interaksi infeksi dan penyakit autoimun

38
REFERAT INTERAKSI INFEKSI DENGAN PENYAKIT AUTOIMUN DISUSUN OLEH : THIRAFI PRASTITO 1102012294 PEMBIMBING : Dr. dr. Soroy Lardo, SpPD,FINASIM Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto /Fakultas Kedokteran UPV Veteran Jakarta

Upload: soroy-lardo

Post on 21-Mar-2017

70 views

Category:

Health & Medicine


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

REFERATINTERAKSI INFEKSI DENGAN PENYAKIT AUTOIMUN

DISUSUN OLEH :THIRAFI PRASTITO

1102012294

PEMBIMBING : Dr. dr. Soroy Lardo, SpPD,FINASIMDivisi Penyakit Tropik dan Infeksi

Departemen Penyakit DalamRSPAD Gatot Soebroto /Fakultas Kedokteran UPV Veteran Jakarta

Page 2: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

PENDAHULUAN

Pada hakikatnya interaksi antara infeksi dan penyakit autoimun bisa

beraneka ragam meliputi :

Pengaruh infeksi terhadap penyakit autoimun, efek protektif respons imun

infeksi pada penyakit autoimun, serta dampak penyakit autoimun terhadap

perjalanan penyakit.

Page 3: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

INTERAKSI INFEKSI DENGAN PENYAKIT AUTOIMUN

Interaksi antara infeksi dan penyakit autoimun adalah

1. Infeksi menginduksi penyakit autoimun

2. Infeksi memperberat dan atau memicu eksaserbasi penyakit autoimun

3. Infeksi mencegah munculnya penyakit autoimun

4. Penyakit autoimun terutama terkait status imun dana tau sedang mendapatkan intervensi terapi

imunosupresan jangka lama akan memicu perkembangan infeksi ke gradasi berat dalam

waktu singkat.

Page 4: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

INFEKSI SEBAGAI PEMICU PENYAKIT AUTOIMUN

Mikroorganisme memfasilitasi sinyal spesifik antigen semacam molekul atau

melalui mobilisasi antigen endogen

Memicu proses inflamasi, menggerakkan sinyal nonspesifik antigen yang

meningkatkan respons imun melalui efek adjuvant

Proses ini dapat dipicu oleh antigen tunggal atau multiantigen mikroorganisme sehingga

muncul penyakit autoimun. Antigen mikroorganisme sebagai pemicu tersebut dapat berasal dari

bakteri, virus, protozoa, maupun mikroplasma. Selain sitokin pemicu inflamasi sistemik, maka

komponen peptidoglikan, endotoksin mikroorganisme dapat berperan dalam memicu penyakit

autoimun.

Page 5: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

DAMPAK VIRUS TERHADAP PENYAKIT AUTOIMUN

Infeksi virus rubella, hepatitis B, virus Epstein barr dapat pula sebagai pemicu penyakit

autoimun yang diduga menyebabkan terjadi perubahan respons imun terhadap antigen eksogen

maupun antigen endogen, meskupun hal ini memerlukan penelitian lanjut.

Page 6: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

DAMPAK BAKTERI, JAMUR, DAN PROTOZOA TERHADAP PENYAKIT AUTOIMUN

Pada demam reuma, bakteri streptokok sebagai pemicu faringitis akut yang berlangsung 2-4

minggu sebelumnya. Selanjutnya memicu tiga gejala utama yaitu artritis, karditis dan chorea.

Pada chorea ditandai gerakan tak terkendali dari otot muka, lengan dan tungkai. Pada

pemeriksaan imunologis didapatkan antibody yang bereaksi dengan protein M dari bakteri

penyebab. Antigen streptokok tersebut memiliki epitope mirip dengan jaringan miokard jantung

manusia dan antibody terhadap streptokok dan menyerang jantung. Antigen streptokok bereaksi

silang dengan antigen otot jantung, menimbulkan kerusakan dan penyakit demam reuma.

