bab ii 3198084 - perpustakaan...

43
15 BAB II PENGERTIAN UMUM TENTANG KELUARGA DISHARMONI DAN PENDIDIKAN AKHLAK A. Pengertian Keluarga Disharmoni 1. Keluarga Disharmoni Keluarga adalah momentum utama dalam menjalin hubungan sebuah rumah tangga. Berawal dari keluarga, jalinan kasih, sayang, saling mengerti dan menghargai akan terjalin. Oleh karena itulah niat dan tujuan yang mulia sejak dini, yang diawali dengan pernikahan adalah sangat dibutuhkan dalam rangka membentuk keluarga yang sakinah dan harmonis. Sebagaimana sudah dijelaskan dalam latar belakang penelitian ini, bahwa keluarga dipahami sebagai masyarakat terkecil sekurang-kurangnya terdiri atas pasangan suami-istri sebagai sumber intinya berikut anak-anak yang lahir dari mereka. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa keluarga adalah pasangan suami istri, baik mempunyai anak atau tidak sama sekali. Oleh karena itu jika ada seorang pria dan wanita yang hidup bersama dengan tidak berdasarkan perkawinan yang sah menurut agama ataupun undang-undang perkawinan, maka hubungan kedua orang tersebut tidak dinamakan dengan keluarga. 1 Tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang mawaddah wa rahmah 2 atau dikenal dengan keluarga yang harmonis. Keluarga harmonis sebagaimana yang disampaikan oleh Sonhaji, bahwa keluarga harmonis adalah suatu keluarga yang penuh kerukunan, keserasian dan hubungan yang mesra antara suami istri dan anak-anaknya yang dilandasi dengan rasa cinta dan kasih sayang. Untuk mewujudkan keluarga yang harmonis itu maka masing-masing pihak harus bisa melaksanakan tugas dan 1 BP-4., Buku Pintar Keluarga Muslim, (Semarang: Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan, Prop. Jawa Tengah, 2001), hlm. 2 2 Baca Q.S: al-Rum: 21

Upload: lykhuong

Post on 27-May-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

15

BAB II

PENGERTIAN UMUM

TENTANG KELUARGA DISHARMONI DAN PENDIDIKAN AKHLAK

A. Pengertian Keluarga Disharmoni

1. Keluarga Disharmoni

Keluarga adalah momentum utama dalam menjalin hubungan

sebuah rumah tangga. Berawal dari keluarga, jalinan kasih, sayang, saling

mengerti dan menghargai akan terjalin. Oleh karena itulah niat dan tujuan

yang mulia sejak dini, yang diawali dengan pernikahan adalah sangat

dibutuhkan dalam rangka membentuk keluarga yang sakinah dan

harmonis.

Sebagaimana sudah dijelaskan dalam latar belakang penelitian ini,

bahwa keluarga dipahami sebagai masyarakat terkecil sekurang-kurangnya

terdiri atas pasangan suami-istri sebagai sumber intinya berikut anak-anak

yang lahir dari mereka. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa keluarga

adalah pasangan suami istri, baik mempunyai anak atau tidak sama sekali.

Oleh karena itu jika ada seorang pria dan wanita yang hidup bersama

dengan tidak berdasarkan perkawinan yang sah menurut agama ataupun

undang-undang perkawinan, maka hubungan kedua orang tersebut tidak

dinamakan dengan keluarga.1

Tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang mawaddah wa

rahmah2 atau dikenal dengan keluarga yang harmonis. Keluarga harmonis

sebagaimana yang disampaikan oleh Sonhaji, bahwa keluarga harmonis

adalah suatu keluarga yang penuh kerukunan, keserasian dan hubungan

yang mesra antara suami istri dan anak-anaknya yang dilandasi dengan

rasa cinta dan kasih sayang. Untuk mewujudkan keluarga yang harmonis

itu maka masing-masing pihak harus bisa melaksanakan tugas dan

1BP-4., Buku Pintar Keluarga Muslim, (Semarang: Badan Penasihatan, Pembinaan dan

Pelestarian Perkawinan, Prop. Jawa Tengah, 2001), hlm. 2 2Baca Q.S: al-Rum: 21

16

kewajibannya masing-masing sesuai dengan fungsinya, di samping juga

diperoleh adanya bimbingan dan pembinaan ke arah itu.3

Jadi dapat disimpulkan bahwa keluarga harmonis adalah suatu

keluarga yang penuh kerukunan, keserasian dan hubungan yang mesra

antara suami, istri dan anak-anak yang dilandasi dengan rasa cinta dan

kasih sayang serta rasa saling pengertian dan toleransi. Selain itu, masing-

masing pihak juga dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai

dengan fungsinya, di samping juga diperoleh adanya bimbingan dan

pembinaan ke arah itu.

Islam mengenal keluarga harmonis dengan istilah keluarga

sakinah, yaitu keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu

memenuhi hajat hidup spiritual dan material secara layak dan seimbang,

yang diliputi suasana kasih sayang antara keluarga dan lingkungannya

dengan selaras, serasi serta mampu mengamalkan, menghayati dan

memperdalam nilai-nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia.4 Sebuah

keluarga disebut keluarga yang harmonis adalah apabila antara suami istri

hidup bahagia dalam ikatan cinta kasih yang didasari kerelaan dan

keselarasan hidup bersama. Dalam arti lain suami istri itu hidup di dalam

ketenangan lahir dan batin, karena merasa cukup dan puas atas segala

sesuatu yang ada yang telah dicapai dalam melaksanakan tugas kerumah-

tanggaan, baik tugas ke luar maupun tugas ke dalam dan pergaulan dengan

masyarakat.5

Untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah

bukan suatu hal yang mudah, tetapi sangat sulit dan benar-benar harus

3Sonhaji, Pedoman Rumah Tangga Bahagia, (Jawa Timur: BP-4 Prop. Jawa Timur,

1988), hlm. 3 4Ibid., hlm. 45 5Mahfudi Sahli, Menuju Rumah Tangga Harmonis, (Semarang: Cahaya Grafika, 1994),

hlm. 148

17

dicari untuk mencapai tujuan ke sana, karena jalan menuju ke arah tersebut

banyak duri dan batu sandung yang harus dihilangkan terlebih dahulu.6

Dalam al Qur’an Allah SWT berfirman:

��������������� ������������������ ������������������ ���������������������������� !�"������#$!����!�����#����%�

���& �'��(�!������&����)��!� �����'����������*������&��+)�!��,-���.�/�-0��1�2-3���41��5�!'6���7

89�

”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S al-Tahrim : 6)7

Ayat di atas menjelaskan bahwasanya orang-orang yang beriman

diperintahkan untuk memelihara diri dan keluarganya dari api neraka.

Karena keluarga adalah rumah kecil pertama dan bangunan masyarakat.

Kekuatan keluarga dan keterikatannya merupakan sebab kekuatan dan

keselamatan masyarakat. Oleh karenanya keluarga haruslah diperintahkan

untuk bertakwa, yaitu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi

larangan-Nya, sehingga jika ada salah satu anggota keluarga yang

melakukan pelanggaran perintah Allah, maka harus saling mengingatkan

(saling memberikan nasihat).8

Keluarga sebagai suatu unit terkecil dalam masyarakat mempunyai

nilai yang sangat tinggi dan secara nasional merupakan aset potensi untuk

membangun bangsa. Kokohnya pondasi dalam mempertahankan suatu

keluarga adalah adanya keberhasilan keluarga tersebut untuk selalu

berupaya meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. Hal ini akan dapat

dicapai apabila fungsi keluarga dapat dilaksanakan dengan baik oleh setiap

6Salam, Bimbingan Rohani Menuju Keluarga Sakinah, Mawaddah wa Rahmah,

(Surabaya: Terbit Terang, t.th), hlm. 7 7 Soenarjo, dkk., al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 951 8Imam Abu al-Fida’ Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim (Holy Qur’an), ed. 6. 50.,

Sakhr, 1997.

18

keluarga secara serasi, selaras serta seimbang serta dibarengi dengan

penuh rasa tanggung jawab.9

Kebalikan dari keluarga harmonis adalah disharmonis. Secara

etimologis, kata disharmonis berakar dari kata dis dan harmonic: selaras,

harmony: persetujuan, sehingga membentuk kata disharmony yang artinya

kepincangan, ketidaksesuaian atau kejanggalan.10 Oleh karenanya, jika

dalam keluarga tidak ada unsur-unsur sebagaimana yang di atas, maka

keluarga tersebut patut dipertanyakan, dan inilah dalam bahasa rumah

tangga dikenal dengan istilah keluarga disharmoni, karena dalam rumah

tangga tersebut atau keluarga tersebut tidak ada lagi keselarasan arah dan

tujuan oleh masing-masing anggota keluarga (terutama adalah pemegang

pilar keluarga, yaitu suami dan istri).

Faktor yang menyebabkan timbulnya ketidakbahagiaan dalam

kehidupan rumah tangga merupakan salah satu masalah sosial yang

apabila tidak diselesaikan sebaik-baiknya maka akan menimbulkan

masalah sosial baru yang lebih berat dan luas, terutama akan berpengaruh

terhadap anak. Apalagi diperparah dengan timbulnya penyelewengan

suami/ istri (perselingkuhan), kenakalan anak-anak dan lain sebagainya.

Rasulullah telah mengingatkan bahwa:

� �*��%��*����� �:�;������'!�'���:�<��� �=!�.�>�7�������?� ��*����%��*�����@���A��*����� �B��?����&��

����&��C� � �D�EF�� ��G�H� � �I��C��� �.�%� � ��G�H� � �J�"�K� �L�.�>� ��G�H�-L��1�M� �N�O����D��� �3�!P� �B����Q

5R��ST���U� �911��

“Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w telah bersabda: Tanda-tanda orang munafik ada tiga

9Sardin Rabbaja, Majalah Bulanan, Nasehat Perkawinan dan Keluarga, (BP-4 Edisi

September, 1994), hlm. 2 10Wojowasito & Poerwadarminta, Kamus Lengkap, (Bandung: HASTA, 1985), hlm. 44

&73 11Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Sakhr: al-Bayan, 1996), no. 38

19

perkara, iaitu apabila bercakap dia berbohong, apabila berjanji dia mungkiri dan apabila diberi amanah dia mengkhianatinya”. (HR. Bukhari)

Hadits tersebut memberikan petunjuk bahwa jika dalam suatu

keluarga tidak ada tanggungjawab, tidak adanya kepercayaan serta

banyakanya kedustaan, maka hal tersebut menjadi pertanda bahwa suatu

keluarga tersebut sudah mengalami krisis kepercayaan dan tanggungjawab

sehingga akan mengarah kepada keretakan rumah tangga.

