interaksi infeksi dan penyakit autoimun
TRANSCRIPT
REFERATINTERAKSI INFEKSI DENGAN PENYAKIT AUTOIMUN
DISUSUN OLEH :THIRAFI PRASTITO
1102012294
PEMBIMBING : Dr. dr. Soroy Lardo, SpPD,FINASIMDivisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen Penyakit DalamRSPAD Gatot Soebroto /Fakultas Kedokteran UPV Veteran Jakarta
PENDAHULUAN
Pada hakikatnya interaksi antara infeksi dan penyakit autoimun bisa
beraneka ragam meliputi :
Pengaruh infeksi terhadap penyakit autoimun, efek protektif respons imun
infeksi pada penyakit autoimun, serta dampak penyakit autoimun terhadap
perjalanan penyakit.
INTERAKSI INFEKSI DENGAN PENYAKIT AUTOIMUN
Interaksi antara infeksi dan penyakit autoimun adalah
1. Infeksi menginduksi penyakit autoimun
2. Infeksi memperberat dan atau memicu eksaserbasi penyakit autoimun
3. Infeksi mencegah munculnya penyakit autoimun
4. Penyakit autoimun terutama terkait status imun dana tau sedang mendapatkan intervensi terapi
imunosupresan jangka lama akan memicu perkembangan infeksi ke gradasi berat dalam
waktu singkat.
INFEKSI SEBAGAI PEMICU PENYAKIT AUTOIMUN
Mikroorganisme memfasilitasi sinyal spesifik antigen semacam molekul atau
melalui mobilisasi antigen endogen
Memicu proses inflamasi, menggerakkan sinyal nonspesifik antigen yang
meningkatkan respons imun melalui efek adjuvant
Proses ini dapat dipicu oleh antigen tunggal atau multiantigen mikroorganisme sehingga
muncul penyakit autoimun. Antigen mikroorganisme sebagai pemicu tersebut dapat berasal dari
bakteri, virus, protozoa, maupun mikroplasma. Selain sitokin pemicu inflamasi sistemik, maka
komponen peptidoglikan, endotoksin mikroorganisme dapat berperan dalam memicu penyakit
autoimun.
DAMPAK VIRUS TERHADAP PENYAKIT AUTOIMUN
Infeksi virus rubella, hepatitis B, virus Epstein barr dapat pula sebagai pemicu penyakit
autoimun yang diduga menyebabkan terjadi perubahan respons imun terhadap antigen eksogen
maupun antigen endogen, meskupun hal ini memerlukan penelitian lanjut.
DAMPAK BAKTERI, JAMUR, DAN PROTOZOA TERHADAP PENYAKIT AUTOIMUN
Pada demam reuma, bakteri streptokok sebagai pemicu faringitis akut yang berlangsung 2-4
minggu sebelumnya. Selanjutnya memicu tiga gejala utama yaitu artritis, karditis dan chorea.
Pada chorea ditandai gerakan tak terkendali dari otot muka, lengan dan tungkai. Pada
pemeriksaan imunologis didapatkan antibody yang bereaksi dengan protein M dari bakteri
penyebab. Antigen streptokok tersebut memiliki epitope mirip dengan jaringan miokard jantung
manusia dan antibody terhadap streptokok dan menyerang jantung. Antigen streptokok bereaksi
silang dengan antigen otot jantung, menimbulkan kerusakan dan penyakit demam reuma.
INFEKSI PEMICU EKSASERBASI PENYAKIT AUTOIMUN
Helicobacter pylori (Hp) merupakan bakteri yang banyak di mukosa lambung. Hp sering sebagai
penyebab gastritis, tukak peptic, keganasan gaster, limfoma terkait jaringan limfoid mukosa.
Akhir-akhir ini Hp ditemukan terkait penyakit autoimun seperti artritis rematoid, tiroidits
autoimun, sindrom sjorgen, purpura schonlein Henoch, dan purpura trombositopenik autoimun.
Hp berperan sebagai mamicu respons
imun
Autoreaktif molekul sehingga diproduksi sitokin proinflamatori dalam kadar tinggi
Merusak mukosa melalui proses autoimun
GENETIK
Kembar siam monozigot, salah satu diantaranya dapat mengalami eksaserbasi sclerosis multiple, maka kembarannya sekitar 25-30% juga mengalami eksaserbasi sclerosis multiple
interaksi HLA pada sclerosis multiple terutama HLA DRw15, DQ w6, Dw2 pada beberapa bangsa eropa Caucasian dan amerika utara
Infeksi virus campak mempunyai pengaruh sekitar 90% terhadap kembar monozigot untuk memunculkan sclerosis multiple. Jadi factor infeksi terutama akibat sekitar 24 jenis virus maupun bakteri, keduanya dapat sebagai pencetus serangan ulang sclerosis multiple. mekanismenya melalui induksi IL-2, IL-6 dan IFN-y.
