bab iii pendapat imam syafi’i tentang pernikahan...

29
32 BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN PADA WAKTU IHRAM A. Biografi Imam Syafi’i 1. Kelahiran dan Keturunan Imam Syafi’i Imam Syafi’i adalah salah seorang ulama yang sangat masyhur. Setiap orang yang memperhatikannya akan tertarik untuk mengetahui lebih dalam pribadinya, perilakunya serta peninggalannya yang telah membuat orang yang memperhatikannya menghormati, memuliakan dan mengagungkannya. 1 Ia ulama mujtahid (ahli ijtihad) di bidang Fiqih dan salah seorang dari empat imam madzhab yang terkenal dalam Islam. Ia hidup di masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid, al-Amin dan al- Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah. 2 Ia dilahirkan di Gaza, sebuah kota kecil di Laut Tengah pada tahun 150 H./767 M. 3 Menurut suatu riwayat, pada tahun itu juga wafat Imam Abu Hanifah. 4 Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Ia sering juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah, karena salah seorang putranya bernama Abdullah. Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak pengikut, ia lebih dikenal dengan nama 1 Mustofa Muhammad asy-Syak’ah, Islam bi Laa Madzaahib, Terj. A.M. Basamalah “ Islam Tidak Bermadzhab”, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, hlm. 349. 2 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993, Cet. 1, hlm. 326. 3 Abdur Rahman I. Doi, Shariah The Islamic Law, Terj. Basri Iba Asyghary “Syari’ah Kodifikasi Hukum Islam”, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 159. 4 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 120.

Upload: vuongnga

Post on 12-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

32

BAB III

PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN

PADA WAKTU IHRAM

A. Biografi Imam Syafi’i

1. Kelahiran dan Keturunan Imam Syafi’i

Imam Syafi’i adalah salah seorang ulama yang sangat masyhur.

Setiap orang yang memperhatikannya akan tertarik untuk mengetahui

lebih dalam pribadinya, perilakunya serta peninggalannya yang telah

membuat orang yang memperhatikannya menghormati, memuliakan dan

mengagungkannya.1 Ia ulama mujtahid (ahli ijtihad) di bidang Fiqih dan

salah seorang dari empat imam madzhab yang terkenal dalam Islam. Ia

hidup di masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid, al-Amin dan al-

Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah.2 Ia dilahirkan di Gaza, sebuah kota kecil

di Laut Tengah pada tahun 150 H./767 M.3 Menurut suatu riwayat, pada

tahun itu juga wafat Imam Abu Hanifah.4

Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdullah Muhammad ibn

Idris al-Syafi’i. Ia sering juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah,

karena salah seorang putranya bernama Abdullah. Setelah menjadi ulama

besar dan mempunyai banyak pengikut, ia lebih dikenal dengan nama

1 Mustofa Muhammad asy-Syak’ah, Islam bi Laa Madzaahib, Terj. A.M. Basamalah “

Islam Tidak Bermadzhab”, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, hlm. 349. 2 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

1993, Cet. 1, hlm. 326. 3 Abdur Rahman I. Doi, Shariah The Islamic Law, Terj. Basri Iba Asyghary “Syari’ah

Kodifikasi Hukum Islam”, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm. 159. 4 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta: Logos Wacana

Ilmu, 1997, hlm. 120.

Page 2: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

33

Imam Syafi’i dan madzhabnya disebut Madzhab Syafi’i. Kata Syafi’i

dinisbatkan kepada nama kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi’i ibn al-Saib.

Ayahnya bernama Idris ibn Abbas ibn Usman ibn Syafi’i ibn al-Saib ibn

Abdul Manaf, sedangkan ibunya bernama Fatimah ibnti Abdullah ibn al-

Hasan ibn Husain ibn Ali ibn Abi Tha>lib. Dari garis keturunan ayahnya,

Imam Syafi’i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad saw. Pada

Abdul Manaf, kakek Nabi saw. yang ketiga, sedangkan dari pihak ibunya,

ia adalah cicit dari Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian, kedua orang

tuanya berasal dari bangsawan Arab Quraisy.5

Dengan pertalian tersebut di atas, Imam Syafi’i menganggap

dirinya dari orang yang dekat kepada Rasulullah saw. Bahkan beliau dari

keturunan Zawil Kubra yang berjuang bersama dengan Rasulullah saw. di

zaman Jahiliyah dan Islam. Mereka bersama dengan Rasulullah juga

semasa orang Quraisy mengasingkan Rasulullah mereka bersama turut

menanggung penderitaan bersama-sama Rasulullah.6

Keluarga Imam Syafi’i adalah dari keluarga Palestina yang miskin

yang dihalau dari negerinya, mereka hidup dalam perkampungan yang

nyaman.7 Meskipun dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam keluarga

yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri apalagi malas.

Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari hadits dari ulama-ulama

5 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 327. 6 Ahmad asy-Syurbasi, Al-Aimatul Arba’ah, Terj. Sabil Huda “Sejarah dan Biografi

Imam Empat Madzhab”, Jakarta: Bumi Aksara, 1993, hlm. 142. 7 Ibid.

Page 3: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

34

hadits yang banyak terdapat di Makkah,8 beliau terpaksa mengumpulkan

batu-batu yang baik, belulang, pelepah tamar dan tulang unta untuk ditulis

di atasnya. Kadangkala beliau pergi ke tempat-tempat perkumpulan orang

banyak meminta kertas untuk menulis pelajarannya.9

2. Pendidikan dan Pengalaman Imam Syafi’i

Akibat kondisi ekonomi keluarga yang tidak mencukupi,

pendidikan Syafi’i tersia-sia. Ia kurang mendapatkan perhatian yang serius

dari gurunya. Untungnya anak ini sangat cerdas. Pelajaran yang diberikan

gurunya dengan mudah diserap dengan baik. Tidak jarang ia mengajarkan

kembali ilmu yang diperolehnya kepada teman-temannya begitu guru

mereka meninggalkan kelas. Berkat kepandaian dan kebaikan Syafi’i

seperti itu, ia dibebaskan dari biaya sekolahnya. Keadaan ini berlangsung

sampai ia hafal al-Qur’an. Waktu itu usianya baru sekitar tujuh atau

sembilan tahun.10 Begitu tamat bealjar al-Qur’an, asy-Syafi’i oleh ibunya

dimasukkan ke lembaga pendiidkan lain yang berada di dalam Masjid

Haram, agar dapat membaca al-Qur’an lebih baik termasuk tajwid dan

tafsirnya. Dalam usia 13 tahun, al-Syafi’i sudah mampu membaca al-

Qur’an dengan tartil dan baik, sudah dapat menghafalnya, bahkan

8 Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Terj. Masykur

A.B., et.al., “Fiqih Lima Madzhab”, Jakarta: Lentera Basritama, 2000, cet. 7, hlm. xxix. 9 Ahmad asy-Syurbasi, op. cit., hlm. 143. 10 Abdullah Mustofa al-Maraghi, Fath al-Mubin di tabaqat al-Usuliyyin, Terj. Husein