Penjelasan di atas memberikan landasan bahwa pembentukan

keluarga yang harmonis akan senantiasa didambakan oleh setiap insan

yang telah mengikatkan diri dalam ruang keluarga. Oleh karenanya

mengembangkan sikap dan pola interaksi yang baik antara sesama anggota

keluarga modal dasar yang nantinya akan terbentuklah keluarga yang

dinamis.

Hal tersebut dapat dilihat dari tuntunan Nabi Muhammad bahwa

dalam sebuah keluarga haruslah saling mengingatkan dan ayah sebagai

kepala keluarga sudah menjadi tanggungjawabnya untuk memimpin

bahtera rumah tangga, sehingga keharmonisan dalam keluarga akan

terbina. Oleh karenaya pola komunikasi yang baik antara sesama anggota

keluarga adalah diutamakan, yang dengan mengetahui tugas dan

tanggungjawabnya masing-masing, sebuah keluarga tersebut memperoleh

rahmat (kesejahteraan).12 Ada hadits yang mengisyaratkan akan hal

tersebut, yaitu:

����B�����*��%��*������:�;����L�'!������� <��V�������=!�.�>��7��*�����@���A��*������B��?��������E��

�����*������B��?����&��K� ��3������� !�'W�%��U�.��%����D���X�O��&��<����Y�6���-3�T�T�/�� ��� ������?� ��*����%

������?� � �*����%��*�����@���A����� ��� �%�������X���O� ��������� ���Y�6/�� �.��� ������ � �Z�O� ��Y��������D��>��

�������������D[��%� � ��#��O� ���D����X�O� ����������@���H� ���)�\��� �B��Y�O� �U���'�TC�X�O� ��������� ��� ���K�'�E

12Keluarga yang mendapatkan (rahmat) kesejahteraan adalah suatu keluarga yang sehat,

aman, berkecukupan dan berprestasi. Ini artinya keluarga tersebut akan tentram (sakinah), karena limpahan rahmat ketaatan beribadah, baik secara vertikal maupun horisontal.

20

����>��� ������ &[G�(����O� ��1�+��� �]�'� �>� ��G�_�O� ��� �'��� ���K�'�TK��� ������(����� ���M� ��K�.����Q

5R��ST���U� �9 13���

“Diriwayatkan dari Malik bin al-Huwairis r.a katanya: Kami datang menemui Rasulullah s.a.w, pada waktu itu kami masih sama-sama muda dan usia kami tidak banyak perbedaannya. Kami tinggal bersama baginda selama dua puluh malam. Rasulullah s.a.w adalah seorang yang sangat pemurah dan lembut sekali. Baginda menyangkakan bahawa aku sedang berselisih paham dengan keluargaku sehingga baginda bertanya kepadaku keadaan keluarga yang aku tinggalkan. Maka aku menceritakan kepada baginda mengenai keluargaku. Kemudian baginda bersabda: Pulanglah kepada keluargamu dan tinggallah bersama mereka. Ajarlah mereka dan perintahkanlah mereka apabila tiba waktu sembahyang. Hendaklah salah seorang daripada kamu meluangkan azan dan hendaklah orang yang paling tua dari kalian menjadi imam”. (HR. Bukhari)

��B�����*��%��*������:�;���a������=!�.�>�7��,������?� ��*����%��*�����@���A��*������B��?����B���

�����6�>��b�\�'��� �L�������� �.T�%��=!�.�>�:�O� �-.T�%�� ��(�!�����*������ ����*����H��c�>��� �&��K���@

� ��)�D\����������� ��*������ 5�Q��R��ST���U� �9�14�

“Diriwayatkan daripada Anas r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Seseorang tidak dikatakan beriman dan dari riwayat Abdul Waris, tidak disebut orang yang beriman sebelum dia (seorang lelaki) mencintai lebih daripada keluarga, harta dan manusia seluruhnya”. (HR. Bukhari)

Pemenuhan cinta dan kasih sayang dalam keluarga tidak akan

terpenuhi jika di dalamnya orang tuanya sedang mengalami pertengkaran

atau perselisihan, sehingga keharmonisan tidak terjalin. Artinya perhatian

dan tanggungjawab yang besar dalam mengatur bahtera rumah tangga

sangat ditekankan dalam Islam.

Orang tua dalam keluarga ditempatkan pada kedudukan yang lebih

tinggi dan mulia. Oleh karena kedudukannya itulah maka tanggung jawab

dan kewajiban harus ditanggungkan. Keluarga mempunyai fungsi sebagai

13Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, al-Bayan, Sakhr, 1996, no. 372 14Imam Muslim, Sahih Muslim, al-Bayan, Sakhr, 1996, no. 27

21

tempat pendidikan agama dan tempat beribadat yang secara serempak

berusaha mengembangkan amal saleh dan anak yang saleh.15

Sedangkan untuk membina rumah tangga yang harmonis atau

mawaddah wa rahmah itu dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Pembinaan penghayatan ajaran agama Islam.

Pencerminan agama dalam tingkah, tutur kata, sikap dan

perikehidupan keluarga merupakan tanah subur bagi pembinaan

kehidupan beragama bagi anak. Sejak kecil, anak dalam keluarga

dibiasakan untuk mengenal ajaran agama sebagai pedoman dasar bagi

kehidupannya kemudian.

Tanpa bekal agama yang memadai, sendi-sendi kehidupan

kekeluargaan dan kemasyarakatan akan runtuh.

2. Pembinaan sikap saling menghormati

Hubungan dalam keluarga yang harmonis, serasi, merupakan

unsur mutlak terciptanya kebahagiaan hidup. Hubungan harmonis akan

tercapai manakala dalam keluarga dikembangkan, dibina, sikap saling

menghormati, dalam arti satu sama lain memberikan penghargaan

sesuai dengan status dan kedudukannya masing-masing. “yang kecil,

yang muda menghormati yang tua”, “dan sebaliknya”. Dengan kata

lain di dalam keluarga diciptakan sikap dan perilaku “saling asah,

saling asih, saling asuh”. Itulah keharmonisan hubungan dalam

keluarga akan tercapai dan pada akhirnya akan memunculkan

kehidupan rumah tangga dan masyarakat yang penuh “mawaddah wa

rahmah” sehingga menjadi sejahtera dan bahagia.

3. Pembina kemauan bersama

������*����� �b �O� ��� ���d�6<�� � �e ��,�� :�O� � �'�W�6���O� ��1�+��� �f��� ��� ��G�_�O

���&������E�������)�����'��g�K��*������ �'�KG�� 5�3)D����7hi9�

15Jalaluddin Rahmat, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Madani, (Bandung: Rosda

Karya, 1992), hlm. 13

22

“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.S: al-Jumu’ah: 10)16

Manusia harus senantiasa berusaha, bekerja, agar untuk

kehidupannya ada rizki yang bisa diperoleh, upaya mencari rizki ini

didasari rasa atau sikap saling hormat menghormati.

4. Pembinaan sikap hidup efisien

Bersikap efisien bukan berarti bersikap kikir. Pembinaan sikap

efisien, hemat, hidup sederhana, tanpa mengorbankan diri itu sangat

penting bagi kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.

Allah berfirman dalam surat al-Furqan:

��������������������� �V���G� � ��<� �&��K� � � �'�6Y�!� ���� � ���O�'��!� ���� ���Y������ ��G�H� � !�"����

5�&��'����78j�9�

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir, dan adalah pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. al-Furqan: 67)17

5. Pembinaan sikap suka mawas diri

Tiada gading yang tak retak, tiada manusia yang berbuat alpa

dan salah. Sikap ini harus senantiasa tertanam pada setiap diri anggota

keluarga. Dengan demikian setiap ada anggota keluarga yang

melakukan kesalahan tanpa mencari kambing hitam, segera yang

bersangkutan mau menyadari apa yang menjadi kekeliruan dan

kesalahannya, dan segera meminta maaf kepada orang yang terkena

kesalahannya dan bertaubat kepada Allah.18

16 Soenarjo, dkk, op. cit., hlm. 933 17 Ibid., hlm. 568 18Ibid., hlm. 14-dst

23

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keluarga Disharmonis

Untuk memperjelas bagaimana sebuah keluarga bisa terperosok ke

jurang ketidakharmonisan, di bawah ini akan dipaparkan faktor-faktor apa

saja yang mempengaruhinya, yaitu:

a. Membuka rahasia pribadi

Inilah yang kadang-kadang tidak diperhatikan, ketika orang sudah

berkeluarga. Segala yang ada dalam istri, itulah yang menjadi milik

suami dan begitu sebaliknya, karena suami atau istri merupakan

belahan diri sendiri. Sehingga ketika ada aib atau kekurangan yang

menimpa suami, si-istri tidak perlu membuka atau mengatakannya

kepada orang lain. Dengan kata lain kekurangan salah satu pihak

berarti kekurangan bersama yang tak pantas diungkit-ungkit.

Apalagi jika suami atau istri suka mencela kekurangan masing-masing

baik dengan terang-terangan maupun diam-diam, maka pada dasarnya

adalah mencela dirinya pribadi. Padahal yang terpenting adalah saling

mengisi dan melengkapi.

b. Cemburu yang berlebihan

Cemburu memang boleh, akan tetapi ada batasnya, yaitu dapat

diterima dan diartikan sebagai tanda cinta atau setianya suami atau

istri. Akan tetapi cemburu yang tidak beralasan atau berlebihan justru

akan menimbulkan terganggunya kebahagiaan.

c. Rasa dendam dan iri

Inilah penyakit yang sangat berbahaya, yang senantiasa menghinggapi

rumah tangga seseorang. Hal tersebut bisa dilihat jika tetangganya baru

saja beli TV, keluarga tersebut iri dan mempunyai prasangka yang

bukan-bukan. Jikalau sang istri, misalnya tidak kuat imannya, maka

akan memprovokasi suaminya untuk supaya dapat menyaingi tetangga

yang baru membeli TV tersebut, padahal suaminya tidak mampu, maka

suami tersebut akan tertekan batinnya dan inilah salah satu awal

malapetaka ketidak harmonisan keluarga.

