isi.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Dizaman yang serba modern ini perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi semakin maju pesat dan berjalan tanpa henti. Perkembangan ini
mempengaruhi perilaku menusia yang selalu ingin mendapatkan sesuatu secara
instan tanpa harus melakukan pengorbanan lebih dulu. Dengan keadaan yang
seperti ini akan memunculkan beragam fenomena yang berkaitan dengan kehidupan
manusia. Salah satu fenomena tersebut berkaitan dengan hati nurani manusia
sebagai landasan kesadaran dalam melaksanakan perilaku yang nyata.
Dewasa ini, hati nurani sering dinomor duakan, sehingga manusia lebih
mengutamakan ego dan kepentingan masing-masing tanpa berpikir mana yang baik
dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Tanpa disertai
landasan hati nurani sebelum bertindak, akan berpengaruh pada moralitas manusia
yang semakin buruk.
Dengan hati nurani kita diharapkan mengerti dan memahami akan hal baik
dan buruk yang berhubungan langsung dengan perilaku manusia secara konkret.
Sehingga apabila manusia merefleksikan hati nurani sebagai landasan bertingkah
laku, maka akan terciptalah keselarasan kehidupan di dunia.
1.2 RUMUSAN MASALAH
a. Apa itu hati nurani ?
b. Bagaimana contoh persoalan hati nurani sebagai fenomena moral ?
c. Bagaimana solusi untuk mengatasi persoalan hati nurani sebagai fenomena
moral?
1.3 TUJUAN
a. Untuk mengetahui apa itu hati nurani
b. Untuk mengetahui persoalan nyata mengenai hati nurani sebagai fenomena
moral
1
c. Untuk mengetahui penyelesaian persoalan hati nurani sebagai fenomena moral
1.1 MANFAAT
a. Agar kita dapat mengetahui apa itu hati nurani
b. Agar kita mengetahui persoalan nyata mengenai hati nurani sebagai fenomena
moral
c. Agar kita mengetahui penyelesaian persoalan hati nurani sebagai fenomena
moral
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN HATI NURANI
Hati nurani berkaitan dengan kenyataan jika manusia memiliki kesadaran
mengenai apa yang dilakukannya, apakah baik, buruk, pantas atau tidak pantas.
Hati nurani memerintahkan atau melarang kita melakukan sesuatu. Pelanggaran
atas apa yang diperintahkan hati nurani, berrati pelanggaran terhadap integritas diri
kita sendiri
Hati Nurani adalah instansi dalam diri kita yang menilai tentang moralitas
perbuatan-perbuatan kita secara langsung, kini, dan disini. (Sumber :Buku “ Etika ”
karya K. Bertens Hal : 56)
2.2 CONTOH KASUS PERSOALAN HATI NURANI SEBAGAI FENOMENA
MORAL
Setiap manusia mempunyai pengalaman tentang hati nurani dan mungkin
pengalaman itu merupakan perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai
kenyataan.dengan memandang dari contoh kasus tentang pengalaman hati nurani
yang dipilih oleh kami, kami berharap agarpengalaman tentang hati nurani itu bisa
menjadi jalan masuk yang tepat untuk suatu studi mengenai etika.Berikut ini ada
tiga contoh yang berbeda tentang pengalaman hati nurani :
Pada saat pembagian rapor kenaikan kelas seorang guru berbuat kecurangan
dengan memberi nilai bagus pada salah satu muridnya karena si murid adalah
anak pemilik sekolah tempat ia mengajar. Sebenarnya murid tersebut tidak
pantas untuk naik kelas tetapi karena si orang tua malu anaknya tidak naik
kelas, akhirnya si orang tua memberi uang suap kepada si guru tersebut agar
anaknya dapat naik kelas. Si guru itu sebenarnya tidak ingin menerimanya
tetapi orang tua murid tersebut memaksa, karena tidak ada pilihan lain akhirnya
3
si guru menerimanya. Di dalam hati, si guru merasa tidak enak dengan anak
didiknya yang lain karena sudah memanipulasi nilai. Tetapi bila tidak
menerima uang tersebut, ia tidak bisa menyelesikan masalah keuangan yang
sedang menderanya belakangan ini.