INFEKSI PADA PENYAKIT AUTOIMUN
Penyakit autoimun yang jatuh ke posisi imunokompromais, membuka peluang spectrum infeksi menjadi luas dan
cenderung berat. Hal tersebut akibat pengaruh multimikroorganisme dan menurunnya system imun tubuh inang.
Hasil akhir kejadian infeksi sangat dipengaruhi oleh kecepatan mengenal organisme penyebab infeksi, kepekaan
organisme penyebab infeksi tersebut terhadap antimikroba, interaksi dengan respons imun tubuh, serta kecepatan kita
bertindak.
Penyakit infeksi bila tidak mendapat penatalaksanaan optimal dapat menjadi ancaman serius, potensial berkembang
ke infeksi berat dan sepsis. Penyulit sepsis yang yang paling berbahaya adalah syok septik dan sindrom disfungsi
multiorgan (MODS). Hal ini merupakan kondisi serius dengan angka kematian yang tinggi.
Faktor internalYang sangat menentukan adalah factor imun, status nutrisi, dan proses apoptosis, serta penyakit dasar yang telah ada termasuk penyakit autoimun.
System imun terdesak ke posisi imunokompromais
akibat terapi imunosupresan jangka
lama atau akibat progresivitas penyakit
sendiri
Individu menjadi rentan terhadap infeksi
Lemahnya system imun tubuh membuka
peluang mikroorganisme untuk tumbuh kembang tak
terkendali
Potensial berkembang kearah gradasi infeksi berat
dan sepsis
Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan kegagalan mekanisme normal dalam toleransi sel sendiri.
Autoimunitas terjadi karena antigen sendiri dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan berbagai organ. Antibody maupun sel T dapat mempunyai peran dalam pathogenesis penyakit autoimun.
AUTOIMUNITAS
InfeksiRespons imun tubuh akan
berusaha melawan antigen mikroorganisme yang
masuk
Bila reaksi berlangsung berlebihan atau mikroorganisme
mampu bertahan persisten sebagai inductor
Penyakit autoimun
Antibody yang terbentuk akan mengikat antigen
mikroorganisme membentuk kompleks imun
Antigen pemicu disebut autoantigen, sedangkan antibody
yang dibentuk disebut autoantibodi
Menempel pada jaringan memicu
inflamasi
Sel autoreaktif yang diinduksi infeksi
adalah limfosit yang mempunyai reseptor
autoimun
Respons autoimun
Intervensi mikroorganisme terhadap sel sasaran berakibat disekresi sitokin. Berbagai sitokin
inflamatori yang dapat terlibat selama infeksi, infeksi berat, dan sepsis antara lain adalah IL-1β,
IL-6, TNFα, MIP-2α. Di samping sitokin inflamatori juga ikut terlibat sitokin antiinflamatori
antara lain IL-10, IL-IRA, reseptor soluble TNF I dan II.
Peningkatan kadar TNFα, IL-1β dan IL-6 mencetuskan berbagai gambaran sepsis termasuk
demam, takikardia, takipnea, leukositosis, myalgia dan somnolen. Kadar TNFα yang tinggi
menginduksi terjadinya syok, koagulasi intravascular diseminata (KID), kegagalan multiorgan
dan kematian. Berbagai sitokin lain, terutama IL-8 juga meningkat kadarnya di tempat infeksi
Pada sepsis juga terjadi aktivasi jalur ekstrinsik maupun intrinsic, terjadi gangguan
fungsi protein C, menghambat jalur protein S dan penurunan antirombin.
Fibrinolysis dapat dihambat melalui peningkatan aktovator inhibitor 1 plasminogen
dalam plasma. Akibatnya terjadi deposisi fibrin intravaskuler, tombosis, serta perdarahan,
terjadi hipotensi dan KID.
