penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi...
TRANSCRIPT
PENARIKAN KEMBALI HARTA WAKAF OLEH PEMBERI
WAKAF (Study Analisis Pendapat Imam Syafi'i)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Dalam Ilmu Syari’ah
DisusunDisusunDisusunDisusun OlehOlehOlehOleh:
RUDDY PAMUNGKAS 2105144
JURUSAN AHWAL SYAHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2011
ii
iii
iv
M O T T O
���� ����� � � ��� ����� ������ �� ������� ! "���# ���$%& ! "'(� ������� ! )'*�+ ',%��� �����"���!)��,(� ./ :12(
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan
apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya (Q.S. Ali-Imran: 92). ∗
∗Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Jakarta: Depag, 1978, hlm. 91
.
v
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat
dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang
selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang
tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat:
o Orang tuaku tersayang yang selalu memberi semangat dan motivasi dalam
menjalani hidup ini.
o Kakak dan Adikku Tercinta yang kusayangi yang selalu memberi motivasi
dalam menyelesaikan studi.
o Teman-Temanku jurusan AS, angkatan 2005 Fak Syariah yang selalu
bersama-sama dalam meraih cita dan asa.
Penulis
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang telah pernah ditulis oleh
orang lain atau diterbitkan. Demikian juga
skripsi ini tidak berisi satupun pemikiran-
pemikiran orang lain, kecuali informasi yang
terdapat dalam daftar kepustakaan yang
dijadikan bahan rujukan.
Jika di kemudian hari terbukti sebaliknya maka
penulis bersedia menerima sanksi berupa
pencabutan gelar menurut peraturan yang
berlaku.
Semarang, 25 Nopember 2010
RUDDY PAMUNGKAS
NIM: 2105144
vii
ABSTRAK
Dalam hubungannya dengan pemberian wakaf oleh wakif, Imam
Malik, Hambali dan Hanafi berpendapat bahwa wakaf tidak disyaratkan
berlaku untuk selamanya, tetapi sah bisa berlaku untuk waktu satu tahun
misalnya. Sesudah itu kembali kepada pemiliknya semula. Dengan demikian
dalam pandangannya bahwa pemberi wakaf dapat menarik kembali wakafnya
atau dapat memiliki kembali wakafnya. Yang menjadi rumusan masalah
adalah bagaimana pendapat Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta
wakaf oleh pemberi wakaf? Bagaimana metode istinbath hukum Imam Syafi'i
tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf?
Dalam menyusun skripsi ini menggunakan jenis penelitian
kepustakaan (library research). Data Primer, yaitu karya-karya Imam Al-
Syafi'i: (1) Al-Umm. (2) Kitab al-Risalah. Sebagai data sekunder, yaitu
literatur lainnya yang relevan dengan judul skripsi ini. Metode analisisnya
adalah metode deskriptif analisis.
Hasil pembahasan menunjukkan bahwa menurut Imam Syafi'i, apabila
seorang wakif memberi wakaf berupa harta benda, maka seketika itu juga
beralih hak milik dari wakif kepada penerima wakaf. Harta benda wakaf itu
tidak bisa ditarik kembali oleh pemberi wakaf. Dengan kata lain pemberi
wakaf tidak memiliki lagi hak milik atas harta benda wakaf tersebut.
Pernyataan Imam Syafi'i ini menunjukkan bahwa wakaf dalam pandangannya
adalah suatu ibadah yang disyari'atkan, wakaf telah berlaku sah bilamana
wakif telah menyatakan dengan perkataan waqaftu (telah saya wakafkan),
sekalipun tanpa diputuskan hakim. Harta yang telah diwakafkan menyebabkan
wakif tidak mempunyai hak kepemilikan lagi, sebab kepemilikannya telah
berpindah kepada Allah Swt dan tidak juga menjadi milik penerima wakaf
(maukuf alaih). Bagi Imam Syafi'i, wakaf itu mengikat dan karenanya tidak
bisa ditarik kembali atau diperjualbelikan, digadaikan, dan diwariskan oleh
wakif. Dalam hubungannya dengan penarikan kembali wakaf oleh pemberi
wakaf, Imam Syafi'i menggunakan metode istinbat hukum berupa hadis dari
Yahya bin Yahya at-Tamimiy dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu Aun dari Nafi'
dari Ibnu Umar. Imam Syafi'i berpendapat bahwa akad wakaf termasuk akad
lazim (atau mulazamah). Oleh karena itu, benda yang telah diwakafkan bukan
lagi milik wakif, melainkan telah menjadi milik umum (atau milik Allah).
Akibatnya adalah bahwa benda yang telah diwakafkan tidak boleh dijual,
dihibahkan, dan diwariskan karena memang ia bukan lagi milik perorangan,
melainkan milik publik (umat). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf masih mengakomodasi pendapat Abu Hanifah meskipun
pendapat tersebut telah ditinggalkan oleh penerusnya, Abu Yusuf. Dari segi
kepemilikan, UU mengakui adanya wakaf dalam durasi tertentu. Hal ini
menunjukkan bahwa wakaf tidak mesti bersifat muabbad. Oleh karena itu, UU
Nomor 41 tentang Wakaf mengakui adanya akad wakaf yang bersifat gayr
lazim (tidak menyebabkan pindahnya kepemilikan benda wakaf) yang
dipandang sama dengan al-'ariyah (pinjaman).
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas
taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini. Skripsi yang berjudul: “PENARIKAN KEMBALI HARTA WAKAF OLEH
PEMBERI WAKAF (Study Analisis Pendapat Imam Syafi'i)” ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1)
Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
2. Bapak Drs. H. Nur Khoirin, M.Ag selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak
H.A. Furqon, Lc, MA selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan
layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo,
beserta staf yang telah membekali berbagai pengetahuan
5. Orang tuaku yang senantiasa berdoa serta memberikan restunya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang
tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para
pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v
HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................... 3
C. Tujuan Penelitian .................................................... 3
D. Telaah Pustaka .................................................... 3
E. Metode Penelitian .................................................... 9
F. Sistematika Penulisan .................................................... 12
BAB II : WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM
A. Definisi Wakaf dan Dasar Hukumnya ................................... 14
B. Syarat dan Rukun Wakaf .................................................... 21
C. Macam-Macam Wakaf .................................................... 30
D. Manfaat Wakaf .................................................... 34
E. Pendapat Para Ulama tentang Penarikan Kembali Harta
Wakaf oleh Pemberi Wakaf ................................................... 38
x
BAB III : PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG PENARIKAN
KEMBALI HARTA WAKAF OLEH PEMBERI WAKAF
A. Biografi Imam Syafi'I ..................................... 41
1. Latar Belakang Imam Syafi'i ..................................... 41
2. Pendidikan ..................................... 45
3. Karyanya ..................................... 46
B. Metode Istinbath Hukum Imam Syafi'i .................................. 48
C. Pendapat Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali Harta
Wakaf oleh Pemberi Wakaf ..................................... 55
D. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Penarikan
Kembali Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf........................... 59
BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG
PENARIKAN KEMBALI HARTA WAKAF OLEH PEMBERI
WAKAF
A. Analisis terhadap Pendapat Imam Syafi'i tentang Penarikan
Kembali Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf........................... 61
B. Metode Istinbat Hukum Imam al-Syafi'i tentang Penarikan
Kembali Wakaf oleh Pemberi Wakaf mur ............................. 67
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................... 78
B. Saran-saran .................................................... 79
C. Penutup .................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wakaf sebagai pranata dalam keagamaan Islam yang sudah mapan.
Pembicaraan tentang penarikan kembali harta wakaf merupakan issue yang
menarik untuk diteliti. Dalam hubungannya dengan pemberian wakaf oleh
wakif, Imam Malik, Hambali dan Hanafi berpendapat bahwa wakaf tidak
disyaratkan berlaku untuk selamanya, tetapi sah bisa berlaku untuk waktu satu
tahun misalnya. Sesudah itu kembali kepada pemiliknya semula.1 Dengan
demikian dalam pandangannya bahwa pemberi wakaf dapat menarik kembali
wakafnya atau dapat memiliki kembali wakafnya.
Berbeda dengan Imam Syafi'i yang melarang pemberi wakaf meminta
kembali atau memiliki kembali wakaf yang sudah diberikan. Pernyataan Imam
Syafi'i tentang tidak dapatnya penarikan kembali wakaf oleh pemberi wakaf
dapat dilacak dalam kitabnya al-Umm dalam bab yang berjudul al-Ihbas.
Hal ini sebagaimana ia nyatakan sebagai berikut:
�� ����� ��� �� ��� ����� ���� ��� ��� � ������ ������� ��� ����� � ����� !� "#$ �%& ��' � ( ��)� �� �*) �+,�- !�
�.�� !-/� ����� !0� !1� "#$ �� 2*3 �� ���4*� 2
1Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur,
Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 636. 2Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. IV, Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 53
2
Artinya: Imam Syafi'i berkata: pemberian yang sempurna dengan perkataan
yang memberi, tanpa diterima oleh orang yang diberikan, ialah: apa,
yang apabila dikeluarkan karena perkataan si pemberi, yang boleh
atas apa yang diberikannya. Maka tidak boleh lagi si pemberi
memilikinya sekali-kali, apa yang telah keluar perkataan itu padanya
dengan cara apa pun.
Pernyataan Imam Syafi'i di atas menunjukkan bahwa wakaf tidak bisa
dimiliki kembali oleh pemberi wakaf, wakaf bersifat abadi tidak boleh ada
jangka waktu. Adapun metode istinbath hukumnya yaitu hadis dari Yahya bin
Yahya at-Tamimiy dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu Aun dari Nafi' dari Ibnu
Umar.
5 6� 5!7*�� 5.608�9) 6 8) :;8160809) 9 6� <��80=>9? �81:@A.8B :��:� 5 846BA#�� 5.6�8) 9 6� 9.05�8? �8C8#8�6$:�DE5��8C 6 8) 8#849)9) :��:� :��:� 8#849) 5 6�� 5 8) !7*�� �7*8F G�5�A1*5� 9#84 7�5& 8�7*8?8� 5!60:*8)
:;:,�54=��9�6AH�� 9I6�8J:� 6.:� �8615� A�:�5& 8K8L6):� MN:� �O��8� 6K5F<� 6�:� 8#8�608P5� �5� �5�7�� :� �85� 8QA.8R8�:� =�:�!7*�� �7*8F S�5�A1�� :��:�8) 8?8� 5!60:* :T605�8?8� �8:*6F:� 6U5�6B� 8�7*
5�8#64:@ �8)W�H1�� X��J(3
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Said bin Abdurrahman dari
Sufyan bin Uyainah dari Ubadillah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu
Umar, dia mengatakan: "Umar pernah berkata kepada Nabi saw.:
"Sesungguhnya seratus bagian yang menjadi milikku di Khaibar itu
adalah harta yang belum perah aku dapatkan dan sungguh aku
bermaksud untuk mensedekahkan (mewakaf)kannya" dan Nabi Saw
bersabda: wakafkanlah hasilnya". (HR. An-Nasa'i).
Yang menjadi masalah apakah yang menjadi latar belakang Imam
Syafi'i berpendapat seperti itu, dan apa yang menjadi metode istinbath
hukumnya. Inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat tema ini dengan
3Al-Imam Abu Abdir Rahman Ahmad ibn Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr an-Nasa’i,
hadis No. 1320 dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic
Software Company).
3
judul: Penarikan Kembali Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf (Study Analisis
Pendapat Imam Syafi'i)
B. Perumusan Masalah
Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat
pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.4 Bertitik
tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pendapat Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf
oleh pemberi wakaf?
2. Bagaimana metode istinbath hukum Imam Syafi'i tentang penarikan
kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pendapat Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta
wakaf oleh pemberi wakaf
2. Untuk mengetahui metode istinbath hukum Imam Syafi'i tentang
penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf
D. Telaah Pustaka
Berdasarkan hasil riset tidak dijumpai skripsi yang judul atau materi
bahasanya hampir sama dengan penelitian yang hendak penulis susun.
4Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 312.
4
Penelitian-penelitian terdahulu belum menyentuh pendapat Imam Syafi'i
tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf. Penelitian yang
dimaksud di antaranya:
1. Penelitian yang disusun Mamik Sunarti (NIM: 2101330) dengan judul:
Analisis Hukum Islam terhadap Pemberdayaan Ekonomi Harta Wakaf
(Studi Lapangan Harta Wakaf Masjid Agung Semarang). Pada intinya
hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan harta wakaf
Masjid Agung Semarang jauh dari kata ideal. Pemberdayaan masih dalam
lingkup usaha yang terbatas seperti hanya dalam bentuk pemberdayaan
SPBU, pembangunan pertokoan yang berlokasi di belakang Masjid Agung
Semarang, dan penyewaan perkantoran. Dengan kata lain, pengelolaan
dan pengembangan benda wakaf belum sesuai dengan harapan.
Untuk membangun atau mengarahkan harta wakaf menjadi lebih
bermanfaat, ada hambatan yang cukup berarti karena menyangkut
kemampuan para pengelola harta wakaf. Sehingga ada kesan bahwa para
pengelola harta wakaf masih lemah dalam aspek sumber daya manusia
(SDM). Dalam kaitannya dengan hukum Islam, apabila harta wakaf sudah
tidak memberikan manfa'at lagi, bolehkah benda wakaf itu ditukar dengan
maksud diberdayakan menjadi produktif? Asy Syafi'i sendiri dalam
masalah tukar menukar harta wakaf hampir sama dengan Imam Malik,
yaitu sangat mencegah adanya tukar menukar harta wakaf. Imam Syafi'i
menyatakan tidak boleh menjual masjid secara mutlak, sekalipun masjid
itu roboh. Tapi golongan Syafi'i berbeda pendapat tentang harta wakaf
5
yang berupa barang tak bergerak yang tidak memberi manfaat sama
sekali: (1) sebagian menyatakan boleh di tukar agar harta wakaf itu ada
manfaatnya; (2) sebagian menolaknya. Dengan demikian dalam perspektif
golongan Syafi'i, bahwa secara hukum pendapat yang pertama
membolehkan menukar, mengganti, merubah penggunaan dan peruntukan
benda wakaf. Sedangkan pendapat golongan yang kedua dari golongan
Syafi'i tidak membolehkannya dan harus sesuai dengan isi pesan wakif
2. Penelitian yang disusun Amalia (NIM: 2101244) dengan judul: Analisis
Hukum Islam tentang Sengketa Tanah Wakaf dan Hibah Aset Yayasan al-
Amin Kab. Blora. Pada intinya hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa status kepemilikan tanah wakaf dan hibah aset Yayasan al-Amin
Kab. Blora berada dalam sengketa yang berkepanjangan antara keluarga
almarhum pemberi wakaf dan hibah dengan yayasan. Atas dasar ini maka
ditinjau dari hukum Islam (fiqih muamalah) status kepemilikan tanah
wakaf aset Yayasan al-Amin Kabupaten Blora termasuk milk naqish
(pemilikan tidak sempurna) karena pada prinsipnya, wakaf termasuk
kategori milk naqish. Di samping itu keluarga almarhum pemberi wakaf
juga berpendapat bahwa yayasan hanya memiliki hak memiliki benda itu
akibat tidak dipenuhinya syarat al-aqd.
Cara pemanfaatan tanah wakaf dan hibah di Yayasan al-Amin
Kabupaten Blora belum didayagunakan secara maksimal. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal: (a) tanah masih dipersengketakan; (b) ada
pemahaman di masyarakat bahwa tanah wakaf itu tidak boleh dialih
6
fungsikan. Pemahaman ini dipengaruhi oleh adanya pendapat mazhab
Syafi'i yang tidak boleh mengalih fungsikan tanah wakaf.
3. Penelitian yang disusun Lukman Zein (NIM. 2101107) dengan judul:
Studi Analisis Pendapat Mazhab Hanafi tentang Wakaf oleh Orang Safih.
Pada intinya hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa menurut
Mazhab Hanafi, seorang safih sah mewasiatkan 1/3 dari hartanya apabila
dia punya ahli waris. Keabsahan tersebut dengan syarat dia berwasiat agar
dipergunakan dalam berbagai hal kebaikan seperti untuk memberi nafkah
fakir miskin, untuk membangun sanatorium, jembatan, masjid dan lain
sebagainya. Akan halnya bila dia berwasiat untuk tempat permainan, club
dan lain sebagainya, maka wasiatnya batal; tidak lulus". Pendapat mazhab
Hanafi tersebut mengisyaratkan, seorang safih dibolehkan mewakafkan
hartanya dengan ketentuan: pertama, benda yang hendak diwakafkan
tidak boleh melebihi dari satu pertiga keseluruhan harta yang dimiliki;
kedua, benda yang diwakafkan itu dimaksudkan untuk hal-hal yang
sifatnya mendatangkan kebaikan yaitu tidak bertentangan dengan
ketentuan al-Qur'an dan hadis. Dengan demikian, apabila orang safih
mewakafkan harta diperuntukkan bagi jalan kemaksiatan maka wakafnya
batal.
Secara umum dapat diterangkan bahwa dasar istinbat hukum
mazhab Hanafi adalah (1) al-Qur'an; (2) Sunnah Rasulullah; (3) Fatwa-
fatwa dari para sahabat; (4) Istihsan; (5) Ijma'; (6) Urf. Sedangkan
istinbat hukum secara khusus yang berkaitan dengan wakaf bagi orang
7
safih adalah (a) Sumber/dalil pokok yakni firman Allah Swt dalam al-
Qur'an surat an-Nisa ayat 6. (b) Qiyas.
