ipd-laporan kasus 1
DESCRIPTION
Demam Tifoid, dan PneumoniaTRANSCRIPT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)Jl Arjuna Utara No6 Kebun Jeruk ndash Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIKSTATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDASMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
Nama Mahasiswa Steaffie Eunike Cassandra Siagian Tanda Tangan NIM 112014169
Dr Pembimbing dr Benyamin Tambunan Sp PD
IDENTITAS PASIEN
Nama Tn T Jenis Kelamin Laki-laki
Tempat tanggal lahir Kendal 09101952 Suku Bangsa Jawa
Status Perkawinan Sudah menikah Agama Islam
Pekerjaan Wiraswasta Pendidikan SMA
Alamat Jl Baru Timur Umur 62 tahun
A ANAMNESIS
Diambil dari Autoanamnesis Tanggal 02 Oktober 2015 Jam 0650
Keluhan Utama Os mengeluh demam 1 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Satu minggu SMRS pasien mengeluh demam yang dirasa timbul terutama pada malam
hari Pasien menyangkal demam yang disertai meriang Sakit kepala dikeluhkan oleh pasien
serta pasien juga mengeluh adanya mual muntah disangkal oleh pasien Pasien juga
mengeluhkan adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Keluhan demam dirasa
semakin memberat 1 hari SMRS yang membawa pasien ke RS
1
Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja pasien mengeluh adanya batuk yang disertai
dahak berwarna putih kental Pasien mengaku adanya sesak yang hilang timbul terutama saat
batuk timbul pasien mengakui adanya nyeri dada saat batuk
Pasien mengaku belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya Pasien juga
menyatakan sudah mengkonsumsi obat penurun panas tetapi belum ada perubahan Pasien juga
mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi diabetes
maupun penyakit jantung tidak ada riwayat alergi tertentu Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok
Riwayat Penyakit Dahulu
(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu ginjalSalkemih
(+) Cacar Air (-) Disentri (-) Burut (Hemia)
(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Rematik
(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir
(+) Campak (-) Skrofula (-) Diabetes
(+) Influenza (-) Sifilis (-) Alergi
(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor
(-) Khorea (-) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh
(-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Pendarahan Otak
(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis
(-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis
(-) Tuberkulosis (-) Batu Empedu lain-lain (-) Operasi
(-) Kecelakaan
Riwayat Keluarga
Hubungan Umur
(Tahun)
Jenis Kelamin Keadaan
Kesehatan
Penyebab
Meninggal
Kakek (ayah) 70 tahun L Meninggal Tidak diketahui
Nenek (ayah) 82 tahun P Meninggal Tidak diketahui
Kakek (ibu) 77 tahun L Meninggal Tidak diketahui
2
Nenek (ibu) 85 tahun P Meninggal Tidak diketahui
Ayah 82 tahun L Meninggal Tidak diketahui
Ibu 28 tahun P Meninggal Tidak diketahui
Saudara 67 tahun L SehatHidup -
Anak 35 tahun P SehatHidup -
Anak 32 tahun P SehatHidup -
Anak 29 tahun L SehatHidup -
Anak 25 tahun P SehatHidup -
Adakah Kerabat yang Menderita
Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi - - -
Asma - - -
Tuberkulosis - - -
Artritis - - -
Rematisme - - -
Hipertensi - Kakek (ayah)
Jantung - - -
Ginjal - - -
Lambung - - -
ANAMNESIS SISTEM
Kulit
(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat Malam (-) Petechie
(-) Kuku (-) KuningIkterus (-) Sianosis
Kepala
(-) Trauma (+) Sakit Kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri pada Sinus
Mata
(-) Nyeri (-) Radang (-) Conjungtiva Anemis
3
(-) Sekret (-) Gangguan Penglihatan
(-) KuningIkterus (-) Ketajaman Penglihatan menurun
Telinga
(-) Nyeri (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Gangguan Pendengaran
(-) Kehilangan Pendengaran
Hidung
(-) Trauma (-) Gejala Penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan Penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis
Mulut
(-) Bibir kering (-) Lidah kotor
(-) Gangguan pengecapan (-) Gusi berdarah
(-) Selaput (-) Stomatitis
Tenggorokan
(-) Nyeri Tenggorokan (-) Perubahan Suara
Leher
(-) Benjolan (-) Nyeri Leher
Dada ( Jantung Paru ndash paru )
(+) Nyeri dada (+) Sesak Napas
(-) Berdebar (-) Batuk Darah
(-) Ortopnoe (+) Batuk
Abdomen ( Lambung Usus )
(+) Rasa Kembung (-) Perut Membesar
(+) Mual (-) Wasir
(-) Muntah (-) Mencret
(-) Muntah Darah (-) Tinja Darah Merah Hitam
(-) Sukar Menelan (-) Tinja Berwarna Dempul
(-) Nyeri Perut (-) Tinja Berwarna Ter
(-) Benjolan (+) Konstipasi
4
Saluran Kemih Alat Kelamin
(-) Disuria (-) Kencing Nanah
(-) Stranguri (-) Kolik
(-) Poliuria (-) Oliguria
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi Urin
(-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes
(-) Ngompol
Saraf dan Otot
(-) Anestesi (-) Sukar Mengingat
(-) Parestesi (-) Ataksia
(-) Otot Lemah (-) Hipo Hiper-esthesi
(-) Kejang (-) Pingsan
(-) Afasia (-) Kedutan
(-) Amnesia (-) Pusing
(-) lain ndash lain (-) Gangguan bicara
Ekstremitas
(-) Bengkak (-) Deformitas
(-) Nyeri (-) Sianosis
Berat Badan
Berat badan rata ndash rata (kg) tidak diketahui
Berat tertinggi kapan (kg) tidak diketahui
Berat badan sekarang 62
Tinggi badan 160 cm
IMT (621602)=2421
RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Tempat Lahir (-) di rumah (+) Rumah Bersalin (-) RS Bersalin
5
Ditolong oleh (-) Dokter (+) Bidan (-) Dukun (-) lain - lain
Riwayat Imunisasi
Pasien mengaku tidak tahu mengenai riwayat imunisasinya
Riwayat Makanan
Frekuensi Hari 3x hari
Jumlah hari Cukup
Variasi hari Nasi sayur (bayam kacang panjang kangkung dll) tempe
Nafsu makan Baik
Pendidikan
( ) SD ( ) SLTP (+) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan
( ) Akademi ( ) Universitas ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah
Kesulitan
Keuangan Ada
Pekerjaan Tidak ada
Keluarga Tidak ada
Lain ndash lain -
B PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan 160
Berat Badan 62
Kesadaran Compos Mentis (GCS 15)
Keadaan Umum Tampak sakit sedang
Tekanan Darah 11070 mmHg
Nadi 80 x menit
Suhu 3800C
Pernafasaan 24xmenit
6
Keadaan gizi Baik
Sianosis Tidak ada
Udema umum Tidak ada
Habitus Atletikus
Cara berjalan Normal
Mobilitas ( aktif pasif ) Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa Sesuai umur
Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku Wajar
Alam Perasaan Biasa
Proses Pikir Wajar
Kulit
Warna Sawo matang
Effloresensi Tidak dilakukan
Jaringan Parut Tidak ada
Pigmentasi Normal
Pertumbuhan rambut Distribusi merata
LembabKering Normal
Suhu Raba Afebris
Pembuluh darah Tidak tampak pelebaran
Keringat Umum (+)
Turgor Baik
Ikterus Tidak ada
Lapisan Lemak Normal
Oedem Tidak ada
Kelenjar Getah Bening
Submandibula Tidak teraba membesar Leher Tidak teraba membesar
Supraklavikula Tidak teraba membesar Ketiak Tidak teraba membesar
Lipat paha Tidak teraba membesar
Kepala
Ekspresi wajah Tenang
7
Simetri muka Simetris
Rambut Beruban distribusi merata
Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi
Mata
Exophthalamus Tidak ada
Enopthalamus Tidak ada
Kelopak Oedem (-)
Lensa Jernih
Konjungtiva Anemis (-)
Visus Normal
Sklera Ikterik (-)
Gerakan Mata Aktif
Lapangan penglihatan Normal
Tekanan bola mata Normal
Nistagmus Tidak ada
Telinga
Tuli Tidak tuli
Selaput pendengaran Utuh intak (+)
Lubang Lapang
Penyumbatan Tidak ada
Serumen Tidak ada
Pendarahan Tidak ada
Cairan Tidak ada
Mulut
Bibir Lembab tidak tampak pucat
Tonsil T1 ndash T1 tenang
Langit-langit Tidak ada kelainan
Bau pernapasan Tidak ada
Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)
Trismus Tidak ada
Faring Tidak hiperemis
8
Selaput lendir Kemerahan
Lidah Tidak Kotor
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan
Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar
Deviasi trachea Tidak ada
Dada
Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit
Pembuluh darah Spider nevi (-)
Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia
Paru ndash Paru
Depan
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)
Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)
9
Belakang
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan redup di ICS VI-VII
Kiri redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Jantung
Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri
Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri
Perkusi
Batas atas ICS III linea parasternal kanan
Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri
Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan
Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis pulsasi teraba
Arteri Karotis pulsasi teraba
Arteri Brakhialis pulsasi teraba
Arteri Radialis pulsasi teraba
10
Arteri Femoralis pulsasi teraba
Arteri Poplitea pulsasi teraba
Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba
Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba
Perut
Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)
Palpasi
Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)
Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)
Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)
Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)
Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)
Auskultasi Bising usus normal
Hepatojugular reflux Tidak
Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Tidak ada Tidak ada
11
Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang
Gerakan Aktif Pasif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Petechie Tidak ada Tidak ada
C PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 01-10-2015
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb 141 gdL
Leukosit 1129 103μL
Ht 408
Trombosit 247 103 microL
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium 137 mEqL
Kalium 402 mEqL
12
Refleks Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
Refleks Patologis Negatif Negatif
Klorida 92 mEqL
Glukosa Sewaktu 106 mgdL
IMUNOSEROLOGI
Widal
S typhi-O (+) 1320
S paratyphi AO (-)
S paratyphi BO (-)
S paratyphi CO (-)
X-foto Thorax
D RINGKASAN (RESUME)
Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama
pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan
adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja
13
pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku
adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil
pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan
kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian
belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium
Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O
(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
E MASALAH
1 Pneumonia
2 Demam Tifoid
F PENGKAJIAN MASALAH
1 Pneumonia
Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang
timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien
berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati
suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru
bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-
gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan
leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
Rencana diagnostik
Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum
Rencana pengobatan
Terapi suportif Terapi definitif
o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg
o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg
O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi
14
Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2 Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S
typhi-O (+) 1160
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan NS1
Rectal toucher
Rencana Pengobatan
Tirah baring
Diet lunak
Diet tinggi serat
Paracetamol 3x500 mg bila masih demam
Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu
Lactulax syrup 3xCI
Rencana Edukasi
Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid
Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)
Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid
Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi
Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi
G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1 Pneumonia
a Bronkitis Akut
Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-
2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan
15
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja pasien mengeluh adanya batuk yang disertai
dahak berwarna putih kental Pasien mengaku adanya sesak yang hilang timbul terutama saat
batuk timbul pasien mengakui adanya nyeri dada saat batuk
Pasien mengaku belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya Pasien juga
menyatakan sudah mengkonsumsi obat penurun panas tetapi belum ada perubahan Pasien juga
mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi diabetes
maupun penyakit jantung tidak ada riwayat alergi tertentu Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok
Riwayat Penyakit Dahulu
(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu ginjalSalkemih
(+) Cacar Air (-) Disentri (-) Burut (Hemia)
(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Rematik
(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir
(+) Campak (-) Skrofula (-) Diabetes
(+) Influenza (-) Sifilis (-) Alergi
(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor
(-) Khorea (-) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh
(-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Pendarahan Otak
(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis
(-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis
(-) Tuberkulosis (-) Batu Empedu lain-lain (-) Operasi
(-) Kecelakaan
Riwayat Keluarga
Hubungan Umur
(Tahun)
Jenis Kelamin Keadaan
Kesehatan
Penyebab
Meninggal
Kakek (ayah) 70 tahun L Meninggal Tidak diketahui
Nenek (ayah) 82 tahun P Meninggal Tidak diketahui
Kakek (ibu) 77 tahun L Meninggal Tidak diketahui
2
Nenek (ibu) 85 tahun P Meninggal Tidak diketahui
Ayah 82 tahun L Meninggal Tidak diketahui
Ibu 28 tahun P Meninggal Tidak diketahui
Saudara 67 tahun L SehatHidup -
Anak 35 tahun P SehatHidup -
Anak 32 tahun P SehatHidup -
Anak 29 tahun L SehatHidup -
Anak 25 tahun P SehatHidup -
Adakah Kerabat yang Menderita
Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi - - -
Asma - - -
Tuberkulosis - - -
Artritis - - -
Rematisme - - -
Hipertensi - Kakek (ayah)
Jantung - - -
Ginjal - - -
Lambung - - -
ANAMNESIS SISTEM
Kulit
(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat Malam (-) Petechie
(-) Kuku (-) KuningIkterus (-) Sianosis
Kepala