PENATALAKSANAAN INFEKSI PADA PENYAKIT AUTOIMUN
Infeksi pada penyakit autoimun perlu mendapatkan perhatian serius terutama yang terdorong
masuk ke status imunokompromais. Pada imunokompromais antimikroba yang diberikan dapat
kombinasi. Hal ini penting mengingat pada imunokompromais kuman yang tumbuh kembang
bisa multimikroorganisme
Antibiotika diberikan berlandaskan peta medan kuman, sumber infeksi, potensi pelepasan
endotoksin. Bila ada indikasi antibiotika diberikan seawal mungkin, memiliki kemampuan
membunuh mikroorganisme, spectrum luas mampu bekerja intra dan ekstraseluler.
Sambil menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologi. Terapi empiris pemberian antimikroba segera
dimulai sedini mungkin dalam 24 jam pertama.
Antimikroba terpilih mempunyai spectrum luas, mampu bekerja lebih awal, potensi menginduksi
resistensi minimal, dapat dikombinasi dengan antibiotika lain, berdasarkan kecurigaan sumber
infeksi, pengecatan gram, peta medan kuman dan pola resistensi setempat, asal infeksi
nasokomial atau komunitas, status imun penderita dan mempertimbangkan factor bacteremia serta
endotoksemia.
Salah satu contoh, sefalosporin generasi empat, imipenem-cilastatin mempunyai
spectrum luas, efektif terhadap bakteri gram positif dan gram negative termasuk strain yang
resisten terhadap aminoglikosida atau sefalosporin generasi ketiga, cukup stabil terhadap
hidrolisis beta lactamase, daya penetrasi tinggi ke dalam dinding sel bakteri gram-negatif.
Jenis antibiotic ini dapat membantu eliminasi bakteri selama infeksi berlangsung.
Tindakan terapi intervensi termasuk insersi pemasangan infus, indwelling
kateter harus dirawat dengan baik agar tidak menambah jumlah dan jenis
mikroorganisme pemicu infeksi. Hal ini perlu diperhatikan mengingat penyakit
autoimun terutama yang dalam posis imunokompromais sangat rentan terhadap
infeksi.
PENCEGAHAN DI RS
Penatalaksanaan penyakit infeksi pada penyakit autoimun dengan situasi imunokompromais,
upaya pencegahan sekunder penting dilakukan. Pertama, mencegah agar infeksi berkembang
ke sepsis. Kedua, agar sepsis tidak menjadi syok septik dan MODS.
Pencegahan dilakukan melalui 2 fase, yaitu fase resusitasi dan perawatan intensif.
PENCEGAHAN
Fase resusitasi Menjamin kecukupan cairan dan elektrolit, monitoring resusitasi cairan dan koreksi gangguan keseimbangan asam-basa, evaluasi pasien dan hindari kelambanan maupun kesalahan diagnosis
Fase perawatan intensifDukungan nutrisi berbasis makronutrien dan mikronutrien sedini mungkin, pasang alat bantu pernafasan bila ada indikasi, berikan antibiotika yang tepat, minimalkan transfuse untuk menghindari penularan mikroorganisme, dan imunoterapi
TERAPI IMUNOGLUBULIN
Infeksi akut yang berkembang pada imunokompromais, maka imunoglobulin mempunyai
peran untuk menginaktivasi toksin dan menghambat laju intervensi berbagai mikroorganisme
termasuk virus dan bakteri. Imunoglobulin mencegah ikatan pada reseptor, mencegah aktivasi
sel target sehingga efektif sebagai terapi ajuvan pada infeksi berat.
IgG eksogen Reseptor Fcγ2b yang
diekspresika pada permukaan
membrane limfosit B
Blokade terhadap aktivitas limfosit
Menurunkan produksi sitokin proinflamatori
Endotel terproteksi, performen vascular dan jantung dapat
dipertahankan optimal
Pada infeksi, imunoglobulin juga mempunyai peran untuk memblokade pengaruh supernatigen, sehingga tidak berpengaruh lebih lanjut terhadap intervensi pada jaringan.
Secara langsung imunoglobulin mengikat reseptor sel T sehingga overstimulasi sel T dapat dihindari, inflamasi yang potensial berlangsung sistemik dapat dihindari, pengaruh autositotoksik dan autoreaktif dapat dicegah.
Imunoglobulin 5S dan 7S di dalam implikasi klinis mempunyai peran strategis terutama dalam
upaya mencegah intervensi mikroorganisme, sebagai terapi substisusi defisiensi imun primer
dan sekunder.
Pemberian IVIG merupakan terapi suplemen pada penatalaksanaan infeksi berat. IVIG dapat
memperbaiki efektivitas antibiotika beta lactam, menurunkan aktivitas mediator inflamasi,
bersama IgG endogen merupakan imunopotensi pada fase akut, mengurangi lama perawatan
infeksi berat.