Muhammad “Pakar-pakar Fiqh Sepanjang Sejarah”, Yogyakarta: LKPSM, 2001, Cet 1, hlm. 93.

Page 4: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

35

memahami apa yang dibacanya sebatas kesanggupan seorang anak yang

baru berusia 13 tahun.11

Ia membaca al-Qur’an dengan suara yang merdu dan tartil, ia

benar-benar khusu’ dicekam perasaan sedih bercampur perasaan takut

kepada Allah SWT. Di saat-saat ia sedang membaca al-Qur’an di Masjid

Haram, banyak orang yang menderngarnya duduk bersimpuh di depannya,

bahkan ada pula yang meneteskan air mata karena terpukau mendengar

suaranya yang merdu. Bila al-Syafi’i melihat kejadian seperti itu, ia

berhenti membaca.12

Setelah dapat menghafal seluruh isi al-Qur’an dengan lancar,

Syafi’i berangkat ke Dusun Badui, Banu Hudail untuk mempelajari bahasa

Arab yang asli dan fasih. Di sana, selama bertahun-tahun Syafi’i

mendalami bahasa, kesusastraan dan adat istiadat Arab yang asli. Bahkan

ketekunan dan kesanggupannya, Syafi’i kemudian dikenal sangat ahli

dalam bahasa Arab dan kesusastraannya, mahir dalam membuat syair,

serta mendalami adat istiadat Arab yang asli.13 Setelah itu, Syafi’i kembali

ke Mekkah dan belajar ilmu Fiqih pada Imam Muslim ibn Khalid al-Zanni,

seorang ulama besar dan mufti di kota Mekkah sampai memperoleh ijazah

berhak mengajar dan memberi fatwa. Selain itu, Syafi’i juga mempelajari

11 Abdurrahman asy-Syarkawi, Aimmah al-Fiqh at-Tis’ah, Terj. H.M.H. al-Hamid al-

Husaini “Riwayat Sembilan Imam Fiqih”, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000, hlm. 383. 12 Ibid. 13 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc. cit.

Page 5: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

36

berbagai cabang ilmu agama lainnya seperti ilmu hadits, ia berguru pada

ulama hadits terkenal di zaman itu Imam Sufyan ibn Uyainah.14

Di samping cerdas, Imam Syafi’i juga sangat tekun dan tidak kenal

lelah dalam belajar. Pada usia 10 tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab

al-Muwatha’ karangan Imam Malik. Pada usia 15 tahun telah menduduki

kursi mufti di Mekkah. Setelah menghafal isi kitab al-Muwatha’ Syafi’i

sangat berhasrat untuk menemui pengarangnya, Imam Malim, sekaligus

memperdalam ilmu Fiqih yang amat diminatinya. Lalu dengan meminta

izin kepada gurunya di Mekkah, Syafi’i berangkat ke Madinah, tempat

Imam Malik, setibanya di Madinah, ia lalu shalat di Masjid Nabi,

menziarahi makam Nabi saw. baru kemudian menemui Imam Malik, ia

sangat dikasihi oleh gurunya dan kepadanya diserahi tugas untuk

mendiktikan isi kitab al-Muwatha’ kepada murid-murid Imam Malik.15

Di samping mempelajari ilmu pengetahuan beliau mempunyai

kesempatan pula mempelajari memanah, sehingga beliau dapat memanah

sepuluh batang panah tanpa melakukan satu “kesilapan”. Beliau pernah

berkata: cita-citaku adalah dua perkara: panah dan ilmu, aku berdaya

mengenakan targer sepuluh dari sepuluh. Mendengar percakapan itu,

orang bersamanya berkata: Demi Allah bahwa ilmumu lebih baik dari

memanah.16

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Imam Syafi’i

mempunyai pengetahuan sangat luas dalam bidang lughah dan adab, di

14 Ibid. 15 Ibid. 16 Ahmad asy-Syurbasi, op. cit., hlm. 144.

Page 6: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

37

samping pengetahuan hadits yang ia peroleh dair beberapa negeri.

Sedangkan pengetahuannya dalam bidang Fiqih meliputi Fiqih Asha>b al-

Ra’yi di Irak dan Fiqh Ashab al-Hadits di Hijaz.

3. Guru-guru Imam Syafi’i

Al-Syafi’i menerima Fiqh dan Hadits dari banyak guru yang

masing-masing mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-tempat

yang berjauhan satu sama lainnya. Ada di antara gurunya yang mu’tazili

yang memperkatakan ilmu kalam yang tidak disukainya. Dia mengambil

mana yang perlu diambil dan dia tinggalkan mana yang perlu ditinggalkan.

Al-Syafi’i menerimanya dari ulama-ulama Mekkah, ulama-ulama

Madinah, ulama-ulama Irak dan ulama-ulama Yaman.17

Ulama-ulama Mekkah yang menjadi gurunya adalah:

a. Muslim ibn Khali>d az-Zinji

b. Sufyan ibn Uyainah

c. Said ibn al-Kudah

d. Daud ibn Abdurrahman

e. Al-Attar

f. Abdul Hami>d ibn Abdul Azi>z ibn Abi Daud.18

Ulama-ulama Madinah yang menjadi gurunya adalah:

a. Malik ibn Anas

b. Ibrahim ibn Saad al-Ansari

c. Abdul Azis ibn Muhammad al-Darawardi

17 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 486.

