jaundice

37
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jaundice / Ikterus merupakan masalah yang sering terjadi, yang memerlukan perhatian medis pada bayi baru lahir/ neonatus. Warna kuning yang dapat dilihat di kulit dan sklera neonatus, merupakan akumulasi dari bilirubin yang tidak terkonjugasi. Pada sebagian bayi, meningkatnya kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam darah merupakan fenomena yang normal (fisiologis). Namun, pada sebagian bayi lainnya, serum bilirubin pada darah yang meningkat dapat menjadi neurotoksik sehingga menyebabkan kelainan neurologis seumur hidup ataupun kematian pada bayi (kern icterus). Kematian neonatus akibat jaundice fisiologis seharusnya tidak terjadi. Kematian akibat kern icterus sering terjadi terutama pada daerah yang belum berkembang. Untuk alasan inilah, terjadinya jaundice pada neonatus sangat penting untuk didiagnosis dan diterapi 1 . Hampir semua neonatus mengalami kenaikkan kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi pada kehidupan di minggu pertamanya. Keadaan hiperbilirubinemia dapat mencapai lebih dari 1.8 mg/dL. Faktor risiko yang merupakan penyebab tersering ikterus neonatorum di wilayah Asia dan Asia Tenggara antara lain, inkompatibilitas ABO, defisiensi enzim G6PD, BBLR, sepsis neonatorum, dan prematuritas 1,2 . Insiden ini dapat dipengaruhi oleh berbagai etnis dan geografi. Insiden jaundice tertinggi pada Asia dan America,

Upload: bernardus-mario-vito

Post on 16-Nov-2015

51 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

anak

TRANSCRIPT

JAUNDICE PADA NEONATUS

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jaundice / Ikterus merupakan masalah yang sering terjadi, yang memerlukan perhatian medis pada bayi baru lahir/ neonatus. Warna kuning yang dapat dilihat di kulit dan sklera neonatus, merupakan akumulasi dari bilirubin yang tidak terkonjugasi. Pada sebagian bayi, meningkatnya kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam darah merupakan fenomena yang normal (fisiologis). Namun, pada sebagian bayi lainnya, serum bilirubin pada darah yang meningkat dapat menjadi neurotoksik sehingga menyebabkan kelainan neurologis seumur hidup ataupun kematian pada bayi (kern icterus). Kematian neonatus akibat jaundice fisiologis seharusnya tidak terjadi. Kematian akibat kern icterus sering terjadi terutama pada daerah yang belum berkembang. Untuk alasan inilah, terjadinya jaundice pada neonatus sangat penting untuk didiagnosis dan diterapi 1. Hampir semua neonatus mengalami kenaikkan kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi pada kehidupan di minggu pertamanya. Keadaan hiperbilirubinemia dapat mencapai lebih dari 1.8 mg/dL. Faktor risiko yang merupakan penyebab tersering ikterus neonatorum di wilayah Asia dan Asia Tenggara antara lain, inkompatibilitas ABO, defisiensi enzim G6PD, BBLR, sepsis neonatorum, dan prematuritas 1,2.Insiden ini dapat dipengaruhi oleh berbagai etnis dan geografi. Insiden jaundice tertinggi pada Asia dan America, dan terendah pada Africa 1. Di Indonesia, didapatkan data jaundice neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi jaundice pada neonatus sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin diatas 13 mg/dL. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatus (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia. Tahun 2010 di RSU Dr. Pirngadi Medan terdapat insiden ikterus sebanyak 76 (16%) dari 481 bayi baru lahir yang dirawat di ruang perinatologi.Oleh karena angka kejadian jaundice pada neonatus sering terjadi, maka pada kesempatan kali ini penulis akan membahas mengenai jaundice fisiologis pada neonatus, diagnosis banding jaundice neonatus, dan tatalaksana jaundice neonatus.1.2 Rumusan MasalahPada refrat kali ini penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut :

Definisi Jaundice Pendekatan Jaundice Neonatus

Klasifikasi Jaundice : Jaundice Fisiologis dan Jaundice Patologis

Patofisiologi Jaundice

Derajat Jaundice Diagnosis Banding Jaundice Patologis

Tatalaksana Jaundice

1.3 TujuanPada refrat ini memiliki tujuan untuk mengetahui Definisi Jaundice

Pendekatan Jaundice Neonatus

Klasifikasi Jaundice : Jaundice Fisiologis dan Jaundice Patologis

Patofisiologi Jaundice

Derajat Jaundice

Diagnosis Banding Jaundice Patologis

Tatalaksana Jaundice

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1 Fisiologi Metabolisme BilirubinSumber utama dari bilirubin pada janin dan neonatus berasal dari pemecahan heme pada hemoglobin di dalam eritrosit. Heme merupakan suatu cincin porfirin yang berikatan dengan ion besi (Fe). Proses pemecahan heme diperantarai oleh enzim oksigenase menjadi besi dan biliverdin. Senyawa besi kemudian didaur ulang dan biliverdin direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reductase. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat lipofilik dan dapat berikatan erat dengan albumin dalam sirkulasi. Setelah dirubah menjadi bilirubin terkonjugasi, senyawa ini berubah menjadi larut dalam air dan bilirubin diglucuronide sehingga dapat diekskresi. Proses ini terjadi di hepar dan bergantung pada ligandin, suatu protein pembawa, dan uridine diphospho glucuronyl transferase.

