ipd-laporan kasus 1

67
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA (UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA) Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA SMF ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA Nama Mahasiswa : Steaffie Eunike Cassandra Siagian Tanda Tangan NIM : 11.2014.169 ............... ........ Dr. Pembimbing : dr. Benyamin Tambunan Sp. PD ....................... IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. T Jenis Kelamin: Laki-laki Tempat /tanggal lahir: Kendal, 09/10/1952 Suku Bangsa: Jawa Status Perkawinan: Sudah menikah Agama: Islam Pekerjaan: Wiraswasta Pendidikan: SMA Alamat : Jl. Baru Timur Umur: 62 tahun A. ANAMNESIS 1

Upload: steaffieeunike

Post on 04-Jan-2016

85 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Demam Tifoid, dan Pneumonia

TRANSCRIPT

Page 1: IPD-Laporan Kasus 1

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)Jl Arjuna Utara No6 Kebun Jeruk ndash Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIKSTATUS ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDASMF ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

Nama Mahasiswa Steaffie Eunike Cassandra Siagian Tanda Tangan NIM 112014169

Dr Pembimbing dr Benyamin Tambunan Sp PD

IDENTITAS PASIEN

Nama Tn T Jenis Kelamin Laki-laki

Tempat tanggal lahir Kendal 09101952 Suku Bangsa Jawa

Status Perkawinan Sudah menikah Agama Islam

Pekerjaan Wiraswasta Pendidikan SMA

Alamat Jl Baru Timur Umur 62 tahun

A ANAMNESIS

Diambil dari Autoanamnesis Tanggal 02 Oktober 2015 Jam 0650

Keluhan Utama Os mengeluh demam 1 minggu SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

Satu minggu SMRS pasien mengeluh demam yang dirasa timbul terutama pada malam

hari Pasien menyangkal demam yang disertai meriang Sakit kepala dikeluhkan oleh pasien

serta pasien juga mengeluh adanya mual muntah disangkal oleh pasien Pasien juga

mengeluhkan adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Keluhan demam dirasa

semakin memberat 1 hari SMRS yang membawa pasien ke RS

1

Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja pasien mengeluh adanya batuk yang disertai

dahak berwarna putih kental Pasien mengaku adanya sesak yang hilang timbul terutama saat

batuk timbul pasien mengakui adanya nyeri dada saat batuk

Pasien mengaku belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya Pasien juga

menyatakan sudah mengkonsumsi obat penurun panas tetapi belum ada perubahan Pasien juga

mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi diabetes

maupun penyakit jantung tidak ada riwayat alergi tertentu Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok

Riwayat Penyakit Dahulu

(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu ginjalSalkemih

(+) Cacar Air (-) Disentri (-) Burut (Hemia)

(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Rematik

(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir

(+) Campak (-) Skrofula (-) Diabetes

(+) Influenza (-) Sifilis (-) Alergi

(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor

(-) Khorea (-) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh

(-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Pendarahan Otak

(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis

(-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis

(-) Tuberkulosis (-) Batu Empedu lain-lain (-) Operasi

(-) Kecelakaan

Riwayat Keluarga

Hubungan Umur

(Tahun)

Jenis Kelamin Keadaan

Kesehatan

Penyebab

Meninggal

Kakek (ayah) 70 tahun L Meninggal Tidak diketahui

Nenek (ayah) 82 tahun P Meninggal Tidak diketahui

Kakek (ibu) 77 tahun L Meninggal Tidak diketahui

2

Nenek (ibu) 85 tahun P Meninggal Tidak diketahui

Ayah 82 tahun L Meninggal Tidak diketahui

Ibu 28 tahun P Meninggal Tidak diketahui

Saudara 67 tahun L SehatHidup -

Anak 35 tahun P SehatHidup -

Anak 32 tahun P SehatHidup -

Anak 29 tahun L SehatHidup -

Anak 25 tahun P SehatHidup -

Adakah Kerabat yang Menderita

Penyakit Ya Tidak Hubungan

Alergi - - -

Asma - - -

Tuberkulosis - - -

Artritis - - -

Rematisme - - -

Hipertensi - Kakek (ayah)

Jantung - - -

Ginjal - - -

Lambung - - -

ANAMNESIS SISTEM

Kulit

(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat Malam (-) Petechie

(-) Kuku (-) KuningIkterus (-) Sianosis

Kepala

(-) Trauma (+) Sakit Kepala

(-) Sinkop (-) Nyeri pada Sinus

Mata

(-) Nyeri (-) Radang (-) Conjungtiva Anemis

3

(-) Sekret (-) Gangguan Penglihatan

(-) KuningIkterus (-) Ketajaman Penglihatan menurun

Telinga

(-) Nyeri (-) Tinitus

(-) Sekret (-) Gangguan Pendengaran

(-) Kehilangan Pendengaran

Hidung

(-) Trauma (-) Gejala Penyumbatan

(-) Nyeri (-) Gangguan Penciuman

(-) Sekret (-) Pilek

(-) Epistaksis

Mulut

(-) Bibir kering (-) Lidah kotor

(-) Gangguan pengecapan (-) Gusi berdarah

(-) Selaput (-) Stomatitis

Tenggorokan

(-) Nyeri Tenggorokan (-) Perubahan Suara

Leher

(-) Benjolan (-) Nyeri Leher

Dada ( Jantung Paru ndash paru )

(+) Nyeri dada (+) Sesak Napas

(-) Berdebar (-) Batuk Darah

(-) Ortopnoe (+) Batuk

Abdomen ( Lambung Usus )

(+) Rasa Kembung (-) Perut Membesar

(+) Mual (-) Wasir

(-) Muntah (-) Mencret

(-) Muntah Darah (-) Tinja Darah Merah Hitam

(-) Sukar Menelan (-) Tinja Berwarna Dempul

(-) Nyeri Perut (-) Tinja Berwarna Ter

(-) Benjolan (+) Konstipasi

4

Saluran Kemih Alat Kelamin

(-) Disuria (-) Kencing Nanah

(-) Stranguri (-) Kolik

(-) Poliuria (-) Oliguria

(-) Polakisuria (-) Anuria

(-) Hematuria (-) Retensi Urin

(-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes

(-) Ngompol

Saraf dan Otot

(-) Anestesi (-) Sukar Mengingat

(-) Parestesi (-) Ataksia

(-) Otot Lemah (-) Hipo Hiper-esthesi

(-) Kejang (-) Pingsan

(-) Afasia (-) Kedutan

(-) Amnesia (-) Pusing

(-) lain ndash lain (-) Gangguan bicara

Ekstremitas

(-) Bengkak (-) Deformitas

(-) Nyeri (-) Sianosis

Berat Badan

Berat badan rata ndash rata (kg) tidak diketahui

Berat tertinggi kapan (kg) tidak diketahui

Berat badan sekarang 62

Tinggi badan 160 cm

IMT (621602)=2421

RIWAYAT HIDUP

Riwayat Kelahiran

Tempat Lahir (-) di rumah (+) Rumah Bersalin (-) RS Bersalin

5

Ditolong oleh (-) Dokter (+) Bidan (-) Dukun (-) lain - lain

Riwayat Imunisasi

Pasien mengaku tidak tahu mengenai riwayat imunisasinya

Riwayat Makanan

Frekuensi Hari 3x hari

Jumlah hari Cukup

Variasi hari Nasi sayur (bayam kacang panjang kangkung dll) tempe

Nafsu makan Baik

Pendidikan

( ) SD ( ) SLTP (+) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan

( ) Akademi ( ) Universitas ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah

Kesulitan

Keuangan Ada

Pekerjaan Tidak ada

Keluarga Tidak ada

Lain ndash lain -

B PEMERIKSAAN JASMANI

Pemeriksaan Umum

Tinggi Badan 160

Berat Badan 62

Kesadaran Compos Mentis (GCS 15)

Keadaan Umum Tampak sakit sedang

Tekanan Darah 11070 mmHg

Nadi 80 x menit

Suhu 3800C

Pernafasaan 24xmenit

6

Keadaan gizi Baik

Sianosis Tidak ada

Udema umum Tidak ada

Habitus Atletikus

Cara berjalan Normal

Mobilitas ( aktif pasif ) Aktif

Umur menurut taksiran pemeriksa Sesuai umur

Aspek Kejiwaan

Tingkah Laku Wajar

Alam Perasaan Biasa

Proses Pikir Wajar

Kulit

Warna Sawo matang

Effloresensi Tidak dilakukan

Jaringan Parut Tidak ada

Pigmentasi Normal

Pertumbuhan rambut Distribusi merata

LembabKering Normal

Suhu Raba Afebris

Pembuluh darah Tidak tampak pelebaran

Keringat Umum (+)

Turgor Baik

Ikterus Tidak ada

Lapisan Lemak Normal

Oedem Tidak ada

Kelenjar Getah Bening

Submandibula Tidak teraba membesar Leher Tidak teraba membesar

Supraklavikula Tidak teraba membesar Ketiak Tidak teraba membesar

Lipat paha Tidak teraba membesar

Kepala

Ekspresi wajah Tenang

7

Simetri muka Simetris

Rambut Beruban distribusi merata

Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi

Mata

Exophthalamus Tidak ada

Enopthalamus Tidak ada

Kelopak Oedem (-)

Lensa Jernih

Konjungtiva Anemis (-)

Visus Normal

Sklera Ikterik (-)

Gerakan Mata Aktif

Lapangan penglihatan Normal

Tekanan bola mata Normal

Nistagmus Tidak ada

Telinga

Tuli Tidak tuli

Selaput pendengaran Utuh intak (+)

Lubang Lapang

Penyumbatan Tidak ada

Serumen Tidak ada

Pendarahan Tidak ada

Cairan Tidak ada

Mulut

Bibir Lembab tidak tampak pucat

Tonsil T1 ndash T1 tenang

Langit-langit Tidak ada kelainan

Bau pernapasan Tidak ada

Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)

Trismus Tidak ada

Faring Tidak hiperemis

8

Selaput lendir Kemerahan

Lidah Tidak Kotor

Leher

Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan

Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar

Deviasi trachea Tidak ada

Dada

Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit

Pembuluh darah Spider nevi (-)

Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia

Paru ndash Paru

Depan

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)

Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)

9

Belakang

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan redup di ICS VI-VII

Kiri redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Jantung

Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri

Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri

Perkusi

Batas atas ICS III linea parasternal kanan

Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri

Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan

Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)

Pembuluh Darah

Arteri Temporalis pulsasi teraba

Arteri Karotis pulsasi teraba

Arteri Brakhialis pulsasi teraba

Arteri Radialis pulsasi teraba

10

Arteri Femoralis pulsasi teraba

Arteri Poplitea pulsasi teraba

Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba

Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba

Perut

Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)

Palpasi

Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)

Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)

Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)

Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)

Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)

Auskultasi Bising usus normal

Hepatojugular reflux Tidak

Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kiri

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Gerakan Aktif Aktif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka Tidak ada Tidak ada

Varises Tidak ada Tidak ada

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Tidak ada Tidak ada

11

Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang

Gerakan Aktif Pasif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Petechie Tidak ada Tidak ada

C PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tanggal 01-10-2015

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hb 141 gdL

Leukosit 1129 103μL

Ht 408

Trombosit 247 103 microL

KIMIA KLINIK

Elektrolit

Natrium 137 mEqL

Kalium 402 mEqL

12

Refleks Kanan Kiri

Refleks Tendon Positif Positif

Bisep Positif Positif

Trisep Positif Positif

Patela Positif Positif

Achiles Positif Positif

Refleks Patologis Negatif Negatif

Klorida 92 mEqL

Glukosa Sewaktu 106 mgdL

IMUNOSEROLOGI

Widal

S typhi-O (+) 1320

S paratyphi AO (-)

S paratyphi BO (-)

S paratyphi CO (-)

X-foto Thorax

D RINGKASAN (RESUME)

Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama

pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan

adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja

13

pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku

adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk

Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil

pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan

kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian

belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium

Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O

(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

E MASALAH

1 Pneumonia

2 Demam Tifoid

F PENGKAJIAN MASALAH

1 Pneumonia

Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang

timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien

berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati

suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru

bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-

gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan

leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

Rencana diagnostik

Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum

Rencana pengobatan

Terapi suportif Terapi definitif

o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg

o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg

O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi

14

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok

2 Demam Tifoid

Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam

hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan

epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S

typhi-O (+) 1160

Rencana Diagnostik

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1 Pneumonia

a Bronkitis Akut

Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-

2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan

15

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 2: IPD-Laporan Kasus 1

Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja pasien mengeluh adanya batuk yang disertai

dahak berwarna putih kental Pasien mengaku adanya sesak yang hilang timbul terutama saat

batuk timbul pasien mengakui adanya nyeri dada saat batuk

Pasien mengaku belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya Pasien juga

menyatakan sudah mengkonsumsi obat penurun panas tetapi belum ada perubahan Pasien juga

mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi diabetes

maupun penyakit jantung tidak ada riwayat alergi tertentu Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok

Riwayat Penyakit Dahulu

(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu ginjalSalkemih

(+) Cacar Air (-) Disentri (-) Burut (Hemia)

(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Rematik

(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis (-) Wasir

(+) Campak (-) Skrofula (-) Diabetes

(+) Influenza (-) Sifilis (-) Alergi

(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor

(-) Khorea (-) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh

(-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Pendarahan Otak

(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis

(-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis

(-) Tuberkulosis (-) Batu Empedu lain-lain (-) Operasi

(-) Kecelakaan

Riwayat Keluarga

Hubungan Umur

(Tahun)