Adapula buku-buku yang membahas tentang wakaf, akan tetapi
secara spesifik dan mendalam membahas syarat-syarat wakaf, di
antaranya:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf. Dalam undang-undang ini diatur tentang dasar-dasar wakaf,
pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf, perubahan status
harta benda wakaf, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
dan lain-lain. Demikian pula dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI/Inpres No. 1/1991) diatur tentang fungsi, unsur-unsur dan
syarat-syarat wakaf, tata cara perwakafan dan pendaftaran benda
wakaf, kewajiban dan hak-hak Nadzir, dan lain-lain.
2. Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in. Menurut
penyusun kitab ini bahwa tidak disyaratkan adanya qabul walaupun
dari mauquf alaih yang telah tertentu orangnya, karena mengingat
bahwa wakaf adalah suatu ibadah. Tapi yang disyaratkan adalah tidak
adanya penolakan.5
3. Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial.
Dalam buku ini dijelaskan bahwa ikrar adalah pernyataan kehendak
dari wakif untuk mewakafkan tanah atau benda miliknya (ps. 1 (3) PP
No. 28/1977 jo. ps. 215 (3) KHI). Pernyataan atau ikrar wakaf ini
5Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al-Qarîb al-Mujîb, Beirut: Dâr al-Ihya
al-Kitab, tth, hlm. 353
8
harus dinyatakan secara tegas baik lisan maupun tertulis, dengan
redaksi "aku mewakafkan" atau "aku menahan" atau kalimat yang
semakna lainnya. Ikrar ini penting, karena pernyataan ikrar membawa
implikasi gugurnya hak kepemilikan wakif, dan harta wakaf menjadi
milik Allah atau milik umum yang dimanfaatkan untuk kepentingan
umum yang menjadi tujuan wakaf itu sendiri. Karena itu,
konsekuensinya, harta wakaf tidak bisa dihibahkan, diperjualbelikan,
atau pun diwariskan. Secara teknis, ikrar wakaf diatur dalam pasal 5
PP 28 / 1977 jo. pasal 218 KHI: (1). Pihak yang mewakafkan tanahnya
harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir
di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) sebagaimana
dimaksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam
bentuk Aktra Ikrar Wakaf (AIW) dengan disaksikan oleh sekurang-
kurangnya 2 (dua) orang saksi. (2). Dalam keadaan tertentu,
penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri
Agama.6
4. Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di
Indonesia. dalam buku ini dipaparkan, sighat akad ialah segala
ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan
kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Wakaf adalah
tasharruf/tabarru' yang selesai dengan adanya ijab saja tanpa harus
6Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 324
9
diikuti qabul. Jadi sighat wakaf ialah sesuatu yang datang dari wakif
yang menyatakan terjadinya wakaf.7
Dari berbagai kepustakaan di atas menunjukkan bahwa penelitian
terdahulu berbeda dengan saat ini karena penelitian ini mengambil tema:
Pendapat Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf oleh Pemberi
Wakaf.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini pada prinsipnya bersifat deskriptif analisis yaitu sebagai
prosedur pemecahan masalah yang diselidiki, dengan
menggambarkan/melukiskan keadaan objek penelitian pada sekarang,
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Metode
deskriptif memusatkan perhatiannya pada penemuan fakta-fakta (fact finding)
sebagaimana keadaan nsebnearnya.8 Metode ini diaplikasikan dengan cara
membandingkan pendapat Imam Syafi'i dengan dinamika perkembangan
wakaf dewasa ini. Dari perbandingan ini dapat ditemukan persamaan,
perbedaan, kelebihan dan kekurangan masing-masing.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library
Research), yaitu dengan jalan melakukan penelitian terhadap sumber-
sumber tertulis, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sedangkan library
research menurut Sutrisno Hadi, adalah suatu riset kepustakaan atau
7Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Pasuruan
Jawa Timur: GBI (Anggota IKADI), 1994, hlm. 26 8Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1996, hlm. 73.
10
penelitian murni.9 Dalam penelitan ini dilakukan dengan mengkaji
dokumen atau sumber tertulis seperti kitab/buku, majalah, dan lain-lain.
2. Sumber Data
a. Data Primer, yaitu data yang langsung yang segera diperoleh dari
sumber data oleh penyelidik untuk tujuan yang khusus itu.10
Data yang
dimaksud adalah karya-karya Imam Al-Syafi'i yang berhubungan
dengan judul di atas di antaranya: (1) Al-Umm. (2) Kitab al-Risalah.
Yang akhir ini merupakan kitab ushul fiqh yang pertama kali dikarang
dan karenanya Imam Syafi’i dikenal sebagai peletak ilmu ushul fiqh.
Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran beliau dalam
menetapkan hukum.11
b. Data Sekunder, yaitu data yang telah lebih dahulu dikumpulkan oleh
orang diluar diri penyelidik sendiri, walaupun yang dikumpulkan itu
sesungguhnya adalah data yang asli.12
Dengan demikian data sekunder
yang relevan dengan judul di atas, di antaranya: literatur lainnya yang
relevan dengan judul di atas, di antaranya: Kitab Bidayah al-Mujtahid
wa Nihayah al-Muqtasid; Kifayah al-Akhyar; Fatul Mu'in; Tafsir Ayat
Ahkam; Mazahib al-Arba'ah; I'anah at-Talibin; Subulus Salam; Nail
al-Autar; Fathul Bari Syarah Sahih al-Bukhari.
9Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas
Psikologi, UGM, 1981, hlm. 9. 10Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar Metoda Teknik,
Edisi 7, Bandung: Tarsito, 1989, hlm. 134-163. 11Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132 12
Ibid
11
3. Metode Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian terhadap pendapat
Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf,
maka pengumpulan data dilakukan dalam bentuk penelitian kepustakaan
(library research). Dalam hal ini penggunaan kepustakaan meliputi di
dalamnya seperti buku-buku, skripsi, tesis, majalah, surat kabar yang ada
relevansinya dengan tema skripsi ini.
4. Metode Analisis Data
Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode deskriptif
analisis. Dengan deskriptif dimaksudkan, bahwa semua ide pemikiran
pendapat Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh
pemberi wakaf diuraikan secara apa adanya, dengan maksud untuk
memahami jalan pikiran dan makna yang terkandung dalam konsep
pemikirannya.
Dengan metode analisis tersebut dimaksudkan bahwa semua bentuk-
bentuk istilah dan pemikiran Imam Syafi'i tentang penarikan kembali
wakaf oleh pemberi wakaf, peneliti analisis secara cermat dan kritis. Ini
sebagai langkah untuk menemukan pengertian-pengertian yang tepat
mengenai Imam Syafi'i.
Penulis juga menggunakan metode hermeneutika, yaitu dalam hal
ini bagaimana menjelaskan isi sebuah teks keagamaan kepada masyarakat
yang hidup dalam tempat dan kurun waktu yang jauh berbeda dari si
12
empunya.13
Dalam konteks ini, analisis sedapat mungkin dengan melihat
latar belakang sosial budaya, konteks pembaca dan teks dalam rentang
waktu yang jauh dengan konteks masa kini sehingga isi pesan menjadi
jelas dan relevan dengan kurun waktu pembaca saat ini.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-
masing menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan
yang saling mendukung dan melengkapi.
Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara
global namun integral komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah,
permasalahan, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan
sistematika Penulisan.
Bab kedua berisi landasan teori yang meliputi definisi wakaf dan dasar
hukumnya, syarat dan rukun wakaf, macam-macam wakaf, manfaat wakaf,
pendapat para ulama tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi
wakaf.
Bab ketiga berisi pendapat Imam Syafi'i tentang penarikan kembali
harta wakaf oleh pemberi wakaf yang meliputi biografi Imam Syafi’i (latar
belakang kehidupan dan pendidikan, karya-karyanya, situasi politik dan sosial
keagamaan), pendapat Imam Syafi’i tentang penarikan kembali harta wakaf
13Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik,,
Jakarta: Paramadina, 1996, hlm. 14.
13
oleh pemberi wakaf, metode istinbath hukum Imam Syafi'i tentang penarikan
kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf.
Bab keempat berisi analisis pendapat Imam Syafi'i tentang penarikan
kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf yang meliputi analisis atas pendapat
Imam Syafi’i tentang penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf,
metode istinbath hukum Imam Syafi'i tentang penarikan kembali harta wakaf
oleh pemberi wakaf
Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan, saran dan
penutup.
14
BAB II
WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM
A. Definisi Wakaf dan Dasar Hukumnya
Perwakafan atau wakaf merupakan pranata dalam keagamaan Islam
yang sudah mapan. Dalam hukum Islam, wakaf termasuk ke dalam kategori
ibadah sosial (ibadah ijtimaiyyah).1 Secara bahasa wakaf berasal dari kata
waqafa yang artinya al-habs (menahan).2 Dalam pengertian istilah, wakaf
adalah menahan atau menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya guna
kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.3 Menurut Sayyid
Sabiq wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan
Allah.4 Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, wakaf adalah sejenis
pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan)
asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum.5 Wakaf adalah
menghentikan pengalihan hak atas suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi
kepentingan umum sebagai pendekatan diri kepada Allah.6 Adapun menurut
Pasal 6 UU No. 14 Tahun 2004 (Tentang Wakaf) bahwa wakaf dilaksanakan
dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: (wakif, nazhir, harga benda
wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf, jangka waktu wakaf).
1Departemen Agama, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Jakarta: Proyek
Peningkatan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas dan Penyelenggaraan Haji, 2003, hlm. 1 2Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, tth, hlm. 307. Lihat juga Syekh
Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary, Fath al-Mu’in, Semarang: Toha Putera , tth, hlm. 87.
3 Imam Taqiyuddin Abu Bakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah Al Akhyar, Juz 1,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th., hlm. 319. 4Sayyid Sabiq, loc. cit., 5Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur,
Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 635 6Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 223
15
Dari rumusan pengertian di atas terlihat bahwa dalam Fiqh Islam,
wakaf sebenarnya dapat meliputi berbagai benda. Walaupun berbagai riwayat
atau hadis yang menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tapi
para ulama memahami bahwa wakaf non tanah pun boleh saja asal bendanya
tidak langsung musnah atau habis ketika diambil manfaatnya.7 Dari berbagai
rumusan di atas pula dapat disimpulkan bahwa wakaf ialah menghentikan
(menahan) perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama,
sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari keridhaan Allah
swt.
Adapun dasar hukum wakaf dapat dilihat dalam al-Qur'an, di antaranya
dalam surat Ali Imran ayat 92:
���� ����� � � ��� ����� ������ �� ������� ! "���# ���$%& ! "'(� ������� ! )'*�+ ',%��� �����"���!)��,(� ./ :12(
Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (Q.S.
ali-Imran: 92). 8
Rasulullah saw bersabda:
���� ��� �4�5 �6�,�7�, 8 ���� ���� ��� )��9 :� �.� ;�5 �."�< �."�<����;�# ����� ��� �; �� "=;�,�� �>�%�*�+�*�+��# "=?"�@A :� B�%�C�%�D�� ����� E"�" �� �������# �F�#�5�#
G��"������ �H���7 ?��I���J"���C�+) K�#5L5"M%��( 9
7Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 26. 8Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:
DEPAG RI, 1978, hlm. 91 9Abu Abdillâh al-Bukhâry, Sahîh al-Bukharî, hadis No. 1621 dalam CD program
Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
16
Artinya: Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa
mewakafkan seekor kuda di jalan Allah dengan penuh keimanan dan
keikhlasan maka makanannya, tahinya dan kencingnya itu menjadi
amal kebaikan pada timbangan di hari kiamat (HR. al-Bukhari).
Hadis di atas menunjukkan bahwa wakaf merupakan salah satu ibadah
yang pahalanya tidak akan putus sepanjang manfaat harta yang diwakafkan itu
masih dapat diambil, meskipun si pelaku wakaf sudah meninggal dunia. Oleh
sebab itu wakaf tergolong ke dalam kelompok amal jariyah (yang mengalir).
Kata waqaf digunakan dalam al-Qur'an empat kali dalam tiga surat
yaitu QS. Al-An'am, 6: 27, 30, Saba', 34: 31, dan al-Saffat, 37 : 24. Ketiga
yang pertama artinya menghadapkan (dihadapkan), dan yang terakhir artinya
berhenti atau menahan, "Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian) karena
sesungguhnya mereka akan ditanya". Konteks ayat ini menyatakan proses ahli
neraka ketika akan dimasukkan neraka.10
Wakaf yang bentuk jama’-nya auqâf berasal dari kata benda abstrak
(masdar) atau kata kerja (fi’il) yang dapat berfungsi sebagai kata kerja transitif
(fi’il muta’addi) atau kata kerja intransitif (fi’il lazim), berarti menahan atau
menghentikan sesuatu dan berdiam di tempat.11
Dengan kata lain, perkataan
waqf yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa
Arab: waqafa – yaqifu – waqfan yang berarti ragu-ragu, berhenti,
memperhentikan, memahami, mencegah, menahan, mengatakan,
memperlihatkan, meletakkan, memperhatikan, mengabdi dan tetap berdiri.12
10Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997,
hlm. 481. 11Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 120. 12Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1576.
17
Kata al-waqf semakna dengan al-habs bentuk masdar dari habasa – yahbisu –
habsan, artinya menahan.13
Pengertian di atas tidak berbeda dengan Sayyid Sabiq yang
berpendapat bahwa secara bahasa wakaf berasal dari kata waqafa adalah sama
dengan habasa. Jadi al-waqf sama dengan al-habs yang artinya menahan.14
Pengertian yang sama dikemukakan oleh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dalam
kitab Minhâj al-Muslim, bahwa menurut bahasanya, "wakaf" berarti
menahan.15
Dalam pengertian istilah, dalam kitab Kifayah Al Akhyar dirumuskan:
>%+ ."� �N@ O"�*?P� � Q� �"�� ��� O��R �� S,T*�� U ���
S,T!# D�"�� V W�� "�,�! XA :� X"D!16
Artinya: “Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai
dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan (memotong)
tasharuf (pengelolaan) dalam penjagaannya atas muthosorif
(pengelola) yang dibolehkan adanya.”
Menurut Mundzir Qahaf, wakaf adalah menahan harta baik secara
abadi maupun sementara, untuk dimanfaatkan langsung atau tidak langsung,
dan diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang di jalan kebaikan untuk
umum atau khusus.17
Sejalan dengan itu Maulana Muhammad Ali
merumuskan wakaf sebagai penetapan yang bersifat abadi untuk memungut
13Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 490. 14Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Beirut: Dar al-Fikr, tth, hlm. 307. 15Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhâj al-Muslim, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 2004,
hlm. 343.
16Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah Al Akhyar, Juz I,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 319. 17Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Terj. Muhyiddin Mas Rida, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2000, hlm. 52.
18
hasil dari barang yang diwakafkan guna kepentingan orang seorang, atau yang
bersifat keagamaan, atau untuk tujuan amal.18
Menurut Sayyid Sabiq, wakaf berarti menahan harta dan memberikan
manfaatnya di jalan Allah.19
Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, wakaf
adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan
menahan (pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum.20
Menurut Amir Syarifuddin, wakaf adalah menghentikan pengalihan hak atas
suatu harta dan menggunakan hasilnya bagi kepentingan umum sebagai
pendekatan diri kepada Allah.21
Sedangkan menurut Al-Shan'ani, wakaf
adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa menghabiskan
atau merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.22
Dari rumusan pengertian di atas terlihat bahwa dalam Fiqih Islam,
wakaf sebenarnya dapat meliputi berbagai benda. Walaupun berbagai
riwayat/hadis yang menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah,
tapi berbagai ulama memahami bahwa wakaf non tanah pun boleh saja asal
bendanya tidak langsung musnah/habis ketika diambil manfaatnya.23
Dalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf, bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif
untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya
18Maulana Muhammad Ali, Islamologi, (Dinul Islam), Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1976, hlm. 467. 19Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 307. 20Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur,
Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 635 21Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 233 22Al-San'any, Subul al-Salam, Juz III, Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-
Halabi, 1950, hlm. 87. 23Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 26.
19
untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai
dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau/kesejahteraan umum
menurut syari’ah.24
Dalam butir 1 pasal 215 KHI (INPRES No. 1/1991),
disebutkan, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.25
Dari berbagai rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf ialah
menghentikan (menahan) perpindahan milik suatu harta yang bermanfaat dan
tahan lama, sehingga manfaat harta itu dapat digunakan untuk mencari
keridhaan Allah Swt.
Dasar hukum wakaf dapat dilihat dalam al-Qur'an, di antaranya dalam
surat al-Baqarah, 2: 267,
��7Y��� "�Z$7�[ "�7 ��\� ��N�� "���]�,� �[ "'(��# �� *�%�C�_ "�� J"�%\�� �� ������?�[ ��� ���/ ��� a(�b ! ��[ �PA 7Y c� � *�C���# ������� ! ��� �d�%�M��� ��� ('(���! �P�# e�5fg�
�h�(�+ i���j � ��� ���[ ��� (�����# ��}2lm{ Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih
yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal
kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji".26
24Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf, Jakarta: Harvarindo, 2005, hlm. 2. 25Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokus Media, 2005,
hlm. 68. 26Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:
DEPAG RI, 1978, hlm. 67.
20
Surat al-Baqarah, 2: 261,
'� �B�"���; �Q�%�; �o�*�%?�[ �G'%�+ B�p�(�_ ��� B�%�; �� �� Z��������[ ������� 7 ��7Y��� �B�p ����� �Q;��# ����# q�"�r�7 ��(� s�"�a 7 ����# �G'%�+ �G�t\� �G� %� ; uB�_ ��
}2lv{
Artinya: "Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
lagi Maha Mengetahui".27
Surat Ali-Imran, 3: 92:
��� � � ��� ����� ������ �� ������� ! "���# ���$%& ! "'(� ������� ! )'*�+ ',%��� �����"���! �����)��,(� ./ :12(
Artinya: "Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya". (Q.S.
