indo

13
Contoh Analitik: Penggambaran fisik dan perilaku tokoh Contoh: Seorang gadis berambut panjang terurai basah kena hujan menghampiriku. Ah, dia tidak menghampiriku. Dia hanya ingin mencari perlindungan dari guyuran hujan sepertiku. Celana dan kaos hitamnya basah. Setelah sampai di dekatku, dia memberi senyuman. Barisan giginya putih rapi. Bibirnya tipis. Gadis itu cantik aku membatin. Ah, apa peduliku dengan kecantikannya! Dalam perjalananku keliling beberapa kota untuk pementasan, selalu saja dapat kutemui gadis-gadis cantik “terpanjang” di etalase-etalase kampus, pertokoan, dan pasar. Mereka dipermak, dirias sedemikian rupa menjadi sebuah kamuflase fashion dan make-up. Penggambaran cara berbahasa tokoh Contoh : Kata-katanya sering membuat marah orang-orang yang mendengarkannya. Teriakan mengancam begitu mudah mengucur dari mulutnya sehingga sering membuat orang-orang yang baru mengenalnya menjadi takut. Logatnya memang tidak seperti orang-orang kebanyakan. Ia seperti orang dari daerah pedalaman. Penggambaran lingkungan kehidupan tokoh Contoh : Desa Karangsaga tidak kebagian listrik. Padahal, kampung- kampung tetangganya sudah pada terang semua. Desa itu gelap gulita kalau malam; ditambah cepat becek kalau hujan tiba. Banyak anjing berkeliaran di sana, beberapa di antaranya tidak jelas empunya. Tahap- tahap alur: 1. Pengenalan situasi cerita (exposition), pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan, dan menjelaskan hubungan antartokoh. 2. Pengungkapan peristiwa (complication), disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran- kesukaran bagi para tokohnya. 3. Menuju konflik (rising action), terjadi peningkatan perhatian, kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan berbagi situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh.

Upload: jane-summers

Post on 18-Feb-2016

264 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

n

TRANSCRIPT

Page 1: Indo

Contoh Analitik:

Penggambaran fisik dan perilaku tokohContoh: Seorang gadis berambut panjang terurai basah kena hujan menghampiriku. Ah, dia tidak menghampiriku. Dia hanya ingin mencari perlindungan dari guyuran hujan sepertiku. Celana dan kaos hitamnya basah. Setelah sampai di dekatku, dia memberi senyuman. Barisan giginya putih rapi. Bibirnya tipis. Gadis itu cantik aku membatin. Ah, apa peduliku dengan kecantikannya! Dalam perjalananku keliling beberapa kota untuk pementasan, selalu saja dapat kutemui gadis-gadis cantik “terpanjang” di etalase-etalase kampus, pertokoan, dan pasar. Mereka dipermak, dirias sedemikian rupa menjadi sebuah kamuflase fashion dan make-up.

Penggambaran cara berbahasa tokohContoh : Kata-katanya sering membuat marah orang-orang yang mendengarkannya. Teriakan mengancam begitu mudah mengucur dari mulutnya sehingga sering membuat orang-orang yang baru mengenalnya menjadi takut. Logatnya memang tidak seperti orang-orang kebanyakan. Ia seperti orang dari daerah pedalaman.

Penggambaran lingkungan kehidupan tokohContoh : Desa Karangsaga tidak kebagian listrik. Padahal, kampung-kampung tetangganya sudah pada terang semua. Desa itu gelap gulita kalau malam; ditambah cepat becek kalau hujan tiba. Banyak anjing berkeliaran di sana, beberapa di antaranya tidak jelas empunya.

Tahap- tahap alur:1. Pengenalan situasi cerita (exposition), pengarang memperkenalkan para tokoh, menata adegan, dan menjelaskan hubungan antartokoh.2. Pengungkapan peristiwa (complication), disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya.3. Menuju konflik (rising action), terjadi peningkatan perhatian, kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan berbagi situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh.4. Puncak konflik (turning point), disebut pula klimaks, bagian cerita yang paling mendebarkan. Ditentukan pula perubahan nasib beberapa tokohnya. Misal, apakah dia berhasil menyelesaikan masalahnya atau gagal.5. Penyelesaian (ending), merupakan akhir cerita yang berisi penjelasan nasib-nasib yang dialami tokoh setelah mengalami pristiwa puncak itu. Ada pula cerpen yang endingnya diserahkan kepada imajinasi pembaca. Jadi, akhir ceritanya dibiarkan