Bilirubin merupakan senyawa tetrapirol dengan empat cincin pirol. Bagian luar cincin pirol dihubungkan dengan bagian dalam cincin oleh jembatan methana. Molekul bilirubin dijaga kestabilannya oleh ikatan hidrogen. Jembatan methana mempengaruhi ikatan hidrogen yang menyebabkan reaksi diazo (dasar dari pengukuran bilirubin indirek). Grup COOH dan NH dari cincin pirol ini merupakan grup hidrofilik sehingga mereka dapat berikatan dengan air, berbeda dengan grup hidrokarbon yang merupakan grup hidrofobik, dimana tidak dapat larut dalam air tetapi larut dalam larutan non polar seperti kloroform.

Gambar 1 Molekul Bilirubin

Hemoglobin dipecah menjadi hemo dan globin. Satu gram hemoglobin menghasilkan 35mg bilirubin. Dalam kondisi fisiologis 1-2 x 108 eritrosit dihancurkan setiap jamnya. Globin diubah menjadi asam amino dan digunakan kembali. Pemecahan heme berasal dari 2 sumber. Yang pertama berasal dari katabolisme sel darah merah (75%). Yang kedua berasal dari heme dari hati (bukan hemoglobin) seperti heme jaringan dan heme protein (sitokrom p450). Selain itu juga berasal dari eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang. Setelah mengalami degradasi, globulin dan komponen besi dipecah dari hemoglobin. Besi dari heme dipecahkan di retikuloendotelial sistem di hati, limpa, dan sumsum tulang menjadi ion ferri melalui proses heme oksigenase. Dengan penambahan oksigen, ion ferri dilepaskan, karbon monoksida dihasilkan, dan cincin tetrapirol dipisahkan menghasilkan biliverdin. Biliverdin berwarna hijau dan dipecahkan oleh enzim biliverdin reduktase menjadi bilirubin yang berwarna kuning (bilirubin tidak terkonjugasi). Bilirubin dari jaringan diikat oleh albumin dan dibawa ke hati. Terjadi 3 proses di hati :

1. Pengambilan bilirubin oleh sel parenkim hati

2. Konjugasi bilirubin oleh glukoronat di endoplasmik retikulum

3. Sekeresi bilirubin yang terkonjugasi oleh cairan empedu.

Di hati bilirubin dilepaskan dari albumin dan berikatan dengan protein (ligandin dan protein Y). Terjadi proses konjugasi dimana bilirubin yang bersifat nonpolar diubah menjadi polar oleh hepatosit dan disekresikan ke cairan empedu dengan menambahkan molekul asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi). Proses konjugasi diperatarai oleh enzim uridine diphospate gluconosyltransferase (UDPGT) menghasilkan bilirubin monoglukoronat. Setelah itu bilirubin monoglukoronat diubah menjadi bilirubin diglukoronat. Sekitar 200-250mg bilirubin diekskresi kedalam kantung empedu setiap harinya. Sembilan puluh persen diekskresi kedalam feses. Dalam usus, bakteri beta glukoronidase memecah bilirubin menjadi senyawa tak berwarna yaitu stercobilinogen. Senyawa ini kemudian dioksidasi sebagian menjadi stercobilin, senyawa berwarna kecoklatan yang nantinya mewarnai feses. Sekitar 10% dari seluruh bilirubin direk dirubah menjadi bilirubin tak terkonjugasi lagi oleh bakteri di usus dan direabsorbsi lagi kedalam hepar melalui sirkulasi enterohepatik. Sebagian kecil (sekitar 1%) mencapai sirkulasi sistemik dan diekskresi oleh ginjal sebagai urobilinogen.3

Gambar 2. Metabolisme Bilirubin

2.2 Definisi JaundiceIkterus neonatal / Jaundice mengacu pada warna kuning yang dapat dilihat di kulit dan membran mukosa pada bayi baru lahir yang disebabkan karena hiperbilirubinemia 4. Hiperbilirubinemia neonatus, didefinisikan sebagai total serum bilirubin di atas 5 mg/dL (86 mol per L) 2. Sekitar 50% dari bayi cukup bulan dan 80% dari bayi prematur sering mengalami jaundice, dimana jaundice sering kali muncul dalam 2-4 hari setelah bayi lahir, dan menghilang secara spontan setelah 1-2 minggu 4. Meskipun demikian, beberapa bayi memiliki kelainan yang mendasari keadaan hiperbilirubinemia yang merupakan keadaan patologis.

Bilirubin yang tidak terkonjugasi, ditransportasikan secara efisien melalui placenta dari darah bayi ke sirkulasi maternal dengan cara difusi pasif. Rata- rata total serum bilirubin pada tali pusat yaitu 1,4 1,9 mg/dL, dimana total serum bilirubin normal pada ibu kurang dari 1 mg/dL 5. Pengukuran bilirubin pada neonatus, dapat dilakukan dengan cara transkutaneus (TcB). Pada pengukuran ini, hasil pada persentil 50 atau diatasnya, puncak kenaikan kadar bilirubin tidak muncul sampai 96 jam dan bertahan pada nilai tertentu selama 120 jam (Gambar 1) 5.