Page 7: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

INFEKSI PEMICU EKSASERBASI PENYAKIT AUTOIMUN

Helicobacter pylori (Hp) merupakan bakteri yang banyak di mukosa lambung. Hp sering sebagai

penyebab gastritis, tukak peptic, keganasan gaster, limfoma terkait jaringan limfoid mukosa.

Akhir-akhir ini Hp ditemukan terkait penyakit autoimun seperti artritis rematoid, tiroidits

autoimun, sindrom sjorgen, purpura schonlein Henoch, dan purpura trombositopenik autoimun.

Hp berperan sebagai mamicu respons

imun

Autoreaktif molekul sehingga diproduksi sitokin proinflamatori dalam kadar tinggi

Merusak mukosa melalui proses autoimun

Page 8: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

GENETIK

Kembar siam monozigot, salah satu diantaranya dapat mengalami eksaserbasi sclerosis multiple, maka kembarannya sekitar 25-30% juga mengalami eksaserbasi sclerosis multiple

interaksi HLA pada sclerosis multiple terutama HLA DRw15, DQ w6, Dw2 pada beberapa bangsa eropa Caucasian dan amerika utara

Infeksi virus campak mempunyai pengaruh sekitar 90% terhadap kembar monozigot untuk memunculkan sclerosis multiple. Jadi factor infeksi terutama akibat sekitar 24 jenis virus maupun bakteri, keduanya dapat sebagai pencetus serangan ulang sclerosis multiple. mekanismenya melalui induksi IL-2, IL-6 dan IFN-y.

Page 9: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

INFEKSI PADA PENYAKIT AUTOIMUN

Penyakit autoimun yang jatuh ke posisi imunokompromais, membuka peluang spectrum infeksi menjadi luas dan

cenderung berat. Hal tersebut akibat pengaruh multimikroorganisme dan menurunnya system imun tubuh inang.

Hasil akhir kejadian infeksi sangat dipengaruhi oleh kecepatan mengenal organisme penyebab infeksi, kepekaan

organisme penyebab infeksi tersebut terhadap antimikroba, interaksi dengan respons imun tubuh, serta kecepatan kita

bertindak.

Penyakit infeksi bila tidak mendapat penatalaksanaan optimal dapat menjadi ancaman serius, potensial berkembang

ke infeksi berat dan sepsis. Penyulit sepsis yang yang paling berbahaya adalah syok septik dan sindrom disfungsi

multiorgan (MODS). Hal ini merupakan kondisi serius dengan angka kematian yang tinggi.

Page 10: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Faktor internalYang sangat menentukan adalah factor imun, status nutrisi, dan proses apoptosis, serta penyakit dasar yang telah ada termasuk penyakit autoimun.

System imun terdesak ke posisi imunokompromais

akibat terapi imunosupresan jangka

lama atau akibat progresivitas penyakit

sendiri

Individu menjadi rentan terhadap infeksi

Lemahnya system imun tubuh membuka

peluang mikroorganisme untuk tumbuh kembang tak

terkendali

Potensial berkembang kearah gradasi infeksi berat

dan sepsis

Page 11: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan kegagalan mekanisme normal dalam toleransi sel sendiri.

Autoimunitas terjadi karena antigen sendiri dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan berbagai organ. Antibody maupun sel T dapat mempunyai peran dalam pathogenesis penyakit autoimun.

AUTOIMUNITAS

Page 12: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

InfeksiRespons imun tubuh akan

berusaha melawan antigen mikroorganisme yang

masuk

Bila reaksi berlangsung berlebihan atau mikroorganisme

mampu bertahan persisten sebagai inductor

Penyakit autoimun

Page 13: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Antibody yang terbentuk akan mengikat antigen

mikroorganisme membentuk kompleks imun

Antigen pemicu disebut autoantigen, sedangkan antibody

yang dibentuk disebut autoantibodi

Menempel pada jaringan memicu

inflamasi

Sel autoreaktif yang diinduksi infeksi

adalah limfosit yang mempunyai reseptor

autoimun

Respons autoimun

Page 14: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Intervensi mikroorganisme terhadap sel sasaran berakibat disekresi sitokin. Berbagai sitokin

inflamatori yang dapat terlibat selama infeksi, infeksi berat, dan sepsis antara lain adalah IL-1β,

IL-6, TNFα, MIP-2α. Di samping sitokin inflamatori juga ikut terlibat sitokin antiinflamatori

antara lain IL-10, IL-IRA, reseptor soluble TNF I dan II.