24

d. Judi dan minuman keras

Inilah dua aktivitas yang sering membuat keluarga disharmonis dan

berantakan, karena judi orang akan melalaikan tugasnya sebagai kepala

rumah tangga. Apabila kalah dalam perjudian bisa-bisa seisi rumah

dijual dan yang lebih tragis lagi istrinya bisa dijual. Demikian juga

orang yang sudah terjerat minum-minuman keras, hidupnya tidak akan

puas jika tidak minum minuman keras. Padahal orang yang sedang

mabuk, dirinya sendiri sudah tidak tahu dan akan menceritakan

keburukan yang ada dalam dirinya dan keluarganya karena lepas

kontrol. Di samping lupa diri dia juga melupakan Tuhan dan

keluarganya.

e. Pergaulan bebas tanpa batas

Manusia tidak terlepas dari hidup bermasyarakat, sehingga pergaulan

mutlak dibutuhkan, akan tetapi pergaulan bebas tanpa batas, lebih-

lebih yang menyangkut pria dan wanita pasti akan menjurus kepada

gangguan kebahagiaan keluarga. Sehingga segala perbuatan yang

mengarah kepada zina harus dijauhi.

f. Kurang menjaga kehormatan diri

Kehormatan adalah harga mati yang tidak dapat ditawar lagi dalam

membina hubungan keluarga. Kehormatan keluarga bisa jatuh gara-

gara tidak dapat menjaga diri, keluarga dari perkataan maupun sikap

atau tingkah laku.

g. Seringnya bernostalgia pribadi/ cerita lama

Bernostalgia tidak ada salahnya, jika mengingatkan masa pacaran atau

yang dapat menggugah semangat untuk maju, akan tetapi mengingat

dan bercerita masa lalunya masing-masing tentang masa pacaran yang

telah silam dengan pria/ wanita yang lain justru akan mengurangi rasa

cinta atau sayang baik terhadap istri atau suami. Apalagi sampai

memuji-muji wanita atau pria yang lain, malah akan memperparah

hubungan rumah tangga yang disharmonis tersebut.

25

h. Kurangya kepekaan terhadap hal-hal yang tidak disenangi suami atau

istri.

Suami atau istri haruslah tanggap dan cepat apa-apa yang tidak disukai

suami atai istri, sehingga meninggalkan kata-kata atau perbuatan yang

tidak disenangi suami atau istri adalah pilihan yang tepat.19

B. Pendidikan Akhlak Anak

1. Pengertian Pendidikan

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku

seseorang/ kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui

upaya pengajaran dan pelatihan, proses, perbuatan dan cara mendidik.20

Sehingga dengan kata lain pendidikan adalah suatu usaha sadar dengan

tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya)

insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).21

H.B. Hamdani Ali menyatakan bahwa: “Pendidikan dalam arti

umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk

mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya kepada generasi muda

untuk memungkinkan melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan

bersama dengan sebaik-baiknya.”22

Poerbakawatja dalam “Ensiklopedi Pendidikan”, juga menjelaskan

bahwa: “Pendidikan itu adalah usaha sadar secara sengaja dari orang

dewasa dengan pengaruhnya untuk meningkatkan si anak ke kedewasaan

yang selalu diartikan mampu memikul tanggung jawab moril dari segala

perbuatan.” 23

19BP-4., op.cit., hlm. 25-26 20Departemen P & K., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993),

hlm.. 723 21Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media,

1992), hlm.16. 22H.B. Hamdani Ali, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1987), hlm. 8 23Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 257

26

Selain di atas Musthafa Al-Ghulayani mendifinisikan pendidikan

sebagai berikut :

����D<� �#�Y? � �k/����� ����� :O� 3�;����� l� 1C,�� �'2� :�� 3�<'6��

3�+��� ���/�,��m ��3����nT+E�@6>a�����]������m���#E�'DM�&��E��M

3��^����m'�S�� �m� o����p����bD)���qc> Q24��

“Pendidikan adalah menanamkan akhlak yang mulia di dalam masing-masing anak dengan berbagai petunjuk dan nasehat sehingga tertanamlah watak yang baik, kemudian berakhlak utama, kebaikan serta cinta beramal untuk kepentingan tanah air.”

Beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwasanya

pendidikan adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh seorang

individu atau pihak lain menuju ke arah peningkatan potensi dirinya (baik

jasmani maupun rohani) secara optimal untuk mencapai kebahagiaan

manusia yang sehat dan sejahtera, di dunia maupun di akhirat.

2. Pengertian Akhlak

Perkataan akhlak ( �5�l1rC� berasal dari bahasa arab yang merupakan

bentuk jama’ dari �Nr�C�yang berarti tabiat atau sajiyah25. Dengan kata lain

akhlak adalah budi pekerti, kelakuan.

Menurut Asmaran AS. akhlak ialah sifat-sifat yang dibawa

manusia sejak lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada

padanya.26

Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin Juz 3

menyatakan:

24Syeikh Musthafa Al-Ghulayani,�Idhatun Nasyi’in, (Surabaya: Mahkota, 1949), hlm. 189 25Abi al-Fadl Jamaluddin Muhammad Mukram Ibnu Mandzur al-Afriqy al-Mishri, Lisan

al-‘Arab, juz X, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hlm. 85. Demikian juga dapat dilacak dalam Elias A. Elias & Edwad E. Elias, Kamus al-Jaib, (Bandung: al-Ma’arif, 1983) hlm. 298, di sana akhlak merupakan padanan dari adab atau dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah manner/ moral yang kalau ditranslitrasikan kedalam bahasa Indonesia adalah tata cara atau kelakuan.

26Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 1

27

O�����3��#�<�B�)O�s��.+E� �#�%�3S?���a����� @O�3k��� %� ���T%�N�S

3! � �'�O�@��3\�>�'�2� ��'�! ����#�%�.+E�=�<�3k�#���f��K�&�O

����%'/ 1Y%���DD���3��D����B�)O,����>�Y�C�3k�#���V�E�f�D?m��&�K�&�

��k�?�Y�C�.+D���:��:6���3k�#���f�D?�3�TY���B�)O,��#�%���+����27��

“Khuluq, perangai adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada pikiran.� Oleh karenanya jika kondisi tersebut dapat membawa (mengeluarkan) perilaku yang baikdi mana rasio maupun syariat tidak menolaknya, maka perilaku tersebut disebut dengan akhlak yang baik, sedangkan jika kondisi tersebut justru memunculkan perbuatan tercela (jelek) maka hal tersebut tersebut dinamakan akhlak tidak terpuji”.

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa akhlak

ialah kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan dengan mudah

karena kebiasaan tanpa memerlukan pertimbangan lebih dahulu. Atau

suatu kehendak dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak

berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan yang baik atau

yang buruk.

Perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manifestasi

dari akhlaknya, apabila dipenuhi dua syarat yaitu:

1. Perbuatan itu dilakukan berulang kali sehingga menjadi kebiasaan;

2. Perbuatan itu dilakukan dengan sadar karena dorongan emosi-emosi

jiwanya, bukan karena adanya tekanan yang datang dari luar dirinya,

seperti adanya paksaan atau bujukan. 28

Dari beberapa term tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

pendidikan akhlak terhadap anak adalah sebuah pendidikan yang

mengarah kepada bagaimana anak dapat bertingkah laku baik sesuai

dengan hukum, norma sosial yang ada atau norma agama.

27Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (t.tp.: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.), hlm. 50 28Muchamad Amien, dkk., Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, (Semarang: IKIP

Semarang Press, 1991), hlm. 151-155

28

Kehadiran anak memang dapat memberikan kebahagiaan bagi

keluarga, akan tetapi anak juga dapat menjadi beban orang tua, masyarakat

atau siapa saja yang ada di sekelilingnya, apabila anak tersebut memiliki

tabiat/ akhlak yang tidak baik (buruk). Hal ini merupakan karunia Allah

yang harus disyukuri, namun rasa syukur tersebut tidak cukup hanya

berupa ucapan terima kasih, tetapi harus dibuktikan dengan sikap penuh

kasih sayang, mengasuhnya dengan baik dan membinanya dengan benar

sesuai dengan syari’at yang telah digariskan.

Oleh karenanya Abdurrahman An-Nahlawi berpendapat

sebagaimana yang dikutip oleh Marasudin Siregar dalam bukunya

“Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun Suatu Analisa Fenomenologi” bahwa

tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan penghambaan kepada Allah

dalam kehidupan manusia baik secara individual maupun secara sosial

serta mengaktualisasikan diri.29 Aktualisasi inilah yang dalam Islam

disebut ihsan sebagai buah dari Iman dan Islam, yang di dalamnya terdapat

keluhuran akhlak.

Oleh karenanya tujuan pendidikan Islam sebagaimana dijelaskan

oleh Jalaluddin adalah sesuai dengan misi Islam itu sendiri, yaitu

mempertinggi nilai-nilai akhlak, hingga mencapai tingkat akhlak al-

karimah.30 Hal senada juga disampaikan al-Bani, bahwa pendidikan

mencakup tiga unsur, yaitu:

1. Menjaga dan memelihara anak

2. Mengembangkan bakat dan potensi anak sesuai dengan kekhasan

masing-masing

3. Mengarahkan potensi dan bakat agar mencapai kebaikan dan

kesempurnaan.31

29Marasudin Siregar, Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun Suatu Analisa Fenomenologi,

(Yogyakarta: Fak. Tarbiyah Semarang & Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 68 30Ibid., hlm. 72 31Ibid., hlm. 97

29

Dengan demikian penjagaan dan pemeliharaan anak supaya terarah

dalam pendidikannya terutama dalam pencapaian kebaikan dan

kesempurnaan akhlak adalah tujuan utama dalam mendidik anak, sehingga

akan terjadi generasi yang berpendidikan dan santun.

3. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak

Sebagai upaya mencapai tujuan dalam membina akhlak anak, setiap

orang tua harus dapat mengetahui gejala-gejala atau ciri-ciri

perkembangan psikis pada anak, seperti perkembangan kecerdasan,

kesadaran emosi, perkembangan sosial kemasyarakatan, yang masing-

masing perkembangan tersebut berhubungan dengan tahap-tahap umur

tertentu. Hal ini perlu diketahui oleh orang tua, guru atau siapa pun yang

bertanggung jawab atas pembinaan akhlak anak, agar mampu membina

dan mendidiknya secara benar, serta dapat menghindari kemungkinan

kesalahan yang membawa akibat tidak baik bagi perkembangan anak.32

Akhlak lebih luas maknanya yaitu mencakup pula beberapa hal yang

tidak merupakan sifat lahiriyah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap

bathin maupun pikiran. Akhlak diniyah (agama) mencakup berbagai

aspek, dimulai dari akhlak kepada allah hingga kepada sesama makhluk

(manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa). 33

Manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia di antara

makhluk yang lain. Dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling

berlawanan, yaitu nafsu yang cenderung mendorong manusia untuk

berbuat kepada kemaksiatan dan akal nurani yang membimbing manusia

untuk berbuat jalan yang benar yang diridhai Allah. Dalam kesehariannya

manusia telah diberikan kebebasan oleh Allah untuk memilih mana yang

akan dilakukan dengan segala tanggung jawabnya. Manusia yang selalu

berbuat mengikuti nafsunya semata berarti ia memiliki akhlak

32Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, ed., (Bandung: Remaja Rosdakarya,

2000), hlm. 98-99. 33Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 261

30

madzmumah (tercela). Tetapi bagi yang lebih mengutamakan sisi nurani

dalam setiap aktivitasnya berarti ia memiliki akhlak mahmudah (terpuji).