Jenis Kelamin Keadaan

Kesehatan

Penyebab

Meninggal

Kakek (ayah) 70 tahun L Meninggal Tidak diketahui

Nenek (ayah) 82 tahun P Meninggal Tidak diketahui

Kakek (ibu) 77 tahun L Meninggal Tidak diketahui

2

Nenek (ibu) 85 tahun P Meninggal Tidak diketahui

Ayah 82 tahun L Meninggal Tidak diketahui

Ibu 28 tahun P Meninggal Tidak diketahui

Saudara 67 tahun L SehatHidup -

Anak 35 tahun P SehatHidup -

Anak 32 tahun P SehatHidup -

Anak 29 tahun L SehatHidup -

Anak 25 tahun P SehatHidup -

Adakah Kerabat yang Menderita

Penyakit Ya Tidak Hubungan

Alergi - - -

Asma - - -

Tuberkulosis - - -

Artritis - - -

Rematisme - - -

Hipertensi - Kakek (ayah)

Jantung - - -

Ginjal - - -

Lambung - - -

ANAMNESIS SISTEM

Kulit

(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat Malam (-) Petechie

(-) Kuku (-) KuningIkterus (-) Sianosis

Kepala

(-) Trauma (+) Sakit Kepala

(-) Sinkop (-) Nyeri pada Sinus

Mata

(-) Nyeri (-) Radang (-) Conjungtiva Anemis

3

(-) Sekret (-) Gangguan Penglihatan

(-) KuningIkterus (-) Ketajaman Penglihatan menurun

Telinga

(-) Nyeri (-) Tinitus

(-) Sekret (-) Gangguan Pendengaran

(-) Kehilangan Pendengaran

Hidung

(-) Trauma (-) Gejala Penyumbatan

(-) Nyeri (-) Gangguan Penciuman

(-) Sekret (-) Pilek

(-) Epistaksis

Mulut

(-) Bibir kering (-) Lidah kotor

(-) Gangguan pengecapan (-) Gusi berdarah

(-) Selaput (-) Stomatitis

Tenggorokan

(-) Nyeri Tenggorokan (-) Perubahan Suara

Leher

(-) Benjolan (-) Nyeri Leher

Dada ( Jantung Paru ndash paru )

(+) Nyeri dada (+) Sesak Napas

(-) Berdebar (-) Batuk Darah

(-) Ortopnoe (+) Batuk

Abdomen ( Lambung Usus )

(+) Rasa Kembung (-) Perut Membesar

(+) Mual (-) Wasir

(-) Muntah (-) Mencret

(-) Muntah Darah (-) Tinja Darah Merah Hitam

(-) Sukar Menelan (-) Tinja Berwarna Dempul

(-) Nyeri Perut (-) Tinja Berwarna Ter

(-) Benjolan (+) Konstipasi

4

Saluran Kemih Alat Kelamin

(-) Disuria (-) Kencing Nanah

(-) Stranguri (-) Kolik

(-) Poliuria (-) Oliguria

(-) Polakisuria (-) Anuria

(-) Hematuria (-) Retensi Urin

(-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes

(-) Ngompol

Saraf dan Otot

(-) Anestesi (-) Sukar Mengingat

(-) Parestesi (-) Ataksia

(-) Otot Lemah (-) Hipo Hiper-esthesi

(-) Kejang (-) Pingsan

(-) Afasia (-) Kedutan

(-) Amnesia (-) Pusing

(-) lain ndash lain (-) Gangguan bicara

Ekstremitas

(-) Bengkak (-) Deformitas

(-) Nyeri (-) Sianosis

Berat Badan

Berat badan rata ndash rata (kg) tidak diketahui

Berat tertinggi kapan (kg) tidak diketahui

Berat badan sekarang 62

Tinggi badan 160 cm

IMT (621602)=2421

RIWAYAT HIDUP

Riwayat Kelahiran

Tempat Lahir (-) di rumah (+) Rumah Bersalin (-) RS Bersalin

5

Ditolong oleh (-) Dokter (+) Bidan (-) Dukun (-) lain - lain

Riwayat Imunisasi

Pasien mengaku tidak tahu mengenai riwayat imunisasinya

Riwayat Makanan

Frekuensi Hari 3x hari

Jumlah hari Cukup

Variasi hari Nasi sayur (bayam kacang panjang kangkung dll) tempe

Nafsu makan Baik

Pendidikan

( ) SD ( ) SLTP (+) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan

( ) Akademi ( ) Universitas ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah

Kesulitan

Keuangan Ada

Pekerjaan Tidak ada

Keluarga Tidak ada

Lain ndash lain -

B PEMERIKSAAN JASMANI

Pemeriksaan Umum

Tinggi Badan 160

Berat Badan 62

Kesadaran Compos Mentis (GCS 15)

Keadaan Umum Tampak sakit sedang

Tekanan Darah 11070 mmHg

Nadi 80 x menit

Suhu 3800C

Pernafasaan 24xmenit

6

Keadaan gizi Baik

Sianosis Tidak ada

Udema umum Tidak ada

Habitus Atletikus

Cara berjalan Normal

Mobilitas ( aktif pasif ) Aktif

Umur menurut taksiran pemeriksa Sesuai umur

Aspek Kejiwaan

Tingkah Laku Wajar

Alam Perasaan Biasa

Proses Pikir Wajar

Kulit

Warna Sawo matang

Effloresensi Tidak dilakukan

Jaringan Parut Tidak ada

Pigmentasi Normal

Pertumbuhan rambut Distribusi merata

LembabKering Normal

Suhu Raba Afebris

Pembuluh darah Tidak tampak pelebaran

Keringat Umum (+)

Turgor Baik

Ikterus Tidak ada

Lapisan Lemak Normal

Oedem Tidak ada

Kelenjar Getah Bening

Submandibula Tidak teraba membesar Leher Tidak teraba membesar

Supraklavikula Tidak teraba membesar Ketiak Tidak teraba membesar

Lipat paha Tidak teraba membesar

Kepala

Ekspresi wajah Tenang

7

Simetri muka Simetris

Rambut Beruban distribusi merata

Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi

Mata

Exophthalamus Tidak ada

Enopthalamus Tidak ada

Kelopak Oedem (-)

Lensa Jernih

Konjungtiva Anemis (-)

Visus Normal

Sklera Ikterik (-)

Gerakan Mata Aktif

Lapangan penglihatan Normal

Tekanan bola mata Normal

Nistagmus Tidak ada

Telinga

Tuli Tidak tuli

Selaput pendengaran Utuh intak (+)

Lubang Lapang

Penyumbatan Tidak ada

Serumen Tidak ada

Pendarahan Tidak ada

Cairan Tidak ada

Mulut

Bibir Lembab tidak tampak pucat

Tonsil T1 ndash T1 tenang

Langit-langit Tidak ada kelainan

Bau pernapasan Tidak ada

Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)

Trismus Tidak ada

Faring Tidak hiperemis

8

Selaput lendir Kemerahan

Lidah Tidak Kotor

Leher

Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan

Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar

Deviasi trachea Tidak ada

Dada

Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit

Pembuluh darah Spider nevi (-)

Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia

Paru ndash Paru

Depan

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)

Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)

9

Belakang

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan redup di ICS VI-VII

Kiri redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Jantung

Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri

Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri

Perkusi

Batas atas ICS III linea parasternal kanan

Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri

Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan

Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)

Pembuluh Darah

Arteri Temporalis pulsasi teraba

Arteri Karotis pulsasi teraba

Arteri Brakhialis pulsasi teraba

Arteri Radialis pulsasi teraba

10

Arteri Femoralis pulsasi teraba

Arteri Poplitea pulsasi teraba

Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba

Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba

Perut

Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)

Palpasi

Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)

Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)

Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)

Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)

Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)

Auskultasi Bising usus normal

Hepatojugular reflux Tidak

Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kiri

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Gerakan Aktif Aktif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka Tidak ada Tidak ada

Varises Tidak ada Tidak ada

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Tidak ada Tidak ada

11

Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang

Gerakan Aktif Pasif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Petechie Tidak ada Tidak ada

C PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tanggal 01-10-2015

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hb 141 gdL

Leukosit 1129 103μL

Ht 408

Trombosit 247 103 microL

KIMIA KLINIK

Elektrolit

Natrium 137 mEqL

Kalium 402 mEqL

12

Refleks Kanan Kiri

Refleks Tendon Positif Positif

Bisep Positif Positif

Trisep Positif Positif

Patela Positif Positif

Achiles Positif Positif

Refleks Patologis Negatif Negatif

Klorida 92 mEqL

Glukosa Sewaktu 106 mgdL

IMUNOSEROLOGI

Widal

S typhi-O (+) 1320

S paratyphi AO (-)

S paratyphi BO (-)

S paratyphi CO (-)

X-foto Thorax

D RINGKASAN (RESUME)

Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama

pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan

adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja

13

pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku

adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk

Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil

pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan

kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian

belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium

Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O

(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

E MASALAH

1 Pneumonia

2 Demam Tifoid

F PENGKAJIAN MASALAH

1 Pneumonia

Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang

timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien

berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati

suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru

bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-

gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan

leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

Rencana diagnostik

Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum

Rencana pengobatan

Terapi suportif Terapi definitif

o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg

o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg

O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi

14

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok

2 Demam Tifoid

Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam

hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan

epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S

typhi-O (+) 1160

Rencana Diagnostik

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1 Pneumonia

a Bronkitis Akut

Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-

2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan

15

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 3: IPD-Laporan Kasus 1

Nenek (ibu) 85 tahun P Meninggal Tidak diketahui

Ayah 82 tahun L Meninggal Tidak diketahui

Ibu 28 tahun P Meninggal Tidak diketahui

Saudara 67 tahun L SehatHidup -

Anak 35 tahun P SehatHidup -

Anak 32 tahun P SehatHidup -

Anak 29 tahun L SehatHidup -

Anak 25 tahun P SehatHidup -

Adakah Kerabat yang Menderita

Penyakit Ya Tidak Hubungan

Alergi - - -

Asma - - -

Tuberkulosis - - -

Artritis - - -

Rematisme - - -

Hipertensi - Kakek (ayah)

Jantung - - -

Ginjal - - -

Lambung - - -

ANAMNESIS SISTEM

Kulit

(-) Bisul (-) Rambut (-) Keringat Malam (-) Petechie

(-) Kuku (-) KuningIkterus (-) Sianosis

Kepala

(-) Trauma (+) Sakit Kepala

(-) Sinkop (-) Nyeri pada Sinus

Mata

(-) Nyeri (-) Radang (-) Conjungtiva Anemis

3

(-) Sekret (-) Gangguan Penglihatan

(-) KuningIkterus (-) Ketajaman Penglihatan menurun

Telinga

(-) Nyeri (-) Tinitus

(-) Sekret (-) Gangguan Pendengaran

(-) Kehilangan Pendengaran

Hidung

(-) Trauma (-) Gejala Penyumbatan

(-) Nyeri (-) Gangguan Penciuman

(-) Sekret (-) Pilek

(-) Epistaksis

Mulut

(-) Bibir kering (-) Lidah kotor

(-) Gangguan pengecapan (-) Gusi berdarah

(-) Selaput (-) Stomatitis

Tenggorokan

(-) Nyeri Tenggorokan (-) Perubahan Suara

Leher

(-) Benjolan (-) Nyeri Leher

Dada ( Jantung Paru ndash paru )

(+) Nyeri dada (+) Sesak Napas

(-) Berdebar (-) Batuk Darah

(-) Ortopnoe (+) Batuk

Abdomen ( Lambung Usus )

(+) Rasa Kembung (-) Perut Membesar

(+) Mual (-) Wasir

(-) Muntah (-) Mencret

(-) Muntah Darah (-) Tinja Darah Merah Hitam

(-) Sukar Menelan (-) Tinja Berwarna Dempul

(-) Nyeri Perut (-) Tinja Berwarna Ter

(-) Benjolan (+) Konstipasi

4

Saluran Kemih Alat Kelamin

(-) Disuria (-) Kencing Nanah

(-) Stranguri (-) Kolik

(-) Poliuria (-) Oliguria

(-) Polakisuria (-) Anuria

(-) Hematuria (-) Retensi Urin

(-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes

(-) Ngompol

Saraf dan Otot

(-) Anestesi (-) Sukar Mengingat

(-) Parestesi (-) Ataksia

(-) Otot Lemah (-) Hipo Hiper-esthesi

(-) Kejang (-) Pingsan

(-) Afasia (-) Kedutan

(-) Amnesia (-) Pusing

(-) lain ndash lain (-) Gangguan bicara

Ekstremitas

(-) Bengkak (-) Deformitas

(-) Nyeri (-) Sianosis

Berat Badan

Berat badan rata ndash rata (kg) tidak diketahui

Berat tertinggi kapan (kg) tidak diketahui

Berat badan sekarang 62

Tinggi badan 160 cm

IMT (621602)=2421

RIWAYAT HIDUP

Riwayat Kelahiran

Tempat Lahir (-) di rumah (+) Rumah Bersalin (-) RS Bersalin

5

Ditolong oleh (-) Dokter (+) Bidan (-) Dukun (-) lain - lain

Riwayat Imunisasi

Pasien mengaku tidak tahu mengenai riwayat imunisasinya

Riwayat Makanan

Frekuensi Hari 3x hari

Jumlah hari Cukup

Variasi hari Nasi sayur (bayam kacang panjang kangkung dll) tempe

Nafsu makan Baik

Pendidikan

( ) SD ( ) SLTP (+) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan

( ) Akademi ( ) Universitas ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah

Kesulitan

Keuangan Ada

Pekerjaan Tidak ada

Keluarga Tidak ada

Lain ndash lain -

B PEMERIKSAAN JASMANI

Pemeriksaan Umum

Tinggi Badan 160

Berat Badan 62

Kesadaran Compos Mentis (GCS 15)

