interaksi obat.docx

17
INTERAKSI OBAT-RESEPTOR Ligan seperti hormon atau neurotransmiter ibarat sebuah anak kunci yang berikatan pada reseptor spesifik (yang berperan sebagai lubang kunci). Interaksi ini membuka respon sel. Obat mirip ligan, bila berinteraksi dengan resesptor memberikan respon yang sama dengan ligan, merupakan agonis sehingga bisa membuka kunci. Obat lain yang bekerja berlawanan disebut antagonis. Kurva dosis respon Hubungan antara interaksi obat-reseptor dengan respon obat dinyatakan dengan persamaan berikut : Pada keseimbangan: k1/k-1 = konstanta afinitas k-1/k1 = konstanta disosiasi (kd) Semakin rendah kd semakin poten obat. Afinitas Afinitas adalah ukuran kemampuan obat untuk berikatan pada reseptor. Ikatan kovalen menghasilkan afinitas kuat, interaksi stabil dan ireversibel. Ikatan elektrostatik bisa menghasilkan afinitas kuat atau lemah, biasanya bersifat reversibel.

Upload: epril-lylia

Post on 20-Dec-2015

137 views

Category:

Documents


34 download

TRANSCRIPT

Page 1: INTERAKSI OBAT.docx

INTERAKSI OBAT-RESEPTOR

Ligan seperti hormon atau neurotransmiter ibarat sebuah anak kunci yang

berikatan pada reseptor spesifik (yang berperan sebagai lubang kunci). Interaksi

ini membuka respon sel. Obat mirip ligan, bila berinteraksi dengan resesptor

memberikan respon yang sama dengan ligan, merupakan agonis sehingga bisa

membuka kunci. Obat lain yang bekerja berlawanan disebut antagonis.

Kurva dosis respon

Hubungan antara interaksi obat-reseptor dengan respon obat dinyatakan dengan

persamaan

berikut :

Pada keseimbangan:

k1/k-1 = konstanta afinitask-1/k1 = konstanta disosiasi (kd)

Semakin rendah kd semakin poten obat.

Afinitas

Afinitas adalah ukuran kemampuan obat untuk berikatan pada reseptor. Ikatan

kovalen menghasilkan afinitas kuat, interaksi stabil dan ireversibel. Ikatan

elektrostatik bisa menghasilkan afinitas kuat atau lemah, biasanya bersifat

reversibel.

Efikasi

Page 2: INTERAKSI OBAT.docx

Efikasi (atau aktivitas intrinsik) merupakan kemampuan obat terikat untuk

mengubah reseptor sehingga memberikan efek; beberapa obat bisa mempunyai

afinitas tapi tidak menunjukkan efikasi.

Dimana:

Keterangan :

• Ke (k1/k-1) disebut konstanta afinitas

• DR = respon; D = konsentrasi obat

• Saat DR = 50 % (efek setengah dari maksimal), D (or EC50) sama

dengan kd atau lawan dari konstanta afinitas

• respons merupakan ukuran efikasi

• Obat dengan kurva dosis-respon yang paralel sering mempunyai

mekanisme kerja yang sama

Skala dosis aritmetik :

Laju perubahan efek cepat pada awal dan melambat pada peningkatan dosis. Saat

Page 3: INTERAKSI OBAT.docx

peningkatan dosis tidak lagi mengubah efek, dicapai efek maksimal. Sulit untuk

dianalisis secara matematis pada kurva dosis aritmetik.

Skala Log Dosis :

Kurva logaritmik mengubah kurva hiperbolik menjadi sigmoid (mendekati garis

lurus). Hal ini lebih menguntungkan dibanding skala dosis, karena proporsi dosis

setara dengan efek sehingga mudah dianalisis secara matematis

Potensi

Potensi merupakan posisi relatif kurva dosis-efek pada sumbu dosis. Namun

signifikansi secara klinis kecil, karena obat yang lebih poten belum tentu lebih

baik secara klinis. Obat berpotensi rendah tidak menguntungkan hanya jika

menyebabkan dosis terlalu besar sehingga sukar diberikan

Contoh : potensi relatif antara berbagai analgesik. Jika hanya dibutuhkan respon

analgesik rendah, pemberian aspirin dengan dosis 500 mg masih bisa menjadi

pilihan dari pada golongan narkotik. Namun jika dibutuhkan efek analgesik kuat,

dipilih golongan narkotik.

Page 4: INTERAKSI OBAT.docx

Agonis and antagonis

Agonis adalah obat yang berinteraksi dengan dan mengaktifkan reseptor,

mempunyai afinitas dan efikasi (aktivitas intrinsik). Antagonis mempunyai

afinitas tapi tanpa aktivitas intrinsik.