Dan keduanya mempunyai dampak sendiri-sendiri.

Akhlak terpuji membentuk manusia seutuhnya, yaitu manusia yang

mampu menginternalisasikan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam asma’ul

husna. Sehingga apa yang menjadi aktivitas manusia mencerminkan

manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Firman Allah di dalam surat

al-A’raf ayat 180 berbunyi :

�� �t����C.�!� � � !�"���� � ���G� � � ��#�<� �U��%���O� @������� ��u�D?s���&���*�4u�D?��� � :�O�

��&����D)�!�������K�������& �v����?�Q5s��w�'%�7hxi9�

“Allah mempunyai asma-ul husna maka bermohonlah kepada Nya dengan menyebut asma-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut nama-nama Nya). Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S: al-A’raf : 180)34

Sejalan dengan akhlak, lebih jauh Ahmad Amin berpendapat bahwa

dalam segala aktivitasnya hidup manusia akan selalu terkait dengan empat

komponen hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Allah, manusia

dengan sesama manusia, manusia dengan lingkungannya dan hubungan

manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu empat komponen tersebut

menjadi materi pendidikan akhlak dalam Islam.

1. Akhlak terhadap Allah

Akhlak manusia dalam hubungannya dengan terhadap Allah dapat

direalisasikan sebagai berikut :

i) Cinta dan ikhlas kepada Allah

Semua amal yang berdasarkan akhlak kepadanya akan mendapat

pahala. Apabila tidak disertai dengan rasa ikhlas kepada Allah,

maka tidak akan mendapatkan pahala, meskipun nilainya baik.

34 Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 252

31

“Dari bekas cinta manusia kepada Tuhannya ialah ibadah dengan

bentuknya yang bermacam-macam, dan ibadah itu sebaiknya

dilakukan dengan kecintaan, keikhlasan dan ketaatan kepada

Allah.”.35

ii) Takwa kepada Allah

Takwa adalah puncak ibadah yang dicari setiap muslim. Tuhan

selalu mendorong manusia untuk mencapai tingkatan taqwa dan

berusaha mempertahankannya setelah mendapatkannya. Taqwa

akan menanamkan akhlak mulia pada manusia yang efeknya bukan

saja pada dirinya sendiri, namun juga terhadap masyarakat

sekitarnya.

Firman Allah dalam surat al-Anfal ayat 25 :

��.!�.�/��*������&������D��%�� ��3�A��C�����������D���y�� !�"����� �T��+�E��,�3��6�O����Y�E��

�J��Y�)���5��B���,��7z{9�

“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah Allah amat keras siksaannya”. (Q.S: al-Anfal: 25) 36

Dalam firman-Nya yang lain Allah memerintahkan untuk bertaqwa

dalam surat Ali Imron ayat 102 berbunyi :

�����6���� ��,�H�� �E��D�E��,� ��*�E��Y�E��N�>��*��������Y�E������������� !�"������#$!����!���&��D������

5�&�'D%�B��7hiz�9�

“Hai orang-orang ang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa dan janganlah kamu sekali-kali mati dalam keadaan tidak beriman.” (Q.S: Ali Imron : 102) 37

35Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. Prof. K.H. Farid Ma’ruf, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1975), hlm. 23 36Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm.�264 37Ibid., hlm. 92

32

Dalam hadits Rasul juga dijelaskan :

�� %@< �B����G�7�t���YEH����? �*��%�t��@�A�t��B�?��:��B��

�>K�Dgf���m��#DE�3�����3k�����pTE� �m�� �>�N�S<�������N��C ������Q

�5�R"�'6���U �9�38�

“Dari Abi Dzar berkata� “Nabi bersabda kepadaku bertaqwalah kepada Allah dimana saja kamu berada, dan ikutilah perbuatan jelak itu dengan melakukan kebaikan dan berakhlaklah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi)

Manusia yang berhasil mencapai takwa kemudian berusaha

mempertahankannya di pandang sebagai manusia yang sukses

ibadahnya”. Ia laksana sebatang pohon yang baik yang diterima

serta dipelihara. Ia telah berbuah kemudian memberikan

kenikmatan kepada manusia.39

iii) Bersyukur atas nikmat Allah

Bersyukur artinya merasa senang karena memperoleh kenikmatan

Allah Swt., kemudian menambah semangat dalam beribadah

kepada Allah, hatinya bertambah iman dan makin banyak berdzikir

kepada Allah.

Orang yang salah dalam menggunakan kenikmatan, yaitu untuk

mengikuti hawa nafsu dianggap kufur yakni mengingkari

kenikmatan yang telah diberikan Allah kepadanya. Orang seperti

ini akan diberi siksa oleh Allah dengan adzab yang pedih.

Sebagaimana firman Allah :

38Imam Jalaluddin Abdurrahman Al-Suyuthi,�Jami’ al Shaghir, Juz IV, (Beirut: Dar Ihya

Al–Kutub al-‘Almiyyah , t.th.), hlm. 56 39Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1989), hlm. 235-236

33

�H� �E'���/� �k������$<����&�G�X�EG�-.!�.�W����@�<��"�%��&�H���E'���K� �k���� �������.!�|�,��Q

�5�����'<��7j9��

“Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu mema’lumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (Q.S. Ibrahim : 7).40

iv) Bertawakkal kepada Allah

Maksud tawakal yang sebenarnya menurut ajaran Islam adalah

menyerahkan diri kepada Allah SWT sesudah bekerja dan berusaha

keras. Sebagai contoh ialah orang yang meletakan sepeda di depan

rummah. Sesudah sepeda itu di kunci rapat, maka ia sudah

dinamakan tawakal. Artinya andaikata setelah dikunci masih juga

hilang dicuri orang, maka ia sudah disebut tawakal sebab sudah

berusaha agar tidak hilang.

Perintah bertawakal kepada Allah ssebagaimana firman Allah

dalam surat al�Anfal ayat 61��

�H�� ��t��@���%��b�K���E�� ����#����n��\��O�����[������������\��&5QQQ,��B����789�

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah... ” (Q.S. Al-Anfal : 61) 41

v) Sabar

Sabar artinya keteguhan hati dalam menghadapi kesulitan dan tidak

bangga dalam memperoeh kelapangan atau kecukupan.42 Dalam

kehidupan sehari-hari, sabar dapat dibagi dua, yakni sabar ketika

40Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 92 41M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 265 42Fahruddin H.S., Ensiklopedi Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), hlm. 348

34

seseorang sedang ditimpa musibah dan sabar dalam mengerjakan

sesuatu.43

Kebahagiaan, keberuntungan dan keselamatan, hanya dapat dicapai

dengan usaha tekun terus menerus dengan penuh kesabaran,

keteguhan hati. Sebab sabar adalah asas untuk melakukan segala

sesuatu.

“Sabar bukan berarti menyerah tanpa syarat, tetapi sabar adal;ah terus menerus berusaha dengan hati yang tetap, sampai cita-cita dapat berhasil dan di kala menerima cobaan Allah SWT haruslah ridha dan hati yang ikhlas. 44

vi) Malu

Islam telah mengingatkan kepada umatnya agar memperhatikan

rasa malu karena rasa malu ini dapat meningkatkan akhlak menjadi

tinggi.45 Keistimewaan Islam, ialah menjadikan rasa malu

merupakan sebagi perwujudan dari iman.

Dengan sikap malu seorang mukmin tidak akan berani melakukan

hal-hal yang dilarang oleh agama karena merasa apa yang

dilakukannya selalu diawasi oleh Allah. ”Seorang mukmin yakin

betul bahwa segala tingkah lakunya dilihat oleh Allah SWT, baik

yang terbuka maupun yang tersembunyi. Rasa malu kepada Allah

mencegah seseorang berbuat maksiat.46

vii) Khusnudzon

Khusnudzan adalah sikap manusia yang berbaik sangka kepada

Allah. “Manusia yang baik haruslah memiliki prasangka yang baik

kepada Allah, yakni percaya bahwa Allah akan memberi rahmat,

43Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1983), hlm. 120 44Barmawie Umary, Materia Akhlak, (Solo: Ramadhani,1995), hlm. 52 45Muhammad al-Ghazali, Akhlaq Seorang Muslim, terj. M. Rifa’i. (Semarang: PT.

Wicaksana, 1993), hlm. 326 46Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 144

35

mengampuni dosa pada hamba-Nya dan tak membiarkan

kesengsaraan dan penderitaan. yang kekal. 47

Selain hal tersebut diatas bahwa termasuk akhlak manusia terhadap

Alah Swt adalah harus menyembah dan mentaati segala perintah Nya,

menjadikan pedoman apa yang telah di wahyukan dan di firmankan Nya.

Firman Allah dalam hal ini secara jelas terdapat dalam surat al-Nisa’: 59

yang berbunyi :

$!�X!�������� �'�X���� @�� ��� � �B��?�'��� ���)��o��� � �t�� ���)��o��� �������� � !�"���� ��#�QQQ

5��������7{}9�

“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rosul (Nya) dan Ulil amri diantara kamu…” (Q.S. An Nisa’ : 59)48

Jadi, hubungan antara manusia��dan Allah Swt akan berakhir bahwa

Allah Swt�adalah satu-satunya referensi yang pokok dan dasar dari segala

yang ada. Oleh karenanya Ia sekaligus sebagai asal dan tujuan dari nasib

manusia. Pendidikan akhlak kaitannya manusia terhadap Allah Swt adalah

terbinanya individu dalam menjalankan tugasnya secara vertikal untuk

mencari keridaan Allah Swt.