Keadaan Umum Tampak sakit sedang

Tekanan Darah 11070 mmHg

Nadi 80 x menit

Suhu 3800C

Pernafasaan 24xmenit

6

Keadaan gizi Baik

Sianosis Tidak ada

Udema umum Tidak ada

Habitus Atletikus

Cara berjalan Normal

Mobilitas ( aktif pasif ) Aktif

Umur menurut taksiran pemeriksa Sesuai umur

Aspek Kejiwaan

Tingkah Laku Wajar

Alam Perasaan Biasa

Proses Pikir Wajar

Kulit

Warna Sawo matang

Effloresensi Tidak dilakukan

Jaringan Parut Tidak ada

Pigmentasi Normal

Pertumbuhan rambut Distribusi merata

LembabKering Normal

Suhu Raba Afebris

Pembuluh darah Tidak tampak pelebaran

Keringat Umum (+)

Turgor Baik

Ikterus Tidak ada

Lapisan Lemak Normal

Oedem Tidak ada

Kelenjar Getah Bening

Submandibula Tidak teraba membesar Leher Tidak teraba membesar

Supraklavikula Tidak teraba membesar Ketiak Tidak teraba membesar

Lipat paha Tidak teraba membesar

Kepala

Ekspresi wajah Tenang

7

Simetri muka Simetris

Rambut Beruban distribusi merata

Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi

Mata

Exophthalamus Tidak ada

Enopthalamus Tidak ada

Kelopak Oedem (-)

Lensa Jernih

Konjungtiva Anemis (-)

Visus Normal

Sklera Ikterik (-)

Gerakan Mata Aktif

Lapangan penglihatan Normal

Tekanan bola mata Normal

Nistagmus Tidak ada

Telinga

Tuli Tidak tuli

Selaput pendengaran Utuh intak (+)

Lubang Lapang

Penyumbatan Tidak ada

Serumen Tidak ada

Pendarahan Tidak ada

Cairan Tidak ada

Mulut

Bibir Lembab tidak tampak pucat

Tonsil T1 ndash T1 tenang

Langit-langit Tidak ada kelainan

Bau pernapasan Tidak ada

Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)

Trismus Tidak ada

Faring Tidak hiperemis

8

Selaput lendir Kemerahan

Lidah Tidak Kotor

Leher

Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan

Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar

Deviasi trachea Tidak ada

Dada

Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit

Pembuluh darah Spider nevi (-)

Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia

Paru ndash Paru

Depan

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)

Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)

9

Belakang

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan redup di ICS VI-VII

Kiri redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Jantung

Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri

Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri

Perkusi

Batas atas ICS III linea parasternal kanan

Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri

Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan

Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)

Pembuluh Darah

Arteri Temporalis pulsasi teraba

Arteri Karotis pulsasi teraba

Arteri Brakhialis pulsasi teraba

Arteri Radialis pulsasi teraba

10

Arteri Femoralis pulsasi teraba

Arteri Poplitea pulsasi teraba

Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba

Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba

Perut

Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)

Palpasi

Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)

Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)

Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)

Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)

Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)

Auskultasi Bising usus normal

Hepatojugular reflux Tidak

Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kiri

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Gerakan Aktif Aktif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka Tidak ada Tidak ada

Varises Tidak ada Tidak ada

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Tidak ada Tidak ada

11

Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang

Gerakan Aktif Pasif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Petechie Tidak ada Tidak ada

C PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tanggal 01-10-2015

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hb 141 gdL

Leukosit 1129 103μL

Ht 408

Trombosit 247 103 microL

KIMIA KLINIK

Elektrolit

Natrium 137 mEqL

Kalium 402 mEqL

12

Refleks Kanan Kiri

Refleks Tendon Positif Positif

Bisep Positif Positif

Trisep Positif Positif

Patela Positif Positif

Achiles Positif Positif

Refleks Patologis Negatif Negatif

Klorida 92 mEqL

Glukosa Sewaktu 106 mgdL

IMUNOSEROLOGI

Widal

S typhi-O (+) 1320

S paratyphi AO (-)

S paratyphi BO (-)

S paratyphi CO (-)

X-foto Thorax

D RINGKASAN (RESUME)

Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama

pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan

adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja

13

pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku

adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk

Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil

pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan

kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian

belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium

Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O

(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

E MASALAH

1 Pneumonia

2 Demam Tifoid

F PENGKAJIAN MASALAH

1 Pneumonia

Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang

timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien

berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati

suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru

bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-

gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan

leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

Rencana diagnostik

Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum

Rencana pengobatan

Terapi suportif Terapi definitif

o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg

o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg

O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi

14

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok

2 Demam Tifoid

Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam

hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan

epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S

typhi-O (+) 1160

Rencana Diagnostik

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1 Pneumonia

a Bronkitis Akut

Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-

2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan

15

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 4: IPD-Laporan Kasus 1

(-) Sekret (-) Gangguan Penglihatan

(-) KuningIkterus (-) Ketajaman Penglihatan menurun

Telinga

(-) Nyeri (-) Tinitus

(-) Sekret (-) Gangguan Pendengaran

(-) Kehilangan Pendengaran

Hidung

(-) Trauma (-) Gejala Penyumbatan

(-) Nyeri (-) Gangguan Penciuman

(-) Sekret (-) Pilek

(-) Epistaksis

Mulut

(-) Bibir kering (-) Lidah kotor

(-) Gangguan pengecapan (-) Gusi berdarah

(-) Selaput (-) Stomatitis

Tenggorokan

(-) Nyeri Tenggorokan (-) Perubahan Suara

Leher

(-) Benjolan (-) Nyeri Leher

Dada ( Jantung Paru ndash paru )

(+) Nyeri dada (+) Sesak Napas

(-) Berdebar (-) Batuk Darah

(-) Ortopnoe (+) Batuk

Abdomen ( Lambung Usus )

(+) Rasa Kembung (-) Perut Membesar

(+) Mual (-) Wasir

(-) Muntah (-) Mencret

(-) Muntah Darah (-) Tinja Darah Merah Hitam

(-) Sukar Menelan (-) Tinja Berwarna Dempul

(-) Nyeri Perut (-) Tinja Berwarna Ter

(-) Benjolan (+) Konstipasi

4

Saluran Kemih Alat Kelamin

(-) Disuria (-) Kencing Nanah

(-) Stranguri (-) Kolik

(-) Poliuria (-) Oliguria

(-) Polakisuria (-) Anuria

(-) Hematuria (-) Retensi Urin

(-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes

(-) Ngompol

Saraf dan Otot

(-) Anestesi (-) Sukar Mengingat

(-) Parestesi (-) Ataksia

(-) Otot Lemah (-) Hipo Hiper-esthesi

(-) Kejang (-) Pingsan

(-) Afasia (-) Kedutan

(-) Amnesia (-) Pusing

(-) lain ndash lain (-) Gangguan bicara

Ekstremitas

(-) Bengkak (-) Deformitas

(-) Nyeri (-) Sianosis

Berat Badan

Berat badan rata ndash rata (kg) tidak diketahui

Berat tertinggi kapan (kg) tidak diketahui

Berat badan sekarang 62

Tinggi badan 160 cm

IMT (621602)=2421

RIWAYAT HIDUP

Riwayat Kelahiran

Tempat Lahir (-) di rumah (+) Rumah Bersalin (-) RS Bersalin

5

Ditolong oleh (-) Dokter (+) Bidan (-) Dukun (-) lain - lain

Riwayat Imunisasi

Pasien mengaku tidak tahu mengenai riwayat imunisasinya

Riwayat Makanan

Frekuensi Hari 3x hari

Jumlah hari Cukup

Variasi hari Nasi sayur (bayam kacang panjang kangkung dll) tempe

Nafsu makan Baik

Pendidikan

( ) SD ( ) SLTP (+) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan

( ) Akademi ( ) Universitas ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah

Kesulitan

Keuangan Ada

Pekerjaan Tidak ada

Keluarga Tidak ada

Lain ndash lain -

B PEMERIKSAAN JASMANI

Pemeriksaan Umum

Tinggi Badan 160

Berat Badan 62

Kesadaran Compos Mentis (GCS 15)

Keadaan Umum Tampak sakit sedang

Tekanan Darah 11070 mmHg

Nadi 80 x menit

Suhu 3800C

Pernafasaan 24xmenit

6

Keadaan gizi Baik

Sianosis Tidak ada

Udema umum Tidak ada

Habitus Atletikus

Cara berjalan Normal

Mobilitas ( aktif pasif ) Aktif

Umur menurut taksiran pemeriksa Sesuai umur

Aspek Kejiwaan

Tingkah Laku Wajar

Alam Perasaan Biasa

Proses Pikir Wajar

Kulit

Warna Sawo matang

Effloresensi Tidak dilakukan

Jaringan Parut Tidak ada

Pigmentasi Normal

Pertumbuhan rambut Distribusi merata

LembabKering Normal

Suhu Raba Afebris

Pembuluh darah Tidak tampak pelebaran

Keringat Umum (+)

Turgor Baik

Ikterus Tidak ada

Lapisan Lemak Normal

Oedem Tidak ada

Kelenjar Getah Bening

Submandibula Tidak teraba membesar Leher Tidak teraba membesar

Supraklavikula Tidak teraba membesar Ketiak Tidak teraba membesar

Lipat paha Tidak teraba membesar

Kepala

Ekspresi wajah Tenang

7

Simetri muka Simetris

Rambut Beruban distribusi merata

Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi

Mata

Exophthalamus Tidak ada

Enopthalamus Tidak ada

Kelopak Oedem (-)

Lensa Jernih

Konjungtiva Anemis (-)

Visus Normal

Sklera Ikterik (-)

Gerakan Mata Aktif

Lapangan penglihatan Normal

Tekanan bola mata Normal

Nistagmus Tidak ada

Telinga

Tuli Tidak tuli

Selaput pendengaran Utuh intak (+)

Lubang Lapang

Penyumbatan Tidak ada

Serumen Tidak ada

Pendarahan Tidak ada

Cairan Tidak ada

Mulut

Bibir Lembab tidak tampak pucat

Tonsil T1 ndash T1 tenang

Langit-langit Tidak ada kelainan

Bau pernapasan Tidak ada

Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)

Trismus Tidak ada

Faring Tidak hiperemis

8

Selaput lendir Kemerahan

Lidah Tidak Kotor

Leher

Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan

Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar

Deviasi trachea Tidak ada

Dada

Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit

Pembuluh darah Spider nevi (-)

Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia

Paru ndash Paru

Depan

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)

Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)

9

Belakang

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan redup di ICS VI-VII

Kiri redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Jantung

Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri

Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri

Perkusi

Batas atas ICS III linea parasternal kanan

Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri

Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan

Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)

Pembuluh Darah

Arteri Temporalis pulsasi teraba

Arteri Karotis pulsasi teraba

Arteri Brakhialis pulsasi teraba

Arteri Radialis pulsasi teraba

10

Arteri Femoralis pulsasi teraba

Arteri Poplitea pulsasi teraba

Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba

Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba

Perut

Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)

Palpasi

Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)

Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)

Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)

Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)

Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)

Auskultasi Bising usus normal

Hepatojugular reflux Tidak

Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kiri

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Gerakan Aktif Aktif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka Tidak ada Tidak ada

Varises Tidak ada Tidak ada

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Tidak ada Tidak ada

11

Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang

Gerakan Aktif Pasif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Petechie Tidak ada Tidak ada

C PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tanggal 01-10-2015

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hb 141 gdL

Leukosit 1129 103μL

Ht 408

Trombosit 247 103 microL

KIMIA KLINIK

Elektrolit

Natrium 137 mEqL

Kalium 402 mEqL

12

Refleks Kanan Kiri

Refleks Tendon Positif Positif

Bisep Positif Positif

Trisep Positif Positif

Patela Positif Positif

Achiles Positif Positif

Refleks Patologis Negatif Negatif

Klorida 92 mEqL

Glukosa Sewaktu 106 mgdL

IMUNOSEROLOGI

Widal

S typhi-O (+) 1320

S paratyphi AO (-)

S paratyphi BO (-)

S paratyphi CO (-)

X-foto Thorax

D RINGKASAN (RESUME)

Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama

pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan

adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja

13

pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku

adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk

Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil

pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan

kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian

belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium

Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O

(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

E MASALAH

1 Pneumonia

2 Demam Tifoid

F PENGKAJIAN MASALAH

1 Pneumonia

Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang

timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien

berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati

suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru

bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-

gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan

leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

Rencana diagnostik

Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum

Rencana pengobatan

Terapi suportif Terapi definitif

o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg

o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg

O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi

14

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok

2 Demam Tifoid

Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam

hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan

epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S

typhi-O (+) 1160

Rencana Diagnostik

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1 Pneumonia

a Bronkitis Akut

Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-

2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan

15

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 5: IPD-Laporan Kasus 1

Saluran Kemih Alat Kelamin

(-) Disuria (-) Kencing Nanah

(-) Stranguri (-) Kolik

(-) Poliuria (-) Oliguria

(-) Polakisuria (-) Anuria

(-) Hematuria (-) Retensi Urin

(-) Kencing Batu (-) Kencing Menetes

(-) Ngompol

Saraf dan Otot

(-) Anestesi (-) Sukar Mengingat

(-) Parestesi (-) Ataksia

(-) Otot Lemah (-) Hipo Hiper-esthesi

(-) Kejang (-) Pingsan

(-) Afasia (-) Kedutan

(-) Amnesia (-) Pusing

(-) lain ndash lain (-) Gangguan bicara

Ekstremitas

(-) Bengkak (-) Deformitas

(-) Nyeri (-) Sianosis

Berat Badan

Berat badan rata ndash rata (kg) tidak diketahui

Berat tertinggi kapan (kg) tidak diketahui

Berat badan sekarang 62

Tinggi badan 160 cm

IMT (621602)=2421

RIWAYAT HIDUP

Riwayat Kelahiran

Tempat Lahir (-) di rumah (+) Rumah Bersalin (-) RS Bersalin

5

Ditolong oleh (-) Dokter (+) Bidan (-) Dukun (-) lain - lain

Riwayat Imunisasi

Pasien mengaku tidak tahu mengenai riwayat imunisasinya

Riwayat Makanan

Frekuensi Hari 3x hari

Jumlah hari Cukup

Variasi hari Nasi sayur (bayam kacang panjang kangkung dll) tempe

Nafsu makan Baik

Pendidikan

( ) SD ( ) SLTP (+) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan

( ) Akademi ( ) Universitas ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah

Kesulitan

Keuangan Ada

Pekerjaan Tidak ada

Keluarga Tidak ada

Lain ndash lain -

B PEMERIKSAAN JASMANI

Pemeriksaan Umum

Tinggi Badan 160

Berat Badan 62

Kesadaran Compos Mentis (GCS 15)

Keadaan Umum Tampak sakit sedang

Tekanan Darah 11070 mmHg

Nadi 80 x menit

Suhu 3800C

Pernafasaan 24xmenit

6

Keadaan gizi Baik

Sianosis Tidak ada

Udema umum Tidak ada

Habitus Atletikus

Cara berjalan Normal

Mobilitas ( aktif pasif ) Aktif

Umur menurut taksiran pemeriksa Sesuai umur

Aspek Kejiwaan

Tingkah Laku Wajar

Alam Perasaan Biasa

Proses Pikir Wajar

Kulit

Warna Sawo matang

Effloresensi Tidak dilakukan

Jaringan Parut Tidak ada

Pigmentasi Normal

Pertumbuhan rambut Distribusi merata

LembabKering Normal

Suhu Raba Afebris

Pembuluh darah Tidak tampak pelebaran

Keringat Umum (+)

Turgor Baik

Ikterus Tidak ada

Lapisan Lemak Normal

Oedem Tidak ada

Kelenjar Getah Bening

Submandibula Tidak teraba membesar Leher Tidak teraba membesar

Supraklavikula Tidak teraba membesar Ketiak Tidak teraba membesar

Lipat paha Tidak teraba membesar

Kepala

Ekspresi wajah Tenang

7

Simetri muka Simetris

Rambut Beruban distribusi merata

Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi

Mata

Exophthalamus Tidak ada

Enopthalamus Tidak ada

Kelopak Oedem (-)

Lensa Jernih

Konjungtiva Anemis (-)

Visus Normal

Sklera Ikterik (-)

Gerakan Mata Aktif

Lapangan penglihatan Normal

Tekanan bola mata Normal

Nistagmus Tidak ada

Telinga

Tuli Tidak tuli

Selaput pendengaran Utuh intak (+)

Lubang Lapang

Penyumbatan Tidak ada

Serumen Tidak ada

Pendarahan Tidak ada

Cairan Tidak ada

Mulut

Bibir Lembab tidak tampak pucat

Tonsil T1 ndash T1 tenang

Langit-langit Tidak ada kelainan

Bau pernapasan Tidak ada

Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)

Trismus Tidak ada

Faring Tidak hiperemis

8

Selaput lendir Kemerahan

Lidah Tidak Kotor

Leher

Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan

Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar

Deviasi trachea Tidak ada

Dada

Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit

Pembuluh darah Spider nevi (-)

Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia

Paru ndash Paru

Depan

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)

Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)

9

Belakang

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan redup di ICS VI-VII

Kiri redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Jantung

Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri

Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri

Perkusi

Batas atas ICS III linea parasternal kanan

Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri

Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan

Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)

Pembuluh Darah

Arteri Temporalis pulsasi teraba

Arteri Karotis pulsasi teraba

Arteri Brakhialis pulsasi teraba

Arteri Radialis pulsasi teraba

10

Arteri Femoralis pulsasi teraba

Arteri Poplitea pulsasi teraba

Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba

Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba

Perut

Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)

Palpasi

Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)

Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)

Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)

Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)

Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)

Auskultasi Bising usus normal

Hepatojugular reflux Tidak

Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kiri

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Gerakan Aktif Aktif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka Tidak ada Tidak ada

Varises Tidak ada Tidak ada

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Tidak ada Tidak ada

11

Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang

Gerakan Aktif Pasif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Petechie Tidak ada Tidak ada

C PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tanggal 01-10-2015

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hb 141 gdL

Leukosit 1129 103μL

Ht 408

Trombosit 247 103 microL

KIMIA KLINIK

Elektrolit

Natrium 137 mEqL

Kalium 402 mEqL

12

Refleks Kanan Kiri

Refleks Tendon Positif Positif

Bisep Positif Positif

Trisep Positif Positif

Patela Positif Positif

Achiles Positif Positif

Refleks Patologis Negatif Negatif

Klorida 92 mEqL

Glukosa Sewaktu 106 mgdL

IMUNOSEROLOGI

Widal

S typhi-O (+) 1320

S paratyphi AO (-)

S paratyphi BO (-)

S paratyphi CO (-)

X-foto Thorax

D RINGKASAN (RESUME)

Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama

pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan

adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja

13

pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku

adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk

Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil

pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan

kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian

belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium

Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O

(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

E MASALAH

1 Pneumonia

2 Demam Tifoid

F PENGKAJIAN MASALAH

1 Pneumonia

Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang

timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien

berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati

suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru

bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-

gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan

leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

Rencana diagnostik

Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum

Rencana pengobatan

Terapi suportif Terapi definitif

o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg

o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg

O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi

14

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok

2 Demam Tifoid

Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam

hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan

epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S

typhi-O (+) 1160

Rencana Diagnostik

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1 Pneumonia

a Bronkitis Akut

Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-

2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan

15

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 6: IPD-Laporan Kasus 1

Ditolong oleh (-) Dokter (+) Bidan (-) Dukun (-) lain - lain

Riwayat Imunisasi

Pasien mengaku tidak tahu mengenai riwayat imunisasinya

Riwayat Makanan

Frekuensi Hari 3x hari

Jumlah hari Cukup

Variasi hari Nasi sayur (bayam kacang panjang kangkung dll) tempe

Nafsu makan Baik

Pendidikan

( ) SD ( ) SLTP (+) SLTA ( ) Sekolah Kejuruan

( ) Akademi ( ) Universitas ( ) Kursus ( ) Tidak sekolah

Kesulitan

Keuangan Ada

Pekerjaan Tidak ada

Keluarga Tidak ada

Lain ndash lain -

B PEMERIKSAAN JASMANI

Pemeriksaan Umum

Tinggi Badan 160

Berat Badan 62

Kesadaran Compos Mentis (GCS 15)

Keadaan Umum Tampak sakit sedang

Tekanan Darah 11070 mmHg

Nadi 80 x menit

Suhu 3800C

Pernafasaan 24xmenit

6

Keadaan gizi Baik

Sianosis Tidak ada

Udema umum Tidak ada

Habitus Atletikus

Cara berjalan Normal

Mobilitas ( aktif pasif ) Aktif

Umur menurut taksiran pemeriksa Sesuai umur

Aspek Kejiwaan

Tingkah Laku Wajar

Alam Perasaan Biasa

Proses Pikir Wajar

Kulit

Warna Sawo matang

Effloresensi Tidak dilakukan

Jaringan Parut Tidak ada

Pigmentasi Normal

Pertumbuhan rambut Distribusi merata

LembabKering Normal

Suhu Raba Afebris

Pembuluh darah Tidak tampak pelebaran

Keringat Umum (+)

Turgor Baik

Ikterus Tidak ada

Lapisan Lemak Normal

Oedem Tidak ada

Kelenjar Getah Bening

Submandibula Tidak teraba membesar Leher Tidak teraba membesar

Supraklavikula Tidak teraba membesar Ketiak Tidak teraba membesar

Lipat paha Tidak teraba membesar

Kepala

Ekspresi wajah Tenang

7

Simetri muka Simetris

Rambut Beruban distribusi merata

Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi

Mata

Exophthalamus Tidak ada

Enopthalamus Tidak ada

Kelopak Oedem (-)

Lensa Jernih

Konjungtiva Anemis (-)

Visus Normal

Sklera Ikterik (-)

Gerakan Mata Aktif

Lapangan penglihatan Normal

Tekanan bola mata Normal

Nistagmus Tidak ada

Telinga

Tuli Tidak tuli

Selaput pendengaran Utuh intak (+)

Lubang Lapang

Penyumbatan Tidak ada

Serumen Tidak ada

Pendarahan Tidak ada

Cairan Tidak ada

Mulut

Bibir Lembab tidak tampak pucat

Tonsil T1 ndash T1 tenang

Langit-langit Tidak ada kelainan

Bau pernapasan Tidak ada

Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)

Trismus Tidak ada

Faring Tidak hiperemis

8

Selaput lendir Kemerahan

Lidah Tidak Kotor

Leher

Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan

Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar

Deviasi trachea Tidak ada

Dada

Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit

Pembuluh darah Spider nevi (-)

Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia

Paru ndash Paru

Depan

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)

Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)

9

Belakang

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan redup di ICS VI-VII

Kiri redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Jantung

Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri

Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri

Perkusi

Batas atas ICS III linea parasternal kanan

Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri

Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan

Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)

Pembuluh Darah

Arteri Temporalis pulsasi teraba

Arteri Karotis pulsasi teraba

Arteri Brakhialis pulsasi teraba

Arteri Radialis pulsasi teraba

10

Arteri Femoralis pulsasi teraba

Arteri Poplitea pulsasi teraba

Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba

Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba

Perut

Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)

Palpasi

Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)

Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)

Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)

Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)

Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)

Auskultasi Bising usus normal

Hepatojugular reflux Tidak

Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kiri

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Gerakan Aktif Aktif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka Tidak ada Tidak ada

Varises Tidak ada Tidak ada

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Tidak ada Tidak ada

11

Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang

Gerakan Aktif Pasif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Petechie Tidak ada Tidak ada

C PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tanggal 01-10-2015

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hb 141 gdL

Leukosit 1129 103μL

Ht 408

Trombosit 247 103 microL

KIMIA KLINIK

Elektrolit

Natrium 137 mEqL

Kalium 402 mEqL

12

Refleks Kanan Kiri

Refleks Tendon Positif Positif

Bisep Positif Positif

Trisep Positif Positif

Patela Positif Positif

Achiles Positif Positif

Refleks Patologis Negatif Negatif

Klorida 92 mEqL

Glukosa Sewaktu 106 mgdL

IMUNOSEROLOGI

Widal

S typhi-O (+) 1320

S paratyphi AO (-)

S paratyphi BO (-)

S paratyphi CO (-)

X-foto Thorax

D RINGKASAN (RESUME)

Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama

pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan

adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja

13

pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku

adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk

Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil

pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan

kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian

belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium

Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O

(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

E MASALAH

1 Pneumonia

2 Demam Tifoid

F PENGKAJIAN MASALAH

1 Pneumonia

Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang

timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien

berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati

suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru

bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-

gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan

leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

Rencana diagnostik

Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum

Rencana pengobatan

Terapi suportif Terapi definitif

o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg

o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg

O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi

14

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok

2 Demam Tifoid

Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam

hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan

epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S

typhi-O (+) 1160

Rencana Diagnostik

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1 Pneumonia

a Bronkitis Akut

Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-

2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan

15

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 7: IPD-Laporan Kasus 1

Keadaan gizi Baik

Sianosis Tidak ada

Udema umum Tidak ada

Habitus Atletikus

Cara berjalan Normal

Mobilitas ( aktif pasif ) Aktif

Umur menurut taksiran pemeriksa Sesuai umur

Aspek Kejiwaan

Tingkah Laku Wajar

Alam Perasaan Biasa

Proses Pikir Wajar

Kulit

Warna Sawo matang

Effloresensi Tidak dilakukan

Jaringan Parut Tidak ada

Pigmentasi Normal

Pertumbuhan rambut Distribusi merata

LembabKering Normal

Suhu Raba Afebris

Pembuluh darah Tidak tampak pelebaran

Keringat Umum (+)

Turgor Baik

Ikterus Tidak ada

Lapisan Lemak Normal

Oedem Tidak ada

Kelenjar Getah Bening

Submandibula Tidak teraba membesar Leher Tidak teraba membesar

Supraklavikula Tidak teraba membesar Ketiak Tidak teraba membesar

Lipat paha Tidak teraba membesar

Kepala

Ekspresi wajah Tenang

7

Simetri muka Simetris

Rambut Beruban distribusi merata

Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi

Mata

Exophthalamus Tidak ada

Enopthalamus Tidak ada

Kelopak Oedem (-)

Lensa Jernih

Konjungtiva Anemis (-)

Visus Normal

Sklera Ikterik (-)

Gerakan Mata Aktif

Lapangan penglihatan Normal

Tekanan bola mata Normal

Nistagmus Tidak ada

Telinga

Tuli Tidak tuli

Selaput pendengaran Utuh intak (+)

Lubang Lapang

Penyumbatan Tidak ada

Serumen Tidak ada

Pendarahan Tidak ada

Cairan Tidak ada

Mulut

Bibir Lembab tidak tampak pucat

Tonsil T1 ndash T1 tenang

Langit-langit Tidak ada kelainan

Bau pernapasan Tidak ada

Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)

Trismus Tidak ada

Faring Tidak hiperemis

8

Selaput lendir Kemerahan

Lidah Tidak Kotor

Leher

Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan

Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar

Deviasi trachea Tidak ada

Dada

Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit

Pembuluh darah Spider nevi (-)

Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia

Paru ndash Paru

Depan

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)

Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)

9

Belakang

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan redup di ICS VI-VII

Kiri redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Jantung

Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri

Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri

Perkusi

Batas atas ICS III linea parasternal kanan

Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri

Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan

Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)

