web view... hanya imam al-syafi’i yang menjelaskan bahwa hadis yang ... keduanya hidup dalam...
TRANSCRIPT
INDIKASI MAYOR MINOR KE-SAHIH-AN SANAD DAN MATAN HADIS
A. Pendahuluan
Hadis adalah sumber ajaran islam yang kedua setelah Al-qur’an, namun
untuk menjadikannya sebagai sumber, atau dasar pengamalan, perlu di
klarifikasi terlebih dahulu mana hadis yang bisa kita amalkan dan mana yang
tidak bisa kita jadikan sebagai hujjah. Secara historis saja hadis itu sudah
mengalami kodifikasi, atau perbaikan di sebabkan banyaknya hadis-hadis yang
muncul bukan dari perkataan, perbuatan, taqrir Rasulullah, akan tetapi hadis itu
dibuat dan dimunculkan dengan berbagai kepentingan, maka inilah yang
dinamakan hadis palsu atau hadis maudu’, hadis ini tak obahnya seperti hadis
sahih, sangat sulit membedakannya terkecuali orang-orang yang memang fasih
dan ahli dalam hadis.
Hadis yang dapat kita perpegangi, yang menjadi dasar pengamalan, atau
sumber dan hujjah yang memang di terima adalah hadis sahih. Mengukur ke-
sahih-an hadis hanya terletek pada dua aspek yang pertama, aspek sanad dan
yang kedua aspek matan. Dalam hal ini saya akan mencoba menjelaskan
spesifik mungkin tentang hadis sahih, bagaimana syarat-syarat dikatakan hadis
sahih, bagaiman indikasi mayor dan minor kesahehan sanad dan ke-sahih-an
matannya.
B. Pengertian Sanad
Kata sanad al-sanad berasal dari kata sanada, yusnadu, sanadan, secara
bahasa berarti mu’tamad (sandaran, tempat bersandar, tempat berpegang, yang
dipercaya, yang sah). Di katakan demikian karena hadis itu bersandar
kepadanya dan dipegangi atas kebenaran.1Sanad juga disebut dengan thariq,
yang artinya jalan, yaitu jalan yang dapat menghubungkan matnul hadis
kepada junjungan Nabi SAW2
1 Usman sya’roni, Otentsitas Hadis Menurut Ahli Hadis Dan Sufi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002),h.9
2 Fatchur Rahman, Mustalahul Hadis (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), h.24.
1
Pengertian lain bahwa sanad menurut bahasa adalah al-mu’tamadu yang
artinya sesuatu yang di jadikan pegangan, kenapa dinamakan demikian karena
matan disandarkan kepadanya dan berpegang padanya.3
Sedangkan pendapat al-Badr ibn al-Jamaah dan al-Tibby keduanya
berpandapat bahwa sanad adalah pemberitaan tentang munculnya matan hadis.
Sedangkan ulama lain memberikan pengertian yang berbeda yaitu silsilah atau
rentetan para periwayat yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama.4
Dari berbagai pengertian di atas dapat pemakalah simpulkan bahwa
sanad ialah suatu mata rantai penghubung matan hadis hingga ke Nabi
Muhammad SAW.
C. Pengertian Matan
Menurut bahasa, kata matan berasal dari bahasa Arab matnun artinya
punggung jalan (muka jalan), tanah yang tinggi dan keras. Matan menurut ilmu
hadis adalah penghujung sanad, yakni sabda Nabi Muhammad SAW., yang
disebut sesudah habis disebutkan sanad. Matan hadis terbagi tiga, yaitu
ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW.,5
Pendapat lain bahwa dari segi bahasa adalah punggung jalan atau
gundukan, bisa juga bermakan isi dan matan. Dan adapun secara terminologi
adalah akhir dari rentetan perawi dalam sebuah sanad.6
Terkait dalam beberapa pengertian diatas pemakalah dapat simpulkan
bahwa matan adalah teks atau redaksi hadis yang telah di riwayatkan oleh para
perawi mulai dari Nabi Muhammad SAW., sampai kepada periwayat terakhir.
D. Indikasi mayor dan minor ke-sahih-an sanad
1. Indikasi Mayor
Pada awalnya ulama hadis sampai abad ke-3 (tiga) masih belum jelas
memaparkan hadis sahih dengan defenisi, hanya Imam Al-Syafi’I yang
menjelaskan bahwa hadis yang dapat di jadikan hujjah (dalil), hadis ahad 3 Mahmud Al Thohhan, Dasar-Dsar Ilmu Takhrij Dan Studi Sanad (Semarang: Toha
Putra, 1995), h.141.4 Suryadi & Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis (Yokyakarta:
Teras,2009), h. 18.5 Bustamin. Dkk Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 59.6 Zeid B. Smeer, Ulmul Hadis Pengantar Studi hadis Praktis (Malang: UIN Press, 2008), h.
59.
2
tidak akan di terima menjadi hujjah terkecuali memenuhi dua syarat.
Pertama, hadis tersebut di riwayatkan oleh orang yang tsiqah (adil dan
dhabit) kedua, rangkaian sanad-nya bersambung dengan Nabi Muhammaad
Saw, atau dapat juga tidak sampai.7
Penelitian sanad yang dilakukan ulama terdahulu dengan berbagai
kaedah bertujuan untuk mengetahui kualitas suatu hadis apakah hadis
tersebut diterima (maqbul) atau ditolak (mardud).8 Hadis yang kualitasnya
tidak memenuhi syarat-syatrat tertentu, yang dalam hal ini adalah syarat-
syarat yang diterima (maqbul) nya suatu hadis, maka hadis tersebut tidak
dapat digunakan sebagai hujah.
Pemenuhan syarat itu diperlukan, karena hadis merupakan salah satu
sumber ajaran Islam. Penggunaan hadis yang tidak memenuhi syarat akan
mengakibatkan ajaran Islam tidak sesuai dengan apa yang seharusnya.9
Dengan dilakukannya penelitian sanad, maka akan dapat diketahui apa yang
dinyatakan sebagai Hadis Nabi itu benar-benar dapat dipertanggung
jawabkan ke-sahih-annya berasal dari beliau ataukah tidak.10
Adapun Indikasi Mayor atau tanda-tanda yang paling utama bahwa
sanad dari hadis tersebut di ketahui sahih atau (maqbul) adalah sebagai
berikut:
a. Sanad bersambung
b. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat ‘adil
c. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dabit
d. Sanad hadis itu terhindar dari syuzzuz
e. Sanad hadis terhindar dari ‘illat11
Maksud sanad bersambung ialah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis,
menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu
berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadis tersebut.12
7 Ibid., h. 22.8 Nur al-Din ‘Atay, Manhar al-naqd fi Ulum al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h.5. 9 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara sumber Widya, 2001) h.34310 M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang ,1988), h. 511 Ibid, h.12612 Subhi as-Salih, Ulumul al-Hadis wa Mustalahuhu (Beirut: Dar al-Ilmi al-
Malayin,1977), h.45. Lihat Fathur Rahman,Ikhtisar Musthalahul Hadis , Bandung: al-
3
Adapun indikasi atau tanda-tanda yang telah pemakalah sebutkan
diatas, adalah tanda-tanda secara garis besar atau indikasi mayor, untuk
lebih jelas pemakalah akan menjelaskan labih rinci atau lebih sefesifik pada
pembahasan yang selanjutnya bagaimana yang di sebut dengan sanadnya
bersambung, dhabith atau kualitas intelektualnya, bagaimana yang disebut
dengan rawi yang adil, terhindar dari syadz dan juga illat,
2. Indikasi Minor
Indikasi minor adalah lawan dari indikasi mayor yang telah pemakalah
sebutkan di atas, bararti indikasi minor adalah tanda-tanda secara garis kecil,
atau bisa juga dikatakan sebagai penjelasan indikasi minor tersebut,
sehingga akan lebih jelas apa yang di maksud dengan bersambung sanad-
nya, bagaimana seharusnya sifat atau tingkah laku rawi supaya bisa
dikatagorikan rawi yang adil, bagimana ukuran kekuatan intelelaktual pe-
rawi atau ke-dhabit-annya sehingga hadis yang diriwayatkanya biasa
dikatagorikan dengan hadis yang sahih dan bukan hadis hasan, dan
bagaimana yang di maksudkan bahwa sanad hadis tersebut terhindar dari
syadz dan illat.