2. Akhlak terhadap sesama Manusia

Manusia sebagai mahluk sosial tidak lepas dari hubungan dengan

manusia lainnya. Akhlak terhadap sesama manusia antara lain meliputi

akhlak pada manusia yang mengandung unsur kemanusiaan yang harmonis

sifatnya. Allah melarang perbuatan jahat yang merugikan kepada orang

lain. Juga melarang orang mengada-adakan yang semestinya tidak pada

tempatnya bagi Allah. Firman Allah dalam surat al-A’raf: 33 sebagai

berikut :

47Ibid., hlm. 143 48 Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 128

36

b���T���� ����M~��� �� ���<������ ����#������'�#�y����������>����������:[<������q�'�>���Dq��H���:d��

���@��%�������Y�E�&��� ���������?���*�<��B[v���!������������t��<�����K�'W�E��&��� ��q�N�����'��d�<

�&��D��)�E��,�������t�5�Q�'%s��w�7��9�

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang namppak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)49

Akhlak kepada sesama manusia dapat dirinci lagi menjadi akhlak

dalam lingkungan keluarga, akhlak terhadap tetangga, akhlak terhadap

teman/sahabat dan akhlak terhadap orang lain.50

i) Akhlak dalam lingkungan keluarga

Salah satu nikmat dalam lingkungan keluarga adalah anak yang

sholih. Untuk membina anak yang shalih diperlukan asuhan yang baik

dan tepat dari orang tua (Ibu dan Bapak). Untuk membina anak menjadi

shalih, pihak orang tua mempunyai sejumlah tugas dan tanggung jawab

moral yang perlu dipenuhi, yakni ; menjaga dan mendo’akan anak

tentang keselamatannya, mengakikahkannya, menyusukannya dan

memberi makan, mengkhitankan, mendidik anak, mengawinkan.

Orang tua haruslah menanamkan pendidikan kepada anaknya,

agar kelak anak tersebut mempunyai akhlaq karimah (mulia) sehingga

terhindar dari siksa neraka. Hal ini sesuai dengan Firman Allah :

$!�X!�������������������� �������������������������� !�"�����#5QQQ�!'6��789�

“Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu, dan keluargamu dari api neraka...” (QS. At-Tahrim: 6)51

49Ibid., hlm. 226 50Lihat Q.S: al-Nisa’: 36 51Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 951

37

ii) Akhlak terhadap tetangga

Menururt tinjauan agama, tetangga dapat di klasifikasikan

menjadi tiga bagian, yaitu tetangga yang muslim dan masih famili,

tetangga yang muslim dan ada juga tetangga yang tidak muslim dan

juga tidak famili.52

Memelihara suasana kehidupan yang baik dengan tetangga

sangatlah penting, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial

yang dalam kehidupannya selalu dan akan membutuhkan pertolongan

dan bantuan orang lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat

Al-Maidah ayat 2:

�E� ��&�� .�)��� ��M�~��R��%����� ��)�E���� �R�Y�E�� ['�T���R��%����� ��)�5�QQQ��.4�D����7z9� “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (Q.S: al-Maidah: 2)53

Oleh karena itu, tetangga yang satu dan tetangga yang lain

hendaklah saling membiasakan membantu dan berakhlak yang baik.

iii) Akhlak terhadap sesama teman

Terhadap sesama teman kita harus saling menghormati tidak

boleh meremehkan satu dengan yang lain, begitu pula kita juga dilarang

untuk memanggil sesama teman dengan panggilan yang sangat tinggi

derajatnya. Setiap orang hendaknya mendudukkan sesuatu secara wajar

dan proporsional. Sebagaimana firman Allah :

������<����� )�<�����%�.�K��������<��B��?'��������%��������)��E� )�QQQ5�������78�9�

“Dan janganlah kamu jadikan panggilan (nama) Rosul di antara kamu. Seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain)�� � …” (Q.S: al-Nur: 63)54

52Amin Syukur, Pengantar Studi Akhlak, (Semarang: Duta Grafika, 1987), hlm. 141 53 Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 156 54 Ibid., hlm. 556

38

Akhlak terhadap teman atau sahabat bisa diwujudkan dalam

bentuk antara lain :

1) Pemberian pertolongan kepada sahabat yang sedang dalam

kesusahan.

2) Menyembunyikan kekurangan mereka.

3) Mengingatkan mereka bila berbuat kesalahan.

4) Memaafkan kesalahan mereka.

5) Mendoakan untuk kebaikan mereka dan perilaku-perilaku positif

lainnya.

iv) Akhlak terhadap orang lain

Islam adalah agama yang dilandasi persatuan dan kasih sayang.

Kecenderungan untuk saling mengenal diantara sesama manusia dalam

hidup dan kehidupan merupakan ajaran Islam yang sangat

ditekankan.”55 Sebagaimana tersebut dalam firman-Nya :

$!�u!���� �@�g���� '�K�G� ��� ����Y���C�q��H� ����q�����#�)�\�����O����)�6��� �b4���T��� � ��<��)�/� ������Q

���YE����t��.��%�������'K���q�&H�Q-'��T�C�-�����%��t��q�&H5�Q��]�'���7h�9�

“Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa.” (Q.S. al-Hujurat : 13)56

Adanya hubungan dengan sesama manusia, terdapat hak dan

kewajiban masing-masing yaitu amar ma’ruf nahi munkar.57 Antara

sesama manusia wajib mengajak kepada perbuatan yang baik dan

mencegah segala perbuatan yang keji dan munkar, sebagaimana firman

Allah dalam surat Ali Imran :

55Muhammad Al-Ghazali, op.cit., hlm. 383 56Soenarjo, dkk., op. cit., hlm 847 57Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya,

1993), hlm. 74

39

�� ���!� � �w �')�D���<� �& �'��X�!� �'��S��� @���H� �&��%.q�!-3q����� ����[�� ����6�#���� �%� �&�

�'����D��m���&������D���������V�k� ��� Q5�B�&�'D%7hi�9�

“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S Ali Imron : 104)58

Oleh karenanya muslim yang satu harus saling mengenal dan

membantu muslim yang lain. Terhadap sesama manusia baik yang berada

di dalam satu keluarga, sesama tetangga dan sesama teman wujud bantu-

membantu atau kerja sama tersebut ialah menjenguk orang yang sakit,

membantu anak yatim, menolong orang miskin, memberi salam bila

bertemu di jalan dan sebagainya. Di antara sesama manusia, selalu

berusaha untuk berbuat baik dan menjauhkan diri dari perbuatan yang

buruk.

Pada prinsipnya rohani manusia mempunyai ratio (gejala berpikir,

yang alatnya ratio), rasa (gejala merasa) dan karsa (gejala

berkehendak).59 Maka perbuatan yang mengandung pendidikan akhlak

terhadap sesama manusia pada intinya adalah manusia dapat merasakan

apa yang dirasakan sesamanya dan berbuat yang terbaik bagi kehidupan

sesamanya serta menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia lain.

3. Akhlak terhadap lingkungan

Lingkungan yang dimaksud di sini adalah alam sekitar. “Manusia

sebagai khalifah, pengganti dan pengelola alam, sementara di sisi lain

mereka diturunkan ke bumi ini adalah agar membawa rahmat dan cinta

kasih kepada alam seisinya, termasuk lingkungan dan manusia secara

keseluruhan”.60

58Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 93 59Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), hlm. 136 60Amin Syukur, op. cit., hlm. 145

40

Pada dasarnya akhlak yang diajarkan al qur’an terhadap lingkungan

bersumber dari fungsi manusia sebagai kholifah. Kekholifahan

mengandung arti pengayoman, pemeliharaan serta bimbingan agar setiap

mahluk mencapai tujuan penciptaannya. Kekholifahan menuntut adanya

interaksi manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam.

Al-Qur’an al-Jatsiyah ayat : 13, menyatakan :

�?�� ���e ��s��@�O������� ���]�D�����@�O��������������'�S�*������)��D�\QQ5���3�M��7h�9�

“Dan Dia (Allah) menundukkan untuk kamu semua yang ada di langit dan di bumi semuanya sebagai rahmat darinya… ” (Q.S. al-Jatsiyah : 13)61

Ini berarti bahwa alam raya telah ditunjukkan Allah untuk manusia.

Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun, pada

saat yang sama manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada

segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya. Berapapun harga

benda-benda itu ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda tersebut

sehingga mengorbankan kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini

dituntut untuk selalu mengingat-ingat bahwa ia boleh meraih apapun

asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan

kepentingannya di akhirat kelak.

Hubungan manusia dengan alam sekitar akan selaras apabila

tercipta suatu hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam.

Manusia tidak diperkenankan berlaku semena-mena terhadap makhluk

lain, seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Manusia berhak mengambil

bumi dan isinya sebagai alat untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat

dalam aspek kehidupan, serta dalam rangka mengabdi kepada Allah.

Untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup, baik dengan jalan

membangun, memakmurkan maupun menyejahterakan isi bumi adalah

61Ibid., hlm. 272

41

adalah tugas suci setiap muslim dari Allah Swt.62 Hal ini sesuai dengan

firman Allah SWT. dalam surat Huud ayat 61 :

�����W�����X���#��O����K��'�D)�6?��� ���e ��,���� ������K�5���78h9�

“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya”. (Q.S: Hud: 61).63

Memakmurkan bumi Allah dan alam sekitarnya adalah termasuk

akhlak yang baik yang di lakukan terhadap lingkungan, sekalipun

lingkungan itu berwujud alam flora dan fauna (alam tumbuh-tumbuhan

dan binatang).

Sebaliknya merusak terhadap lingkungan alam sekitar adalah

perbuatan yang dilarang oleh agama. Hal ini seperti disebutkan dalam

firman Allah surat al-A’raf ayat 85 :

� QQQ� ����E� � �, �.�����6��K� &�H� � ������ �-'��C� � �������G� � ��#�>�1A�H� �.)�<� �e ��s��@�O� � �

� �����(���5�Q�w�'%,��7x{9��

“…Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu�betul-betul orang-orang yang beriman”. (Q.S: al-A’raf).64

Ayat di atas dengan jelas Allah melarang membuat kerusakan di

muka bumi ini. Namun kemajuan ilmu dan teknologi dunia barat yang

menyilaukan terkadang membuat semuanya terlena dengan dampak yang

sebenarnya sangat besar baik di darat maupun dilaut. Dan semua itu tidak

lain menurut Rachmat Djatnika adalah karena adanya kemauan. Sedang

kemauan menurutnya ada dua, yaitu kemauan untuk melaksanakan dan

kemauan untuk meninggalkan.65

62Anwar Masy’ari, Akhlaq Al-Qur’an, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1990), hlm. 51 63Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 336 64Ibid., hlm. 235 65Rachmat Djatmika, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta: Pustaka Panjimas,

1996), hlm. 169

42

Dari kedua macam kemauan inilah kemudian terjadi berbagai

macam kejahatan dan kerusakan dimuka bumi. Sesungguhnya perbuatan

yang buruk adalah akibat dari kemauan yang buruk dan meninggalkan

yang baik. Allah telah mengingatkan kepada manusia bahwa:

�#�y['�T���@�O������������'�����������R�.!���f�T���K���D�<��'�T���� ���"�������"q������� )�<����#�Y!