(-) Trauma (+) Sakit Kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri pada Sinus
Mata
(-) Nyeri (-) Radang (-) Conjungtiva Anemis
3
(-) Sekret (-) Gangguan Penglihatan
(-) KuningIkterus (-) Ketajaman Penglihatan menurun
Telinga
(-) Nyeri (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Gangguan Pendengaran
(-) Kehilangan Pendengaran
Hidung
(-) Trauma (-) Gejala Penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan Penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis
Mulut
(-) Bibir kering (-) Lidah kotor
(-) Gangguan pengecapan (-) Gusi berdarah
(-) Selaput (-) Stomatitis
Tenggorokan
(-) Nyeri Tenggorokan (-) Perubahan Suara
Leher
(-) Benjolan (-) Nyeri Leher
Dada ( Jantung Paru ndash paru )
(+) Nyeri dada (+) Sesak Napas
(-) Berdebar (-) Batuk Darah
(-) Ortopnoe (+) Batuk
Abdomen ( Lambung Usus )
(+) Rasa Kembung (-) Perut Membesar
(+) Mual (-) Wasir
(-) Muntah (-) Mencret
(-) Muntah Darah (-) Tinja Darah Merah Hitam
(-) Sukar Menelan (-) Tinja Berwarna Dempul
(-) Nyeri Perut (-) Tinja Berwarna Ter
(-) Benjolan (+) Konstipasi
4
Saluran Kemih Alat Kelamin
(-) Disuria (-) Kencing Nanah
(-) Stranguri (-) Kolik
(-) Poliuria (-) Oliguria
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi Urin
(-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes
(-) Ngompol
Saraf dan Otot
(-) Anestesi (-) Sukar Mengingat
(-) Parestesi (-) Ataksia
(-) Otot Lemah (-) Hipo Hiper-esthesi
(-) Kejang (-) Pingsan
(-) Afasia (-) Kedutan
(-) Amnesia (-) Pusing
(-) lain ndash lain (-) Gangguan bicara
Ekstremitas
(-) Bengkak (-) Deformitas
(-) Nyeri (-) Sianosis
Berat Badan
Berat badan rata ndash rata (kg) tidak diketahui
Berat tertinggi kapan (kg) tidak diketahui
Berat badan sekarang 62
Tinggi badan 160 cm
IMT (621602)=2421
RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Tempat Lahir (-) di rumah (+) Rumah Bersalin (-) RS Bersalin
5
Ditolong oleh (-) Dokter (+) Bidan (-) Dukun (-) lain - lain
Riwayat Imunisasi
Pasien mengaku tidak tahu mengenai riwayat imunisasinya
Riwayat Makanan
Frekuensi Hari 3x hari
Jumlah hari Cukup
Variasi hari Nasi sayur (bayam kacang panjang kangkung dll) tempe
Nafsu makan Baik
Pendidikan
( ) SD ( ) SLTP (+) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan
( ) Akademi ( ) Universitas ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah
Kesulitan
Keuangan Ada
Pekerjaan Tidak ada
Keluarga Tidak ada
Lain ndash lain -
B PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan 160
Berat Badan 62
Kesadaran Compos Mentis (GCS 15)
Keadaan Umum Tampak sakit sedang
Tekanan Darah 11070 mmHg
Nadi 80 x menit
Suhu 3800C
Pernafasaan 24xmenit
6
Keadaan gizi Baik
Sianosis Tidak ada
Udema umum Tidak ada
Habitus Atletikus
Cara berjalan Normal
Mobilitas ( aktif pasif ) Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa Sesuai umur
Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku Wajar
Alam Perasaan Biasa
Proses Pikir Wajar
Kulit
Warna Sawo matang
Effloresensi Tidak dilakukan
Jaringan Parut Tidak ada
Pigmentasi Normal
Pertumbuhan rambut Distribusi merata
LembabKering Normal
Suhu Raba Afebris
Pembuluh darah Tidak tampak pelebaran
Keringat Umum (+)
Turgor Baik
Ikterus Tidak ada
Lapisan Lemak Normal
Oedem Tidak ada
Kelenjar Getah Bening
Submandibula Tidak teraba membesar Leher Tidak teraba membesar
Supraklavikula Tidak teraba membesar Ketiak Tidak teraba membesar
Lipat paha Tidak teraba membesar
Kepala
Ekspresi wajah Tenang
7
Simetri muka Simetris
Rambut Beruban distribusi merata
Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi
Mata
Exophthalamus Tidak ada
Enopthalamus Tidak ada
Kelopak Oedem (-)
Lensa Jernih
Konjungtiva Anemis (-)
Visus Normal
Sklera Ikterik (-)
Gerakan Mata Aktif
Lapangan penglihatan Normal
Tekanan bola mata Normal
Nistagmus Tidak ada
Telinga
Tuli Tidak tuli
Selaput pendengaran Utuh intak (+)
Lubang Lapang
Penyumbatan Tidak ada
Serumen Tidak ada
Pendarahan Tidak ada
Cairan Tidak ada
Mulut
Bibir Lembab tidak tampak pucat
Tonsil T1 ndash T1 tenang
Langit-langit Tidak ada kelainan
Bau pernapasan Tidak ada
Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)
Trismus Tidak ada
Faring Tidak hiperemis
8
Selaput lendir Kemerahan
Lidah Tidak Kotor
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan
Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar
Deviasi trachea Tidak ada
Dada
Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit
Pembuluh darah Spider nevi (-)
Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia
Paru ndash Paru
Depan
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)
Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)
9
Belakang
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan redup di ICS VI-VII
Kiri redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Jantung
Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri
Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri
Perkusi
Batas atas ICS III linea parasternal kanan
Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri
Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan
Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis pulsasi teraba
Arteri Karotis pulsasi teraba
Arteri Brakhialis pulsasi teraba
Arteri Radialis pulsasi teraba
10
Arteri Femoralis pulsasi teraba
Arteri Poplitea pulsasi teraba
Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba
Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba
Perut
Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)
Palpasi
Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)
Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)
Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)
Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)
Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)
Auskultasi Bising usus normal
Hepatojugular reflux Tidak
Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Tidak ada Tidak ada
11
Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang
Gerakan Aktif Pasif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Petechie Tidak ada Tidak ada
C PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 01-10-2015
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb 141 gdL
Leukosit 1129 103μL
Ht 408
Trombosit 247 103 microL
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium 137 mEqL
Kalium 402 mEqL
12
Refleks Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
Refleks Patologis Negatif Negatif
Klorida 92 mEqL
Glukosa Sewaktu 106 mgdL
IMUNOSEROLOGI
Widal
S typhi-O (+) 1320
S paratyphi AO (-)
S paratyphi BO (-)
S paratyphi CO (-)
X-foto Thorax
D RINGKASAN (RESUME)
Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama
pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan
adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja
13
pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku
adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil
pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan
kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian
belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium
Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O
(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
E MASALAH
1 Pneumonia
2 Demam Tifoid
F PENGKAJIAN MASALAH
1 Pneumonia
Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang
timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien
berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati
suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru
bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-
gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan
leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
Rencana diagnostik
Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum
Rencana pengobatan
Terapi suportif Terapi definitif
o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg
o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg
O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi
14
Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2 Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S
typhi-O (+) 1160
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan NS1
Rectal toucher
Rencana Pengobatan
Tirah baring
Diet lunak
Diet tinggi serat
Paracetamol 3x500 mg bila masih demam
Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu
Lactulax syrup 3xCI
Rencana Edukasi
Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid
Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)
Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid
Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi
Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi
G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1 Pneumonia
a Bronkitis Akut
Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-
2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan
15
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Nenek (ibu) 85 tahun P Meninggal Tidak diketahui
Ayah 82 tahun L Meninggal Tidak diketahui
Ibu 28 tahun P Meninggal Tidak diketahui
Saudara 67 tahun L SehatHidup -
Anak 35 tahun P SehatHidup -
Anak 32 tahun P SehatHidup -
Anak 29 tahun L SehatHidup -
Anak 25 tahun P SehatHidup -
Adakah Kerabat yang Menderita
Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi - - -
Asma - - -
Tuberkulosis - - -
Artritis - - -
Rematisme - - -
Hipertensi - Kakek (ayah)
Jantung - - -
Ginjal - - -
Lambung - - -
ANAMNESIS SISTEM
Kulit
(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat Malam (-) Petechie
(-) Kuku (-) KuningIkterus (-) Sianosis
Kepala
(-) Trauma (+) Sakit Kepala
(-) Sinkop (-) Nyeri pada Sinus
Mata
(-) Nyeri (-) Radang (-) Conjungtiva Anemis
3
(-) Sekret (-) Gangguan Penglihatan
(-) KuningIkterus (-) Ketajaman Penglihatan menurun
Telinga
(-) Nyeri (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Gangguan Pendengaran
(-) Kehilangan Pendengaran
Hidung
(-) Trauma (-) Gejala Penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan Penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis
Mulut
(-) Bibir kering (-) Lidah kotor
(-) Gangguan pengecapan (-) Gusi berdarah
(-) Selaput (-) Stomatitis
Tenggorokan
(-) Nyeri Tenggorokan (-) Perubahan Suara
Leher
(-) Benjolan (-) Nyeri Leher
Dada ( Jantung Paru ndash paru )
(+) Nyeri dada (+) Sesak Napas
(-) Berdebar (-) Batuk Darah
(-) Ortopnoe (+) Batuk
Abdomen ( Lambung Usus )
(+) Rasa Kembung (-) Perut Membesar
(+) Mual (-) Wasir
(-) Muntah (-) Mencret
(-) Muntah Darah (-) Tinja Darah Merah Hitam
(-) Sukar Menelan (-) Tinja Berwarna Dempul
(-) Nyeri Perut (-) Tinja Berwarna Ter
(-) Benjolan (+) Konstipasi
4
Saluran Kemih Alat Kelamin
(-) Disuria (-) Kencing Nanah
(-) Stranguri (-) Kolik
(-) Poliuria (-) Oliguria
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi Urin
(-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes
(-) Ngompol
Saraf dan Otot
(-) Anestesi (-) Sukar Mengingat
(-) Parestesi (-) Ataksia
(-) Otot Lemah (-) Hipo Hiper-esthesi
(-) Kejang (-) Pingsan
(-) Afasia (-) Kedutan
(-) Amnesia (-) Pusing
(-) lain ndash lain (-) Gangguan bicara
Ekstremitas
(-) Bengkak (-) Deformitas
(-) Nyeri (-) Sianosis
Berat Badan
Berat badan rata ndash rata (kg) tidak diketahui
Berat tertinggi kapan (kg) tidak diketahui
Berat badan sekarang 62
Tinggi badan 160 cm
IMT (621602)=2421
RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Tempat Lahir (-) di rumah (+) Rumah Bersalin (-) RS Bersalin
5
Ditolong oleh (-) Dokter (+) Bidan (-) Dukun (-) lain - lain
Riwayat Imunisasi
Pasien mengaku tidak tahu mengenai riwayat imunisasinya
Riwayat Makanan
Frekuensi Hari 3x hari
Jumlah hari Cukup
Variasi hari Nasi sayur (bayam kacang panjang kangkung dll) tempe
Nafsu makan Baik
Pendidikan
( ) SD ( ) SLTP (+) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan
( ) Akademi ( ) Universitas ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah
Kesulitan
Keuangan Ada
Pekerjaan Tidak ada
Keluarga Tidak ada
Lain ndash lain -
B PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan 160
Berat Badan 62
Kesadaran Compos Mentis (GCS 15)
Keadaan Umum Tampak sakit sedang
Tekanan Darah 11070 mmHg
Nadi 80 x menit
Suhu 3800C
Pernafasaan 24xmenit
6
Keadaan gizi Baik
Sianosis Tidak ada
Udema umum Tidak ada
Habitus Atletikus
Cara berjalan Normal
Mobilitas ( aktif pasif ) Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa Sesuai umur
Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku Wajar
Alam Perasaan Biasa
Proses Pikir Wajar
Kulit
Warna Sawo matang
Effloresensi Tidak dilakukan
Jaringan Parut Tidak ada
Pigmentasi Normal
Pertumbuhan rambut Distribusi merata
LembabKering Normal
Suhu Raba Afebris
Pembuluh darah Tidak tampak pelebaran
Keringat Umum (+)
Turgor Baik
Ikterus Tidak ada
Lapisan Lemak Normal
Oedem Tidak ada
Kelenjar Getah Bening
Submandibula Tidak teraba membesar Leher Tidak teraba membesar
Supraklavikula Tidak teraba membesar Ketiak Tidak teraba membesar
Lipat paha Tidak teraba membesar
Kepala
Ekspresi wajah Tenang
7
Simetri muka Simetris
Rambut Beruban distribusi merata
Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi
Mata
Exophthalamus Tidak ada
Enopthalamus Tidak ada
Kelopak Oedem (-)
Lensa Jernih
Konjungtiva Anemis (-)
Visus Normal
Sklera Ikterik (-)
Gerakan Mata Aktif
Lapangan penglihatan Normal
Tekanan bola mata Normal
Nistagmus Tidak ada
Telinga
Tuli Tidak tuli
Selaput pendengaran Utuh intak (+)
Lubang Lapang
Penyumbatan Tidak ada
Serumen Tidak ada
Pendarahan Tidak ada
Cairan Tidak ada
Mulut
Bibir Lembab tidak tampak pucat
Tonsil T1 ndash T1 tenang
Langit-langit Tidak ada kelainan
Bau pernapasan Tidak ada
Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)
Trismus Tidak ada
Faring Tidak hiperemis
8
Selaput lendir Kemerahan
Lidah Tidak Kotor
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan
Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar
Deviasi trachea Tidak ada
Dada
Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit
Pembuluh darah Spider nevi (-)
Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia
Paru ndash Paru
Depan
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)
Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)
9
Belakang
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan redup di ICS VI-VII
Kiri redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Jantung
Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri
Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri
Perkusi
Batas atas ICS III linea parasternal kanan
Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri
Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan
Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis pulsasi teraba
Arteri Karotis pulsasi teraba
Arteri Brakhialis pulsasi teraba
Arteri Radialis pulsasi teraba
10
Arteri Femoralis pulsasi teraba
Arteri Poplitea pulsasi teraba
Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba
Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba
Perut
Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)
Palpasi
Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)
Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)
Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)
Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)
Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)
Auskultasi Bising usus normal
Hepatojugular reflux Tidak
Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Tidak ada Tidak ada
11
Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang
Gerakan Aktif Pasif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Petechie Tidak ada Tidak ada
C PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 01-10-2015
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb 141 gdL
Leukosit 1129 103μL
Ht 408
Trombosit 247 103 microL
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium 137 mEqL
Kalium 402 mEqL
12
Refleks Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
Refleks Patologis Negatif Negatif
Klorida 92 mEqL
Glukosa Sewaktu 106 mgdL
IMUNOSEROLOGI
Widal
S typhi-O (+) 1320
S paratyphi AO (-)
S paratyphi BO (-)
S paratyphi CO (-)
X-foto Thorax
D RINGKASAN (RESUME)
Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama
pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan
adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja
13
pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku
adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil
pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan
kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian
belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium
Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O
(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
E MASALAH
1 Pneumonia
2 Demam Tifoid
F PENGKAJIAN MASALAH
1 Pneumonia
Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang
timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien
berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati
suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru
bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-
gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan
leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
Rencana diagnostik
Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum
Rencana pengobatan
Terapi suportif Terapi definitif
o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg
o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg
O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi
14
Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2 Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S
typhi-O (+) 1160
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan NS1
Rectal toucher
Rencana Pengobatan
Tirah baring
Diet lunak
Diet tinggi serat
Paracetamol 3x500 mg bila masih demam
Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu
Lactulax syrup 3xCI
Rencana Edukasi
Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid
Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)
Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid
Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi
Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi
G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1 Pneumonia
a Bronkitis Akut
Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-
2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan
15
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
(-) Sekret (-) Gangguan Penglihatan
(-) KuningIkterus (-) Ketajaman Penglihatan menurun
Telinga
(-) Nyeri (-) Tinitus
(-) Sekret (-) Gangguan Pendengaran
(-) Kehilangan Pendengaran
Hidung
(-) Trauma (-) Gejala Penyumbatan
(-) Nyeri (-) Gangguan Penciuman
(-) Sekret (-) Pilek
(-) Epistaksis
Mulut
(-) Bibir kering (-) Lidah kotor
(-) Gangguan pengecapan (-) Gusi berdarah
(-) Selaput (-) Stomatitis
Tenggorokan
(-) Nyeri Tenggorokan (-) Perubahan Suara
Leher
(-) Benjolan (-) Nyeri Leher
Dada ( Jantung Paru ndash paru )
(+) Nyeri dada (+) Sesak Napas
(-) Berdebar (-) Batuk Darah
(-) Ortopnoe (+) Batuk
Abdomen ( Lambung Usus )
(+) Rasa Kembung (-) Perut Membesar
(+) Mual (-) Wasir
(-) Muntah (-) Mencret
(-) Muntah Darah (-) Tinja Darah Merah Hitam
(-) Sukar Menelan (-) Tinja Berwarna Dempul
(-) Nyeri Perut (-) Tinja Berwarna Ter
(-) Benjolan (+) Konstipasi
4
Saluran Kemih Alat Kelamin
(-) Disuria (-) Kencing Nanah
(-) Stranguri (-) Kolik
(-) Poliuria (-) Oliguria
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi Urin
(-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes
(-) Ngompol
Saraf dan Otot
(-) Anestesi (-) Sukar Mengingat
(-) Parestesi (-) Ataksia
(-) Otot Lemah (-) Hipo Hiper-esthesi
(-) Kejang (-) Pingsan
(-) Afasia (-) Kedutan
(-) Amnesia (-) Pusing
(-) lain ndash lain (-) Gangguan bicara
Ekstremitas
(-) Bengkak (-) Deformitas
(-) Nyeri (-) Sianosis
Berat Badan
Berat badan rata ndash rata (kg) tidak diketahui
Berat tertinggi kapan (kg) tidak diketahui
Berat badan sekarang 62
Tinggi badan 160 cm
IMT (621602)=2421
RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Tempat Lahir (-) di rumah (+) Rumah Bersalin (-) RS Bersalin
5
Ditolong oleh (-) Dokter (+) Bidan (-) Dukun (-) lain - lain
Riwayat Imunisasi
Pasien mengaku tidak tahu mengenai riwayat imunisasinya
Riwayat Makanan
Frekuensi Hari 3x hari
Jumlah hari Cukup
Variasi hari Nasi sayur (bayam kacang panjang kangkung dll) tempe
Nafsu makan Baik
Pendidikan
( ) SD ( ) SLTP (+) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan
( ) Akademi ( ) Universitas ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah
Kesulitan
Keuangan Ada
Pekerjaan Tidak ada
Keluarga Tidak ada
Lain ndash lain -
B PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan 160
Berat Badan 62
Kesadaran Compos Mentis (GCS 15)
Keadaan Umum Tampak sakit sedang
Tekanan Darah 11070 mmHg
Nadi 80 x menit
Suhu 3800C
Pernafasaan 24xmenit
6
Keadaan gizi Baik
Sianosis Tidak ada
Udema umum Tidak ada
Habitus Atletikus
Cara berjalan Normal
Mobilitas ( aktif pasif ) Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa Sesuai umur
Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku Wajar
Alam Perasaan Biasa
Proses Pikir Wajar
Kulit
Warna Sawo matang
Effloresensi Tidak dilakukan
Jaringan Parut Tidak ada
Pigmentasi Normal
Pertumbuhan rambut Distribusi merata
LembabKering Normal
Suhu Raba Afebris
Pembuluh darah Tidak tampak pelebaran
Keringat Umum (+)
Turgor Baik
Ikterus Tidak ada
Lapisan Lemak Normal
Oedem Tidak ada
Kelenjar Getah Bening
Submandibula Tidak teraba membesar Leher Tidak teraba membesar
Supraklavikula Tidak teraba membesar Ketiak Tidak teraba membesar
Lipat paha Tidak teraba membesar
Kepala
Ekspresi wajah Tenang
7
Simetri muka Simetris
Rambut Beruban distribusi merata
Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi
Mata
Exophthalamus Tidak ada
Enopthalamus Tidak ada
Kelopak Oedem (-)
Lensa Jernih
Konjungtiva Anemis (-)
Visus Normal
Sklera Ikterik (-)
Gerakan Mata Aktif
Lapangan penglihatan Normal
Tekanan bola mata Normal
Nistagmus Tidak ada
Telinga
Tuli Tidak tuli
Selaput pendengaran Utuh intak (+)
Lubang Lapang
Penyumbatan Tidak ada
Serumen Tidak ada
Pendarahan Tidak ada
Cairan Tidak ada
Mulut
Bibir Lembab tidak tampak pucat
Tonsil T1 ndash T1 tenang
Langit-langit Tidak ada kelainan
Bau pernapasan Tidak ada
Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)
Trismus Tidak ada
Faring Tidak hiperemis
8
Selaput lendir Kemerahan
Lidah Tidak Kotor
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan
Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar
Deviasi trachea Tidak ada
Dada
Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit
Pembuluh darah Spider nevi (-)
Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia
Paru ndash Paru
Depan
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)
Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)
9
Belakang
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan redup di ICS VI-VII
Kiri redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Jantung
Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri
Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri
Perkusi
Batas atas ICS III linea parasternal kanan
Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri
Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan
Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis pulsasi teraba
Arteri Karotis pulsasi teraba
Arteri Brakhialis pulsasi teraba
Arteri Radialis pulsasi teraba
10
Arteri Femoralis pulsasi teraba
Arteri Poplitea pulsasi teraba
Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba
Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba
Perut
Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)
Palpasi
Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)
Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)
Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)
Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)
Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)
Auskultasi Bising usus normal
Hepatojugular reflux Tidak
Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Tidak ada Tidak ada
11
Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang
Gerakan Aktif Pasif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Petechie Tidak ada Tidak ada
C PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 01-10-2015
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb 141 gdL
Leukosit 1129 103μL
Ht 408
Trombosit 247 103 microL
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium 137 mEqL
Kalium 402 mEqL
12
Refleks Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
Refleks Patologis Negatif Negatif
Klorida 92 mEqL
Glukosa Sewaktu 106 mgdL
IMUNOSEROLOGI
Widal
S typhi-O (+) 1320
S paratyphi AO (-)
S paratyphi BO (-)
S paratyphi CO (-)
X-foto Thorax
D RINGKASAN (RESUME)
Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama
pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan
adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja
13
pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku
adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil
pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan
kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian
belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium
Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O
(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
E MASALAH
1 Pneumonia
2 Demam Tifoid
F PENGKAJIAN MASALAH
1 Pneumonia
Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang
timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien
berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati
suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru
bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-
gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan
leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
Rencana diagnostik
Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum
Rencana pengobatan
Terapi suportif Terapi definitif
o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg
o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg
O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi
14
Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2 Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S
typhi-O (+) 1160
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan NS1
Rectal toucher
Rencana Pengobatan
Tirah baring
Diet lunak
Diet tinggi serat
Paracetamol 3x500 mg bila masih demam
Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu
Lactulax syrup 3xCI
Rencana Edukasi
Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid
Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)
Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid
Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi
Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi
G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1 Pneumonia
a Bronkitis Akut
Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-
2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan
15
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Saluran Kemih Alat Kelamin
(-) Disuria (-) Kencing Nanah
(-) Stranguri (-) Kolik
(-) Poliuria (-) Oliguria
(-) Polakisuria (-) Anuria
(-) Hematuria (-) Retensi Urin
(-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes
(-) Ngompol
Saraf dan Otot
(-) Anestesi (-) Sukar Mengingat
(-) Parestesi (-) Ataksia
(-) Otot Lemah (-) Hipo Hiper-esthesi
(-) Kejang (-) Pingsan
(-) Afasia (-) Kedutan
(-) Amnesia (-) Pusing
(-) lain ndash lain (-) Gangguan bicara
Ekstremitas
(-) Bengkak (-) Deformitas
(-) Nyeri (-) Sianosis
Berat Badan
Berat badan rata ndash rata (kg) tidak diketahui
Berat tertinggi kapan (kg) tidak diketahui
Berat badan sekarang 62
Tinggi badan 160 cm
IMT (621602)=2421
RIWAYAT HIDUP
Riwayat Kelahiran
Tempat Lahir (-) di rumah (+) Rumah Bersalin (-) RS Bersalin
5
Ditolong oleh (-) Dokter (+) Bidan (-) Dukun (-) lain - lain
Riwayat Imunisasi
Pasien mengaku tidak tahu mengenai riwayat imunisasinya
Riwayat Makanan
Frekuensi Hari 3x hari
Jumlah hari Cukup
Variasi hari Nasi sayur (bayam kacang panjang kangkung dll) tempe
Nafsu makan Baik
Pendidikan
( ) SD ( ) SLTP (+) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan
( ) Akademi ( ) Universitas ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah
Kesulitan
Keuangan Ada
Pekerjaan Tidak ada
Keluarga Tidak ada
Lain ndash lain -
B PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan 160
Berat Badan 62
Kesadaran Compos Mentis (GCS 15)
Keadaan Umum Tampak sakit sedang
Tekanan Darah 11070 mmHg
Nadi 80 x menit
Suhu 3800C
Pernafasaan 24xmenit
6
Keadaan gizi Baik
Sianosis Tidak ada
Udema umum Tidak ada
Habitus Atletikus
Cara berjalan Normal
Mobilitas ( aktif pasif ) Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa Sesuai umur
Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku Wajar
Alam Perasaan Biasa
Proses Pikir Wajar
Kulit
Warna Sawo matang
Effloresensi Tidak dilakukan
Jaringan Parut Tidak ada
Pigmentasi Normal
Pertumbuhan rambut Distribusi merata
LembabKering Normal
Suhu Raba Afebris