Gambar 3. Pengukuran Transkutaneus BilirubinTerdapat perbedaan kenaikan kadar bilirubin pada neonatus lebih bulan dan neonatus cukup bulan. Pada neonatus lebih bulan (usia gestasi >40 minggu), puncak serum bilirubin pada TcB muncul saat usia neonatus 60 jam, dimana neonatus cukup bulan (usia gestasi 35-39 minggu), puncak serum bilirubin tidak muncul sampai usia neonatus 96 jam (Gambar 3) 5.

Gambar 4. Normogram Pengukuran Bilirubin Transkutaneus pada Neonatus Sehat 2.3 Jaundice FisiologisPeningkatan kadar serum bilirubin pada neonatus, dinamakan sebagai jaundice fisiologis. Beberapa kombinasi mekanisme terjadinya jaundice fisiologis yaitu 2,5,

Dalam keadaan normal, neonatus memproduksi bilirubin 6-8 mg/kg/hari, dimana angka ini 2,5 kali lebih banyak dari produksi bilirubin pada dewasa.

Neonatus mengabsorbsi bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam jumlah yang banyak dari saluran pencernaan (sirkulasi entero-hepatik). Pada neonatus, terdapat bakteri pada usus besar dan usus kecil yang berperan sebagai enzim glukoronidase untuk dekonjugasi. Sebagai hasilnya, bilirubin yang terkonjugasi (yang tidak dapat diserap), tidak dikonversi menjadi urobilinogen, akan tetapi di hidrolisis menjadi bilirubin yang tidak terkonjugasi. Bilirubin ini dapat diserap dan meningkatkan kadar bilirubin dalam serum darah.

Terdapat penurunan clearance bilirubin yang tidak terkonjugasi dari plasma. Hal ini disebabkan karena defisiensi ligandin (bilirubin-binding protein yang terdapat pada hepatosit), dan defisiensi enzim uridine diphosphate glucoronosyl transferase / UGTA1A (enzim yang membantu proses konjugasi bilirubin).

Pada umumnya, kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi pada serum tali pusat yaitu 1-3 mg/dL dan dapat meningkat dengan kecepatan 12,9 mg/dL dan 15 mg/dL. Pada bayi yang tidak memiliki faktor resiko, bilirubin yang tidak terkonjugasi jarang meningkat sampai diatas 12 mg/dL. Sedangkan pada bayi yang memiliki beberapa faktor resiko, memiliki kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi lebih tinggi.

Prediksi neonatus yang beresiko untuk mengalami jaundice fisiologis yang berlebihan dapat didasarkan pada tingkat bilirubin pada jam tertentu dalam 24-72 jam kehidupan.