Pembuluh Darah

Arteri Temporalis pulsasi teraba

Arteri Karotis pulsasi teraba

Arteri Brakhialis pulsasi teraba

Arteri Radialis pulsasi teraba

10

Arteri Femoralis pulsasi teraba

Arteri Poplitea pulsasi teraba

Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba

Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba

Perut

Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)

Palpasi

Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)

Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)

Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)

Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)

Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)

Auskultasi Bising usus normal

Hepatojugular reflux Tidak

Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kiri

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Gerakan Aktif Aktif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka Tidak ada Tidak ada

Varises Tidak ada Tidak ada

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Tidak ada Tidak ada

11

Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang

Gerakan Aktif Pasif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Petechie Tidak ada Tidak ada

C PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tanggal 01-10-2015

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hb 141 gdL

Leukosit 1129 103μL

Ht 408

Trombosit 247 103 microL

KIMIA KLINIK

Elektrolit

Natrium 137 mEqL

Kalium 402 mEqL

12

Refleks Kanan Kiri

Refleks Tendon Positif Positif

Bisep Positif Positif

Trisep Positif Positif

Patela Positif Positif

Achiles Positif Positif

Refleks Patologis Negatif Negatif

Klorida 92 mEqL

Glukosa Sewaktu 106 mgdL

IMUNOSEROLOGI

Widal

S typhi-O (+) 1320

S paratyphi AO (-)

S paratyphi BO (-)

S paratyphi CO (-)

X-foto Thorax

D RINGKASAN (RESUME)

Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama

pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan

adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja

13

pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku

adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk

Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil

pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan

kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian

belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium

Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O

(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

E MASALAH

1 Pneumonia

2 Demam Tifoid

F PENGKAJIAN MASALAH

1 Pneumonia

Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang

timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien

berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati

suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru

bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-

gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan

leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

Rencana diagnostik

Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum

Rencana pengobatan

Terapi suportif Terapi definitif

o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg

o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg

O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi

14

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok

2 Demam Tifoid

Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam

hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan

epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S

typhi-O (+) 1160

Rencana Diagnostik

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1 Pneumonia

a Bronkitis Akut

Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-

2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan

15

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 8: IPD-Laporan Kasus 1

Simetri muka Simetris

Rambut Beruban distribusi merata

Pembuluh darah temporal Teraba pulsasi

Mata

Exophthalamus Tidak ada

Enopthalamus Tidak ada

Kelopak Oedem (-)

Lensa Jernih

Konjungtiva Anemis (-)

Visus Normal

Sklera Ikterik (-)

Gerakan Mata Aktif

Lapangan penglihatan Normal

Tekanan bola mata Normal

Nistagmus Tidak ada

Telinga

Tuli Tidak tuli

Selaput pendengaran Utuh intak (+)

Lubang Lapang

Penyumbatan Tidak ada

Serumen Tidak ada

Pendarahan Tidak ada

Cairan Tidak ada

Mulut

Bibir Lembab tidak tampak pucat

Tonsil T1 ndash T1 tenang

Langit-langit Tidak ada kelainan

Bau pernapasan Tidak ada

Gigi geligi Tidak utuh caries dentis (-)

Trismus Tidak ada

Faring Tidak hiperemis

8

Selaput lendir Kemerahan

Lidah Tidak Kotor

Leher

Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan

Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar

Deviasi trachea Tidak ada

Dada

Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit

Pembuluh darah Spider nevi (-)

Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia

Paru ndash Paru

Depan

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)

Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)

9

Belakang

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan redup di ICS VI-VII

Kiri redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Jantung

Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri

Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri

Perkusi

Batas atas ICS III linea parasternal kanan

Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri

Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan

Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)

Pembuluh Darah

Arteri Temporalis pulsasi teraba

Arteri Karotis pulsasi teraba

Arteri Brakhialis pulsasi teraba

Arteri Radialis pulsasi teraba

10

Arteri Femoralis pulsasi teraba

Arteri Poplitea pulsasi teraba

Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba

Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba

Perut

Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)

Palpasi

Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)

Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)

Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)

Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)

Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)

Auskultasi Bising usus normal

Hepatojugular reflux Tidak

Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kiri

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Gerakan Aktif Aktif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka Tidak ada Tidak ada

Varises Tidak ada Tidak ada

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Tidak ada Tidak ada

11

Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang

Gerakan Aktif Pasif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Petechie Tidak ada Tidak ada

C PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tanggal 01-10-2015

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hb 141 gdL

Leukosit 1129 103μL

Ht 408

Trombosit 247 103 microL

KIMIA KLINIK

Elektrolit

Natrium 137 mEqL

Kalium 402 mEqL

12

Refleks Kanan Kiri

Refleks Tendon Positif Positif

Bisep Positif Positif

Trisep Positif Positif

Patela Positif Positif

Achiles Positif Positif

Refleks Patologis Negatif Negatif

Klorida 92 mEqL

Glukosa Sewaktu 106 mgdL

IMUNOSEROLOGI

Widal

S typhi-O (+) 1320

S paratyphi AO (-)

S paratyphi BO (-)

S paratyphi CO (-)

X-foto Thorax

D RINGKASAN (RESUME)

Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama

pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan

adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja

13

pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku

adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk

Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil

pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan

kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian

belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium

Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O

(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

E MASALAH

1 Pneumonia

2 Demam Tifoid

F PENGKAJIAN MASALAH

1 Pneumonia

Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang

timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien

berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati

suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru

bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-

gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan

leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

Rencana diagnostik

Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum

Rencana pengobatan

Terapi suportif Terapi definitif

o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg

o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg

O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi

14

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok

2 Demam Tifoid

Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam

hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan

epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S

typhi-O (+) 1160

Rencana Diagnostik

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1 Pneumonia

a Bronkitis Akut

Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-

2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan

15

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 9: IPD-Laporan Kasus 1

Selaput lendir Kemerahan

Lidah Tidak Kotor

Leher

Tekanan Vena Jugularis (JVP) Tidak dilakukan

Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar

Kelenjar Limfe Tidak teraba membesar

Deviasi trachea Tidak ada

Dada

Bentuk Simetris selaiga tidak melebar maupun penyempit

Pembuluh darah Spider nevi (-)

Buah dada Simetris tidak ada ginekomastia

Paru ndash Paru

Depan

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Kiri sonor di ICS I-V redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) ronki (-)

Kiri vesikuler wheezing (-) ronki (-)

9

Belakang

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan redup di ICS VI-VII

Kiri redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Jantung

Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri

Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri

Perkusi

Batas atas ICS III linea parasternal kanan

Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri

Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan

Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)

Pembuluh Darah

Arteri Temporalis pulsasi teraba

Arteri Karotis pulsasi teraba

Arteri Brakhialis pulsasi teraba

Arteri Radialis pulsasi teraba

10

Arteri Femoralis pulsasi teraba

Arteri Poplitea pulsasi teraba

Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba

Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba

Perut

Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)

Palpasi

Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)

Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)

Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)

Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)

Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)

Auskultasi Bising usus normal

Hepatojugular reflux Tidak

Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kiri

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Gerakan Aktif Aktif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka Tidak ada Tidak ada

Varises Tidak ada Tidak ada

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Tidak ada Tidak ada

11

Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang

Gerakan Aktif Pasif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Petechie Tidak ada Tidak ada

C PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tanggal 01-10-2015

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hb 141 gdL

Leukosit 1129 103μL

Ht 408

Trombosit 247 103 microL

KIMIA KLINIK

Elektrolit

Natrium 137 mEqL

Kalium 402 mEqL

12

Refleks Kanan Kiri

Refleks Tendon Positif Positif

Bisep Positif Positif

Trisep Positif Positif

Patela Positif Positif

Achiles Positif Positif

Refleks Patologis Negatif Negatif

Klorida 92 mEqL

Glukosa Sewaktu 106 mgdL

IMUNOSEROLOGI

Widal

S typhi-O (+) 1320

S paratyphi AO (-)

S paratyphi BO (-)

S paratyphi CO (-)

X-foto Thorax

D RINGKASAN (RESUME)

Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama

pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan

adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja

13

pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku

adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk

Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil

pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan

kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian

belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium

Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O

(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

E MASALAH

1 Pneumonia

2 Demam Tifoid

F PENGKAJIAN MASALAH

1 Pneumonia

Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang

timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien

berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati

suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru

bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-

gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan

leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

Rencana diagnostik

Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum

Rencana pengobatan

Terapi suportif Terapi definitif

o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg

o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg

O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi

14

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok

2 Demam Tifoid

Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam

hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan

epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S

typhi-O (+) 1160

Rencana Diagnostik

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1 Pneumonia

a Bronkitis Akut

Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-

2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan

15

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 10: IPD-Laporan Kasus 1

Belakang

Inspeksi

Kiri bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Kanan bentuk dada normal simetris sewaktu statis dan dinamis sela iga tidak

membesar

Palapasi

Kanan tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Kiri tidak ada benjolan sela iga tidak melebar gerakan dinding dada simetris

fremitus taktil simetris nyeri tekan (-)

Perkusi

Kanan redup di ICS VI-VII

Kiri redup di ICS VI-VII

Auskultasi

Kanan vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Kiri vesikuler wheezing (-) rhonki basah halus (+)

Jantung

Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS VI di garis midklavikula kiri

Palpasi ictus cordis teraba di ICS VI di garis midkalvikula kiri

Perkusi

Batas atas ICS III linea parasternal kanan

Batas kiri ICS IV 1 cm lateral linea midclavicularis kiri

Batas kanan ICS IV linea parasternalis kanan

Auskultasi BJ I-II murni reguler Murmur (-) Gallop (-)

Pembuluh Darah

Arteri Temporalis pulsasi teraba

Arteri Karotis pulsasi teraba

Arteri Brakhialis pulsasi teraba

Arteri Radialis pulsasi teraba

10

Arteri Femoralis pulsasi teraba

Arteri Poplitea pulsasi teraba

Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba

Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba

Perut

Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)

Palpasi

Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)

Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)

Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)

Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)

Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)

Auskultasi Bising usus normal

Hepatojugular reflux Tidak

Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kiri

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Gerakan Aktif Aktif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka Tidak ada Tidak ada

Varises Tidak ada Tidak ada

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Tidak ada Tidak ada

11

Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang

Gerakan Aktif Pasif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Petechie Tidak ada Tidak ada

C PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tanggal 01-10-2015

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hb 141 gdL

Leukosit 1129 103μL

Ht 408

Trombosit 247 103 microL

KIMIA KLINIK

Elektrolit

Natrium 137 mEqL

Kalium 402 mEqL

12

Refleks Kanan Kiri

Refleks Tendon Positif Positif

Bisep Positif Positif

Trisep Positif Positif

Patela Positif Positif

Achiles Positif Positif

Refleks Patologis Negatif Negatif

Klorida 92 mEqL

Glukosa Sewaktu 106 mgdL

IMUNOSEROLOGI

Widal

S typhi-O (+) 1320

S paratyphi AO (-)

S paratyphi BO (-)

S paratyphi CO (-)

X-foto Thorax

D RINGKASAN (RESUME)

Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama

pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan

adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja

13

pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku

adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk

Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil

pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan

kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian

belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium

Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O

(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

E MASALAH

1 Pneumonia

2 Demam Tifoid

F PENGKAJIAN MASALAH

1 Pneumonia

Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang

timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien

berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati

suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru

bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-

gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan

leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

Rencana diagnostik

Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum

Rencana pengobatan

Terapi suportif Terapi definitif

o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg

o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg

O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi

14

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok

2 Demam Tifoid

Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam

hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan

epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S

typhi-O (+) 1160

Rencana Diagnostik

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1 Pneumonia

a Bronkitis Akut

Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-

2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan

15

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 11: IPD-Laporan Kasus 1

Arteri Femoralis pulsasi teraba

Arteri Poplitea pulsasi teraba

Arteri Tibialis Posterior pulsasi teraba

Arteri Dorsalis Pedis pulsasi teraba

Perut

Inspeksi tidak membuncit bekas operasi (-) penonjolan massa (-) dilatasi vena (-)

Palpasi

Dinding perut Supel tidak ada distensi nyeri tekan epigastrium (+)

Hati Tidak teraba nyeri tekan (-)

Limpa Tidak teraba nyeri tekan(-)

Ginjal Tidak teraba ballottement (-) nyeri ketok CVA (-)

Perkusi Timpani pada abdomen shifting dullness (-) undulasi (-)

Auskultasi Bising usus normal

Hepatojugular reflux Tidak

Colok dubur Tidak teraba adanya massa darah (-)

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kiri

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Eutrofi Eutrofi

Sendi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Gerakan Aktif Aktif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka Tidak ada Tidak ada

Varises Tidak ada Tidak ada

Otot Tidak atrofi Tidak atrofi

Tonus Normotonus Normotonus

Massa Tidak ada Tidak ada

11

Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang

Gerakan Aktif Pasif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Petechie Tidak ada Tidak ada

C PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tanggal 01-10-2015

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hb 141 gdL

Leukosit 1129 103μL

Ht 408

Trombosit 247 103 microL

KIMIA KLINIK

Elektrolit

Natrium 137 mEqL

Kalium 402 mEqL

12

Refleks Kanan Kiri

Refleks Tendon Positif Positif

Bisep Positif Positif

Trisep Positif Positif

Patela Positif Positif

Achiles Positif Positif

Refleks Patologis Negatif Negatif

Klorida 92 mEqL

Glukosa Sewaktu 106 mgdL

IMUNOSEROLOGI

Widal

S typhi-O (+) 1320

S paratyphi AO (-)

S paratyphi BO (-)

S paratyphi CO (-)

X-foto Thorax

D RINGKASAN (RESUME)

Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama

pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan

adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja

13

pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku

adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk

Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil

pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan

kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian

belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium

Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O

(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

E MASALAH

1 Pneumonia

2 Demam Tifoid

F PENGKAJIAN MASALAH

1 Pneumonia

Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang

timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien

berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati

suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru

bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-

gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan

leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

Rencana diagnostik

Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum

Rencana pengobatan

Terapi suportif Terapi definitif

o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg

o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg

O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi

14

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok

2 Demam Tifoid

Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam

hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan

epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S

typhi-O (+) 1160

Rencana Diagnostik

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1 Pneumonia

a Bronkitis Akut

Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-

2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan

15

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 12: IPD-Laporan Kasus 1

Sendi Pergerakan kurang Pergerakan kurang

Gerakan Aktif Pasif

Kekuatan 5 5

Oedem Tidak ada Tidak ada

Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Petechie Tidak ada Tidak ada

C PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tanggal 01-10-2015

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hb 141 gdL

Leukosit 1129 103μL

Ht 408

Trombosit 247 103 microL

KIMIA KLINIK

Elektrolit

Natrium 137 mEqL

Kalium 402 mEqL

12

Refleks Kanan Kiri

Refleks Tendon Positif Positif

Bisep Positif Positif

Trisep Positif Positif

Patela Positif Positif

Achiles Positif Positif

Refleks Patologis Negatif Negatif

Klorida 92 mEqL

Glukosa Sewaktu 106 mgdL

IMUNOSEROLOGI

Widal

S typhi-O (+) 1320

S paratyphi AO (-)

S paratyphi BO (-)

S paratyphi CO (-)

X-foto Thorax

D RINGKASAN (RESUME)

Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama

pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan

adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja

13

pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku

adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk

Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil

pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan

kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian

belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium

Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O

(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

E MASALAH

1 Pneumonia

2 Demam Tifoid

F PENGKAJIAN MASALAH

1 Pneumonia

Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang

timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien

berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati

suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru

bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-

gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan

leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

Rencana diagnostik

Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum

Rencana pengobatan

Terapi suportif Terapi definitif

o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg

o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg

O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi

14

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok

2 Demam Tifoid

Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam

hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan

epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S

typhi-O (+) 1160

Rencana Diagnostik

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1 Pneumonia

a Bronkitis Akut

Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-

2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan

15

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 13: IPD-Laporan Kasus 1

Klorida 92 mEqL

Glukosa Sewaktu 106 mgdL

IMUNOSEROLOGI

Widal

S typhi-O (+) 1320

S paratyphi AO (-)

S paratyphi BO (-)

S paratyphi CO (-)

X-foto Thorax

D RINGKASAN (RESUME)

Laki-laki 62 tahun dengan keluhan demam satu minggu SMRS dirasa timbul terutama

pada malam hari Pasien mengeluh adanya sakit kepala serta mual Pasien juga mengeluhkan

adanya rasa tidak nyaman dan kembung pada perut Setelah satu hari di rawat di RSUD Koja

13

pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku

adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk

Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil

pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan

kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian

belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium

Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O

(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

E MASALAH

1 Pneumonia

2 Demam Tifoid

F PENGKAJIAN MASALAH

1 Pneumonia

Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang

timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien

berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati

suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru

bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-

gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan

leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

Rencana diagnostik

Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum

Rencana pengobatan

Terapi suportif Terapi definitif

o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg

o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg

O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi

14

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok

2 Demam Tifoid

Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam

hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan

epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S

typhi-O (+) 1160

Rencana Diagnostik

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1 Pneumonia

a Bronkitis Akut

Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-

2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan

15

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 14: IPD-Laporan Kasus 1

pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak berwarna putih kental Pasien mengaku

adanya sesak yang hilang timbul terutama saat batuk timbul nyeri dada diakui pasien saat batuk

Pasien juga mengeluhkan sulit BAB sejak 5 hari SMRS Pasien biasanya mengkonsumsi air

ledeng atau air tanah yang dimasak sendiri pasien juga memiliki kebiasaan merokok Dari hasil

pemeriksaan fisik suhu 380OC perkusi paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan

kiri perkusi paru-paru bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian

belakang paru-paru terdengar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri nyeri tekan epigastrium

Dari hasil pemeriksaan penunjang hasil pemeriksaan laboratorium leukosit 11290 S typhi-O

(+) 1160 hasil thorax foto terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

E MASALAH

1 Pneumonia

2 Demam Tifoid

F PENGKAJIAN MASALAH

1 Pneumonia

Pasien mengeluh adanya batuk yang disertai dahak warna putih kental sesak yang hilang

timbul terutama saat batuk nyeri dada diakui pasien saat batuk disertai adanya demam Pasien

berumur lebih dari 60 tahun dan memiliki riwayat merokok Pada pemeriksaan fisik didapati

suhu 380oC adanya paru-paru bagian depan redup ICS VI-VII kanan dan kiri perkusi paru-paru

bagian belakang redup ICS VI-VII kanan dan kiri auskultasi bagian belakang paru-paru terden-

gar bunyi ronki basah halus kanan dan kiri Dari hasil pemeriksaan penunjang ditemukan

leukosit 11290 terdapat perselubungann di lobus kanan bawah dan lobus kiri bawah

Rencana diagnostik

Pemeriksaan Analisa Sputum Pemeriksaan Gram Sputum

Rencana pengobatan

Terapi suportif Terapi definitif

o Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia amoksisilin 3x500 mg

o Penisilin resisten Streptococcus pneumonia Ciprofloxacin 2x500 mg

O2 2 lpm (bila pasien sesak)Rencana Edukasi

14

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok

2 Demam Tifoid

Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam

hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan

epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S

typhi-O (+) 1160

Rencana Diagnostik

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1 Pneumonia

a Bronkitis Akut

Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-

2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan

15

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 15: IPD-Laporan Kasus 1

Dijelaskan kepada pasien mengenai pencegahan rekurensi Dijelaskan kepada pasien mengenai pola hidup sehat termasuk tidak merokok

2 Demam Tifoid

Dipikirkan demam tifoid ini dari adanya demam yang tinggi hanya pada sore dan malam

hari pusing mual konstipasi Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan

epigastrium Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi widal S

typhi-O (+) 1160

Rencana Diagnostik

Pemeriksaan Tubex

Pemeriksaan NS1

Rectal toucher

Rencana Pengobatan

Tirah baring

Diet lunak

Diet tinggi serat

Paracetamol 3x500 mg bila masih demam

Ciprofloxacin 2x500 mg selama satu minggu

Lactulax syrup 3xCI

Rencana Edukasi

Dijelaskan mengapa perlu melakukan pengobatan pada demam tifoid

Dijelaskan cara terinfeksi demam tifoid (untuk menghindari terjadi lagi)

Dijelaskan tanda-tanda kegawatan pada demam tifoid

Dijelaskan mengenai bahaya konstipasi

Dijelaskan cara untuk mencegah konstipasi

G DIFFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DASAR DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

1 Pneumonia

a Bronkitis Akut

Dasar diagnosis banding batuk berdahak 2-3 minggu Pada awalnya batuk tidak berdahak 1-

2 hari menjadi putih-kekuningan selanjutnya bertambah banyak jadi kuning-kehijauan

15

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 16: IPD-Laporan Kasus 1

Keluhan disertai demam ringan rasa berat atau tidak nyaman di dada Sesak nafas dan rasa

berat bernapas terjadi jika saluran udara tersumbat sering ditemukan bunyi nafas mengi atau

rdquongikrdquo terutama setelah batuk Bila iritasi dapat terjadi batuk darah Pada pemeriksaan fisik

ditemukan pasien tampak kurus dengan barrel shape chest perkusi dada hipersonor suara

nafas terdapat ronki basah kasar wheezing

b TB Paru

Dasar diagnosis banding batuk berdahak ge 2 minggu Batuk disertai dahak dapat bercampur

darah atau batuk darah Keluhan disertai nyeri dada sesak napas nyeri dada badan lemah

nafsu makan menurun berat badan menurun malaise berkeringat pada malam tanpa

kegiatan fisik meriang lebih dari 1 bulan Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam

subfebris respiraasi meningkat berat badan menurun (umumnya BMI lt185) Pada

auskultasi terdengar suara napas bronkialamforikronki basahsuara napas melemah di apex

paru Pemeriksaan mikroskopis kuman TB SPS terdapat kuman TB (BTA) radiologi foto

thorax terdapat bercak-bercak awan batas tidak tegas dan gambaran lain yaitu kavitas

pleuritis efusi pleura

2 Demam Tifoid

a Demam Berdarah Dengue

Dasar diagnosis banding demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital

mialgia ruam gusi berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena

tinggal di daerah endemis Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat

perdarahan mukosa Dari pemeriksaan penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti

kebocoran plasma (peningkatan hematokrit 20 dari standar usia) trombositopenia

b Malaria

Dasar diagnosis banding ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin

berkeringat) sakit kepala nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut

mual muntah diare riwayat pergi ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat

transfuse darah

H KESIMPULAN DAN PROGNOSIS

KESIMPULAN

16

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 17: IPD-Laporan Kasus 1

Laki-laki 62 tahun dengan Pneumonia dan Demam Tifoid

PROGNOSIS

1 Ad vitam Dubia ad bonam

2 Ad fungsionam Dubia ad bonam

3 Ad sanationam Dubia ad bonam

Catatan Perkembangan

Tanggal 03 Oktober 2015 pk 0645

17

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 18: IPD-Laporan Kasus 1

1 Masalah Pneumonia

S Pasien mengeluhkan demam batuk berdahak kental berwarna putih sesak dirasa

berkurang nyeri dada tidak ada

O RR 20x per menit S 383 auskultasi posterior terdengar ronki basah halus di

kedua lapang paru

A Pneumonia keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien mengeluhkan demam nyeri perut sakit kepala berkurang mual tidak

ada muntah tidak ada pasien sudah dapat BAB

O TD 11080 mmhg S 383 N 72x per menit NT Epigastrium (+)

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Terapi dilanjutkan

Tanggal 5 Oktober 2015

1 Masalah Pneumonia

S Tidak ada keluhan

O RR 20x per menit S 368 auskultasi ronki basah halus

A Pneumonia tidak ada gejala klinis

P Acc pulang

2 Masalah Demam Tifoid

S Pasien merasakan keluhan berkurang nyeri perut semakin membaik mual tidak

ada demam tidak ada BAB normal

O TD 12080 mmhg S 368 N 80x per menit NT Epigastrium plusmn

A Demam Tifoid keluhan berkurang

P Acc pulang

TINJAUAN PUSTAKA

18

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 19: IPD-Laporan Kasus 1

PNEUMONIA

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi

jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat Istilah pneumonia lazim dipakai bila

peradangan terjadi oleh proses infeksi akut sedangkan istilah pneumonitis sering dipakai untuk

proses non infeksi1

Epidemiologi

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007

menunjukkan prevalensi nasional ISPA 255 (16 provinsi di atas angka nasional) angka

kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi 22 Balita 3 angka kematian (mortalitas)

pada bayi 238 dan Balita 1552

Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri virus

jamur protozoa yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Penyebab tersering pneumonia

adalah bakteri gram positif Streptococcus pneumonia Kuman penyebab pneumonia biasanya

berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien dan keadaan klinis terjadinya infeksi3

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus (RSV)

parainfluenza virus influenza virus dan adenovirus Secara umum bakteri yang berperan penting

dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia Haemophillus influenza Staphylococcus

aureus Streptococcus group B serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma3

Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan

penyebab pneumonia paling banyak Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada

usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia Selain itu Streptococcus

pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial Mycoplasma

pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada

anak diatas 5 tahun Communityy-acquired acute pneumonia sering disebabkan oleh

streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus sedangkan pada Community-acquired atypical

pneumonia penyebab umumnya adalah Mycopalsma pneumonia Staphylokokkus aureus dan

19

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 20: IPD-Laporan Kasus 1

batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas adalah isolat yang tersering

ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia3

Tabel 1 Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur dengan Terjadinya Infeksi3

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang

Lahir-20 hari Bakteria Escherichia colli Group B streptococci Listeria monocytogenes

Bakteria Group D streptococci Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus Herpes simplex virus

3 minggu ndash 3 bulan

Bakteria Clamydia trachomatis Streptococcus pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Para influenza virus

12 and 3 Adenovirus

Bakteria Bordetella pertusis Haemophillusinfluenza type B

amp non typeable Moxarella catarrhalis Staphylococcus aureus Ureaplasma urealyticum

Virus Cytomegalovirus

4 bulan ndash5 tahun

Bakteria Streptococcus pneumo-

niae Clamydia pneumoniae Mycoplasma pneumo-

niaeVirus

Respiratory syncytial virus

Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Adenovirus

Bakteria Haemophillus influenza type

B Moxarella catarrhalis Neisseria meningitis Staphylococcus aureus

Virus Varicella zoster virus

20

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 21: IPD-Laporan Kasus 1

Measles

5 tahun ndash dewasa Bakteria Clamydia pneumonia Mycoplasma pneumonia Streptococcus pneumo-

niae

Bakteria Haemophillus influenza type

B Legionella species Staphylococcus aureus

Virus Adenovirus Epstein barr virus Influenza virus Parainfluenza virus Rhinovirus Respiratory syncytial virus Varicella zoster virus

Tabel 2 Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi3

Communityy-acquired acute pneumonia

Streptococcus pneumoniaHaemophilus influenzaeMoraxella catarrhalisStaphylococcus aureusLegionella pneumophilaEnterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp

Community-acquired atypical pneumonia

Mycoplasma pneumoniaChlamydia spp (C pneumoniae C psittaci C trachomatis)Coxiella burnetii (Q fever)Viruses respiratory syncytial virus parainfluenza virus (children) influenza A and B (adults) adenovirus(military recruits) SARS virusHospital-acquired pneumonia