18 Ahmad asy-Syurbasi, op. cit., hlm. 149.

Page 7: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

38

d. Ibrahim ibn Yahya al-Asami

e. Muhammad Said ibn Abi Fudaik

f. Abdullah ibn Nafi al-Shani.19

Ulama-ulama Irak yang menjadi gurunya adalah:

a. Waki ibn Jarrah

b. Abu Usamah

c. Hammad ibn Usamah

d. Ismail ibn Ulaiyah

e. Abdul Wahab ibn Ulaiyah

f. Muhammad ibn Hasan.20

Ulama-ulama Yaman yang menjadi gurunya adalah:

a. Muththarif ibn Miza>n

b. Hisya>m ibn Yu>suf

c. Haki>m Shan’a (Ibu Kota Republik Yaman)

d. Umar ibn Abi Maslamah al-Auza’i

e. Yahya Hasan.21

4. Murid-murid Imam al-Syafi’i

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa guru-guru Imam

Syafi’i amatlah banyak, maka tidak kurang pula penuntut atau murid-

muridnya. Di antara murid-muridnya adalah:

a. Abu Bakar al-Humaidi

19 Ahmad asy-Syurbasi, 4 Mutiara Zaman, Jakarta: Pustaka Qalami, 2003, hlm. 135. 20 Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 487. 21 Ahmad asy-Syurbasi, loc. cit.

Page 8: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

39

b. Ibrahim ibn Muhammad al-Abbas

c. Abu Bakar Muhammad ibn Idris

d. Musa ibn Abi al-Jarud.22

Murid-muridnya yang keluaran Baghdad, yaitu:

a. Al-Hasan al-Sabah al-Za’farani

b. Al-Husain ibn Ali al-Karabisi

c. Abu Thur al-Kulbi

d. Ahmad ibn Muhammad al-Asy’ari.23

Murid-muridnya yang keluaran Irak, yaitu:

a. Imam Ahmad ibn Hanbal

b. Imam Dawud al-Zahiri

c. Imam Abu Tsaur al-Baghdadi

d. Abu Ja’far at-Thabari.24

Murid-muridnya yang keluaran Mesir, yaitu:

a. Al-Rabi’in ibn Sulaiman al-Muradi

b. Abdullah ibn Zuber al-Humaidi

c. Abu Ya’kub Yusuf Ibnu Yahya al-Buwaithi

d. Abu Ibrahim Ismail ibn Yahya al-Muzany

e. Al-Rabi’i ibn Sulaiman al-Jizi

f. Harmalah ibn Yahya at-Tujibi

g. Yunus ibn Abdil A’la

h. Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakam

22 Ibid., hlm. 151. 23 Ibid. 24 Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1976, hlm. 68.

Page 9: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

40

i. Abdurrahman ibn Abdullah ibn Abdul Hakam

j. Abu Bakar al-Humaidi

k. Abdul Aziz ibn Umar

l. Abu Utsman, Muhammad ibn Syafi’i

m. Abu Hanifah al-Asnawi.25

Murid-murid Imam Syafi’i dari kalangan perempuan tercatat antara

lain saudara perempuan al-Muzani. Mereka adalah para cendekiawan besar

dalam bidang pemikiran Islam dengan sejumlah besar bukunya baik dalam

Fiqih maupun lainnya.26

Di antara para muridnya yang termasyhur sekali ialah Ahmad ibn

Hambal yang mana beliau telah memberi jawaban kepada pertanyaan

tentang Imam Syafi’i dengan katanya: Allah Ta’ala telah memberi

kesenangan dan kemudahan kepada kami melalui Imam Syafi’i. Kami

telah mempelajari pendapat kaum-kaum dan kami telah menyalin kitab-

kitab mereka tetapi apabila Imam Syafi’i datang kami belajar kepadanya,

kami dapati bahwa Imam Syafi’i lebih alim dari orang-orang lain. Kami

senantiasa mengikuti Imam Syafi’i malam dan siang apa yang kami dapati

darinya adalah kesemuanya baik, mudah-mudahan Allah melimpahkan

rahmat-Nya atas beliau.27

5. Karya-karya Imam Syafi’i

25 Sirajuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, Jakarta: Pustaka Tarbiyah,

2004, hlm. 180-181. 26 Abdullah Mustofa al-Maraghi, op. cit., hlm. 95. 27 Ahmad asy-Syurbasi, op. cit., hlm. 152.

Page 10: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

41

Menurut Abu Bakar al-Baihaqy dalam kitab Ahka>m al-Qur’a>n,

bahwa karya Imam Syafi’i cukup banyak, baik dalam bentuk risalah

maupun dalam bentuk kitab. Al-Qadhi Imam Abu Hasan Ibn Muhammad

al-Maruzy mengatakan bahwa Imam Syafi’i menyusun 113 buah kitab

tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain.28

Adapun kitab-kitab karangan Imam Syafi’i pada umumnya dibagi

kepada dua bagian. Pertama, yang diajarkan dan didiktekan kepada murid-

murid beliau selama beliau berada di Makah dan di Baghdad. Kumpulan

kitab-kitab ini berisi Qaul alQadim yaitu pendapat Imam Syafi’i sebelum

beliau pergi ke Mesir. Kedua, yang diajarkan dan didiktekan kepada

murid-murid beliau selama beliau mengajar di Mesir, yaitu disebut Qaul

al-Jadid yaitu pendapat-pendapat Imam Syafi’i setelah berada di Mesir.29

Kitab-kitab karya Imam Syafi’i dibagi oleh ahli sejarah menjadi

dua bagian:

a. Ditulis oleh Imam Syafi’i sendiri, seperti: al-Umm dan al-Risalah

(riwayat al-Buwaiti dilanjutkan oleh Rabi Ibn Sulaiman)

b. Ditulis oleh murid-muridnya, seperti Mukhtasyar oleh al-Muzanni dan

Mukhtasyar oleh al-Buwaiti (keduanya merupakan ikhtisar dari kitab

Imam Syafi’i: al-Imla dan al-Amaly).30

Kitab-kitab Imam Syafi’i, baik yang ditulisnya sendiri, didiktekan

kepada muridnya, maupun dinisbatkan kepadanya, antara lain sebagai

berikut:

28 Huzaemah Tahido, op. cit., hlm. 133. 29 H. Muslim Ibrahim, Pengantar Fiqh Muqaran, Jakarta: Erlangga, 1991, hlm. 94-95. 30 Hasby ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 134.

