perek indo

56
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Sejak Juli 2005, Bank Indonesia menerapkan kerangka kerja kebijakan moneter “Inflation Targeting Framework (ITF)” dengan menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Dengan ITF, arah kebijakan moneter secara konsisten ditujukan untuk mencapai sasaran inflasi jangka menegah yang rendah dan stabil. Arah (stance) kebijakan moneter diwakili oleh suatu suku bunga jangka pendek (policy rate) yang ditetapkan berjangka waktu 1 bulan yang kemudian dikenal dengan BI Rate. Dari sisi moneter, sejak pertengahan 2005 telah terjadi perubahan paradigma yaitu dari stabilisasi yang berbasis jumlah uang yang beredar menjadi Inflation Targeting Framework (ITF) dengan menggunakan instrumen suku bunga. Perkembangan perekonomian suatu negara dapat dikatakan sedang meningkat atau menurun berdasarkan beberapa indikator dasar makroekonominya diantaranya suku bunga, jumlah uang beredar, inflasi, nilai tukar dan pengangguran. Bank 1

Upload: hijrian-widanti

Post on 25-Jun-2015

504 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: PEREK INDO

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Sejak Juli 2005, Bank Indonesia menerapkan kerangka kerja

kebijakan moneter “Inflation Targeting Framework (ITF)” dengan

menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasional kebijakan moneter.

Dengan ITF, arah kebijakan moneter secara konsisten ditujukan untuk

mencapai sasaran inflasi jangka menegah yang rendah dan stabil. Arah

(stance) kebijakan moneter diwakili oleh suatu suku bunga jangka pendek

(policy rate) yang ditetapkan berjangka waktu 1 bulan yang kemudian dikenal

dengan BI Rate.

Dari sisi moneter, sejak pertengahan 2005 telah terjadi perubahan

paradigma yaitu dari stabilisasi yang berbasis jumlah uang yang beredar

menjadi Inflation Targeting Framework (ITF) dengan menggunakan

instrumen suku bunga. Perkembangan perekonomian suatu negara dapat

dikatakan sedang meningkat atau menurun berdasarkan beberapa indikator

dasar makroekonominya diantaranya suku bunga, jumlah uang beredar,

inflasi, nilai tukar dan pengangguran. Bank Indonesia sebagai lembaga

otoritas moneter melakukan upaya stabilisasi melalui instrumen suku bunga

SBI, penetapan SBI dilakukan untuk mengendalikan jumlah uang beredar.

Ketika jumlah uang yang beredar di masyarakat terlalu banyak maka akan

menyebabkan terjadinya inflasi.

Sejak Juli 2005 BI menerapkan inflation targeting framework (ITF).

Kebijakan moneter diarahkan pada pencapaian target inflasi yang diumumkan

secara terbuka kepada publik pada waktu tertentu. Integrasi perekonomian

domestik ke pasar keuangan global membawa beberapa implikasi pada

kebijakan moneter. Kebijakan moneter selalu dihadapkan pada dilema antara

1

Page 2: PEREK INDO

menjaga stabilitas nilai tukar dan independensi dalam mencapai tujuan

domestik, contohnya target inflasi atau pertumbuhan. Di samping itu, jika

sistem nilai tukar yang digunakan adalah fixed exchange rate, kebijakan

moneter tidak cukup efektif untuk mengelola perekonomian makro.

Sebaliknya, dengan sistem nilai tukar yang fleksibel, kebijakan

moneter cukup efektif tetapi dengan risiko nilai tukar fluktuatif.

Globalisasi keuangan juga meningkatkan kompleksitas kebijakan

moneter. Perekonomian domestik mudah sekali terekspos risiko

perekonomian global sehingga menambah kerumitan dalam menetapkan

kebijakan.

2. PERMASALAHAN

Kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh bank sentral moneter

berperan sangat penting dalam mengarahkan perekonomian dengan sasaran

utama kesejahteraan rakyat. Krisis moneter dan ekonomi 1997 telah

memberikan pelajaran berharga, khususnya mengenai peran yang semestinya

dijalankan oleh Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral. Untuk itu penyusun

tertarik untuk membahas masalah-masalah di bawah ini yang meliputi :

1. Apa itu kebijakan moneter?

2. Kerangka kebijakan moneter apa yang diterapkan Bank Indonesia pada

tahun 2005 hingga sekarang?

3. Kebijakan moneter apa saja yang dibuat BI dari masa orde lama sampai

2010?

2

Page 3: PEREK INDO

BAB II

KEBIJAKAN MONETER

1. Pengertian

Kebijakan Moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan

perekonomian makro ke kondisi yang lebih baik (diinginkan) dengan

mengatur jumlah uang yang beredar. Kondisi yang lebih baik yaitu

meningkatnya output keseimbangan atau stabilitas harga (inflasi yang

terkontrol).

2. Tujuan kebijakan moneter

Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang

bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi

yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan

eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan

ekonomi makro, yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan

kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional

yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu,

maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan

stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh

sektor perbankan, yang kemudian ditransfer pada sektor riil.

Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan

ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan

kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas

Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan

persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja

penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang. Kebijakan moneter

dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen

sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar

3

Page 4: PEREK INDO

valuta asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam

uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.

3. Jenis kebijakan moneter

Adapun jenis kebijakan moneter terdiri dari dua jenis, yakni (a)

Kebijakan moneter ekspansif (Easy Money Policy/EMP), adalah kebijakan

menambah jumlah uang yang beredar; (b) Kebijakan moneter kontraktif

(Tight Money Policy/TMP), yaitu kebijakan mengurangi jumlah uang yang

beredar.

a. Kebijakan moneter ekspansif (Easy Money Policy)

Kebijakan ini dilakukan jika bank sentral ingin menambah

jumlah uang beredar (likuiditas) untuk mencapai stabilitas dalam

perekonomian. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menggiatkan

kembali kondisi perekonomian yang sedang lesu. Ketika MS naik, maka

tren suku bunga akan cenderung menurun. Rendahnya suku bunga akan

memicu investasi (karena cost of capital yang murah), dan pada akhirnya

akan menaikkan permintaan agregat.

b. Kebijakan moneter kontraktif (Tight Money Policy)

Kebijakan ini dilakukan jika bank sentral ingin mengurangi

jumlah uang beredar untuk mencapai stabilitas dalam perekonomian.

