tentir autoimun

29
TENTIR Modul Imunol ogi Brilliant Putri Claris sa Josephine Aditya Meli ssa Halim SIEPEND FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh! Autoimun

Upload: akbar-miftahul-khair

Post on 16-Feb-2016

196 views

Category:

Documents


24 download

DESCRIPTION

Tentir

TRANSCRIPT

Page 1: Tentir Autoimun

TENTIR

Modul Imunol

ogi

Brilliant Putri Claris

sa Josephine Aditya Meli

ssa Halim

SIEPEND FKUI 2012

SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

Autoimun

Page 2: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

Kata Pengantar

Halo teman-teman 2012!

Pertama-tama, kami Siepend FKUI 2012 mengucapkan terimakasih karena kalian masih seti

a menjadi pelanggan Titan yang kini sudah masuk edisi Imunologi Yey! Tidak terasa satu modul

sudah terlalui. Kami dari Divisi Titan -Tentir Angkatan- SIEPEND FKUI 2012 mengucapkan moho

n maaf apabila di modul yang sebelumnya terdapat banyak sekali kekurangan. Berdasarkan evaluasi

yang sudah kami lakukan, kami akan membuat terobosan baru dan memperbaiki diri di modul Imu

nologi ini dan modul-modul selanjutnya. Namun, Titan ini tiadalah ada artinya tanpa dukungan dari

segenap teman-teman 2012. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapk

an untuk perbaikan kami ke depannya. Terimakasih

Titan SIEPEND FKUI 2012

Peraturan Belajar Bersama Titan

1. Dibuka dengan berdoa

2. Semangat menggebu dan pantang menyerah

3. Pepatah: Malu bertanya sesat di jalan

4. Ditutup dengan berdoa

Page 3: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

PENYAKIT AUTOIMUN

Brilliant Putri / Clarissa Josephine Aditya / Melissa Halim

A. Pendahuluan

Setiap orang sehat normalnya memiliki sistem imun yang seimbang dengan ekfektivitas yan

g optimal. Namun, ketika sistem imun seseorang memberikan reaksi berlebihan, mereka dapat terja

di permasalahan autoimun dalam tubuhnya. Penyakit autoimun merupakan suatu kondisi di mana

sistem imun menyerang sel tubuh sendiri. Penyakit ini menjadi penyebab signifikan terhadap morbi

ditas kronik dan mortalitas yang membutuhkan biaya kesehatan yang tinggi, hampir setara dengan p

enyakit kanker dan jantung. Seorang pasien dapat menderita banyak penyakit autoimun sehingga di

sebut polyautoimmune syndrome. Ada kurang lebih 100 macam penyakit autoimun. Penyakit-penya

kit ini seringkali menjadi reaksi hipersensitivitas, baik tipe 2, 3, atau 4.

Autoimun merupakan reaksi dari sistem imun tubuh terhadap self antigen karena tidak mam

punya sel imun untuk membedakan self antigen dan non-self antigen sehingga dapat merusak sel ata

u jaringan tubuh sendiri. Self antigen biasanya merupakan protein yang menjadi bagian tubuh, dan

dapat berupa karbohidrat, lipid, atau DNA. Selain mengetahui pengertian autoimun, ada beberapa k

ata penting yang juga harus dimengerti seperti:

Self antigen yang mendapat respons sistem imun pada suatu penyakit autoimun disebut

autoantigen

Respons imun yang menyerang autoantigen tersebut disebut sebagai respons autoimun.

Antibodi yang menyerang self antigen disebut autoantibodi.

Limfosit yang memiliki reseptor antigen dan bersifat spesifik untuk antigen self disebut sel

autoreaktif. Biasanya sel T yang dihasilkan adalah sel T CD4 atau sering disebut sel T

autoreaktif. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga dihasilkannya sel B atau sel T CD8

autoreaktif.

Dalam pemahaman mengenai autoimun yang dapat bersifat ‘patogenik’ atau menyebabkan p

enyakit dikenal pula dengan sebutan autoimun patologi. Patologi itu sendiri dibagi menjadi:

a) Patologi primer merupakan konsekuensi langsung dari respons autoimun. Konsekuensi

yang biasanya terjadi adalah adanya perubahan fungsi tubuh.

b) Patologi sekunder merupakan konsekuensi dari terganggunya fungsi jaringan tubuh

akibat patologi primer.

B. Mekanisme Toleransi Imun

Page 4: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

Toleransi merupakan mekanisme pencegahan penyakit autoimun melalui proteksi dari limfo

sit yang bersifat self reactive. Pada prosesnya, toleransi imun merupakan keadaan dimana seseorang

tidak dapat mengembangan suatu respons imun terhadap antigen tertentu. Antigen yang memicu re

spon imun disebut imunogen. Antigen yang m

enginduksi toleransi disebut tolerogen atau a

ntigen tolerogenik. Toleransi terhadap self-an

tigen disebut self-tolerance.

Mekanisme toleransi dibagi menjadi d

ua, yaitu toleransi sentral dan toleransi perifer.

Toleransi sentral merupakan mekanisme pri

mer yang terjadi selama maturasi dalam organ

limfoid primer seperti sumsum tulang dan kele

njar timus (timus untuk sel T dan sumsum tula

ng untuk sel B). Toleransi perifer terjadi di o

rgan perifer ketika limfosit sudah matur. Toler

ansi perifer berperan sebagai backup untuk tol

eransi sentral yang masih meloloskan sel limf

osit autoreaktif. Secara sederhana, mekanisme

toleransi dilakukan melalui penghancuran atau

inaktivasi limfosit self reactive.

TOLERANSI SEL T

A. Toleransi Sentral

Toleransi sentral sel T merupakan toleransi pada saat perkembangan sel T di Timus. Timus

berperan dalam menyingkirkan sel T yang dapat mengenai peptida dari antigen self. Sel T akan men

galami dua kali seleksi, yaitu seleksi positif yang berlangsung di korteks dan seleksi negatif yang be

rlangsung di korteks dan medulla.

Seleksi positif dimediasi oleh sel-sel epitel timus dan dilakukan berdasarkan ikatan antara se

l T dengan kompleks MHC. Apabila sel T dapat berikatan dengan MHC, sel T tersebut akan hidup.