Gambar 5. Nomogram Bhutan Kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi pada bayi cukup bulan, akan turun sesuai dengan kadar orang dewasa (1 mg/dL) sampai hari ke14 kehidupan. Bila kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi menetap selama lebih dari 2 minggu, dapat terjadi karena jaundice patologis, seperti hemolisis, defisiensi glucuronyl transferase, hipotiroid, dan lainnya. Pada umumnya, lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mencari penyebab jaundice apabila ditemukan pada keadaan berikut : Jaundice muncul pada =5 mg/dL/hari, Serum bilirubin >12 mg/dL pada bayi cukup bulan tanpa faktor resiko atau 10-14 mg/dL pada bayi kurang bulan, Jaundice yang persisten selama 10-14 hari, Kadar bilirubin yang terkonjugasi >2 mg/dL. Neonatus dengan faktor resiko yang multiple, dapat mengalami peningkatan bilirubin secara drastis yang bersifat fisiologis. Faktor resiko hiperbilirubinemia (terutama bilirubin yang tidak terkonjugasi) dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 2: Faktor maternal, seperti : usia gestasi, inkompatibilitas golongan darah ABO, inkompatibilitas rhesus, pemberian ASI / breastfeeding, penggunaan obat-obat tertentu (diazepam, oxytosin), ibu dari suku bangsa tertentu (Asian, American), dan penyakit ibu (diabetes gestasional). Faktor neonatus, seperti : trauma jalan lahir (cephalohematoma, memar pada kutaneus, dan persalinan dengan bantuan alat), obat-obatan yang diberikan kepada bayi (chloramphenicol, vitamin K), penurunan berat badan yang drastis setelah lahir, infeksi (toxoplasmosis, hepatitis B, rubella, cytomegalovirus, dan herpes simpleks virus), minum yang tidak adekuat, polisitemia, bayi prematur, dan riwayat saudara dengan hiperbilirubinemia.Pada keadaan fisiologis, jaundice dapat memiliki hubungan dengan menyusui. Hubungan jaundice dan menyusui dapat terjadi secara cepat ataupun lambat. Early Onset Breast-feeding Jaundice pada bayi baru lahir, dapat terjadi karena kekurangan kalori yang relatif dalam beberapa hari pertama. Penurunan volume dan frekuensi menyusui dapat mengakibatkan dehidrasi ringan dan terhambatnya aliran meconium dalam usus. Dibandingkan dengan bayi yang diberi susu formula, bayi yang mendapat ASI lebih sering 3-6 kali mengalami jaundice sedang (kadar total serum bilirubin >12 mg/dL) atau jaundice parah (kadar total serum bilirubin >15 mg/dL). Bayi yang mengalami hal ini, harus ditingkatkan frekuensi menyusuinya menjadi lebih dari 10 kali per hari.2Late Onset Breast Milk Jaundice muncul secara lambat, dengan kadar bilirubin yang meningkat pada hari ke 6-14 kehidupan. Hal ini dapat terjadi pada sepertiga bayi menyusui yang sehat. Total serum bilirubin dapat bervariasi mulai dari 12-20 mg/dL dan bukan patologis. 2 Penyebab utama jaundice pada bayi yang menyusui tidak diketahui secara pasti. Substansi pada air susu ibu seperti -glukuronidase dan asam lemak dapat menghambat metabolisme bilirubin yang normal. Kadar bilirubin biasanya mulai turun secara kontinu setelah bayi berusia 2 minggu, akan tetapi pada kasus tertentu kadar bilirubin dapat tetap naik selama 1-3 bulan. Jika diagnosis jaundice akibat menyusui masih diragukan atau kadar total bilirubin yang meningkat, proses menyusui dapat dihentikan secara sementara. Sementara bayi diberikan susu formula, seharusnya kadar total bilirubin mulai turun secara cepat setelah 48 jam (kecepatan turun 3 mg/dL per hari), untuk mengkonfirmasi diagnosis. Setelah diagnosis ditegakkan, menyusui bayi dapat dilanjutkan. 22.4 Jaundice PatologisHiperbilirubinemia neonatus, didefinisikan sebagai total serum bilirubin di atas 5 mg/dL (86 mol per L). Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi bisa terjadi akibat peningkatan produksi bilirubin, gangguan konjugasi, atau gangguan pengambilan bilirubin di hati. Sedangkan hiperbilirubinemia terkonjugasi bisa terjadi akibat berkurangnya sekresi bilirubin terkonjugasi ke dalam empedu, seperti terjadi pada pasien dengan hepatitis, atau hasil dari gangguan aliran empedu ke dalam usus, seperti terjadi pada pasien dengan obstruksi bilier. Pembentukan cairan empedu sensitif terhadap berbagai gangguan di hati, termasuk tingginya tingkat sitokin inflamasi, seperti yang terjadi pada pasien dengan syok septik. Tingginya kadar bilirubin terkonjugasi dapat secara sekunder meningkatkan kadar bilirubin tak terkonjugasi. Meskipun mekanisme efek ini tidak jelas, salah satu penyebabnya kemungkinan karena berkurangnya pengikatan bilirubin tak terkonjugasi yang disebabkan dari persaingan dengan bilirubin terkonjugasi untuk penyerapan atau ekskresi.Jaundice yang merupakan keadaan hiperbilirubinemia, dapat disebabkan karena penyebab yang berbeda berdasarkan mekanisme akumulasinya 2Peningkatan produksi bilirubin Hemolitik JaundiceKarakteristiknya berupa peningkatan bilirubin yang tidak terkonjugasi, lebih dari 6% retikulosit, dan kadar hemoglobin kurang dari 13 mg/dL. Jika ada kecurigaan hiperbilirubinemia akibat meningkatnya produksi bilirubin karena kelainan hemolitik, dapat dilakukan pemeriksaan Coombs Test. Coombs test ada 2 macam yaitu direk dan indirek. Direk Coombs test digunakan untuk mendeteksi antibodi atau sistem komplemen yang terikat dengan antigen permukaan sel darah merah. Direk Coombs test dilakukan jika ada kecurigaan adanya anemia hemolitik yang disebabkan reaksi imun seperti ABO incompability, Rh isoimunisasi. Indirek Coombs test dilakukan untuk memeriksa reaksi antibodi antigen di dalam plasma. Biasanya dilakukan untuk mendeteksi antibodi pada wanita hamil yang dapat menyebabkan kelainan hemolisis pada bayi yang baru lahir.3 Apabila pemeriksaan Coombs test positif, kemungkinan jaundice terjadi akibat inkompatibilitas ABO ataupun rhesus. Namun apabila negatif, kemungkinan jaundice terjadi akibat defek pada membran sel darah merah (spherocytosis, elliptocytosis), gangguan enzim sel darah merah (defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase / G6PD, defisiensi piruvate kinase), obat-obatan (streptomisin, vitamin K), hemoglobinopati, dan sepsis. 2

ABO inkompabiliti umumnya terjadi pada ibu yang memiliki golongan darah O dengan anak yang lahir dengan golongan darah A atau B. Angka kejadian ABO inkompabiliti 20-25% dari kehamilan dan angka kejadian hemolitik hanya 10%. Penyebab ABO inkompabiliti adalah reaksi imun yang terjadi dimana antibodi ibu melewati plasenta dan menyerang antigen eritrosit janin. Antibodi anti A dan anti B yang ditemukan biasanya IgM dan antibodi ini tidak melewati plasenta. Akan tetapi antibodi IgG anti A dapat menembus plasenta yang menyebabkan hemolisis pada anak kelahiran pertama. Manifestasi klinis yang timbul biasanya hanya jaundice. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan direct Coombs test positif dan ada peningkatan retikulosit 10-15%. Selain itu peningkatan antibodi IgG pada Ibu melalui indirek Coombs test dapat menunjang diagnosa ABO inkompabiliti. Kadar bilirubin serum dapat mencapai 20 mg/dl.5,6 Rh isoimunisasi paling banyak ditemukan pada Rh tipe D antigen (90%). Jika darah janin dengan Rh positif dari ayah yang mempunyai Rh positif masuk ke sirkulasi ibu dengan Rh negatif akan terjadi sensitisasi yang menyebabkan peningkatan titer antibodi. Awalnya terjadi peningkatan IgM yang kemudian akan digantikan oleh IgG dan melewati plasenta menyebabkan hemolisis. Hemolisis jarang terjadi pada kelahiran pertama karena Rh positif dari janin ditransfer ke sirkulasi ibu dengan Rh negatif berdekatan dengan waktu kelahiran sehingga sensitisasi yang terjadi pada ibu terlambat. Manifestasi klinis yang khas pada Rh isoimunisasi adalah hidrops fetalis, yaitu penumpukan cairan pada 2 atau lebih bagian tubuh seperti kulit, pleura, pericardium, plasenta, peritoneum, dan cairan amnion. Selain itu terjadi anemia, jaundice, dan pembesaran hepar. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan penurunan jumlah hemoglobin dan direct Coombs test positif 5,6.