Page 11: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

42

a. Kitab al-Risalah, tentang Ushul Fiqih (riwayat Rabi), kitab al-Risalah

adalah kitab yang pertama dikarang Imam Syafi’i pada usia muda

belia. Kitab ini ditulis atas permintaan Abd. al-Rahman Ibn Mahdy di

Makah.

b. Kitab al-Umm, sebuah kitab Fiqih yang di dalamnya dihubungkan pula

sejumlah kitabnya.

1) Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila

2) Kitab Khila Ali wa Ibn Mas’ud, sebuah kitab yang menghimpun

permasalahan yang diperselisihkan antara Ali dengan Ibn Mas’ud

dan antara Imam Syafi’i dengan Abi Hanifah.

3) Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Syafi’i

4) Kitab Jama’i al-Ilmi

5) Kitab al-Rada ‘Ala Muhammad Ibn al-Hasan

6) Kitab Siyar al-Auza’iy

7) Kitab Ikhtilaf al-Hadits

8) Kitab Ibthalu al-Istihsan.

c. Kitab al-Musnad, berisi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab al-

Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya.

d. Al-Imla

e. Al-Amaliy

f. Harmalah (didiktekan kepada muridnya yang bernama Harmalah Ibn

Yahya)

g. Mukhtasar al-Muzaniy (dinisbatkan kepada Imam Syafi’i)

Page 12: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

43

h. Mukhtasar al-Buwaithiy (dinisbatkan kepada Imam Syafi’i)

i. Kitab Ikhtilaf al-Hadits (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadits-hadits

Nabi saw.).31

Di samping itu juga ada beberapa risalah dan karangan-karangan

beliau baik yang dikarang langsung atau tidak langsung, tetapi belum

pernah dicetak atau belum diccetak kembali.32

Demikianlah beberapa sumber yang disebutkan di atas yang dapat

digunakan untuk mempelajari kembali pokok-pokok pikiran Imam Syafi’i,

sebagai salah seorang imam madzhab yang terkemuka di dunia Islam dan

sebagai madzhab yang banyak dianut oleh bangsa Indonesia yang

beragama Islam.

6. Fiqh Imam Syafi’i

Ilmu fiqih yang dibawa oleh Imam Syafi’i adalah merpakan suatu

zaman perkembangan fiqih dalam sejarah perundangan Islam. Oleh karena

itu, beliau mengumpulkan atau menyatukan ilmu fiqih ahli-ahli akal dan

pikir dengan ilmu fiqih ahli-ahli akal dan hadits. Ilmu fiqih Imam Syafi’i

merupakan ikatan sunnah dengan qiyas dan pemikiran dengan beberapa

cara-cara atau peraturan untuk memahami al-Qur’an dan Hadits. Juga

beliau menerapkan kaidah-kaidah pengeluaran hukum dan kesimpulannya,

31 Huzaemah Tahido, op. cit., hlm. 135. 32 H. Muslim Ibrahim, op. cit., hlm. 96.

Page 13: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

44

oleh karena itulah beliau berhak dianggap sebagai penulis ilmu Ushul

Fiqih.33

Menurut apa yang terbukti di atas bahwa Imam Syafi’i mulai

menyusun madzhab fiqihnya setelah beliau mempelajari ilmu fiqih di

Madinah dan fiqih orang-orang Irak.34 Madzhab Syafi’i mulai berkembag

di Mesir, yang terkenal dengan qaul jadidnya, yang diajarkan beliau di

Masjid ‘Amr ibn Ash. Perkembangan ini semakin bertambah sejak

banyaknya para ulama dan para cendekiawan yang mengikuti

pelajarannya. Seperti Muhammad ibn Abdullah ibn Abdul Hakim, Ismail

ibn Yahya al-Buwaithy, ar-Rabi, al-Jizi, Asyhab Ibnu Qasim dan Ibn

Mawaz. Oleh karena itu, terdesaklah madzhab yang telah dianut

sebelumnya, yaitu mazhab Hanafi dan mazhab Maliki.35

Walaupun pada tahun 197 H beliau telah mengajarkan qaul

qadimnya di Baghdad, namun perkembangan madzhab Syafi’i barulah

setelah beliau meninggal dunia yang dikembangkan oleh Hasan ibn

Muhammad al-Za’farani (wafat 260 H.). dari Irak madzhab ini

berkembang sampai ke Syiria, Khurasan, Armenia, Caylon, Tiongkok,

Malaysia, Indinesia dan Filipina Selatan.

7. Imam Syafi’i Wafat

33 Ahmad asy-Syurbasi, op. cit., hlm. 155. 34 Ibid. 35 H. Muslim Ibrahim, loc. cit.

Page 14: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

45

Imam Syafi’i dengan tenang menghembuskan nafasnya yang

terakhir sesudah shalat Isya’, malam Jum’at bulan Rajab tahun 204 H./819

M. dengan disaksikan muridnya Rabi al-Jizi.36

B. Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i

Dalam mengistinbatkan (mengambil dan menetapkan) suatu hukum,

Imam Syafi’i memakai empat dasar yaitu: al-Qur’an, al-sunnah, ijma’ dan

qiyas. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam kitabnya, al-Risalah

sebagai berikut:

حل أو حرم اال من جهة العلم وجهة اخلرب : ليس ألحدان يقوم ابدا يف شيئ 37 .ىف الكتاب او السنة او االمجاع او القياس

Artinya: Tidaklah seseorang mengatakan dalam hukum selamanya ini halal, ini haram kecuali kalau ada pengetahuan tentang itu. Pengetahuan itu adalah kitab suci al-Qur’an, al-sunnah, al-ijma’ dan al-qiyas.

Adapun penjelasan dari masing-masing pokok pegangan yang

digunakan Imam Syafi’i dalam memibna madzhabnya adalah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah lafadz Arab yang diturunkan kepada Sayyidina

Muhammad saw. untuk direnungkan dan diingat, yang diriwayatkan secara

mutawatir. Ia dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-

Na>s. Bahasa Arab adalah bagian dari keaslian. Oleh karena itu

36 Abdullah Mustofa al-Maraghi, op. cit., hlm. 97. 37 Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Risalah, Beirut: al-Maktabah al-Ilmiyyah, t.th.,

hlm. 39.