Maka untuk menjelaskan itu kita tidak terlepas dari standar ke-sahih-an
sanad yang telah di tetapkan di atas walaupun hanya secara garis besar,
syarat-syarat di atas telah disepakati para ulama hadis walaupun redaksi
berbeda, adapun indikasi minornya sebagai berikut:
a. Aspek kebersambungan sanad
Tidak selalu terdapat keseragaman pendapat mengenai konsep
kebersambuingan sanad ini. Untuk menunjuk polemik tersebut, misalnya
dapat di majukan dengan konsep yang di gulirkan oleh al-Bukhori. Ia
berpendapat bahwa sanad di anggap bersambung apabila memenuhi
kriteria berikut:
1) Al-liqa’
Yakni adanya interaksi atau pertemuan langsung antara satu
perawi dengan perawi berikutnya, dengan adanya suatu interaksi
Ma’arif .1974), h.122
4
langsung antara murid dengan gurunya, artinya mendengar atau
menyimak langsung suatu hadis dari gurunya13
2) Al-mu’asharah
Yakni bahwa sanad di anggap bersambung apabila kehidupan
guru dan muridnya terjadi dalam waktu atau kurun yang sama.14
Muslim juga berpendapat dengan hal yang demikian, hanya saja
perbedaan antara al-Bukhori dengan Muslim hanya pada titik
pertemuan langsung antara guru dengan muridnya, al-Bukhori
menetapkan harus adanya pertemuan antara guru dengan murid
walaupun hanya sekali saja. Sedangkan Bagi muslim sebuah sanad di
katakan telah bersambung apabila antara satu dengan perawi
berikutnya memungkinankan mereka bertemu karena keduanya hidup
dalam kurun waktu yang sama sementara letak giografis mereka
tinggal memungkinkan mereka bertemu jika di bandingkan kondisi
saat itu. Dengan demikian, berarti Muslim hanya menekankan
kebersambungan sanad itu pada aspek al-mu’asharah semata. 15
Jika dilihat perbedaan yang dipatok oleh Bukhari dan Muslim
sebagai mana di atas, dapat di katakan bahwa kriteria al-Bukhari yang
layak menduduki peringkat pertama. Dengan mengacu kepada
kebersambungan sanad yang demikian inilah posisi al-Bukhori
menduduki peringkat pertama di bandingkan dengan kitab hadist
karya Muslim maupun kitab-kitab hadist lainnya, bahkan jumhur
ulama juga sepakat menjadikan sahih al-Bukhari sebagai hadis kitab
pertama.16
Dalam periwayatan hadis terdapat dua kegiatan yakni kegiatan
menerima hadis dan kegiatan menyampaikan hadis, dalam kegiatan
menerima hadis menurut al-Qadhi `Iyadh dan Ibn al-Shalah keduanya
13 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN Press, 2010), h. 11214 Ibid.,15 Bustamin, Metodologi Kritik Hadis. h. 23.16 Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis (Malang: UIN Press,
2010), h. 46.
5
berpendapat bahwa seseorang dapat dipandang layak menerima hadis
setelah umurnya mencapai lima tahun17
Akan tetapi Umi Sumbulah lebih memperluas bahwa seorang
yang dapat menerima hadis tidak hanya mengacu kepada batas bawah
umurnya, namun juga mengacu keakuratan kesetiaan hafalannya,
artinya walaupun seseorang itu sudah memenuhi kriteria umur yakni
umur lima tahun belum sepenuhnya dapat diterima tanpa
memperhatikan keakuratan dan kesetiaan hafalannya. Disamping
menyangkut aspek biologis (umur) ternyata para ulama juga tidak
mensyaratkan bahwa seseorang layak menerima hadis harus beragama
Islam, akan tatapi ketika mentransformasikan hadis tersebut atau
mu’addi dia harus berstatus sebagai muslim.18
Argumentasi yang di formulasikan para ulama di atas terkesan
mempermudah periwayatan hadis akan tetepi semua yang mereka
lakukan dengan penuh pertimbangan antara lain:
1. Para ulama mempertimbangkan adanya kekhawatiran akan hilang
dan tidak terkumpulkan sejumlah hadis Rasulullah, karena hadis itu
tidak semua di dengar oleh sahabat yang memeluk agama islam
atau mereka yang telah mencapai usia baligh.
2. Meskipun transformasi hadis tidak mensyaratkan harus baligh dan
muslim, akan tetapi ketika proses al-ada kedua syarat tersebut
harus terpenuhi sehingga kekhawatiran manipulasi dan kesalahan
periwayatan akan di tepis dengan persyaratan baligh dan muslim.19
Dalam mentrasformasikan atau menyebarkan dan menyampaikan
hadis, ada beberapa metode yang biasa dilakukan seseorang dalam
menerima hadis baik di masa sahabat hingga masa-masa berikutnya hingga
kodifikasi hadis itu sendiri, yang kebanyakan para ulama telah
menyepakatinya, dan adapun delapan metode tersebut adalah:
1) Al-sima`,
17 Sumbulah, Kajian Kritis . h.65.18 Ibid., h. 65-66.19 Sumbulah, Kritik Hadis . h. 50.
6
Metode al-sima` ini adalah metode yang dilakukan dengan cara
mentrasformasikan hadis dengan cara seorang murid mendengarkan
bacaan atau kata-kata dari gurunya, dan metode ini terbagi dua yakni
dengan cara pendiktean guru atas muridnya berdasarkan hafalan, dan
yang kedua pendiktean dengan cara tulisan. Namun para ulama tidak
membedakan diantara keduanya baik bobot dan akurasinya bahkan
mereka menyamakannya, dan metode ini yang memiliki bobot akurasi
tertinggi dari metode-metode yang lainnya menurut jumhur ulama.20
Sighat atau lafadz yang di gunakan dalam periwayatan hadis
dengan metode al-sima yang disepakati penggunaannya adalah:
a) Akhbarani dan akhbaranaa اخبرنا اخبرنيb) Haddatsani dan haddatsanaa حدثنا حدثني
c) Sami’tu dan sami’naa سمعنا سمعت
Sedangkan lambang atau sighat yang tidak di sepakati dalam
periwayatan hadis dengan menggunakan metode al-sima’ adalah: qala
lana ( لنا 21.(ذكرلنا) dan dzakara lana (قال
2) Al-qira`ah,
Metode al-qira`ah ada persamaan dan perbedaan dengan metode
al-sima`, metode al-qira`ah adalah yang dilakukan dengan cara seorang
murid membacakan tulisan atau hafalan kepada gurunya, baik ia sendiri
yang membacanya atau orang lain yang membacanya, sedangkan ia
mendengarkannya.22
Terdapat beberapa perbedaan pendapat tentang tentang bobot dan
akurasi metode al-qira`ah antara lain:
a) Pendapat Abu Hanifah, Ibn Abi Dzi’b dan lain-lain mengatakan
bahwa membacakan hadis terhadap guru lebih tinggi akurasinya
dibandingkan mendengarkan bacaan dari guru,
b) Pendapat ulama Hijaz, ulama Kufah, Imam Malik dan sahabat-
sahabat serta guru-gurunya dari ulama madinah, al-Bukhari dan lain-
20 Sumbulah, Kajian Kritis. h. 67.21 Ibid.,h, 68.22 Sumbulah, Kritik Hadis. h. 51-52.
7
lain berpendapat cendrung menyamakan bobot akurasi metode al-
qira`ah ini dengan metode al-sima`.
c) Pendapat Jumhur ulama, mereka berpendapat bahwa metode al-
sima` lebih tinggi bobot akurasinya dengan metode al-qira`ah dan
mereka memposisikan metode al-qira`ah ini dalam posisi kedua
setelah metode al-sima.23
Sighat yang di gunakan dalam periwayatan hadis dengan metode
al-qira`ah yang disepakati penggunaannya adalah:
a) qara`tu ‘alaihi عليه قرأت
b) quri`at ‘alahi عليه قرأت
c) haddatsanaa ‘alaihi عليه حدثنا
d) akhbaranaa ‘alaihi عليه أخبرناcontoh Shighat / Lapadz:
بير قال ه بن الز حدثنا الحميدي عبد الل حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد األنصاري قال أخبرني محمد بن إبراهيميثي ه سمع علقمة بن وقاص الل يمي أن الت
ه يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي اللعنه على المنبر
ه عليه ه صلى الل قال سمعت رسول اللما لكل ات وإن ي ما األعمال بالن م يقول إن وسل
امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما
هاجر إليهsedangkan lafadz atau sighat yang tidak disepakati
penggunaannya dalam metode al-qira`ah adalah: sami’tu, haddatsana,
akhbarana, qala lana dan dzakara lana.24
3) Al-ijazah
23 Ibid.,24 Sumbulah, Kajian Kritis. h. 70.
8
Al-ijazah adalah metode yang penyebaranya dilakukan dengan cara
seorang guru mengijinkan muridnya untuk menyebarkan, mengajarkan
atau mentrasformasikan hadis baik melalui lafadz (bacaan) maupun
dengan tulisan. Misalkan dengan ungkapan “ aku ijinkan kamu
meriwayatkan sahih al- Bukhari.25
Metode al-ijazah terdapat beberapa model, enam yang di tawarkan
oleh Qodhi’Iyadh, dan kemudian Ibn al-Shalah menggenapkan menjadi
tujuh, berikut ini klasifikasinya:
a) Pengijazahan yang dilakukan seorang guru kepada seseorang atau
beberapa orang-orang tertentu dari beberapa muridnya
b) Pengijazahan yang dilakukan seorang guru terhadap murid tertentu,
namun hadis dan kitab yang diijazahkan itu tidak tertentu (tidak
jelas)
c) Pengijazahan yang dilakukan seorang guru terhadap atau ditujukan
kepada kalangan umum (tidak tertentu)
d) Pengijazahan yang dilakukan seorang guru terhadap atau kepada
orang yang majhul dengan hadis yang majhul pula
e) Pengijazahan yang dilakukan seorang terhadap atau ditujukan
kepada seseorang yang belum ada, seperti pengijazahan kepada anak
yang belum lahir
f) Pengijazahan yang dilakukan seorang guru terhadap muridnya,
namun yang diijazahkan tersebut adalah hadis yang belum pernah
didengar
g) Pengijazahan yang dilakukan seorang guru terhadap muridnya
dengan ungkapan secara majazi,26
Sighat yang di sepakati penggunaannya dalam metode al-ijazah
adalah:
a) Ajazanaاجزنا b) Ajazali اجزلي c) Anbaani ijazah اجازة انبئني
25 Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis. h.70.26 Sumbulah, Kritik Hadis. h. 54-55.
9
Adapun sighat yang tidak disepakati penggunaannya dalam metode
al-ijazah adalah: Haddatsana, Akhbarana, Qala lana, Dzakara lana,
Anbaani disingkat menjadi abani dan Anbaana disingkat menjadi anba
dan abna27
4) Al-munawalah
Metode ini adalah metode periwayatan hadis yang dilakukan
dengan cara seorang guru menyerahkan kitab atau lembaran catatan
hadis kepada muridnya agar diriwayatkan dengan sanad-nya (guru
tersebut), metode al-munawalah terbagi dua model antara lain:
a) Al-munawalah yang disertai dengan al-ijazah
b) Al-munawalah yang tidak disertai dengan al-ijazah28
Dalam hal ini para ulama lebih menerima model Al-munawalah,
yang disertai al-ijazah. Dan cendrung melarang Al-munawalah tanpa
al-ijazah. Dan adapu sighat yang di gunakan dalam metode ini adalah:
a) Anba`ana dan anba`ani
b) Nawalni dan nawalna29
5) Al-mukatabah/ Al-Kitabah
Metode al-mukatabah adalah metode periwayatan hadis yang
dilakukan dengan cara seorang guru menuliskan hadisnya yang
didengarnya dan kemudian diberikan kepada muridnya, baik yang hadir
maupun yang tidak hadir. Meode ini mempunyai dua model antara lain:
a) Metode menuliskan hadis yang kemudian dibarengi dengan ijazah
agar hadis tersebut diriwayatkan oleh murid yang dituliskan tersebut
contohnya: اجزتك اليك او لك ماكبتت
b) Metode menuliskan hadis namun tidak di barengi dengan ijazah
contoh lafadz-nya: اوجزت وال لك وارسل االحاديث بعض لك اكتب انا برايتها
Sighat yang di pakai dalam periwayatan hadis dengan
menggunakan metode al- mukatabah adalah sebagai berikut:
27 Sumbulah, Kajian Kritis. h. 72.28 Ibid.,29 Ibid., h. 73.
10
a) Kataba ila pulanun ن فال الى كتب
b) Akhbarani pulanun kitabihi كتابه فالن 30 اخبرنا
6) Al-i`lam
Al-i`lam diformulasikan oleh ulama hadis sebagai sebuah cara
penyebarn hadis yang ditempuh dengan cara seorang guru
mengumumkan atau memberitahukan kepada muridnya bahwa ia telah
mendengar suatu hadis atau kitab hadis, namun tidak ada upaya atau
ungkapan dari seorang guru untuk diriwayatkan oleh muridnya, ulama
berbeda pendapat dengan metode ini, pendapat pertama yang di wakili
Ibn Shalah mengatakan bahwa periwayatan melalui metode ini tidak
dibenarkan, pendapat yang kedua justru menerima periwayatan hadis
melalui metode ini. Dan adapun sighat yang di pakai dalam metode ini
adalah: a’lamani pulanun qala haddatsana31
7) Al-washiyyah
Al-washiyyah adalah suatu bentuk periwayatan hadis yang
dilakukan dengan cara seorang guru berwasiat kepada seseorang ketika
ia meninggal atau sedang bepergian, agar hadis atau kitab hadis yang
diriwayatkan itu diserahkan kepada muridnya dengan lafadz yaitu:32
وصية فالن حدثنى بكذا فالن الى اوصى8) Al-wijadah
Al-wijadah adalah suatu bentuk periwayatan hadis yang dilakukan
dengan cara seorang murid menemukan tulisan hadis yang diriwayatkan
oleh gurunya, mengenai bobot dan akurasinya kebanyakan para ulama
berpendapat bahwa periwayatan dengan metode ini tidak
diperbolehkan, dengan lafadz: فالن بخط فالن dan قرأت بخط وجدت
Dari beberapa metode yang disebutkan di atas bahwa maka akan
muncul sighat, lafadz, atau redaksi yang bermacam-macam dalam
menyampaikan dan menerima hadis, maka dalam hal ini ulama masih
berbeda pendapat tentang mana yang lebih tinggi bobot akurasinya. Akan
30 sya’roni. Otentsitas Hadis. h. 30-31.31 Suryadi, Metodologi Penelitian Hadis.h. 71.32 Sumbulah, Kritik Hadis. h. 59.
11
tetapi semua redaksi itu dapat di rangkum menjadi dua kelompok antara
lain:
1) Shighat jazm/mabni maf’ul yaitu lafadz-lafadz yang menggunakan
redaksi langsung antara lain: sami’tu, sami’na, haddatsana, qala li,
akhbarani dan anba’ana.
2) Shighat tamrid/ mabni majhul yaitu lafadz-lafadz yang menunjukkan
kemungkinan mendeengar sendiri dan mungkin juga tidak.33
b. Periwayat bersifat adil
Istilah `adalah (adil) secara etiomologi adalah pertengahan, lurus,
condong kepada kebenaran. Dan adapun secara terminologi ulama hadis
mempunyai rumusan yang berbeda-beda di antaranya adalah rumusan al-
Hakim dan al-Naisaburi bahwa perawi yang adil itu adalah perawi yang
tidak berbuat bid’ah dan maksiyat yang menghancurkan moralitasnya.
Berbeda dengan Ibn Shalah yang menambahkan pendapat di atas, yakni
muslim, baligh, berakal, dan tidak berbuat fasiq. M. Syakir menambahkan
satu unsur lagi yaitu dapat dipercaya.34
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perawi yang
adil itu harus muslim, baligh, berakal, memelihara muru’ah, tidak dapat
berbuat bid’ah tidak berbuat maksiat dan dapat dipercaya beritanya.
Namun masih banyak kriteria lain jika disebutkan akan terkumpul menjadi
15 poin, namun kesemuanya itu di simpulkan menjadi empat poin, yakni:
muslim, mukallaf, melaksankan ketentuan agama, dan senantiasa
memelihara citra diri (muru’ah).35
Ke-adil-an seorang rawi, menurut Syuhudi Ismail, harus
memenuhi syarat :
1) beragama Islam
dimana seorang periwayat hadis ketika ia mengajarkan hadis
tersebut sudah dalam keadaan Islam, karena kedudukan kedudukan
33 sya’roni. Otentsitas Hadis. h. 32-33.34 Sumbulah, Kajian Kritis. h.115.35 Sumbulah, Kritik Hadis. h. 64.
12
periwayat hadis sangat mulia, akan tetapi berbeda dengan yang
menerima hadis tidak disyaratkan beragama islam.36
2) Mukallaf
Seoarang pe-rawi juga harus mukallaf, karena persyaratan ini sudah
jelas tertera didalam hadis Nabi bahwa orang gila, orang lupa, dan
anak-anak terlepas dari tanggung jawab.37
3) Melaksanakan ketentuan Agama, yakni teguh dalam melaksanakan
adab-adab syara’
4) Memelihara muru’ah.
Muru’ah merupakan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Fathur Rahman mengutip pendapat yang dikemukakan oleh al-Radi,
‘menjaga muru’ah adalah: tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu
bertaqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan-kebiasaan
melakukan dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah
yang menodai muru’ah.38
Ada beberapa cara yang dipedomani ulama hadis, untuk
menetapkan periwayat yang bersifat adil yaitu : Pertama, popularitas
keutamaan periwayat dikalangan ulama hadis. Kedua, penilaian dari
para kritikus periwayat hadis, yang berisi pengungkapan kelebihan dan
kekurangan yang ada pada diri periwayat hadis, Ketiga, penetapan
kaedah al-jarh wa al-ta’dil, yang dipakai ketika para kritikus periwayat
hadis, tidak sepakat dalam menilai pribadi periwayat tertentu.39
Ada beberapa cara menetapkan ke-adil-an periwayat hadis yang
disebutka para ulama, yaitu:
1. Popularitas
Kenapa popularitas menjadi pilihan utama dan menempati posisi
pertama dalam menetapkan keadilan para perawi hadis di sebabkan
karena popularitas di kalangan ulama hadis, itu membuat citra dia
36Bustamin, Metodologi. h.43.37 Ibid,.38 Rahman,Ikhtisar Mustalahul, h. 120. Lihat Ajjaj ,Usul al-Hadis, h. 30539 Syuhudi, Kaedah. h. 134
13
sangat tidak di ragukan lagi dan ia tidak mungkin berbohong dengan
popularitasnya.
2. Penilaian terhadap kritikus hadis
3. Penerapan kaedah al-jarh wa al-ta’dil.40
c. Periwayat bersifat dabit
kata dhabith berasal dari kata dhabatha, yadhbithu, dhabthan, secara
bahasa berarti yang kuat, yang kokoh, yang tepat dan sempurna
hafalannya, maka dapat disimpulkan bahwa ungkapan rawi yang dhabit
berarti rawi yang cermat dan rawi yang kuat hafalannya.41
Aspek intelektualitas atau daya berfikir dan mengingat (dhabit) yang
bukan hal yang asing dalam hadist dipahami dalam kapasitas kecerdasan
perawi hadist. Istilah dhabit ini secara etiomologi memiliki arti menjaga
sesuatu. Aspek tersebut merupakan salah satu dari sekian persyaratan asasi
yang tidak dapat di tawar dan yang harus ada pada seorang perawi hadist,
untuk bisa diterima riwayat hadis yang disampaikannya.42
Periwayat yang bersifat dhabit adalah periwayat yang hafal dengan
baik riwayat yang telah didengarnya, dan mampu menyampaikan riwayat
yang telah dihafalnya itu tanpa penambahan dan pengurangan.43
Dalam pengertian terminologi ilmu hadist, kita akan menjumpai dan
menemukan berbagai rumusan defenisi dhabit yang ditawarkan para
ulama. Diantaranya di kemukakan oleh al-Sarkhasi bahwa dhabit dapat
dipahami sebagai tingkat kemampuan dan kesempurnaan intelektualitas
seseorang dalam menerima hadist, mampu memahami secara mendalam
makna yang dikandungnya, menjaga dan menghafalnya sebaik mungkin
hingga pada waktu penyebaran dan periwayatan hadist yang didengarnya
tersebut kepada orang lain, yakni hingga proses penyampaian hadist
tersebut kepada orang lain (ada’al hadith).44
40 Sumbulah, Kajian Kritis. h.116.41 sya’roni, Otentsitas.h. 3642 Sumbulah, Kritik Hadis. h. 64-6543 Syuhudi, Kaedah, h.135-13644 Sumbulah, Kritik Hadis. h. 65.