Tujuan kebijakan ini bisa untuk menurunkan inflasi ataupun

untuk memperbaiki kondisi neraca pembayaran internasional yang

defisit.

Menurunkan inflasi. Ketika MS turun, suku bunga jangka pendek

akan cenderung naik. Naiknya suku bunga akan mendorong orang

untuk menabung, sehingga MS di perekonomian berkurang dan

inflasi dapat turun. Selain itu, ketika banyak yang menabung, maka

konsumsi juga turun. Artinya permintaan agregat ikut turun dan ini

akan menurunkan inflasi.

4

Page 5: PEREK INDO

Memperbaiki defisit neraca pembayaran internasional (Bop). TMP

membuat inflasi turun, dengan demikian tingkat harga umum juga

turun. Turunnya harga akan membuat produk dalam negeri lebih

murah bagi konsumen di dalam negeri, sehingga permintaan produk

domestik akan bertambah dan permintaan produk impor berkurang.

Sementara itu, produk domestik yang murah didalam negeri juga

murah bagi konsumen di luar negeri, sehingga

akan mendorong permintaan ekspor. Kombinasi dari kedua hal ini

akan mengurangi defisit neraca pembayaran.

4. Instrumen kebijakan moneter

Ada lima instrumen utama yang digunakan  bank sentral untuk

melakukan TMP maupun EMP :

1. Open market operation (operasi pasar terbuka). Caranya adalah dengan

memperdagangkan surat berharga. Apabila kecenderungan bank sentral

ingin melakukan TMP, maka ia akan menjual surat berharga (misalnya

SBI) sehingga dana yang ada di tangan masyarakat dapat ditarik (MS di

perekonomian berkurang, masuk ke bank sentral). Sebaliknya, apabila

yang ingin dilakukan adalah EMP, maka bank sentral akan

membeli surat berharga yang dijual oleh masyarakat sehingga MS

akan bertambah.

2. Legal reserve ratio requirement / reserve ratio (rr) / kebijakan nisbah

cadangan. Caranya adalah dengan mewajibkan sejumlah tertentu

cadangan yang harus ada di bank umum. Misalnya jika rr

diwajibkan 10%, maka apabila seorang nasabah menabung

Rp.1.000.000 di bank, hanya sejumlah Rp.900.000-nya yang boleh

dipinjamkan bank ke pihak lain. Rp.900.000 ini nantinya akan menjadi

uang beredar “baru” yang dilakukan oleh bank umum. Sedangkan sisa

10%nya, atau rp.100.000, harus tetap ada di bank sebagai cadangan.

Dari sini, kita bisa melihat bahwa rr akan dinaikkan jika bank sentral

5

Page 6: PEREK INDO

ingin melakukan TMP. Sebaliknya, rr akan diturunkan jika bank sentral

ingin melakukan EMP.

3. Discount rate policy. Caranya adalah dengan menaikkan/menurunkan

suku bunga pinjaman dari bank sentral ke bank umum. Fasilitas pinjaman

ini disebut dengan fasilitas diskonto. Jika bank sentral ingin melakukan

TMP, ia akan menaikkan suku bunga pinjaman ini, sehingga suku bunga

dari bank umum ke masyarakat pun akan ikut naik. Akibatnya, kredit

akan turun (karena biaya kredit menjadi mahal) dan MS akan turun.

Sebaliknya jika bank sentral ingin melakukan EMP.

4. Selective credit control. Caranya adalah melalui pengawasan kredit.

Pengawasan kredit yang ketat mengarah ke TMP, dan sebaliknya.

5. Moral suassion (dorongan moral). Caranya adalah melalui imbauan ke

bank-bank umum. Misalnya, imbauan agar tidak menaikkan suku bunga.

Pada kelima instrumen diatas, instrumen no. 1 sampai 3 adalah bersifat

kuantitatif, sedangkan no. 4 dan 5 bersifat kualitatif.

5. Kerangka kebijakan moneter

Dalam  melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut

sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF).

Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak Juli 2005, setelah

sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer

(base money) sebagai sasaran kebijakan moneter.

Dengan kerangka ini, Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan

sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk

mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut. Untuk

mencapai sasaran inflasi, kebijakan moneter dilakukan secara forward

looking, artinya perubahan stance kebijakan moneter dilakukan melaui

evaluasi apakah perkembangan inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran

inflasi yang telah dicanangkan.  Dalam kerangka kerja ini, kebijakan moneter

juga ditandai oleh transparansi dan akuntabilitas kebijakan kepada publik. 

Secara operasional,  stance kebijakan moneter dicerminkan oleh penetapan

6

Page 7: PEREK INDO

suku bunga kebijakan  (BI Rate) yang diharapkan akan memengaruhi suku

bunga pasar uang dan suku bunga deposito dan suku bunga kredit perbankan. 

Perubahan suku bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan

inflasi.

Dalam kerangka ITF, Bank Indonesia mengumumkan sasaran inflasi

ke depan pada periode tertentu.  Setiap periode Bank Indonesia mengevaluasi

apakah proyeksi inflasi ke depan masih sesuai dengan sasaran yang

ditetapkan.  Proyeksi ini dilakukan dengan sejumlah model dan sejumlah

informasi yang dapat menggambarkan kondisi inflasi ke depan.  Jika proyeksi

inflasi sudah tidak kompatibel dengan sasaran, Bank Indonesia melakukan

respon dengan menggunakan instrumen yang dimiliki.  Misalnya jika

proyeksi inflasi telah melampaui sasaran, maka Bank Indonesia akan

cenderung melakukan pengetatan moneter.

Secara reguler, Bank Indonesia menjelaskan kepada publik mengenai

asesmen terhadap kondisi inflasi dan outlook ke depan serta keputusan yang

diambil. Jika sasaran inflasi tidak tercapai maka diperlukan penjelasan kepada

publik dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengembalikan inflasi

sesuai dengan sasarannya.