Page 15: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

46

terjemahnya tidak dikatakan al-Qur’an sehingga apabila seseorang

membaca terjemahnya dalam sembahyangnya tidaklah sah.38

Seluruh ulama Islam sepakat menetapkan bahwa al-Qur’an adalah

sumber pertama segala sumber hukum Islam. Mereka berselisih pendapat,

hanya tentang kedudukan al-sunnah, apakah dia dapat mendatangkan

hukum-hukum yang tidak ada pokoknya dalam al-Qur’an ataukah tidak,

Imam Syafi’i menandaskan bahwa al-sunnah berhak mendatangkan

hukum yang tidak ada pokoknya dalam al-Qur’an.39

Imam Syafi’i mengkaji al-Qur’an secara mendalam dan

mengklasifikasikan ayat-ayat al-Qur’an ke dalam bentuk ‘amm dan khas.

Beliau juga mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an ada pernyataan-

pernyataan tertentu yang bersifat umum dan dimaksudkan untuk umum.

Kemudian ada pernyataan-pernyataan bersifat umum di dalam al-Qur’an

yang mengandung sebagai pernyataan ‘amm dan khas.40 Karena

kedudukan al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi

penetapan hukum, maka apabila seseorang ingin menemukan hukum suatu

kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawaban

penyelesaian dari al-Qur’an. Selama hukumnya dapat disesuaikan dengan

al-Qur’an maka ia tidak boleh mencari jawaban lain di luar al-Qur’an.41

38 Syekh Muhammad al-Khudhori Biek, Ushul Fiqh, terj. Zaid H. Al-Hamid, Pekalongan:

Raja Murah, 1982, hlm. 50. 39 Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 277. 40 Muhammad bin Idris Syafi’i, op. cit., hlm. 25. 41 H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm. 73.

Page 16: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

47

2. Sunnah

Al-sunnah menurut istilah syara’ adalah “sesuatu yang datang dari

Rasulullah saw., baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan

(taqrir)”. Sunnah qauliyah ialah: hadits-hadits Rasulullah saw. yang beliau

katakana dalam berbagai tujuan dan konteks, sunnah fi’liyah ialah

perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. sebagaimana tindakannya

menunaikan shalat lima waktu dengan cara-caranya dan rukun-rukunnya,

perbuatan melaksanakan haji dan lain-lain. Sedangkan sunnah taqririyah

ialah: sesuatu yang timbul dari sahabat Rasulullah saw. yang telah diakui

oleh Rasulullah baik berupa ucapan maupun perbuatan. Pengakuan

tersebut ada kalanya dengan sikap diamnya dan tidak adanya keingkaran

beliau, atau dengan adanya persetujuan dan adanya pernyataan penilaian

baik terhadap perbuatan itu.42

Sandaran kedua dari madzhab Syafi’i adalah sunnah. Menurutnya

orang tidak mungkin berpindah dari sunnah selama sunnah masih ada.

Mengenai hadits ahad, Imam Syafi’i tidak mewajibkan syarat

“kemasyhuran” sebagaimana yang berlaku pada madzhab Hanafi. Tidak

pula mewajibkan persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Malim, yaitu

harus ada perbuatan yang memperkuatnya. Menurut Imam Syafi’i hadits

itu sendiri tanpa lainnya sudah dianggap cukup. Baginya, hadits ahad tidak

jadi soal untuk dijadikan sandaran, selama yang meriwayatkannya dapat

dipercaya, teliti dan selama hadits itu muttasil (sanadnya bersambung)

42 Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 40-41.

Page 17: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

48

kepada Rasulullah. Jadi beliau tidak mengharuskan hanya mengambil

hadits mutawatir saja.43

Imam Syafi’i dalam menerima hadits ahad mensyaratkan sebagai

berikut:

a. Perawinya terpercaya, ia tidak menerima hadits dari orang yang tidak

terpercaya.

b. Perawinya berakal, memahami apa yang diriwayatkannya.

c. Perawinya dhabit (kuat ingatannya)

d. Perawinya benar-benar mendengar sendiri hadits itu dari orang yang

menyampaikan kepadanya.

e. Perawi itu tidak menyalahkan para ahli ilmu yang juga menriwayatkan

hadits itu.44

Imam Syafi’i menempatkan as-sunnah sejajar dengan al-Qur’an,

karena menurut beliau, sunnah itu menjelaskan al-Qur’an dan hadits

mutawatir. Di samping itu, karena al-Qur’an dan sunnah keduanya adalah

wahyu, meskipun kekuatan sunnah secara terpisah tidak sekuat seperti al-

Qur’an.45

Mengenai kedudukan as-sunnah as-Syafi’i mengungkapkan bahwa

kedudukan sunnah terhadap al-Qur’an adalah sebagai berikut:

a. Menerangkan kemujmalan al-Qur’an, seperti menerangkan

kemujmalan ayat tentang shalat dan puasa.

43 H. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakata: Logos Wacana Ilmu, 1997,

hlm. 116. 44 Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 129. 45 Ibid., hlm. 128.

Page 18: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

49

b. Menerangkan khash al-Qur’an yang dikehendaki ‘amm dan ‘amm yang

dikehendaki khash.

c. Menerangkan tambahan-tambahan dari fardlu-fardlu yang telah

ditetapkan al-Qur’an.

d. Menerangkan hukum-hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an.

e. Menerangkan mana yang nasikh, mana yang mansukh dari ayat-ayat

al-Qur’an.46

3. Ijma’

Ta’rif ijma’ menurut fuqaha jumhur adalah:

اال مجاع هو اتفاق اتهدين من األمة االسالمية ىف عصر من العصور بعد النيب صلى اهللا عليه وسلم على حكم شرعي ىف امر من األمور

47 .العمليةArtinya: Ijma adalah kesepakatan para mujtahid umat Islam atas suatu

hukum syara’ dalam sesuatu urusan amaliyah pada suatu masa sesudah Nabi.