14
Artinya adanya keistiqomahan dan konsistensi seorang perawi mulai
dari proses penerimaan hadis hingga sampai penyebarannya tanpa ada
sesuatu yang ditambahi dan dikurangi, walupun tidak harus secara
redaksional akan tetapi secara lisan masih dapat diterima, dan tidak ada
pembedaan di antar keduanya.45
“Ajjaj al-Khatib menyajikan formulasi dhabit ini sebagai intensitas intelektual seorang rawi tatkala menerima sebuah hadist dan memahaminya sebagai mana yang didenganya, selalu menjaganya hingga saat periwayatannya, yakni hafal dengan sempurna jika ia meriwayatkannya berdasarkan hafalannya, faham dengan baik makna yang dikandungnya, hafal benar-benar dengan tulisannya, dan faham betul akan kemungkinan adanya perubahan (tahrif), penggantian (tabdil) maupun pengurangan (tanqis) jika ia meriwayatkan hadis tersebut berdasarkan tulisannya. Dengan model penggetatan periwayatan hadist semacam ini, maka kan dapat menjaganya dari terjadinya lupa dan kesalahan.”46
Aspek dhabit tersebut memeiliki baberapa unsur, jika kita berpegang
teguh dan berpandangan terhadap dua defenisi di atas, adapun unsur-
unsur tersebut adalah: pendengaran. Pemahaman, penjagaan dan
penyampaian secara sempurna.47
Terdapat beberapa metode yang digunakan oleh para ulama untuk
mengetahui ke-dhabit-an seorang pe-rawi, Ibn al-Shalah mengatakan
bahwa ke-dhabit-an seorang pe-rawi hadis dapat diketahui dengan cara
mengkomparasikannya dengan riwayat hadis dari sejumlah pe-rawi yang
tsiqah yang telah terkenal dengan ke-dhabit-annya, jika riwayat seorang
pe-rawi memiliki kesesuaian dengan riwayat sejumlah pe-rawi lain
meski secara makna, maka riwayatnya dapat dijadikan sebagai dalil
keagamaan, namun bila menyalahi , maka hal itu dapat dijadikan indikasi
bahwa seorang pe-rawi tersebut tidak dhabit.48
Mengenai hal ini, Shuhudi Ismail mengajukan pendapatnya bahwa
ke-dhabit-an seorang pe-rawi dapat diketahui melalui beberapa jalan
antara lain:
45 Sumbulah, Kajian Kritis. h. 117.46 Sumbulah, Kritik Hadis. h.65-66.47 Ibid.,h. 6648 Sumbulah, Kritik Hadis. h.119.
15
1. Kesaksian para ulama dan popularitasnya di mata para muhadditsun
2. Kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh pe-
rawi lain yang telah dikenal dengan ke-dhabit-annya, kesesuian
tersebut boleh jadi hanya secara maknawi, atau mungkin secara
redaksional
3. Apabila seorang pe-rawi sesekali mengalami kekeliruan, maka status
dhabit masih layak dipakaikan padanya, namun apabila kekeliruan
tersebut sering terjadi, maka status dhabit yang di sandangnya akan
hilang atau tanggal dengan sendirinya.49
Para ulama hadis membagi periwayat yang bersifat dhabit ini
kepada dua macam, yaitu:
a) Pertama, dhabit sadri , yakni terpeliharanya hadis yang diterimanya
dalam hafalan, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan
kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan
di mana saja diperlukan dan dikehendaki, dan mampu
meriwayatkannya dengan sempurna.50
b) Kedua, dhabit kitab yaitu terpeliharanya periwayatan melalui tulisan
yang dimilikinya dengan mengingat betul hadis yang ditulis,
menjaga dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain
dengan benar.51
d. Terhindar dari Syadz
Bahwa penelitan syadz dan illat baik dari aspek sanad dan matan
hadis kebanyakan atau mayoritas ulama berpendapat lebih sulit bila di
dibandingkan dengan penelitian terhadap ke-adil-an dan ke-dhabit -an
pe-rawi, serta kebersambungan sanad.52
Akan tetapi, para ulama muhadditsin juga mengakui bahwa
penelitian illat lebih sulit bila di bandingkan penelitian terhadap aspek
syadz. Hal ini disebabkan ketiadaan buku yang di siapkan oleh para
49 Ibid.,50 Sya’roni, Otentsitas Hadis. h. 37.51 Ibid., h. 36-37.52 Sumbulah, Kritik Hadis. h.69.
16
ulama khusus membahas aspek tersebut dalam bentuk sebuah kitab.
Begitu juga dengan illat. Dengan berbagai alasan tersebut, akhirnya
mereka membuat kesesepakatan bahwa untuk mengetahui aspek syadz
dan juga aspek illat dalam hadist, sangat dibutuhkan pengetahuan yang
luas, mendalam dan telah sering dan terbiasa melakukan penelitian
hadist.53
Dalam terminologi ilmu Hadist, terdapat tiga pendapat tentang
depenisi syadz, yakni:54
“Pertama: Pendapat al-Syafi’I ia berpendapat bahwa hadist baru dinyatakan syadz bila hadist yang diriwayatkan seorang pe-rawi thiqah bertentangan dengan hadist yang diriwayatka oleh sejumlah pe-rawi yang juga thiqah. Dengan demikian, hadist syadz itu tidaklah disebabkan oleh kesendirian individu pe-rawi dalam sanad hadist (fard mutlaq), dan juga tidak disebabkan pe-rawi yang thiqah ““Kedua: Pendapat yang dikemukakan oleh al-Hafidz Abu Ya’la al-Khalili. Ia mengatakan bahwa sebuah hadist diyatakan mengandung syadz apabila memiliki satu jalur saja, baik hadist tersebut di riwayatkan oleh pe-rawi yang thiqah maupun yang tidak, baik bertentangan atau tidak. Hadist syadz menurut al-Khalili sama dengan hadist yang berstatus fard mutlaq. Alasan yang di ungkupkan al-Khalili adalah hadist yang berstatus fard mutlaq itu tidak memiliki syahid, yang memunculkan kesan bahwa perawinya syadz, bahkan matruk.”“Ketiga: Pendapat yang di kemukan oleh al-Naisaburi bahwa hadis diklaim syadz apabila hadis tersebut diriwayatkan oleh seorang pe-rawi yang tsiqah namun tidak terdapat pe-rawi tsiqah lainya yang juga meriwayatkan hadis tersebut, dengan demikian, kerancuan (syadz) sebuah sanad hadis disebabkan oleh ketidak-tsiqah-an seorang pe-rawi hadis”Dari tiga pendapat di atas maka yang paling banyak di anut dan di