Gram-negative rods Enterobacteriaceae (Klebsiella spp Serratia marcescens Escherichia coli) andPseudomonas sppStaphylococcus aureus (usually penicillin resistant)Pneumonia kronis

21

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 22: IPD-Laporan Kasus 1

NocardiaActinomycesGranulomatous Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria Histoplasma capsulatumCoccidioides immitis Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia

Menurut sifatnya yaitu

a Pneumonia primer yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak mempunya

faktor resiko tertentu Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus pneumoniae

(pneumokokus) Hemophilus influenzae juga Virus penyebab infeksi pernapasan (In-

fluenza Parainfluenza RSV) Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas (ldquoatypi-

calrdquo) yaitu mykoplasma chlamydia dan legionella

b Pneumonia sekunder yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi selain penderita

penyakit paru lainnnya seperti COPD terutama juga bagi mereka yang mempunyai

penyakit menahun seperti diabetes mellitus HIV dan kankerdll 2

Berdasarkan Kuman penyebab

a Pneumonia bakterialtipikal Dapat terjadi pada semua usia Beberapa bakteri mempunyai

tendensi menyerang sesorang yang peka misalnya Klebsiella pada penderita

alkoholikStaphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza

b Pneumonia atipikal disebabkan Mycoplasma Legionella dan Chlamydia

c Pneumonia virus disebabkan oleh virus RSV Influenza virus

d Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder Predileksi terutama pada penderita

dengan daya tahan lemah (immunocompromised)4

Berdasarkan klinis dan epidemiologi

a Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang terjadi

di lingkungan rumah atau masyarakat juga termasuk pneumonia yang terjadi di rumah

sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam4

b Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan pneumonia

yang terjadi di ldquorumah sakitrdquo infeksi terjadi setelah 48 jam berada di rumah sakit Kuman

22

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 23: IPD-Laporan Kasus 1

penyebab sangat beragam yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau bak-

teri dengan gramm negatif lainnya seperti Ecoli Klebsiella pneumoniae Pseudomonas

aeroginosa Proteus dll Tingkat resistensi obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab

HAP5

c Pneumonia aspirasi

Berdasarkan lokasi infeksi

a Pneumonia lobaris

Pneumonia focal yang melibatkan satu beberapa lobus paru Bronkus besar umumnya

tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram Konsolidasi yang

timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn

Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae Jarang pada

bayi dan orang tua Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen Kemungkinan

sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing atau

adanya proses keganasan4

b Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)

Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis Bronkiolus terminalis

menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-bercak konsolidasi

di lobulus yang bersebelahan Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal

pada lapangan paru Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus Sering pada bayi dan

orang tua Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus4

c Pneumonia interstisial

Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil

Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema

dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa

bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4

Patofisiologi Pneumonia

Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja dari bayi sampai usia

lanjut Pecandu alcohol pasien pasca operasi orang-orang dengan gangguan penyakit

23

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 24: IPD-Laporan Kasus 1

pernapasan sedang terinfeksi virus atau menurun kekebalan tubuhnya adalah yang paling

berisiko1

Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada tenggorokan yang sehat

Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit usia lanjut dan malnutrisi

bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru1

Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme paru banyak

disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh pejamu Selain itu toksin-

toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak

sel-sel system pernapasan bawah Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan4

1 Inokulasi langsung

2 Penyebaran melalui pembuluh darah

3 Inhalasi bahan aerosol

4 Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara kolonisasi Secara inhalasi

terjadi pada infeksi virus mikroorganisme atipikal mikrobakteria atau jamur Kebanyakan

bakteri dengan ukuran 05 ndash 20 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli

dan selanjutnya terjadi proses infeksi Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung

orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi

mikroorganisme hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru Aspirasi

dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50) juga pada

keadaan penurunan kesadaran peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse)4

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang

berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit

sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi4

Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang paling mencolok

Jika terjadi infeksi sebagian jaringan dari lobus paru-paru ataupun seluruh lobus bahkan

sebagian besar dari lima lobus paru-paru (tiga di paru-paru kanan dan dua di paru-paru kiri)

menjadi terisi cairan Dari jaringan paru-paru infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh

melalui peredaran darah Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum sebagai

penyebab pneumonia

24

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 25: IPD-Laporan Kasus 1

Terdapat empat stadium anatomik dari pneumonia terbagi atas

1 Stadium Kongesti (4 ndash 12 jam pertama)

Disebut hiperemia mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah

baru yang terinfeksi Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler

di tempat infeksi Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-

sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen

Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos

vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru Hal ini mengakibatkan perpindahan

eksudat plasma ke dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar

kapiler dan alveolus Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang

harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin2

2 Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)

Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh

penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan Lobus yang terkena menjadi padat oleh

karena adanya penumpukan leukosit eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah

dan pada perabaan seperti hepar pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal

sehingga anak akan bertambah sesak Stadium ini berlangsung sangat singkat yaitu selama 48

jam2

3 Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)

Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi Pada saat ini

endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel

Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi lobus masih tetap padat karena berisi fibrin

dan leukosit warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami

kongesti2

4 Stadium Akhir (Resolusi)

Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna secara enzimatis yang

diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan

cairan dan basah sampai pulih mencapai keadaan normal2

25

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 26: IPD-Laporan Kasus 1

Diagnosis Pneumonia

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia Gejalanya meliputi

Gejala Mayor 1Batuk

2Sputum produktif

3Demam (suhugt38 0c)

Gejala Minor 1 sesak napas

2 nyeri dada

3 konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik

4 jumlah leukosit gt12000L

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas selama

beberapa hari kemudian diikuti dengan demam menggigil suhu tubuh kadang-kadang melebihi

40ordm C sakit tenggorokan nyeri otot dan sendi Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau

purulen kadang-kadang berdarah4

Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas pada

palpasi fremitus dapat mengeras pada perkusi redup pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronchial yang kadang-kadang melemah Mungkin disertai ronkhi halus

yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi4

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit biasanya

gt10000ul kadang-kadang mencapai 30000ul dan pada hitungan jenis leukosit terdapat

pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak kultur darah dan serologi Kultur darah dapat positif pada 20-

25 penderita yang tidak diobati Anlalisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia

pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik5

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara lain

Perselubungankonsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan lobus atau segment paru

secara anantomis

26

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 27: IPD-Laporan Kasus 1

Batasnya tegas walaupun pada mulanya kurang jelas

Volume paru tidak berubah tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil Tidak tampak de-

viasi tracheaseptumfissureseperti pada atelektasis

Silhouette sign (+) bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru batas lesi dengan jantung hi-

lang berarti lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan

Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura

Bila terjadinya pada lobus inferior maka sinus phrenicocostalis yang paling akhir terkena

Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler

Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign (terperangkapnya udara pada

bronkus karena tidanya pertukaran udara pada alveolus)

Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia hanya

merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi misalnya penyebab pneumonia lobaris

tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela

pneumonia sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus5

Pemeriksaan Bakteriologis

Bahan berasal dari sputum darah aspirasi nasotrakealtranstrakeal torakosintesis

bronkoskopi atau biopsi Kuman yang predominan pada sputum disertai PMN yang

kemungkinan penyebab infeksi4

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari Pasien mula-mula kumur-kumur dengan akuades

biasa setelah itu pasien diminta inspirasi dalam kemudian membatukkan dahaknya Dahak

ditampung dalam botol steril dan ditutup rapat Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak

boleh lebih dari 4 jam) Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak dapat dibantu nebulisasi

dengan NaCl 3 Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan

biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN gt 25lpk dan sel epitel lt 10lpk4

Penatalaksanaan

Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif Pemberian antibiotik pada

penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya

akan tetapi karena beberapa alasan yaitu7

27

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 28: IPD-Laporan Kasus 1

a Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa

b Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia

c Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu

Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris Secara umum

pemilihan antibiotic berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut 751

1 Pemberian Antibiotik

Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)

1048707 Golongan Penisilin

1048707 TMP-SMZ

1048707 Makrolid

Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)

1048707 Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)

1048707 Sefotaksim Seftriakson dosis tinggi

1048707 Marolid baru dosis tinggi

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Pseudomonas aeruginosa

1048707 Aminoglikosid

1048707 Seftazidim Sefoperason Sefepim

1048707 Tikarsilin Piperasilin

1048707 Karbapenem Meropenem Imipenem

1048707 Siprofloksasin Levofloksasin

Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

1048707 Vankomisin

1048707 Teikoplanin

1048707 Linezolid

Hemophilus influenzae

1048707 TMP-SMZ

1048707 Azitromisin

1048707 Sefalosporin gen 2 atau 3

1048707 Fluorokuinolon respirasi

Legionella

28

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 29: IPD-Laporan Kasus 1

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

1048707 Rifampisin

Mycoplasma pneumoniae

1048707 Doksisiklin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

Chlamydia pneumoniae

1048707 Doksisikin

1048707 Makrolid

1048707 Fluorokuinolon

2 Terapi Suportif Umum

1 Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 berdasarkan

pemeriksaan analisis gas darah

2 Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental dapat disertai

nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme

3 Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak khususnya anjuran untuk batuk dan napas

dalam Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan ekspirasi dan

pengeluarn CO2 Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan pernapasan6

4 Pengaturan cairan Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia dan paru

lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat pneumonia bilateral

Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik termasuk pada keadaan gangguan

sirkulasi dan gagal ginjal Overhidrasi untuk maksud mengencerkan dahak tidak

diperkenankan8

5 Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan Terapi ini tidak

bermanfaat pada keadaan renjatan septik

6 Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila terdapat

komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal

7 Ventilasi mekanis indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia adalah

29

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 30: IPD-Laporan Kasus 1

a Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100 dengan menggunakaan

masker Kosentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan pulmonary compliance

hingga tekanan inflasi meninggi Dalam hal ini perlu dipergunakan PEEP untuk

memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi 50 atau lebih rendah8

b Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress dengan atau didapat

asidosis respiratorik

c Respiratory arrest

d Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif

8 Drainase empiema bila ada

9 Bila terdapat gagal napas diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang didapatkan

terutama dari lemak (gt50) hingga dapat dihindari pembentukan CO2 yang berlebihan8

3 Terapi Sulih (switch therapy)

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat suntik ke

oral dilanjutkan dengan berobat jalan hal ini untuk mengurangi biaya perawatan dan mencegah

infeksi nosokomial Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama potensi sama)

switch over (obat berbeda potensi sama) dan step down (obat sama atau berbeda potensi lebih

rendah) Pasien beralih dari intravena ke oral terapi ketika hemodinamik sudah stabil dan

perbaikan terbukti secara secara klinis dapat menelan obat-obatan dan memiliki saluran

pencernaan berfungsi normal9

Kriteria untuk Pneumonia terkait stabilitas klinis adalah9

1 Temp le 378 C Kesadaran baik

2 Denyut jantung le 100 denyut menit

3 Respirasi ratele 24 napas menit

4 Tekanan darah sistolik ge 90 mmHg

5 Saturasi O2 arteri ge 90 atau pO2 ge 60 mmHg pada ruang udara

6 Kemampuan untuk mengambil asupan oral

Diagnosis Banding

Bronkitis Akut

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus Radang dapat berupa hipersekresi

mucus dan batuk produktif kronis berulang-ulang minimal selama 3 bulan pertahun atau paling

30

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 31: IPD-Laporan Kasus 1

sedikit dalam 2 tahun pasien yang diketahui tidak terdapat penyebab lain Ada 3 faktor utama

yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok infeksi dari polusi Bronchitis akut dapat

disebabkan oleh beberapa hal yaitu infeksi virus yang paling umum influenza A dan B

parainfluenza RSV adenovirus rhinoviris choronavirus infeksi bakteri seperti yang

disebabkan oleh Mycoplasma spesies Chlamydia pneumoniae Streprococcus pneumoniae

Moraxella catarrhalis dan Haemophilus influenza rokok dan asap rokok paparan terhadap

iritasi penyakit gastrofaringeal refluk pekerja yang terekspos dengan debu atau asap10

TB Paru

Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh M

tuberculosis Jalan masuk untuk organism M tuberculosis adalah saluran pernafasan saluran

pencernaan Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu)

nyeri dada dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam menggigil keringat malam

lemas hilang nafsu makan dan penurunan berat badan10

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

DEMAM TIFOID

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever Demam tipoid

ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan

gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran3

31

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 32: IPD-Laporan Kasus 1

Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit

ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas Data World Health

Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di

seluruh dunia dengan insidensi 600000 kasus kematian tiap tahun4 Di negara berkembang

kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95 merupakan kasus rawat

jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di

rumah sakit Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di

daerah pedesaan 358100000 penduduktahun dan di daerah perkotaan 760100000 penduduk

tahun atau sekitar 600000 dan 15 juta kasus per tahun Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91 kasus3

Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S typhi S paratyphi A S paratyphi B (S

Schotmuelleri) dan S paratyphi C (S Hirschfeldii)

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif

mempunyai flagela tidak berkapsul tidak membentuk spora fakultatif anaerob Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein

dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin

Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi

terhadap multipel antibiotik3

Patofosiologi

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism

yaitu 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch 2) bakteri bertahan hidup dan

bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch nodus limfatikus mesenterica dan organ- organ

extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah 4)

32

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 33: IPD-Laporan Kasus 1

produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan

permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

lumen intestinal2

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum Bila

respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel

epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch merupakan port de

entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria Di lamina propria kuman berkembang

biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag Kuman dapat hidup dan berkembang

biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian

kelenjar getah bening mesenterika

Selanjutnya melalui ductus thoracicus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa Di organ- organ

RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau

ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan

bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik2

Di dalam hepar kuman masuk ke dalam kandung empedu berkembang biak dan bersama

cairan empedu diekskresikan secara ldquointermittenrdquo ke dalam lumen usus Sebagian kuman

dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus

Proses yang sama terulang kembali berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka

pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang

selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam malaise mialgia

sakit kepala sakit perut diare diselingi konstipasi sampai gangguan mental dalam hal ini adalah

delirium Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau

yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut2

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hyperplasia jaringan dan

nekrosis organ) Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer

33

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 34: IPD-Laporan Kasus 1

patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di

dinding usus

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot serosa usus

dan dapat mengakibatkan perforasi Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler

dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler respirasi

dan gangguan organ lainnya2

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus Diduga

endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar lien folikel usus

halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain Produk dari

makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel sistem

vaskuler yang tidak stabil demam depresi sumsum tulang kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologis2

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis akan

lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak terutama pada penderita yang

lebih muda seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 ndash 20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3

hari dan terpanjang 60 hari Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah

kuman yang ditelan keadaan umumstatus gizi serta status imunologis penderita3

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi secara garis besar gejala-gejala

yang timbul dapat dikelompokkan

Demam satu minggu atau lebih

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya seperti demam nyeri kepala anoreksia mual muntah diare konstipasi Pada

pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat Setelah minggu kedua gejala

34

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 35: IPD-Laporan Kasus 1

tanda klinis menjadi makin jelas berupa demam remiten lidah tifoid pembesaran hati dan

limpa perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang dewasa

kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern dapat pula mendadak

tinggi dan remiten (39 ndash 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid

kongenital

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering diolapisi selaput tebal di bagian belakang tampak lebih pucat

di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan Bila penyakit makin progresif akan terjadi

deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 ndash 4 mm berwarna merah pucat

serta hilang pada penekanan Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut dada kadang-kadang

di bokong ataupun bagian fleksor lengan atas

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus

dibedakan dengan pembesaran karena malaria Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak

progresif dengan konsistensi lebih lunak

Rose spot suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 ndash 5 mm

sering kali dijumpai pada daerah abdomen toraks ekstremitas dan punggung pada orang kulit

putih tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia Ruam ini muncul pada hari ke 7

ndash 10 dan bertahan selama 2 -3 hari3

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di LabSMF Ilmu Kesehatan Anak FK

UnairRSU DrSoetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya Styphi dalam darah dan 85 telah mendapatkan terapi

antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit

penderita didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut panas (100)

anoreksia (88) nyeri perut (49) muntah (46) obstipasi (43) dan diare (31) Dari

pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16) somnolen (5) dan sopor (1) serta

lidah kotor (54) meteorismus (66) hepatomegali (67) dan splenomegali (7)10 Hal ini

sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (3947) sembelit (1579)

35

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 36: IPD-Laporan Kasus 1

sakit kepala (7632) nyeri perut (605) muntah (2632) mual (4211) gangguan

kesadaran (3421) apatis (3158) dan delirium (263) Sedangkan tanda klinis yang lebih

jarang dijumpai adalah disorientasi bradikardi relatif ronki sangat toksik kaku kuduk

penurunan pendengaran stupor dan kelainan neurologis fokal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok yaitu

1 Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan

peningkatan laju endap darah gangguan eritrosit normokrom normositer yang diduga karena

efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus Tidak selalu ditemukan leukopenia

diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis terutama bila disertai komplikasi

lain Trombosit jumlahnya menurun gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif

aneosinofilia dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan

penyakitnya SGOT dan SGPT seringkali meningkat tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler eritroid dan mieloid sistem normal

jumlah megakariosit dalam batas normal3

2 Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan

mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S typhi maupun mendeteksi antigen itu

sendiri Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang

diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam

proses diagnostik demam tifoid Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S typhi oleh karena tergantung pada

jenis antigen jenis spesimen yang diperiksa teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut

jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit)3

36

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 37: IPD-Laporan Kasus 1

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman

Styphi yaitu uji Widal Uji telah digunakan sejak tahun 1896 Pada uji Widal terjadi reaksi

aglutinasi antara antigen kuman Styphi dengan antibodi yang disebut aglutinin Prinsip uji Widal

adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam

jumlah yang sama Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi Pengenceran

tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum3

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita

tersangka demam tifoid yaitu

1 Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2 Aglutinin H (flagel kuman)

3 Aglutinin Vi (simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis

demam tifoid Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O Antibodi H

timbul lebih lambat namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun sedangkan antibodi

O lebih cepat hilang Pada seseorang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai

setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan ndash 2 tahun Antibodi

Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit Pada

pengidap Styphi antibodi Vi cenderung meningkat Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk

menentukan diagnosis infeksi tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap Styphi3

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ge 140 dengan memakai uji widal slide

aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal

positif 96 Artinya apabila hasil tes positif 96 kasus benar sakit demam tifoid akan tetapi

apabila negatif tidak menyingkirkan Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin

sekali periksa ge 1200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam

tifoid dapat ditegakkan Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S typhi (karier) Banyak

37

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 38: IPD-Laporan Kasus 1

peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul

positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif

b) Tes TUBEX

Tes TUBEXreg merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan

cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan

sensitivitas Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D Tes ini sangat akurat dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG

dalam waktu beberapa menit3

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEXreg ini beberapa

penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

yang lebih baik daripada uji Widal Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil

sensitivitas 100 dan spesifisitas 10015 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78

dan spesifisitas sebesar 899 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal dapat digunakan

untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat mudah dan sederhana terutama di negara

berkembang3

Ada 4 interpretasi hasil

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian

Skala 4-5 adalah Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala gt 6 adalah positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG

terhadap antigen OMP 50 kD S typhi Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi

pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid

pada fase pertengahan infeksi Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut konvalesen dan reinfeksi Pada metode Typhidot-Mreg yang

merupakan modifikasi dari metode Typhidotreg telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

38

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 39: IPD-Laporan Kasus 1

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik3

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG

IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9 antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan

antibodi terhadap antigen Vi S typhi Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 pada sampel darah 73 pada sampel feses

dan 40 pada sampel sumsum tulang Pada penderita yang didapatkan S typhi pada darahnya

uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65 pada satu kali pemeriksaan dan 95

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 10018 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap

sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100 pada deteksi

antigen Vi serta masing-masing 44 pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd Pemeriksaan

terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya

cukup menjanjikan terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul namun

juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis3

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat

mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S typhi dengan menggunakan membran

nitroselulosa yang mengandung antigen S typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-

human immobilized sebagai reagen kontrol Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang

sudah distabilkan tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap3

Uji ini terbukti mudah dilakukan hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih

besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur

negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas3

3 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S typhi dalam

biakan dari darah urine feses sumsum tulang cairan duodenum atau dari rose spots Berkaitan

39

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 40: IPD-Laporan Kasus 1

dengan patogenesis penyakit maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan

feses

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak

menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil (2) perbandingan

volume darah dari media empedu dan (3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4

mL Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 05-1 mL

Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri

dalam darah Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil

positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk Styphi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media

Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S typhi dan S paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut3

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan

penyakit Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80 atau 70-90 dari penderita

pada minggu pertama sakit dan positif 10-50 pada akhir minggu ketiga Sensitivitasnya akan

menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai

dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15) hingga minggu ketiga (75) dan turun

secara perlahan Biakan urine positif setelah minggu pertama Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada

80-95 kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan

terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga

tidak dipakai dalam praktek sehari-hari Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada

spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan

tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak Salah satu

40

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 41: IPD-Laporan Kasus 1

penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hampir sama dengan kultur sumsum tulang3

Kegagalan dalam isolasibiakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang

digunakan adanya penggunaan antibiotika jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah

volume spesimen yang tidak mencukupi dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat

Walaupun spesifisitasnya tinggi pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan

adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai

metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita3

4 Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam

nukleat) gen flagellin bakteri S typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau

amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi

yang spesifik untuk S typhi

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100 dengan

sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi

1-5 bakterimL darah Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar

63 bila dibandingkan dengan kultur darah (137) dan uji Widal (356)

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses

PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam

spesimen feses) biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit Usaha untuk melacak

DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian3

Diagnosa

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah inkubasi

dapat dibagi dalam (1) demam (2) gangguan saluran pencernaan dan (3) gangguan kesadaran

Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional

41

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 42: IPD-Laporan Kasus 1

seperti nyeri kepala malaise anoreksia letargi nyeri dan kekakuan abdomen pembesaran hati

dan limpa serta gangguan status mental Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal

awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare Diare hanya terjadi pada setengah dari

anak yang terinfeksi sedangkan sembelit lebih jarang terjadi Dalam waktu seminggu panas

dapat meningkat Lemah anoreksia penurunan berat badan nyeri abdomen dan diare menjadi

berat Dapat dijumpai depresi mental dan delirium Keadaan suhu tubuh tinggi dengan

bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa Rose spots (bercak

makulopapular) ukuran 1-6 mm dapat timbul pada kulit dada dan abdomen ditemukan pada 40-

80 penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari) Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu

gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan3

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan

bahkan asimtomatik Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya

berdasarkan gejala klinis Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu

ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan Pemeriksaan laboratorium untuk

membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi serologis dan

bakteriologis3

Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik istirahat sangat membantu Pasien harus diedukasi

untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan3

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi usus

Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi Diet untuk

penderita demam tifoid basanya diklasifikasikan atas diet cair bubur lunak tim dan nasi biasa

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup baik secara oral maupun parenteral Cairan

parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat ada komplikasi penurunan kesadaran serta

42

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 43: IPD-Laporan Kasus 1

yang sulit makan Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal Kebutuhan kalori

anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus

melalui sumsum tulang belakang Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus

dirangsang sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi

perifer Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata

dari tangkai otak dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi

Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan kehilangan energi panas melalui kulit

meningkat (berkeringat) diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden (2010)

bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus Jika suhu tubuh

meningkat maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya3

Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10

mgkgkali minum sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena

mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan

kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin Bila tidak mampu intake peroral

dapat diberikan via parenteral obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung

Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah3

Chloramphenicol merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mgkghari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mgkghari

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun Pemberian In-

43

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 44: IPD-Laporan Kasus 1

tra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan

dan tempat suntikan terasa nyeri Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi

sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari Kelemahan dari antibiotik jenis

ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh dan carier

Cotrimoxazole merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sul-

fametoxazole dengan perbandingan 15 Dosis Trimetoprim 10 mgkghari dan Sul-

fametoxzazole 50 mgkghari dibagi dalam 2 dosis Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mgkgkali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik Leukopenia dan granu-

lositopenia Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan re-

sisten

Ampicillin dan Amoxicillin memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mgkghari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone Cefotaxim Cefixime) merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cot-

rimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi Ceftriaxone merupakan

prototipnya dengan dosis 100 mgkghari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4

gramhari) selama 5-7 hari Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mgkghari

dibagi dalam 3-4 dosis Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime

10-15 mgkghari selama 10 hari

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium stupor koma sampai syok dapat

diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mgkg dalam 30 menit untuk dosis awal

dilanjutkan 1 mgkg tiap 6 jam sampai 48 jam

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan tranfusi

darah Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan laparotomi disertai

penambahan antibiotika metronidazol3

44

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 45: IPD-Laporan Kasus 1

Diagnosa Banding

Demam Berdarah Dengue

Demam bifasik akut 2-7 hari nyeri kepala nyeri retroorbital mialgia ruam gusi

berdarah mimisan nyeri perut mualmuntah hematemesis melena tinggal di daerah endemis

Pada pemeriksaan fisik didapati suhu gt 375 0C terdapat perdarahan mukosa Dari pemeriksaan

penunjang ditemukan leucopenia (cenderung) bukti kebocoran plasma (peningkatan hematokrit

20 dari standar usia) trombositopenia

Malaria

ldquoTrias Malariardquo demam periodik (periode demam dingin berkeringat) sakit kepala

nyeri otot dan persendian nafsu makan menurun sakit perut mual muntah diare riwayat pergi

ke daerah endemis dalam satu bulan lalu riwayat transfuse darah

Daftar Pustaka

1 Dahlan Z 2006 Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Pulmonologi Pusat Penerbitan De-

partemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

2 Price SA Wilson LM 2005 Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi

6 Volume 2 Penerbit EGC Jakarta

3 Aru W Bambang Idrus A Marcellus Siti S ed Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

Edisi 4 Jakarta Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM 2007

4 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Komuniti2003

5 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan

Pneumonia Nosokomial2003

6 Barlett JG Dowell SF Mondell LA File TM Mushor DM Fine MJ Practice guidelines

for management community-acquiredd pneumonia in adults Clin infect Dis 2000 31

347-82

7 Mandell LA IDSAATS consensus guidelines on the management of community-

acquired pneumonia in adults CID 200744S27

45

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4
Page 46: IPD-Laporan Kasus 1

8 Menendez R Treatment failure in community-acquired pneumonia 0071321348

9 Niederman MS Recent advances in community-acquired pneumonia inpatient and

outpatient Chest 20071311205

10 Soedarsono 2004 Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Bagian Ilmu Penyakit Paru FK UN-

AIR Surabaya

46

  • Refleks
  • Kanan
  • Kiri
  • Refleks Tendon
  • Positif
  • Positif
  • Bisep
  • Positif
  • Positif
  • Trisep
  • Positif
  • Positif
  • Patela
  • Positif
  • Positif
  • Achiles
  • Positif
  • Positif
  • Refleks Patologis
  • Negatif
  • Negatif
  • Riwayat Keluarga
    • ANAMNESIS SISTEM
      • Riwayat Kelahiran
      • C PEMERIKSAAN PENUNJANG
        • Klasifikasi Pneumonia
        • Terutama pada jaringan penyangga yaitu interstitial dinding bronkus dan peribronkil Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat diliputi perselubungan yang tidak merata4