��&��)�\'�!����#���)���������D�%�Q5'��� 7�h9�

“Telah timbul kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepadanya sebagian dari (akibat) perbuatannya, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.S: al-Rum: 41)66

4. Akhlak terhadap diri sendiri.

Pada diri manusia memiliki potensi yang tidakpernah dimiliki oleh

makhluk lainnya, seperti memahami, melihat dan mendengarkan.67

Apabila manusia tidak mempergunakan potensinya tersebut maka ia akan

kehilangan sifat kemanusiaanya (insaniah).

Manusia diingatkan oleh Allah Swt. agar benar-benar mengenal

dirinya sendiri. Seperti yang tersebut dalam surat al-Dzariyat berbunyi :

�O�� �& �'�+T�E��1�O��������������:5�Q�"��!�]�7�zh9�

“Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?.” (Q.S: al-Dzaariyat : 21) 68

Oleh karenanya, setiap manusia memiliki kewajiban moral yang

berkaitan dengan dirinya sendiri, yaitu :

i. Memelihara kesucian diri, baik jasmaniah maupun rohaniah, karena

Allah memuji orang yang suka membersihkan diri.

66Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 647 67Lihat Q.S: al-A’raf: 179 68Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 859

43

ii. Memelihara kerapian diri, di samping kebersihan rohani dan jasmani

perlu diperhatikan faktor kerapian sebagai manifestasi adanya disiplin

pribadi dan keharmonisan pribadi.

iii. Berlaku tenang (tidak terburu-buru), karena ketenangan dalam sikap

termasuk dalam rangkaian akhlaqul karimah (mahmudah).

iv. Menambah pengetahuan karena mengingat bahwa hidup ini penuh

dengan pergulatan dan kesulitan. Untuk mengatasi hal itu dan mencari

jalan yang terbaik diperlukan ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk

memperbaiki kehidupannya.

v. Membina disiplin pribadi, salah satu kewajiban terhadap diri sendiri

ialah menempa diri sendiri, melatih diri sendiri untuk membina disiplin

pribadi. Karena disiplin pribadi dibutuhkan sebagai sikap dan sifat yang

terpuji (fadhlah) yang menyertai kesabaran, ketekunan, kerajinan,

kesetiaan dan lain-lain sifat bagi pembinaan pribadi.69

Sifat disiplin dapat dicermati dalam Al qur’an surat Al Hasyr ayat 18

yang yang berbunyi :

.�d���f���.���������-a�����'�Z��6��� ���t�����Y�E������������ !�"������#$!u!m��t�����Yq�E�� �QQQ5�'W���7hx9�

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah…” (Q.S. Al Hasyr : 18) 70

Selain sifat tersebut diatas, termasuk akhlak yang mulia terhadap

diri sendiri adalah sifat rela berkorban. Manusia hendaknya menanamkan

sifat rela berkorban pada pribadinya. Firman Allah dalam surat

QQQ3�A��+�C����#�<���&��K������ ���#��������@���%��& �'�M(�!�� 5�QQQ����7}�9�“… Dan mereka mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri, walaupun mereka amat membutuhkan… ” (Q.S: al-Hasyr: 9).71

69Hamzah Ya’qub, op. cit., hlm. 138-140 70Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 919 71Ibid., hlm. 917

44

Akhlak Islam tergambar sosok dalam pribadi yang bertakwa,

yaitu manusia yang sanggup beraktivitas, berkata dan berfikir sesuai

dengan ajaran Islam. Secara sederhana dapat digambarkan, orang yang

mampu berkata, bertindak dan berfikir yang sesuai dengan kehendak

Allah, tidak merugikan orang lain, tidak merusak keberadaan alam sekitar,

dan tidak pula merugikan diri sendiri. Semua itu dilakukan bukan lantaran

mengharap sesuatu yang bersifat keduniaan belaka, melainkan juga

mencari ridla dari Allah Swt. Itulah akhlak Islam yang tertinggi.

Kesopanan dan kebaikan haruslah ditegakkan, sekalipun terhadap binatang

dan tumbuh-tumbuhan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akhlak Anak

Secara psikologis, anak tidak hanya berusaha mempertahankan

keseimbangan dirinya secara lahir maupun batin saja, akan tetapi dia justru

mencari ketidakimbangan (sesuatu yang lain), yaitu dengan ingin mencari

pengalaman-pengalaman baru, bereksperimen dan menjelajahi arena asing,

guna mencoba potensinya, dan mengetest bakat barunya.72 Apabila

kemampuan intelektualnya sudah berkembang, maka ia akan

memperlihatkan rasa ingin tahunya, dan terus menerus bertanya tentang

berbagai macam peristiwa. Sebab anak merupakan agent (subjek) aktif

yang memfungsikan segenap kemampuan dalam proses

perkembangannya.73 Selain itu, fungsi jasmani dan rohani anak belum

berkembang secara sempurna, ia mudah terpengaruh oleh akal budinya

yang masih primitif dan sederhana, sehingga ia belum mampu menyelami

perasaan dan pikiran orang lain.74

72Kartini Kartono, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan), ( Bandung: Mandar Maju,

1995), hlm. 22. 73Ibid., hlm. 23. 74Ibid., hlm. 107-109.

45

Perkembangan anak, pada awalnya mengimitasi (meniru) apa yang

dilihat dan didengarnya kemudian berusaha untuk menyampaikan kepada

orang lain, dan faktor imitasi ini sebagai dasar untuk dapat berinteraksi di

masyarakat kelak.75

Hal tersebut juga diperkuat dengan adanya teori tentang deliberate

imitation (pertimbangan dalam peniruan), yang membagi proses peniruan

menjadi 3 fase, yaitu:

1. Proyektif (projective stage), pada taraf ini anak mendapatkan kesan

mengenai model (obyek) yang ditiru.

2. Subyektif (Subjective stage), pada taraf ini anak cenderung untuk

meniru gerakan-gerakan, atau sikap model atau obyeknya.

3. Eyektif (eyektif stage), pada taraf ini anak telah menguasai hal yang

ditirunya itu, dia dapat mengerti bagaimana orang merasa, berangan-

angan, berfikir dan sebagainya.76

Padahal kalau dilihat dari jenis pendidikan, keluarga yang

dikatakan sebagai pendidikan in-formal mempunyai peran yang sangat

menentukan dalam rangka membentuk karakter anak (character building).

Tugas mendidik ini dilakukan atas dasar perasaan tanggungjawab, cinta

dan kasih sayang. Dari pendidikan keluarga inilah yang mendasari semua

jenis pendidikan baik jasmani maupun rohani. Norma-norma sosial,

agama, kesusilaan dan lain-lain mulai dikenal dan ditanamkan dalam

keluarga.77

Secara psikologis, masa anak merupakan masa awal sebagai

penentu bagi kepribadian-kepribadian pada masa selanjutnya. Hal tersebut

dapat dilihat dari pendapat Ki Hajar Dewantoro sebagaimana uyang

dikutip oleh Soewarmin, tentang pendidikan sejak dini, yang dikenal

dengan sistem “among” dan “tut wuri handayani”. Mengemong anak

75Bimo Walgito, Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Andi Offset, 1994),

hlm. 66. 76Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),

hlm. 175 77Soewarmin, Pendidikan Sistematik Seri I, (Yogyakarta: Panca Dewi, 1983), hlm. 13

46

berarti memberi kebebasan anak bergerak menurut kemauan dan cita-

citanya, tetapi pamong (pendidik) akan bertindak bila perlu dengan paksa

apabila tindakan anak akan membahayakan keselamatannya. Sedangkan

tut wuri handayani berarti pendidik mengikuti dari belakang, memberi

kemerdekaan bergerak anak didiknya, tetapi handayani mempengaruhi

dengan daya kekautannya, bila perlu dengan paksaan, bila kebebasan yang

diberikan itu untuk menyeleweng dan akan membahayakan hidupnya.78

Sejalan dengan pentingnya pendidikan, terutama proses

pembentukan akhlak mulia sebagai hasil dari pendidikan, maka beberapa

aspek yang berkaitan dengan pendidikan sudah seharusnya memperhatikan

hal tersebut. Beberapa komponen yang terlibat dalam proses pendidikan

adalah sebagai berikut:

Pendidik, sebagai seorang pendidik, baik orang tua dalam keluarga

maupun guru yang ada di sekolahan haruslah mempunyai kriteria. Imam

al-Ghazali79 dalam Ihya’ Ulum al-Din, Juz I berpendapat seorang guru

adalah:

1. Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya

sendiri.

2. Guru jangan mengharapkan materi sebagaimana tujuan utama dari

pekerjaan tersebut. Karena mengajar adalah tugas yang di wariskan

oleh Nabi Muhammad Saw. Sedangkan upahnya terletak pada

terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang di ajarkannya.

3. Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuan dalam menuntut ilmu

bukan untuk kebanggan diri atau mencari keuntungan pribadi tertapi

untuk mendekatkan diri kepada Allah.

4. Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat,

yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan ahirat.

78Ibid., hlm. 14-15 79Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (t.tp.: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.), hlm.

55-58

47

5. Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat

intelektual dan daya tangkap anak didik.

6. Guru harus dalam menyampaikan ilmu sesuai dengan kemampuan

pemahamannya, karena ia menjadi idola di mata anak didiknya.

7. Guru harus memahami minat anak didiknya, sehingga di samping tidak

akan salah mendidik juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik.

8. Guru harus mengamalkan ilmunya dan tidak berbohong dengan apa

yang ia pelajari dan ajarkan, sehingga anak didik dapat menirunya.

Oleh karenanya secara konvensial guru paling tidak harus memiliki

tiga kualifikasi dasar, yaitu menguasai materi, antusiasme, dan penuh

kasih sayang (loving) dalam mengajar dan mendidik. Sehigga misi utama

guru adalah “enlighting” mencerdaskan bangsa bukan sebaliknya

membodohkan masyarakat, mempersiapkan anak didik sebagai individu

yang bertanggungjawab dan mandiri bukan manja dan beban masyarakat.