ikuti para ulama muhadditsin adalah pendapat Pendapat al-Syafi’I ia
berpendapat bahwa hadist baru dinyatakan syadz bila hadist yang
diriwayatkan seorang perawi thiqah bertentangan dengan hadist yang
diriwayatka oleh sejumlah pe-rawi yang juga thiqah.55 Penulis dapat
menyimpulkan bahwa Ke-syazz-an suatu hadis itu terletak kepada adanya
53 Ibid.,54 Ibid.,55 Bustamin, Metodologi. h.57.
17
perlawanan antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul
dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih (kuat)
daripadanya, disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau
kelebihan dalam ke-dhabit-an rawi-nya.
M.Syuhudi Ismail, mengatakan ke-syazz-an sanad hadis baru dapat
diketahui setelah diadakan penelitian sebagai berikut: Pertama, semua
sanad yang mengandung matan hadis yang pokok masalahnya sama
dihimpun dan diperbandingkan. Kedua, para periwayat diseluruh sanad
diteliti kualitasnya. Ketiga, apabila seluruh periwayat bersifat tsiqah dan
ternyata ada seorang periwayat yang sanad-nya menyalahi sanad-sanad
lainnya, maka sanad yang menyalahi itu disebut yang syazz sedang yang
lainnya disebut dengan sanad mahfuz.56
e. Terhindar Dari illat.
Secara etiomologi ata secara bahasa illat berarti sakit. Selain itu
ada juga yang mengartikan dengan “sebab dan kesibukan”.57 Dan Illat
menurut istilah ilmu hadis ialah sebab yang tersembunyi yang
merusakkan kualitas hadis, sehingga bisa mengakibatkan tidak-sahih-nya
suatu hadis.58Ibn Shalah mendefenisikan illat sebagai sebab tersembunyi
yang merusak kualitas hadis, karena keberadaannya menyebabkan hadis
yang pada lahirnya berkualitas sahih menjadi tidak sahih lagi.59
“Sedangkan Ibn Taimiyah berpendapat bahwa hadis yang mengandung illat adalah hadis yang sanad-nya secara lahir tampak baik, namun teryata setelah di teliti lebih lanjut, di dalamnya terdapat pe-rawi yang ghalt (banyak melakukan kesalahan), dan sanad-nya mauquf atau mursal, bahkan ada kemungkinan masuknya hadis lain pada hadis tersebut60”Ulama hadis umumnya mengatakan, illat hadis kebanyakan
berbentuk: Pertama, sanad yang tampak muttasil dan marfu’, ternyata
muttasil dan mauquf. Kedua, terjadi percampuran hadis dengan bagian
hadis lain. Ketiga, terjadi kesalahan penyebutan riwayat, karena ada lebih
56 Syuhudi, Kaedah. h. 14457 Sumbulah, Kritik Hadis. h.73.58 Bustamin, Metodologi. h.58.59 Sumbulah, Kritik Hadis. h. 73.60 Ibid.,
18
dari seorang periwayat memiliki kemiripan nama sedang kualitasnya
sama-sama siqat.61
Untuk menjelaskan permasalahan illat al-Suyuthi membuat
klasifikasi sebagai mana yang di kutip Umi Sumbulah antara lain:
1. Sanad tersebut secara lahir tampak sahih, namun ternyata didalamnya
terdapat seorang pe-rawi yang tidak mendengar sendiri dari gurunya
akan hadis yang diriwayatkannya tadi, contohnya hadis dibawah ini:
الاله االانت أستغفرك سبحانك اللهم وبحمدك وأت]]وبإليك االغفرله ما كان في مجلسه ذالك
Al-Bukhari mengomentari hadis tersebut sebagai hadis yang cacat, di
sebabkan Musa ibn ‘Uqbah tidak mendengar sendiri dari dari Suhail,
dengan demikian sanad-nya terputus antara musa dengan suhail.62
2. Sanad hadis tersebut mursal dari seorang rawi yang thiqah dan hafidz,
padahal secara lahir tampak sahih, sebagai contoh hadis di bawah ini:
ارحم ام]]تى اب]]و بك]]ر واش]]دهم فى دين الل]]ه عم]]ر واصدقهم حيأ عثمان واق]]رؤهم ابى بن كعب واعلمهم بالحالل والحرام ومعاذبن حمب]]ل وان لك]]ل ام]]ة امين]]ا
وان امين هذا األمة ابو عبيدة3. Hadis tersebut mahfudh dari sahabat, dimana sahabat ini
meriwayatkan dari pe-rawi yang berlainan negeri, seperti hadis yang
diriwayatkan ulama Madinah dari ulama kufah berikut contoh
hadisnya:
انى ألستغفرالله واتوب اليه فى اليوم مأىة مرةMenurut al-Hakim, jika orang madinah meriwayatkan hadis dari
ulama Kufah, maka hadis tersebut di hukumi terbuang.63
E. Indikasi Mayor dan Minor ke-sahih-an Matan Hadis
61 Syuhudi, Kaedah. h. 14962 Sumbulah, Kritik Hadis. h. 74-7563 Ibid., h. 75
19
1. Indikasi Mayor
Untuk mengetahui indikasi mayor dan indikasi minor ke-sahih-an
matan hadis, para ulama telah melakukan penelitian dan kritik secara
seksama terhadap matan-matan hadis. Sehingga dengan penelitian tersebut
dapat menjadi tolak ukur bagi sebuah matan hadis.64
Namun kriteria ke-sahih-an matan hadis berbeda dalam kalangan
muhadditsin, akan tetapi perbedaan itu muncul dengan berbagai alasan dan
pertimbangan masing-masing muhadditsin. Perbedaan itu muncul di
sebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu, dan persoalan,
serta perbedaan masyarakat yang di hadapinya.65
Walaupun para ulama tidak mengungkapkan secara eksplisit
bagaimana sebenarnya penerapan secara praktis kritik matan, namun
mereka memiliki beberapa garis batas yang diperpegangi sebagai tolak ukur
dan standarisasi. Adapun Indikasi mayor ke-sahih-an matan hadis sebagai
mana yang telah di rumuskan oleh ulama hadis adalah sebagai berikut:
1) Terhindar dari Syadz
2) Terhindar dari Illat.66
Syadz yang ada pada sanad berbeda dengan syadz yang ada pada
matan. Allabi menyatakan bahwa sebuah matan hadis di katakan sahih
antara lain:
1. Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an Karim yang telah muhkam.
Contohnya hadis di bawah ini:
ة إلى سبعة أبناء ن اليدخل الجن ولد الزArtinya: Anak zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan
Maka hadis di atas bertentangan dengan Al-Qur’an Q.S Al-An’am 164,
yaitu:
64 Sumbulah, Kajian Kritis. h.189.65 Bustamin, Metodologi. h. 62.66 Zeid B. Smeer, Ulmul Hadis Pengantar Studi hadis Praktis. h. 31.