Jumhur ulama berpendapat, bahwa kedudukan ijma’ menempati

salah satu sumber dalil hukum sesudah al-Qur’an dan sunnah. Ini berarti

ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat

Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an maupun sunnah.

Untuk menguatkan pendapatnya ini jumhur mengemukakan beberapa ayat

al-Qur’an di antaranya adalah surat al-Nisa>’ ayat 115,48 adalah sebagai

berikut:

46 Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 250—251. 47 Ibid., hlm. 111. 48 Amir Syarifuddin, loc. cit.

Page 19: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

50

مننيؤبيل المس رغي بعتيى وداله له نيبا تد معب ول منساقق الرشي نمو )115: النساء(نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصريا

Artinya: Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. al-Nis>a’: 115)49

Dalam ayat di atas “jalan-jalan orang mukmin” diartikan sebagai

apa-apa yang disepakati untuk dilakukan orang mukmin. Inilah yang

disebut ijma’ kaum mukminin.50

Imam Syafi’i mengatakan, bahwa ijma’ adalah hujjah dan ia

menempatkan ijma’ ini sesudah al-Qur’an, as-sunnah sebelum qiyas.51

Ijma’ yang dimaksudkannya ialah suatu hasil kesepakatan para sahabat

secara integral mengenai hukum suatu masalah. Kesepakatan ini harus

diperoleh secara jelas.52 Ijma’ yang dipakai Imam Syafi’i sebagai dalil

hukum itu adalah ijma’ yang disandarkan kepada nash atau ada landasan

riwayat dari Rasulullah saw. Secara tegas ia mengatakan bahwa ijma’

yang berstatus dalil hukum itu adalah ijma’ sahabat.53

Imam Syafi’i hanya mengambil ijma’ sharih sebagai dalil hukum

dan menolak ijma’ sukuti menjadi dalil hukum. Alasannya menerima ijma’

sharih karena kesepakatan itu disandarkan kepada nash dan berasal dari

semua mujtahid secara jelas dan tegas sehingga tidak mengandung

49 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggaran

Penterjemah al-Qur’an, 1971, hlm. 140-141. 50 Amir Syarifuddin, op. cit., hlm. 118. 51 Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 130. 52 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 330. 53 Huzaemah Tahido Yanggo, loc. cit..

Page 20: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

51

kerugian mujtahid. Diamnya sebagian mujtahid menurutnya belum tentu

menunjukkan setuju.54

Adapun ijma’ ditinjau dari segi cara menghasilkannya, ada dua

macam, yaitu:

a. Ijma’ Sharih, yaitu kesepakatan para mujtahid suatu masa atas hukum

suatu kasus, dengan cara masing-masing dari mereka mengemukakan

pendapatnya secara jelas melalui fatwa atau putusan hakim.

Maksudnya bahwa setiap mujtahid mengeluarkan pernyataan atau

tindakan yang mengungkapkan pendapatnya secara jelas.

b. Ijma’ Sukuti, yaitu sebagian dari mujtahid suatu masa mengemukakan

pendapat mereka dengan jelas mengenai suatu kasus, baik melalui

fatwa atau suatu putusan hukum, dan sisa dari mereka tidak

memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut, baik merupakan

persetujuan terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau

menentang pendapat itu.55

Adapun macam yang pertama, yaitu ijma’ sharih, maka itulah

ijma’ haqiqi, dan ini merupakan hujjah syar’iyah dalam madzhab jumhur

ulama, sedangkan macam yang kedua yaitu ijma’ sukuti, maka ia adalah

ijma’ i’tibar (anggapan) karena sesungguhnya orang yang diam saja tidak

ada kepastian bahwa ia setuju. Oleh karena itu, tidak ada kepastian

mengenai terwujudnya kesepakatan dan terjadinya ijma’, dan karena

inilah, maka ia masih dipertentangkan kehujjahannya. Jumhur ulama

54 Ibid. 55 Abdul Wahab Khallaf, op. cit., hlm. 64.

Page 21: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

52

berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukanlah hujjah. Dan bahwa ijma’

tersebut tidak lebih dari keadaannya sebagai pendapat dari individu para

mujtahid.56

Dalam definisi ijma’ telah disebutkan bahw aia adalah kesepakatan

para mujtahid dari umat Islam pada suatu masa atas hukum syar’i. Dari

definisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa rukun ijma’, di mana menurut

syara’ ia tidak akan terjadi kecuali dengan keberadaannya adalah empat

yaitu:

Pertama : Adanya sejumlah mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa,

karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat

tergambar kecuali pada sejumlah pendapat, di mana masing-

masing pendapat sesuai dengan pendapat lainnya. Maka kalau

sekiranya pada suatu waktu tidak terdapat sejumlah para

mujtahid, misalnya tidak ditemukan seorang mujtahid sama

sekali, atau hanya ditemukan seorang mujtahid sama sekali,

atau hanya ditemukans eorang mujtahid, amka secara syara’

tidak akan terjadi ijma’ pada waktu itu. Dan karena inilah,

maka tidak ada ijma’ pada masa Rasulullah saw. karena hanya

beliau sendirilah mujtahid waktu itu.

Kedua : Adanya kesepakatan seluruh mujtahid di kalangan umat Islam

terhadap suatu kasus/peristiwa pada waktu terjadinya tanpa

memandang negeri mereka, kebangsaan mereka ataupun

56 Ibid.

Page 22: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

53

kelompok mereka, maka jika seandainya para mujtahid ahli

bait atau para mujthid ahli sunnah, bukan mujtahid golongan

syi’ah sepakat atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa,

maka dengan kesepakatan khusus ini tidaklah sah ijma’

menurut syara’ karena ijma’ itu tidak bisa terjadi, kecuali

dengan kesepakatan umum dan semua mujtahid dunia Islam

pada suatu kejadian. Selain mujtahid tidak masuk penilaian.