Non hemolitik jaundiceKarakteristiknya berupa peningkatan bilirubin yang tidak terkonjugasi dan retikulosit yang normal. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal 2 : Ekstravaskular : cephalohematoma, memar, dan perdarahan sistem saraf pusat

Polisitemia : transfusi fetus-materna, keterlambatan dalam menjepit/ klem tali pusar, dan transfusi anak kembar. Plethora (polisitemia) merupakan kelainan dengan penampakan fisik kemerahan dengan kadar hematokrit yang tinggi dalam darah, > 65%. Manifestasi klinis yang timbul adalah anoreksia, letargi, takipnea, distress sistem pernapasan, gangguan makan, hiperbilirubinemia, hipoglikemia, dan trombositopenia. Sirkulasi enterohepatik yang berlebihan : atresia ileum, stenosis pyloric, penyakit hirschsprung, dan breast milk jaundice.Gangguan konjugasi bilirubin

Karakteristiknya berupa peningkatan bilirubin yang tidak terkonjugasi dan retikulosit yang normal. Hal ini dapat terjadi pada jaundice fisiologis, Crigler-Najjar syndrome, Gilbert syndrome, hipotiroid, dan breast milk jaundice.2

Crigler-Najjar syndrome IUridine Diphospate Gluconosyltransferase (UGT1A1) ada pada setiap proses bilirubin glukoronidase di hati. Crigler-Najjar syndrome I adalah penyakit turunan otosomal resesif di mana bayi yang lahir tidak mempunyai aktivitas UGT1A1 bilirubin. Jaundice berat muncul pada hari ke 2 3. Fototerapi dibutuhkan seumur hidup jika penderita tidak melakukan transplantasi hati. Gejala lain yang timbul seperti hipotonus, tuli, okulomotor palsi, letargi. Pada pemeriksaan laboratorium kadar bilirubin serum berkisar 20-50 mg/dL, bilirubin tidak terkonjugasi yang tinggi, tidak terdeteksi adanya bilirubin terkonjugasi.7 Crigler-Najjar syndrome II

Dikenal juga dengan nama Arias syndrome. Penderita masih memiliki aktivitas UGT1A1 bilirubin yang rendah. Dapat muncul kern ikterus. Kadar bilirubin dalam serum berkisar antara 7-20 mg/dL7.

Gilbert syndrome

Merupakan penyakit autosomal dominan maupun resesif. Gejala yang muncul hanya jaundice tanpa gejala lainnya. Pemeriksaan laboratorium meliputi hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi, hasil pemeriksaan darah tepi dalam batas normal, fungsi hati dalam batas normal, dan tidak ditemukan penyakit lainnya. Beberapa tes khusus dapat dilakukan untuk mendiagnosa Gilbert syndrome seperti7:

Fasting test

Nicotinic acid test

Phenobarbital test

Radiolabeled chromium test

Thin layer chromatography

Drug clearence test

PCR ( Polymerase Chain Reaction)Gangguan ekskresi bilirubin Karakteristiknya berupa peningkatan kadar bilirubin yang tidak terkonjugasi maupun yang terkonjugasi, coombs tes negatif, kadar bilirubin terkonjugasi lebih dari 2 mg/dL atau >20% dari total bilirubin, dan terdapat bilirubin terkonjugasi dalam urin. Yang dapat menyebabkan hal ini yaitu : Obstruksi bilier / Cholestasis : atresia bilier, kista pada kantung empedu, radang kantung empedu, batu empedu, neoplasma.