Ali-Imran: 92). 28
Ayat-ayat al-Qur'an tersebut, menurut pendapat para ahli, dapat
dipergunakan sebagai dasar umum lembaga wakaf.29
Itulah sebabnya Hamka
dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan surat Ali-Imran ayat 92 dengan
menyatakan bahwa setelah ayat ini turun, maka sangat besar pengaruhnya
kepada sahabat-sahabat Nabi Saw dan selanjutnya menjadi pendidikan batin
yang mendalam di hati kaum muslimin yang hendak memperteguh
keimanannya.30
27Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:
DEPAG RI, 1978, hlm. 65. 28
Ibid, hlm. 91 29Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988,
hlm. 81. 30Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz IV, Jakarta:PT Pustaka Panji Mas, 1999, hlm. 8
21
Adapun salah satu hadis yang berbicara tentang wakaf yang secara
umum bermaksud menjelaskan wakaf yaitu:
Rasulullah Saw bersabda:
*<# w� 7[ ��� x�y "�Fzh+%��{�D7 G��� h�D; � "�Fzh+ ���"< ,�|+ ����#� �8 B�D(�;A[ 6,�7,8 }[ ��� ��[ ��� �~D��� �� ,��D] ����� :� .�;5
;# ��� :� )�9��PA (� ��� Q���?� �"C�?���� J"� ��A ."< �F ��� ~ GF�PA � Q�*��7 ��� �#[ G75"] G<h9 ��� � ���h7 �"9 h�# �#[)�C� K�#5(31
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Ayyub dan
Qutaibah Ya'ni bin Sa'id dan Ibnu Hujrin dari Ismail Ibnu Ja'far dari
al-'Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah ra. (katanya) sesungguhnya
Rasulullah Saw. bersabda: apabila manusia sudah mati, maka
putuslah amalnya kecuali dari tiga macam, yaitu sedekah jariyah, atau
ilmu yang dimanfaatkan, atau anak yang saleh yang mendo'akannya".
(HR. Muslim).
Berdasarkan hadis di atas menunjukkan bahwa wakaf merupakan salah
satu ibadah yang pahalanya tidak akan putus sepanjang manfaat harta yang
diwakafkan itu masih dapat diambil, meskipun si pelaku wakaf sudah
meninggal dunia. Oleh sebab itu wakaf tergolong ke dalam kelompok amal
jariah (yang mengalir).
B. Syarat dan Rukun Wakaf
Untuk memperjelas syarat dan rukun wakaf maka lebih dahulu
dikemukakan pengertian syarat dan rukun baik dari segi etimologi maupun
terminologi. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rukun
31Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh Muslim,
Juz III, Mesir: Tijariah Kubra, tth, hlm. 73.
22
dilakukan."32
Menurut Satria Effendi M. Zein, bahwa menurut bahasa, syarat
adalah sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai
tanda,33
melazimkan sesuatu.34
Secara terminologi, yang dimaksud dengan syarat adalah segala
sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan
tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan
adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum.35
Hal ini sebagaimana
dikemukakan Abd al-Wahhab Khalaf,36
bahwa syarat adalah sesuatu yang
keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari
ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang
dimaksudkan adalah keberadaan secara syara’, yang menimbulkan efeknya.
Hal senada dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, asy-syarth (syarat) adalah
sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya
syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarath tidak pasti
wujudnya hukum.37
Sedangkan rukun, dalam terminologi fikih, adalah sesuatu
yang dianggap menentukan suatu disiplin tertentu, di mana ia merupakan
bagian integral dari disiplin itu sendiri. Atau dengan kata lain rukun adalah
penyempurna sesuatu, di mana ia merupakan bagian dari sesuatu itu.38
32
Ibid., hlm. 1114. 33Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 64 34Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 34 35Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004,
hlm. 50 36Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978, hlm. 118. 37Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 59. 38Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar
Media, 2006, hlm. 25.
23
Adapun unsur (rukun) wakaf dan syarat yang menyertainya adalah
sebagai berikut:
1. Waqif (orang yang mewakafkan).
Syarat wakif adalah sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak
dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, dan telah mencapai umur baligh.39
Wakif adalah pemilik sempurna harta yang diwakafkan.40
Dalam versi
pasal 215 (2) KHI jo. pasal 1 (2) PP 28/1977 dinyatakan: "Wakif adalah
orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda
miliknya".
Adapun syarat-syarat wakif adalah:
(1) Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang
telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak
terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri
dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas
namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum (Pasal 3
Peraturan Pemerintah 28/1977).
39Abi Yahya Zakariya al-Anshary, Fath al-Wahhab, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, , hlm.
256 40Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997,
hlm. 493.
24
Sebagai ibadah tabarru' (mendermakan harta), wakaf memang
tidak mengharuskan adanya qabul, hal ini sebagaimana dinyatakan Sayyid
Sabiq:
��# �,r� s<��� HI� Gb�T�"� ��?#[ s<��� )� .h7 "� s<���� BD� B�"_ ��N7 ��� G�,T! �T7 �R s<���� ��N7 �[ B�D�� �� G�8g�
�� S�<��� .�%< XA K�"�D?� U �"*y P# 5"�*^P�# G7,��# O�%��#41
Artinya: Bila seorang yang berwakaf berbuat sesuatu yang menunjukkan
kepada wakaf atau mengucapkan kata-kata wakaf, maka tetaplah
wakaf itu, dengan syarat orang yang berwakaf adalah orang yang
sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa,
merdeka dan tidak dipaksa. Untuk terjadinya wakaf ini tidak
diperlukan qabul dari yang diwakafi.
Meskipun demikian, ini harus dipahami dan jangan sampai salah
dalam interpretasi (penafsiran) bahwa dalam pelaksanaannya, wakaf perlu
disertai dengan bukti-bukti tertulis, agar tindakan hukum wakaf
mempunyai kekuatan hukum dan menciptakan tertib administrasi.
Dasarnya pun sebenarnya sangat jelas, karena ayat muamalah dalam QS.
al-Baqarah 282, tentang perintah mencatat dalam urusan utang piutang,
dapat menjadi analogi dalam pencatatan wakaf.42
A ��� ���/ ��7Y��� "�Z$7�[ "�7 � *�N�����# K� % *�_"�� )�(�C$� �B�]�[ )��A ���7�h� � *��7��h�! ��� ��� �(��� "�(�_ �� *�N�7 ���[ ��!"�_ �w���7 �P�# .�h�D��"� ��!"�_ ���N����'�
�>�M�%�7 �P�# '��5 � ��� �'*�����# $��&��� ����� LY��� B�( ����# �� *�N����� E"t���� ��� �� 8 �B( 7 ��[ Q���*�C�7 �P �#�[ E"��D�4 �#�[ E"Z���; $��&��� ����� LY��� ��"�_ ����
41Sayyid Sabiq, Juz 3, op.cit., hlm. 309. 42Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual, op. cit, hlm. 322.
25
"�?��N�7 ���� ���� ���N�"�]\5 �� ��7�h�Z�� ��# hZ�r�*�;��# .�h�D��"� $���# �B�( ����'(� �"�!�[�,����# �B ]�,�� ���� ]�5 "�( 8��h�+�A �Ba�! ��[ ���h�Z$r�� ��� �����4�,�! �
��[ ���� ����C�! �P�# ��� � � "�� ���A ���h�Z$r�� �w���7 �P�# ��,� qg� "�( 8��h�+A �,u_�Y *��"�Z'r� H��<�[�# ��� �h�� ���C�<�[ ���N��� �]�[ )��A E��%�_ #�[ E��b�9 K�� % *�N�! 6��
�>����� ���N������ "�Z�?# ,7h ! E6�,4"�+ E6�5"�|! ����N�! ��[ �PA ��� �"�!�,�! �P�[ )�?���[�# �P�# ��!"�_ '5c�a 7 �P�# �� *�D�7"�%�! ���A ���# hZ���[�# "�8� % *�N�! �P�[ ��"�� ] ���N�����
� ��� C�� '?��� �����D���! �A�# �h�Z�� uB�N� ����# ��� ��N (u�D 7�# � ��� �����'!��# ���N ����� ������)6,�%�� :2�2(
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikit pun dari pada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang
yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri
tidak mampu mengimlakkan, maka hendaknya walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua
orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang
demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (tulislah muamalahmu itu) kecuali jika muamalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka
tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang
demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu;
26
dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (QS. Al-Baqarah,
2: 282).43
2. Mauquf atau benda yang diwakafkan
Syarat-syarat harta benda yang diwakafkan yang harus dipenuhi
sebagai berikut:
a. Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak sekali
pakai;
b. benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum;
c. hak milik wakif yang jelas batas-batas kepemilikannya;
d. benda wakaf itu dapat dimiliki dan dipindahkan kepemilikannya;
e. benda wakaf dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahat
yang lebih besar;
f. benda wakaf tidak dapat diperjual belikan, dihibahkan atau
diwariskan.44
3. Mauquf 'alaih (tujuan wakaf)
Untuk menghindari penyalahgunaan wakaf, maka wakif perlu
menegaskan tujuan wakafnya. Apakah harta yang diwakafkan itu untuk
menolong keluarganya sendiri sebagai wakaf keluarga (waqf ahly), atau
untuk fakir miskin, dan lain-lain, atau untuk kepentingan umum (waqf
khairy). Yang jelas tujuannya adalah untuk kebaikan, mencari keridhaan
Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.45
Kegunaan wakaf bisa untuk
sarana ibadah murni, bisa juga untuk sarana sosial keagamaan lainnya
yang lebih besar manfaatnya.
Karena itu, wakaf tidak bisa digunakan untuk kepentingan maksiat,
membantu, mendukung atau yang memungkinkan untuk tujuan maksiat.
43Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, op.cit., hlm. 70. 44Jika benda wakaf dapat seenaknya diperjual belikan, dihibahkan atau diwariskan maka
hal ini akan membuat tidak percaya lagi bagi masyarakat dan khususnya pemberi wasiat. 45Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual, op. cit., hlm. 323
27
Menurut Abu Yahya Zakariya, menyerahkan wakaf kepada orang yang
tidak jelas identitasnya adalah tidak sah.46
Faktor administrasi, kecermatan, dan ketelitian dalam mewakafkan
barang menjadi sangat penting, demi keberhasilan tujuan dan manfaat
wakaf itu sendiri. Alangkah ruginya, jika niat yang baik untuk
mewakafkan hartanya, tetapi kurang cermat dalam tertib administrasinya,
mengakibatkan tujuan wakaf menjadi terabaikan. Jika tertib administrasi
ini ditempatkan sebagai wasilah (instrumen) hukum, maka hukumnya bisa
menjadi wajib. Sebagaimana aksioma hukum yang diformulasikan para
ulama "li al-wasail hukm al-maqashid" artinya "(hukum) bagi perantara,
adalah hukum apa yang menjadi tujuannya".47
4. Sighat (Ikrar atau Pernyataan Wakaf)
Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan
tanah atau benda miliknya (ps. 1 (3) PP No. 28/1977 jo. ps. 215 (3) KHI).
Pernyataan atau ikrar wakaf ini harus dinyatakan secara tegas baik lisan
maupun tertulis, dengan redaksi "aku mewakafkan" atau "aku menahan"
atau kalimat yang semakna lainnya. Ikrar ini penting, karena pernyataan
ikrar membawa implikasi gugurnya hak kepemilikan wakif, dan harta
wakaf menjadi milik Allah atau milik umum yang dimanfaatkan untuk
kepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf itu sendiri.48
Karena itu,
konsekuensinya, harta wakaf tidak bisa dihibahkan, diperjualbelikan, atau
pun diwariskan.
46
Ibid, hlm. 324. 47Ibid., hlm. 324. 48
Ibid., hlm. 497
28
Secara teknis, ikrar wakaf diatur dalam pasal 5 PP 28/1977 jo,
pasal 218 KHI: (1). Pihak yang mewakafkan atau wakif tanahnya
mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada Nadzir di
hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) sebagaimana
maksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk
Akta Ikrar Wakaf (AIW) dengan disaksikan oleh minimal dua orang saksi.
(2). Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud
dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan Menteri Agama.49
5. Nadzir (Pengelola) Wakaf
Nadzir meskipun dibahas di dalam kitab-kitab fiqh, namun tidak
ada yang menempatkannya sebagai rukun wakaf. Boleh jadi karena wakaf
adalah tindakan tabarru', sehingga prinsip "tangan kanan memberi, tangan
kiri tidak perlu mengetahui" sering diposisikan sebagai dasar untuk
merahasiakan tindakan wakaf. Padahal sebenarnya tertib administrasi tidak
selalu identik dengan memamerkan wakaf yang dilakukannya. Bahkan
hemat saya, mempublikasikan tindakan sedekah termasuk di dalamnya
wakaf adalah baik-baik saja, meskipun menyembunyikannya itu lebih
baik.50
Firman Allah dalam Surat al-Baqarah, ayat 271:
49Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997,
hlm. 498 50Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, op.cit., hlm. 325.
29
�,��� �� Z�� ���,������� "�8� !�� !�# "�8����M ! �A�# ��8 "'(D��� J"�<�h'T�� ��# h�% ! �A ��%� �����(�D�! "�(� ����# ���N!"�t\��; �\� ��N��� ,u��N 7�# ���N��)6,�%�� :2mv(
Artinya: Jika kamu menampakkan maka itu adalah baik sekali. Dan jika
kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-
orang fakir, maka menyembunyikannya itu lebih baik bagimu.
Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-
kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS. al-Baqarah: 271).51
Pada masa 'Umar ibn al-Khaththab ra mewakafkan tanahnya, beliau
sendiri yang menjadi nadzirnya. Sepeninggalnya, pengelolaan wakaf
diserahkan kepada putrinya Hafshah, dan setelah itu ditangani Abdullah ibn
'Umar, kemudian keluarganya yang lain.52
Boleh jadi "sunnah" awal demikian, berikutnya tentang nadzir ini tidak
ditempatkan sebagai salah satu rukun wakaf. Karena posisi nadzir sangat
penting dan strategis sebagai bagian tak terpisahkan bagi keberhasilan wakaf
dan realisasi pengelolaan harta wakaf. Oleh karena itu, untuk menjadi nadzir,
seseorang harus memiliki persyaratan dan kualifikasi tertentu, agar dia bisa
mengemban amanat itu dengan sebaik-baiknya.53
Posisi atau eksistensi nadzir
sangat penting untuk tertib administrasi, tanpa nadzir bisa saja sewaktu-waktu
kelak timbul masalah.
Integritas kepribadian nadzir ini menjadi sangat penting, termasuk
ketika nadzir yang pertama sudah "purna tugas" maka penggantinya sedapat
51Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 68. 52Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual, op. cit., hlm. 326. 53
Ibid
30
mungkin memiliki kepribadian yang amanah. Atau supaya amanahnya tetap
terjaga, nadzir, sebaiknya dilaksanakan nadzir secara kolektif.
C. Macam-Macam Wakaf
Ditinjau dari segi ditujukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf dapat
dibagi menjadi 2 (dua) macam:
1. Wakaf ahli: wakaf yang ditujukan untuk anak cucu atau kaum kerabat,
kemudian sesudah mereka itu ditujukan untuk orang-orang fakir. Wakaf
seperti ini juga disebut wakaf dzurri.54
Apabila ada seorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya,
lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil
manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Dalam
satu segi wakaf ahli/dzurri ini baik sekali, karena si wakif akan mendapat
dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikan
dari silatur rahimnya.55
Rasulullaah SAW pernah memberi saran kepada
Abu Thalhah agar wakafnya diberikan kepada ahli kerabat, seperti hadis
riwayat Muslim di bawah ini.
}[ ��� :� h%� ��� �&;A ��� �"_ .��7 ��"� �� >?[ Q� z?[ G&�` ?[ ,p_[ G&�` ��[T�"_# P"� G�7h(��"� zL5"[ )+,��� ��A �����[ z�+
:� .�;5 �"_# h|�C(��� G%��*�C� �o?"_#;# ��� ��� )�9 � � G7c��� KY8 �o�I? "z(� >?[ ."< �z�` "Z�� �"� �� w,�r7# "Z^�h7) ���
54Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 307. 55Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Jakarta: PT
Garoeda Buana, 1992, hlm. 3.
31
zW��� ���"�!+ )z*� "zR ������! z% �� ( )�9 :� .�;5 XA G&�` ��[ H"<;# ��� ���� �"*_ V .��7 :� ��A ."�� �) ������! )z*+ zW��� ���"�! ���
� "zRz%�� (��A �����[ z�+[ ��A#� "8z,� �]5[ �� G<h9 "Zz?A# )+,��."< o�t� d��+ :� .�;5 "7 "Z�Da� :� h��� "8,� �# :� .�;5
"� o�D� �h< ���5 ."� ��� ���5 ."� ��� ��� ��;# ��� :� )�9� o�<Z� �5"<[ V G&�` ��[ "Z(C�� ��,�<���� V "ZD�� ��[ �5[ �z?A# "
z(� {�# )�C� K�#5 (56
Artinya: Bersumber dari Ishaq bin Abdillah bin Abi Thalhah, beliau
mendengar Anas bin Malik berkata: "Dulu, Abu Thalhah adalah
seorang shahabat Anshar yang paling banyak hartanya di
Medinah. Dan harta yang paling dia sukai adalah kebun Bairaha
yang menghadap ke mesjid. Rasulullah saw. biasa masuk ke
kebun itu untuk minum airnya yang tawar. Ketika turun ayat
berikut: "Sekali-kali kalian tidak sampai kepada kebaikan (yang
sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebahagian harta yang
kalian cintai..." (Ali Imran, ayat 92), Abu Thalhah datang
kepada Rasulullah saw. dan berkata: "Allah telah berfirman
dalam KitabNya. Sekali-kali kalian tidak sampai kepada
kebaikan yang sempurna sebelum kalian menafkahkan
sebahagian harta yang kalian cintai, sedangkan harta yang paling
kucintai adalah kebun Bairaha, maka kebun itu kusedekahkan
karena Allah. Aku mengharapkan kebaikan dan simpanannya
(pahalanya nanti di akherat) di sisi Allah. Oleh sebab itu,
pergunakanlah kebun itu, ya Rasulallah, sekehendakmu."