Page 2: Indo

Berdasarkan periode pengembangannya, alur cerpen dapat dikelompokkan sebagai berikut:a. Alur normal :1,2,3,4,5b. Alur sorot balik :5,4,3,2,1c. Alur maju-mundur : 4 , 5 , 1 , 2 , 3Periode-periode tersebut adalah: 1. pengenalan situasi cerita/babak awal 2. pengungkapan peristiwa 3. menuju konflik 4. puncak konflik 5. Penyelesaian (Biasanya unsur-unsur yang sering hadir hanya 23 saja, misal unsur (2 , 3 , 4).

Teknik analitik atau penggambaran langsung.1. Intan namanya. Dia anak yang cantik, anggun, pintar, kaya raya, ceria, dan baik

hati. Dia anak yang sempurna, ditambah keramahannya, kesopanannya, membuat orang lain terpikat dengannya. Sekarang ia duduk di kelas IX SMP dan sedang menghadapi ujian.

2. Eka memang sangat menarik. Dia cantik dengan rambut ikalnya yang panjang. Hidungnya kecil dan lancip, matanya yang lebar dilengkapi dengan bulu mata yang lebat dan lentik. Wajahnya disempurnakan dengan bibirnya yang sensual dan merah, meski tak memakai lipstik. Dia sangat supel sehingga disukai teman-temannya. Teman-temannya pun beragam mulai dari kalangan ekonomi lemah sampai dengan ekonomi atas. Eka sendiri berasal dari keluarga yang kaya, tetapi sangat mengedepankan kesederhanaan. Tak heran kalau Eka terbiasa rajin dan rapi untuk urusan pribadinya.

1.    Metode Analitik (secara langsung)Pengarang menggambarkan watak-watak tokoh secara langsung, maksudnya adalah langsung disebutkan wataknya dalam cerita tsb.Contoh :

Eka memang sangat menarik. Dia cantik dengan rambut ikalnya yang panjang. Hidungnya kecil dan lancip, matanya yang lebar dilengkapi dengan bulu mata yang lebat dan lentik. Wajahnya disempurnakan dengan bibirnya yang sensual dan merah, meski tak memakai lipstik. Dia sangat supel sehingga disukai teman-temannya. Teman-temannyapun beragam mulai dari kalangan ekonomi lemah sampai dengan ekonomi atas. Eka sendiri berasal dari keluarga yang kaya, tetapi sangat mengedepankan kesederhanaan. Tak heran kalau Eka terbiasa rajin dan rapi untuk urusan pribadinya.

2.   Metode Dramatik (tidak langsung)Pengarang dalam menggambarkan watak watak-watak tokohnya tidak langsung menyebutkan wataknya, tetapi melalui bermacam-macam cara, yaitu :

A.  Melalui penggambaran tempat tinggal atau lingkungan tokohContoh :                                                       

Kawer sedang tiduran di kamarnya yang luas. Ukurannya tak kurang dari 4 X 4 m. Ranjangnya yang berukuran no. 1 terlihat acak-acakan. Spreinya sangat kusut.

Page 3: Indo

Diatas tempat tidurnya tedapat buku-buku berserakan yang bercampur dengan baju seragam yang baru dilepasnya. Sepatunya terlihat di ranjang tapi hanya yang sebelah kanan, sedangkan sepatu yang sebelah kiri terlihat di sudut kamar di belakang pintu. Di belakang pintu kamar itu terlihat terdapat kapstok yang dipenuhi pakain kotor. Di lantai kamar terlihat berpasang-pasang kaos kaki dan pakaian yang entah sudah berapa hari tidak dicuci. Televisi dikamar Kawer juga tertutupi debu yang tebal. Di situ Kawer telentang dengan kaos kaki yang masih melekat di kakinya.

B.  Melalui percakapan tokoh atau tokoh lainContoh 1 :Rina   : “Sin, bagaimana sebenarnnya Lita ya ?Sinta  : “Ya bagaimana lagi ! Dia itu memang judes sich. Tapi sebenarnya dia baik juga lho”Rina   :“Ya emang. Kemarin aku diajarin dia waktu kesulitan mengerjakan PR

matematika.”Sinta  : “Itulah, biar saja dia sekarang marah. Sebentar lagi juga dia akan baik. Dia

itu nggak bakalan tahan kalau marah lama-lama. Lagian, kalau kamu nggak nyinggung dia duluan, dia juga ndak mungkin semarah itu.”