Seorang pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diutus oleh atasannya
untuk mewakilkannya dalam sebuah acara seminar yang diadakan disebuah
daerah, acara pada hari itu ditutup dengan sesi pemberian kenang-kenangan
yang diberikan oleh panitia penyelenggara. Tetapi hadiah tersebut ditolaknya
karena kode etik KPK yang melarang menerima hadiah berupa apapun dari
pihak manapun. Walaupun sudah ditolak tetap saja dipaksa untuk diterima, ia
menjelaskan panjang lebar pada panitia tetapi hasilnya nihil, hingga akhirnya
ada seseorang panitia yang tiba-tiba marah-marah karena merasa tidak
dihargai. Dengan berat hati diterimanya hadiah tersebut, ia menyadari ini sudah
melanggar aturan tetapi disisi lain ia juga punya hati untuk menghargai kerja
keras orang lain.
2.3 PEMECAHAN MASALAH
Disini ada beberapa sub materi dari hati nurani sebagai nilai moral yang bisa
dijadikan sebagai tindakan preventif dan represif dalam menanggapi contoh kasus
di atas.
a. Kesadaran dan Hati Nurani
Hanya manusia yang mempunyai kesadaran. Dengan kesadaran kita
sebagai manusia, dimaksudkan untuk memiliki kesanggupan mengenal dirinya
sendiri untuk berefleksi atau bercermin tentang dirinya. Untuk menunjukkan
kesadaran, dalam bahasa Latin dan bahasa-bahasa yang diturunkannya, dipakai
kata conscientia. Kata itu berasal dari kata kerja scire (mengetahui) dan
awalan con- (bersama dengan, turut). Dengan demikian conscientia sebenarnya
berarti “turut mengetahui” dan mengingatkan kita pada gejala “penggandaan”
yang disebut tadi: bukan saya melihat pohon itu, tapi saya juga “turut
mengetahui” bahwa sayalah yang melihat pohon itu. Sambil melihat, saya sadar
akan diri sendiri sebagai subyek yang melihat. Nah, kata conscientia yang sama
4
dalam bahasa Latin (dan bahasa-bahasa yang serumpun dengannya) digunakan
juga untuk menunjukkan “hati nurani”. Dalam hati nurani berlangsung juga
penggandaan yang sejenis. Manusia bukan hanya melakukan perbuatan-
perbuatan yang bersifat moral (baik atau buruk), tapi ada juga yang “turut
mengetahui” tentang perbuatan-perbuatan moral kita. Dalam diri kita, seolah-
olah ada instansi yang menilai dari segi moral perbuatan-perbuatan yang kita
lakukan. Hati nurani merupakan semacam “saksi” tentang perbuatan-perbuatan
moral kita. Kenyataan itu diungkapkan dengan baik melalui kata
Latinconscientia.
b. Hati Nurani Retrospektif dan Hati Nurani Prospektif
- Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan
yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan
menoleh ke belakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang sudah
lewat. Contoh pada awal bab ini menyangkut hati nurani retrospektif. Hati
nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencelah, bila perbuatannya
jelek, dan sebaliknya, memuji atau memberi rasa puas, bila perbuatannya
dianggap baik. Jadi, hati nurani ini merupakan semacam instansi kehakiman
dalam batin kita tentang perbuatan yang telah berlangsung.
- Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-
perbuatan kita yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita
untuk melakukan sesuatu atau seperti barangkali lebih banyak terjadi
mengatakan “jangan” dan melarang untuk melakukan sesuatu. Di sini pun
rupanya aspek negatif lebih mencolok. Dalam hati nurani prospektif ini
sebenarnya terkandung semacam ramalan.
Simpulan bahwa hati nurani terutama berbicara dalam perbuatan itu sendiri
pada saat dilakukan. Tapi bisa terjadi suatu orientasi ke masa lampau atau suatu
orientasi ke masa depan: ke perbuatan yang sudah berlangsung atau ke
perbuatan yang akan berlangsung lagi.
c. Hati Nurani Bersifat Personal dan Andipersonal
Hati nurani bersifat personal, artinya, selalu berkaitan erat dengan
pribadi bersangkutan. Norma-norma dan cita-cita yang saya terima dalam hidup
5
sehari-hari dan seolah-olah melekat pada pribadi saya, akan tampak juga dalam
ucapan-ucapan hati nurani saya.