Rasulullah saw. bersabda: "Bagus itu adalah harta yang
menguntungkan, itu adalah harta yang menguntungkan Aku
telah mendengar apa yang engkau katakan mengenai kebun itu.
Dan aku berpendapat, hendaknya kebun itu engkau berikan
kepada para kerabatmu." Abu Thalhah pun membagi kebun itu
dan memberikan kepada para kerabatnya dan anak-anak
pamannya. (HR. Muslim)
56Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Juz. II, op.cit.,
hlm. 79.
32
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa wakaf ahli ini adalah
wakaf yang sah dan telah dilaksanakan oleh kaum muslimin. Yang berhak
mengambil manfaat wakaf ahli ialah orang-orang yang tersebut dalam
sighat wakaf. Persoalan yang bisa timbul kemudian dari para wakaf ahli
ini, ialah bila orang yang tersebut dalam sighat wakaf itu telah meninggal
dunia, atau ia berketurunan jika dinyatakan bahwa keturunan berhak
mengambil manfaat wakaf itu, atau orang-orang tersebut tidak mengelola
atau mengambil manfaat harta wakaf itu.57
Bila terjadi keadaan yang demikian, maka biasanya harta wakaf itu
dikembalikan pada tujuan wakaf pada umumnya, yaitu dimanfaatkan
untuk menegakkan agama Allah atau untuk keperluan sosial. Contohnya
ialah A mewakafkan sebidang tanahnya kepada keluarga B. Pada suatu
saat kemudian dari keluarga B punah, tidak seorangpun yang tinggal,
maka harta wakaf itu dikembalikan kepada Allah dan digunakan untuk
kepentingan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah.58
Sekalipun agama Islam membolehkan wakaf ahli, tetapi negara-
negara Islam, seperti Mesir, Syiria dan negara-negara lain yang pernah
melaksanakannya, mengalami kesulitan-kesulitan di kemudian hari dalam
menyelesaikan perkara atau persoalan yang timbul karenanya. Karena itu
Mesir menghapuskan lembaga wakaf ahli ini dengan Undang-Undang No.
180 tahun 1952, sedang Syiria telah menghapuskan sebelumnya. Karena
57Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, Jilid 3, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 199. 58
Ibid., hlm. 199
33
itu perlu dipikirkan kemungkinan terjadinya wakaf ahli di Indonesia pada
masa-masa yang akan datang.59
2. Wakaf Khairi: wakaf yang diperuntukkan kebaikan semata-mata.60
Dengan kata lain wakaf khairi merupakan wakaf yang secara tegas untuk
kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan. Seperti wakaf
yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolahan,
jembatan, rumah sakit, panti asuhan, anak yatim dan lain sebagainya.
Wakaf khairi adalah wakaf yang lebih banyak manfaatnya dari
pada wakaf ahli, karena tidak terbatas pada satu orang/kelompok tertentu
saja, tetapi manfaatnya untuk umum, dan inilah yang paling sesuai dengan
tujuan perwakafan. Dalam wakaf khairi, si wakif dapat juga mengambil
manfaat dari harta yang diwakafkan.61
Seperti wakaf masjid maka si wakif
boleh saja di sana, atau mewakafkan sumur, maka si wakif boleh
mengambil air dari sumur tersebut sebagaimana pernah dilakukan oleh
Nabi dan sahabat Utsman bin Affan.
Wakaf khairi atau wakaf umum inilah yang paling sesuai dengan
ajaran Islam dan yang dianjurkan pada orang yang mempunyai harta untuk
melakukannya guna memperoleh pahala yang terus mengalir bagi orang
yang bersangkutan kendatipun ia telah meninggal dunia, selama wakaf itu
masih dapat diambil manfaatnya. Bentuk-bentuknya tersebut di atas,
wakaf khairi ini jelas merupakan wakaf yang benar-benar dapat dinikmati
manfaatnya oleh masyarakat dan merupakan salah satu sarana
59
Ibid., hlm. 200. 60Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 307. 61Faishal Haq dan Saiful Anam, op. cit., hlm. 6 – 7.
34
penyelenggaraan kesejahteraan masyarakat baik dalam bidang keagamaan
maupun dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan.62
D. Manfaat Wakaf
Wakaf memiliki hikmah yang sangat besar, dan pahala yang diterima
oleh mereka yang melakukannya adalah amat besar pula. Sebagian orang
miskin tidak mampu untuk mencari nafkah dikarenakan lemahnya kekuatan
yang mereka miliki, yang disebabkan karena sakit atau yang lainnya, seperti
halnya para wanita yang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan pekerjaan
sebagaimana para lelaki.
Mereka adalah orang-orang yang sangat berhak mendapatkan cinta dan
belas kasihan. Apabila diwakafkan kepada mereka sejumlah harta atau
sedekah, maka hal itu akan sangat membantu mereka untuk bisa terlepas dari
belenggu kemiskinan, sehingga beban kehidupan mereka akan menjadi lebih
ringan. Orang yang mewakafkan hartanya akan mendapatkan pahala dari
Allah di hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya, yaitu di
hari di mana amal perbuatan ditimbang.63
Al-Qur'an tidak pernah menjelaskan secara spesifik dan tegas tentang
wakaf. Hanya saja, karena wakaf itu merupakan salah satu bentuk kebajikan
melalui harta benda, maka para ulama pun memahami bahwa ayat-ayat Al-
Qur'an yang memerintahkan pemanfaatan harta untuk kebajikan juga
62Muhammad Daud Ali, op. cit., hlm. 91 – 92. 63Syeikh Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuh, Juz II, Beirut: Dâr al-
Fikr, 1980, hlm. 131.
35
mencakup kebajikan melalui wakaf.64
Wakaf adalah menahan sesuatu benda
yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna
diberikan untuk jalan kebaikan.65
Untuk itu wakaf hikmahnya besar sekali
antara lain:
a Harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin
kelangsungannya. Tidak perlu khawatir barangnya hilang atau pindah
tangan, karena barang wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, atau
diwariskan.
Orang yang berwakaf sekalipun sudah meninggal dunia, masih
terus menerima pahala, sepanjang barang wakafnya itu masih tetap ada
dan masih dimanfaatkan.
b Wakaf merupakan salah-satu sumber dana yang penting yang besar sekali
manfaatnya bagi kepentingan agama dan umat. Antara lain untuk
pembinaan kehidupan beragama dan peningkatan kesejahteraan umat
Islam, terutama bagi orang-orang yang tidak mampu, cacat mental/fisik,
orang-orang yang sudah lanjut usia dan sebagainya yang sangat
memerlukan bantuan dari sumber dana seperti wakaf itu.66
Mengingat besarnya manfaat wakaf itu, maka Nabi sendiri dan
para sahabat dengan ikhlas mewakafkan masjid, tanah, sumur, kebun dan
kuda milik mereka pribadi. Jejak (sunah) Nabi dan para sahabatnya itu
kemudian diikuti oleh umat Islam sampai sekarang.67
64Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 103 65Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 240 66Masjfuk Zuhdi, Studi Islam: Jilid III, Jakarta: Rajawali, 1988, hlm. 77-79. 67Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 308.
36
Menurut Didin Hafidhuddin, banyak hikmah dan manfaat yang
dapat diambil dari kegiatan wakaf, baik bagi wakif maupun bagi
masyarakat secara lebih luas, antara lain yaitu menunjukkan kepedulian
dan tanggungjawab terhadap kebutuhan masyarakat. Keuntungan moral
bagi wakif dengan mendapatkan pahala yang akan mengalir terus,
walaupun wakif sudah meninggal dunia. Memperbanyak aset-aset yang
digunakan untuk kepentingan umum yang sesuai dengan ajaran Islam
merupakan sumber dana potensial bagi kepentingan peningkatan kualitas
umat, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan sebagainya.68
Dalam kaitan dengan hikmah dan manfaat wakaf, M.A. Mannan
yang dikutip Didin Hafidhuddin menulis
Sepanjang sejarah Islam wakaf telah memerankan peranan yang
sangat penting dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial,
ekonomi, dan kebudayaan masyarakat Islam. Selain itu,
keberadaan wakaf juga telah banyak memfasilitasi para sarjana
dan mahasiswa dengan berbagai sarana dan prasarana yang
memadai untuk melakukan riset dan pendidikan, sehingga dapat
mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah.69
Pernyataan menunjukkan bahwa wakaf mempunyai peranan yang
penting sehingga dapat mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah.
Kenyataan menunjukkan institusi wakaf telah menjalankan
sebagian dari tugas-tugas institusi pemerintah atau kementerian-
kementerian khusus seperti Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan
Sosial. Ada bukti-bukti yang mendukung pernyataan bahwa sumber-
68Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani, 2003, hlm. 124. 69
Ibid., hlm. 124.
37
sumber wakaf tidak hanya digunakan untuk membangun perpustakaan,
ruang-ruang belajar, tetapi juga untuk membangun perumahan siswa,
kegiatan riset seperti untuk jasa-jasa fotokopi, pusat seni, dan lain-lain.70
Keberadaan wakaf terbukti telah banyak membantu bagi
pengembangan ilmu-ilmu medis melalui penyediaan fasilitas-fasilitas
publik di bidang kesehatan dan pendidikan seperti: pembangunan rumah
sakit, sekolah medis, dan pembangunan industri di bidang obat-obatan
serta kimia. Penghasilan wakaf bukan hanya digunakan untuk
mengembangkan obat-obatan dan menjaga kesehatan manusia, tetapi juga
obat-obatan untuk hewan.
Manusia dapat mempelajari obat-obatan serta penggunaannya
dengan mengunjungi rumah sakit-rumah sakit yang dibangun dari dana
hasil pengelolaan aset wakaf. Bahkan pendidikan medis kini tidak hanya
diberikan di sekolah-sekolah medis dan rumah sakit, tetapi juga telah
diberikan oleh masjid-masjid dan universitas-universitas seperti
universitas Al-Azhar Kairo (Mesir) yang dibiayai dana hasil pengelolaan
aset wakaf. Bahkan pada abad ke-4 Hijriyah, rumah sakit anak yang
didirikan di Istambul (Turki) dananya berasal dari hasil pengelolaan aset
wakaf.71
Pada periode Abbasiyah, dana hasil penyusun pengelolaan aset
wakaf juga digunakan untuk membantu pembangunan pusat seni dan telah
70Ibid., hlm. 124. 71
Ibid, hlm. 124.
38
sangat berperan bagi perkembangan arsitektur Islam, terutama arsitektur
dalam bangunan masjid, sekolah dan rumah sakit.72
E. Pendapat Para Ulama tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf oleh
Pemberi Wakaf
Di kalangan ulama fikih terdapat perbedaan dalam memandang status
harta wakaf. Menurut Imam Syafi'i, wakaf adalah suatu ibadah yang
disyari'atkan, wakaf telah berlaku sah bilamana wakif telah menyatakan
dengan perkataan waqaftu (telah saya wakafkan), sekalipun tanpa diputuskan
hakim. Harta yang telah diwakafkan menyebabkan wakif tidak mempunyai
hak kepemilikan lagi, sebab kepemilikannya telah berpindah kepada Allah
Swt dan tidak juga menjadi milik penerima wakaf (maukuf alaih), akan tetapi
wakif tetap boleh mengambil manfaatnya. Bagi ulama Syafi'iyah, wakaf itu
mengikat dan karenanya tidak bisa ditarik kembali atau diperjualbelikan,
digadaikan, dan diwariskan oleh wakif. 73
Pendiri Mazhab Hanafi, Abu Hanifah, berpendapat bahwa seseorang
yang mewakafkan hartanya pada saat dia masih hidup berhak untuk
membatalkan wakaf dengan menarik kembali hartanya. Menurutnya lagi,
tindakan wakaf bersifat mengikat apabila wakif menyerahkan wakafnya pada
saat sebelum meninggal atau apabila diperkuat oleh hakim.74
Karena dapat
72Ibid., hlm. 124. 73Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar
Media, 2006, hlm. 33-34. 74Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary (Ed), Wakaf, Tuhan, dan Agenda
Kemanusiaan, Jakarta: CSRC, 2006, hlm. 42-43.
39
dibatalkan maka konsekuensinya pemberi wakaf (wakif) dapat menarik
kembali wakafnya atau dapat memiliki kembali wakafnya.
Dengan kata lain menurut Imam Abu Hanifah, wakaf ialah suatu
sedekah selama hakim belum mengumumkan bahwa harta itu adalah harta
wakaf, atau disyaratkan dengan taklik sesudah meninggalnya orang yang
berwakaf, misalnya dikatakan, "Bilamana saya telah meninggal, harta saya
berupa rumah ini saya wakafkan untuk kepentingan Madrasah Tsanawiyah".
Dengan demikian wakaf rumah untuk kepentingan Madrasah Tsanawiyah baru
berlaku setelah wakif meninggal dunia. Bagi ulama Hanafiyah, harta wakaf
itu tetap menjadi milik orang yang mewakafkan (wakif), oleh karena itu pada
suatu waktu harta wakaf tersebut dapat diambil oleh wakif atau ahli waris
wakif setelah waktu yang ditentukan.75
Demikian pula Imam Malik dan Golongan Syi'ah Imamiah
menyatakan bahwa wakaf itu boleh dibatasi waktunya.76
Imam Malik,
berpendapat bahwa wakaf tidak disyaratkan berlaku untuk selamanya, tetapi
sah bisa berlaku untuk waktu satu tahun misalnya. Sesudah itu kembali
kepada pemiliknya semula.77
Berdasarkan keterangan di atas bahwa meskipun Imam Syafi'i menolak
wakaf sementara, namun madzhab Maliki memperbolehkannya kecuali wakaf
yang berupa masjid. Adapun As-Shawi membolehkan batasan waktu pada
wakaf sewaan yang hasilnya dimiliki oleh masjid, bukan bersifat sementara
75Abdul Ghofur Anshori, op. cit., hlm. 34. 76Farida Prihatini, et al, Hukum Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: Papas Sinar Sinanti,
2005, hlm. 113. 77Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur,
Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 636.
40
karena keinginan wakif, akan tetapi termasuk sementara karena tabiat
barangnya, sekalipun harus diterima bahwa As-Shawi juga mengatakan
bolehnya wakaf sementara karena keinginan wakif.78
Dengan demikian dalam
pandangannya bahwa pemberi wakaf dapat menarik kembali wakafnya atau
dapat memiliki kembali wakafnya.
78Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Terj. Muhyiddin Mas Rida, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2000, hlm. 103.
41
BAB III
PENDAPAT IMAM SYAFI'I TENTANG PENARIKAN KEMBALI HARTA
WAKAF OLEH PEMBERI WAKAF
A. Biografi Imam Syafi'i
1. Latar Belakang Imam Syafi'i
Imam Syafi'i adalah imam ketiga dari empat imam madzhab
menurut urutan kelahirannya.1 Nama lengkap Imam Syafi'i adalah
Muhammad ibn Idris ibn al- Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn
Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf.2
Lahir di Ghaza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150
H/767 M, kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah. Ia lahir pada zaman
Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja’far al
Manshur (137-159 H./754-774 M.), dan meninggal di Mesir pada tahun
204 H/820 M.3
Imam Syafi'i berasal dari keturunan bangsawan yang paling tinggi
di masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana, namun
kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia terpelihara dari
perangai-perangai buruk, tidak mau merendahkan diri dan berjiwa besar.
1Ahmad Asy Syurbasyi, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi Empat
Imam Madzhabi", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 127. 2Syeikh Ahmad Farid, Min A'lam al-Salaf, Terj. Masturi Ilham dan Asmu'i Taman, 60,
"Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, hlm. 355. 3Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 27.
42
Ia bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan penderitaan-penderitaan
mereka.
Imam Syafi'i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-Qur'an
dalam umur yang masih sangat muda. Kemudian ia memusatkan perhatian
menghafal hadiś. Ia menerima haditsdengan jalan membaca dari atas
tembikar dan kadang-kadang di kulit-kulit binatang. Seringkali pergi ke
tempat buangan kertas untuk memilih mana-mana yang masih dapat
dipakai.4
Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri
dari pengaruh non-Arab yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu.
Ia pergi ke Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari
bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam Syafi'i tinggal di
pedusunan itu, mempelajari syair, sastra dan sejarah. Ia terkenal ahli dalam
bidang syair yang digubah kabilah Huzail itu, amat indah susunan
bahasanya. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain
panah. Dalam masa itu Imam Syafi'i menghafal al-Qur'an, menghafal
hadits, mempelajari sastra Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai
kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah.
Imam Syafi'i belajar pada ulama-ulama Mekkah, baik pada ulama-
ulama fiqih, maupun ulama-ulama hadits, sehingga ia terkenal dalam
bidang fiqh dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang itu.
Gurunya Muslim Ibn Khalid Al-Zanji, menganjurkan supaya Imam Syafi'i
4Mahmud Syalthut, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2000, hlm. 17.