Cholestasis merupakan suatu keadaan dimana terjadi penurunan pada aliran di kantung empedu, sehingga menyebabkan gangguan yang berhubungan dengan bilirubin yang terkonjugasi. Hal ini mengindikasikan adanya gangguan sekresi empedu/ aliran empedu. Cholestasis dapat dikategorikan menjadi obstruksi dan hepatocellular. Pada sebagian besar kasus, yang paling sering terjadi yaitu hepatitis neonatus/ atresia bilier.8Atresia bilier memiliki karakteristik hiperbilirubinemia (bilirubin yang terkonjugasi) dalam waktu yang lama. Ekstrahepatik bilier atresia muncul pada saat hilangnya sebagian lumen duktus bilier atau tidak adanya sistem ekstrahepatik bilier. Identifikasi jaundice akibat cholestasis dapat segera diketahui apabila setiap bayi yang mengalami jaundice pada usia 2-3 minggu dilakukan pengukuran kadar bilirubin yang terkonjugasi. Pemeriksaan laboratorium pada tahap awal, dapat dilakukan pada neonatus yang jaundice disertai dengan keluhan feces yang berwarna pucat dan warna urin yang sangat pekat (normalnya, urin pada bayi tidak berwarna).8Terdapat hubungan yang erat antara cholestasis dengan penggunaan intravena secara berkepanjangan (total parenteral nutrition). Saat TPN digunakan selama 2 minggu atau lebih, jaundice cholestasis dapat muncul. Cholestasis berkembang pada 80% bayi yang menerima TPN selama 60 hari dan 50% pada bayi yang memiliki berat badan lahir kurang dari 1 kilogram. Patogenesis dari hubungan cholestasis dan TPN tidak diketahui, akan tetapi dapat dikaitkan dengan kombinasi beberapa faktor, yaitu sekresi empedu yang belum matur pada neonatus prematur, menurunnya aliran empedu yang disebabkan karena tidak ada makanan yang melalui sistem pencernaan, dan toksisitas asam amino.5 Tatalaksana untuk kasus ekstrahepatik bilier atresia, yaitu portoenterostomy atau Kasai prosedur, dimana sebagian dari usus kecil di anastomosis dengan sistem porta disertai dengan eksisi duktus bilier. Infeksi / Sepsis

Jaundice merupakan salah satu tanda bakterial sepsis, akan tetapi sepsis pada bayi selalu memiliki tanda dan gejala lainnya. Keadaan hiperbilirubinemia (yang tidak terkonjugasi) jarang menjadi satu-satunya tanda sepsis. Pungsi lumbal, kultur darah, ataupun kultur urin dapat dilakukan pada bayi yang dicurigai sepsis. Pada bayi ini juga dapat ditemukan hiperbilirubinemia yang terkonjugasi. Penyebab lainnya yaitu sifilis kongenital, infeksi intrauterine (toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, dan herpes simpleks) dan infeksi virus coxsackie B. 8Gangguan metabolik : hipotiroid

Kelainan kromosom : syndrome trisomi 18 dan 21.Obat-obatanTabel 1. Diagnosis Banding Hiperbilirubinemia 9Indirect Hiperbilirubinemia

Transient neonatal jaundiceBreast milk jaundice, Jaundice fisiologis, Polisitemia, Reabsorbsi darah ekstravaskuler

Gangguan hemolitikKelainan autoimun, ABO inkompatibiliti, hemoglobinopati, mikroangiopati, defisiensi enzim sel darah merah, kelainan membran sel darah merah

Resirkulasi enterohepatikKistik Fibrosis, penyakit hirschsprung, atresia ileum, stenosis pilorik

Gangguan metabolisme bilirubinAcidosis, Crigler-Najjar syndrome, Gilbert syndrome, hipotiroid, hipoksia

LainnyaDehidrasi, obat-obatan, hipoalbuminemia, sepsis

Direct Hiperbilirubinemia

Obstruksi bilierAtresia bilier, kista choledochal, batu empedu, neoplasma, cholangitis sclerosing

InfeksiCholangitis, cytomegalovirus, EBV, herpes simpleks, histoplasmosis, HIV, leptospirosis, abses hepar, sepsis, sifilis, toxoplasmosis, tuberculosis, infeksi saluran kencing, varicella-zoster, dan viral hepatitis.

Genetik/ Gangguan metabolicDefisiensi 1-antitripsin, Hipotiroid, Galactosemia, Parenteral nutrition-cholestasis, Cystic Fibrosis

Kelainan KromosomTrisomi 18, Trisomi 21, Turner syndrome

Obat-obatanAcetaminofen, aspirin, eritromicin, ethanol, iron, isoniazid, methotrexate, oxacilin, rifampicin, steroids, sulfonamides, tetrasiklin, vitamin A

LainnyaNeonatal hepatitis syndrome, total parenteral nutrition, Reye syndrome.