Tetapi sel T tidak dapat mengenali dan tidak berikatan dengan MHC, maka sel T tersebut akan men

g a l a m i a p o p t o s i s .

Page 5: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

Selanjutnya, sel T yang hidup akan mengalami proses seleksi negatif yang dilakukan berdas

arkan afinitasnya. Seleksi negatif akan terjadi pada prekursor sel T positif ganda, yaitu sel T CD4+

dan CD8+. Ikatan sel T dengan reseptornya yang memiliki afinitas rendah akan tetap hidup karena

dapat memberikan respons imun protektif, sedangkan sel T yang mengikat kompleks peptide-MHC

dengan afinitas tinggi akan mengalami apoptosis karena berpotensi untuk mengenali self-antigen da

n menyebabkan autoimunitas. Tahapan ini sering dikenal pula dengan edukasi timus. Pada seleksi i

ni, ada sel T self-reactive yang lolos dari seleksi negatif dan muncul di organ perifer. Seleksi negatif

disebut juga sebagai delesi. Mekanisme ini diregulasi oleh autoimmune regulator (AIRE).

B. Toleransi Perifer

Regula si sel T t

etap dilakukan walaup

un telah menin ggalkan

timus untuk m encegah

sel T autoreakt if yang l

olos seleksi pri mer sehi

ngga menghad api selek

si kedua dan a kan diin

aktifkan. Regu lasi ini d

ilakukan agar i katan sel

T self reactive terhada

p antigen self yang spe

sifik pada jarin gan atau

yang tidak ditemui di timus dapat diantisipasi. Toleransi perifer dilakukan melalui beberapa mekani

sme, yaitu anergi, supresi, dan delesi.

1. Anergi

Sel T CD4+ yang terpapar antigen dengan tidak adaya kostimulator (molekul pada APC) dapa

t menyebabkan sel tidak dapat merespon antigen tersebut. Dalam proses ini, sel T autoreaktif tidak

mati melainkan menjadi tidak responsif terhadap antigen. Sebenarnya, aktivasi sel T untuk menginis

iasi respon imun, diperlukan pengenalan antigen spesifik oleh TCR/ T cell receptor

Page 6: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

(sinyal 1) dan diperlukan peran dari kostimulator. Kostimulator yang biasa berperan adalah

B7-1 dan B7-2 yang dikenali oleh CD28 (sinyal 2). Mekanisme sinyal 2 yang terjadi adalah T cell s

urface receptor CD28 akan berikatan dengan CD 80 (B7-1) dan CD 86 (B7-2). Ekspresi dari B7 inil

ah yang akan membuat limfosit T mampu memberi respon imun pada tempat dan waktu yang tepat.

Selain karena tidak adanya kostimulator, anergi juga dapat terjadi karena keterpaparan sel T te

rhadap antigen diiringi pula oleh kostimulator yang memberikan regulasi negatif, yakni CTLA-4 (c

ytotoxic T lymphocyte associated antigen) atau CD152. Pada kasus ini, B7 berikatan dengan CTLA-

4 sehingga memblok sinyal 2 hasil dari ikatan antara B7 dengan CD28.

2. Supresi

Sel T regulator berperan dalam supresi sistem imun dan mempertahankan toleransi terhadap

antigen self. Selain berasal dari timus, sel T regulator dapat berasal dari sel T CD4+ naif yang meng

enal antigen ketika tidak ada respon imun alami yang kuat. Sel T regulator dapat terbentuk juga sete

lah terjadi inflamasi. Sifat sel T regulator yang dibentuk di organ limfoid perifer adalah

Page 7: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

adaptif atau inducable. Sel T regulator mengekspresikan CD4+, CD25+, dan Foxp3. Foxp3

d a n

Page 8: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

CD25 penting untuk perkembangan, pertahanan, dan fungsi dari sel T regulator itu sendiri. S

itokin yang turut berperan dalam pemeliharaan sel T regulator adalah TGF-β dan IL-2.

Mekanisme supresi dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, sel T regulator menghasilkan IL-

10 dan TGF-β yang menghambat respon imun. Kedua, sel T regulator menghambat kemampuan AP

C untuk menstimulasi sel T, dengan cara Foxp3+ mengekspresikan CLTA-4 untuk berikatan denga

n B7, serta memblok dan mereduksi molekul B7. Dengan demikian, B7 kehilangan kemampuan unt

uk memicu kostimulasi yang dibutuhkan pada respon imun.

3. Delesi

Delesi terjadi ketika sel T mengenali self-antigen tanpa terjadinya inflamasi atau karena diak

tivasi berlebihan oleh antigen lalu mengalami apoptosis. Proses ini disebut activation induced cell d

eath. Apoptosis dapat terjadi melalui dua jalur yaitu melalui jalur mitokondria (jalur intrinsik) dan j

alur kematian reseptor (jalur ekstrinsik) yang diperantarai oleh death receptor Fas (CD95) dan ligan

nya Fas ligand (FasL). Ikatan antara Fas dan FasL kemudian mengaktifkan enzim caspase yang bera

khir dengan apoptosis sel T autoreaktif yang berada di organ perifer.

TOLERANSI SEL B

A. Toleransi Sentral

Seleksi sel B autoreaktif diawali sejak sel B masih imatur dan terjadi pada sumsum tulang. P

rinsip seleksi yang terjadi hampir sama dengan seleksi sel T. Sel B yang autoreaktif akan dihancurk

an di sumsum tulang. Secara umum, terdapat dua mekanisme yang termasuk dalam toleransi sentral

yaitu receptor editing dan delesi (apoptosis). Receptor editing terjadi ketika sel B distimulasi berle

bihan oleh antigen sehingga terjadi proses rearrangement segmen gen reseptor immunoglobulin sehi

ngga spesifisitasnya berubah untuk dapat mengikat antigen baru. Jika mekanisme ini gagal, maka ya

ng akan terjadi adalah delesi atau apoptosis. Selain itu, dapat pula terjadi anergi dimana sel B yang

mengenali antigen dengan afinitas rendah akan meninggalkan sumsum tulang dalam keadaan tidak r

esponsif.