Peningkatan kadar TNFα, IL-1β dan IL-6 mencetuskan berbagai gambaran sepsis termasuk

demam, takikardia, takipnea, leukositosis, myalgia dan somnolen. Kadar TNFα yang tinggi

menginduksi terjadinya syok, koagulasi intravascular diseminata (KID), kegagalan multiorgan

dan kematian. Berbagai sitokin lain, terutama IL-8 juga meningkat kadarnya di tempat infeksi

Page 15: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Pada sepsis juga terjadi aktivasi jalur ekstrinsik maupun intrinsic, terjadi gangguan

fungsi protein C, menghambat jalur protein S dan penurunan antirombin.

Fibrinolysis dapat dihambat melalui peningkatan aktovator inhibitor 1 plasminogen

dalam plasma. Akibatnya terjadi deposisi fibrin intravaskuler, tombosis, serta perdarahan,

terjadi hipotensi dan KID.

Page 16: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

PENATALAKSANAAN INFEKSI PADA PENYAKIT AUTOIMUN

Infeksi pada penyakit autoimun perlu mendapatkan perhatian serius terutama yang terdorong

masuk ke status imunokompromais. Pada imunokompromais antimikroba yang diberikan dapat

kombinasi. Hal ini penting mengingat pada imunokompromais kuman yang tumbuh kembang

bisa multimikroorganisme

Antibiotika diberikan berlandaskan peta medan kuman, sumber infeksi, potensi pelepasan

endotoksin. Bila ada indikasi antibiotika diberikan seawal mungkin, memiliki kemampuan

membunuh mikroorganisme, spectrum luas mampu bekerja intra dan ekstraseluler.

Page 17: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Sambil menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologi. Terapi empiris pemberian antimikroba segera

dimulai sedini mungkin dalam 24 jam pertama.

Antimikroba terpilih mempunyai spectrum luas, mampu bekerja lebih awal, potensi menginduksi

resistensi minimal, dapat dikombinasi dengan antibiotika lain, berdasarkan kecurigaan sumber

infeksi, pengecatan gram, peta medan kuman dan pola resistensi setempat, asal infeksi

nasokomial atau komunitas, status imun penderita dan mempertimbangkan factor bacteremia serta

endotoksemia.

Page 18: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Salah satu contoh, sefalosporin generasi empat, imipenem-cilastatin mempunyai

spectrum luas, efektif terhadap bakteri gram positif dan gram negative termasuk strain yang

resisten terhadap aminoglikosida atau sefalosporin generasi ketiga, cukup stabil terhadap

hidrolisis beta lactamase, daya penetrasi tinggi ke dalam dinding sel bakteri gram-negatif.

Jenis antibiotic ini dapat membantu eliminasi bakteri selama infeksi berlangsung.

Page 19: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Tindakan terapi intervensi termasuk insersi pemasangan infus, indwelling

kateter harus dirawat dengan baik agar tidak menambah jumlah dan jenis

mikroorganisme pemicu infeksi. Hal ini perlu diperhatikan mengingat penyakit

autoimun terutama yang dalam posis imunokompromais sangat rentan terhadap

infeksi.

PENCEGAHAN DI RS

Page 20: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Penatalaksanaan penyakit infeksi pada penyakit autoimun dengan situasi imunokompromais,

upaya pencegahan sekunder penting dilakukan. Pertama, mencegah agar infeksi berkembang

ke sepsis. Kedua, agar sepsis tidak menjadi syok septik dan MODS.