43
bertindak sebagai mufti. Sungguh pun ia telah memperoleh kedudukan
yang tinggi itu namun ia terus juga mencari ilmu.5
Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah al-Munawwarah ada
seorang ulama besar yaitu Imam Malik, yang memang pada masa itu
terkenal di mana-mana dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang
ilmu dan hadits. Imam Syafi'i ingin pergi belajar kepadanya, akan tetapi
sebelum pergi ke Madinah ia lebih dahulu menghafal al-Muwatta'’,
susunan Imam Malik yang telah berkembang pada masa itu. Kemudian ia
berangkat ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik dengan
membawa sebuah surat dari gubernur Mekkah. Mulai ketika itu ia
memusatkan perhatian mendalami fiqh di samping mempelajari al-
Muwatta'’. Imam Syafi'i mengadakan dialog dengan Imam Malik dalam
masalah-masalah yang difatwakan Imam Malik. Di waktu Imam Malik
meninggal tahun 179 H, Imam Syafi'i telah mencapai usia dewasa dan
matang.6
Di antara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam
Syafi'i adalah tentang metode pemahaman Al-Qur'an dan sunnah atau
metode istinbat (ushul fiqih). Meskipun para imam mujtahid sebelumnya
dalam berijtihad terikat dengan kaidah-kaidahnya, namun belum ada
kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai satu disiplin ilmu
yang dapat dipedomani oleh para peminat hukum Islam. Dalam kondisi
demikianlah Imam Syafi'i tampil berperan menyusun sebuah buku ushul
5Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 28. 6TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT
Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 480 – 481.
44
fiqih yang diberi nama Ar-Risalah. Idenya ini didukung pula dengan
adanya permintaan dari seorang ahli haditsbernama Abdurrahman bin
Mahdi (w. 198 H) di Baghdad agar Imam Syafi'i menyusun metodologi
istinbat.7
Imam Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H/1974 M; ahli hukum
Islam berkebangsaan Mesir) menyatakan kitab itu disusun ketika Imam
Syafi'i berada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin Mahdi ketika itu
berada di Mekkah. Imam Syafi'i memberi judul bukunya dengan "al-
Kitab" (Kitab, atau Buku) atau "Kitabi" (Kitabku), kemudian lebih dikenal
dengan "al-Risalah" yang berarti "sepucuk surat." Dinamakan demikian,
karena buku itu merupakan surat Imam Syafi'i kepada Abdurrahman bin
Mahdi. Kitab al-Risalah yang pertama ia susun dikenal dengan ar-Risalah
al-Qadimah (Risalah Lama). Dinamakan demikian, karena di dalamnya
termuat buah-buah pikiran: Imam Syafi'i sebelum pindah ke Mesir. Setelah
sampai di Mesir, isinya disusun kembali dalam rangka penyempurnaan
bahkan ada yang diubahnya, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan
al-Risalah al-Jadidah (Risalah Baru). Jumhur ulama ushul-fiqih sepakat
menyatakan bahwa kitab ar-Risalah karya Imam Syafi'i ini merupakan
kitab pertama yang memuat masalah-masalah ushul fiqih secara lebih
sempurna dan sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun
pertama ushul fiqih sebagai satu disiplin ilmu.8
7Jaih Mubarok, op.cit, hlm. 29. 8Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam As-Salaf, Terj. Masturi Irham dan Asmu'i Taman, "60
Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006, hlm. 361.
45
2. Pendidikan
Imam Syafi'i menerima fiqih dan hadits dari banyak guru yang
masing-masingnya mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-
tempat berjauhan bersama lainnya. Imam Syafi'i menerima ilmunya dari
ulama-ulama Mekkah, ulama-ulama Madinah, ulama-ulama Iraq dan
ulama-ulama Yaman.9
Ulama Mekkah yang menjadi gurunya ialah: Sufyan Ibn Uyainah,
Muslim ibn Khâlid al-Zanji, Saîd ibn Salîm al-Kaddlah, Daud ibn abd-
Rahmân al-Atthâr, dan Abdul Hamîd ibn Abdul Azîzi Ibn Abi Zuwad.
Ulama-ulama Madinah yang menjadi gurunya, ialah: Imam Mâlik ibn
Anâs, Ibrahim ibn Sa'ad al-Anshari Abdul Aziz ibn Muhammad ad-
Dahrawardi, Ibrahîm ibn Abi Yahya al-Asami, Muhammad ibn Saîd Ibn
Abi Fudaik, Abdullah ibn Nafi’ teman ibn Abi Zuwaib.10
Ulama-ulama Yaman yang menjadi gurunya ialah: Mutharraf ibn
Mazîm, Hisyâm ibn Yusuf, Umar ibn abi Salamah, teman Auza’in dan
Yahya Ibn Hasan teman Al-Laits. Ulama-ulama Iraq yang menjadi
gurunya ialah: Waki’ ibn Jarrâh, Abu Usamah, Hammâd ibn Usamah, dua
ulama Kuffah Ismail ibn ‘Ulaiyah dan Abdul Wahâb ibn Abdul Majîd, dua
ulama Basrah. Juga menerima ilmu dari Muhammad ibn al-Hasan yaitu
dengan mempelajari kitab-kitabnya yang didengar langsung dari padanya.
Dari padanyalah dipelajari fiqih Iraqi.11
9Mahmud Syalthut, op.cit. hlm. 18. 10Ibid 11TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm, 486-487.
46
Setelah sekian lama mengembara menuntut ilmu, pada tahun 186 H
Imam Syafi'i kembali ke Makah. Di masjidil Haram ia mulai mengajar dan
mengembangkan ilmunya dan mulai berijtihad secara mandiri dalam
membentuk fatwa-fatwa fiqihnya. Tugas mengajar dalam rangka
menyampaikan hasil-hasil ijtihadnya ia tekuni dengan berpindah-pindah
tempat. Selain di Makah, ia juga pernah mengajar di Baghdad (195-197
H), dan akhirnya di Mesir (198-204 H). Dengan demikian ia sempat
membentuk kader-kader yang akan menyebarluaskan ide-idenya dan
bergerak dalam bidang hukum Islam. Di antara murid-muridnya yang
terkenal ialah Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri madzhabi Hanbali),
Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H), Abi Ibrahîm Ismaîl bin Yahya al-
Muzani (w. 264 H), dan Imam Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (174-270
H). tiga muridnya yang disebut terakhir ini, mempunyai peranan penting
dalam menghimpun dan menyebarluaskan faham fiqih Imam Syafi'i.12
Imam Syafi'i wafat di Mesir, tepatnya pada hari Jum’at tanggal 30
Rajab 204 H, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak
orang. Kitab-kitabnya hingga saat ini masih banyak dibaca orang, dan
makamnya di Mesir sampai detik ini masih diziarahi orang.13
3. Karyanya
Karya-karya Imam Syafi'i yang berhubungan dengan judul di atas
di antaranya: (1) Al-Umm. Kitab ini disusun langsung oleh Imam Syafi'i
12Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997, hlm. 1680. 13
Ibid, hlm. 18.
47
secara sistematis sesuai dengan bab-bab fiqih dan menjadi rujukan utama
dalam Madzhab Syafi'i. Kitab ini memuat pendapat Imam Syafi'i dalam
berbagai masalah fiqih. Dalam kitab ini juga dimuat pendapat Imam
Syafi'i yang dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim (pendapat lama) dan
al-qaul al-jadid (pendapat baru). Kitab ini dicetak berulang kali dalam
delapan jilid bersamaan dengan kitab usul fiqih Imam Syafi'i yang
berjudul Ar-Risalah. Pada tahun 1321 H kitab ini dicetak oleh Dar asy-
Sya'b Mesir, kemudian dicetak ulang pada tahun 1388H/1968M.14
(2) Kitab al-Risalah. Ini merupakan kitab ushul fiqih yang pertama
kali dikarang dan karenanya Imam Syafi'i dikenal sebagai peletak dasar
ilmu ushul fiqih. Di dalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran Syafi'i
dalam menetapkan hukum.15
(3) Kitab Imla al-Shagir; Amali al-Kubra;
Mukhtasar al-Buwaithi;16
Mukhtasar al-Rabi; Mukhtasar al-Muzani; kitab
Jizyah dan lain-lain kitab tafsir dan sastra.17
Siradjuddin Abbas dalam
bukunya telah mengumpulkan 97 (sembilan puluh tujuh) buah kitab dalam
fiqih Imam Syafi'i. Namun dalam bukunya itu tidak diulas masing-masing
dari karya Imam Syafi'i tersebut.18
Ahmad Nahrawi Abd al-Salam
menginformasikan bahwa kitab-kitab Imam Syafi'i adalah Musnad li al-
Syafi'i; al-Hujjah; al-Mabsut, al-Risalah, dan al-Umm.19
14TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit, hlm, 488. 15Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 131-132. 16Ahmad Asy Syurbasyi, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi Empat
Imam Madzhabi", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 144. 17Ali Fikri, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam Madzhab",
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003, hlm. 109-110. 18Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 2004, hlm. 182-186. 19Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 44.
48
B. Metode Istinbath Hukum Imam Syafi'i
Imam Syafi'i menyusun konsep pemikiran ushul fiqihnya dalam karya
monumentalnya yang berjudul al-Risalah. Di samping itu, dalam al-Umm
banyak pula ditemukan prinsip-prinsip ushul fiqh sebagai pedoman dalam ber-
istinbat. Di atas landasan ushul fiqh yang dirumuskannya sendiri itulah ia
membangun fatwa-fatwa fiqihnya yang kemudian dikenal dengan mazhab
Syafi’i. Menurut Imam Syafi'i “ilmu itu bertingkat-tingkat”, sehingga dalam
mendasarkan pemikirannya ia membagi tingkatan sumber-sumber itu sebagai
berikut:
1. Ilmu yang diambil dari kitab (al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah SAW
apabila telah tetap kesahihannya.
2. Ilmu yang didapati dari ijma dalam hal-hal yang tidak ditegaskan dalam
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
3. Fatwa sebagian sahabat yang tidak diketahui adanya sahabat yang
menyalahinya.
4. Pendapat yang diperselisihkan di kalangan sahabat.
5. Qiyas apabila tidak dijumpai hukumnya dalam keempat dalil di atas.20
Tidak boleh berpegang kepada selain al-Qur’an dan sunnah dari
beberapa tingkatan tadi selama hukumnya terdapat dalam dua sumber tersebut.
Ilmu secara berurutan diambil dari tingkatan yang lebih atas dari tingkatan-
tingkatan tersebut.
20TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT
Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 238.
49
Dalil atau dasar hukum Imam Syafi'i dapat ditelusuri dalam fatwa-
fatwanya baik yang bersifat qaul qadim (pendapat terdahulu) ketika di
Baghdad maupun qaul jadid (pendapat terbaru) ketika di Mesir. Tidak berbeda
dengan mazhab lainnya, bahwa Imam Syafi'i pun menggunakan Al-Qur’an
sebagai sumber pertama dan utama dalam membangun fiqih, kemudian
sunnah Rasulullah SAW bilamana teruji kesahihannya.21
Dalam urutan sumber hukum di atas, Imam Syafi'i meletakkan sunnah
sahihah sejajar dengan al-Qur’an pada urutan pertama, sebagai gambaran
betapa penting sunnah dalam pandangan Imam Syafi'i sebagai penjelasan
langsung dari keterangan-keterangan dalam al-Qur’an. Sumber-sumber
istidlal22
walaupun banyak namun kembali kepada dua dasar pokok yaitu: al-
Kitab dan al-Sunnah. Akan tetapi dalam sebagian kitab Imam Syafi'i, dijumpai
bahwa al-Sunnah tidak semartabat dengan al-Kitab. Mengapa ada dua
pendapat Imam Syafi'i tentang ini.23
Imam Syafi'i menjawab sendiri pertanyaan ini. Menurutnya, al-Kitab
dan al-Sunnah kedua-duanya dari Allah dan kedua-duanya merupakan dua
sumber yang membentuk syariat Islam. Mengingat hal ini tetaplah al-Sunnah
semartabat dengan al-Qur’an. Pandangan Imam Syafi'i sebenarnya adalah
21Syaikh Ahmad Farid, Min A'lam al-Salaf, Terj. Masturi Ilham dan Asmu'i Taman, 60,
"Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006, hlm. 362. 22
Istidlal artinya mengambil dalil, menjadikan dalil, berdalil. Lihat TM. Hasbi Ash
Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, Semarang: PT Putaka Rizki Putra, 1997, hlm.
588 dan 585. Menurut istilah menegakkan dalil untuk sesuatu hukum, baik dalil tersebut berupa
nash, ijma' ataupun lainnya atau menyebutkan dalil yang tidak terdapat dalam nash, ijma ataupun
qiyas. Lihat juga TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2001, hlm. 214. 23
Ibid., hlm. 239.
50
sama dengan pandangan kebanyakan sahabat.24
Imam Syafi'i menetapkan
bahwa al-Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al-Qur’an. Namun
demikian, tidak memberi pengertian bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan
dari Nabi semuanya berfaedah yakin. Ia menempatkan al-Sunnah semartabat
dengan al-Kitab pada saat meng-istinbat-kan hukum, tidak memberi
pengertian bahwa al-Sunnah juga mempunyai kekuatan dalam menetapkan
aqidah. Orang yang mengingkari hadis dalam bidang aqidah, tidaklah
dikafirkan.25
Imam Syafi'i menyamakan al-Sunnah dengan al-Qur’an dalam
mengeluarkan hukum furu’, tidak berarti bahwa al-Sunnah bukan merupakan
cabang dari al-Qur’an. Oleh karenanya apabila hadis menyalahi al-Qur'an
hendaklah mengambil al-Qur'an. Adapun yang menjadi alasan ditetapkannya
kedua sumber hukum itu sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah
karena al-Qur'an memiliki kebenaran yang mutlak dan al-sunnah sebagai
penjelas atau ketentuan yang merinci Al-Qur'an.26
.
Ijma27
menurut Imam Syafi'i adalah kesepakatan para mujtahid di
suatu masa, yang bilamana benar-benar terjadi adalah mengikat seluruh kaum
muslimin.
Oleh karena ijma baru mengikat bilamana disepakati seluruh
mujtahid di suatu masa, maka dengan gigih Imam Syafi'i menolak ijma
24TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT
Putaka Rizki Putra, 1997, hlm. 239. 25Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 45. 26Ibid 27Menurut Abdul Wahab Khallaf, ijma’ menurut istilah para ahli ushul fiqh adalah
kesepakatan para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat
atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait:
Dar al-Qalam, 1978, hlm, hlm. 45.
51
penduduk Madinah (amal ahl al-Madinah), karena penduduk Madinah hanya
sebagian kecil dari ulama mujtahid yang ada pada saat itu.28
Imam Syafi'i berpegang kepada fatwa-fatwa sahabat Rasulullah SAW
dalam membentuk mazhabnya, baik yang diketahui ada perbedaan pendapat,
maupun yang tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan mereka.
Imam Syafi'i berkata:29
����� � ��� �� � ��� ��� Artinya: "Pendapat para sahabat lebih baik daripada pendapat kita
sendiri untuk diamalkan"
Apabila hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tersurat dalam
sumber-sumber hukum tersebut di atas, dalam membentuk mazhabnya, Imam
Syafi'i melakukan ijtihad. Ijtihad dari segi bahasa ialah mengerjakan sesuatu
dengan segala kesungguhan. Perkataan ijtihad tidak digunakan kecuali untuk
perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah. Menurut istilah, ijtihad
ialah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum
syari’at. Dengan ijtihad, menurutnya seorang mujtahid akan mampu
mengangkat kandungan al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW secara lebih
maksimal ke dalam bentuk yang siap untuk diamalkan. Oleh karena demikian
penting fungsinya, maka melakukan ijtihad dalam pandangan Imam Syafi'i
adalah merupakan kewajiban bagi ahlinya. Dalam kitabnya al-Risalah, Imam
Syafi'i mengatakan, “Allah mewajibkan kepada hambanya untuk berijtihad
28TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit, hm. 255. 29
Ibid., hlm. 271.
52
dalam upaya menemukan hukum yang terkandung dalam al-Qur'an dan as-
Sunnah”.30
Metode utama yang digunakannya dalam berijtihad adalah qiyas.
Imam Syafi'i membuat kaidah-kaidah yang harus dipegangi dalam
menentukan mana ar-rayu yang sahih dan mana yang tidak sahih. Ia membuat
kriteria bagi istinbat-istinbat yang salah. Ia menentukan batas-batas qiyas,
martabat-martabatnya, dan kekuatan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.
Juga diterangkan syarat-syarat yang harus ada pada qiyas. Sesudah itu
diterangkan pula perbedaan antara qiyas dengan macam-macam istinbat yang
lain selain qiyas.31
Ulama usul menta'rifkan qiyas sebagai berikut:
������� ���� ����� �� ! ���� "�# $�%�� &�� '�()��(� *+�# , ���32
Artinya: "Menyamakan sesuatu urusan yang tidak ditetapkan
hukumnya dengan sesuatu urusan yang sudah diketahui
hukumnya karena ada persamaan dalam illat hukum."
Dengan demikian Imam Syafi'i merupakan orang pertama dalam
menerangkan hakikat qiyas. Sedangkan terhadap istihsan, Syafi'i menolaknya.
Khusus mengenai istihsan ia mengarang kitab yang berjudul Ibtalul Istihsan.
Dalil-dalil yang dikemukakannya untuk menolak istihsan, juga disebutkan
dalam kitab Jima’ul Ilmi, al-Risalah dan al-Umm. Kesimpulan yang dapat
ditarik dari uraian-uraian Imam Syafi'i ialah bahwa setiap ijtihad yang tidak
30TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, op.cit., hm. 259. 31Ibid, hlm. 256. 32TM. Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hlm. 257.