Page 9: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

B. Toleransi Perifer

Toleransi perifer pada limfosit B dapat terjadi jika limfosit B yang tidak disertai oleh T help

er, mengenali antigen sehingga kemudian menjadi tidak responsif atau mengalami apoptosis. Hal ini

dapat terjadi karena sel T helper yang seharusnya mengeluarkan sinyal bersifat anergic atau telah di

musnahkan. Pada toleransi perifer ini, dapat terjadi anergi atau delesi. Dampaknya, sel B memiliki

masa hidup dan berkurang. Adapula mekanisme sinyal inhibitor yang berfungsi untuk mengatur am

bang (threshold) aktivasi sel B terhadap antigen-antigen tertentu, yang membuat terjadinya respon i

mun terhadap antigen asing dan menghambat respon imun terhadap self-antigen. Peran ini melibatk

an reseptor-reseptor dan kinase tirosin yang mekanismenya belum diketahui secara pasti.

PENTING!!

Mekanisme toleransi sistem imun dibagi menjadi dua yaitu toleransi sentral yang melibatkan

timus di mana sel T dapat mengenali yang mana dianggap musuh dan yang mana dianggap kawan,

serta toleransi perifer yang melibatkan sel T regulator. Sel T regulator memiliki imunitas terhadap k

anker, infeksi, dan autoimun.

Peran timus dalam sistem imun itu sendiri yaitu timus dapat mengenaili sel T mana yang aka

n merusak atau berperan sebagai autoreaktif. Sel T autoreaktif itu sendiri dapat dikenali dan dilakuk

an apoptosis sehingga sel tersebut tidak membahayakan. Dalam mekanisme toleransi ini juga diken

al seleksi negatif dan seleksi positif. Pada seleksi negatif, bertujuan untuk mencegah adanya peran s

el T autoreaktif. Bagi sel T yang mempunyai afinitas tinggi pada MHC kelas II maka

Page 10: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

akan terjadi apoptosis pada sel tersebut karena dianggap sebagai sel T yang dapat membaha

yakan. Selain itu, seleksi positif dilakukan pada sel T yang memiliki afinitas rendah bagi MHC kela

s II sehingga sel T boleh keluar dan menjadi sel T efektor.

C. Klasifikasi Penyakit Autoimun

Klasifikasi penyakit autoimun dibedakan menjadi organ-spesific dan non-organ-specific (s

ystemic) berdasarkan penyebaran autoantigen pada respon autoimun. Respon imun yang secara lang

sung menyerang autoantigen yang muncul pada salah satu organ atau jaringan secara spesifik sehin

gga disebut organ-specific disease. Selain itu, respon imun melawan autoantigen yang berada di ber

bagai organ disebut sebagai systemic atau non-organ-specific disease. Contoh penyakit autoimun y

ang spesifik terhadap organ tertentu adalah diabetes mellitus tipe 1, dimana terdapat sel T autoreakti

f dan antibodi yang spesifik terhadap sel β pankreas. Penyakit lainnya yang termasuk organ spesifik

adalah myasthenia gravis yang hanya menyerang neuromuscular junction dan Hashimoto yang men

yerang kelenjar tiroid, serta multiple sclerosis yang menyerang bagian otak. Contoh dari penyakit a

utoimun sistemik adalah lupus eritematosus sistemik yang melibatkan antibodi menyerang DNA, pl

atelet, sel darah, dan kompleks protein-fosfolipid sehingga menyebabkan lesi menyebar di seluruh t

ubuh. Ada juga penyakit sistemik lainnya seperti rheumatoid arthritis, scleroderma, dan dermatomy

ositis. Pada seorang pasien, dapat terjadi juga overlap pada kedua penyakit ini yaitu organ spesifik

d a n s i s t e m i k .

Page 11: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

Page 12: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

D. Mekanisme Dasar Penyakit Autoimun

I. Prinsip Dasar dari Mekanisme Penyakit Autoimun

Autoimun dihasilkan dari kegagalan mekanisme self-tolerance pada sel T atau sel B, yang

menyebabkan ketidakseimbangan antara aktivasi limfosit dan mekanisme kontrol. Kehilangan

self-tolerance dapat terjadi jika limfosit self-reactive tetap ada dan aktif selama proses maturasi

antigen self atau jika APC diaktifkan sehingga antigen self dapat dipresentasikan kepada sistem

imun sebagai suatu imunogen.

Berikut ini merupakan beberapa mekanisme yang berkaitan dengan reaksi autoimun adalah :3

Kegagalan dalam proses delesi atau seleksi negatif dari sel B atau sel T dalam proses

pematangan kedua sel di dalam organ limfoid.

Jumlah dan fungsi limfosit T regulatori yang tidak sempurna.

Gangguan apoptosis limfosit self-reactive yang sudah matang

Page 13: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

Kegagalan fungsi reseptor inhibitor

Aktivasi APC yang menyebabkan mekanisme regulator berlebihan dan menghasilkan

aktivasi sel T yang berlebihan.

Peran sel T dalam reaksi autoimun juga perlu diketahui yaitu :

a) Sel T helper merupakan kunci regulator seluruh respons imun pada protein, sedangkan semua

antigen self yang berimplikasi pada penyakit autoimun merupakan protein.

b) Beberapa penyakit autoimun secara genetik berkaitan dengan MHC dan fungsi MHC itu

sendiri adalah mempresentasikan antigen peptide kepada sel T.

c) Kegagalan self-tolerance pada limfosit T menyebabkan penyakit autoimun pada jaringan

yang rusak serta menyebabkan reaksi imun yang dimediasi sel (cell-mediated immune

reactions). Sel T helper yang abnormal juga dapat menyebabkan produksi autoantibodi

dengan afinitas tinggi untuk menyerang antigen protein.