20
Artinya: Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. 2. Tidak bertentangan dengan hadis Rasulullah yang memeiliki bobot
akurasi yang tinggi.
3. Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir.
Contoh hadis di bawah ini:
من ولد له ولد فسماه محمدا كان هو ومولودهة فى الجن
Artinya: Barang siapa yang melahirkan seorang anak, kemudian dinamai Muhammad, ia dan anaknya akan masuk surga.Hadis tersebut bertentangan dengan kaedah umum, bahwa mereka yang
masuk surga adalah mereka yang melakukan amalan-amalan saleh, bukan
dengan nama atau gelar.67
4. Tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati ulama masa
lalu.
Contohnya hadis di atas bahwa orang masuk surge bukan karena nama
dan gelar melainkan karena amalan-amalan kita di dunia.
5. Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti.
Contohnya sama hadis yang di atas yang bertentangan dengan dalil yang
sudah pasti.
6. Tidak bertentangan dengan akal sehat.
Contoh hadis di bawah ini:
لت ]]]وح ط]]]افت ب]]]االبيت سبعاوص]]] فينة ن إن س]]]باالمقام ركعتين
Artinta: Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf tujuh kali keliling Ka’bah dan bersembahyang di maqam Ibrahim dua rakaatMaka hadis ini sangat bertentangan dengan akal sehat.68
67 Agus Sholahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 185-186.
68 Sumbulah, Kajian Kritis. h. 189.
21
Berbeda dengan al-Baghdadi yang yang memberikan argumenntasi
atau pendapat bahwa sebuah hadis tidak dikatan sahih bila bertentangan
dengan rasio, ayat al-Qur’an yang telah muhkam, hadis mutawatir, amaliah
ulama salaf yang disepakati, dalil yang di hukum pasti, serta bertentangan
dengan hadis ahad yang bobot akurasinya lebih kuat.69
Tolak ukur yang di formulasikan oleh dua ulama di atas yaitu Allabi
dan al-Baghdadi masih bersifat umum dan masih bisa dan memungkinkan di
interpretasikan. Dan menurut hemat penulis tolak ukur yang di majukan dua
ulama di atas adalah indikasi mayor dari kesahihan matan hadis70
2. Indikasi Minor
Dari beberapa indikasi mayor yang telah di sebutkan diatas, masih
dapat di interpretasikan maupun penjelasan secara spesifik atau yang disebut
dengan indikasi minor adalah:
a) Terhindar dari syadz
Syadz di samping terdapat pada sanad juga terdapat pada matan,
adapun kerancuan dan syadz pada matan adalah adanya pertentangan dan
ketidaksejalanan riwayat seorang perawi yang menyendiri dengan perawi
yang lebih kuat hafalannya dan ingatannya. Adapun pertentangannya
adalah dalam menukil matan hadis, sehingga terjadi penambahan,
pengurangan, perubahan tempat (maqlub) dan bentuk dan kelemahan dan
cacat lainnya.71
Berikut ini penjelasan tentang kerancuan dan syadz dalam matan
dan di sertai dengan hadis sebagai contoh:
1) Sisipan teks hadis (al-idraj fi al-matn)
Al-idraj fi al-matn (mudraj matn) adalah perkataan sebagian
perawi dari kalangan atau masa sahabat atau penerus sesudahnya,
yang mana qaul atau ucapan tersebut kemudian bersambung dengan
69 Sumbulah, Kritik Hadis. h. 102.70 Ibid.,71 Ibid.,
22
matan hadis yang asli. Dimana ucapan atau qaul itu bisa bersambung
di awal, ditengah dan di akhir, berikut ini contoh hadisnya:72
ح]]دثنى أب]]و الطه]]ر احم]]د بن عم]]روبن عب]]د الل]]ه بن عمرو بن سرح أخبرنا ابن وهب ق]]ال أخ]]برنى ي]]ونس عن شهاب ق]]ال ح]]دثنى ع]]روة بن الزب]]ير ان عأىس]]ة زوج النبي)ص( أخبرته أنها قالت ك]]ان أول ماب]]دئ ب]]ه رسول الله )ص( من الوحي الرؤيا الصادقة فى النوم فكان اليرى رؤيا إالج]]ائت مث]]ل فل]]ق الص]]بح ثم حبب اليه الخالء فكان يخلو بغار حراء يتحنث فيه وهوالتعبد الليا لي أوالت الع]]دد قب]]ل أن يرج]]ع الى أهل]]ه. رواه
مسلمDalam hadis di atas terdapat lafadz yang bukan lafadz asli hadis
akan tetapi ucapan sahabat adapun lafadznya adalah (وهوالتعبد)
yang sebenarnya ungkapan dan tafsiran al-Zuhri terhadap lafadz (
(يتحنث maka itu yang menyebabkan terjadinya idradj, dan
merupakan indikasi adanya cacat pada matan.73
2) Pembalikan teks hadis (al-qalb fi al-matn)
Maqlub (fi al-matn) adalah terjadinya pembalikan teks sebuah
hadis, hadis ini dapat di fahami secara definitif sebagai hadis yang
perawinya menggantikan suatu bagian darinya dengan orang lain,
dalam sebuah matan hadis secara sengaja maupun terlupa, beikut
contoh hadisnya:74
حدثنى زهير بن ح]]رب ومحم]]دبن المث]]نى جميع]]ا عن يحيى القطان قال زهير ح]]دثنا يح]]يى بن س]]عيد عبي]]د الله أخ]]برني خ]]بيب بن عب]]د الرحم]]ان عن حفص بن عاصم عن عن أبى هريرة عن النبي )ص( قال س]]بعة يظلهم الله فى ظله يوم ال ظل إال ظله األمام العادل وش]]اب نش]]أ بعب]]ادة الل]]ه ورج]]ل قلب]]ه معل]]ق فى المساجد ورجالن تحابا فى الله اجتمع]]ا علي]]ه وتفرق]]ا عليه ورجل دعته امرأة ذات منصب وجمال فقال إني
72 Ibid., h. 104.73 Ibid., h. 104-105.74 Ibid., h. 105.
23
أخاف الله ورجل تصدق بصدقة فأخفاها ح]]تى ال تعلم يمينه ما تنفق ش]]ماله ورج]]ل ذكرالل]]ه خالي]]ا ففاض]]ت
عيناه. رواه مسلمhadis di atas adalah syadz di sebabkan adanya pembalikan teks yang seharusnya adalah (ال تعلم ش]]ماله م]]ا تنف]]ق يمينه) yang seharusnya member sedekah/ infaq adalah tangan kanan bukan tangan kiri.