Pada infeksi, imunoglobulis 5S berperan antiinflamasi dan aktivitas antitoksin. Imunoglobulin 7S lebih berperan sebagai imunomodulasi. Selain itu imunoglobulin
7S juga mempunyai efek netralisasi, dan eliminasi toksin, efek antibakteri, efek antiviral, meningkatkan efek fagositosis makrofag melalui peran reseptor Fc dan
reseptor C3b
IMUNOGLOBULIN 7S
Karena berpotensi mengikat reseptor Fc pada limfosit B berarti mempunyai pengaruh imunosupresan, maka imunoglobulin 7S sesuai dalam penatalaksanaan penyakit autoimun maupun penyakit infeksi yang dilandasi penyakit autoimun. Setelah pemberian imunoglobulin 7S intravena, antibodi akan berusaha mengikat antigen spesifik dan membentuk kompleks imun dilanjutkan dengan upaya eliminasi fagositosis
IMUNOGLOBULIN 5S,
Sebagai molekul bebas dengan waktu paruh 12-36 jam tidak mengikat reseptor Fc, sehingga tidak bersifat imunosupresan. Imunoglobulin 5S lebih banyak dipakai pada infeksi berat karena tidak mengikat reseptor Fc.
Di klinis imunoglobulin dapat dimanfaatkan dalam penatalaksanaan penyakit imunodefisiensi, penyakit infeksi,
dan penyakit autoimun. Sebagai terapi pengganti, imunoglobulin pada penderita defisiensi imunoglobulin (IgG)
yang mengalami infeksi serius berulang. Keadaan ini memerlukan IVIG, 400-500mg/kg selama 5 hari, interval
setiang 3-4minggu atau dosis rumatan 5,0 g/L. untuk defisiensi IgG ringan atau sedang memerlukan 3,0-5,0 g/L.
Setiap 1ml sediaan mengandung imunoglobulin 50mg yang terdiri atas IgG (80%), IgA (12%) dan IgM (8%),
asam aminoasetat, dan natrium klorida.
TERAPI NUTRISI
Penatalaksanaan nutrisi penting untuk mencegah serta mengatasi progresivitas infeksi. Infeksi pada penyakit
autoimun memerlukan dukungan nutrisi lengkap. System imun yang imunokompromais tidak begitu saja mudah
ditanggulangi, tetapi dapat dihambat dengan cara mencegah melalui terapi nutrisi medis berlandaskan
makronutrien dan mikronutrien.
Pada infeksi berat dan sepsis juga terjadi penurunan antioksidan spesieas lain seperti asam askorbat, karotinoid,
selenium, Zinc, Copper, Iron. Selenium merupakan parameter terpenting daripada albumin, Fe, Zn terhadap resiko
kematian penderita. Gluthation perosidase (GPx), thioredoxine reductase, dan selenoprotein-P mempunyai peran
penting sebagai antioksidan dan detoksikasi ROS.
TERAPI STEROID
Steroid berpengaruh terhadap transkripsi gen. steroid dapat meningkatkan transkripsi gen: lipokortin-1, beta2-adrenoreseptor, endonukleasis, inhibitor protease sekretori leukosit, inhibitor protein IkB.
Steroid dapat menurunkan transkripsi: sitokin (TNF-α, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8, IL-11, IL-12, IL-13, GM-CSF, regulated upon activation normal T cell expressed and secreted (RANTES), macrophage inflammatory protein-1 α (MIP-1α), iNOS, inductor COX-2, inductor PLA2, endotelin-1, reseptor NK-1, ICAM-1, E-selectin.
Terapi steroid untuk infeksi pada penyakit autoimun bermanfaat untuk eliminasi pengaruh inflamasi. Baik infeksi dan penyakit autoimun terjadi peningkatan berbagai produk mediator dan produk protein spesifik. Produk mediator dan produk lain meliputi sitokin proinflamatori, radikal bebas, enzim posfolipase A2 (PLA2), nitric okside sangat menentukan status endotel, vaskuler, dan miokard
Perubahan pada endotel, tonus vaskuler, dan miokard penderita sepsis mengakibatkan terjadi gangguan hemodinamik. Situasi tersebut semakin diperberat oleh keadaan krisis energy akibat tuntutan hipermetabolik, terutama bila tanpa diimbangi asupan nutrisi secara memadai.
Gangguan elektrolit dan distribusi oksigen yang tidak adekuat akan semakin memperberat. Keadaan tersebut memicu gangguan hemodinamik refrakter dana tau ketergantungan terhadap dukungan obat vasopressor.