Sekali terkena penyakit autoimun, penyakit itu akan berkembang secara progresif dan

berkepanjangan dengan kerusakan yang parah atau kronis. Salah satu penyebabnya adalah

antigen self melakukan trigger terhadap respons imun terus-menerus sehingga response tersebut

terus berlangsung dengan ditambahkan banyak mekanisme amplifikasi. Penyebab lainnya yang

adalah fenomena penyebaran epitope atau epitope spreading. Inisiasi respons imun melawan

satu antigen self yang melukai suatu jaringan antigen jaringan lain, mengaktifkan limfosit

spesifik untuk mengenali antigen yang dianggap belum dikenali, dan menyebabkan suatu

penyakit. Infeksi maupun respons autoimun lainnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan

membuat antigen diri self tersebar. Antigen self biasanya tidak terekspresi secara normal,

sehingga limfosit tidak bersifat toleran terhadap antigen self Hal itu menyebabkan sel dendrit

dapat mempresentasikan antigen self melalui MHC kelas II yang kemudian mengaktifkan

autoreaktif sel T CD4+. Karena itu, respons autoimun dapat terus terjadi dengan perekrutan sel

T yang mengenali antigen diri tersebut. Fenomena ini disebut mekanisme penyebaran epitop

karena respons imun menyebarkan antigen diri yang biasanya tidak terekspresi.3

Page 14: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

Gambar 1. Mekanisme Penyakit Autoimun yang Kronis

Autoimun dapat ditimbulkan karena

adanya faktor genetik yang dicurigai

(genetic susceptibility) dapat

diturunkan dan berkontribusi dalam

menghancurkan mekanisme self-

tolerance, serta faktor lingkungan

seperti infeksi dan kerusakan

jaringan lokal yang mengaktifkan

limfosit reaktif terhadap diri sendiri.

Infeksi dan kerusakan jaringan dapat

menyebabkan antigen sel terpapar

pada sistem imun, sehingga memicu

adanya kegagalan sel-tolerance dan

pengaktifan limfosit reaktif.

Page 15: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

Gambar 2. Postulat Mekanisme Autoimun

II. Faktor Genetik (susceptibility genes)

Komponen genetik dalam tubuh manusia dicurigai memiliki peranan dalam meningkatkan in

sidens penyakit autoimun. Individu yang kembar memiliki insidens yang lebih tinggi dibandingkan

dengan populasi normal individu lain, serta individu monozigotik lebih tinggi risikonya dibandingk

an dizigotik.

Penyebab kebanyakan penyakit autoimun adalah adanya poligenik kompleks yang mempen

garuhi suatu individu untuk menurunkan polimorfisme genetiknya serta ditambah dengan faktor lin

gkungan. Di antara berbagai jenis gen yang berkaitan dengan autoimun, kontribusi terbesarnya dilak

ukan oleh gen MHC atau HLA (Human Leukocyte Antigen) pada manusia. Gen multiple non-MHC

juga ditemukan ada kaitannya dengan beberapa penyakit autoimun. Berikut ini penemuan yang men

emukan kaitan genetik dengan autoimun yaitu :

1. Gen HLA

Gen HLA atau Human Leukocyte Antigen merupakan gen yang mengkode sekelompok protein

untuk membantu tubuh dalam mengenali antigen asing dan self antigen. HLA merupakan MHC

pada manusia. Polimorfisme pada gen tersebut dapat menyebabkan perbedaan struktur dari mole

kul MHC yang terbentuk. Hal ini akan mempengaruhi proses aktivasi dan seleksi dari sel T dan

dapat menyebabkan autoimunitas.

2. Gen Non-HLA

Gen non-HLA tidak mengkode protein, tetapi mempengaruhi ekspresi dari protein. Beberapa ge

n yang telah ditemukan memiliki keterkaitan dengan penyakit autoimun yaitut:

a) Polimorfisme gen PTPN-22 yang mengkode protein tirosin fosfat yang menggantikan arginin

pada posisi 620 dengan triptofan, berhubungan dengan timbulnya rheumatoid arthtitis, diabetes

tipe 1, thyroiditis autoimun, dan beberapa penyakit autoimun lainnya.

b) Polimorfisme gen NOD-2 yang berkaitan dengan Crohn disease, yaitu terjadinya inflamasi di

bagian saluran pencernaan khususnya usus besar dan usus halus.

c) Polimorfisme gen Insulin yang mengkode sekuens berulang yang berhubungan dengan diabetes

tipe 1.

d) Gen yang mengkode reseptor IL-2 (CD25) yang berkaitan dengan multiple sclerosis, diabetes

tipe 1, dan penyakit autoimun lainnya.

e) IL-23 receptor merupakan sitokin yang berperan dalam pembentukan sel Th17 dan memicu

inflamasi. Polimorfisme gen ini berkaitan dengan penyakit psoriasis dan peradangan usus.

Page 16: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

Selain faktor poligenik, mutasi pada beberapa gen individu dapat memberikan pengaruh kua

t dalam pengaturan toleransi pada antigen self. Gen-gen yang sudah diketahui secara monogenic ber

hubungan dengan penyakit autoimun antara lain:

a) Gen AIRE yang berhubungan pada mekanisme toleransi sentral terhadap limfosit T. Penyakit

yang disebabkan oleh kelainan gen ini adalah APS (Autoimmune Polyendocrine Syndrome).

b) CTLA4 yang berkaitan dengan kegagalan anergi sel T CD4+ dan fungsi sel T regulator.

c) Fas dan Fas Ligand yang berperan dalam delesi periferal dari limfosit B dan T. Defisiensi Fas

menyebabkan penyakit autoimmune lymphoproliferative syndrome (ALPS).

d) FoxP3, IL-2, IL-2R (CD25) yang berperan sebagai faktor transkripsi yang berperan penting

dalam fungsi sel T regulator. Individu dengan kelainan gen Foxp3 akan mengalami diare,

eksema, diabetes, hipotiroidisme, dan sitopenia yang disebabkan karena kadar IgE yang tinggi.

e) Polimorfisme gen FcγRIIB yang berhubungan dengan reseptor Fc inhibitor pada sel B dapat

menyebabkan lupus eritematosus sistemik.

f) Gen pengkode protein komplemen yaitu gen C1q, C2, dan C4. Gen ini berkaitan dengan

terjadinya SLE atau lupus-like autoimmune diseases. Protein komplemen berperan dalam

eliminasi kompleks imun dan sel terapoptosis. Kelainan dari gen yang mengkode komplemen

akan mengakibatkan terakumulasinya kompleks imun.