Hati nurani diwarnai oleh kepribadian kita. Hati nurani akan berkembang
juga bersama dengan perkembangan seluruh kepribadian kita: sebagai orang
setengah baya yang sudah banyak pengalaman hidup tentu hati nurani saya
bercorak lain daripada ketika masih remaja. Ada alasan lain lagi untuk
mengatakan bahwa hati nurani bersifat personal, yaitu hati nurani hanya
berbicara atas nama saya.
Karena aspek adipersonal itu, orang beragama kerap kali mengatakan
bahwa hati nurani adalah suara Tuhan atau bahwa Tuhan berbicara melalui hati
nurani. Ungkapan seperti itu dapat dibenarkan. Bagi orang beragama hati nurani
memang memiliki suatu dimensi religius. Kalau ia mengambil keputusan atas
dasar hati nurani, artinya kalau ia sungguh-sungguh yakin bahwa ia harus
berbuat demikian dan tidak bisa lain tanpa menghancurkan integritas pribadinya,
maka ia akan mengambil keputusannya di hadapan Tuhan.
Seperti akan dijelaskan lagi, hati nurani tidak melepaskan kita dari
kewajiban untuk bersikap kritis dan mempertanggungjawabkan perbuatan-
perbuatan kita secara obyektif. Tidak dapat dikatakan bahwa hati nurani
merupakan hak istimewa orang beragama saja. Setiap orang mempunyai hati
nurani karena ia manusia. Kenyataan itu justru menyediakan landasan untuk
mencapai persetujuan di bidang etis antara semua manusia, melampaui segala
perbedaanmengenai agama, kebudayaan, posisi ekonomis, dll.
d. Hati Nurani Bersifat Personal dan Andipersonal
Terdapat suatu tendensi kuat dalam filsafat untuk mengakui bahwa hati
nurani secara khusus harus dikaitkan dengan rasio. Kami juga berpendapat
demikian. Alasannya, karena hati nurani memberi suatu penilaian, artinya, suatu
putusan (judgement). Ia menegaskan: ini baik dan harus dilakukan atau itu buruk
dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan putusan jelas merupakan suatu
fungsi dari rasio.
Dapat disimpulkan bahwa kita tidak boleh bertindak sesuatu yang
bertentangan dengan hati nurani. Hati nurani selalu harus diikuti, juga kalau-
6
secara obyektif-ia sesat. Akan tetapi, manusia wajib juga mengembangkan hati
nurani dan seluruh kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang.
Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan subyektif
dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas obyektif dari perbuatannya. Pada
orang serupa itu, yang baik secara subyektif akan sama dengan yang baik secara
obyektif. Karena itu perlu kita pelajari lagi cara bagaimana keadaaan ideal itu
bisa dicapai.
e. Pembinaan Hati Nurani
Filsuf Prancis Gabriel Madinier (1895-1958) mengemukakan beberapa
pikiran yang pantas diperhatikan. Tempat yang serasi untuk pendidikan moral
adalah keluarga, bukan sekolah.Pendidikan hati nurani, itu harus dijalankan
demikian rupa sehingga si anak menyadari tanggung jawabnya sendiri.
Tujuan akhir pendidikan sebagai keseluruhan adalah kemandirian serta
otonomi anak didik, demikian juga di bidang moral. Anak-anak harus belajar
menjalankan kewajiban mereka karena keyakinan, bukan karena paksaan dari
luar. Ketakutan akan sanksi yang mewarnai permulaan kehidupan moral, lama-
kelamaan harus diganti dengan cinta akan nilai-nilai.
7
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Dari sekian materi yang telah kami paparkan, dapat kami simpulkan bahwa
hati nurani sangatlah penting dalam kehidupan kita, karena hati nuranilah yang
akan menuntun kita dalam bertindak. Apabila kita mengalami masalah berkaitan
dengan hati nurani sebaiknya kita mempertimbangkan secara matang baik buruknya
akibat yang akan timbul di kemudian hari.
8
DAFTAR PUSTAKA
9