Proses pencerdasan harus berangkat dari pandangan filosofis guru bahwa

anak didik adalah individu yang memiliki beberapa kemampuan dan

ketrampilan. Di dunia barat, kemampuan ini berhasil dikembangkan

sedemikian rupa hingga tidak kurang para ahli pendidikan menyebut

kemampuan ini sebagai “mega skill” atau kemampuan hebat.80

Ada beberapa point yang berhubungan dengan sikap (bagian dari

metode) yang tidak mendukung perkembangan kualitas keberagamaan

(terutama character building) anak yang biasanya ditemukan dilapangan

atau dalam kehidupan sehari-hari. Point-point itu perlu dipandang sebagai

“common mistakes” dalam mendidik anak.

Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:

1. Orang tua:

- Tidak memperkenalkan pendidikan common sense dan problem

solving

80Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme

Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 194

48

- Tidak menawarkan ajaran kesadaran kedisiplinan yang built-in

(sesuatu yang yang menyatu dengan proses pendidikan/ integrated)

- Tidak acuh terhadap perkembangan dan kegiatan anak

- Mendidik dengan cara menakut-nakuti anak

- Sering mengambinghitamkan dan menghukum anak

- Menyerahkan anak sepenuhnya pada sekolah dan guru mengaji atau

privat

- Tidak ada kontrol sosial terhadap sekolah

- Tidak mau tahu siapa kawan main anak

- Tidak memonitor kegiatan anak di luar sekolah, misalnya acara TV

dan jenis bacaan apa yang disukai anak

- Lebih sering menasehati anak dengan cara mengancam

- Tidak ada kontekstualisasi ajaran agama, agama hanya dipandang

sebagai kegiatan ritual.

2. Sekolah:

- Guru hanya mengejar standart nilai atau IP (mengajar berbeda

dengan mendidik) sehingga kurang atau tidak memperhatikan budi

pekerti anak

- Para pemimpin sekolah lebih berorientasi pada pembangunan fisik

sekolah dari pada pembangunan manusia seutuhnya

- Pendekatan otoriter, baik dari pihak pemimpin sekolah maupun guru

- Tidak ada penghargaan bagi anak yang berprestasi, bahkan guru

lebih sering menghukum

- Komunikasi guru dengan anak didik hanya terjadi di kelas

- Kegiatan keagamaan lebih merupakan kegiatan formalitas,

insidental, tidak sistemik, dan tidak berkelanjutan

- Kecerdasan anak tidak diimbangi dengan kepekaan sosial dan

ketajaman spiritualitas beragama.

3. Lingkungan tetangga (masyarakat):

- Tidak saling mengenal, tidak saling menegur dan tidak adanya

kontrol sosial

49

- Tidak ada pertemuan rutin atau perkumpulan sosial keagamaan,

seperti pegajian RT atau masjid yang melibatkan anak

- PKK tidak perduli terhadap masalah-masalah kenakalan remaja,

tetapi lebih peduli pada masalah dapur.81

Untuk mengatasi ketimpangan dan krisis keberagamaan (terutama

akhlak) dalam dunia pendidikan anak, sangat perlu adanya upaya-upaya

untuk mengatasi problema di atas, yaitu:

a. Guru hendaknya bertindak sebagai role model, suri teladan bagi

kehidupan sosial akademis siswa, baik didalam maupun diluar kelas.

Guru harus memberi contoh komitmen dan dinamika diri dalam

kegiatan-kegiatan akademis dan sosial keagamaan, seperti membaca

(baik di perpustakaan maupun ditempat lain), berdiskusi, meneliti,

menulis, ataupun kegiatan-kegiatan amar ma’ruf nahi munkar (kontrol

sosial) yang tercermin dalam ucapan dan tingkah laku sehari-hari.

b. Guru harus menunjukkan sikap kasih sayang kepada siswa: antusias

dan ikhlas mendengar dan menjawab pertanyaan: serta menjauhkan

sikap emosional dan feodal, seperti cepat marah dan tersinggung

karena pertanyaan siswa sering disalah artikan sebagai mengurangi

wibawa.

c. Guru hendaknya memperlakukan siswa sebagai subyek dan mitra

belajar, bukan objek. Pendidikan orang dewasa (adult education), yang

menekankan belajar mandiri, kemampuan membaca, berfikir kritis,

perlu ditingkatkan secara konsisten dalam proses belajar mengajar.

Sudah saatnya guru mengupayakan iklim dialogis/ interaktif di kelas

(terhadap anak didik), dimulai dari tingkat dasar.

d. Guru hendaknya bertindak sebagai fasilitator, promotor of learning

yang lebih mengutamakan bimbingan, menumbuhkan kreatifitas siswa,

serta interaktif dan komunikatif dengan siswa. Sebagi pembimbing

yang arif guru hendaknya memanfaatkan interaksi dengan siswa

81Ibid., hlm. 197-199

50

sebagai proses peningkatan diri melalui feedback konstruktif dari siswa

baik langsung maupun tidak langsung.82

Murid, sejalan dengan prinsip bahwa menuntut ilmu pengetahuan itu

sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka sebagai murid

sudah seyogyanya mempunyai komitmen sebagai berikut:

a. Membersihkan jiwa dari akhlak yang rendah serta sifat-sifat yang

tercela.

b. Menjauhkan diri dari gemerlap dunia

c. Memuliakan guru dan bersikap rendah hati atau tidak takabbur.83

Al-Qur'an juga menyinggung proses pendidikan terhadap anak,

sebagaimana yang telah diwahyukan kepada ibu Nabi Musa, yaitu:

���:�O��S�E��, �[������:�O� �*��Y��X�O� �*����%� �f��C���G�_�O� �*��)�;���� &���@�?����[����@���H������> ���

��� ����?'�D���� ����U����%��\� ��V����H��U $���������H�:���v�E��,� 5� +Y���7j9�

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul”. (QS. Al-Qashash:7)84

Ayat tersebut memberikan inspirasi bahwa perhatian dan kasih sayang

terhadap anak sebagai buah hati adalah suatu kewajiban. Oleh karenanya

pendidikan dalam mendewasakan anak, baik dalam kondisi suka maupun duka

tetap menjadi prioritas, sehingga ketika anak beranjak dewasa dan benturan-

benturan budaya serta lingkungan yang kurang mendukung, anak tersebut

sudah terlatih karena keyakinan dalam hati tentang Tuhan pengatur segalanya

sudah terpatri dalam jiwanya.85

82Ibid., hlm. 203 83Imam al-Ghazali, op.cit., hlm. 49-50 84 Soenarjo, dkk., op. cit., hlm. 610 85Imam Abu Abdullah al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Holy Qur’an), ed. 6.

50., Sakhr, 1997.

51

Senada hal tersebut Abu Muflih86 ketika mengkomentari surat al-

Qashash ayat 7, tentang pendidikan anak, ia berpendapat bahwa ada beberapa

pelajaran yang menarik betapa pentingnya mendidik anak, yaitu: intisari

dalam pedoman pendidikan anak yang telah Allah ilhamkan kepada ibunda

Musa, karena di dalam ayat tersebut mempunyai berbagai muatan, yaitu:

- Dua perintah Allah

- Dua larangan Allah

- Dua janji Allah

Adapun penjelasan dari dua perintah tersebut adalah:

a. Susukanlah: Susu merupakan minuman yang "bersih" dan menyehatkan.

Oleh karena itu orang tua diwajibkan memberikan makanan yang bersih

(halal) dan yang menyehatkan (halalan thoyiban).

b. Jatuhkan ke sungai: Ini merupakan suatu perintah Allah AWT yang

irrasional, tapi hal ini akan membangkitkan keyakinan kepada Allah

bahwa segala perintah-Nya adalah baik untuk kita.

Sedangkan penjelasan dari dua larangan tersebut adalah:

a. Jangan kuatir: Menghadapi kehidupan ini kita harus berani, jangan takut

menghadapi segala cobaan atau halangan (tidak takut hidup).

b. Jangan berjiwa lemah: Kita tidak boleh berjiwa lemah dan mudah emosi

dalam menjalani kehidupan ini.

Adapun komentar dari dua janji tersebut adalah:

a. Mengembalikannya: Bila anak-anak telah dididik secara islami, maka

mereka akan mempunyai rasa tanggungjawab untuk merawat ke dua orang

tuanya kelak.

b. Menjadi Rosul (pemimpin): Anak-anak tersebut akan menjadi pemimpin.

Oleh sebab itu pendidikan anak dalam Islam merupakan hal yang

sangat penting dan yang sangat diperhatikan adalah yang berkaitan dengan

beberapa hal, yaitu:

86Abu Muflih, Pendidikan Anak dari Tafsir Surat al-Qashash ayat 7, Dunia Pendidikan,

html., 2003.

52

1. Pendidikan intelektual

2. Pendidikan akhlak

3. Pendidikan tanggungjawab

4. Pendidikan pergerakan Islam (harakah islamiyah)

Beberapa orientasi yang perlu dicamkan dalam mendidik anak:

a. Jadikan anak sebagai penyedap mata (qurrata aiyn)87

b. Didiklah anak sehingga dia nantinya mampu memikul beban.

c. Didiklah sehingga mampu sebagai pemimpin orang-orang yang bertaqwa.

d. Persiapkan anak sebagai generasi penerus risalah Islam

e. Jadikan anak sebagai investasi orang tua di dunia dan di akhirat.

Dalam mendidik anak diperlukan bahasa komunikasi yang tepat, dan

Islam pun dalam masalah ini telah memberikan contoh:

1. Bahasa Otoriter: Misalnya dalam memberikan pelajaran sholat, bila anak

telah berusia 10 tahun belum mau sholat, maka orang tua boleh

memukulnya (pada tangan/kaki). Disini dapat diambil pelajaran, bahwa

orang tua hanya boleh memukul anak setelah usia 10 tahun dan dalam

masalah sholat, bukan karena tidak mau tidur siang atau malas mandi.

2. Bahasa Edukatif: Pembicaraan antar Luqman dan anaknya dalam Al

Quran merupakan salah satu contoh dari bahasa edukatif ini, yaitu:

“(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu

perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di

dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).

Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. (Q.S:

Luqman:16).