7

Page 8: PEREK INDO

BAB III

INFLATION TARGETING FRAMEWORK

( ITF )

1. Awal Mula Pemilihan Kebijakan ITF

Seperti telah kita ketahui bersama, krisis ekonomi dan moneter yang

berlangsung sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan konsekuensi

yang luar biasa terhadap ketidakstabilan perekonomian kita. Pertumbuhan

ekonomi terhenti bahkan sempat mengalami pertumbuhan yang negatif, nilai

tukar bergejolak, uang beredar tumbuh hampir tidak terkendali sebagai akibat

upaya penyelamatan perbankan yang dilanda rush. Sebagai akibatnya inflasi

meningkat tajam pada tahun 1998 mencapai angka 77,63%. Menghadapi

kondisi ketidakstabilan moneter tersebut, Bank Indonesia kemudian

menerapkan kebijakan moneter yang ketat. Kebijakan moneter ketat tersebut

tercermin pada pertumbuhan tahunan sasaran indikatif uang primer yang terus

ditekan dari level tertinggi 69,7% pada bulan September 1998 menjadi 11,2%

pada bulan Juni 1999.

Kebijakan moneter ketat terpaksa dilakukan karena pada periode itu

ekspektasi inflasi di tengah masyarakat sangat tinggi dan jumlah uang beredar

meningkat sangat pesat. Di tengah tingginya ekspektasi inflasi dan tingkat

risiko memegang rupiah, upaya memperlambat laju pertumbuhan uang

beredar telah mendorong kenaikan suku bunga domestik secara tajam. Suku

bunga yang tinggi diperlukan agar masyarakat mau memegang rupiah dan

tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak mendesak serta tidak

menggunakannya untuk membeli valuta asing. Upaya pemulihan kestabilan

8

Page 9: PEREK INDO

moneter melalui penerapan kebijakan moneter ketat yang dibantu dengan

upaya pemulihan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional mulai

memberikan hasil positif. Pertumbuhan uang beredar yang melambat dan

suku bunga simpanan di perbankan yang tinggi telah mengurangi peluang dan

hasrat masyarakat dalam memegang mata uang asing sehingga tekanan

depresiasi rupiah berangsur surut. Inflasi mulai terkendali pada tahun 1999.

Kerangka kebijakan moneter Bank Indonesia sebelum Juli 2005

mengacu kepada target uang primer. Kerangka tersebut cukup efektif untuk

menyerap kembali kelebihan likuiditas di perbankan yang merupakan dampak

dari bantuan likuiditas Bank Indonesia, sebagai konsekuensi fungsi Bank

Indonesia sebagai lender of the last resort. Dalam perkembangannya, peran

suku bunga pada mekanisme transmisi kebijakan moneter menjadi semakin

penting dibandingkan dengan uang primer, terutama dalam mempengaruhi

variabel ekonomi makro terutama inflasi. Hal ini disebabkan oleh

ketidakstabilan hubungan antara uang primer dengan tingkat inflasi dan

pertumbuhan ekonomi.

Selanjutnya, untuk mendukung efektifitas transmisi kebijakan

moneter secara lebih optimal, dan untuk memperkuat kerangka kebijakan

moneter yang bersifat antisipatif maka Bank Indonesia menerapkan kebijakan

moneter berbasis suku bunga. Kerangka kebijakan moneter yang baru, yaitu

inflation targeting framework (ITF) mulai di implementasikan Bank

Indonesia sejak Juli 2005. Dengan ITF, kerangka kerja kebijakan moneter

dilakukan secara transparan dan konsisten dalam rangka mencapai sasaran

inflasi beberapa tahun ke depan yang ditetapkan dan diumumkan secara

eksplisit. Guna mendukung optimalisasi pencapaian sasaran inflasi tersebut,

Bank Indonesia menetapkan policy rate (BI-Rate) yang diumumkan secara

periodik kepada publik sebagai sinyal kebijakan moneter untuk jangka waktu

tertentu. Perubahan BI-Rate mencerminkan respon bank sentral terhadap

perkembangan kondisi makroekonomi.

9

Page 10: PEREK INDO

2. Definisi ITF

ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai

dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak

dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa

inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan

moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia

sebenarnya dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting lite countries".

3. Alasan Pemilihan ITF

Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter ITF didasarkan atas beberapa

pertimbangan sebagai berikut :

Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound).

Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana

telah diubah dengan UU No. 3/2004.

Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter.

Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang menerapkan

ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan volatilitas output.

Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui

komitmen pencapaian target.

Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian

pada inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun

kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah suatu

kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework)

untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti

membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero

inflation).

Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung

pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya,

karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi

10

Page 11: PEREK INDO

tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan

laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka

panjang akan meningkat karena tingginya premi risiko akibat inflasi. Perencanaan

usaha menjadi lebih sulit, dan minat investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi

ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi asset keuangan jangka

pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah sebabnya, otoritas moneter

seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti inflasi sebenarnya adalah

justru kebijakan yang pro pertumbuhan.

4. Prinsip Pokok ITF

Empat prinsip pokok rezim kebijakan moneter dengan ITF ;

1. memiliki sasaran utama, yaitu sasaran inflasi yang dijadikan sebagai

prioritas pencapaian dan acuan kebijakan moneter

2. bersifat antisipatif dengan mengarahkan respon kebijakan moneter saat

ini untuk pencapaian sasaran inflasi ke depan

3. mendasarkan pada analisis, perkiraan, dan kaidah kebijakan tertentu

dalam menetapkan pertimbangan respon kebijakan moneter

4. sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang sehat, yaitu berkejelasan

tujuan, konsisten,transparan dan berakuntabilitas

5. Manfaat Penerapan ITF

1. Kebijakan moneter lebih secara jelas terfokus

2. Komunikasi, transparansi, dan akuntabilitas diperkuat

3. Membantu dalam menurunkan/ mengarahkan ekspektasi inflasi dan lebih baik

dalam mengatasi kejutan inflasi

4. Membantu dalam menurunkan volatilitas output dalam jangka menengah

5. Teruji dalam menghadapi kejutan ekonomi yang kurang menguntungkan

6. Relative fleksibel dalam mengakomodasi kejutan inflasi temporer yang tidak

mengganggu pencapaian sasaran inflasi jangka menengah

11

Page 12: PEREK INDO

7. Sejalan dengan independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan

moneter

6. Indikator Kebijakan Moneter

1. Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu

melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi,

khususnya prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran

moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara

keseluruhan.

2. Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan

langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh Pemerintah. Langkah-

langkah koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan

terus diperkuat dan ditingkatkan.

3. Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut

dipertimbangkan untuk mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan

sejalan dengan kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan.

7. Respon Kebijakan Moneter

1. Tujuan dan bentuk respon kebijakan moneter adalah sbb:

Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar

pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur

pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan (konsistensi).

Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan,

atau tidak berubahnya BI Rate.

Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara

konsisten dan bertahap.

2. Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan

12

Page 13: PEREK INDO

BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia yang

ditetapkan pada RDG triwulan untuk berlaku selama triwulan berjalan

(satu triwulan), kecuali ditetapkan berbeda oleh RDG bulanan dalam

triwulan yang sama. Dengan demikian, rate rata-rate tertimbang hasil

lelang SBI pada setiap kali lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh

stakeholders sebagai sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia.

BI Rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam RDG

sebagai sinyal stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan tegas)

dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.

BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi

pengendalian moneter untuk mengarahkan agar Rata-Rata Tertimbang

Suku Bunga SBI 1 bulan hasil lelang OPT (suku bunga instrumen

liquidity adjustment) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku

bunga SBI 1 bulan diharapkan mempengaruhi suku bunga PUAB dan

suku bunga jangka yang lebih panjang.

3. Proses penetapan respon kebijakan moneter

Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam RDG

triwulanan.

Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk periode satu triwulan ke

depan.

Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan

memperhatikan efek tunda (lag) kebijakan moneter dalam

mempengaruhi inflasi.

Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter

dapat dilakukan dalam RDG bulanan.

4. Dasar pertimbangan penetapan respon kebijakan

BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke

depan agar tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan. Perubahan

13

Page 14: PEREK INDO

BI Rate dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap

targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat permanen dan

konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.

BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan

mempertimbangkan:

1. Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi

kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi,

dan

2. Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei,

informasi anekdotal, variabel informasi, expert opinion, asesmen

fakto risiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan

kebijakan moneter.

Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate

(SBI tenor 1 bulan) secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis

points (bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia

yang lebih besar terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI

Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.

8. Operasi Pengendalian Moneter

1. Berbeda dengan pelaksanaan selama ini yang menggunakan uang primer,

sasaran operasional pengendalian moneter adalah BI Rate. Dengan

langkah ini, sinyal kebijakan moneter diharapkan dapat lebih mudah dan

lebih pasti dapat ditangkap oleh pelaku pasar dan masyarakat, dan

karenanya diharapkan pula dapat meningkat efektivitas kebijakan

moneter.

2. Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen: (i)

Operasi Pasar Terbuka (OPT), (ii) Instrumen likuiditas otomatis

(standing facilities), (iii) Intervensi di pasar valas, (iv) Penetapan giro

wajib minimum (GWM), dan (v) Himbauan moral (moral suassion).

14

Page 15: PEREK INDO

3. Pengendalian moneter diarahkan pula agar perkembangan suku bunga

PUAB berada pada koridor suku bunga yang ditetapkan. Langkah ini

dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pengendalian likuiditas

sekaligus untuk memperkuat sinyal kebijakan moneter yang ditempuh

Bank Indonesia.

9. Koordinasi dengan Pemerintah

1. Koordinasi dengan Pemerintah dimaksudkan agar kebijakan moneter

Bank Indonesia sejalan dengan kebijakan umum Pemerintah dibidang

perekonomian dengan tetap menjaga tugas dan wewenang masing-

masing.

2. Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam penetapan sasaran

inflasi dilakukan sesuai dengan MoU yang telah disepakati antara

Pemerintah (cq. Menteri Keuangan) dengan Bank Indonesia, diantaranya

adalah:

* Bank Indonesia menyampaikan usulan Sasaran Inflasi kepada

Pemerintah selambat-lambatnya bulan Mei pada tahun sebelum periode

sasaran inflasi berakhir.

* Dalam hal terjadi kondisi yang luar biasa sehingga Sasaran Inflasi yang

telah ditetapkan menjadi tidak realistis dan perlu direvisa, maka Bank

Indonesia menyampaikan usulan perubahan Sasaran Inflasi setelah

berkoordinasi dengan Bank Indonesia.

3. Pentingnya keterlibatan Pemerintah dalam menetapkan inflasi

didasarkan pada pertimbangan beberapa faktor. Pertama, tidak semua

sumber inflasi di bawah kendali kebijakan Bank Indonesia. Kebijakan

pemerintah turut menyumbang inflasi, diantaranya adalah penetapan

administered price, upah minimum regional, gaji pegawai negeri,

kebijakan di bidang produksi sektoral, perdagangan domestik dan tata

niaga impor. Kebijakan pemerintah lainnya (misalnya di bidang politik,

15

Page 16: PEREK INDO

keamanan, dan penegakan hukum) juga secara tidak langsung turut

mempengaruhi inflasi. Kedua, kebersamaan komitmen pengendalian

inflasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia di atas kertas akan

menjadikan sasaran inflasi lebih kredibel, karena menjadi “milik

bersama”. Jika sasaran inflasi sangat kredibel, dalam arti Bank Indonesia

dan Pemerintah dinilai akan mampu mencapainya, para pelaku ekonomi

akan menyamakan perkiraan inflasi mereka dengan angka sasaran inflasi

tersebut. Bila kondisi ini terjadi, Pemerintah dan Bank Indonesia akan

lebih mudah menurunkan dan menstabilkan inflasi dalam jangka

menengah dan panjang, tanpa harus menelan biaya kebijakan yang terlalu

besar.

4. Sebagai tindak lanjut, Bank Indonesia bersama Pemerintah telah

membentuk tim penetapan sasaran, pemantauan, dan pengendalian inflasi

(selanjutnya disebut Tim Pengendalian Inflasi) yang beranggotakan

beberapa departemen teknis. Adapun tugas tim tersebut antara lain

mencakup pemberian usul mengenai sasaran inflasi, mengevaluasi

sumber-sumber dan potensi tekanan inflasi serta dampaknya terhadap

pencapaian sasaran inflasi, merekomendasikan pilihan kebijakan yang

mendukung pencapaian sasaran inflasi, serta melakukan diseminasi

mengenai sasaran dan upaya pencapaian sasaran inflasi kepada

masyarakat. Diharapkan pembentukan Tim Pengendalian Inflasi ini akan

meningkatkan koordinasi antara otoritas moneter dengan Pemerintah

secara keseluruhan, sehingga sasaran inflasi menjadi tujuan bersama

yang credible dan achievable.

5. Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah juga dilakukan dalam

penetapan asumsi-asumsi makro untuk bahan penyusunan RAPBN, baik

melalui rapat koordinasi dengan Departemen Keuangan (dan instansi

terkait) maupun dalam pembahasan dengan DPR.

16

Page 17: PEREK INDO

6. Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah mengenai kebijakan di

bidang perekonomian lainnya dilakukan dalam Sidang Kabinet maupun

pertemuan-pertemuan lainnya sesuai dengan perkembangan dan

permasalahan yang terjadi.

10. Transparansi

1. Kebijakan moneter dikomunikasikan secara berkesinambungan kepada

masyarakat untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter dalam

membentuk ekspektasi dan pencapaian sasaran inflasi.

2. Komunikasi kebijakan moneter mencakup pengumuman dan penjelasan

pencapaian sasaran inflasi, kerangka kerja dan langkah-langkah

kebijakan moneter yang telah dan akan ditempuh, jadwal RDG, serta hal-

hal lain yang ditetapkan oleh Dewan Gubernur.

3. Komunikasi kebijakan moneter dilakukan dengan cara termasuk dan

tidak terbatas pada siaran pers, konperensi pers (terutama segera setelah

RDG Triwulanan untuk menjelasankan respon kebijakan moneter),

publikasi (termasuk penerbitan “Laporan Kebijakan Moneter” atau

“Inflation Report”), maupun penjelasan langsung kepada masyarakat.

4. Komunikasi kebijakan moneter disampaikan kepada masyarakat luas

termasuk dan tidak terbatas pada media massa, pelaku ekonomi, kalangan

pakar dan akademisi.

11. Akuntabilitas

1. Pertanggung-jawaban kebijakan moneter disampaikan kepada DPR untuk

meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas

dan wewenang yang telah ditetapkan dalam UU.

2. Pertanggung-jawaban kebijakan moneter dilakukan dengan penyampaian

secara tertulis maupun penjelasan langsung atas Laporan Kebijakan

17

Page 18: PEREK INDO

Moneter (“Monetary Policy Report” atau “Inflation Report”) secara

triwulanan dan aspek-aspek tertentu kebijakan moneter yang dipandang

perlu.

3. Laporan Kebijakan Moneter disampaikan pula kepada Pemerintah dan

masyarakat luas untuk transparansi dan koordinasi.

4. Dalam hal sasaran inflasi untuk suatu tahun tidak tercapai, maka Bank

Indonesia menyampaikan usulan penjelasan kepada Pemerintah sebagai

bahan penjelasan Pemerintah bersama Bank Indonesia secara terbuka

kepada DPR dan masyarakat yang dilakukan paling lambat Februari

tahun berikutnya.

12. Tantangan ke depan dari penerapan ITF

Kisah sukses ITF di sejumlah Negara maju didukung oleh terdapatnya

prasyarat dan pra kondisi yang diperlukan di Negara yang bersangkutan, sementara

di Negara berkembang, pra syarat tersebut tidak sepenuhnya dipenuhi. Calvo dan

Mishkin (2003) mengidentifikasi lima perbedaan antara Negara maju dengan Negara

sedang berkembang yaitu: (a) lemahnya disiplin fiscal (fiscal dominance); (b)

lemahnya kelembagaan keuangan termasuk pengaturan dan pengawasan prudential

(financial dominance); (c) rendahnya kredibilitas dari kelembagaan moneter; (d)

dolarisasi kewajiban; dan (e) kerapuhan (vulnerability) terhadap terhentinya aliran

modal secara tiba-tiba (external dominance).

Kerangka kebijakan moneter merupakan suatu hal yang dinamis, yang dapat

berubah sejalan dengan perubahan pra kondisi yang diperlukan dan tantangan yang

dihadapi. Masih kuatnya dominasi fiskal dan kerapuhan sistem terhadap shock

terbukti mengganggu pencapaian target inflasi. Sebagai contoh, pada waktu BBM di

dalam negeri dinaikkan secara signifikan pada paruh kedua tahun 2005, komitmen

pencapaian target inflasi tidak dapat dipenuhi. Koordinasi kebijakan fiskal dengan

kebijakan moneter masih perlu ditingkatkan mengingat pencapaian target inflasi

sesungguhnya merupakan tanggung jawab bersama Bank Indonesia dan pemerintah.

Oleh karena itu, kredibilitas kebijakan moneter dengan ITF bukan hanya

18

Page 19: PEREK INDO

menyangkut komitmen Bank Indonesia selaku otoritas moneter, tetapi juga

komitmen pemerintah selaku otoritas fiscal.

Perubahan kerangka kebijakan moneter juga dipengaruhi oleh

perkembangan pasar keuangan dan infrastruktur pendukungnya seperti perubahan

system pembayaran yang cukup pesat yang didukung oleh pesatnya perkembangan

teknologi informasi. Dengan perkembangan system pembayaran yang sedemikian

pesat, transaksi crossborder menjadi sulit dimonitor sehingga aliran modal masuk

dan keluar semakin tidak mungkin dikontrol. Ketika teknologi membuat pola

transaksi berubah, kebijakan moneter pun akan berubah. Ketika sistem perdagangan

berubah dengan dunia berubah, kebijakan moneter yang dibutuhkan pun berubah.

13. Pelaksanaan Inflation Targeting Pada Beberapa Negara

1. JERMAN

Inflasi merupakan sasaran pokok dalam target kebijakan moneter

Target moneter relative fleksibel dengan mengarah pada sasaran

jangka panjang yang dicapai secara bertahap

Kebijakan moneter kadang responsive untuk stabilisasi output dan

nilai tukar mata uang

Stabilitas harga jangka panjang didefinisikan sebagai laju inflasi yang

lebih besar dari 0

Unsure penting adalah komitmen yang kuat pada transparansi dan

komunikasi strategi kebijakan moneter pada masyarakat luas

2. SELANDIA BARU

Target inflasi diamanatkan oleh policy target agreement antara

pemerintah terpilih dan bank sentral berupa target bersama sasaran

inflasi yang akan dicapai.

