkan tindakan hakam.

Perselisihan suami istri itu lebih disebabkan pernikahan yang tidak

direstui orang trua kedua belah pihak. Tindakan hakam pun lebih disebabkan

kepanjangan tangan dari misi orang tua suami istri tersebut. Hakam muncul

bukan sebagai juru penengah melainkan memiliki kepentingan sebagai

jembatan yang mewakili kebencian masing-masing orang tua.

Kenyataan ini telah membangun kesan bahwa hakam bukan

mendamaikan tapi justru meruntuhkan bangunan rumah tangga. Kondisi ini

dilihat oleh Imam alSyafi'i akan berdampak buruk pada arti sebuah

pernikahan. Dampak buruknya yaitu adanya hakam justru selalu diakhiri

dengan perceraian suami istri. Keadaan ini berlangsung lama dan Imam al-

Syafi'i menilai bahwa salah satu cara agar hakam tidak sewenang-wenang,

maka Imam al-Syafi'i memberi pendapat bahwa hakam tidak memiliki

132

Ibid, hlm., 86

Page 85: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

72

wewenang untuk menceraikan suami istri yang sedang berselisih manakala

suami tidak mengijinkan dan tidak menghendaki perceraian.

Setelah mengungkapkan aspek sosio historis, maka menurut analisis

penulis bahwa pendapat Imam al Syafi'i yang menganggap hakam tidak

memiliki wewenang untuk menceraikan suami istri yang sedang berselisih

adalah sejalan syari'at Islam yang membenci perceraian meskipun sebagai

perbuatan yang halal. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadis dari Ibnu

Umar menurut riwayat Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Al-Hakim,

sabda Nabi:

0�1 ����2 3� 456 7�2 ��� �2 : !8��9� ���2 3� 4�: 3� 0�96 0�1���";< �0=>� "�=8?+� 3� @' ) ��A� ����� B��B ��� C��6 �DED�:�

!F�>�(133

Artinya: "Ibnu Umar ra., mengatakan: Rasulullah Saw., bersabda: perbuatan

halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah talak (HR. Abu Daud dan

Ibnu Majah dan disahkan oleh al-Hakim)."

B. Analisis Metode Istinbath Hukum Imam Syafi'i tentang Hakam Tidak

Memiliki Kewenangan dalam Menceraikan Suami Isteri yang Sedang

Berselisih

133

Al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani, Bulug al-Marram, Terj. Salim

Bahreisy dan Abdullah Bahreisy, Surabaya: Balai Buku, hlm. 539.

Page 86: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

73

Secara bahasa, kata "istinbat" berasal dari kata istanbatha-yastanbithu-

istinbathan yang berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau

menarik kesimpulan. Istinbat hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau

dikeluarkan oleh pakar hukum (faqih) untuk mengungkapkan suatu dalil

hukum yang dijadikan dasar dalam mengeluarkan sesuatu produk hukum guna

menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.134

Sejalan dengan itu, kata

istinbat bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad

bin Ali al-Fayyumi sebagaimana dikutip Satria Effendi, M. Zein berarti upaya

menarik hukum dari al-Qur'an dan Sunnah dengan jalan ijtihad.135

Dapat disimpulkan, istinbat adalah mengeluarkan makna-makna dari

nash-nash (yang terkandung) dengan menumpahkan pikiran dan kemampuan

(potensi) naluriah. Nash itu ada dua macam yaitu yang berbentuk bahasa

(lafadziyah) dan yang tidak berbentuk bahasa tetapi dapat dimaklumi

(maknawiyah). Yang berbentuk bahasa (lafadz) adalah al-Qur'an dan as-

Sunnah, dan yang bukan berbentuk bahasa seperti istihsan, maslahat,

sadduzdzariah dan sebagainya.136

Cara penggalian hukum (thuruq al-istinbat) dari nash ada dua macam

pendekatan, yaitu pendekatan makna (thuruq ma'nawiyyah) dan pendekatan

lafaz (thuruq lafziyyah). Pendekatan makna (thuruq ma'nawiyyah) adalah

134

Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wal-A'lam, Beirut: Dâr al-

Masyriq, 1986, hlm. 73. Dapat dilihat juga dalam Abdul Fatah Idris, Istinbath

Hukum Ibnu Qayyim, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2007, hlm. 5. 135

Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm.

177. 136

Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti

Wakaf, 1995, hlm. 2.