Ketiga : Bahwasanya, kesepakatan mereka adalah dengan

mengemukakan pendapat masing-masing orang dari para

mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu

peristiwa, baik penyampaian pendapat masing-masing mujtahid

itu berbentuk ucapan, misalnya ia memberikan fatwa mengenai

peristiwa itu, atau berbentuk perbuatan, misalnya ia

memberikan suatu putusan mengenai; baik masing-masing dari

mereka mengemukakan pendapatnya sendiri-sendiri dan

setelah pendapat-pendapat itu dikumpulkan barulah ternyata

kesepakatan pendapat mereka, atau mereka mengemukakan

pendapat mereka secara kolektif, misalnya para mujtahid di

dunia Islam mengadakan suatu kongggres pada suatu masa

terjadinya suatu peristiwa, dan peristiwa itu dihadapkan kepada

mereka, dan setelah mereka bertukar orientasi pandangan,

maka mereka seluruhnya sepakat atas suatu hukum

mengenainya.

Page 23: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

54

Keempat : Bahwa kesepakatan dari seluruh mujtahid atas suatu hukum itu

terealisir, maka kesepakatan yang terbanyak itu tidak menjadi

ijma’, kendatipun amat sedikit jumlah mujtahid yang

menentang dan besar sekali jumlah mujtahid yang sepakat,

karena sepanjang masih dijumpai suatu perbedaan pendapat,

maka masih ditemukan kemungkinan besar pada salah satu

pihak dan kekeliruan pada pihak lainnya. Oleh karena itu, maka

kesepakatan jumlah terbanyak tidak menjadi hujjah syar’iyyah

yang pasti dan mengikat.57

4. Qiyas

Dari segi bahasa, qiyas ialah mengukur sesuatu atas lainnya dan

mempersamakannya.58 Sedangkan menurut istilah ahli ushul, ialah:

59 .احلاق امر ألمر اخرىف احلكم ال حتاد مها ىف العلة فيحدان ىف احلكمArtinya: “Menghubungkan hukum sesuatu pekerjaan kepada yang lain,

karena kedua pekerjaan itu sebabnya sama yang menyebabkan hukumnya juga sama”.

Sesuai dengan ta’rif tersebut di atas, apabila ada suatu peristiwa

yang hukumnya telah ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya telah

diketahui menurut satu cara dari cara-cara mengetahui illat-illat hokum,

kemudian didapatkan suatu peristiwa lain yang hukumnya tidak ditetapkan

oleh suatu nash, tetapi illat hukumnya adalah sama dengan illat hokum

dari peristiwa yang sudah mempunyai nash tersebut, maka peristiwa yang

57 Abdul Wahab Khalaf, op. cit., hlm. 56-58. 58 A. Hanafie, Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1989, hlm. 128. 59 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang:

Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 200.

Page 24: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

55

tidak ada nashnya ini disamakan dengan hukum peristiwa yang ada

nashnya, lantaran adanya persamaan illat hukum pada kedua peristiwa itu

tidak akan ada sekiranya tidak ada illat-illatnya.60 Mereka berpendapat

demikian dengan alasan:

)2(فاعتبروا ياأولي الأبصار.... Artinya: ... Hendaklah kamu mengambil i’tibar (ibarat: pelajaran) hai

orang-orang yang berpikir. (QS. al-Hasyr: 2)61

Pendirian Imam Syafi’i tentang hukum qiyas sangat hati-hati dan

sangat keras, karena menurutnya qiyas dalam soal-soal keagamaan itu

tidak begitu perlu diadakan kecuali jika memang keadaan memaksa. Di

bawah ini beberapa perkataan beliau tentang hukum qiyas.

a. Imam Ahmad ibn Hambal pernah berkata: “Saya pernah berkata

kepada Imam Syafi’i tentang hal qiyas, maka beliau berkata: “Di kala

keadaan darurat”. Artinya, bahwa beliau mengadakan hukum secara

qiyas jika memang keadaan memaksa.

b. Imam Syafi’i pernah berkata: “Saya tidak akan meninggalkan hadits

Rasul karena akan memasukkan hukum qiyas, dan tidak ada tempat

bagi qiyas beserta sunnah Rasulullah”.

c. Selanjutnya beliau berkata: “Tiap-tiap sesuatu yang menyalahi

perintah Rasulullah tentulah jatuh dengan sendirinya dan tidak akan

60 Muchtar Yahya, et.al., Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: al-

Ma’arif, 1997, hlm. 66. 61 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 915.

Page 25: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

56

dapat berdiri tegak, juga qiyas tidak akan dapat tegak selama ada

sunnah”.62

Selain daripada itu hukum qiyas yang terpaksa diadakan adalah

hukum-hukum yang tidak mengenai urusan ibadah, yang pada pokoknya

tidak dapat dipikirkan sebab-sebabnya seperti: ibadah shalat dan puasa.

Oleh karena itu beliau berkata: “Tidak ada qiyas dalam hubungan

ibadah karena sesuatu yang berkaitan dengan urusan-urusan ibadah itu

telah cukup sempurna dari al-Qur’an dan as-sunnah”.63

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa cara Imam

Syafi’i mengambil atau mendatangkan hukum qiyas itu adalah sebagai

berikut:

a. Hanya yang mengenai urusan keduniaan atau muamalat saja.

b. Hanya yang hukumnya belum atau tidak didapati dengan jelas dari

nash al-Qur’an atau dari hadits yang shahih.

c. Cara beliau mengqiyas adalah dengan nash-nash yang tertera dalam

ayat-ayat al-Qur’an dan dari hadits Nabi.64

Oleh sebab itu Imam Syafi’i tidak sembarangan mendatangkan

atau mengambil hukum qiyas dan beliau merencanakan beberapa

peraturan yang rapi bagi siapa yang hendak beristidlal (mengambil)

dengan cara qiyas. Sebagai dalil penggunaan qiyas, beliau mendasarkan

pada firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 59.65

62 Ali Hasan, op. cit., hlm. 209. 63 Ibid., hlm. 210. 64 Ibid. 65 Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 131.