Pembuluh darah Tidak tampak pelebaran
Keringat Umum (+)
Turgor Baik
Ikterus Tidak ada
Lapisan Lemak Normal
Oedem Tidak ada
Kelenjar Getah Bening
Submandibula Tidak teraba membesar Leher Tidak teraba membesar
Supraklavikula Tidak teraba membesar Ketiak Tidak teraba membesar
Lipat paha Tidak teraba membesar
Kepala
Ekspresi wajah Tenang
7
Simetri muka Simetris
Rambut Beruban distribusi merata
Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi
Mata
Exophthalamus Tidak ada
Enopthalamus Tidak ada
Kelopak Oedem (-)
Lensa Jernih
Konjungtiva Anemis (-)
Visus Normal
Sklera Ikterik (-)
Gerakan Mata Aktif
Lapangan penglihatan Normal
Tekanan bola mata Normal
Nistagmus Tidak ada
Telinga
Tuli Tidak tuli
Selaput pendengaran Utuh intak (+)
Lubang Lapang
Penyumbatan Tidak ada
Serumen Tidak ada
Pendarahan Tidak ada
Cairan Tidak ada
Mulut
Bibir Lembab tidak tampak pucat
Tonsil T1 ndash T1 tenang
Langit-langit Tidak ada kelainan
Bau pernapasan Tidak ada
Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)
Trismus Tidak ada
Faring Tidak hiperemis
8
Selaput lendir Kemerahan
Lidah Tidak Kotor
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan
Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar
Deviasi trachea Tidak ada
Dada
Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit
Pembuluh darah Spider nevi (-)
Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia
Paru ndash Paru
Depan
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)
Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)
9
Belakang
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan redup di ICS VI-VII
Kiri redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Jantung
Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri
Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri
Perkusi
Batas atas ICS III linea parasternal kanan
Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri
Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan
Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis pulsasi teraba
Arteri Karotis pulsasi teraba
Arteri Brakhialis pulsasi teraba
Arteri Radialis pulsasi teraba
10
Arteri Femoralis pulsasi teraba
Arteri Poplitea pulsasi teraba
Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba
Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba
Perut
Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)
Palpasi
Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)
Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)
Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)
Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)
Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)
Auskultasi Bising usus normal
Hepatojugular reflux Tidak
Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Tidak ada Tidak ada
11
Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang
Gerakan Aktif Pasif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Petechie Tidak ada Tidak ada
C PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 01-10-2015
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb 141 gdL
Leukosit 1129 103μL
Ht 408
Trombosit 247 103 microL
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium 137 mEqL
Kalium 402 mEqL
12
Refleks Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
Refleks Patologis Negatif Negatif
Klorida 92 mEqL
Glukosa Sewaktu 106 mgdL
IMUNOSEROLOGI
Widal
S typhi-O (+) 1320
S paratyphi AO (-)
S paratyphi BO (-)
S paratyphi CO (-)
X-foto Thorax
D RINGKASAN (RESUME)
Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama
pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan
adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja
13
pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku
adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil
pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan
kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian
belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium
Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O
(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
E MASALAH
1 Pneumonia
2 Demam Tifoid
F PENGKAJIAN MASALAH
1 Pneumonia
Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang
timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien
berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati
suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru
bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-
gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan
leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
Rencana diagnostik
Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum
Rencana pengobatan
Terapi suportif Terapi definitif
o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg
o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg
O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi
14
Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2 Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S
typhi-O (+) 1160
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan NS1
Rectal toucher
Rencana Pengobatan
Tirah baring
Diet lunak
Diet tinggi serat
Paracetamol 3x500 mg bila masih demam
Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu
Lactulax syrup 3xCI
Rencana Edukasi
Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid
Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)
Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid
Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi
Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi
G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1 Pneumonia
a Bronkitis Akut
Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-
2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan
15
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Ditolong oleh (-) Dokter (+) Bidan (-) Dukun (-) lain - lain
Riwayat Imunisasi
Pasien mengaku tidak tahu mengenai riwayat imunisasinya
Riwayat Makanan
Frekuensi Hari 3x hari
Jumlah hari Cukup
Variasi hari Nasi sayur (bayam kacang panjang kangkung dll) tempe
Nafsu makan Baik
Pendidikan
( ) SD ( ) SLTP (+) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan
( ) Akademi ( ) Universitas ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah
Kesulitan
Keuangan Ada
Pekerjaan Tidak ada
Keluarga Tidak ada
Lain ndash lain -
B PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Tinggi Badan 160
Berat Badan 62
Kesadaran Compos Mentis (GCS 15)
Keadaan Umum Tampak sakit sedang
Tekanan Darah 11070 mmHg
Nadi 80 x menit
Suhu 3800C
Pernafasaan 24xmenit
6
Keadaan gizi Baik
Sianosis Tidak ada
Udema umum Tidak ada
Habitus Atletikus
Cara berjalan Normal
Mobilitas ( aktif pasif ) Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa Sesuai umur
Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku Wajar
Alam Perasaan Biasa
Proses Pikir Wajar
Kulit
Warna Sawo matang
Effloresensi Tidak dilakukan
Jaringan Parut Tidak ada
Pigmentasi Normal
Pertumbuhan rambut Distribusi merata
LembabKering Normal
Suhu Raba Afebris
Pembuluh darah Tidak tampak pelebaran
Keringat Umum (+)
Turgor Baik
Ikterus Tidak ada
Lapisan Lemak Normal
Oedem Tidak ada
Kelenjar Getah Bening
Submandibula Tidak teraba membesar Leher Tidak teraba membesar
Supraklavikula Tidak teraba membesar Ketiak Tidak teraba membesar
Lipat paha Tidak teraba membesar
Kepala
Ekspresi wajah Tenang
7
Simetri muka Simetris
Rambut Beruban distribusi merata
Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi
Mata
Exophthalamus Tidak ada
Enopthalamus Tidak ada
Kelopak Oedem (-)
Lensa Jernih
Konjungtiva Anemis (-)
Visus Normal
Sklera Ikterik (-)
Gerakan Mata Aktif
Lapangan penglihatan Normal
Tekanan bola mata Normal
Nistagmus Tidak ada
Telinga
Tuli Tidak tuli
Selaput pendengaran Utuh intak (+)
Lubang Lapang
Penyumbatan Tidak ada
Serumen Tidak ada
Pendarahan Tidak ada
Cairan Tidak ada
Mulut
Bibir Lembab tidak tampak pucat
Tonsil T1 ndash T1 tenang
Langit-langit Tidak ada kelainan
Bau pernapasan Tidak ada
Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)
Trismus Tidak ada
Faring Tidak hiperemis
8
Selaput lendir Kemerahan
Lidah Tidak Kotor
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan
Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar
Deviasi trachea Tidak ada
Dada
Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit
Pembuluh darah Spider nevi (-)
Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia
Paru ndash Paru
Depan
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)
Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)
9
Belakang
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan redup di ICS VI-VII
Kiri redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Jantung
Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri
Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri
Perkusi
Batas atas ICS III linea parasternal kanan
Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri
Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan
Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis pulsasi teraba
Arteri Karotis pulsasi teraba
Arteri Brakhialis pulsasi teraba
Arteri Radialis pulsasi teraba
10
Arteri Femoralis pulsasi teraba
Arteri Poplitea pulsasi teraba
Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba
Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba
Perut
Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)
Palpasi
Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)
Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)
Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)
Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)
Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)
Auskultasi Bising usus normal
Hepatojugular reflux Tidak
Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Tidak ada Tidak ada
11
Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang
Gerakan Aktif Pasif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Petechie Tidak ada Tidak ada
C PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 01-10-2015
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb 141 gdL
Leukosit 1129 103μL
Ht 408
Trombosit 247 103 microL
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium 137 mEqL
Kalium 402 mEqL
12
Refleks Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
Refleks Patologis Negatif Negatif
Klorida 92 mEqL
Glukosa Sewaktu 106 mgdL
IMUNOSEROLOGI
Widal
S typhi-O (+) 1320
S paratyphi AO (-)
S paratyphi BO (-)
S paratyphi CO (-)
X-foto Thorax
D RINGKASAN (RESUME)
Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama
pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan
adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja
13
pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku
adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil
pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan
kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian
belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium
Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O
(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
E MASALAH
1 Pneumonia
2 Demam Tifoid
F PENGKAJIAN MASALAH
1 Pneumonia
Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang
timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien
berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati
suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru
bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-
gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan
leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
Rencana diagnostik
Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum
Rencana pengobatan
Terapi suportif Terapi definitif
o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg
o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg
O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi
14
Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2 Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S
typhi-O (+) 1160
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan NS1
Rectal toucher
Rencana Pengobatan
Tirah baring
Diet lunak
Diet tinggi serat
Paracetamol 3x500 mg bila masih demam
Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu
Lactulax syrup 3xCI
Rencana Edukasi
Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid
Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)
Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid
Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi
Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi
G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1 Pneumonia
a Bronkitis Akut
Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-
2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan
15
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Keadaan gizi Baik
Sianosis Tidak ada
Udema umum Tidak ada
Habitus Atletikus
Cara berjalan Normal
Mobilitas ( aktif pasif ) Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa Sesuai umur
Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku Wajar
Alam Perasaan Biasa
Proses Pikir Wajar
Kulit
Warna Sawo matang
Effloresensi Tidak dilakukan
Jaringan Parut Tidak ada
Pigmentasi Normal
Pertumbuhan rambut Distribusi merata
LembabKering Normal
Suhu Raba Afebris
Pembuluh darah Tidak tampak pelebaran
Keringat Umum (+)
Turgor Baik
Ikterus Tidak ada
Lapisan Lemak Normal
Oedem Tidak ada
Kelenjar Getah Bening
Submandibula Tidak teraba membesar Leher Tidak teraba membesar
Supraklavikula Tidak teraba membesar Ketiak Tidak teraba membesar
Lipat paha Tidak teraba membesar
Kepala
Ekspresi wajah Tenang
7
Simetri muka Simetris
Rambut Beruban distribusi merata
Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi
Mata
Exophthalamus Tidak ada
Enopthalamus Tidak ada
Kelopak Oedem (-)
Lensa Jernih
Konjungtiva Anemis (-)
Visus Normal
Sklera Ikterik (-)
Gerakan Mata Aktif
Lapangan penglihatan Normal
Tekanan bola mata Normal
Nistagmus Tidak ada
Telinga
Tuli Tidak tuli
Selaput pendengaran Utuh intak (+)
Lubang Lapang
Penyumbatan Tidak ada
Serumen Tidak ada
Pendarahan Tidak ada
Cairan Tidak ada
Mulut
Bibir Lembab tidak tampak pucat
Tonsil T1 ndash T1 tenang
Langit-langit Tidak ada kelainan
Bau pernapasan Tidak ada
Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)
Trismus Tidak ada
Faring Tidak hiperemis
8
Selaput lendir Kemerahan
Lidah Tidak Kotor
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan
Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar
Deviasi trachea Tidak ada
Dada
Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit
Pembuluh darah Spider nevi (-)
Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia
Paru ndash Paru
Depan
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)
Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)
9
Belakang
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan redup di ICS VI-VII
Kiri redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Jantung
Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri
Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri
Perkusi
Batas atas ICS III linea parasternal kanan
Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri
Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan
Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis pulsasi teraba
Arteri Karotis pulsasi teraba
Arteri Brakhialis pulsasi teraba
Arteri Radialis pulsasi teraba
10
Arteri Femoralis pulsasi teraba
Arteri Poplitea pulsasi teraba
Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba
Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba
Perut
Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)
Palpasi
Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)
Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)
Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)
Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)
Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)
Auskultasi Bising usus normal
Hepatojugular reflux Tidak
Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Tidak ada Tidak ada
11
Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang
Gerakan Aktif Pasif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Petechie Tidak ada Tidak ada
C PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 01-10-2015
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb 141 gdL
Leukosit 1129 103μL
Ht 408
Trombosit 247 103 microL
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium 137 mEqL
Kalium 402 mEqL
12
Refleks Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
Refleks Patologis Negatif Negatif
Klorida 92 mEqL
Glukosa Sewaktu 106 mgdL
IMUNOSEROLOGI
Widal
S typhi-O (+) 1320
S paratyphi AO (-)
S paratyphi BO (-)
S paratyphi CO (-)
X-foto Thorax
D RINGKASAN (RESUME)
Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama
pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan
adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja
13
pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku
adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil
pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan
kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian
belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium
Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O
(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
E MASALAH
1 Pneumonia
2 Demam Tifoid
F PENGKAJIAN MASALAH
1 Pneumonia
Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang
timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien
berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati
suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru
bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-
gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan
leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
Rencana diagnostik
Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum
Rencana pengobatan
Terapi suportif Terapi definitif
o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg
o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg
O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi
14
Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2 Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S
typhi-O (+) 1160
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan NS1
Rectal toucher
Rencana Pengobatan
Tirah baring
Diet lunak
Diet tinggi serat
Paracetamol 3x500 mg bila masih demam
Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu
Lactulax syrup 3xCI
Rencana Edukasi
Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid
Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)
Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid
Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi
Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi
G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1 Pneumonia
a Bronkitis Akut
Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-
2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan
15
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Simetri muka Simetris
Rambut Beruban distribusi merata
Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi
Mata
Exophthalamus Tidak ada
Enopthalamus Tidak ada
Kelopak Oedem (-)
Lensa Jernih
Konjungtiva Anemis (-)
Visus Normal
Sklera Ikterik (-)
Gerakan Mata Aktif
Lapangan penglihatan Normal
Tekanan bola mata Normal
Nistagmus Tidak ada
Telinga
Tuli Tidak tuli
Selaput pendengaran Utuh intak (+)
Lubang Lapang
Penyumbatan Tidak ada
Serumen Tidak ada
Pendarahan Tidak ada
Cairan Tidak ada
Mulut
Bibir Lembab tidak tampak pucat
Tonsil T1 ndash T1 tenang
Langit-langit Tidak ada kelainan
Bau pernapasan Tidak ada
Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)
Trismus Tidak ada
Faring Tidak hiperemis
8
Selaput lendir Kemerahan
Lidah Tidak Kotor
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan
Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar
Deviasi trachea Tidak ada
Dada
Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit
Pembuluh darah Spider nevi (-)
Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia
Paru ndash Paru
Depan
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)
Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)
9
Belakang
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan redup di ICS VI-VII
Kiri redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Jantung
Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri
Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri
Perkusi
Batas atas ICS III linea parasternal kanan
Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri
Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan
Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis pulsasi teraba
Arteri Karotis pulsasi teraba
Arteri Brakhialis pulsasi teraba
Arteri Radialis pulsasi teraba
10
Arteri Femoralis pulsasi teraba
Arteri Poplitea pulsasi teraba
Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba
Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba
Perut
Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)
Palpasi
Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)
Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)
Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)
Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)
Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)
Auskultasi Bising usus normal
Hepatojugular reflux Tidak
Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Tidak ada Tidak ada
11
Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang
Gerakan Aktif Pasif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Petechie Tidak ada Tidak ada
C PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 01-10-2015
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb 141 gdL
Leukosit 1129 103μL
Ht 408
Trombosit 247 103 microL
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium 137 mEqL
Kalium 402 mEqL
12
Refleks Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
Refleks Patologis Negatif Negatif
Klorida 92 mEqL
Glukosa Sewaktu 106 mgdL
IMUNOSEROLOGI
Widal
S typhi-O (+) 1320
S paratyphi AO (-)
S paratyphi BO (-)
S paratyphi CO (-)
X-foto Thorax
D RINGKASAN (RESUME)
Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama
pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan
adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja
13
pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku
adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil
pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan
kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian
belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium
Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O
(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
E MASALAH
1 Pneumonia
2 Demam Tifoid
F PENGKAJIAN MASALAH
1 Pneumonia
Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang
timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien
berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati
suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru
bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-
gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan
leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
Rencana diagnostik
Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum
Rencana pengobatan
Terapi suportif Terapi definitif
o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg
o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg
O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi
14
Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2 Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S
typhi-O (+) 1160
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan NS1
Rectal toucher
Rencana Pengobatan
Tirah baring
Diet lunak
Diet tinggi serat
Paracetamol 3x500 mg bila masih demam
Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu
Lactulax syrup 3xCI
Rencana Edukasi
Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid
Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)
Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid
Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi
Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi
G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1 Pneumonia
a Bronkitis Akut
Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-
2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan
15
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Selaput lendir Kemerahan
Lidah Tidak Kotor
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan
Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar
Deviasi trachea Tidak ada
Dada
Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit
Pembuluh darah Spider nevi (-)
Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia
Paru ndash Paru
Depan
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)
Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)
9
Belakang
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan redup di ICS VI-VII
Kiri redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Jantung
Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri
Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri
Perkusi
Batas atas ICS III linea parasternal kanan
Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri
Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan
Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis pulsasi teraba
Arteri Karotis pulsasi teraba
Arteri Brakhialis pulsasi teraba
Arteri Radialis pulsasi teraba
10
Arteri Femoralis pulsasi teraba
Arteri Poplitea pulsasi teraba
Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba
Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba
Perut
Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)
Palpasi
Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)
Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)
Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)
Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)
Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)
Auskultasi Bising usus normal
Hepatojugular reflux Tidak
Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Tidak ada Tidak ada
11
Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang
Gerakan Aktif Pasif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Petechie Tidak ada Tidak ada
C PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 01-10-2015
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb 141 gdL
Leukosit 1129 103μL
Ht 408
Trombosit 247 103 microL
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium 137 mEqL
Kalium 402 mEqL
12
Refleks Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
Refleks Patologis Negatif Negatif
Klorida 92 mEqL
Glukosa Sewaktu 106 mgdL
IMUNOSEROLOGI
Widal
S typhi-O (+) 1320
S paratyphi AO (-)
S paratyphi BO (-)
S paratyphi CO (-)
X-foto Thorax
D RINGKASAN (RESUME)
Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama
pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan
adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja
13
pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku
adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil
pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan
kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian
belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium
Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O
(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
E MASALAH
1 Pneumonia
2 Demam Tifoid
F PENGKAJIAN MASALAH
1 Pneumonia
Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang
timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien
berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati
suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru
bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-
gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan
leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
Rencana diagnostik
Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum
Rencana pengobatan
Terapi suportif Terapi definitif
o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg
o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg
O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi
14
Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2 Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S
typhi-O (+) 1160
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan NS1
Rectal toucher
Rencana Pengobatan
Tirah baring
Diet lunak
Diet tinggi serat
Paracetamol 3x500 mg bila masih demam
Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu
Lactulax syrup 3xCI
Rencana Edukasi
Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid
Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)
Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid
Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi
Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi
G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1 Pneumonia
a Bronkitis Akut
Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-