III. Faktor Infeksi

Banyak penyakit autoimun yang berkaitan dengan infeksi virus dan bakteri. Keterkaitan anta

ra infeksi dan autoimun yaitu:

Secara normal, pertemuan antara sel T reaktif dengan antigen self akan dipresentasikan oleh

Antigen Presenting Cell (APC) dalam kondisi resting atau istirahat. Hal ini disebabkan

karena adanya peripheral tolerance.

Infeksi oleh mikroba pada jaringan tertentu dapat meningkatkan respon imun lokal yang

merekrut leukosit pada jaringan dan mengaktifkan APC pada jaringan tersebut. APC yang

teraktivasi kemudian akan mengekspresikan konstimulator dan menghasilkan sitokin yang

mengaktifkan sel T.

Beberapa antigen mikroba dapat mempresentasikan antigen asing yang memiliki urutan

asam amino yang sama dengan antigen self. Untuk itu, respon imun yang melawan antigen

asing akan mengaktifkan pula limfosit T self-reactive yang spesifik untuk antigen self.

Fenomena ini dinamakan mimikri molekuler (molecular mimicry). Contohnya terjadi pada

penyakit jantung rematik, dimana antibodi yang menyerang protein streptococcal bereaksi

Page 17: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

dengan protein myocardial dan menyebabkan myocarditis.

PENTING! Molecular Mimicry adalah suatu kondisi dimana terdapat mikroba yang

menyerupai antigen self. Respons imun yang mengenali antigen ini dapat mengaktivasi sel T

dan menyerang mikroba serta antigen self yang ditemukan.

Mikroba dapat juga memicu timbulnya abnormalitas yang memicu reaksi autoimun. Bebera

pa virus seperti Epstein-Barr virus (EBV) dan HIV dapat memicu aktivasi dari sel B poliklonal, yan

g menghasilkan produksi autoantibodi. Kerusakan jaringan saat infeksi dapat menghasilkan antigen

self dan mengubah struktur dari antigen tersebut sehingga sel T teraktivasi. Infeksi dapat memacu p

roduksi sitokin yang dapat memanggil limfosit termasuk limfosit self-reactive.

Hubungan Autoimun dengan Reaksi Hipersensitivitas tipe II, III, dan IV.

Autoimunitas yang dipengaruhi oleh reaksi hipersensitivitas tipe II dimediasi oleh antibodi ter

hadap sel. Autoimunitas tipe II dapat dibedakan menjadi autoimunitas tipe IIA dan IIB. Pada autoi

munitas tipe IIA, antibodi yang dihasilkan terhadap antigen diri bersifat sitotoksik. Hipersensitivitas

tipe IIA contohnya adalah AIHA (Autoimmune Hemolytic Anemia), dimana eritrosit menampilkan

an t i gen yan g d i k e n a l i au t o an t i b o d i p ad a p e r m u k a an n ya . A u t o i m u n i t a s I I B

Page 18: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

contohnya adalah Graves’Disease dan mysatenia gravis. Pada Graves’ disease, autoantibodi te

rhadap TSHR menyebankan terjadinya hipertiroidisme. Pada myastenia gravis, autoantibodi membl

okir AchR (reseptor asetilkolin) sehingga mengakibatkan kelemahan otot dan rasa mengantuk.

Autoimunitas tipe III terjadi akibat reaksi hipersensitivitas III yang melibatkan pembentukan

kompleks antigen-antibodi. Pembentukan kompleks antigen-antibodi yang melebihi kemampuan fa

gositosis yang dimediasi FcR akan mengakibatkan desposisi kompleks tersebut dalam pembuluh da

rah atau jaringan tertentu. Contoh dari autoimunitas tipe III adalah pada penyakit LES (Lupus erite

matosus sistemik).

Autoimunitas tipe IV dimediasi oleh sel T. Biasanya berdasarkan reaksi hipersensitivitas tipe

IV ini distribusinya terbatas pada jaringan tertentu sehingga penyakit autoimunnya spesifik pada or

gan-organ tertentu. Contoh dari autoimunitas tipe IV adalah diabetes melitus tipe I, multiple sclerosi

s, dan Hashimoto’s thyroiditis.

Hal-hal pokok dan PENTING!! (Catatan Kuliah)

Beberapa faktor yang menyebabkan penyakit autoimun antara lain yaitu faktor genetik (baik

gen ataupun HLA/Human Leukocyte Antigen), faktor lingkungan seperti infeksi, obat, sinar ultravi

olet, merokok, dan adjuvant (contohnya silikon atau zat kimia dan logam seperti aluminium), faktor

hormonal seperti tingginya hormon estrogen, menurunnya hormone testostron, adanya prolaktin, da

n vitamin D. Adanya gen HLA atau non HLA ini dapat meningkatkan risiko penyakit autoimun. Fa

ktor lain yang memicu penyakit autoimun adalah faktor infeksi. Infeksi oleh virus, seperti Epstein B

arr Virus dapat mengaktivasi sistem imun secara kronik. Pada orang tertentu yang mempunyai fakto

r genetik, infeksi ini dapat menyebabkan penyakit autoimun.

Para perokok, juga memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita Rheumatoid Artritis. Vitami

n D bekerja pada semua sel imun, sehingga ketika terjadi defisiensi vitamin D dapat mengganggu k

erja sel imun itu sendiri.

Sebenarnya penyakit autoimun tidak dapat terjadi dalam waktu singkat. Prinsip terjadinya pe

nyakit autoimun dibagi menjadi dua yaitu adanya aktivasi limfosit yang self reactive, serta kegagala

n mekanisme self tolerance sel B atau sel T. Sel T regulator sangat berperan dalam mekanisme resp

ons imun itu sendiri yang berperan untuk menyeimbangkan.

Immunosencescencce Prematur terjadi ketika semua sel imun menua lebih cepat dan bersif

at tidak normal sehingga terjadi penurunan fungsional dari sel-sel imun itu sendiri. Hal ini terjadi pa

da individu yang mengalami penyakit autoimun. Salah satu karakteristik sistem imun pada penderit

a rheumatoid artritis dewasa yaitu mengalami immunosenescence pada usia lanjut.