Rina   : “Aku emang salah. Tapi tadi aku sudah minta maaf. Cuma Lita emang marah banget, jadi pas aku minta maaf dia malah pergi.”

Contoh Dramatik melalui percakapan tokoh atau tokoh lainContoh 2 :

“Rin kamu ini gimana sich ? Cuma bercanda kok malah marah beneran,” tegur Lila. Rinta sejenak menatap Lila, lalu katanya,” Yach maaf Lila, aku memang mudah tersinggung, tapi jangan khawatir ya, aku kalau marah ngga bisa bakalan lama-lama. “Rinta menggandeng tangan Lila. Lila tersenyum dan berkata,” Iya, tapi aku takut, karena kamu sahabatku jadi aku khawatir ntar kamu dendam ke aku, kaya temen kita yang di sana itu,” Ujar Lila sambil matanya melirik ke arah kanan. Rinta Cuma bilang,” Ya, kalau sama dia, kamu musti ati-ati, jangan bikin dia marah, ntar kamu bias dimusuhin selama-lamanya.” Dua cewek itupun tertawa tertahan sambil melirik ke arah Nola.

C.  Melalui pikiran sang tokoh atau tokoh lainContoh “                          

Dina menatap wajah ibunya.” Ibuku memang cantik,”batinnya,” meski sudah lanjut usia, kecantikan ibu masih terlihat jelas di wajahnya. Aku sangat menyayangi wanita ini. Sikapnya yang tegas telah ikut membentuk karakterku. Kasih sayangnya padaku tak pernah habis. Perhatiannya padaku juga sangat luar biasa. Meski sejak usiaku 10 tahun ayah sudah meninggal, tapi ibuku samapi kini tak menikah lagi. Ibu sangat kuat dan tabah dalam menapaki hari-hari bersamaku, mendidikku, mengajariku, membimbingku sendirian. Aku ingin sekali bias sekuat dia,” Begitu pikir Dina.”

D.  Melalui perbuatan atau tingkah laku tokohContoh :         Pulang sekolah tanpa mengetuk pintu, Tono langsung masuk rumah dan dibantingnya pintu rumahnya dengan keras. Ibunya yang sedang berada di dapur sampai terkejut. Begitu masuk, Tono langsung menuju meja makan, segera dibukanya tudung saji. Ketika dilihatnya lauknya itu-itu saja, dibantingnya tudung

Page 4: Indo

saji sampai gelas yang yang ada di meja makan jatuh dan hancur berkeping-keping. Dengan muka masam ia menuju ke kamarnya. Ditendangnya pintu kamarnya samapi terbuka, lalu masuk. Dibantingnya pintu itu untuk menutup. Kemudian ia membantingkan badannya di tempat tidur tanpa mencopot sepatu. Tangannya meraih tape recorder, lalu dia menyetel lagu-lagu rock dengan volume maksimal.

Bertukar Tempat Dina dan Dini adalah saudara kembar. Wajah mereka sangat mirip. Model rambut mereka juga sama. Apalagi mereka sering memakai pakaian yang sama. Walaupun begitu, sifat mereka agak berbeda. Dina agak pemalu dan pendiam. Ia pintar di kelas. Sementara Dini lincah dan banyak bicara. Di kelas prestasinya sedang-sedang saja.

Dini dan Dina bersekolah di tempat yang berbeda. Mama papa mereka ingin mereka memiliki pengalaman dan teman yang berbeda. Mereka juga tak ingin guru dan teman-teman di sekolah bingung membedakan Dina dan Dini.

Suatu malam ketika sedang belajar di kamar, tiba-tiba Dini berkata pada Dina. “Eh, Na. Besok kita tukaran tempat yuk!”

“Tukaran tempat bagaimana maksudmu?” tanya Dina tak mengerti.

“Kamu nanti masuk ke sekolahku dan aku masuk sekolahmu. Kita tukaran seragam dan tas sekolah. Aku yakin orang-orang tidak akan tahu. Aku ingin merasakan bagaimana suasana belajar di sekolahmu.”