Target inflasi ditetapkan setelah proses disinflasi

19

Page 20: PEREK INDO

Menggunakan inflasi inti sebagai target, termasuk pengaruh suku

bunga terhadap harga

Meskipun termasuk Negara yang paling kaku menerapkan target

inflasi, masih ada fleksibilitas untuk stabilisasi output

Akuntabilitas merupakan kunci pokok dengan dimungkinkannya

gubernur bank sentral diganti oleh pemerintah apabila sasaran jauh

tidak tercapai

Target inflasi dinyatakan dalam kisaran

Kisaran yang sempit dan horizon waktu yang pendek mengakibatkan

kesulitan dengan instability instrumentnya antara lain suku bunga dan

nilai tukar

3. KANADA

Target yang disepakati dan diumumkan bersama oleh pemerintah dan

bank sentral

Target inflasi diterapkan setelah terjadi proses disinflasi yang berarti

Inflasi (IHK) sebagia target utama, namun inflasi inti juga digunakan

dan disampaikan untuk meyakinkan bahwa trend inflasi berada pada

jalur pencapaian jangka menengah

ITF relative fleksibel dengan mempertimbangkan fluktuasi output.

Inflation target adalah salah satu cara untuk meredam fluktuasi

siklikal dalam perekonomian

Seperti di New Zealand dan Jerman, konvergensi sasaran jangka

menengah ke jangka panjang dilakukan sevara bertahap

Target inflasi dinyatakan dalam kisaran

Keberhasilan bank sentral Kanada adalah komitmen yang kuat untuk

tranparansi dan komunikasi terhadap masyarakat luas

Sebagai alat Bantu bagi penerapan target inflasi, bank sentral

menyusun indeks kondisi moneter yang dibobot rata-rata dari nilai

tukar dan suku bunga jangka pendek sebagai sasaran operasional

jangka pendek

20

Page 21: PEREK INDO

4. INGGRIS

Menerapkan setelah proses disinflasi setelah krisis mata uang dalam

upaya untuk mengembalikan nominal anchor

Tidak terlalu ketat menerapkansebagai rule disbanding dengan

Selandia Baru

Memisahkan badan yang mengukur inflasi dari badan yang membuat

target inflasi

Tidak menggunakan IHK umum, tetapi semacamcore inflasi yang

tidak mengeluarkan energi dan harga bahan makanan

Pada awalnya target denyatakan dalam bentuk kisaran, kemudian

diubah dalam bentuk point

21

Page 22: PEREK INDO

BAB IV

KEBIJAKAN MONETER YANG PERNAH

TERJADI DI INDONESIA

1. Kebijakan pengetatan moneter tahun 1959

Tingkat inflasi yang tinggi akan membawa pengaruh negatif terhadap

kondisi perekonomian suatu Negara. Tingginya laju inflasi mewarnai kondisi

perekonomian Republik Indonesia tahun 1959, akibatnya pemerintah

mengeluarkan kebijakan pengetatan moneter, yaitu: kebijakan pengawasan

kredit secara kuantitatif dan kualitatif, kebijakan devaluasi rupiah, kebijakan

sanering dan kebijakan devisa untuk lalu lintas pembayaran luar negeri guna

menekan laju inflasi tersebut.

Kebijakan moneter merupakan kebijakan yang dijalankan oleh Bank

Sentral untuk mengatur jumlah uang dalam perekonomian guna mengatasi

masalah-masalah makroekonomi seperti inflasi, pengangguran dan

menciptakan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter dilakukan dengan

cara pengawasan agar jumlah dan susunan uang yang beredar dapat

membantu menciptakan kegiatan ekonomi yang tinggi dan stabil, sekaligus

mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Inflasi adalah suatu keadaan di mana harga-harga pada umumnya

meningkat. Tiga sektor yang memungkinkan terjadinya inflasi adalah:

1. ekspor-impor;

2. tabungan dan investasi; serta

3. penerimaan dan pengeluaran negara

Inflasi tidak akan terjadi bila ketiga sektor tersebut seimbang. Subjek

penyebab inflasi dapat dikategorikan menjadi sektor pemerintah dan sektor

22

Page 23: PEREK INDO

swasta. Tekanan inflasi akan timbul pada sektor pemerintah bila pengeluaran

pemerintah lebih besar daripada penerimaannya, sedangkan pada sektor

swasta, tekanan inflasi timbul bila bank-bank mengucurkan kredit yang besar

guna memenuhi pinjaman sektor swasta tersebut untuk kegiatan-kegiatan,

baik lapangan investasi maupun non investasi. Untuk mengatasi inflasi, bank

sentral mengeluarkan kebijakan moneter dengan membatasi pemberian kredit

atau mengurangi jumlah uang beredar melalui tiga cara: kebijakan diskonto,

operasi pasar terbuka, dan menaikkan cash ratio.

Kebijakan diskonto dilakukan dengan menaikkan tingkat bunga

sehingga mengurangi keinginan badan-badan pemberi kredit untuk

mengeluarkan pinjaman guna memenuhi permintaan pinjaman dari

masyarakat. Akibatnya, jumlah kredit yang dikeluarkan oleh badan-badan

kredit akan berkurang, yang pada akhirnya mengurangi tekanan inflasi.

Operasi pasar terbuka (open market operation), biasa disebut dengan

kebijakan uang ketat (tight money policy), dilakukan dengan menjual surat-

surat berharga, seperti obligasi negara, kepada masyarakat dan bank-bank.

Akibatnya, jumlah uang beredar di masyarakat dan pemberian kredit oleh

badan-badan kredit (bank) berkurang, yang pada akhirnya dapat mengurangi

tekanan inflasi.

Sedangkan cash ratio adalah perbandingan antara uang tunai bank-

bank ditambah dengan demand deposit pada bank sentral terhadap demand

deposit masyarakat pada bank yang bersangkutan. Menaikkan cash ratio dari

bank-bank merupakan tindakan anti-inflasi karena akan mengurangi

kemampuan bank untuk memberikan kredit kepada masyarakat.

Kondisi Politik dan Perekonomian Tahun 1959

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 telah membawa perubahan mendasar

pada bidang politik dan ekonomi Indonesia, termasuk pada pelaksanaan

tugas dan kebijakan Bank Indonesia (BI).