Page 26: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

57

ياأيها الذين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم

)59: النساء(ويلا الآخر ذلك خير وأحسن تأArtinya: Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul

(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. al-Nisa>’: 59)66

Rukun-rukun qiyas adalah sebagai berikut:

a. Al-Ashlu, yaitu sesuatu yang ada nash hukumnya, ia disebut juga

maqis’alah (yang diqiyaskan kepadanya), mahmul’alaih (yang

dijadikan pertanggungan), dan musyabbah bih (yang diserupakan

dengannya).

b. Al-Far’u, yaitu sesuatu yang tidak ada nash hukumnya, ia juga disebut:

al-maqis (yang diqiyaskan), al-mahmul (yang dipertanggungkan), dan

al-musyabbah (yang disempurnakan).

c. Hukum Ashl, yaitu: hukum syara’ yang ada nashnya pada al-ashl

(pokok), dan ia dimaksudkan untuk menjadi hukum pada al-Far’u

(cabangnya).

d. Al-Illat, yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk

hukum pokok, dan berdasarkan adanya kebenaran sifat itu pada cabang

(far’u), maka ia disamakan dengan pokoknya dan segi hukumnya.67

66 Departemen Agam RI, op. cit., hlm. 128. 67 Abdul Wahhab Khallaf, op. cit., hlm. 80.

Page 27: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

58

C. Pendapat Imam Syafi’i tentang Pernikahan pada Waktu Ihram

Untuk mengetahui pendapat Imam Syafi’i tentang hukum tidak

diperbolehkannya seorang yang sedang ihram (muhrim) melakukan nikah,

menikahkan, dalam kitab “Mukhtashar al-Muzani” Imam Syafi’i menjelaskan

bahwa seorang muhrim tidak diperbolehkan untuk melakukan nikah maupun

menikahkan, sebagaimana dalam kitabnya “Mukhtashar al-Muzani” dia

berpendapat sebagai berikut:

وال ينكح المحرم وال ينكح ألن النبي صل اهللا عليه و سلم نهى عن ذلك : قال اشافعى

.فان نكح او انكح فالنكاح فاسد: وقال

Artinya: “Asy-Syafi’i berkata: Seorang muhrim tidak boleh menikah dan tidak menikahkan karena sesungguhnya Nabi SAW melarang dari hal itu. Dan beliau berkata: Jika menikah dan menikahkan maka pernikahan tersebut menjadi rusak (fasid).” 68

Lebih lanjut dalam kitab “al-Umm” beliau mengungkapkan sebagai berikut:

وهب اخي بني عن نبيه بن, عن نافع, اخبرنا مالك: قال الشافعي رحمه اهللا

هربار اخالد دبان: عثمع نان بل إلى ابسد اهللا اريبع نب رمئذ , ان عموان يابوانى قد اردت ان انكح طلحة بن عمر بنت شيبة : امير الحاج وهما محرمان

سمعت عثمان بن عفان : واردت ان تخضر فانكر ذلك ابان وقال, ن جبيرب .ال ينكح المحرم وال ينكح: قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم: يقول

Artinya: “Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: Malik memberitakan kepada

kami dari Nafi dari Nabih ibn Wahab Saudara Bani Abdiddar, ia memberitakan kepadanya bahwa Umar ibn Ubaidillah mengirimkan utusan kepada Aban ibn Utsman dan Aban itu sebagai Amirul haji

68 Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Mukhtashar al-Muzani, Beirut: Dar al-Kutub al-

Ilmiyyah, t.th., hlm. 75.

Page 28: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

59

kedua orang itu sedang ihram. Sesungguhnya saya ingin menikahkan Thalhah ibn Umar dengan anak perempuan Syaibah ibn Jubair dan saya ingin mendatangkan perempuan itu. Aban mengingkari hal itu dan berkata: Saya mendengar Utsman ibn Affan berkata: “Rasulullah saw. bersabda: orang yang ihram itu tidak boleh menikah dan tidak boleh menikahkan”.69

Kemudian dalam halaman yang sama, Imam Syafi’i berpendapat

sebagai berikut:

ال ينكح المحرم وال ينكح وال : ان ابن عمر آان يقول, اخبرنا مالك عن نافع: قال الشافعى 70.طب على نفسه وال على غيرهيخ

Artinya: “Asy-Syafi’i berkata: Malik memberitakan kepada kami dari Nafi bahwa Ibnu Umar berkata: “Orang yang berihram itu tidak nikah, tidak menikahkan, tidak meminang untuk dirinya dan tidak pula untuk orang lain.”

Pendapat Imam Syafi’i tersebut di atas, juga didukung oleh Imam

Malik dalam kitabnya Al-Muwatha, dia mengungkapkan bahwa: Yahya

menyampaikan kepadaku bahwa ia mendengar Said Ibn al-Musayyab, Salim

ibn Abdullah dan Sulaiman Ibn Yasar ditanya tentang apakah seseornag yang

sedang ihram dapat menikah, dan mereka berkata: “Seseorang yang sedang

berihram tidak boleh menikah atau menikahkan seseorang”.71

Sementara Imam Ja’far ash-Shadiq juga menerangkan bahwa: Kalau

orang yang ihram mengadakan (melakukan) akad nikah dan dia tahu bahwa

perbuatan itu diharamkan, maka perempuan itu haram bagi lelaki yang ihram

itu selama-selamanya dengan semata-mata akad nikah, sekalipun belum

69 Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Al-Umm, Juz 5, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.,

hlm. 260. 70 Ibid. 71 Imam Malik, Al-Muwatha, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 346.

Page 29: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/27/jtptiain-gdl-s1... · PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PERNIKAHAN ... Kodifikasi

60

menyetubuhinya. Tapi kalau tidak tahu bahwa hal itu haram, maka perempuan

itu tidak haram baginya, sekalipun sudah disetubuhinya.72

Dari keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa seorang

yang sedang ihram (muhrim) tidak diperbolehkan untuk melakukan nikah,

menikahkan maupun melamar (mengkhitbah) baik itu untuk dirinya sendiri

maupun untuk orang lain.

Demikianlah pendapat Imam Syafi’i dalam kitab al-Ummnya yang

mengungkapkan bahwa seorang muhrim tidak diperbolehkan untuk

melakukan nikah, menikahkan maupun melamar, baik untuk dirinya sendiri

maupun untuk orang lain yang juga didukung oleh para ulama yang lain yang

menjadi controversial dengan Imam Abu Hanifah dalam masalah pernikahan

pada waktu ihram, di mana dia membolehkan nikah pada waktu ihram.

72 Muhammad Jawad Mughniyah, “Al-Fiqh ‘ala al-Madzhahib al-Khamsah”, Terj.

Masykur A.B., et’al, Fiqih Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama, cet ke-5, hlm. 235.