Page 87: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

74

(istidlal) penarikan kesimpulan hukum bukan kepada nash langsung seperti

menggunakan qiyas, istihsan, mashalih mursalah, zara'i dan lain sebagainya.

Sedangkan pendekatan lafaz (thuruq lafziyyah) penerapannya membutuhkan

beberapa faktor pendukung yang sangat dibutuhkan, yaitu penguasaan

terhadap ma'na (pengertian) dari lafaz-lafaz nash serta konotasinya dari segi

umum dan khusus, mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq

lafzy ataukah termasuk dalalah yang menggunakan pendekatan mafhum yang

diambil dari konteks kalimat; mengerti batasan-batasan (qayyid) yang

membatasi ibarat-ibarat nash; kemudian pengertian yang dapat dipahami dari

lafaz nash apakah berdasarkan ibarat nash ataukah isyarat nash. Sehubungan

dengan hal tersebut, para ulama ushul telah membuat metodologi khusus

dalam bab mabahits lafziyyah (pembahasan lafaz-lafaz nash).137

Sumber hukum Islam adalah Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Dua

sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya

merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Ada juga dalil-dalil

lain selain al-Qur'an dan sunnah seperti qiyas, istihsan dan istishlah, tetapi

tiga dalil disebut terakhir ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya

merupakan alat bantu untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung

oleh Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Karena hanya sebagai alat bantu untuk

memahami al-Qur'an dan sunnah, sebagian ulama menyebutnya sebagai

metode istinbat. Imam al-Ghazali misalnya menyebut qiyas sebagai metode

istinbat. Dalam tulisan ini, istilah sumber sekaligus dalil digunakan untuk Al-

137Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, 1971, hlm. 115-

116

Page 88: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

75

Qur'an dan Sunnah, sedangkan untuk selain Al-Qur'an dan Sunnah seperti

ijma', qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, 'urf dan sadd az-zari'ah

tidak digunakan istilah dalil. Dalam kajian Ushul Fiqh terdapat dalil-dalil

yang disepakati dan dalil-dalil yang tidak disepakati,138

yang disepakati yaitu

al-Qur'an, as-sunnah, ijma, qiyas. Sedangkan yang belum disepakati yaitu

istihsan, maslahah mursalah, istishhab, mazhab shahabi, syari'at kaum

sebelum kita.

Dalam hubungannya dengan metode istinbath hukum Imam al-Syafi'i

tentang hakam tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami istri

yang sedang berselisih, maka Imam al-Syafi'i menggunakan istinbat hukum

yaitu al-Qur'an surat An-Nisa (4) ayat 35, juz 5.

���� ����������� ����� �!"#�$�% �&�'��������� ��� �������� ������ ��� ������ ������� ����R�% �������2 &�F ��8�+� u&�' ���"������� "�8�+� �M����"S ���=�:�' ��VS�7"S &�'}-.{

Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara

keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-

laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua

orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya

Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya

Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Q.S. An-Nisa

ayat 35).139

Dalam penafsiran Imam al-Syafi'i bahwa ayat ini mengisyaratkan

dibolehkannya hakam mendamaikan kedua belah pihak, namun hakam tidak

memiliki kewenangan menyuruh mereka suami istri untuk bercerai. Jadi

138Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2007, hlm. 77-78. 139

Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Surabaya:: DEPAG RI, 1978, hlm. 123.

Page 89: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

76

apabila suami istri bersengketa, sementara suami atau istri itu tidak ada yang

mau mengalah, sehingga jika situasi perselisihan dibiarkan berkepanjangan

maka tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian bahkan permusuhan

yang menimbulkan saling benci dan dendam, maka hendaknya ada seorang

hakam sebagai juru wasit yang mendamaikan kedua belah pihak.