23

Page 24: PEREK INDO

Kondisi perekonomian pada tahun 1959 diwarnai dengan tingginya

laju inflasi, yang dipengaruhi oleh pesatnya pertambahan jumlah uang

beredar sebagai akibat ekspansi dari sektor pemerintah. Untuk

mengatasinya, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan pengetatan

moneter berupa:

1. Kebijakan pengawasan kredit secara kuantitatif dan kualitatif

2. Kebijakan devaluasi rupiah

3. Kebijakan sanering

4. Kebijakan devisa untuk lalu lintas pembayaran luar negeri.

Kebijakan Pembatasan Kredit Secara Kuantitatif

Pembatasan kredit secara kuantitatif dilakukan dengan cara

membatasi jumlah kredit yang dapat diberikan oleh badan-badan kredit

(bank) sampai pada tingkat tertentu.Bank dilarang memberikan kredit

melebihi batas yang ditetapkan pemerintah.

Kebijakan Pembatasan Perkreditan Secara Kualitatif

Selain pembatasan kredit secara kuantitatif, pemerintah juga

mengeluarkan ketentuan pembatasan kredit secara kualitatif. Hal ini

dilakukan dengan pembatasan pemberian kredit pada sektor-sektor tertentu

serta menjuruskan kredit pada usaha produktif dan ekspor.

Sejak September 1959, bank-bank dilarang memberikan kredit atas

semua transaksi impor, kecuali untuk barang-barang yang diimpor oleh

danmelalui Perusahaan Dagang Negara (PDN), beras oleh Jajasan Urusan

Bahan Makanan (JUBM), dan cambrics oleh Gabungan Koperasi Batik

Indonesia (GKBI).

Kebijakan Devaluasi Mata Uang

24

Page 25: PEREK INDO

Devaluasi adalah penurunan nilai mata uang terhadap mata uang

asing. Kebijakan ini mempengaruhi lalu lintas pembayaran luar negeri.

Angka rata-rata pendapatan ekspor tahun 1959 jauh lebih baik

dibandingkan tahun sebelumnya.

Kebijakan sanering

Sanering berasal dari bahasa Belanda yang berarti penyehatan,

pembersihan, reorganisasi. Kebijakan sanering, yang mulai berlaku pada

25 Agustus 1959, adalah sebagai berikut:

1. Penurunan nilai uang kertas Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan

Rp 100 (Perpu No.2 Tahun 1959, 24 Agustus 1959). Penukaran uang

kertas ini harus dilakukan sebelum 1 Januari 1960 (Perpu No. 6 Tahun

1959, 25 Agustus 1959). Sedangkan untuk nilai uang yang hilang

akibat pemberlakuan Perpu No. 2 di atas, tidak akan diperhatikan pada

perhitungan laba maupun pajak (Perpu No. 5 Tahun 1959, 25 Agustus

1959).

2. Pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank (giro dan deposito)

sebesar 90% dari jumlah simpanan diatas Rp 25.000, dengan

ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi

simpanan jangka panjang oleh Pemerintah (Perpu No.3 Tahun 1959

tanggal 24 Agustus 1959).

Tindakan sanering ini telah membawa beberapa pengaruh di bidang

moneter. Mulai dari berkurangnya uang beredar, meningkatnya

keuntungan pemerintah yang digunakan untuk mengurangi ketekoran kas

pemerintah, sampai menurunkan tingkat likuiditas bank-bank. Akibatnya

bank tidak bisa memberikan kredit kepada perusahaan untuk kegiatan

ekspor, impor, produksi, dan distribusi, sehingga berakibat pada kenaikan

harga barang dan biaya hidup tahun 1959. Tindakan yang dianggap gagal

ini, ternyata dilakukan pemerintah tanpa berkoordinasi dengan BI,

25

Page 26: PEREK INDO

sehingga Gubernur BI pada waktu itu, Mr. Loekman Hakim, mengajukan

pengunduran diri pada presiden.

Kebijakan pengetatan moneter tahun 1959 yang dilancarkan oleh

pemerintah tidak dapat menghambat laju inflasi malahan makin

mempertinggi laju inflasi. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah uang

yang beredar pada tahun 1959 dan 1960 meningkat, Sehingga dapat

disimpulkan bahwa pelaksanaan kebijakan tersebut tidak efektif.

2. Kebijakan Moneter 13 Desember 1965

Bila dalam suatu negara terdapat beberapa jenis mata uang yang

berlaku dengan nilai tukar yang berbeda-beda,hal itu akan menyebabkan

situasi moneter negara tersebut kacau balau. Keadaan tersebut pernah dialami

Indonesia pada kurun waktu 1960-an. Dalam rangka menciptakan kesatuan

moneter, pemerintah, melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun

1965, menerbitkan uang rupiah baru untuk menggantikan uang rupiah lama

dan uang rupiah khusus Daerah Provinsi Irian Barat (IB Rp).

Uang mulai digunakan pada saat kondisi perekonomian sedemikian

berkembang sehingga perekonomian barter (perekonomian yang

mensyaratkan double coincidence of want) dirasakan tidak memadai. Uang

memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Hal ini dapat

dilihat dari fungsinya, yaitu sebagai alat tukar, alat pengukur nilai, ukuran

pembayaran di masa depan, dan penyimpan daya beli.

Uang adalah suatu benda diantara sekian banyak benda dalam

pengertian perekonomian. Uang memiliki nilai karena masyarakat

mengajukan permintaan terhadapnya. Perubahan-perubahan nilai uang

berhubungan erat dengan perubahanperubahan permintaan terhadapnya.

Dengan kata lain, naik turunnya nilai uang tidak terlepas dari hukum

permintaan dan penawaran. Sehingga, dapat dirumuskan, yang dimaksud

dengan nilai uang adalah jumlah barang-barang atau jasa-jasa yang diberikan

26

Page 27: PEREK INDO

oleh orang lain kepada kita sebagai pengganti satu kesatuan uang yang kita

berikan kepadanya.

Naik turunnya nilai uang tergantung dari naik turunnya harga. Pada

saat keinginan masyarakat untuk menyimpan uang tunainya meningkat, hal

tersebut akan cenderung menaikan nilai uang dan menurunkan harga barang.