Page 19: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

Beberapa kelainan yang dapat terjadi kareana adanya penuaan sel imun yang tidak normal a

d a l a h

Page 20: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

adanya pemendekan telomer sehingga sel imun lebih autoreaktif, serta sulit untuk melawan i

nflamasi yang terjadi. Pada proses penuaan sel-sel imun ini, menyebabkan jumlah sel T regulator m

enurun, berkurangnya sel T naïve, tetapi meningkatnya sel-sel T yang menua. Oleh karena itu, terja

dinya kegagalan mekanisme self-tolerance serta meningkatkan autoreaktivitas yang dapat menyeba

bkan autoimun. Sel T senescent atau sel T yang menua ini menyebabkan hilangnya ekspresi CD 28,

resistan terhadap apoptosis, sitokin proinflamasi meningkat, serta dapat bertahan lebih lama dibandi

ngkan dengan sel T lainnya.

Involusi timus dapat terjadi ketika hormon seks meningkat, menurunnya hormon pertumbu

han, perubahan lingkungan mikro, menurunnya IL-7, serta terjadinya obesitas.

D. Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik dan Rheumatoid Artritis

Lupus Eritematosus Sistemik (LES)

LES merupakan suatu penyakit autoimun non-spesifik (sistemik) yang merupakan manifesta

si dari HS tipe III. LES biasa ditemukan pada wanita, dengan perbandingan antara wanita - pria = 9:

1. LES ini juga lebih cenderung diderita oleh orang-orang dengan ras berkulit hitam. Ada berbagai

manifestasi klinis yang diakibatkan oleh LES, seperti ruam malar, artritis, anemia, dan lain sebagain

ya. American College of Rheumatology memberikan daftar kriteria untuk mendiagnosis LES yang t

erdiri dari 11 kriteria, dan jika terpenuhi minimal 4 saja, sudah dapat dikatakan mengidap LES. Krit

eria tersebut adalah:

1. Ruam malar

2. Ruam diskoid

3. Fotosensitivitas

4. Ulserasi oral

5. Artritis

6. Serositis (pleuritis, perikarditis)

7. Gangguan renal

8. Gangguan neurologis

9. Gangguan hematologis

10. Gangguan imunologis

11. ANA (antinuclear antibody) positif

Page 21: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

LES merupakan penyakit kompleks multifaktorial yang diantaranya melibatkan faktor genet

ik dan faktor lingkungan. Beberapa faktor genetik yang berperan, yaitu:

1. Alel HLA (human leukocytes antigen), secara spesifik yaitu HLA-DR2 dan HLA-

Page 22: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

2. DR3.

3. Pada beberapa penderita LES juga ditemukan defisiensi komplemen, yakni pada

komplemen C1q, C2, dan C4. Defisiensi komplemen ini dapat mengakibatkan dua

hal, yaitu: defek pembersihan (defective clearance) kompleks antigen-antibodi dan

sel-sel yang mengalami apoptosis; serta kegagalan toleransi dari sel B.

4. Polimorfisme dari reseptor FcγRIIB dapat pula mengakibatkan kurangnya kontrol

dari aktivasi sel B dan respon inflamasi.

Sementara itu, faktor lingkungan yang berperan adalah sinar UV, yang diperkirakan dapat m

emicu terjadinya apoptosis sehingga materi inti sel keluar dan dikenali sebagai antigen.

Patogenesis SLE kemudian dikaitkan dengan kedua

faktor tersebut. Radiasi sinar UV mengakibatkan terjadinya

apoptosis. Pembersihan yang kurang baik dari sisa-sisa sel

hasil apoptosis ini kemudian mengakibatkan banyaknya ju

mlah materi inti sel yang terekspos dan dikenali sebagai anti

gen (nuclear antigen). Faktor genetik yang telah disebutkan

di atas juga memicu terjadinya defek kemampuan toleransi

sel-sel limfosit, sehingga menghasilkan sel limfosit yang re

aktif terhadap diri sendiri. Sel B yang self-reactive ini akan

berikatan dengan antigen nuklear dan menghasilkan antibod

i spesifik terhadap antigen nuklear ini (ANA).

Kompleks antigen-antibodi spesifik ini akan berikat

an dengan Fc reseptor pada sel dendritik. Beberapa komple

ks dapat pula diendositosis dan mengaktifkan TLR (toll like

receptor). Aktivasi dari TLR ini dapat memicu sel B untuk

menghasilkan autoantibodi (antibodi yang mengenali tubuh

sendiri sebagai antigen) dan memicu sel dendritik untuk me

nghasilkan IFN-α, yang menstimulasi respon imun dan apo

ptosis yang lebih banyak lagi. Pada akhirnya, terjadilah seb

uah siklus tiada akhir:

Page 23: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

Rheumatoid Artritis (RA)

RA merupakan peradangan pada persendian ekstremitas atas dan bawah, yaitu khususnya pa

da jari, bahu, sikut, lutut, dan pergelangan kaki. Inflamasi terjadi pada jaringan sinovial sendi (sinov

itis), sehingga mengakibatkan kerusakan tulang rawan pada persendian tersebut.

Inflamasi ini melibatkan respon imun seluler dan humoral. Pada sinovium yang terinflamasi,

terdapat sel CD4+

TH1 dan TH17, sel B teraktivasi, plasma sel, dan makrofag. Selain itu, terdapat pu

la sejumlah sitokin (IL-1, IL-8, TNF, IL-6, IL-17, dan IFN-γ) pada cairan sinovial. Sitokin ini didug

a memicu jejas pada jaringan akibat aktivitas sel leukosit dan aktivasi sel-sel yang ada di sinovium

untuk menghasilkan enzim proteolitik. Enzim inilah yang akan menghancurkan jaringan kartilago, l

igamen, dan tendon yang terdapat pada persendian. Selain itu, ada pula salah satu turunan sitokin T

NF (ligan RANK - receptor activator of nuclear factor κB) yang mampu meningkatkan aktivitas ost

eoklas pada tulang, yang kemudian nantinya akan memperparah kerusakan pada jaringan tulang.