53
bersumber dari al-Kitab, al-Sunnah, asar, ijma’ atau qiyas dipandang istihsan,
dan ijtihad dengan jalan istihsan, adalah ijtihad yang batal.33
Jadi alasan Imam
Syafi'i menolak istihsan adalah karena kurang bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
Dalil hukum lainnya yang dipakai Imam Syafi'i adalah maslahah
mursalah. Menurut Syafi’i, maslahah mursalah adalah cara menemukan
hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Al-Qur’an
maupun dalam kitab hadis, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan
masyarakat atau kepentingan umum.34
Menurut istilah para ahli ilmu ushul
fiqh maslahah mursalah ialah suatu kemaslahatan di mana syari’ tidak
mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada
dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.35
Dalam menguraikan keterangan-keterangannya, Imam Syafi'i
terkadang memakai metode tanya jawab, dalam arti menguraikan pendapat
pihak lain yang diajukan sebagai sebuah pertanyaan, kemudian ditanggapinya
dengan bentuk jawaban. Hal itu tampak umpamanya ketika ia menolak
penggunaan istihsan.36
Pada kesempatan yang lain ia menggunakan metode eksplanasi
(menjelaskan dan mengelaborasi) dalam arti menguraikan secara panjang
lebar suatu masalah dengan memberikan penetapan hukumnya berdasarkan
prinsip-prinsip yang dianutnya tanpa ada sebuah pertanyaan, hal seperti ini
33Ibid, hlm. 262. 34Imam Syafi'i, al-Risalah, op.cit., hlm. 479. 35Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm. 84. 36Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. VII, Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 271-272.
54
tampak dalam penjelasannya mengenai persoalan pernikahan,37
misalnya
tentang thalâq sharîh ada tiga yaitu thalâq (cerai), firaq (pisah), dan sarah
(lepas), dalam konteks ini ia telah melakukan eksplanasi terhadap ruang
lingkup makna thalâq sharîh.
Dalam format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang
terdapat kitab-kitab lain yang juga dibukukan dalam satu kitab al-Umm
diantaranya adalah :
1 Al-Musnad, berisi sanad Imam Syafi'i dalam meriwayatkan hadis-hadis
Nabi dan juga untuk mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru Imam
Syafi'i.
2 Khilafu Malik, berisi bantahan-bantahannya terhadap Imam Malik
gurunya.
3 Al-Radd 'Ala Muhammad Ibn Hasan, berisi pembelaannya terhadap
mazhab ulama Madinah dari serangan Imam Muhammad Ibn Hasan,
murid Abu Hanifah.
4 Al-Khilafu Ali wa Ibn Mas'ud, yaitu kitab yang memuat pendapat yang
berbeda antara pendapat Abu Hanifah dan ulama Irak dengan Abi Talib
dan Abdullah bin Mas'ud.
5 Sair al-Auza'i, berisi pembelaannya atas imam al-Auza'i dari serangan
Imam Abu Yusuf.
37
Ibid., hlm. V.
55
6 Ikhtilaf al-Hadis, berisi keterangan dan penjelasan Imam Syafi'i atas
hadis-hadis yang tampak bertentangan, namun kitab ini juga ada yang
dicetak tersendiri.
7 Jima' al-'llmi, berisi pembelaan Imam Syafi'i terhadap Sunnah Nabi Saw.
C. Pendapat Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali Harta Wakaf oleh
Pemberi Wakaf
Pernyataan Imam Syafi'i tentang tidak dapatnya penarikan kembali
wakaf oleh pemberi wakaf dapat dilacak dalam kitabnya al-Umm dalam bab
yang berjudul al-Ihbas. Kitab ini merupakan kitab fiqh terbesar dan tidak
tandingan di masanya. Kitab ini membahas berbagai persoalan lengkap
dengan dalil-dalilnya, dengan bersumber pada al-Qur'an, al-Sunnah, Ijma' dan
Qiyas. Isi kitab ini merefleksikan keluasan ilmu Imam Syafi'i dalam bidang
fiqh. Sedang di sisi lain juga disebut dengan kitab hadis karena dalil-dalil
hadis yang ia kemukakan menggunakan jalur periwayatan tersendiri
sebagaimana layaknya kitab-kitab hadis.
Di kalangan ulama terdapat keraguan dan perbedaan pendapat, apakah
kitab tersebut ditulis oleh Imam Syafi'i sendiri ataukah karya para murid-
muridnya. Menurut Ahmad Amin, al-Umm bukanlah karya langsung dari
Imam Syafi'i, namun merupakan karya muridnya yang menerima dari Imam
Syafi'i dengan jalan didiktekan. Sedangkan menurut Abu Zahrah dalam al-
Umm ada tulisan Imam Syafi'i langsung tetapi ada juga tulisan dari muridnya,
bahkan adapula yang mendapatkan petunjuk bahwa dalam al-Umm ada juga
tulisan orang ketiga selain Imam Syafi'i dan al-Rabi' muridnya. Namun
56
menurut riwayat yang masyhur diceritakan bahwa kita al-Umm adalah catatan
pribadi Imam Syafi'i, karena setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya
ditulis, dijawab dan didiktekan kepada murid-muridnya. Oleh karena itu, ada
pula yang mengatakan bahwa kitab itu adalah karya kedua muridnya Imam al-
Buwaiti dan Imam al-Rabi'. Ini dikemukakan oleh Abu Talib al-Makki, tetapi
pendapat ini menyalahi ijma' ulama yang mengatakan, bahwa kitab ini adalah
karya orisinal Imam Syafi'i yang memuat pemikiran-pemikirannya dalam
bidang hukum.
Imam Syafi'i melarang pemberi wakaf meminta kembali atau memiliki
kembali harta wakaf yang sudah diberikan. Dalam pernyataannya, Imam
Syafi'i menggunakan kata: " " ���.���/ , kata tersebut bukan berarti pemberian
semacam "sodaqah" melainkan harus diartikan "wakaf" karena ditempatkan
dalam bab "ihbas" (mewakafkan harta pada jalan Allah). Dengan kata lain,
kata : " " ���.���/ adalah dalam konteks "wakaf" yang dijumpai dalam kitab
al-Umm juz IV halaman 53 bab"ihbas". Adapun latar belakang Imam Syafi'i
menempatkan kata tersebut sebagai arti "wakaf" adalah karena pada waktu
Imam Syafi'i hidup banyak dijumpai peristiwa pemberian harta benda berupa
benda tidak bergerak seperti tanah yang diperuntukkan sebagai madrasah dan
masjid yang sifatnya permanen tidak untuk dimiliki kembali oleh pemberi
wakaf pada waktu itu. Hal ini sebagaimana ia nyatakan sebagai berikut: inti
dari pernyataan Imam Syafi'i di atas sebagai berikut:
57
�� ".�0� ��123� 4 4/5 ".�0� �6�! ��7 8�� ���.���/ 9�:�;�� <�= ��� > ".# �� "�# �?@�A �� ".�0� �� �6��� �! B�� �C) 4��
�D! �A�! �6��� �E: ��� B�� �� F�G 4 ".���� 38
Artinya: Imam Syafi'i berkata: pemberian yang sempurna dengan perkataan
yang memberi, tanpa diterima oleh orang yang diberikan, ialah: apa,
yang apabila dikeluarkan karena perkataan si pemberi, yang boleh
atas apa yang diberikannya. Maka tidak boleh lagi si pemberi
memilikinya sekali-kali, apa yang telah keluar perkataan itu padanya
dengan cara apa pun.
Menurut Syafi'i, pemberian suatu harta benda apakah yang bergerak
atau tidak bergerak itu ada tiga macam yaitu pertama, berupa hibah, kedua
berupa wasiat, dan ketiga berupa wakaf. Selanjutnya menurut Syafi'i,
pemberian seseorang semasa ia masih hidup ada dua macam: pertama,
pemberian berupa hibah atau hibah wasiat, dan kedua, pemberian berupa
wakaf. Sedangkan pemberian seseorang ketika ia sudah meninggal dunia
hanya ada satu macam yaitu yang disebut warisan.
Menurut Syafi'i, pemberian berupa hibah dan wasiat sudah sempurna
dengan hanya berupa perkataan dari yang memberi (ijab), sedangkan dalam
wakaf, baru dinyatakan sempurna bila dipenuhi dengan dua perkara: pertama,
dengan adanya perkataan dari yang memberi (ijab), dan kedua, adanya
penerimaan dari yang diberi (qabul). Tetapi ini hanya disyaratkan pada wakaf
yang hanya ditujukan untuk orang-orang tertentu. Sedangkan untuk wakaf
umum yang dimaksudkan untuk kepentingan umum tidak diperlukan qabul.
38Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. IV, Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 53
58
Pernyataan Imam Syafi'i di atas menunjukkan bahwa pengakuan yang
memberikan (ijab) dan penerimaan yang menerima (qabul) merupakan syarat
sahnya akad wakaf yang ditujukan bagi pihak tertentu. Pernyataan Imam
Syafi'i menunjukkan juga bahwa wakaf dalam pandangannya adalah suatu
ibadah yang disyari'atkan, wakaf telah berlaku sah bilamana wakif telah
menyatakan dengan perkataan waqaftu (telah saya wakafkan), sekalipun tanpa
diputuskan hakim. Harta yang telah diwakafkan menyebabkan wakif tidak
mempunyai hak kepemilikan lagi, sebab kepemilikannya telah berpindah
kepada Allah Swt dan tidak juga menjadi milik penerima wakaf (maukuf
alaih), akan tetapi wakif tetap boleh mengambil manfaatnya. Bagi Imam
Syafi'i, wakaf itu mengikat dan karenanya tidak bisa ditarik kembali atau
diperjualbelikan, digadaikan, dan diwariskan oleh wakif.
Imam Syafi'i lahir pada masa Dinasti Abbasiyah. Seluruh
kehidupannya berlangsung pada saat para penguasa Bani Abbas memerintah
wilayah-wilayah negeri Islam. Saat itu adalah saat di mana masyarakat Islam
sedang berada di puncak keemasannya. Kekuasaan Bani Abbas semakin
terbentang luas dan kehidupan umat Islam semakin maju dan jaya. Masa itu
memiliki berbagai macam keistimewaan yang memiliki pengaruh besar bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebangkitan pemikiran Islam.
Transformasi ilmu dari filsafat Yunani dan sastra Persia serta ilmu bangsa
India ke masyarakat Muslim juga sedang semarak.
Kota-kota di negeri Islam saat itu sedikit demi sedikit mulai dimasuki
unsur-unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi, India dan
59
Nabath. Dahulu, kota Baghdad adalah pusat pemerintahan sekaligus pusat
peradaban Islam. Kota tersebut dipenuhi oleh masyarakat yang terdiri dari
berbagai jenis bangsa. Kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia berduyun-
duyun berdatangan ke Baghdad dari berbagai pelosok negeri Islam. Tentunya,
kedatangan mereka sekaligus membawa kebudayaan bangsanya dalam jiwa
dan perasaannya yang dalam.
Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak
timbul aneka problema sosial. Oleh karena itu, di masyarakat Baghdad banyak
muncul fenomena-fenomena yang beraneka ragam yang disebabkan oleh
interaksi sosial antara sesama anggota masyarakatnya di mana masing-masing
ras mempunyai kekhususan ras-ras tersebut. Setiap permasalahan yang timbul
dari interaksi antar masyarakat tersebut tentunya akan diambil ketentuan
hukumnya dari syariat. Sebab, syariat Islam adalah syariat yang bersifat
umum.39
D. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali Harta
Wakaf oleh Pemberi Wakaf
Imam Syafi'i menggunakan metode istinbat hukum berupa hadis dari
Yahya bin Yahya at-Tamimiy dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu Aun dari Nafi'
dari Ibnu Umar, hadis riwayat Muslim.
H�I# J4H�I# K�H!� K�I# I�I1H�L M�H! M�HEL�MN �I�I�I2H�L O9K�EK�P��� "IEHQI� M�H! "IEHQI� �I�LRPDI�L: I�I2HEISK! �TUHL M�I�M# IV�IWL L<�L= I�I�M# K�H!� K�I# JXK:�I��Y��� "Y�IW P9K2P��� "I7L K�HEL�I#
39Muhammad Abu Zahrah, al-Syafi'i: Hayatuhu wa 'Asruhu wa Arduhu Wa Fiqhuhu,
Beirut: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1948, hlm 85.
60
�I� L<�L3L: �I�EK: MZM�K�[ I�H�I� I�Y�INI/ H\KW] H�L� I�I2HEISK! �TUHL M H2IWL 9_�K) K�Y��� L<�MNI �I�L�HWL I H�I2I� I [K� [4K) L<�L= K�K! 9K�M�M�[ I7 �I�L: M�H�K� aKDH�K# MbL�H�L I�Mc deL= �f��I�
H2M� �L�I/ �I�]�HWL Mg�I2M� �L� M�P�L M�I�M# �I�K! I'PDI%I�L: L<�L= �I�K! I [=PDI%I7I/ ]hI�M� �L�I/ Mg�I� 9K:I/ KV�L=_��� 9K:I/ "I!H�]3[�� 9K:I/ Ki�I�L3]�[�� 9K: M�I�M# I'PDI%I�L: L<�L= M\Ic�M� �L�I/ �I�H�K� Lj]�[ I� [4L �I�IEK�I/ H�I� "L�I# Ik�I�MA �L� KlHEP1��I/ KjEK2P��� K�H!�I/ K�Y��� KjEK2IN
�f3�KDIW I�K�[.M� H/L Km/M�H�I�[��K! K�EK: J<_�I�I�M� I�HEL&)���� Z�/( 40
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Yahya at-Tamimiy
dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu Aun dari Nafi' dari Ibnu Umar, ia
berkata: "Umar mendapat sebidang tanah di Khaibar kemudian ia
menghadap Nabi saw., untuk minta petunjuk tentang
pengelolaannya, katanya: 'Wahai Rasulullah, saya mendapat
sebidang tanah di Khaibar. Belum pernah saya memperoleh harta
yang lebih bagus dari pada ini. Apa saran anda sehubungan dengan
hal itu? Beliau bersabda: Jika kamu suka, kamu tahan tanah itu dan
kamu sedekahkan manfaatnya. Maka Umar menyedekahkan hasil
tanah itu dengan syarat tanahnya tidak boleh dijual, dibeli, diwaris
atau dihibahkan. Umar menyedekahkan hasilnya kepada fakir
miskin, kerabat, untuk pemerdekaan budak, jihad fi sabilillah, untuk
bekal orang yang sedang dalam perjalanan dan hidangan tamu.
Orang yang mengurusnya boleh makan sebagian hasilnya dengan
cara yang baik dan boleh memberi makan temannya secara
alakadarnya."
40Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. IV, Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 54. Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-
Naisaburi, Sahîh Muslim, Juz. 3, Mesir: Tijariah Kubra, tth. hlm. 83-84.
61
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI'I TENTANG PENARIKAN
KEMBALI HARTA WAKAF OLEH PEMBERI WAKAF
A. Analisis terhadap Pendapat Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali
Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf
Sebelum menganalisis pendapat Imam Syafi'i, ada baiknya
dikemukakan sepintas pendapat para ulama lainnya tentang penarikan kembali
wakaf oleh pemberi wakaf. Berdasarkan hal itu maka dalam sub ini hendak
diketengahkan dua hal: (1) Pendapat para ulama selain Imam Syafi'i tentang
penarikan kembali harta wakaf oleh pemberi wakaf; (2) Analisis terhadap
Pendapat Imam Syafi'i.
1. Pendapat para ulama selain Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali
Wakaf oleh Pemberi Wakaf
Salah satu perbedaan pendapat ulama dalam bidang perwakafan adalah
mengenai kepemilikan dan hukum menjual benda yang telah diwakafkan.
Menurut Abu Hanifah, benda yang telah diwakafkan masih tetap milik pihak
yang mewakafkan karena akad (transaksi) wakaf termasuk akad gayr lazim
(tidak menyebabkan pindahnya kepemilikan benda wakaf), kecuali: (1) wakaf
untuk masjid, (2) wakaf yang ditetapkan dengan keputusan hakim, (3) wakaf
wasiat, dan (4) wakaf untuk kuburan (makam). Oleh karena itu, benda yang
telah diwakafkan selain empat wakaf tersebut, dapat dijual, diwariskan, dan
62
dihibahkan. la (benda wakaf) berubah menjadi benda waris ketika pihak yang
mewakafkan (waqif, wakif) telah meninggal dunia.
Dalam mazhab Syafi'i terdapat perubahan pendapat mazhab secara
internal yang kemudian dikenal dengan qawl qadim dan qawl jadid. Hal yang
kurang lebih sama terjadi pula dalam mazhab Hanafi.
Abu Yusuf (penerus dan pengikut aliran Hanafi) pada awalnya
sependapat dengan Abu Hanifah tentang kebolehan menjual benda wakaf.
Ketika melakukan ibadah haji bersama Harun al-Rasid (w. 194 H/809 M),
Abu Yusuf melihat benda-benda wakaf yang telah dilakukan oleh para sahabat
Nabi Muhammad saw. di Madinah. Di Madinah, Abu Yusuf mendapatkan
bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan. Sebagai
seorang pakar fikih, ia mencoba menelusuri sebab-sebab benda wakaf tidak
boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh pula diwariskan.
Akhirnya, sampai berita kepada Abu Yusuf tentang riwayat yang menyatakan
bahwa benda wakaf tidak boleh dijual dan dihibahkan.