Al-Qur'an surat An-Nisa (4) ayat 35, juz 5 yang dijadikan alasan Imam

al-Syafi'i di atas jika dihubungkan dengan penafsiran para ahli tafsir, di

antaranya Ismâ'îl ibn Kasîr al-Qurasyî al-Dimasyqî dalam Tafsîr al-Qur’an al-

Azîm, ada keterangan bahwa ulama fiqih mengatakan, apabila terjadi

persengketaan di antara sepasang suami istri, maka hakimlah yang melerai

keduanya sebagai pihak penengah yang mempertimbangkan perkara keduanya

dan mencegah orang yang artiaya dari keduanya melakukan perbuatan

aniayanya. Jika perkara keduanya bertentangan juga dan persengketaan

bertambah panjang, maka pihak hakim memanggil seorang yang dipercaya

dari keluarga si perempuan dan seorang yang dipercaya dari kaum laki-laki,

lalu keduanya berkumpul untuk mempertimbangkan perkara kedua pasangan

yang sedang bersengketa itu. Kemudian keduanya melakukan hal yang lebih

maslahat baginya menurut pandangan keduanya, antara berpisah atau tetap

bersatu sebagai suami istri. Akan tetapi, imbauan syariat menganjurkan untuk

tetap utuh sebagai suami istri.140

Karena itulah disebutkan di dalam firman-

Nya:

140Ismâ'îl ibn Kasîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, terj. Bahrun Abu

Bakar, Bandung: Sinar baru algensindo, 2003, hlm. 115

Page 90: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

77

���"������� "�8�+� �M����"S ���=�:�' ��VS�7"S &�'))�*�+� :-.(

Artinya: Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan

perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri

itu. (QS. An-Nisa: 35).141

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah

memerintahkan agar mereka mengundang seorang lelaki yang saleh dari

kalangan keluarga laki-laki, dan seorang lelaki lain yang semisal dari kalangan

keluarga si perempuan. Lalu keduanya melakukan penyelidikan untuk mencari

fakta, siapa di antara keduanya yang berbuat buruk. Apabila ternyata pihak

yang berbuat buruk adalah pihak laki-laki, maka pihak suami mereka halang-

halangi dari istrinya, dan mereka mengenakan sanksi kepada pihak suami

untuk tetap memberi nafkah. Jika yang berbuat buruk adalah pihak

perempuan, maka mereka para hakam mengenakan sanksi terhadapnya untuk

tetap di bawah naungan suaminya, tetapi mereka mencegahnya untuk

mendapat nafkah. Jika kedua hakam sepakat memisahkan atau

mengumpulkannya kembali dalam naungan suatu rumah tangga sebagai suami

istri, hal tersebut boleh dilakukan keduanya.142

Tetapi jika kedua hakam berpendapat sebaiknya pasangan tersebut

dikumpulkan kembali, sedangkan salah seorang dari suami istri yang

bersangkutan rela dan yang lainnya tidak; kemudian salah seorangnya

meninggal dunia, maka pihak yang rela dapat mewarisi pihak yang tidak rela,

141Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Departemen Agama 1986, hlm. 123. 142Ismâ'îl ibn Kasîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, op.cit., hlm.116.

Page 91: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

78

dan pihak yang tidak rela tidak dapat mewarisi pihak yang rela. Demikianlah

menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.143

Sejalan dengan tafsir Ibnu Katsir, maka Ahmad Mustafâ Al-Marâgî

dalam Tafsîr al-Marâgî menyatakan dengan ini dapat diketahui, betapa Allah

sangat memperhatikan hukum-hukum tatanan keluarga dan rumah tangga.

Mengapa Allah tidak menyebutkan perceraian? Itu karena Allah membencinya

dan karena Dia ingin menyadarkan kepada kaum Muslimin bahwa hal itu tidak

patut terjadi.144

Menurut riwayat Imam al-Syafi'i di dalam Al-Umm dan al-Baihaqi di

dalam As-Sunan, dan beberapa riwayat lain, riwayat itu daripada Ubaidah al-

Sulamani, bahwa pada suatu hari datanglah seorang laki-laki dan seorang

perempuan kepada Ali bin Abu Thalib, dan bersama dengan mereka turut pula

segolongan besar orang-orang. Rupanya mereka mengadukan perselisihan

atau syiqaq yang telah tumbuh di antara kedua orang suami-istri itu. Maka Ali

memerintahkan supaya diutus seorang hakam dari keluarga suami dan seorang

hakam dari keluarga istri, kemudian beliau (Ali) berkata kepada kedua hakam

itu: "Apakah kamu keduanya tahu apa kewajiban kamu? Kewajiban kamu

ialah menyelidiki, kalau menurut pandangan kamu berdua masih dapat suami

istri ini dikumpulkan kembali, hendaklah kamu kumpulkan, dan kalau kamu

berdua berpendapat lebih baik bercerai saja, maka perceraikan mereka".