“Ah, takut ketahuan, Ni! Lagi pula aku tidak kenal teman-temanmu dan guru-gurumu,” kata Dina panik.

“Tenang saja! Nanti aku kasih tahu, siapa nama teman-temanku di kelas dan siapa guru-guruku. Kamu tenang saja. Pokoknya, pasti asyik, deh!”

Karena terus dibujuk saudaranya, akhirnya Dina setuju.

Pagi itu, Dini dan Dina buru-buru berangkat ke sekolah. Mereka tak mau rencana mereka ketahuan Mama. Sesuai rencana yang telah disepakati, Dina berangkat ke sekolah Dini. Dan begitu sebaliknya.

Ketika memasuki ruang kelas, Dina berpapasan dengan teman-teman Dini. Mereka menyapanya. Dina membalas sapaan mereka. Tidak ada seorang pun yang curiga. Ternyata teman-teman Dini berhasil dikecohnya. Dina duduk di bangku yang biasa diduduki Dini.

Page 5: Indo

“Ni, kamu sudah bikin PR, belum?” Tiba-tiba seorang anak perempuan yang memakai pita merah bertanya. Dia pasti Riana, batin Dina.

“PR apa?” tanya Dina, karena ia memang tidak tahu. Dini tidak memberitahu kalau ada PR.

“PR Matematika. Masak lupa?”

“Oh ya.” Dina buru-buru membuka tas dan memeriksa buku PR matematika Dini. Ternyata Dini belum mengerjakan PR.

Huh, Dini rupanya ingin mengerjai aku. Dia minta aku menggantikan tempatnya, karena dia belum mengerjakan PR. Untung Riana mengingatkannya. Dina mulai jengkel pada Dini.

Terpaksa Dina mengerjakan PR Dini. Ketika bel tanda masuk berbunyi, PR matematika itu sudah selesai dikerjakannya. Dina berharap, tidak ada lagi kejadian yang bikin hatinya kesal. Dia juga berharap jam sekolah segera berakhir. Ia ingin buru-buru marah pada Dini.

Akan tetapi, harapannya tidak terkabul. Pada jam pelajaran Bahasa Indonesia, tiba-tiba Dina diminta maju ke depan oleh Pak Guru. Dengan agak gugup dan bingung Dina melangkah ke muka kelas. Dia berdiri di hadapan teman-temannya.

“Kemarin kan, kamu tidak membuat PR Bahasa Indonesia. Dan sebagai hukuman, Bapak kemarin memberimu tugas membuat puisi. Apa sudah kamu bikin? Sekarang, ayo bacakan puisi karya kamu itu!” ujar Pak Guru tegas.

Ya, ampun! Kok jadinya begini, gerutu Dina dalam hati.

Tiba-tiba Dina sadar, kalau Dini sebenarnya sedang mengerjai dirinya. Dini sengaja mengajak bertukar tempat karena dia malas dan tidak mau mengerjakan tugasnya. Untunglah Dina suka menulis puisi. Dengan mudah ia menciptakan puisi dadakan.

Pulang dari sekolah, Dina tak bisa menahan diri lagi. Ia langsung marah-marah pada Dini. Juga melaporkan perbuatan Dini kepada Mama.

Mama akhirnya menegur Dini. Walaupun begitu, Dina juga kena teguran.

“Lo, Mama, kok, marah sama Dina juga? Dina kan sudah jadi korban perbuatan Dini,” kata Dina membela diri.

“Kamu juga salah! Kalau kamu tidak menerima ajakan Dini, tentu kejadian ini tak akan terjadi. Kalian telah bekerja sama melakukan kebohongan. Ingat, berbohong itu bukan hanya merugikan orang lain, tapi juga diri sendiri. Orang yang suka berbohong tidak akan dipercaya orang lain!” tegas Mama.

“Maafkan Dina, Ma. Dina janji tidak akan mau diajak berbohong lagi!”

“Dan kamu Dini. Kalau ada kesulitan atau masalah, jangan dipendam sendiri. Apalagi dibebankan pada orang lain. Itu namanya tidak bertanggung jawab. Lebih baik berterus terang dan tak perlu malu untuk meminta tolong. Mengerti?” ujar Mama kepada Dini.

Page 6: Indo

Dini mengangguk. Ia merasa bersalah dan menyesal. Dia berjanji tidak akan mengulangi perbuatan seperti ini lagi!