Abu Yusuf kemudian mengubah pendapatnya sehingga ia tidak
sependapat lagi dengan gurunya (Abu Hanifah), dan kemudian ia berkata,
"Kalau saja hadis ini sampai kepada Abu Hanifah rahimah Allah, pasti beliau
mencabut pendapatnya." Sedangkan Imam al-Syafi'i berpendapat bahwa akad
wakaf termasuk akad lazim (atau mulazamah). Oleh karena itu, benda yang
telah diwakafkan bukan lagi milik wakif, melainkan telah menjadi milik
umum (atau milik Allah). Akibatnya adalah bahwa benda yang telah
diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan karena memang ia
63
bukan lagi milik perorangan, melainkan milik publik (umat).1 Imam Malik dan
golongan Syi'ah Imamiah menyatakan bahwa wakaf itu boleh dibatasi
waktunya.2 Mundzir Qahaf dalam bukunya Manajemen Wakaf Produktif
menjelaskan:
Batasan waktu yang muncul dari keinginan wakif, maka dalam hal ini
ahli fikih berbeda pendapat. Mayoritas ahli menolak wakaf sementara,
karena batasan waktu yang ditentukan oleh wakif. Sedangkan
madzhab Maliki memperbolehkannya kecuali wakaf yang berupa
masjid. Adapun As-Shawi membolehkan batasan waktu pada wakaf
sewaan yang hasilnya dimiliki oleh masjid, bukan bersifat sementara
karena keinginan wakif, akan tetapi termasuk sementara karena tabiat
barangnya, sekalipun harus diterima bahwa As-Shawi juga
mengatakan bolehnya wakaf sementara karena keinginan wakif.3
Golongan Hambaliah sependapat bahwa harta wakaf itu putus atau
keluar dari hak milik si wakif dan menjadi milik Allah atau milik umum.
Begitu .pula wewenang mutlak si wakif menjadi terputus, karena setelah ikrar
wakaf di ucapkan, harta tersebut menjadi milik Allah atau milik umum.4
2. Analisis terhadap Pendapat Imam Syafi'i tentang Penarikan Kembali
Harta Wakaf oleh Pemberi Wakaf
Imam Syafi'i berpendapat bahwa akad wakaf termasuk akad lazim
(atau mulazamah). Oleh karena itu, benda yang telah diwakafkan bukan lagi
milik wakif, melainkan telah menjadi milik umum (atau milik Allah).
Akibatnya adalah bahwa benda yang telah diwakafkan tidak boleh dijual,
1Jaih Mubarok, op. cit., hlm. 42. 2Said Agil Husin al- Munawwar, Hukum Islam & Pluralitas Sosial, Jakarta: Penamadani,
2004, hlm. 139-140. 3Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Terj. Muhyiddin Mas Rida, Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2000, hlm. 103 4Faishal Haq dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, Pasuruan
Jawa Timur: GBI (Anggota IKADI), 1994, hlm. 35-37
64
dihibahkan, dan diwariskan karena memang ia bukan lagi milik perorangan,
melainkan milik publik (umat).
Sisi kebaikan dengan menjadikan harta wakaf sebagai harta permanen
yaitu pihak penerima wakaf bukan hanya memiliki kapasitas hak guna usaha
melainkan juga telah menjadi hak milik penerima wakaf. Dengan demikian
penerima wakaf dapat memanfaatkan harta wakaf secara permanen karena ada
kepemilikan penuh. Kekurangannya yaitu jika suatu waktu harta wakaf itu
ditarik kembali oleh pemberi wakaf maka hal ini tidak bisa dilakukan karena
pemilik wakaf asal tidak lagi memiliki kewenangan hukum mengambil
kembali harta wakaf. Adapun kebaikan temporer yaitu pemilik wakaf asal
dapat menarik kembali harta wakafnya manakala ia membutuhkan dan hal ini
dapat dilakukan setiap waktu. Kekurangannya yaitu penerima wakaf seolah-
olah hanya memiliki hak guna usaha dan bukan hak milik.
Menurut penulis pendapat Imam Syafi'i yang menetapkan kedudukan
harta wakaf sebagai harta permanen yang tidak bisa ditarik kembali
didasarkan atas alasan demi kepastian hukum bagi penerima wakaf sehingga
harta wakaf dapat difungsikan secara leluasa dan tidak terikat dengan waktu.
Alasan lainnya untuk ketertiban administrasi, dengan sifatnya yang permanen
maka harta tidak terus menerus berganti-ganti nama dan balik nama yang
memerlukan biaya tidak sedikit. Dengan sifatnya yang permanen bisa
terhindar dari gugat menggugat ahli waris pemberi wakaf di kemudian hari
manaka pemberi wakaf meninggal dunia.
65
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf masih
mengakomodasi pendapat Abu Hanifah meskipun pendapat tersebut telah
ditinggalkan oleh penerusnya, Abu Yusuf. Dari segi kepemilikan, UU
mengakui adanya wakaf dalam durasi tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa
wakaf tidak mesti bersifat muabbad. Oleh karena itu, UU Nomor 41 tentang
Wakaf mengakui adanya akad wakaf yang bersifat gayr lazim (tidak
menyebabkan pindahnya kepemilikan benda wakaf) yang dipandang sama
dengan al-'ariyah (pinjaman).
Perdebatan ulama tentang unsur "keabadian" mengemuka, khususnya
antara mazhab Syafii dan Hanafi di satu sisi serta mazhab Maliki di sisi yang
lain. Imam Syafi'i misalnya sangat menekankan wakaf pada fixed asset (harta
tetap) sehingga menjadikannya sebagai syarat sah wakaf. Mengingat di
Indonesia secara fikih kebanyakan adalah pengikut mazhab Syafi'i, maka
bentuk wakaf yang lazim kita dapatkan berupa tanah, masjid, madrasah, dan
aset tetap lainnya.
Di lain pihak, Imam Maliki mengartikan "keabadian" lebih pada nature
barang yang diwakafkan, baik itu aset tetap maupun aset bergerak. Untuk aset
tetap seperti tanah unsur keabadian terpenuhi karena memang tanah dapat
dipakai selama tidak ada longsor atau bencana alam yang menghilangkan fisik
tanah tersebut, demikian juga halnya dengan masjid atau madrasah. Berbeda
dengan Imam Syafi'i, Imam Malik memperlebar lahan wakaf mencakup
barang-barang bergerak lainnya seperti wakaf susu sapi atau wakaf buah
tanaman tertentu. Yang menjadi substansi adalah sapi dan pohon, sementara
66
yang diambil manfaatnya adalah susu dan buah. Dalam pandangan mazhab ini
"keabadian" umur aset wakaf adalah relatif tergantung umur rata-rata dari aset
yang diwakafkan. Dengan kerangka pemikiran seperti ini mazhab Maliki telah
membuka luas kesempatan untuk memberikan wakaf dalam jenis aset apa pun,
termasuk aset yang paling likuid yaitu uang tunai (cash waqf) yang bisa
digunakan untuk menopang pemberdayaan potensi wakaf secara produktif.
Oleh karena itu, pendapat Imam Malik dirasa sangat relevan dengan
semangat pemberdayaan wakaf secara produktif yang telah diundangkan pada
tanggal 27 Oktober 2004. Pemberdayaan wakaf secara produktif tersebut
bukan berarti menghilangkan watak keabadian wakaf itu sendiri sebagaimana
yang dikhawatirkan oleh sebagian ulama khususnya bergulirnya wakaf tunai,
tapi justru akan memberikan keabadian manfaat sebagaimana yang diajarkan
oleh Nabi saw., tanpa kehilangan substansi keabadian bendanya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik ditetapkan bahwa wakaf bersifat mu'abbad
(selamanya).5 Ketentuan yang sama juga terdapat dalam Kompilasi Hukum
Islam.6 Sementara dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 ditetapkan
bahwa benda wakaf dimanfaatkan untuk selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu.7
Dalam Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf terdapat ketentuan bahwa benda wakaf
5Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, pasal 1 (b). Dalam pasal ini dikatakan
bahwa benda wakaf dilembagakan untuk selama-lamanya (mu'abbad). 6Kompilasi Hukum Islam, pasal 215, ayat (1). 7Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal 1, ayat (1).
67
tidak bergerak yang berupa tanah beserta bangunan, tanaman, atau benda-
benda lain yang terkait dengannya hanya dapat dilakukan (diwakafkan) secara
mu'abbad (tidak boleh dilakukan secara temporal).8 Oleh karena itu,
pembatasan ini kelihatannya juga akan menghambat wakaf tanah secara
temporal yang secara konseptual diperbolehkan oleh ulama Malikiah. Dalam
konteks kekinian, wakaf tanah (benda tidak bergerak) memungkinkan
dilakukan secara temporal, seperti tanah dan bangunan di kota-kota yang
disewakan atau dikontrakkan.
B. Metode Istinbat Hukum Imam al-Syafi'i tentang Penarikan Kembali
Wakaf oleh Pemberi Wakaf
Dalam hubungannya dengan penarikan kembali wakaf oleh pemberi
wakaf, Imam Syafi'i menggunakan metode istinbat hukum berupa hadis dari
Yahya bin Yahya at-Tamimiy dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu Aun dari Nafi'
dari Ibnu Umar, hadis riwayat Muslim.
���� ������ ��� ��� ��� ���� ��� �������� ����������� ��������� ���� �! ��� ���� �! ��"�#�$�%�� ������ �&��'�� �(��) ������ ��� ��� �*+��� ,������ ,-��� �-��' ����"�� ��.�/�+ �������0 �12�3
�4'5� ���� �������0 �12�3�� �6���'�� �7�8 ,-��� �(����3 ��! �(��9�+ ��:�+ �;��<=/���>�! ��-����?�>���% �6=@A =�8 �(��) , �����<=/�. ����+ �,�"< B$�"� �C�D���� ���E FG�) �H���< ��:���'�� �6
5I�3��! ����? �J������! ����? ��:5��'�� �J����! ��� �,���� ������ ��: �K�$�L���+ �(��) ��: �6=)�$�L�.�? �+�? &��)7��� �+�? ����59=�� �+�? M����95D=�� �+ ������ �K�$�L���+ �(��) �4�E��! ����?
8Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pasal 18, ayat (1).
68
�? N���>�� ����? ,-��� N���� ��:�"< �N5O=/�! =��� ��:����? ���< ����� �P��"�Q ��� R��� �� ,�+ �(7������< �����S �H9!$�' ��T=U�! �?�� V?���T��=��)��>< ;�?3( 9
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Yahya at-Tamimiy
dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu Aun dari Nafi' dari Ibnu Umar, ia
berkata: "Umar mendapat sebidang tanah di Khaibar kemudian ia
menghadap Nabi saw., untuk minta petunjuk tentang
pengelolaannya, katanya: 'Wahai Rasulullah, saya mendapat
sebidang tanah di Khaibar. Belum pernah saya memperoleh harta
yang lebih bagus dari pada ini. Apa saran anda sehubungan dengan
hal itu? Beliau bersabda: Jika kamu suka, kamu tahan tanah itu dan
kamu sedekahkan manfaatnya. Maka Umar menyedekahkan hasil
tanah itu dengan syarat tanahnya tidak boleh dijual, dibeli, diwaris
atau dihibahkan. Umar menyedekahkan hasilnya kepada fakir
miskin, kerabat, untuk pemerdekaan budak, jihad fi sabilillah, untuk
bekal orang yang sedang dalam perjalanan dan hidangan tamu.
Orang yang mengurusnya boleh makan sebagian hasilnya dengan
cara yang baik dan boleh memberi makan temannya secara
alakadarnya."
Hadis dari Yahya bin Yahya at-Tamimiy dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu
Aun dari Nafi' dari Ibnu Umar dinyatakan sahih, demikian tercantum dalam
kitab Fi Tahrij al-Hadis karya Muhammad Nasirud-Din al-Albani.10
��"�#�$�% ��5���) ���Y�% �����? �$�T�� ���� �"�T�! 5Z������5)�? �&��!�� ��� ���� �! ��"�#�$�%8 ,-��� �(����3 -��� �[���!���E ��� ���� ,��� ���� M����T=�� ��� ���D�T�Q ���� ���E 5N�T����
�-�8 �Z�#����# ��< �-�8 �,5����� �,�"�� �*�U�9��� 5���>��\=�� �]��< �� 8 �(��) ��-����? ,������ ,-��� �-��'=�� �?�� �Z�!3��Q �Z�)�$�' ��< ,�� ����$�! �_���' �$���? �?�� , �*�D���"�! ��)��>< ;�?3(11
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Ayyub dan
Qutaibah Ya'ni bin Sa'id dan Ibnu Hujrin dari Ismail Ibnu Ja'far dari
al-'Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah ra. (katanya) sesungguhnya
9Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris al-Syafi’î, Al-Umm, Juz. IV, Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 54. Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-
Naisaburi, Sahîh Muslim, Juz. 3, Mesir: Tijariah Kubra, tth. hlm. 83-84. 10Muhammad Nasirud-Din al-Albani, Irwaghalil Fi Tahrij al-Hadis, Juz 6, Beirut:
Maktabah al-Islami, tth, hlm. 30. 11Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh Muslim,
Tijariah Kubra, Mesir, tth, juz 3, hlm. 73.
69
Rasulullah Saw. bersabda: apabila manusia sudah mati, maka
putuslah amalnya kecuali dari tiga macam, yaitu sedekah jariyah,
atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak yang saleh yang
mendo'akannya (HR. Muslim).
Untuk menentukan derajat hadis ini dapat digunakan takhrij. Secara
etimologis, takhrij berasal dari kharraja yang berarti tampak atau jelas.12
Dapat juga berarti mengeluarkan sesuatu dari sesuatu tempat.13
Sedangkan
secara terminologi, takhrij adalah menunjukkan tempat hadis pada sumber
aslinya yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan
derajatnya ketika diperlukan.14
Dapat juga dikatakan, takhrij berarti mengembalikan (menelusuri
kembali ke asalnya) hadis-hadis yang terdapat di dalam berbagai kitab yang
tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad, baik disertai dengan
pembicaraan tentang status hadis-hadis tersebut dan segi Shahih atau Dha'if,
ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada
padanya, atau hanya sekedar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal
(sumbernya).15
Al-Thahhan sebagaimana dikutip Nawir Yuslem setelah menyebutkan
beberapa macam pengertian takhrij di kalangan Ulama Hadis,
menyimpulkannya sebagai berikut: takhrij yaitu menunjukkan atau
12Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, Metode Takhrij
Hadits, Alih bahasa: Said Agil Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar, Semarang: Dina Utama,
1994, hlm. 2. 13T.M. Hasbi al-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 1990, hlm. 194. 14Syeikh Manna' al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Terj. Mifdhol Abdurrahman,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005, hlm. 189. 15Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001, hlm. 393.
70
mengemukakan letak asal Hadis pada sumber-sumbernya yang asli yang
didalamnya dikemukakan Hadis itu secara lengkap dengan sanad-nya masing-
masing, kemudian, manakala .diperlukan, dijelaskan kualitas Hadis yang
bersangkutan.
Yang dimaksud dengan menunjukkan letak hadis dalam definisi di
atas, adalah menyebutkan berbagai kitab yang di dalamnya terdapat Hadis
tersebut. Seperti, Hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari di dalam kitab
Shahih-nya, atau oleh Al-Thabrani di dalam Mu'jam-nya, atau oleh Al-Thabari
di dalam Tafsir-nya, atau kitab-kitab sejenis yang memuat Hadis tersebut.16
Hadis di atas yang diriwayatkan dari Said bin Abdurrahman dari
Sufyan bin Uyainah dari Ubadillah bin Umar dari Nafi' dari Ibnu Umar. Hadis
ini riwayat Imam Muslim
1. Jalur Muslim
a. Tokoh ini lahir pada 204 H. Keramahannya kepada orang lain telah
membuat dirinya sebagai seorang pedagang yang sukses. Ia dikenal
sebagai dermawan Naisabur. Seperti pada umumnya ulama lain, ia
belajar semenjak kecil, tahun 218 H. Pelajaran dimulai dari kampung
halamannya di hadapan para Syeikh di sana. Hampir semua negeri pusat
kajian hadis tidak luput dari persinggahannya, seperti, Irak (Bagdad),
Hijaz, Mesir, Syam, dan lain-lain. Imam Muslim wafat pada 26 Rajab
261 H) di dekat Naisabur. Banyak ulama ditemui untuk periwayatan
hadis, seperti Imam Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahawaih (guru al-
16
Ibid, hlm. 394.
71
Bukhari juga) dan lain-lain. Di antara mereka al-Bukhari lah yang paling
berpengaruh terhadap dirinya dalam metodologi penelitian hadisnya.
Demikian juga Imam Muslim mempunyai banyak murid terkenal,
seperti. Imam al-Turmudzi, Ibn Khuzaimah, Abdurrahman ibn Abi
Hatim.
b. Kitab Shahih Muslim
Ada lebih dari dua puluh buku telah ditulis oleh Imam Muslim.
Yang terkenal adalah Shahih Muslim itu sendiri, nama singkat dari judul
aslinya. Di dalam kitabnya ini termuat 3.030 hadis (tidak termasuk di
dalamnya yang ditulis berulang-ulang). Jumlah hadis seluruhnya ada
lebih kurang 10.000 buah.
Dengan sebutan Shahih Muslim, penulisnya bermaksud
menjamin bahwa semua hadis yang terkandung di dalamnya shahih.