3. Bahasa Demokrasi: Allah telah memberikan contoh yang sangat indah dari

dialog antara nabi Ibrahim as dengan Nabi Ismail as, ketika Allah

memerintahkan nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya.88

87Baca Q.S: al-Furqan: 74 88Baca Q.S: al-Shaffat: 102

53

Itulah betapa pentingnya pendidikan akhlak, di samping pelajaran yang

lain yang bermanfaat dalam menyongsong kehidupan dunia dan akhirat. Akan

tetapi yang sangat ditonjolkan dalam pendidikan adalah bagaimana seorang

pendidik tersebut mampu dijadikan figur oleh anak didiknya, terutama adalah

akhlaknya. Kalau akhlak pendidik tidak ada masalah dan patut menjadi

teladan, maka murid juga tidak salah kalau mengidolakan gurunya daripada

orang lain. Akan tetapi jika pendidiknya berakhlak rendah, siapakah yang

akan dijadikan rujukan ketika murid bertanya, karena pendidiknya hanya bisa

berbicara akan tetapi prakteknya kosong, sebagaimana pepatah mengatakan

”tong kosong berbunyi nyaring” atau “jarkoni” bisa mengajar tetapi tidak bisa

melaksanakan.89

Dari sinilah betapa pentingnya sebuah pengawasan dalam mendidik

anak, yaitu dengan memberikan kebebasan sesuai dengan bakatnya untuk

meraih cit-cita, akan tetapi bisa juga bertindak tegas jika si anak tidak sesuai

dengan tujuan awal dan menyeleweng dari norma.

C. Pengaruh Keluarga Disharmoni Terhadap Pendidikan Akhlak Anak

Dalam masyarakat sering dijumpai berbagai persoalan yang ada dalam

masyarakat seperti juvenile delinquency (kenakalan anak-anak dan remaja), 90

% dari jumlah anak-anak yang delinkuen berasal dari keluarga yang

berantakan (broken home). Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan tidak

beruntung (gagal) membuahkan masalah psikologis personal dan adjusment

(penyesuaian diri) akan mengganggu pada diri anak, sehingga mereka akan

89Secara psikologis perkembangan anak dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu:

a. Kemasakan b. Pengalaman c. Interaksi sosial d. Equlilibration (proses dari ketiga faktor di atas bersama-sama untuk membangun dan

memperbaiki struktur mental). Di antara faktor dominan yang mempengaruhi dalam pembentukan mental atau perilaku anak adalah nomor 2 & 3, di sana pengalaman hubungan dengan lingkungan sekitar adalah sangat menentukan dalam pendidikan akhlak terhadap anak, terutama adalah keluarga sebagai lingkungan pertama kali yang pernah dilihat dan diikuti sebagai pedoman dalam berkiblat. Keterangan lebih lanjut bagaimana pengaruhnya bimbingan dan pendidikan keluarga dalam menbentuk mental anak dapat dibaca dalam Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hlm. 13

54

mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga sebagai usaha pemecahan

konflik batinnya dalam perilaku delinkuen.90

Keluarga juga dapat berpengaruh bagi perkembangan anak seperti;

Pertama, keluarga yang ayah ibunya tidak mampu berfungsi sebagai pendidik,

maka keluarga yang demikian menyebabkan anak menjadi terganggu dan

tidak dapat menjadi dewasa secara psikis serta tidak dapat hidup mandiri

dalam kedewasaanya. Kedua, keluarga tidak berfungsi sebagai lembaga psiko-

sosial, keluarga tidak mampu menyalurkan impuls-impuls melalui kanal

penyalur yang wajar, sesuai dengan norma-norma susila. Ketidaksanggupan

keluarga memberikan peranan sosial dan status sosial kepada anak-anaknya,

justru memusnahkan harga diri anak.91

Akibat kelalaian (kurangnya perhatian) orang tua dalam mendidik

anaknya, tidak adanya kontrol yang terus menerus, serta tidak berkembangnya

disiplin diri, akan membawa pengaruh yang besar, yaitu anak akan mudah

terbawa pada lingkungan sosial yang menyimpang dari norma yang berlaku.92

Berdasarkan fenomena tersebut, penyebab buruk dan mulianya akhlak

anak yang utama adalah lingkungan keluarga, maka diharapkan keluarga

mampu menjadi keluarga yang sempurna dan keseluruhannya dapat berfungsi

berdasarkan keanggotaanya, seperti seorang ayah berkewajiban memberikan

nafkah baik lahir maupun batin bagi istri dan anaknya, demikian pula seorang

istri dapat berperan sebagai pendamping suami dan sekaligus menjadi

pendidik dan pembina bagi anak-anaknya, sedangkan anak merupakan sosok

yang haus akan bimbingan, perhatian dan kasih sayang dari orang-orang yang

ada di sekelilingnya.

Pendidikan, terutama pendidikan akhlak adalah mutlak dibutuhkan

oleh anak, oleh karena itu peran bimbingan dari keluarga adalah sangat

menentukan di samping anak menuntut ilmu di sekolah, karena sesuai dengan

90Kartini Kartono, Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, (Jakarta: CV. Rajawali, 1992), hlm.26.

91Kartini Kartono, Patologi Sosial 3, Gangguan-Gangguan Kejiwaan, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), hlm. 38-39.

92Kartini Kartono, Patologi Sosial 2, op.cit., hlm. 28.

55

prinsip pertumbuhannya, seseorang anak menjadi dewasa memerlukan

bimbingan sesuai dengan prinsip dirinya, yaitu:

1. Prinsip biologis, secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan

lemah. Yaitu dia tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang yang

disekelilingnya.

2. Prinsip tanpa daya, sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik

dan psikis maka anak yang baru dilahirkan mau menginjak usia dewasa

selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya.

3. Prinsip eksplorasi, pemantapan dan kesempurnaan perkembangan pada

potensi manusia yang dibacanya sejak lahir jasmani maupun rohani

memerlukan pengembang melalui pemeliharaan dan latihan. 93

Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan

dan pengalaman yang dilalui nya, terutama pada masa-masa pertumbuhan

yang pertama (masa anak) dari umur 0-12 tahun. Seorang anak yang pada

masa anak itu tidak mendapatkan pendidikan agama dan tidak pula

mempunyai pengalaman keagamaan, maka ia nanti setelah dewasa akan

cenderung kepada sikap negatif terhadap agama. 94

Pada masa pertumbuhan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan

berkaitan dengan perkembangan mental anak tersebut, yaitu:

1. Rasa ketergantungan

Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes

menurutnya manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan

yaitu: keinginan untuk perlindungan (security), keinginan Akan

pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan

(response), dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan

kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak

dilahirkan hidup dalam ketergantungan, melalui pengalaman-pengalaman

yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa

keagamaan pada anak.

93Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 64 94Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 59

56

2. Insting keagamaan

Menurut Wood Worth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki

beberapa instinct, di antaranya insting keagamaan. Belum terikatnya

tindak keagamaan pada diri anak karena fungsi kejiwaannya menopang

kematangan berfungsinya insting itu belum sempurna. Misalnya insting

sosial pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai mahkluk homo

socius, baru akan berfungsi setelah anak- anak bergaul dan berkemampuan

untuk berkomunikasi. 95

Oleh karenanya, jika pada mulanya anak tidak mendapatkan

pendidikan agama, yang implementasi dari pendidikan agama adalah akhlak

itu sendiri, maka seorang anak yang pada masa anak itu tidak mendapatkan

pengetahuan dan pengalaman tentang ajaran agama, yaitu akhlak, yang

nantinya setelah dewasa akan cenderung kepada sikap negatif terhadap

agama.96

Seyogyanya pendidikan akhlak masuk ke dalam pribadi anak

bersamaan dengan pertumbuhan pribadinya yaitu sejak lahir, karena

pendidikan akhlak sejak dini akan mempengaruhi jiwa si anak tersebut. Si

anak akan mulai mengenal Tuhan melalui orang tua dan lingkungan

keluarganya. Kata-kata, sikap, tindakan dan perbuatan orang tua sangat

mempengaruhi tingkah laku anak tersebut. Selain itu guru (terutama agama) di

sekolah dasar juga memegang peranan penting dalam pengembangan akhlak

pada anak. Hanya guru agama yang pandai dan bijaksana-lah yang dapat

memperbaiki dan mendekatkan semua anak ke arah perkembangan agama

yang sehat. 97 Oleh karenanya orang tua dan semua guru ingin membawa anak

agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap

mental yang sehat dan akhlak yang terpuji.

Akhlak terpuji merupakan solusi yang jitu dalam menghadapi krisis

akhlak, sehingga semua komponen, mulai keluarga (orang tua), lingkungan

95Jalaluddin, op. cit., hlm. 65 96Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, op. cit., hlm. 61 97Zakiah Darajat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hlm. 99

57

pendidikan (sekolah), maupun masyarakat harus bersama-sama memberikan

contoh yang baik. Inilah yang telah dituntunkan oleh Rasulullah:

����� �B���� ��D�#��%� �*����� �:�;��� 'D�%� � <� �*����� �.T�%� �=!�.�>� 7����� <� �*����� �.T�%�@���%� �����C��

���B��Y�O������?� ��*����%��*�����@���A��*������B��?����'�K�"�O��3�O������@���H��3�!� ��)������.���� ��>� 'D�%

[���6����,� ���W�>��O� ���!� ���� ����&�H������?� ��*����%��*�����@���A��*����� �B��?����B���� �B���� ���W

������1C���������?��>�����K������C5�Q�����U� �9 98�

“Hadis Abdullah bin Amr r.a katanya: Ketika Muawiyah berkunjung ke Kufah, maka Abdullah bin Amr bercerita tentang Rasulullah s.a.w katanya: Rasulullah s.a.w tidak pernah melampaui batas dan tidak pernah berbuat perkara keji. Beliau juga berkata: Rasulullah s.a.w pernah bersabda: Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang paling baik budi pekertinya”. (HR. Muslim)

Orang tua adalah pendidik sekaligus pembina pribadi pertama dalam

kehidupan anak. Faktor-faktor yang tak langsung dalam keluarga yang

mempengaruhi pembinaan pribadi anak di�antaranya yaitu; kepribadian orang

tua, sikap dan cara hidup orang tua, perlakuan orang tua terhadap semua

anaknya, dan hubungan anak dengan orang tuanya misalnya, itu adalah orang

yang pertama dikejar-kejar oleh anak: perhatian, penghargaan dan kasih

sayangnya karena ia adalah orang pertama yang dikenal anak.99 Artinya

pendidikan akhlak anak tergantung pada lingkungan di mana anak hidup dan

bergaul, sehingga keluarga merupakan faktor yang berpengaruh dalam

pembentukan karakter anak .

98Imam Muslim, Shahih al-Muslim, (Sakhr: al-Bayan, 1996), no. 1360 99Zakiah Darajat, op.cit., hlm. 76-dst