Pencegahan dilakukan melalui 2 fase, yaitu fase resusitasi dan perawatan intensif.

PENCEGAHAN

Page 21: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Fase resusitasi Menjamin kecukupan cairan dan elektrolit, monitoring resusitasi cairan dan koreksi gangguan keseimbangan asam-basa, evaluasi pasien dan hindari kelambanan maupun kesalahan diagnosis

Fase perawatan intensifDukungan nutrisi berbasis makronutrien dan mikronutrien sedini mungkin, pasang alat bantu pernafasan bila ada indikasi, berikan antibiotika yang tepat, minimalkan transfuse untuk menghindari penularan mikroorganisme, dan imunoterapi

Page 22: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

TERAPI IMUNOGLUBULIN

Infeksi akut yang berkembang pada imunokompromais, maka imunoglobulin mempunyai

peran untuk menginaktivasi toksin dan menghambat laju intervensi berbagai mikroorganisme

termasuk virus dan bakteri. Imunoglobulin mencegah ikatan pada reseptor, mencegah aktivasi

sel target sehingga efektif sebagai terapi ajuvan pada infeksi berat.

Page 23: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

IgG eksogen Reseptor Fcγ2b yang

diekspresika pada permukaan

membrane limfosit B

Blokade terhadap aktivitas limfosit

Menurunkan produksi sitokin proinflamatori

Endotel terproteksi, performen vascular dan jantung dapat

dipertahankan optimal

Page 24: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Pada infeksi, imunoglobulin juga mempunyai peran untuk memblokade pengaruh supernatigen, sehingga tidak berpengaruh lebih lanjut terhadap intervensi pada jaringan.

Secara langsung imunoglobulin mengikat reseptor sel T sehingga overstimulasi sel T dapat dihindari, inflamasi yang potensial berlangsung sistemik dapat dihindari, pengaruh autositotoksik dan autoreaktif dapat dicegah.

Page 25: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Imunoglobulin 5S dan 7S di dalam implikasi klinis mempunyai peran strategis terutama dalam

upaya mencegah intervensi mikroorganisme, sebagai terapi substisusi defisiensi imun primer

dan sekunder.

Pemberian IVIG merupakan terapi suplemen pada penatalaksanaan infeksi berat. IVIG dapat

memperbaiki efektivitas antibiotika beta lactam, menurunkan aktivitas mediator inflamasi,

bersama IgG endogen merupakan imunopotensi pada fase akut, mengurangi lama perawatan

infeksi berat.

Page 26: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Pada infeksi, imunoglobulis 5S berperan antiinflamasi dan aktivitas antitoksin. Imunoglobulin 7S lebih berperan sebagai imunomodulasi. Selain itu imunoglobulin

7S juga mempunyai efek netralisasi, dan eliminasi toksin, efek antibakteri, efek antiviral, meningkatkan efek fagositosis makrofag melalui peran reseptor Fc dan

reseptor C3b

Page 27: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

IMUNOGLOBULIN 7S

Karena berpotensi mengikat reseptor Fc pada limfosit B berarti mempunyai pengaruh imunosupresan, maka imunoglobulin 7S sesuai dalam penatalaksanaan penyakit autoimun maupun penyakit infeksi yang dilandasi penyakit autoimun. Setelah pemberian imunoglobulin 7S intravena, antibodi akan berusaha mengikat antigen spesifik dan membentuk kompleks imun dilanjutkan dengan upaya eliminasi fagositosis

Page 28: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

IMUNOGLOBULIN 5S,

Sebagai molekul bebas dengan waktu paruh 12-36 jam tidak mengikat reseptor Fc, sehingga tidak bersifat imunosupresan. Imunoglobulin 5S lebih banyak dipakai pada infeksi berat karena tidak mengikat reseptor Fc.