2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan
15
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Belakang
Inspeksi
Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak
membesar
Palapasi
Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris
fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)
Perkusi
Kanan redup di ICS VI-VII
Kiri redup di ICS VI-VII
Auskultasi
Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)
Jantung
Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri
Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri
Perkusi
Batas atas ICS III linea parasternal kanan
Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri
Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan
Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis pulsasi teraba
Arteri Karotis pulsasi teraba
Arteri Brakhialis pulsasi teraba
Arteri Radialis pulsasi teraba
10
Arteri Femoralis pulsasi teraba
Arteri Poplitea pulsasi teraba
Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba
Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba
Perut
Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)
Palpasi
Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)
Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)
Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)
Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)
Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)
Auskultasi Bising usus normal
Hepatojugular reflux Tidak
Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Tidak ada Tidak ada
11
Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang
Gerakan Aktif Pasif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Petechie Tidak ada Tidak ada
C PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 01-10-2015
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb 141 gdL
Leukosit 1129 103μL
Ht 408
Trombosit 247 103 microL
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium 137 mEqL
Kalium 402 mEqL
12
Refleks Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
Refleks Patologis Negatif Negatif
Klorida 92 mEqL
Glukosa Sewaktu 106 mgdL
IMUNOSEROLOGI
Widal
S typhi-O (+) 1320
S paratyphi AO (-)
S paratyphi BO (-)
S paratyphi CO (-)
X-foto Thorax
D RINGKASAN (RESUME)
Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama
pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan
adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja
13
pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku
adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil
pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan
kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian
belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium
Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O
(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
E MASALAH
1 Pneumonia
2 Demam Tifoid
F PENGKAJIAN MASALAH
1 Pneumonia
Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang
timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien
berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati
suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru
bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-
gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan
leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
Rencana diagnostik
Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum
Rencana pengobatan
Terapi suportif Terapi definitif
o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg
o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg
O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi
14
Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2 Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S
typhi-O (+) 1160
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan NS1
Rectal toucher
Rencana Pengobatan
Tirah baring
Diet lunak
Diet tinggi serat
Paracetamol 3x500 mg bila masih demam
Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu
Lactulax syrup 3xCI
Rencana Edukasi
Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid
Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)
Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid
Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi
Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi
G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1 Pneumonia
a Bronkitis Akut
Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-
2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan
15
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Arteri Femoralis pulsasi teraba
Arteri Poplitea pulsasi teraba
Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba
Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba
Perut
Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)
Palpasi
Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)
Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)
Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)
Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)
Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)
Auskultasi Bising usus normal
Hepatojugular reflux Tidak
Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Tungkai dan Kaki Kanan Kiri
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot Tidak atrofi Tidak atrofi
Tonus Normotonus Normotonus
Massa Tidak ada Tidak ada
11
Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang
Gerakan Aktif Pasif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Petechie Tidak ada Tidak ada
C PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 01-10-2015
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb 141 gdL
Leukosit 1129 103μL
Ht 408
Trombosit 247 103 microL
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium 137 mEqL
Kalium 402 mEqL
12
Refleks Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
Refleks Patologis Negatif Negatif
Klorida 92 mEqL
Glukosa Sewaktu 106 mgdL
IMUNOSEROLOGI
Widal
S typhi-O (+) 1320
S paratyphi AO (-)
S paratyphi BO (-)
S paratyphi CO (-)
X-foto Thorax
D RINGKASAN (RESUME)
Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama
pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan
adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja
13
pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku
adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil
pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan
kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian
belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium
Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O
(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
E MASALAH
1 Pneumonia
2 Demam Tifoid
F PENGKAJIAN MASALAH
1 Pneumonia
Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang
timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien
berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati
suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru
bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-
gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan
leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
Rencana diagnostik
Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum
Rencana pengobatan
Terapi suportif Terapi definitif
o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg
o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg
O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi
14
Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2 Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S
typhi-O (+) 1160
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan NS1
Rectal toucher
Rencana Pengobatan
Tirah baring
Diet lunak
Diet tinggi serat
Paracetamol 3x500 mg bila masih demam
Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu
Lactulax syrup 3xCI
Rencana Edukasi
Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid
Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)
Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid
Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi
Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi
G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1 Pneumonia
a Bronkitis Akut
Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-
2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan
15
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang
Gerakan Aktif Pasif
Kekuatan 5 5
Oedem Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Petechie Tidak ada Tidak ada
C PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 01-10-2015
HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hb 141 gdL
Leukosit 1129 103μL
Ht 408
Trombosit 247 103 microL
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium 137 mEqL
Kalium 402 mEqL
12
Refleks Kanan Kiri
Refleks Tendon Positif Positif
Bisep Positif Positif
Trisep Positif Positif
Patela Positif Positif
Achiles Positif Positif
Refleks Patologis Negatif Negatif
Klorida 92 mEqL
Glukosa Sewaktu 106 mgdL
IMUNOSEROLOGI
Widal
S typhi-O (+) 1320
S paratyphi AO (-)
S paratyphi BO (-)
S paratyphi CO (-)
X-foto Thorax
D RINGKASAN (RESUME)
Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama
pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan
adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja
13
pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku
adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil
pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan
kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian
belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium
Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O
(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
E MASALAH
1 Pneumonia
2 Demam Tifoid
F PENGKAJIAN MASALAH
1 Pneumonia
Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang
timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien
berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati
suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru
bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-
gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan
leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
Rencana diagnostik
Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum
Rencana pengobatan
Terapi suportif Terapi definitif
o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg
o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg
O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi
14
Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2 Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S
typhi-O (+) 1160
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan NS1
Rectal toucher
Rencana Pengobatan
Tirah baring
Diet lunak
Diet tinggi serat
Paracetamol 3x500 mg bila masih demam
Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu
Lactulax syrup 3xCI
Rencana Edukasi
Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid
Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)
Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid
Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi
Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi
G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1 Pneumonia
a Bronkitis Akut
Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-
2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan
15
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Klorida 92 mEqL
Glukosa Sewaktu 106 mgdL
IMUNOSEROLOGI
Widal
S typhi-O (+) 1320
S paratyphi AO (-)
S paratyphi BO (-)
S paratyphi CO (-)
X-foto Thorax
D RINGKASAN (RESUME)
Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama
pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan
adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja
13
pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku
adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil
pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan
kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian
belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium
Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O
(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
E MASALAH
1 Pneumonia
2 Demam Tifoid
F PENGKAJIAN MASALAH
1 Pneumonia
Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang
timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien
berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati
suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru
bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-
gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan
leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
Rencana diagnostik
Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum
Rencana pengobatan
Terapi suportif Terapi definitif
o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg
o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg
O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi
14
Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2 Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S
typhi-O (+) 1160
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan NS1
Rectal toucher
Rencana Pengobatan
Tirah baring
Diet lunak
Diet tinggi serat
Paracetamol 3x500 mg bila masih demam
Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu
Lactulax syrup 3xCI
Rencana Edukasi
Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid
Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)
Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid
Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi
Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi
G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1 Pneumonia
a Bronkitis Akut
Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-
2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan
15
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku
adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk
Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air
ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil
pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan
kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian
belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium
Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O
(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
E MASALAH
1 Pneumonia
2 Demam Tifoid
F PENGKAJIAN MASALAH
1 Pneumonia
Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang
timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien
berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati
suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru
bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-
gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan
leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah
Rencana diagnostik
Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum
Rencana pengobatan
Terapi suportif Terapi definitif
o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg
o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg
O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi
14
Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2 Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S
typhi-O (+) 1160
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan NS1
Rectal toucher
Rencana Pengobatan
Tirah baring
Diet lunak
Diet tinggi serat
Paracetamol 3x500 mg bila masih demam
Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu
Lactulax syrup 3xCI
Rencana Edukasi
Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid
Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)
Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid
Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi
Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi
G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1 Pneumonia
a Bronkitis Akut
Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-
2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan
15
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok
2 Demam Tifoid
Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam
hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S
typhi-O (+) 1160
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan Tubex
Pemeriksaan NS1
Rectal toucher
Rencana Pengobatan
Tirah baring
Diet lunak
Diet tinggi serat
Paracetamol 3x500 mg bila masih demam
Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu
Lactulax syrup 3xCI
Rencana Edukasi
Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid
Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)
Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid
Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi
Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi
G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
1 Pneumonia
a Bronkitis Akut
Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-
2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan
15
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa
berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau
rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik
ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara
nafas terdapat ronki basah kasar wheezing
b TB Paru
Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur
darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah
nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa
kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam
subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada
auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex
paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto
thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas
pleuritis efusi pleura
2 Demam Tifoid
a Demam Berdarah Dengue
Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital
mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena
tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat
perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti
kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia
b Malaria
Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin
berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut
mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat
transfuse darah
H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS
KESIMPULAN
16
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid
PROGNOSIS
1 Ad vitam Dubia ad bonam
2 Ad fungsionam Dubia ad bonam
3 Ad sanationam Dubia ad bonam
Catatan Perkembangan
Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645
17
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
1 Masalah Pneumonia
S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa
berkurang nyeri dada tidak ada
O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di
kedua lapang paru
A Pneumonia keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak
ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB
O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Terapi dilanjutkan
Tanggal 5 Oktober 2015
1 Masalah Pneumonia
S Tidak ada keluhan
O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus
A Pneumonia tidak ada gejala klinis
P Acc pulang
2 Masalah Demam Tifoid
S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak
ada demam tidak ada BAB normal
O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn
A Demam Tifoid keluhan berkurang
P Acc pulang
TINJAUAN PUSTAKA
18
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
PNEUMONIA
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila
peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk
proses non infeksi1
Epidemiologi
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)
pada bayi 238 dan Balita 1552
Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus
jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia
adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya
berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)
parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting
dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus
aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada
usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada
anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh
streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical
pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan
19
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering
ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3
Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3
Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes
Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus
3 minggu ndash 3 bulan
Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Para influenza virus
12 and 3 Adenovirus
Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B
amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum
Virus Cytomegalovirus
4 bulan ndash5 tahun
Bakteria Streptococcus pneumo-
niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-
niaeVirus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus
Bakteria Haemophillus influenza type
B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus
Virus Varicella zoster virus
20
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Measles
5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-
niae
Bakteria Haemophillus influenza type
B Legionella species Staphylococcus aureus
Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus
Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis
21
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis
Klasifikasi Pneumonia
Menurut sifatnya yaitu
a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya
faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae
(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-
fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-
calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella
b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita
penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai
penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2
Berdasarkan Kuman penyebab
a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza
b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia
c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus
d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi
di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah
sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4
b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia
yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman
22
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-
teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas
aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab
HAP5
c Pneumonia aspirasi
Berdasarkan lokasi infeksi
a Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya
tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang
timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn
Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada
bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan
sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau
adanya proses keganasan4
b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis
menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi
di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal
pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan
orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4
c Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil
Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema
dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa
bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Patofisiologi Pneumonia
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia
lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit
23
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling
berisiko1
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat
Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak
disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-
toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak
sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4
1 Inokulasi langsung
2 Penyebaran melalui pembuluh darah
3 Inhalasi bahan aerosol
4 Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan
bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli
dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung
orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi
mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi
dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada
keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok
Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan
sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)
menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai
penyebab pneumonia
24
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas
1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)
Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2
2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal
sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48
jam2
3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin
dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti2
4 Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang
diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan
cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2
25
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Diagnosis Pneumonia
Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi
Gejala Mayor 1Batuk
2Sputum produktif
3Demam (suhugt38 0c)
Gejala Minor 1 sesak napas
2 nyeri dada
3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4 jumlah leukosit gt12000L
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama
beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi
40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang berdarah4
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada
palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas
bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus
yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya
gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-
25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain
Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru
secara anantomis
26
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas
Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-
viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis
Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-
lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan
Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura
Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena
Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler
Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada
bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus5
Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis
bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang
kemungkinan penyebab infeksi4
Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades
biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak
ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak
boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi
dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4
Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada
penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya
akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7
27
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia
c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum
pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751
1 Pemberian Antibiotik
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
1048707 Golongan Penisilin
1048707 TMP-SMZ
1048707 Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)
1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi
1048707 Marolid baru dosis tinggi
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
1048707 Aminoglikosid
1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim
1048707 Tikarsilin Piperasilin
1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem
1048707 Siprofloksasin Levofloksasin
Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)
1048707 Vankomisin
1048707 Teikoplanin
1048707 Linezolid
Hemophilus influenzae
1048707 TMP-SMZ
1048707 Azitromisin
1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3
1048707 Fluorokuinolon respirasi
Legionella
28
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
1048707 Rifampisin
Mycoplasma pneumoniae
1048707 Doksisiklin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
Chlamydia pneumoniae
1048707 Doksisikin
1048707 Makrolid
1048707 Fluorokuinolon
2 Terapi Suportif Umum
1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan
pemeriksaan analisis gas darah
2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai
nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme
3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan
pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6
4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru
lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral
Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan
sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak
diperkenankan8
5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik
6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat
komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal
7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah
29
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan
masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance
hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk
memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8
b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat
asidosis respiratorik
c Respiratory arrest
d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif
8 Drainase empiema bila ada
9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan
terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8
3 Terapi Sulih (switch therapy)
Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke
oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah
infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)
switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih
rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan
perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran
pencernaan berfungsi normal9
Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9
1 Temp le 378 C Kesadaran baik
2 Denyut jantung le 100 denyut menit
3 Respirasi ratele 24 napas menit
4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg
5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara
6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi
mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling
30
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama
yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat
disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B
parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang
disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae
Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap
iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10
TB Paru
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M
tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran
pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)
nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam
lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
DEMAM TIFOID
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid
ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan
gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan
atau tanpa gangguan kesadaran3
31
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit
ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health
Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di
seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang
kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat
jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di
rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk
tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3
Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S
Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif
mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik3
Patofosiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism
yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ
extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)
32
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan
permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal2
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila
respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel
epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika
Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ
RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2
Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman
dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus
Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia
sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah
delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau
yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi
intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan
nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer
33
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi
dan gangguan organ lainnya2
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga
endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari
makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem
vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis2
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan
lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang
lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3
hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah
kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala
yang timbul dapat dikelompokkan
Demam satu minggu atau lebih
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada
pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala
34
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan
limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa
kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak
tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid
kongenital
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda
antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat
di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi
deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat
serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang
di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus
dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak
Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7
ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi
antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit
penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)
anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta
lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini
sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)
35
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan
kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih
jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk
penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok yaitu
1 Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena
efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia
diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi
lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif
aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal
jumlah megakariosit dalam batas normal3
2 Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3
36
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman
Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi
aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam
jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita
tersangka demam tifoid yaitu
1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2 Aglutinin H (flagel kuman)
3 Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H
timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi
O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi
Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada
pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk
menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak
37
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif
b) Tes TUBEX
Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis
infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG
dalam waktu beberapa menit3
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78
dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara
berkembang3
Ada 4 interpretasi hasil
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian
Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi
pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam
tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat
membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
38
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik3
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG
IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan
antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya
antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses
dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya
uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan
terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya
cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun
juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran
nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-
human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3
Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas3
3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam
biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan
39
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan
volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL
Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun
secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu
40
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang3
Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah
volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat
Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3
4 Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam
nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau
amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi
yang spesifik untuk S typhi
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan
sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi
1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam
spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini
penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3
Diagnosa
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi
dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran
Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
41
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati
dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal
awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas
dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi
berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak
makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-
80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu
gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya
berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu
ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan
bakteriologis3
Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi
untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus
Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk
penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta
42
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus
melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi
perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi
Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit
meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)
bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh
meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3
Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10
mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan
kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung
Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah3
Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-
43
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi
sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis
ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier
Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-
fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-
fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-
lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-
sisten
Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-
rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari
dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime
10-15 mgkghari selama 10 hari
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat
diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal
dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi
darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai
penambahan antibiotika metronidazol3
44
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
Diagnosa Banding
Demam Berdarah Dengue
Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi
berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis
Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit
20 dari standar usia) trombositopenia
Malaria
ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala
nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi
ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah
Daftar Pustaka
1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-
partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta
2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta
3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007
4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti2003
5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial2003
6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines
for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31
347-82
7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-
acquired pneumonia in adults CID 200744S27
45
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-
8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348
9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and
outpatient Chest 20071311205
10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-
AIR Surabaya
46
- Refleks
- Kanan
- Kiri
- Refleks Tendon
- Positif
- Positif
- Bisep
- Positif
- Positif
- Trisep
- Positif
- Positif
- Patela
- Positif
- Positif
- Achiles
- Positif
- Positif
- Refleks Patologis
- Negatif
- Negatif
- Riwayat Keluarga
-
- ANAMNESIS SISTEM
-
- Riwayat Kelahiran
- C PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
- Klasifikasi Pneumonia
- Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
-