Mendengar itu berkatalah si perempuan: "Hamba tunduk kepada Kitab

Allah dan apa yang tersebut di dalamnya." Tetapi si laki-laki menyanggah:

143

Ibid., hlm. 116. 144Ahmad Mustafâ Al-Marâgî, Tafsîr al-Marâgî, Jilid 5, Terj. Bahrun Abu Bakar, Hery

Noer Ally, Anshari Umar Sitanggal, Semarang: Toha Putra Semarang, 1993, hlm. 47.

Page 92: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

79

"Kalau keputusan bercerai, aku tak mau!" Ali menjawab: "Kalau begitu

engkau adalah seorang yang mendustakan Allah. Kalau tidak engkau tunduk

kepada apa yang telah aku tetapkan itu, engkau tidak akan kubiarkan pulang."

Demikianlah penetapan dari Ali bin Abu Thalib tatkala beliau jadi Khalifah.145

sejalan dengan itu pula pendapat Ibnu Abbas, menurut riwayat yang

disampaikan oleh Ibnu Jarir. Kata Ibnu Abbas: "Ayat ini ialah mengenai laki-

laki dan perempuan yang telah rusak hubungan rumah tangga. "Allah

menyuruh supaya di utus seorang laki-laki yang shalih dari keluarga si laki-

laki dan seorang laki-laki yang shalih dari keluarga si perempuan. Keduanya

menyelidiki siapa yang bersalah. Kalau si laki-laki yang salah, maka istrinya

ditarik dari dia, dan nafkahnya wajib dibayarnya terus. Kalau perempuan yang

salah, dia dipaksa pulang ke rumah suaminya dan tidak wajib diberi nafkah.

Tetapi kalau kedua hakam berpendapat mereka diceraikan saja atau

diserumahkan kembali, sedang yang seorang suka dan yang seorang tidak

suka, kemudian mati salah seorang, maka yang suka berkembalian menerima

waris dari yang mati, dan yang tidak suka berkembalian tidaklah menerima

waris." Demikian Ibnu Abbas.

Dalam kedua pendapat dari dua orang Sahabat Rasulullah s.a.w. yang

besar ini, Ali dan Ibnu Abbas, nampak bahwa kedua hakam mempunyai hak

penuh, bukan saja untuk mempertemukan kembali, bahkan juga menceraikan,

kalau cerai itulah yang ishlah. Tetapi ulama-ulama Mazhab, banyak yang

145Hamka, Tafsir Al Azhar, Jilid 5, Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1999, hlm. 54

Page 93: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

80

membatasi ishlah itu hanya pada mempertemukan kembali, tidak berhak

menceraikan.

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya: "Telah sependapat para

Ulama bahwa kedua Hakam itu berhak mempersatukan kembali di antara

suami-isteri yang berselisih itu dan berhak juga memisahkan." Ibrahim an-

Nakha'i berkata: "Jika kedua Hakam itu hendak memisahkan keduanya dengan

talak satu atau talak dua atau talak tiga, boleh saja."146

Begitu pula satu riwayat dari pendapat Imam Malik. Tetapi Hasan

Bishri berpendapat bahwa kedua hakam hanya berhak mengumpulkan

kembali, bukan memisahkan. Demikian juga paham Qatadah dan Zaid bin

Aslam dan itu juga perkataan Imam Ahmad dan Abu Tsaur dan Daud az-

Zuhri. Mereka berpendapat demikian karena dalam ayat tersebut bahwa jika

kedua hakam itu menginginkan ishlah, niscaya keduanya akan diberi taufik

oleh Tuhan. Ishlah, mereka pahamkan ialah perbaikan dengan arti berkumpul

kembali, bukan bercerai.147

Ayat di atas sudah cukup menjadi petunjuk tentang pentingnya hakam.

Islam melarang perceraian yang bisa menghancurkan masa depan anak dan

kedua belah pihak. Itulah sebabnya jika antara suami isteri terdapat

pertentangan pendapat dan pertengkaran yang memuncak sehingga kedua

belah pihak tidak mungkin dapat mengatasinya dan tidak mungkin pula

mendamaikannya sendiri, maka dapat diutus seorang hakam dari pihak suami

dan seorang hakam dari pihak isteri.

146Ibid., hlm. 55. 147

Ibid

Page 94: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

81

Dalam kaitannya dengan pendapat Imam al-Syafi'i, bahwa

menurutnya, kedua hakam tidak boleh menyuruh suami istri itu untuk

bercerai. Dengan kata lain kedua hakam tidak mempunyai kewenangan untuk

memisahkan suami istri itu jika tidak diminta suami yang berselisih itu.