SUDUT PANDANG 1. SP Orang Pertama Tunggal

Pengarang dalam sudut pandang ini menempatkan dirinya sebagai pelaku sekaligus narator dalam ceritanya. Menggunakan kata ganti “Aku” atau “Saya”. Namun begitu, SP ini bisa dibedakan berdasarkan kedudukan “Aku” di dalam cerita itu. Apakah dia sebagai pelaku utama cerita? atau hanya sebagai pelaku tambahan yang menuturkan kisah tokoh lainnya?

a. “Aku” tokoh utama

Pengarang menempatkan dirinya sebagai tokoh di dalam cerita yang menjadi pelaku utama. Melalui tokoh “Aku” inilah pengarang mengisahkan kesadaran dirinya sendiri (self consciousness); mengisahkan peristiwa atau tindakan. Pembaca akan menerima cerita sesuai dengan yang diketahui, didengar, dialami, dan dirasakan tokoh “Aku”. Tokoh “Aku” menjadi narator sekaligus pusat penceritaan.

Apabila peristiwa-peristiwa di dalam cerita anda terbangun akibat adanya konflik internal (konflik batin) akibat dari pertentangan antara dua keinginan, keyakinan, atau harapan dari tokoh cerita, SP ini merupakan pilihan yang tepat. Karena anda akan leluasa mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh tokoh cerita anda.

Sambil bermain aku melirik topi lakenku. Kulihat sebuah kursi roda. Duduk di kursi roda itu, seorang tua yang wajahnya tak bisa kulihat dengan jelas karena memakai topi laken seperti aku. Rambutnya gondrong dan sudah memutih seperti diriku, namun ketuaannya bisa kulihat dari tangannya yang begitu kurus dan kulitnya yang sangat keriput. Tangan itulah yang terangkat dan tiba-tiba menggenggam sebuah gitar listrik yang sangat indah.

Perhatikan kata: kulihat pada penggalan cerita di atas. Tokoh “Aku” hanya menyampaikan apa yang terlihat oleh matanya. Begitulah, jika anda memilih SP ini, anda tidak mungkin mengungkapkan perasaan atau pikiran tokoh-tokoh lain, selain tokoh “Aku”.

Kebanyakan penulis yang menggunakan SP ini, seringkali terlalu asyik menceritakan (tell) keseluruhan cerita, tanpa berusaha menunjukkan (show) atau memperagakannya. Akibatnya cerita menjadi kurang dramatis. Bahkan bukan tidak mungkin, apabila anda memilih SP ini, anda akan kesulita memperkenalkan tokoh, apakah seorang perempuan atau lelaki. Seno Gumira Ajidarma cukup piawai melukiskan tokoh “Aku” lewat adegan dalam penggalan cerita di atas.

Namun, karena cerita dituturkan oleh tokoh “Aku”, anda harus menulis dengan bahasa tokoh “Aku”, sesuai dengan karakter yang telah anda tetapkan. Apabila tokoh anda lebih tua atau lebih muda dari usia anda, akan mempengaruhi bahasa yang bisa anda gunakan. Sebab itu, mengenali dengan baik karakter tokoh anda menjadi sebuah keharusan.

Page 7: Indo

b. “Aku” tokoh tambahan

Pengarang menempatkan dirinya sebagai pelaku dalam cerita, hanya saja kedudukannya bukan sebagai tokoh utama. Keberadaan “Aku” di dalam cerita hanya sebagai saksi. Dengan demikian, tokoh “Aku” bukanlah pusat pengisahan. Dia hanya bertindak sebagai narator yang menceritakan kisah atau peristiwa yang dialami tokoh lainnya yang menjadi tokoh utama.

Tetangga saya orangnya terkenal baik. Suka menolong orang. Selalu memaafkan. Apa saja yang kita lakukan terhadapnya, ia dapat mengerti dengan hati yang lapang, bijaksana, dan jiwa yang besar. Setiap kali ia mengambil putusan, saya selalu tercengang karena ia dapat melakukan itu dengan kepala yang kering, artinya sama sekali tidak ketetesan emosi. Tidak hanya terhadap persoalan yang menyangkut orang lain, untuk setiap persoalan pribadinya pun ia selalu bertindak sabar dan adil. Banyak orang menganggapnya sebagai orang yang berhati agung.