Page 29: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Di klinis imunoglobulin dapat dimanfaatkan dalam penatalaksanaan penyakit imunodefisiensi, penyakit infeksi,

dan penyakit autoimun. Sebagai terapi pengganti, imunoglobulin pada penderita defisiensi imunoglobulin (IgG)

yang mengalami infeksi serius berulang. Keadaan ini memerlukan IVIG, 400-500mg/kg selama 5 hari, interval

setiang 3-4minggu atau dosis rumatan 5,0 g/L. untuk defisiensi IgG ringan atau sedang memerlukan 3,0-5,0 g/L.

Setiap 1ml sediaan mengandung imunoglobulin 50mg yang terdiri atas IgG (80%), IgA (12%) dan IgM (8%),

asam aminoasetat, dan natrium klorida.

Page 30: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

TERAPI NUTRISI

Penatalaksanaan nutrisi penting untuk mencegah serta mengatasi progresivitas infeksi. Infeksi pada penyakit

autoimun memerlukan dukungan nutrisi lengkap. System imun yang imunokompromais tidak begitu saja mudah

ditanggulangi, tetapi dapat dihambat dengan cara mencegah melalui terapi nutrisi medis berlandaskan

makronutrien dan mikronutrien.

Pada infeksi berat dan sepsis juga terjadi penurunan antioksidan spesieas lain seperti asam askorbat, karotinoid,

selenium, Zinc, Copper, Iron. Selenium merupakan parameter terpenting daripada albumin, Fe, Zn terhadap resiko

kematian penderita. Gluthation perosidase (GPx), thioredoxine reductase, dan selenoprotein-P mempunyai peran

penting sebagai antioksidan dan detoksikasi ROS.

Page 31: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

TERAPI STEROID

Steroid berpengaruh terhadap transkripsi gen. steroid dapat meningkatkan transkripsi gen: lipokortin-1, beta2-adrenoreseptor, endonukleasis, inhibitor protease sekretori leukosit, inhibitor protein IkB.

Steroid dapat menurunkan transkripsi: sitokin (TNF-α, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8, IL-11, IL-12, IL-13, GM-CSF, regulated upon activation normal T cell expressed and secreted (RANTES), macrophage inflammatory protein-1 α (MIP-1α), iNOS, inductor COX-2, inductor PLA2, endotelin-1, reseptor NK-1, ICAM-1, E-selectin.

Page 32: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Terapi steroid untuk infeksi pada penyakit autoimun bermanfaat untuk eliminasi pengaruh inflamasi. Baik infeksi dan penyakit autoimun terjadi peningkatan berbagai produk mediator dan produk protein spesifik. Produk mediator dan produk lain meliputi sitokin proinflamatori, radikal bebas, enzim posfolipase A2 (PLA2), nitric okside sangat menentukan status endotel, vaskuler, dan miokard

Page 33: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Perubahan pada endotel, tonus vaskuler, dan miokard penderita sepsis mengakibatkan terjadi gangguan hemodinamik. Situasi tersebut semakin diperberat oleh keadaan krisis energy akibat tuntutan hipermetabolik, terutama bila tanpa diimbangi asupan nutrisi secara memadai.

Gangguan elektrolit dan distribusi oksigen yang tidak adekuat akan semakin memperberat. Keadaan tersebut memicu gangguan hemodinamik refrakter dana tau ketergantungan terhadap dukungan obat vasopressor.

Page 34: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Infeksi pada penyakit autoimun yang berkembang berat ke sepsis, syok septik, sindrom distress respiratori akut perlu dukungan steroid untuk mencegah munculnya sindrom disfungsi multiorgan. Pada keadaan ini steroid diberikan sedini mungkin, dalam jangka pendek.

Beberapa keadaan yang juga memerlukan terapi steroid adalah pasien sepsis dengan insufisiensi renal diikuti :[(adrenalitis autoimun, tuberculosis, metastase adrenal, perdarahan, infeksi bakteri (meningiococcemia), infeksi virus (sitomegalovirus), atau dan relative hipoadrenalism akibat induksi obat (terapi steroid sebelumnya, tetapi phenytoin, ketokonazol atau etomidate)].