Sama seperti LES, RA juga disebabkan oleh faktor g

enetik dan lingkungan yang menyebabkan kegagalan toleran

si sel limfosit. Faktor genetik yang berperan diantaranya adal

ah HLA-DR4 dan gen pengkode tirosin fosfatase PTPN22. S

ementara, faktor lingkungan berasal dari kebiasaan merokok

atau infeksi mikroba, yang mengakibatkan protein mengala

mi sitrulinasi (CCP - citric citrullinated peptides). Perubaha

n struktur protein ini akan dikenali sebagai antigen asing yan

g kemudian akan diserang oleh sel T dan sel B self-reactive.

Sel TH17 akan memproduksi sitokin yang mengundang leuk

osit untuk masuk ke jaringan sinovial sendi, sekaligus menga

ktivasi sel sinovial untuk memproduksi enzim kolagenase da

n enzim lainnya, sehingga menghancurkan tulang rawan dan

tulang keras pada persendian tersebut.

Page 24: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

E. Uji Skrining dan Konfirmasi Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik dan

Rheumatoid Artritis

Diagnosis Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Diagnosis Utama

Diagnosis yang pertama kali dilakukan untuk menentukan apakah seseorang menderita SLE atau tid

ak adalah dengan melihat ciri fisiknya. Sedikitnya terdapat 11 tanda utama yang menjadi indikator d

alam diagnosis SLE. Empat dari ke-11 tanda tersebut merupakan prasyarat umum dari diagnosis for

mal SLE.

Pemeriksaan ANA (Antinuclear antibody)

Sebagaimana kita ketahui, tubuh manusia memproduksi serangkaian protein, yang disebut antibodi,

yang berfungsi untuk melawan antigen asing yang berhasil masuk ke dalam tubuh. Namun, ada saat

nya di mana antibodi ini salah mengira sel normal dalam tubuh kita sebagai antigen asing. Akibat d

ari salah menilai ini adalah sel plasma akan memproduksi antibodi yang menyerang sel

Sources:

Tsokos GC. Mechanism of Di

sease: Systemic Lupus Erythe

matosus. N Engl J Med. 2011;

365: 2110-21.

Page 25: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

normal tubuh tersebut. Nah, antibodi yang menyerang protein normal dalam nukleus ini disebut anti

nuclear antibodies (ANA). Sebenarnya, dalam keadaan normal, ANA juga terdeteksi dalam tubuh ki

ta namun dalam jumlah yang sangat sedikit. Keberadaan ANA yang berlebihan dalam tubuh mengin

dikasikan terjadinya penyerangan autoantibodi terhadap self-antigen. Namun, hasil positif dari test

ANA belum tentu mengindikasikan keberadaan dari penyakit autoimun atau suatu kebutuhan akan t

erapi.

Ada sejumlah mekanisme yang dapat digunakan untuk menguji keberadaan ANA. Salah satu metod

e yang paling umum digunakan adalah tes darah yang dikenal dengan nama Fluorescent Antinuclear

Antibody Test (FANA). Test ini dilakukan dengan mengamati antibodi yang telah dilabeli oleh flu

oresen menggunakan mikroskop dan menentukan pattern yang terbentuk dari proses pewarnaan ters

ebut. Test ini sangat popular digunakan untuk mendiagnosis penyakit autoimun, khususnya SLE. N

amun ternyata, 15% dari keseluruhan pasien yang dinyatakan positif pada pemeriksaan ANA ternya

ta tidak memiliki penyakit autoimun apapun. Oleh sebab itu, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut un

tuk menegakkan diagnosis apakah seseorang benar-benar menderita penyakit autoimun atau tidak.

Level ANA diukur berdasarkan titer dengan perbandingan tertentu dan pattern yang terbentuk di ba

wah mikroskop. Pembacaan titer ini dilakukan dengan menambahkan saline (air garam) ke porsi liq

uid (cairan) dari darah manusia. Contoh, jika 1 bagian darah dicampurkan dengan 40 bagian saline

maka akan terbentuk larutan dengan perbandingan 1:40. Standard yang digunakan untuk menyataka

n apakah seseorang menderita penyakit autoimun bervariasi satu dengan yang lainnya. Namun, keba

nyakan laboratorium menyatakan seseorang menderita penyakit autoimun jika titer yang digunakan

di atas 1:160.

Seperti dijelaskan di atas, hasil positif dari suatu pemeriksaan ANA tidak serta merta mengindikasik

an bahwa seseorang menderita penyakit autoimun tertentu. Namun, secara mutlak hasil negatif dari

ANA mengindikasikan bahwa tidak ada autoantibodi yang terbentuk dalam tubuh seseorang. Menga

pa pemeriksaan ANA positif tidak dapat mengindikasikan secara langsung seseorang menderita suat

u penyakit autoimun?

Karena terkadang seseorang yang normal dapat memproduksi ANA secara berlebihan. Contoh, sese

orang yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk memproduksi

ANA secara berlebih. Angka prevalensi yang menunjukkan orang sehat (normal) dengan hasil

positif tes ANA berkisar antara 3-15%.

Sejumlah penyakit dan pengobatan dapat menyebabkan produksi berlebih dari ANA. Contoh, pende

rita kanker memiliki kadar ANA lebih tinggi dari normal dan kerap merespon positif terhadap p

e n g u j i a n A N A .

Page 26: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

Interpretasi hasil dari test ANA

Selain perbandingan titer saline dengan porsi liquid dari darah pasien, pattern yang terbentuk dari pr

oses fluoresensi juga dapat digunakan untuk mengindikasikan penyakit autoimun tertentu yang mun

gkin diderita. Terdapat sejumlah pattern umum yang biasanya mengindikasikan kecenderungan sese

orang terhadap penyakit autoimun tertentu. Meskipun demikian, interpretasi terhadap suatu pattern t

idak serta merta merujuk pada penyakit autoimun tertentu. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pa

ttern yang muncul pada perbedaan titer.