Dalam penggalan cerita karya Putu Wijaya di atas, terlihat tokoh “Saya” mengomentari atau memberikan penilaian pada tokoh utama—tetangganya. SP ini memang mirip dengan SP orang ketiga. Hanya saja narator ikut terlibat di dalam cerita. Sebab itu dia menjadi sangat terbatas, tidak bersifat mahatahu. Sebagai narator, tokoh “Saya” hanya mungkin mengomentari apa yang dilihat dan didengar saja. Narator melalui tokoh “Aku” bisa saja mengungkapkan apa yang dirasakan atau dipikirkan tokoh “Dia”, namun komentar itu hanya berupa dugaan dari tokoh “Aku”. Atau kemungkinan berdasarkan apa yang diamati dari gerak tubuh tokoh “Dia” atau karakter dari tokoh “Dia” yang memang telah diketahui secara umum.

2. SP Orang Pertama Jamak

Bentuk SP ini sesungguhnya hampir sama dengan SP orang pertama tunggal. Hanya saja menggunakan kata ganti orang pertama jamak, “Kami”. Pengarang dalam sudut pandang ini menjadi seseorang dalam cerita yang bicara mewakili beberapa orang atau sekelompok orang. Perhatikan petikan di bawah ini.

Kami bekerja sebagai juru masak di sebuah restoran continental yang brengsek. Kami sebut restoran ini brengsek, sebab kami diwajibkan memasak sambil menangis. Bayangkan! Kami mengaduk kuah buntut sambil menangis. Kami memasak nasi goreng, merebus aneka pasta, membuat adonan pizza, memotong daging ayam, mengupas kentang, semua itu kami lakukan sambil menangis. Begitulah. Setiap hari selalu ada saja airmata yang meluncur dari sepasang mata kami; mengalir membasahi pipi, dagu, dan menetes ke dalam setiap masakan kami.

Dalam SP ini, pembaca mengikuti semua gerak dan tindakan satu orang atau beberapa orang melalui kaca mata sebuah kelompok. Narator dalam cerita yang berbicara mewakili kelompoknya (“Kami”), tidak pernah mengungkapkan jati dirinya kepada pembaca, seakan-akan dia tidak mempunyai jati diri, selain jati diri kelompoknya. SP orang pertama jamak ini bisa anda pilih, jika anda ingin membuat cerita dengan latar sebuah komunitas kecil seperti sekolah, masjid, keluarga, restoran, dll. Anda bisa memusatkan penceritaan pada seorang tokoh yang memiliki masalah dengan lingkungan sekitarnya. Jika ini yang dipilih, maka “Kami” hanya menjadi tokoh tambahan yang menuturkan konflik yang dialami oleh tokoh utama. Atau justru sekelompok orang itu (“Kami”) yang memiliki masalah dengan

Page 8: Indo

lingkungannya, seperti yang bisa kita lihat pada cerpen Resep Airmata, karya Nurhadiansyah. Dengan demikian, “Kami” di dalam cerita sekaligus menjadi tokoh utama, sebagai pusat penceritaan.

3. SP Orang Kedua

Pengarang menempatkan dirinya sebagai narator yang sedang berbicara kepada orang lain, menggambarkan apa-apa yang dilakukan oleh orang tersebut. SP ini menggunakan kata ganti orang kedua, “Kau”, “Kamu” atau “Anda” yang menjadi pusat pengisahan dalam cerita.

Kedua lututmu terasa lemas saat kau bersandar pada pemadam api yang baru saja dicat merah, putih, dan biru. Nalurimu ingin berlari mendekati mereka, berteriak, aku juga! Aku juga! Sekarang kau bisa merasakan penyangkalan yang sudah lama sekali kaulakukan; kau ingin berlari dan mengatakan kepadanya tentang kehidupanmu selama tiga puluh satu tahun tanpa dirinya, dan membuatnya berteriak dengan kepastian tanpa dosa: Oh, kau sungguh putri yang cantik!

Pada SP ini pembaca seolah-olah diperlakukan sebagai pelaku utama. Pembaca akan merasa seperti seseorang yang tengah membaca kiriman surat dari kerabat atau orang terdekatnya. Sehingga membuat pembaca menjadi merasa dekat dengan cerita, karena seolah-oleh dialah pelaku utama dalam cerita itu.