2.5 Pendekatan Jaundice Neonatus

Untuk mendeteksi kelainan dari neonatal jaundice dapat dilakukan pengukuran TSB dan TcB. Bila pada pengukuran TSB didapatkan bilirubin 12 mg/dL dan dalam waktu < 24 jam dapat dilakukan Coombs Test. Coombs test positif menunjukkan adanya hemolisis akibat reaksi antibodi. Jika didapatkan Coombs test negatif dapat dilakukan pengukuran bilirubin direk. BIlirubin direk 2 mg/dL dapat dilihat kadar hematokrit dalam darah. Kadar hematokrit yang tinggi menunjukka polisitemia sedangkan kada hematokrit yang rendah dapat dilakukan penghitungan retikulosit dan morfologi sel darah merah. Penghitungan retikulosit dan morfologi sel darah merah yang abnormal dapat disebabkan oleh spherocytosis, stomatocytosis, ABO inkompabiliti, thalassemia, obat-obatan, atau DIC. Hasil yang normal menunjukkan breast milk jaundice, Crigler-Najjar syndrome, Gilbert syndrome, hypothiroidism, RDS, atau asfiksia10. Pengukuran total kadar bilirubin secara transkutaneus (TcB), merupakan salah satu cara yang spontan. Hal ini bertujuan agar peningkatan kadar bilirubin yang signifikan dapat terdeteksi dengan cepat. Pengukuran TcB menyediakan informasi mengenai perkiraan level total serum bilirubin, bukan nilai (angka) kadar total bilirubin yang pasti. Pengukuran ini non-invasif, sehingga dapat digunakan secara berkala selama perawatan dalam rumah sakit dan menyediakan informasi mengenai kecepatan dari peningkatan kadar bilirubin. Bila ditemukan pada normogram, kadar bilirubin yang melintasi percentile lainnya, diindikasikan untuk melakukan observasi dan evaluasi tambahan.5Konsentrasi serum normal bilirubin kurang dari 1 mg/dL. Biasanya,jaundice tidak terdeteksi secara klinis sampai bilirubin serum mencapai 5 mg/dL. Hal ini pertama kali terlihat di konjungtiva atau selaput lendir mulut seperti palatum atau di bawah lidah. Saat konsentrasi serum bilirubin meningkat, ikterus berlangsung ke arah kaudal. Penumpukan bilirubin biasanya jinak, tetapi pada neonatus, bilirubin tak terkonjugasi dapat menembus sawar darah-otak dan mengendap di basal ganglia. Ensefalopati menjadi perhatian pada tingkat 20 - 25 mg / dL. 2.5.1 Evaluasi Laboratorium untuk Mencari Penyebab JaundiceGuideline dari American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemeriksaan laboratorium untuk mencari penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus dari kehamilan lebih dari 35 minggu, dimana level total serum bilirubin melebihi percentil 95 atau pada neonatus yang kecepatan peningkatan bilirubinnya melewati persentil diatasnya. Pada neonatus premature, evaluasi laboratorium di indikasikan pada semua neonatus yang memenuhi kriteria untuk fototerapi. Waktu munculnya jaundice / onset, sangat penting untuk diketahui. Jaundice yang muncul pada 24 jam pertama kehidupan atau peningkatan yang cepat dan melewati persentil sering kali disebabkan karena produksi bilirubin yang berlebihan (hemolisis). Sebagian besar neonatus, yang total serum bilirubinnya lebih dari persentil 75 pada Bhutani nomogram, menjadi bukti tanda hemolisis (Gambar 3.Nomogram Bhutan). 8Tabel 2. Evaluasi Laboratorium Pada Neonatus Jaundice 8IndikasiAssessments

Jaundice pada 24 jam pertamaPengukuran TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB)

Peningkatan TSB secara signifikan (melebihi persentil)Periksa golongan darah dan Coombs test.Periksa darah lengkap, hitung retikulosit, dan morfologi darah tepi.

Pengukuran bilirubin yang terkonjugasi.

Pertimbangkan test G6PD.

Pengulangan pengukuran TSB dalam 4-24 jam tergantung pada usia neonatus dan hasil TSB.

Konsentrasi TSB mencapai level untuk transfusi tukar atau tidak berespon terhadap fototerapi.Lakukan pemeriksaan seperti diatas.

G6PD testing.Albumin level.

Peningkatan bilirubin yang terkonjugasi.Urinalisis dan kultur urin.

Evaluasi sepsis melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Jaundice muncul pada bayi yang berusia lebih dari 2-3minggu, atau bayi yang sakitPengukuran level bilirubin yang terkonjugasi dan yang tidak terkonjugasi, serta pengukuran TSB.Jika bilirubin yang terkonjugasi meningkat, evaluasi penyebab cholestasis.

Cek fungsi tiroid bayi, dan evaluasi tanda serta gejala hipotiroid.

Diagram 1. Pendekatan hiperbilirubinemia

2.6 Derajat JaundiceGambar 6. Kramers Staging 2.7 Tatalaksana Jaundice

Diagram 2. Algoritma Tatalaksana Jaundice pada Neonatal

Tanpa melihat penyebab jaundice, tujuan dari terapi jaundice yaitu mencegah reaksi bilirubin yang tidak terkonjugasi berupa neurotoksik. Terapi yang menjadi pilihan utama berupa fototerapi ataupun transfusi tukar, dimana terapi ini merupakan modalitas untuk mempertahankan total serum bilirubin dibawah level patologis.

Gambar 7. Penggunaan fototerapi dan transfusi tukar

Gambar 8. Terapi pada bayi prematur Fototerapi7Hiperbilirubinemia yang tidak terkonjugasi dapat berkurang dengan cara terpapar dengan sinar intensitas tinggi. Fototerapi memberikan sinar dimana foton dari cahaya diserap oleh molekul bilirubin di kulit. Bilirubin mengabsorpsi sinar biru secara maksimal dengan range 420-470 nm. Bilirubin pada kulit mengabsorpsi energi sinar, menyebabkan beberapa reaksi photochemical. Produk dari fototerapi merupakan hasil reaksi fotoisomer yang reversibel, dimana bilirubin yang tidak terkonjugasi (toksik) diubah menjadi tidak toksik dan dapat diekskresikan tanpa harus dikonjugasi. Efek terapeutik dari fototerapi tergantung pada : Energi sinar yang dipancarkan dalam range panjang gelombang yang efektif

Jarak antara sinar dan bayi (jarak yang efektif 15-20 cm)

Luas tubuh bayi yang diekspose (gunakan selimut fiberoptic fototerapi untuk meningkatkan luas area yang diekspose)