Adapun data atau keterangan yang mendukung pendapat Imam al-Syafi'i yaitu

pendapat Imam Abu Hanifah. Menurut Imam Abu Hanifah beserta para

pengikut berpendapat bahwa kedua juru damai itu tidak boleh mengadakan

pemisahan atau perceraian, kecuali jika suami menyerahkan pemisahan atau

perceraian tersebut kepada kedua juru damai.148

148Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr

Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 74

Page 95: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

81

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sesuai dengan perumusan masalah, maka dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

a. Menurut Imam al-Syafi'i, apabila suami istri bersengketa, sementara suami

atau istri itu tidak ada yang mau mengalah, sehingga jika situasi

perselisihan dibiarkan berkepanjangan maka tidak menutup kemungkinan

terjadinya perceraian bahkan permusuhan yang menimbulkan saling benci

dan dendam, maka hendaknya ada seorang hakam sebagai juru wasit yang

mendamaikan kedua belah pihak. Kedua hakam ini tentunya hakam dari

keluarga suami dan hakam dari keluarga istri. Hakam tersebut hanya boleh

mendamaikan dan mencari solusi yang dapat menghentikan perselisihan.

Kedua hakam tidak boleh menyuruh suami istri itu untuk bercerai. Dengan

kata lain kedua hakam tidak mempunyai kewenangan untuk memisahkan

suami istri itu jika tidak diminta suami yang berselisih itu.

b. Dalam hubungannya dengan metode istinbath hukum Imam al-Syafi'i

tentang hakam tidak memiliki kewenangan dalam menceraikan suami istri

yang sedang berselisih, maka Imam al-Syafi'i menggunakan istinbat

hukum yaitu al-Qur'an surat An-Nisa (4) ayat 35, juz 5. Dalam penafsiran

Imam al-Syafi'i bahwa ayat ini mengisyaratkan dibolehkannya hakam

Page 96: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

mendamaikan kedua belah pihak, namun hakam tidak memiliki

kewenangan menyuruh mereka suami istri untuk bercerai.

B. Saran-Saran

Meskipun pendapat Imam al-Syafi'i bersifat klasik, namun pemikiran

dan konsepnya dapat dijadikan masukan apabila kelak dikemudian hari ada

kebijakan atau keputusan untuk merevisi sejumlah peraturan perundangan

yang menyangkut masalah pernikahan dan perceraian. Khususnya mengenai

peran dan kedudukan serta kompetensi hakam sebagai wasit dalam

mendamaikan suami istri yang sedang berselisih.

C. Penutup

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat

dan ridhanya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Peneliti

menyadari bahwa di sana-sini terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam

paparan maupun metodologinya. Karenanya dengan sangat menyadari, tiada

gading yang tak retak, maka kritik dan saran membangun dari pembaca

menjadi harapan peneliti. Semoga Allah SWT meridhainya.

82

Page 97: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Siradjuddin, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi'i, Jakarta: Pustaka

Tarbiyah, 2004.

Al'ati, Hammudah Abd., The Family Structure In Islam, Terj. Anshari Thayib, "

Keluarga Muslim", Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984.

Amini, Ibrahim, Principles of Marriage Family Ethics, Terj. Alwiyah

Abdurrahman, "Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri",

Bandung: al-Bayan, 1999.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2002.

Asbahi, Al-Imam Abdillah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir, al-Muwatta'

Malik, Mesir: Tijariyah Kubra, Mesir tth.

Asqalani, Al-Hafidz ibn Hajar, Bulug al-Marram, Bairut: Daar al-Kutub al-

Ijtimaiyah, tth.

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004.

Bukhari, Imam, Sahih al-Bukhari, Juz. III, Beirut: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M.

Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru

Van Hoeve, 1997.

Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqih, jilid II, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Waqaf, 1995.

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Dimasyqî, Ismâ'îl ibn Kasîr al-Qurasyî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, terj. Bahrun

Abu Bakar, Bandung: Sinar baru algensindo, 2003

Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.

Efendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2007.

Farid, Syaikh Ahmad, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i

Taman, "60 Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006.

Fikri, Ali, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam

Madzhab", Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003.

Furchan, Arief dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai

Tokoh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Page 98: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

Hakim, Rahmat, Hukum Pernikahan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Hamid, Zahry, Pokok-Pokok Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang

Pernikahan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1978.