4. SP Orang Ketiga TunggalPengarang menempatkan dirinya sebagai narator yang berada di luar cerita, atau tidak terlibat dalam cerita. Dalam SP ini, narator menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut namanya, atau kata gantinya; “Dia” atau “Ia”

SP orang ketiga dapat dibedakan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap cerita. Pada satu pihak, pengarang atau narator dapat bebas mengungkapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh “Dia”. Di pihak lain, pengarang atau narator tidak dapat leluasa menguangkapkan segala hal yang berhubungan dengan tokoh “Dia”, atau dengan kata lain hanya bertindak sebagai pengamat.

a. SP Orang Ketiga Mahatahu

SP ini sering juga disebut SP ‘mata tuhan’. Sebab dia berlaku seperti ‘tuhan’ terhadap tokoh-tokoh di dalam ceritanya. Pengarang atau narator mengetahui segala hal tentang tokoh-tokohnya, peristiwa, dan tindakan, termasuk motif yang melatarbelakanginya. Dia bebas berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Bahkan, pengarang bebas mengungkapkan apa yang ada dipikiran serta perasaan tokoh-tokohnya.

“Ya ampun, luar biasa mimpiku ini,” kata Tomas sambil menghela napas, kedua tangannya memegang setir, memikirkan roket, wanita, wiski yang aromanya menyengat, rek kereta api di virginia, dan pesta tersebut.Sungguh visi yang aneh, pikir makhluk Mars itu, sambil bergegas membayangkan festival, kanal, perahu, para wanita dengan mata berkilauan bagai emas, dan aneka lagu.

Dalam SP ini, pengarang bebas memasuki pikiran dua atau tiga orang dan menunjukkannya pada pembaca. Seperti contoh di atas, pengarang seakan tahu

Page 9: Indo

apa yang ada di pikiran Tomas, pada saat yang bersamaan dia juga mengetahui apa yang ada di pikiran makhluk Mars.

b. SP Orang Ketiga Terbatas

Dalam SP ini, pengarang juga bisa melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikirkan dan dirasakan oleh tokoh ceritanya. Namun hanya terbatas pada satu tokoh, atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas (Stanton, 1965:26). Pengarang tidak leluasa berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Melainkan terikat hanya pada satu atau dua tokoh saja.

Selalu ada cita-cita di dalam benaknya, untuk mabuk dan menyeret kaki di tengah malam, menyusuri Jalan Braga menuju penginapan. Ia akan menikmati bagaimana lampu-lampu jalan berpendar seperti kunang-kunang yang bimbang; garis-garis bangunan pertokoan yang—yang berderet tak putus—acap kali menghilang dari pandangan; dan trotoar pun terasa bergelombang seperti sisa ombak yang menepi ke pantai.

Dari contoh di atas, tampak Kurnia Effendi sebagai pengarang masuk ke dalam benak tokoh “Ia” dan menyampaikan isi kepala tokohnya itu kepada pembaca. Hal ini mirip SP orang ketiga mahatahu. Hanya saja terpadas pada satu orang tokoh saja yang merupakan tokoh utama.

c. SP Orang Ketiga Objektif

Pengarang atau narator dalam SP ini bisa melukiskan semua tindakan tokoh-tokohnya, namun dia tak bisa mengungkapkan apa yang dipikirkan serta dirasakan oleh tokoh-tokohnya. Dia hanya boleh menduga apa yang dipikirkan, atau dirasakan oleh tokoh ceritanya.

Si lelaki tua bangkit dari kursinya, perlahan-lahan menghitung tatakan gelas, mengeluarkan pundi-pundi kulit dari kantungnya dan membayar minumannya dan meninggalkan persenan setengah pesetaSi pelayan mengikutinya dengan mata ketika si lelaki tua keluar ke jalan, seorang lelaki yang sangat tua yang berjalan terhuyung-huyung tetapi tetap dengan penuh harga diri.“Kenapa tak kau biarkan saja dia minum sampai puas?” tanya si pelayan yang tidak tergesa-gesa. Mereka berdua sedang menurunkan semua tirai. “Hari belum lagi jam setengah dua.”“Aku ingin cepat pulang dan tidur.”