Penggunaan fototerapi menurunkan kebutuhan untuk transfusi tukar pada bayi dengan hemolitik jaundice ataupun nonhemolitik jaundice. Apabila ada indikasi untuk transfusi tukar, fototerapi tidak dapat digunakan sebagai pengganti. Akan tetapi, fototerapi dapat mengurangi kebutuhan untuk transfusi tukar berulang pada bayi dengan jaundice hemolisis. Fototerapi dilakukan secara kontinu, dan posisi bayi sering diputar untuk memaksimalkan luas area tubuh yang terekspose. Fototerapi dihentikan saat konsentrasi bilirubin yang tidak terkonjugasi telah berkurang sampai level yang aman sesuai dengan usia bayi dan kondisinya. Sebelum fototerapi dilakukan, mata bayi harus ditutup untuk mencegah kerusakan kornea. Beberapa jenis lampu yang dapat digunakan untuk fototerapi yaitu :1. Tabung fluoresen2. Lampu halogen

3. Fiberoptic systems

4. Light Emiting Diodes (LED)

Gambar 7. Garis fototerapi Transfusi TukarTransfusi tukar memindahkan darah yang kaya akan bilirubin (dari sirkulasi) dan menggantikannya dengan donor darah (biasanya sel darah merah dengan plasma). Saat terjadi pemidahan bilirubin, hal ini juga terjadi 8: pemindahan sel darah merah yang dilapisi antibody

koreksi anemia pemindahan antibodi maternal pemindahan produk toksik yang dihasilkan pada saat proses hemolitikVolume transfusi tukar (TT) mencapai 170ml/kg, dimana dengan volume ini dapat memindahkan 85% sel darah merah pada bayi dan 110% bilirubin yang beredar di sirkulasi (bilirubin ekstravaskular memasuki sirkulasi darah pada saat pertukaran berlangsung). Karena 50% bilirubin pada bayi terletak pada ekstravaskular, hanya 25% dari total bilirubin yang dipindahkan. Kadar bilirubin pada saat post TT sekitar 60% dari pre TT. Munculnya ketidakseimbangan antara bilirubin yang berada pada intravascular dan ekstravaskular, muncul rebound pada serum bilirubin (dalam waktu 30 menit) sehingga kadarnya 70-80% dari pre TT. 8Tabel 3. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO

Usia BayiBayi Cukup bulan sehatDengan faktor resiko

Harimg/dLmg/dL

Hari ke 11513

Hari ke 22515

Hari ke 33020

Hari ke 43020

Gambar 8. Garis Transfusi Tukar

Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:

a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL

b. Kadar bilirubin meningkat >6mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar dan kadar Hb 11 13 gr/dL

c. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara adekuat dengan terapi sinar.

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:

Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin Perforasi pembuluh darah

Komplikasi tranfusi tukar

Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia

BAB VI

KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan

Jaundice merupakan masalah yang paling sering muncul pada bayi yang baru lahir/ neonatus. Kenaikan jumlah bilirubin dalam darah ada yang merupakan fenomena normal dan ada yang merupakan kelainan. Kenaikan jumlah bilirubin dalam darah yang disebabkan karena kelainan bersifat fatal karena bilirubin bersifat neurotoksik. Bilirubin merupakan produk akhir dari pemecahan heme yang berasal dari hemoglobin. Bilirubin tak terkonjugasi berasal dari biliverdin yang dipecah dan kemudian dibawa ke hati. Di hati bilirubin tak terkonjugasi diubah menjadi bilirubin terkonjugasi.

Jaundice menyebabkan bayi yang baru lahir berwarna kuning. Jaundice muncul jika total serum bilirubin (TSB) >5 mg/dl. Pada jaundice fisiologis, jaundice dapat terlihat pada hari kedua sampai hari ketiga, di mana kadarnya bilirubin tak terkonjugasi paling tinggi yaitu antara 5-6 mg/dL dan akan turun pada hari kelima sampai ketujuh. Bayi yang tidak mempunyai faktor resiko, kadar bilirubin tidak terkonjugasinya jarang meningkat sampai >12 mg/dL. Jaundice yang fisiologis dapat berhubungan dengan menyusui yaitu breast feeding jaundice (early onset) dan breast milk jaundice (late onset).

Pemeriksaan lebih lanjut harus dilakukan jika jaundice muncul = 5 mg/dL/hari, TSB >12 mg/dL pada bayi cukup bulan tanpa faktor resiko atau 10-14 mg/dL pada bayi kurang bulan, jaundice persisten selama 10-14 hari, dan kadar bilirubin terkonjugasi >2 mg/dL. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dapat disebabkan karena peningkatan produksi bilirubin (hemolitik jaundice, non hemolitik jaundice), gangguan konjugasi bilirubin (Crigler-Najjar syndrome I, II, dan Gilbert syndrome). Hiperbilirubinemia terkonjugasi dapat disebabkan karena obstruksi bilier, infeksi, gangguan metabolik, obat-obatan. Diagnosis hiperbilirubinemia terkonjugasi dapat ditegakkan jika kadar bilirubin terkonjugasi >2 mg/dL, coombs test negatif, dan terdapat bilirubin terkonjugasi dalam urine.

Terapi yang paling sering digunakan untuk jaundice adalah fototerapi. Fototerapi mengubah molekul bilirubin menjadi fotoproduk yang lipofilik di hati dan dapat langsung disekresikan. Selain foto terapi dapat juga dilakukan transfusi tukar. Transfusi tukar memindahkan darah yang kaya akan bilirubin dan menggantinya dengan donor darah. Jaundice yang ditangani dengan tepat jarang berakibat fatal.