Menurut penelitian para ulama, persyaratan yang ditetapkan Imam
Muslim bagi shahihnya suatu hadis pada dasarnya sama dengan
persyaratan yang ditetapkan oleh Al-Bukhari. Ibnu Shalah mengatakan
bahwa persyaratan Muslim dalam kitab shahihnya adalah:
1. Hadis itu bersambung sanadnya,
2. Diriwayatkan oleh orang kepercayaan (tsiqat), dari generasi
permulaan hingga akhir,
3. Terhindar dari syudzudz dan 'illat.
72
Persyaratan ini pun dipergunakan oleh Imam al-Bukhari. Hanya,
apa yang dimaksud dengan "bersambung sanadnya", ada sedikit
perbedaan antara kedua tokoh ini.17
2. Kriteria kesahihan sanad hadis
Setelah menelaah yang meriwayatkan hadis tersebut, maka kriteria
kesahihan sanad hadis yaitu di antara syarat qabul (diterimanya) suatu
hadis adalah berhubungan erat dengan sanad hadis tersebut yaitu (1)
Sanad-nya bersambung; (2) bersifat adil; (3) dhabit.18
a. Yahya bin Ayyub, Qutaibah Ya'ni bin Sa'id, dan Ibnu Hujrin, Ismail
Ibnu Ja'far, al-'Ala'
Disebutkan oleh al-Asqalani bahwa ia hanya meriwayatkan
hadis kepada A'masy, dan menerima hadis dari Ibn 'Abbas, itu pun
hanya tentang kisah wafatnya Ali ibn Abi Thalib. Agaknya, bukan ini
orang yang dimaksud dalam sanad. Yang tepat adalah Yahya bin
Ayyub, Qutaibah Ya'ni binSa'id, Ibnu Hujrin, Ismail Ibnu Ja'far al-
'Ala'. Tidak ada informasi dari al-Asqalani, kapan ia lahir dan kapan
pula ia wafat. Beberapa shahabat disebut oleh al-Asqalani sebagai
penyalur hadis kepadanya, termasuk Abu Sa'id al-Khudri. 'Ummarah
ibn Ghaziyyah juga disebut sebagai salah seorang penerima hadis dari
Yahya ini. Dengan demikian persambungan sanad ke atas dan ke
bawah telah terjadi. Ibn Ishaq, al-Nasa'i dan Ibn Kharrasy memujinya
17Muh Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: tiara Wacana
Yogya, 2003, hlm. 171-172. 18
Ibid.,, hlm. 160.
73
kendati tidak luar biasa dengan nilai tsiqah, begitu juga Ibn Hibban.
Komentar lain tidak ada. Maka, tidak ada pertentangan antara
penilaian 'adil dan cacatnya. Dengan demikian, hadisnya tergolong
shahih.
b. Abu Hurairah ra
Terdapat kontroversi di kalangan para Ulama mengenai status
riwayat Abu Hurairah ini. Syu'bah ibn al-Hajjaj menuduh Abu
Hurairah telah melakukan tadlis dalam periwayatannya. Hal yang
demikian dibuktikannya dengan menyatakan bahwa Abu Hurairah
meriwayatkan sejumlah hadis yang diterimanya dari Ka'ab al-Ahbar
dan juga ada yang langsung dari Rasulullah SAW, dan dalam
periwayatannya dia tidak membedakan di antara kedua sunaber
tersebut. Akan tetapi Bisyir ibn Sa'id tidak menerima tuduhan Syu'bah
tersebut. Menurutnya, Abu Hurairah ada menyampaikan Hadis-Hadis
yang diterimanya langsung dari Rasul SAW, dan ada yang melalui
perantaraan Ka'ab al-Ahbar. Namun, sebagian orang yang
mendengarnya memutarbalikkannya dan mengatakan hadis yang
berasal langsung dari Rasul SAW sebagai berasal dari Ka'ab, dan yang
berasal dari Ka'ab dinyatakan sebagai hadis yang berasal langsung dari
Nabi SAW. Dengan demikian, yang melakukan tadlis bukanlah Abu
Hurairah, tetapi justru orang yang menerima riwayat tersebut dari Abu
Hurairah.
74
Meskipun terdapat sejumlah orang yang mengkritik Abu
Hurairah, namun dalam beberapa hal mereka juga memuji Abu
Hurairah. Imam Syafi'i dalam hal ini adalah termasuk orang yang
memuji Abu Hurairah dan bahkan beliau pernah mengatakan, "Abu
Hurairah adalah orang yang paling hafiz di antara para perawi hadis
pada masanya.19
3. Kriteria Kesahihan Matan Hadis
Adapun kriteria kesahihan matan hadis dapat dijelaskan sebagai
berikut: kriteria kesahihan matan hadis menurut muhadditsin tampaknya
beragam. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan latar
belakang, keahlian alat bantu, dan persoalan, serta masyarakat yang
dihadapi oleh mereka. Salah satu versi tentang kriteria kesahihan matan
hadis adalah seperti yang dikemukakan oleh Al-Khatib Al-Bagdadi (w.
463 H/1072 M) bahwa suatu matan hadis dapat dinyatakan maqbul
(diterima) sebagai matan hadis yang sahih apabila memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:20
1. Tidak bertentangan dengan akal sehat;
2. Tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur'an yang telah muhkam
(ketentuan hukum yang telah tetap);
3. Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir;
4. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan
ulama masa lalu (ulama salaf);
19Nawir Yuslem, op.cit., hlm. 443. 20Bustamin dan M. Isa Salam, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: PT Raja Grapindo
Persada, 2004, hlm. 62.
75
5. Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti; dan
6. Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas kesahihannya
lebih kuat.21
Tolok ukur yang dikemukakan di atas, hendaknya tidak satupun matan
hadis yang bertentangan dengannya. Sekiranya ada, maka matan hadis
tersebut tidak dapat dikatakan matan hadis yang sahih.
Ibn Al-Jawzi (w. 597 H/1210 M) memberikan tolok ukur kesahihan
matan secara singkat, yaitu setiap hadis yang bertentangan dengan akal
ataupun berlawanan dengan ketentuan pokok agama, pasti hadis tersebut
tergolong hadis mawdhu', karena Nabi Muhammad Saw. tidak mungkin
menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat, demikian pula
terhadap ketentuan pokok agama, seperti menyangkut aqidah dan ibadah.22
Salah Al-Din Al-Adabi mengambil jalan tengah dari dua pendapat di
atas, ia mengatakan bahwa kriteria kesahihan matan ada empat:
1. Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur'an;
2. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat;
3. Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera, sejarah; dan
4. Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.
Kalau disimpulkan, definisi kesahihan matan hadis menurut mereka,
adalah sebagai berikut: pertama, sanadnya sahih (penentuan kesahihan sanad
hadis didahului dengan kegiatan takhrij al-hadits dan dilanjutkan dengan
kegiatan penelitian sanad hadis); kedua, tidak bertentangan dengan hadis
21M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hlm.
126. 22Bustamin dan M. Isa Salam, op.cit., hlm. 63.
76
mutawatir atau hadis ahad yang sahih; ketiga, tidak bertentangan dengan
petunjuk Al-Qur'an; keempat, sejalan dengan alur akal sehat; kelima, tidak
bertentangan dengan sejarah, dan keenam, susunan pernyataannya
menunjukkan ciri-ciri kenabian. Definisi kesahihan matan hadis di atas
sekaligus menjadi langkah-langkah penelitian matan hadis.23
Apabila memperhatikan kriteria kesahihan matan hadis seperti telah
diterangkan di atas, maka matan hadis yang dijadikan istinbat hukum oleh
Imam Syafi'i dalam hubungannya dengan penarikan kembali wakaf oleh
pemberi wakaf, maka matan hadis tersebut tidak mengalami pertentangan jika
diukur dari parameter akal (rasio) karena Nabi Saw memerintahkan sesuatu
hal yang bisa diterima oleh akal pikiran manusia.
Disamping itu, tidak ada nas Al-Qur’an maupun hadis yang isinya
bertentangan dengan matan hadis di atas, sehingga hadis tersebut dijadikan
pedoman oleh Imam Syafi'i. Dengan demikian hadis yang dijadikan istinbat
hukum oleh Imam Syafi'i masuk dalam kriteria hadis sahih. Hadis di atas
diperkuat lagi oleh hadis shahih yang memiliki makna yang sama yaitu :
��"�#�$�% ��5���) ���Y�% �����? �$�T�� ���� �"�T�! 5Z������5)�? �&��!�� ��� ���� �! ��"�#�$�% ���D�T�Q ���� ���E 5N�T����8 ,-��� �(����3 -��� �[���!���E ��� ���� ,��� ���� M����T=�� ���
��< �-�8 �,5����� �,�"�� �*�U�9��� 5���>��\=�� �]��< �� 8 �(��) ��-����? ,������ ,-��� �-��' �$���? �?�� , �*�D���"�! ��=�� �?�� �Z�!3��Q �Z�)�$�' ��< �-�8 �Z�#����# ,�� ����$�! �_���') ;�?3
��><(24
23Ibid., hlm. 63 – 64. 24Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, op.cit., hlm. 73.
77
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Yahya bin Ayyub dan
Qutaibah Ya'ni bin Sa'id dan Ibnu Hujrin dari Ismail Ibnu Ja'far
dari al-'Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah ra. (katanya)
sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: apabila manusia sudah
mati, maka putuslah amalnya kecuali dari tiga macam, yaitu
sedekah jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak yang
saleh yang mendo'akannya (HR. Muslim).
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah memaparkan dari bab pertama sampai bab empat skripsi ini,
maka sampai pada kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut Imam Syafi'i, apabila seorang wakif memberi wakaf berupa harta
benda, maka seketika itu juga beralih hak milik dari wakif kepada
penerima wakaf. Harta benda wakaf itu tidak bisa ditarik kembali oleh
pemberi wakaf. Dengan kata lain pemberi wakaf tidak memiliki lagi hak
milik atas harta benda wakaf tersebut. Pernyataan Imam Syafi'i ini
menunjukkan bahwa wakaf dalam pandangannya adalah suatu ibadah
yang disyari'atkan, wakaf telah berlaku sah bilamana wakif telah
menyatakan dengan perkataan waqaftu (telah saya wakafkan), sekalipun
tanpa diputuskan hakim. Harta yang telah diwakafkan menyebabkan wakif
tidak mempunyai hak kepemilikan lagi, sebab kepemilikannya telah
berpindah kepada Allah Swt dan tidak juga menjadi milik penerima wakaf
(maukuf alaih). Bagi Imam Syafi'i, wakaf itu mengikat dan karenanya
tidak bisa ditarik kembali atau diperjualbelikan, digadaikan, dan
diwariskan oleh wakif.
2. Dalam hubungannya dengan penarikan kembali wakaf oleh pemberi
wakaf, Imam Syafi'i menggunakan metode istinbat hukum berupa hadis
yang setelah ditakhrij masuk dalam kategori hadis sahih, baik dari segi
matan, rawi maupun sanadnya yaitu dari Yahya bin Yahya at-Tamimiy
79
dari Sulaim Ahdlor dari Ibnu Aun dari Nafi' dari Ibnu Umar. Imam Syafi'i
berpendapat bahwa akad wakaf termasuk akad lazim (atau mulazamah).
Oleh karena itu, benda yang telah diwakafkan bukan lagi milik wakif,
melainkan telah menjadi milik umum (atau milik Allah). Akibatnya adalah
bahwa benda yang telah diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan, dan
diwariskan karena memang ia bukan lagi milik perorangan, melainkan
milik publik (umat). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf masih mengakomodasi pendapat Abu Hanifah meskipun pendapat
tersebut telah ditinggalkan oleh penerusnya, Abu Yusuf. Dari segi
kepemilikan, UU mengakui adanya wakaf dalam durasi tertentu. Hal ini
menunjukkan bahwa wakaf tidak mesti bersifat muabbad. Oleh karena itu,
UU Nomor 41 tentang Wakaf mengakui adanya akad wakaf yang bersifat
gayr lazim (tidak menyebabkan pindahnya kepemilikan benda wakaf)
yang dipandang sama dengan al-'ariyah (pinjaman).
B. Saran-Saran
Terlepas dari pendapat Imam Syafi'i yang berbeda dengan Imam
lainnya, namun kehati-hatian dan kepiawaian Imam Syafi'i tidak disanksikan.
Atas dasar itu, pendapatnya dapat dijadikan masukan dalam merumuskan
Kompilasi Hukum Islam di masa datang dan hal ini sudah terjadi, karena KHI
banyak merujuk pada pendapat Imam Syafi'i.
80
C. Penutup
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, atas rahmat
dan ridhanya pula tulisan ini dapat diangkat dalam bentuk skripsi. Peneliti
menyadari bahwa di sana-sini terdapat kesalahan dan kekurangan baik dalam
paparan maupun metodologinya. Karenanya dengan sangat menyadari, tiada
gading yang tak retak, maka kritik dan saran membangun dari pembaca
menjadi harapan peneliti. Semoga Allah SWT meridhainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 2004.
Alabij, Adijani, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Ali, Maulana Muhammad, Islamologi, (Dinul Islam), Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1976.
Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI
Press, 1988.
Al-Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Anshary, Abi Yahya Zakariya, Fath al-Wahhab, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, t.th,
Anshori, Abdul Ghofur, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia,
Yogyakarta: Pilar Media, 2006.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan
Bintang, 1989.
Asy Syurbasyi, Ahmad, Al-Aimmah al-Arba'ah, Terj. Futuhal Arifin, "Biografi
Empat Imam Madzhabi", Jakarta: Pustaka Qalami, 2003.
Bukhari, Imam, Shahih al-Bukhari, Dar al-Biya al-Kutub al-'Arabiyyah. 1981, juz
III, hlm. 196
Bustamin dan M. Isa Salam, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: PT Raja Grapindo
Persada, 2004.
Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997.
Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqh, Jilid 3, Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Departemen Agama, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Jakarta:
Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas dan Penyelenggaraan
Haji, 2003.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2004.
Djazuli, Ilmu Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Farid, Syeikh Ahmad, Min A'lam al-Salaf, Terj. Masturi Ilham dan Asmu'i
Taman, 60, "Biografi Ulama Salaf", Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.
Fikri, Ali, Ahsan al-Qashash, Terj. Abd.Aziz MR: "Kisah-Kisah Para Imam
Madzhab", Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003.
Hadi, Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul, Metode Takhrij
Hadits, Alih bahasa: Said Agil Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar,
Semarang: Dina Utama, 1994.
Hafidhuddin, Didin, Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insani, 2003.
Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz IV, Jakarta:PT Pustaka Panji Mas, 1999.
Haq, Faishal dan Saiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia,
Pasuruan Jawa Timur: GBI (Anggota IKADI), 1994.
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik,
Jakarta: Paramadina, 1996.
Hussaini, Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad, Kifayah Al Akhyar, Juz I,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth.
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Jarjawi, Syeikh Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuh, Juz II, Beirut: Dâr
al-Fikr, 1980.
Jazairi, Abu Bakar Jabir, Minhâj al-Muslim, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, 2004.
Karim, Helmi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Khalaf, Abd al-Wahhab, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004.
M. Zein, Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Malibary, Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz, Fath al-Mu’in, Semarang: Toha Putera
, tth.
Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul
Jadid, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002.
--------, Wakaf Produktif, Bandung: Anggota IKAPI, 2008.
Muchtar, Abdul Chaliq, Indal Abror, Agung Danarta dan Muhammad Yusuf,
Hadis-Hadis Dalam Kitab al-Umm Imam al-Syafi'i, Penelitian Fak.
Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 1999.
Muchtar, Kamal, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Mughniyah, Muhammad Jawad, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj.
Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab", Jakarta:
Lentera, 2001.
Naisaburi, Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi, Sahîh Muslim,
Juz. 2 dan 3, Mesir: Tijariah Kubra, tth.
Najib, Tuti A. dan Ridwan al-Makassary (Ed), Wakaf, Tuhan, dan Agenda
Kemanusiaan, Jakarta: CSRC, 2006.
Prihatini, Farida, et al, Hukum Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: Papas Sinar
Sinanti, 2005.
Qahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, Terj. Muhyiddin Mas Rida,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000.
Qaththan, Syeikh Manna', Pengantar Studi Ilmu Hadits, Terj. Mifdhol
Abdurrahman, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.
Rofiq, Ahmad, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
---------, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Beirut: Dar al-Fikr, tth.
San'any, Subul al-Salam, Juz III, Kairo: Syirkah Maktabah Mustafa al-Babi al-
Halabi, 1950.
Shiddieqy, TM. Hasbi Ash, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2001.
--------, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT Putaka Rizki
Putra, 1997.
--------, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang : Pustaka Rizki Putra,
1990.
Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah
Gusti,1995.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Suryadilaga, M. Alfatih (ed), Studi Kitab Hadis, Yogyakarta: Teras, 2003.
Syafi’î, Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris, Al-Umm, Juz. IV dan VII,
Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth.
--------, al-Risalah, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938.
Syalthut, Mahmud, Fiqih Tujuh Madzhab, terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2000.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2003.
Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokus Media,
2005.
Tunggal, Hadi Setia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf, Jakarta: Harvarindo, 2005.
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Surabaya: DEPAG RI, 1978.
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Zahrah, Muhammad Abu, Hayatuhu wa Asruhu wa Fikruhu ara-Uhu wa Fiqhuhu,
Terj. Abdul Syukur dan Ahmad Rivai Uthman, “Al-Syafi’i Biografi dan
Pemikirannya Dalam Masalah Akidah, Politik dan Fiqih”, Jakarta: PT
Lentera Basritama, 2005.
---------, Usul al-Fiqh, Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
Zuhdi, Masjfuk, Studi Islam: Jilid III, Jakarta: Rajawali, 1988.
Zuhri, Muh, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: tiara
Wacana Yogya, 2003.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ruddy Pamungkas
Tempat/Tanggal Lahir : Semarang, 13 Pebruari 1986
Alamat Asal : Tlogosari wetan RT 06 RW 03 Pedurungan
Semarang
Pendidikan : - MI Al-Fatoniyah Semarang lulus th 1999
-MTs NU 18 Karang Malang Kankung Kendal lulus
th 2002
- MAN 2 Semarang lulus th 2005
- Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Angkatan 2005
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Penulis
BIODATA DIRI DAN ORANG TUA
Nama : Ruddy Pamungkas
NIM : 2105144
Alamat : Tlogosari wetan RT 06 RW 03 Pedurungan Semarang
Nama orang tua : Bapak Suyitni dan Ibu Nafsiyah
Alamat : Tlogosari wetan RT 06 RW 03 Pedurungan Semarang