Pemeriksaan anti ds-DNA (anti double stranded DNA)

Pemeriksaan anti ds-DNA bertujuan untuk menghitung jumlah antibodi yang menyerang DNA unta

i ganda. Anti ds-DNA adalah salah satu bentuk autoantibodi, yang diproduksi ketika sistem imun se

seorang gagal membedakan mana yang komponen seluler diri sendiri dan komponn seluler asing. K

esalahan sistem imun ini menyebabkan antibodi menyerang materi genetik tubuh, menyebabkan infl

amasi, kerusakan jaringan dan simptom terkait penyakit autoimun.

Anti ds-DNA merupakan salah satu jenis ANA, yaitu sekumpulan antibodi yang menyerang subtans

i yang terdapat dalam nukleus sebuah sel. Anti ds-DNA biasanya ditemukan dalam kadar yang rend

ah pada penyakit autoimun lainnya, namun ditemukan dalam jumlah yang signifikan dan cukup ting

gi pada penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Hal inilah yang membuat anti ds-DNA seb

agai salah satu pengujian penting dan spesifik dalam menegakkan diagnosis terhadap SLE.

Page 27: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

Pengujian anti ds-DNA digunakan untuk menegakkan diagnosis terhadap penyakit SLE dan membe

dakannya dari penyakit autoimun lainnya. Test ini biasanya disarankan kepada individu dengan hasi

l positif pada pengujian ANA, terutama pada pasien yang menunjukkan pattern homogenous atau be

rbintik, dan kepada individu yang menunjukkan simptom-simptom SLE. Biasanya pengujian anti ds

-DNA disarankan bersama dengan pemeriksaan lain seperti anti Sm (Smith antibody) dan ENA (Ext

ratable Nuclear Antigen). Teknik yang umum digunakan dalam pengujian anti ds-DNA antara lain:

IFA (Indirect Immunofluorescence)

Pada metode ini, digunakan Chritidia lucilliae, yaitu golongan flagelata yang memiliki kinetopla

st berisi DNA. Dengan metode ini, anti ds-DNA dapat diukur secara semikuantitatif.

ELISA

Pada metode ini, digunakan enzim sebagai marker terhadap antibodi spesifik yang banyak terda

pat pada penderita SLE, yaitu IgG anti ds-DNA.

Radioimmunoassay (Farr-RIA)

FARR atau Fluid Phase Radioimmunoassay menggunkan marker radioaktif pada antibodi yang

mengenali ds-DNA. Campuran tersebut kemudian dipresipitasikan dengan ammonium sulfat . R

IA terdiri dari RIA direct (langsung memberikan marker pada antibodi) atau indirect (membiark

an antibodi berikatan dengan antigen dahulu, baru kemudian menambahkan marker). Hasil diper

oleh melalui penghitungan radioaktivitas dari marker-marker tersebut.

Pemeriksaan ENA (Extratable Nuclear Antibody)

Pemeriksaan ENA juga merupakan pemeriksaan lanjutan dari ANA positif. Meskipun demikian, pe

meriksaan ENA kurang spesifik untuk menegakkan diagnosis SLE, karena anti-ENA juga ditemuka

n pada penyakit autoimun lainnya. ENA bereaksi dengan berbagai macam substrat dan senyawa dal

am sel, seperti protein yang berikatan dengan RNA dan antigen Sm.

Hasil positif pada ENA tidak serta merta menyatakan bahwa seseorang menderita SLE. Nam

un, dapat dipastikan bahwa pasien tersebut menderita penyakit autoimun rheumatoid. Sebagaimana

disebutkan di atas, pemeriksaan anti-ENA dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi yang menyer

ang antigen Sm. Antigen Sm merupakan antigen yang banyak terdapat pada penderita SLE. Namun,

antigen Sm bervariasi pada masing-masing etnik, sehingga cukup sulit untuk menyatakan apakah S

LE pada etnik yang satu sama dengan yang lainnya.

Referensi:

Page 28: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

1. Alvina Widhani. Penyakit Autoimun. Slide Kuliah. Departemen Ilmu Penyakit Dalam : Divisi

Imunologi Klinik. FKUI. RSCM

2. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 8th

ed. Philadelphia : Saunders Elsevier; 2011

3. Woods P. Understanding Immunology. 2nd ed. England : Pearson Education Limited; 2006

4. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology. 7th Edition.

Philadelphia : Saunders Elsevier ; 2012

5. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Edisi 9. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2010.

6. Kresno, Siti Boedina. IMUNOLOGI: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi Kelima.

2010. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

7. O’Goorman MR, Donnenberg AD. Handbook of Human Immunology. 2nd Ed. Boca Raton:

CRC Press; 2008.

8. Eales LJ. Immunology for life-scientists. 2nd Ed. West Susex: John Wiley & Sons; 2003.

9. Paul WE. Fundamental Immunology. 6th

Ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins;

2008

10.

Special THANKS to :

1. Vanya Tedhy

2. Felicia Sesi Herdian

3. Jonathan Grantomo

4. Nela Lutfiana

5. Edwin Adhi Darmawan

6. Raka Aldy

7. Felicia

8. Ferry Liwang

9. Kadek Aditya Darma Yoga

10. Anasthasia Devina Sutedja

Teman-teman di atas adalah pihak-pihak yang turut membantu para penyusun tentir ini dengan men

yumbangkan materi-materi penting dari sumber terpercaya pada LTM mereka demi terselesaikanny

a tentir kece yang dikerjakan dalam waktu singkat ini Terima kasih teman-teman….

Page 29: Tentir Autoimun

TITAN – Tentir Angkatan Modul Imunologi Autoimun SIEPEND FKUI 2012 BP/CJA/MH

FKUI 2012 SATU! Satu Angkatan Tetap Utuh!

Sumber Gambar:

1. http://2.bp.blogspot.com/-

XKwi2QfvuEU/UKJrG_kEBYI/AAAAAAAADuk/aQXrnmoIzfk/s1600/imun.jpg

2. http://graceputrima.files.wordpress.com/2012/05/immunology_logo2.png

*) Bagian PENTING!! à PERLU dibaca dan dipahami karena diambil dari slide

kuliah atau keterangan dosen saat mengajar