Seperti ternampak pada penggalan cerita karya Ernest Hemingway di atas, narator hanya berlaku seperti wartawan yang tengah melaporkan sebuah peristiwa. Posisinya sejajar dengan pembaca. SP ini menuntut ketelitian dalam mencatat dan mendeskripsikan peristiwa, tindakan, latar, samapi ke detil-detil yang terkecil. Narator tak ubahnya sebuah kamera yang merekam dan mengabadikan sebuah objek.

5. SP Orang Ketiga Jamak

Pengarang menjadi narator yang menuturkan cerita berdasarkan persepsi atau kaca mata kolektif. Narator akan menyebut tokoh-tokohnya dengan menggunakan kata ganti orang ketiga jamak; “Mereka”.

Page 10: Indo

Pada suatu hari, ketika mereka berjalan-jalan dengan Don Vigiliani dan dengan beberapa anak lelaki dari kelompok pemuda, dalam perjalanan pulang, mereka melihat ibu mereka di sebuah kafe di pinggir kota. Dia sedang duduk di dalam kafe itu; mereka melihatnya melalui sebuah jendela dan seorang pria duduk bersamanya. Ibu mereka meletakkan syal tartarnya di atas meja…

Pada hakikatnya, SP ini mirip dengan SP orang pertama jamak. Pembaca menerima semua gerak dan tindakan satu orang atau beberapa orang melalui kaca mata sebuah kelompok. Perbedaannya ada pada posisi narator yang berada di luar cerita, tidak terlibat dalam cerita yang dituturkannya melalui kaca mata tokoh “Mereka”.

6. SP Campuran

Sebuah novel mungkin saja menggunakan lebih dari satu ragam SP. Bahkan, belakangan ini, SP campuran tak hanya digunakan dalam novel saja, tetapi juga digunakan di dalam cerpen. Pengarang menempatkan dirinya bergantian dari satu tokoh ke tokoh lainnya dengan SP yang berbeda-beda menggunakan “Aku”, “Kamu”, “Kami”, “Mereka”, atau “Dia”.

Seketika mata Masayu membuka. Lewat pukul sembilan malam ketika lubang pernafasaannya membaui aroma dari daging yang terbakar. Matanya membelalak menyaksikan api merambat cepat. Dia merasakan panas di sekujur tubuhnya.***Pernahkah dalam hidupmu, kau merasakan kebencian yang teramat hebat? Sehingga apapun yang ada di kepalamu selalu tentang bagaiman cara melampiaskannya?Kami hanya dua gadis lugu yang tak pernah tahu arti membenci. Sebelum perceraian Mami dan Papi menyadarakan kami akan arti memiliki. Kami baru menyadari kalau selama ini kami tak pernah benar-benar memiliki Mami. Mungkin juga begitu yang dirasakan oleh Papi. Sehingga dia lebih memilih berpisah dengan Mami, dari pada hidup bersama tetapi tidak merasa memiliki.Namanya Melly. Tubuhnya tak lebih dari dua puluh centi. Bulunya kuning pudar dimakan usia. Hidungnya bulat berwarna cokelat tua. Moncongnya putih gading. Kau pasti menduga kalau Melly seekor binatang piaraan? Hampir tepat. Dia memang menyerupai binatang. Tapi bukan binatang. Karena dia tidak bernyawa. Dia hanya sebuah boneka. Boneka beruang kepunyaan Mami. Tapi meski hanya sebuah boneka beruang, di mata Mami, Melly lebih manusia dari manusia. Sehingga ia harus diperlakukan dengan istimewa. Sampai-sampai Mami lupa kalau dia memiliki dua orang putri berusia 13 dan 10 tahun. Dua orang putri bernama Bening dan Rani—kami—yang lebih butuh perlakuan istimewa darinya.(Cerpen Melly karya Denny Prabowo)

Pada paragraf pertama digunakan sudut pandang “Dia” tokoh Masayu. Pengarang berada di luar cerita. Namun pada paragraf berikutnya pengarang menempatkan dirinya sebagai “Kami” yang berbicara pada “Kau”. Itu berarti, pengarang menjadi pelaku sekaligus narator di dalam ceritanya. Sebagai narator, tokoh “Kami” bertutur tentang tokoh lainnya bernama Melly.

Dalam penggunaan SP campuran, dimungkinkan terjadi pergantian pusat penceritaan dari seorang tokoh ke tokoh lainnya. Dengan begitu, pembaca akan memperoleh pandangan terhadap suatu peristiwa atau masalah dari beberapa tokoh.