Ada 2 tipe agonis :

– Agonis penuh, adalah agonis dengan efikasi maksimal

– Agonis Parsial, adalah agonis dengan efikasi kurang maksimal.

Antagonist berinteraksi dengan reseptor tapi tidak mengubah reseptor. Antagonis

mempunyai afinitas tapi tidak mempunyai efikasi. Ada 2 tipe antagonis :

– Antagonis kompetitif

Antagonis kompetitif berkompetisi dengan agonis untuk menduduki reseptor.

Antagonis ini dapat diatasi dengan peningkatan dosis agonis. Antagonis

menggeser kurva dosis respon agonis ke kanan, mengurangi afinitas agonis.

– Antagonis nonkompetitif.

Antagonis nonkompetitif berikatan pada reseptor dan bersifat ireversibel.

Antagonis nonkompetitif menyebabkan sedikit pergeseran ke kanan kurva dosis

respon agonis pada kadar rendah. Semakin banyak reseptor diduduki, agonis

menjadi tidak mungkin mencapai efek maksimal.

Page 5: INTERAKSI OBAT.docx

Efektivitas, Toksisitas, Letalitas

• ED50 – Dosis efektif tengah; dosis dimana 50% populasi/sampel menunjukkan

efek (dari kurva DR kuantal)

• TD50 – Dosis toksis tengah – dosis dimana 50% populasi menunjukkan

efektoksik

• LD50 – Dosis letal tengah – dosis yang membunuh 50% subjek

Kuantifikasi keamanan obat

Semakin tinggi indeks terapi (IT) semakin baik. IT bervariasi dari 1,0 (beberapa

obat kanker) hingga >1000 (penicillin). Obat yang bekerja pada reseptor atau

enzim yang sama sering mempunyai nilai IT yang sama.

Page 6: INTERAKSI OBAT.docx

A.TEORI OBAT RESEPTOR

Mekanisme timbulnya respon biologis dapat dijelaskan dengan teori interaksi

obatreseptor.

Ada beberapa teori interaksi obat-reseptor, antara lain:

1. Teori Klasik

Ehrlich (1907) memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana

tentang interaksi antara obat-reseptor, dimana obat tidak akan dapat menimbulkan

efek tanpa mengikat reseptor. Interaksi yang terjadi antara struktur dalam tubuh

(sisi reseptor) dengan molekul asing yang sesuai (obat) yang saling mengisi akan

menimbulkan suatu respon biologis.

2. Teori Pendudukan

Dikemukakan oleh Clark pada tahun 1926. Teori ini memperkirakan satu molekul

obat akan menempati satu sisi reseptor. Obat harus diberikan dalam jumlah

berlebih agar tetap efektif selama proses pembentukan kompleks. Besar efek

biologis yang terjadi sesuai dengan jumlah reseptor spesifik yang diduduki

molekul obat yang juga sebanding dengan banyak kompleks obat-reseptor yang

terbentuk.

Page 7: INTERAKSI OBAT.docx

Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat

menunjang afinitas interaksi obat dengan reseptor dan mempunyai efisiensi untuk

menimbulkan respon biologis akibat kompleks obat – resptor. Jadi respon biologis

merupakan fungsi dari jumlah kompleks obat-reseptor. Respon biologis yang

terjadi dapat merupakan rangsangan aktivitas (efek agonis) dan pengurangan

aktivitas (efek antagonis).

Ariens (1954) dan Stephenson (1959), memodifikasi dan membagi interaksi

obat-reseptor menjadi dua tahap yaitu:

a)  Pembentukan komplek obat-reseptor

b)  Menghasilkan respon biologis

Setiap struktur  molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas  dapat

menunjang afinitas interaksi obat reseptor dan memiliki efisiensi untuk

menimbulkan respon biologis sebagai akibat pembentukan komplek. Proses

interaksinya adalah sebagai berikut:

-  Afinitas Afinitas merupakan ukuran kemampuan obat untuk mengikat

reseptor. Afinitas sangat bergantung dari struktur molekul obat dan sisi

reseptor.

O + R  <===> komplek OR → respon biologis

-  Efikasi (aktivitas instrinsik) adalah ukuran kemampuan obat untuk memulai

timbulnya respon biologis.