Infeksi pada penyakit autoimun yang berkembang berat ke sepsis, syok septik, sindrom distress respiratori akut perlu dukungan steroid untuk mencegah munculnya sindrom disfungsi multiorgan. Pada keadaan ini steroid diberikan sedini mungkin, dalam jangka pendek.
Beberapa keadaan yang juga memerlukan terapi steroid adalah pasien sepsis dengan insufisiensi renal diikuti :[(adrenalitis autoimun, tuberculosis, metastase adrenal, perdarahan, infeksi bakteri (meningiococcemia), infeksi virus (sitomegalovirus), atau dan relative hipoadrenalism akibat induksi obat (terapi steroid sebelumnya, tetapi phenytoin, ketokonazol atau etomidate)].
Pasien yang sebelumnya didiagnosis insufisiensi adrenal, diberikan steroid dosis 100-150mg hidrokortison perhari.
Terapi steroid pada sepsis diutamakan untuk penderita sepsis dengan gangguan hemodinamik refraketer dan terus menerus memerlukan dukungan vasopressor.
Beberapa studi menetapkan pemberian dosis suprafisiologi (hingga 30mg/kg metilprednisolon) diberikan sedini mungkin pada pasien sepsis, dianjurkan pemberian jangka pendek (24-36 jam). Studi akhir akhir ini steroid dianjurkan diberikan (200-300 mg hidrokortison per hari) pada kasus berat diberikan dalam waktu lebih lama (lebih 5 hari).
TERAPI STEROID TERHADAP SEPSIS
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai SHIV, 2010, Role of Infections in Autoimmunity, In: Cellular and Molecular
Immunology. Editors: Abbas AK, Litchman AH, Pillai SHIV, Philadelphia,pp.
2. Adams CA, Deitch EA, 2002. Prevention of Organ Injury and MODS, In: Sepsis and Multiple Organ Dysfunction.
Editors: Deitch EA, Vincent JL, Windsor A, W.B.Saunders. London,pp.
3. Akin E, McHugh GL, Flavell RA, Fikrig E, Steere AC, 1999. The Immunoglobulin (IgG) Antibody Response to OspA
dan OspB Correlates with Severe and Prolonged Lyme Arthritis and the IgG Response to P35 Correlates with Mild and
Brief Arthritis. Editor: McGhee JR. Infection and Immunity 67, 173-181.
4. Alejandria MM, Lansang MA, Dans LF, Mantaring JBC, 2005. Intravenous Immunoglobulin for Treating Sepsis and
Septic Shock (Cochrane Review). The Cochrane Library, Issue 2, 1465-1858.
5. Antelman G, Msamanga GI, Spiegelman D, Urassa EJN, 2000. Nutritional factors and infectious disease contribute to
anemia among pregnant women with human immunodeficiency virus in Tanzania. J.Nutr. 130: 1950-1957.
6. Baratawidjaya KG, 2006. Autoimunitas yang Berhubungan dengan Infeksi. Dalam: Immunologi Dasar. Edisi ke-7.
FKUI, Jakarta, 241-242.
7. 7.Cerra FB, Benitez MR, Blackburn GL, Irwin RS, Jeejeebhoy K, 1997. Applied nutrition in ICU patients. Chest 111: 769-
778.
8. Christen URS, Herrath MV, 2005. Infections and Autoimmunity. Journal of Immunology, 174, 7481-7486.
9. Cunha BA, 2008. Antibiotic Essentials. 7th edition. Editors: Cunha BA. New York, pp. 513-514.
10. Daud R, 2006. Artritis Rheumatoid. Dala: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Editor: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta, hlm. 1184-1191.
11. Deitch EA, Mohr AM, 2002. Antimicrobial Strategies and Antibiotic Resistance In: Sepsis and Multiple Organ Dysfunction.
Editors: Deitch EA, Vincent II< Windsor A, London,pp.
12. Fujunami RS, 2001. Can Virus Infection Trigger Autoimmune Dissease? Journal of Autoimmune
13. Hasbun R, 2007. Role of Adjunctive Steroids. In: Infections Disease Emergency Department Diagnosis and Management.
Editors: Slaven EM, Stone SC, Lopez FA. International Edition. New York. Pp
14. Munford RS, 2005. Severe Sepsis and Septic Shock. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine. Vol II. 16 th Edition.
Editors: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. McGraw-Hill Medical Publishing
Division. New York, pp. 1606-1612
TERIMA KASIH…