Pasien yang sebelumnya didiagnosis insufisiensi adrenal, diberikan steroid dosis 100-150mg hidrokortison perhari.

Page 35: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

Terapi steroid pada sepsis diutamakan untuk penderita sepsis dengan gangguan hemodinamik refraketer dan terus menerus memerlukan dukungan vasopressor.

Beberapa studi menetapkan pemberian dosis suprafisiologi (hingga 30mg/kg metilprednisolon) diberikan sedini mungkin pada pasien sepsis, dianjurkan pemberian jangka pendek (24-36 jam). Studi akhir akhir ini steroid dianjurkan diberikan (200-300 mg hidrokortison per hari) pada kasus berat diberikan dalam waktu lebih lama (lebih 5 hari).

TERAPI STEROID TERHADAP SEPSIS

Page 36: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

DAFTAR PUSTAKA

1. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai SHIV, 2010, Role of Infections in Autoimmunity, In: Cellular and Molecular

Immunology. Editors: Abbas AK, Litchman AH, Pillai SHIV, Philadelphia,pp.

2. Adams CA, Deitch EA, 2002. Prevention of Organ Injury and MODS, In: Sepsis and Multiple Organ Dysfunction.

Editors: Deitch EA, Vincent JL, Windsor A, W.B.Saunders. London,pp.

3. Akin E, McHugh GL, Flavell RA, Fikrig E, Steere AC, 1999. The Immunoglobulin (IgG) Antibody Response to OspA

dan OspB Correlates with Severe and Prolonged Lyme Arthritis and the IgG Response to P35 Correlates with Mild and

Brief Arthritis. Editor: McGhee JR. Infection and Immunity 67, 173-181.

4. Alejandria MM, Lansang MA, Dans LF, Mantaring JBC, 2005. Intravenous Immunoglobulin for Treating Sepsis and

Septic Shock (Cochrane Review). The Cochrane Library, Issue 2, 1465-1858.

5. Antelman G, Msamanga GI, Spiegelman D, Urassa EJN, 2000. Nutritional factors and infectious disease contribute to

anemia among pregnant women with human immunodeficiency virus in Tanzania. J.Nutr. 130: 1950-1957.

6. Baratawidjaya KG, 2006. Autoimunitas yang Berhubungan dengan Infeksi. Dalam: Immunologi Dasar. Edisi ke-7.

FKUI, Jakarta, 241-242.

Page 37: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

7. 7.Cerra FB, Benitez MR, Blackburn GL, Irwin RS, Jeejeebhoy K, 1997. Applied nutrition in ICU patients. Chest 111: 769-

778.

8. Christen URS, Herrath MV, 2005. Infections and Autoimmunity. Journal of Immunology, 174, 7481-7486.

9. Cunha BA, 2008. Antibiotic Essentials. 7th edition. Editors: Cunha BA. New York, pp. 513-514.

10. Daud R, 2006. Artritis Rheumatoid. Dala: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Editor: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta, hlm. 1184-1191.

11. Deitch EA, Mohr AM, 2002. Antimicrobial Strategies and Antibiotic Resistance In: Sepsis and Multiple Organ Dysfunction.

Editors: Deitch EA, Vincent II< Windsor A, London,pp.

12. Fujunami RS, 2001. Can Virus Infection Trigger Autoimmune Dissease? Journal of Autoimmune

13. Hasbun R, 2007. Role of Adjunctive Steroids. In: Infections Disease Emergency Department Diagnosis and Management.

Editors: Slaven EM, Stone SC, Lopez FA. International Edition. New York. Pp

14. Munford RS, 2005. Severe Sepsis and Septic Shock. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine. Vol II. 16 th Edition.

Editors: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. McGraw-Hill Medical Publishing

Division. New York, pp. 1606-1612

Page 38: Interaksi infeksi dan penyakit autoimun

TERIMA KASIH…