3) Memiliki kualitas sama dan tidak bisa di unggulkan salah satunya
(idhtirab fi al-matn)
Mudhtarib hadis adalah hadis yang diriwayatkan dari seorang
perawi atau lebih dengan beberapa teks yang sama kualitasnya,
sehingga di antaranya tidak dapat di unggulkan dan di kompromikan,
walaupun hali ini jarang terjadi pada matan dan sering terjadi pada
sanad, berikut contohnya:75
حدثنا محمد بن عبد ال]]رحيم ح]]دثنا معاوي]]ة بن عم]]رو ح]]]دثنا زائ]]]دة عن األعمش عن مس]]]لم البطين عن سعيد بن جبير عن ابن عباس رضي الل]]ه عنهم]]ا ق]]ال ج]]اء رج]]ل الى الن]]بي )ص( فق]]ال ي]]ا رس]]ول الل]]ه إن أمتي ماتت وعليها صوم شهر أفأقضيه عنها ق]]ال نعم
قال فدين الله أحق أن يقضى. مسلمHadis tersebut magalami idhtirab oleh al-A’masy, ia berpandapat
di dalam hadis tersebut terdapat sekelompok perawi yang
meriwayatkan hadis tersebut dari jalur Ibn Abbas dengan redaksi yang
berbeda yaitu:
عن ابن عب]]اس ق]]الت ام]]رأة للن]]بي ص]]لى الل]]ه علي]]هوسلم إن أختي ماتت عليهاصيام
Namun, di antara sebagian perawinya mentransmisikan hadis
tersebut dari Ibn Abbas dengan redaksi:
عن ابن عب]]اس ق]]الت ام]]رأة للن]]بي ص]]لى الل]]ه علي]]هوسلم إن أمي ماتت وعليها صوم نذر
75 Ibid., h. 106.
24
Dari dua redaksi dapat dipahami bahwa mudhtarib-nya terletak
pada perbedaan dalam ungkapan ukhti dan ummi, sementara kedua
hadis tersebut memiliki kualitas yang sama yang tidak dapat di
unggulkan dan di kompromikan salah satu dari keduanya.76
4) Kesalahan ejaan (al-tashhif wa al-tahrif fi al-matn)
Adapun yang dimaksu dengan tashhif adalah kesalahan yang
terletak pada syakal atau baris. Sedangkan yang dimaksud dengan
tahrif adalah kesalahan yang terletak pada huruf. Walaupun keduanya
tidak terdapat perbedaan yang mencolok, berikut ini contoh tahrif
adalah:77
من صام رمضان وأتبعه شيأمن شوال فكأنما صام الدهركلهSedangkan hadis yang sahih adalah sebagai berikut:
حدثنا أحمد بن منيع حدثنا أبو معاوي]]ة ح]]دثنا س]]عد بن سعيد عن عمر بن ثابت عن أبي أيوب قال قال النبي صلى الله عليه وسلم من صام رمضان ثم أتبع]]ه س]]تا
من شوال فذالك صيام الدهر . الترمذيTahrif yang terjadi pada matan hadis tersebut adalah adanya
perubahan lafadz sittan (ستا) menjadi syai’an (شيئا) yang di
lakukan oleh Abu Bakr al-Shauli. Dan adapun contoh yang mengalami
tashhif adalah sebagai berikut:
رمى أبى يوم األحزاب على اكحل]]ه فك]]واه رس]]ول الل]]ه ص]]لىالله عليه وسلم
Kalimat ubay pada hadis diatas mengalami tashhif dengan kalimat
abiy adapun redaksi yang sahih adalah:78
رمى أبى يوم األحزاب على اكحل]]ه فك]]واه رس]]ول الل]]ه ص]]لىالله عليه وسلم
b) Terhindar dari Illat
76 Ibid., h. 106-107.77 Ibid., h. 107.78 Ibid., h. 107-108.
25
Illat sama halnya dengan syadz artinya keduanya terjadi pada sanad
dan juga pada matan. Adapun yang di maksud illat yang terjadi pada
matan adalah adanya sesuatu yang tersembunyi yang terdapat pada
matan yang secara lahir tampak berkualitas sahih, yang tersembunyi di
sini adalah kalimat yang merupakan teks hadis lain pada hadis tertentu,
yang mana kalimat atau redaksi tersebut bukanlah teks yang di ucapkan
oleh rasulullah, dan matan hadis tersebut sering menyalahi dari hadis-
hadis yang lebih kuat bobot akurasinya.79
Untuk mengungkap dan mengetahui illat pada matan ada beberapa
kriteria dan beberapa cara yang telah di formulasikan oleh al-Salafi yang
di kutip umi sumbulah antara lain:80
1) Mengumpulakan hadis yang semakna dan mengkomparasikan sanad dan matannya sehingga diketahui illat yang terdapat didalamnya. Dan sejalan dengan pendapat Abdullah ibn al-Mubarak ia berpendapat jika engkau berkehendak untuk mengetahui kesahihan hadis yang ada padamu, maka perbandingkan dengan yang lain.
2) Jika seorang perawi bertentangan dengan riwayatnya dengan seorang perawi yang lebih thqah darinya, maka riwayat perawi tersebut di nilai ma’lul, artinya, matan hadis tersebut tidak sahih dan terkena illat.
3) Jika hadis yang diriwayatkan seorang perawi bertentangan dengan hadis yang terdapat dalam tulisannya (kitabnya), atau bahkan hadis yang di riwayatkannya itu terynyata tidak terdapat dalam kitabnya, maka dengan pertentangan tersebut yang menjadikan matan hadis menjadi ma’lul dan tidak sahih lagi
4) Melalui penyeleksian seorang syaikh bahwa ia tidak pernah menerima hadis yang telah diriwayatkannya itu, artinya hadis yang diriwayatkannya itu sebenarnya tidak sampai kepadanya
5) Seorang perawi tidak mendengar hadis langsung dari gurunya6) Hadis yang telah umum dikenal oleh sekelompok orang (kaum),
namun kemudian dating seorang perawi yang hadisnya menyalahi hadis yang telah mareka kenal itu, maka hadis yang mereka kemukakan itu di anggap memiliki cacat
7) Adanya keraguan bahwa tema inti hadis tersebut berasal dari Rasulullah
F. Penutup
79 Ibid., h. 108.80 Ibid., h. 108-109.
26
Terkait dengan tema makalah ini yakni indikasi mayor dan minor
kesahihan sanad dan matan hadis, ini sangat penting untuk kita ketahui dan
kita fahami secara mendalam, karena hadis adalah sumber kedua setelah Al-
Qur’an yang menjadi dasar hukum dan amalan kita dalm kehidupan ini.
Dengan mengetahui indikasi kesahihan sanad dan matan hadis maka kita kita
mengetahui yang mana hadis yang menjadi acuan dan dasar maupun rujukan
kita, maka akan sangat sia-sia ketika kita beramal ternyata sumber dari amalan
kita tersebut yakni hadis ternyata tidak sahih, dan akan menyalahi dengan
aturan yang telah ditetapkan para ulama bahwa hadis yang bisa diterima dan di
amalkan adalah hadis yang derajatnya sahih.
Mudah-mudahan dengan makalah yang singkat ini bisa memberikan
sumbangan pengetahuan dan menjadi pedoman bagi kita, dan dapat kita
amalkan dan kita aplikasikan dalam kehidupan ini yang tidak lepas dari
ketentuan hukum atau aturan (syari’at islam), yang di landaskan Al-Qur’an dan
Hadis Rasulullah SAW.,
27