O + R <===> O-R → respon (+):  senyawa agonis

(afinitas besar dan aktivitas instrinsik =1)

O + R <===> O-R → respon (-): senyawa antagonis

(afinitas besar dan aktivitas instrinsik = 0)

3. Teori Kecepatan

Croxatto dan Huidobro (1956), memberikan postulat bahwa obat hanya

efisien pada saat berinteraksi dengan reseptor. Kemudian teori ini dijelaskan oleh

Paton (1961) yang mengemukakan bahwa efek biologis setara dengan kecepatan

ikatan obatreseptor dan bukan dari jumlah reseptor yang diduduki oleh obat. Pada

teori ini, tipe kerja obat ditentukan oleh kecepatan penggabungan (asosisasi) dan

peruraian (disosiasi) komplek obat-reseptor dan bukan dari pembentukan komplek

obat-reseptor yang stabil. Senyawa dikatakan agonis jika kecepatan asosiasi (sifat

Page 8: INTERAKSI OBAT.docx

mengikat reseptor) dan disosiasi besar. Senyawa dikatakan antagonis jika

kecepatan asosiasi sangat besar sedangkan disosiasinya kecil. Dan senyawa agonis

parsial adalah jika kecepatan asosiasi dan disosiasinya tidak maksimal.

4. Teori Kesesuaian Terimbas (Fit-induced Theory)

Koshland (1958) mengemukakan bahwa ikatan enzim dan substrat dapat

menginduksi terjadinya perubahan konformasi struktur enzim sehingga

menyebabkan orientasi gugus-gugus enzim. Diduga bahwa enzim atau protein

membran memegang peranan penting dalam pengangkutan ion. Bila perubahan

struktur protein mengarah pada konfigurasi sehingga obat tidak terikat kuat dan

mudah terdisosiasi maka terjadi efek agonis. Sedangkan bila obat menjadi terikat

cukup kuat, maka terjadi efek antagonis.

Contohnya pada pengikatan substrat pada enzim fosfoglukomutase dapat

menginduksi perubahan konformasi enzim. Perubahan konformasi ini

menyebabkan asam amino lisin dan metionin menjadi “tertutup” dan gugus SH

menjadi terbuka. Hal di atas digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan

mekanisme kerja obat pada reseptor. Diduga bahwa enzim atau protein membrane

memegang peranan penting dalam mengatur pengangkutan ion. Substrat, seperti

asetilkolin, akan mengikat reseptor atau protein membran dan mengubah kekuatan

normal yang menstabilkan struktur protein, terjadi penataulangan struktur

membran sehingga sifat pengaturan ion berubah. Bila perubahan struktur protein

mengarah pada konfigurasi sehingga obat terikat kurang kuat dan mudah

terdisosiasi, terjadi efek agonis. Bila interaksi obatprotein mengakibatkan

perubahan struktur protein sehingga obat terikat cukup kuat, terjadi efek

antagonis. Proses interaksi enzim-substrat dijelaskan dengan mekanisme model

tempat aktif elastis. Pada teori ini intinya adalah bahwa reseptor bisa

menyesuaikan bentuk obatnya jika sudah berdekatan dengan obat (Siswandono

dkk, 2000).

5. Teori Gangguan Makromolekul (Teori Usikan Makromolekul)

Menurut Belleau (1964), interaksi mikromolekul obat dengan makromolekul

protein dapat menyebabkan terjadinya perubahan bentuk konformasi reseptor.

Obat agonis mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat mengubah struktur reseptor

menjadi bentuk SCP sehingga menimbulkan respon biologis (Gangguan

Page 9: INTERAKSI OBAT.docx

konformasi spesifik). Sedangkan obat antagonis tidak mempunyai aktivitas

intrinsik dan dapat mengubah struktur reseptor menjadi bentuk NSCP sehingga

menimbulkan efek pemblokan (Gangguan konformasi tidak spesifik). Contohnya:

Garam akriltrimetilamonium pada reseptor muskarinik atau asetilkolinesterase,

antihistamin pada reseptor histamin A (Siswandono dkk, 2000).

6. Teori Pendudukan-Aktivasi

Ariens dan Rodrigues de Miranda (1979) mengemukakan bahwa sebelum

berinteraksi dengan obat, reseptor berada dalam kesetimbangan dinamik antara

dua keadaan yang berbeda fungsinya, yaitu

a. Bentuk teraktifkan yang dapat menunjang efek biologi dan

b. Bentuk istirahat yang tidak dapat menunjang efek biologis.

Senyawa dikatakan agonis bila keseimbangan menuju ke bentuk teraktifkan.

Senyawa dikatakan antagonis bila keseimbangan menuju ke bentuk istirahat. Dan

senyawa dikatakan agonis parsial bila terjadi bentuk dari keduanya.