Hamka, Tafsir Al Azhar, Jilid 5, Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1999.

Hussaini, Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad, Kifayah Al Akhyar,

Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth.

Idris, Abdul Fatah, Istinbath Hukum Ibnu Qayyim, Semarang: PT Pustaka Rizki

Putra, 2007.

Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar

Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986.

Jaziri, Abdurrrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz. IV, Beirut:

Dar al-Fikr, 1972.

Karsayuda, Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi

Hukum Islam, Total Media, Yogyakarta, 2007.

Khalaf, Abd al-Wahhab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.

Kuzari, Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,

1995.

Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wal-A'lam, Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986.

Mahmassani, Sobhi, Falsafah al-Tasyri fi al-Islam, Terj. Ahmad Sudjono,

“Filsafat Hukum dalam Islam”, Bandung: PT al-Ma’arif, 1976.

Maliki, Syekh Muhammad Alwi, Adab al-Islam fi Nidham al-Usrah, "Sendi-Sendi

Kehidupan Keluarga Bimbingan Bagi Calon Pengantin", Terj. Ms. Udin

dan Izzah Sf, Yogyakarta: Agung Lestari, 1993.

Marâgî, Ahmad Mustafâ, Tafsîr al-Marâgî, Jilid 5, Terj. Bahrun Abu Bakar, Hery

Noer Ally, Anshari Umar Sitanggal, Semarang: Toha Putra Semarang,

1993.

Maududi, Abul A'la, The Laws of Marriage and Divorce in Islam, Terj. Achmad

Rais, "Kawin dan Cerai Menurut Islam", Jakarta: anggota IKAPI, 1991.

Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosda

Karya, 2001.

Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul

Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002.

Page 99: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

Muchtar, Kamal, dkk, Ushul Fiqh, jilid 2, Yogyakarta: PT.Dana Bhakti Wakaf,

1995.

Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj.

Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta:

Lentera, 2001.

Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,

Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 1991.

Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: CV Toha Putra, 1993.

Nuruddin, Amiur, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,

Jakarta: Prenada Media, 2004.

Rusyd, Ibnu, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr

Al-Jiil, 1409 H/1989.

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 1970.

Said, Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994.

Saleh, K. Wancik, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,

1982.

Shiddieqy, TM. Hasbi Ash, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki

Putra, 2001.

--------, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT Putaka Rizki

Putra, 1997.

Syafi’î, Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Juz V dan VII,

Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth.

Syafi'i, Imam, al-Risalah, Mesir: al-Ilmiyyah, 1312 H.

Syalthut, Mahmud, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung:

CV Pustaka Setia, 2000.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh

Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media,

2006.

Page 100: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

Syurbasyi, Ahmad Asy, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi

Empat Imam Mazhab", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003.

Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, 1986.

Uwaidah, Syekh Kamil Muhammad, al-Jami' fi Fiqh an-Nisa, Terj. M. Abdul

Ghofar, " Fiqih Wanita", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998.

Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,

Surabaya: DEPAG RI, 1978.

Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidayakarya

Agung, 1990.

---------, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara

Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973.

Zahrah, Muhammad Abu, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-uhu wa Fiqhuhu,

Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, “Imam al-Syafi'i Biografi

dan Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, Jakarta: PT

Lentera Basritama, 2005.

Zahrah, Muhammad Abu, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby, 1971.

Zein, Satria Effendi M., Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.

Page 101: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

81

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Anik Mukhifah

Tempat/Tanggal Lahir : Jepara, 23 Mei 1985

Alamat Asal : Desa Sinanggul RT 06 RW 01 Kec. Mlonggo Jepara

Pendidikan : - SD N Sinanggul Jepara lulus th 1997

- MTs Hasyim As'yari Jepara lulus th 2000

- MA Mathalibul Huda Jepara lulus th 2003

- Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang

Angkatan 2003

Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk

dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Anik Mukhifah

Page 102: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i

BIODATA DIRI DAN ORANG TUA

Nama : Anik Mukhifah

NIM : 2103072

Alamat : Bukit Beringin Selatan 5/F.88 Semarang.

Nama orang tua : Bapak Sahroni dan Ibu Rif'atun

Alamat : Desa Sinanggul RT 06 RW 01 Kec. Mlonggo Jepara

Pekerjaan : Petani

Page 103: ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/92/jtptiain...Pendapat Para Ulama tentang Kewenangan Hakam ..... 63 2. Pendapat Imam al-Syafi'i