Reseptor dari banyak senyawa bioaktif endogen, seperti asetilkolin, histamin,

norepinefrin, hormon peptida, dan serotonin, terikat pada protein membran yang

bersifat amfifil. Senyawa agonis biasanya bersifat sangat polar, distabilkan oleh

bentuk konformasi reseptor yang relatif polar dan akan menggeser kesetimbangan

menuju ke bentuk teraktifkan yang bersifat lebih hidrofil. Senyawa antagonis

mempunyai gugus-gugus yang bersifat hidrofob, distabilkan oleh reseptor yang

bersifat hidrofob dan dalam keadaan istirahat sehingga akan menggeser

keseimbangan menuju ke bentuk istirahat. Tempat pengikatan senyawa agonis dan

antagonis tidak perlu ditunjang oleh hubungan struktur dari masing-masing obat

(Siswandono dkk,2000).

7. Konsep Kurir Kedua (Second Messenger)

Reseptor dari banyak hormon berhubungan erat dengan sistem adenil siklase.

Sebagai contoh katekolamin, glucagon, hormon paratiroid, serotonin, dan

histamine telah menunjukkan pengaruhnya terhadap kadar siklik-AMP. Interaksi

hormonreseptor dapat mempengaruhi kadar siklik-AMP dalam intrasel,

tergantung dari rangsangan dari adenilsiklase. Bila rangsangan tersebut

Page 10: INTERAKSI OBAT.docx

meningkatkan kadar siklik-AMP, hormon dianggap sebagai first messenger,

sedangkan siklik-AMP sebagai second messenger.

8. Teori Mekanisme dan Farmakofor sebagai dasar Rancangan Obat

Hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: Obat hipertensi penghambat

kompetitif enzim pengubah angiotensin (ACE) seperti kaptopril dapat mencegah

perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga menimbulkan efek

peningkatan tekanan darah. Interaksi kaptopril dengan ACE dapat berlangsung

karena adanya gugus-gugus farmakofor spesifik dan hal ini dapat digunakan untuk

merancang turunan kaptopril lain seperti enalapril dan lisinopril. Enalapril

mempunyai masa kerja lebih panjang karena mengandung gugus-gugus yang

bersifat lebih lipofil.

B. IKATAN YANG TERLIBAT DALAM INTERAKSI OBAT-RESEPTOR

Respons biologis terjadi akibat adanya interaksi molekul obat dengan gugus

fungsional molekul reseptor. Interaksi ini dapat berlangsung karena adanya

kekuatan ikatan kimia tertentu. Pada umumnya ikatan obat-reseptor bersifat

reversible sehingga obat segera meninggalkan reseptor bila kadar obat dalam

cairan ekstrasel menurun. Untuk ini ikatan yang terlibat pada interaksi obat-

reseptor relatif lemah tapi masih cukup kuat untuk berkompetisi dengan ikatan

lain. Pada interaksi obat dengan reseptor, senyawa dapat menggabungkan

beberapa ikatan yang lemah sehingga secara total menghasilkan ikatan yang

cukup kuat dan stabil (Siswandono, 2000).

Page 11: INTERAKSI OBAT.docx

Ikatan obat-reseptor antara lain sebagai berikut :

Contoh :Ikatan kovalen terbentuk bila ada dua atom saling menggunakan

sepasang

elektron secara bersama-sama. Ikatan kovalen merupakan ikatan kimia yang

paling kuat dengan rata-rata kekuatan ikatan 100 kkal/mol. Dengan kekuatan

ikatan yang tinggi ini, pada suhu normal ikatan bersifat reversible dan hanya dapat

pecah bila ada pengaruh katalisator enzim tertentu. Interaksi obat-reseptor melalui

ikatan kovalen menghasilkan ikatan yang cukup stabil, dan sifat ini dapat

digunakan untuk tujuan pengobatan tertentu (Siswandono dkk, 2000). Ikatan

kovalen merupakan interaksiobat-reseptor yang jarang terjadi selain pada enzim

dan DNA (Istyastono, 2006).

Contoh obat yang mekanisme kerjanya melibatkan ikatan kovalen :

Turunan nitrogen mustar

Turunan nitrogen mustard adalah senyawa pengalkilasi yang pada umumnya

digunakan sebagai obat antikanker. Contoh : mekloretamin, siklofosfamid,

Page 12: INTERAKSI OBAT.docx

klorambusil, dan tiotepa. Mekanisme kerjanya dengan cara senyawa dapat

melepas Cl- dan membentuk kation antara yang tidak stabil yaitu ion etilen

imonium, kemudian diikuti pemecahan cincin membentuk ion karbonium yang

bersifat reaktif. Ion ini dapat bereaksi via reaksi alkilasi, dengan gugus elektron

donor, seperti gugus karboksilat, fosfat dan sulfhidril pada rantai asam amino,

asam nukleat dan protein yg sangat dibutuhkan untuk proses biosintesis sel.

Akibatnya proses pembentuan sel menjadi terganggu dan pertumbuhan sel kanker

dihambat.