Sebaliknya, pada situasi di mana orang terus membelanjakan setiap uangnya,

hal tersebut akan menurunkan nilai uang dan akan menaikan harga.

Perubahan-perubahan nilai uang akan mempengaruhi aktivitas di lapangan

ekonomi. Naiknya nilai uang akan menyebabkan aktivitas ekonomi semakin

berkurang. Sebaliknya, turunnya nilai uang akan secara lambat laun akan

meningkatkan aktivitas ekonomi. Nilai uang yang secara terus-menerus turun

akan menyebabkan inflasi. Salah satu kebijakan yang digunakan untuk

mengatasi inflasi dalam perekonomian suatu negara adalah kebijakan

moneter.

Pada tahun 1965, salah satu kebijakan moneter yang diambil

pemerintah untuk menghambat laju inflasi pada saat itu adalah pemberlakuan

mata uang rupiah baru bagi seluruh wilayah Republik Indonesia (RI) melalui

Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965

yang menetapkan penggantian uang lama dengan uang baru dengan

perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp 1.000 (baru). Tujuan lain dari

Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan kesatuan moneter bagi seluruh

wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.

3. KEBIJAKAN MONETER ORDE BARU

Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak

mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada

masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga

mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena itulah pemerintah jarang

sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal

anggaran negara. Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya

27

Page 28: PEREK INDO

berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut

didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal

tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan

Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang

stabil, dan pemerataan pembangunan.

Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan

mengalami stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi.

Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya

selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan

menjadi APBN.

APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan

asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat

inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah

terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai

ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental

ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan

tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah

dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta

dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu

dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN

tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.

Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan

pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan

pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan

pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan

berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal

ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan

kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.

28

Page 29: PEREK INDO

APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip

berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran

pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan

pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin,

karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-

pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup

anggaran yang defisit.

Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada

anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah

utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa

yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu

mengalami defisit anggaran.

Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena

anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep

yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan

pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat

berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim

sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.

Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah

pada masa itu untuk mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang

ekonomi. Karena pemerintah dapat menghindari terjadinya inflasi, yang

sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang defisit. Sehingga

pembangunanpun terus dapat berjalan.

Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip

fungsional. Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran

pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk

membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah,

pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat

seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.

Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang

digunakan akan membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN

29

Page 30: PEREK INDO

tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini

bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan

penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN

tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang

bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang

besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat.

Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.

Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan

terwujud. Sehingga yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu

pinjaman luar negeri yang banyak akan menimbulkan resiko kebocoran,

korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi ketergantungan

tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha

meningkatkan penerimaan dalam negeri.

Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam

APBN adalah, dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk

membiayai pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk

mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran

rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah

dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam

pembangunan.

Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi

perbankan dan reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian

membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan

untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak dapat terjadi karena jumlah

pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang bersamaan

persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus

meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa

pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri.

Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan

pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.

30

Page 31: PEREK INDO

4. KEBIJAKAN MONETER PADA SAAT REFORMASI

Pemerintahan presiden BJ. Habibie yang mengawali masa reformasi

belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang

ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan

stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid

pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara

dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan

orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan

mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate

yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya,

kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.

Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-

masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan

penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi

persoalan-persoalan ekonomi antara lain :

a) Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada

pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar

negeri sebesar Rp 116.3 triliun.

b) Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan

negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan

negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban

negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi

Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak

kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.

Namun dalam singkatnya masa pemerintahan masing-masing

presiden, baik BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati mampu

menorehkan prestasi misalnya , Habibie mampu mengubah pertumbuhan

ekonomi negatif menjadi positif secara signifikan dengan prestasi year on

year 12,3%. Abdurrahman Wahid mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi

yang pertama sejak krisis 1997. Megawati mampu menjaga pertumbuhan

31

Page 32: PEREK INDO

ekonomi secara stabil dan menunjukkan peningkatan terus menerus tiap

tahunnya.

5. KEBIJAKAN MONETER PADA MASA PEMERINTAHAN SBY

Pada saat awal kepemimpinan SBY-JK keadaan perekonomian

memaksa untuk mengeluarkan kebijakan mengurangi subsidi bahan bakar

minyak,atau dengan kata lain menaikan harga bahan bakar minyak,karena

harga minyak dunia yang melambung tinggi.Hal ini dilakukan untuk

mengurangi tekanan pada APBN atas lonjakan harga minyak

tersebut.Kenaikan BBM ini mendorong terjadinya inflasi.

Ketika pada Juli 2005, BI mengenalkan kebijakan Inflation Targeting

Framework (ITF), penetapan target inflasi dirumuskan bersama dengan

Pemerintah. Dengan target inflasi itu, BI dan Pemerintah harus bekerja erat

bersama untuk mencapainya. Bila target itu dipercaya pelaku ekonomi,

investor/produsen dan konsumen, maka roda perekonomian akan bergerak

sesuai rencana sehingga fungsi intermediasi perbankan bekerja secara

optimal.

Bank Indonesia juga menetapkan enam langkah lanjutan bidang moneter

untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar. Langkah-langkah

tersebut yaitu menaikkan BI rate sebesar 75 bps menjadi 9,5 persen berlaku

sejak 30 Agustus 2005. Kedua, menaikkan suku bunga FASBI (fasilitas

Simpanan Bank Indonesia)7 hari sebesar 100 bps menjadi 8,5 persen, berlaku

sejak 31 Agustus 2005. Ketiga, menyerap likuiditas secara maksimal melalui

fine tune contraction dengan variable rate tender. Keempat, menaikkan

maksimum suku bunga penjaminan simpanan untuk September 2005. Kelima,

menaikkan giro wajib minimun rupiah belaku sejak 6 September 2005.

Keenam, menaikkan imbalan jasa giro yang semula 3 persen menjadi 5,5

persen, untuk seluruh tambahan GWM (Giro Wajib Minimum) rupiah di atas

5 persen.

32

Page 33: PEREK INDO

Untuk mengatur jumlah uang yang beredar,salah satu kebijakan yang

dilakukan adalah Operasi pasar terbuka atau Open Market Operation (OMO) yaitu

kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan

Bank dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter. Dalam pelaksanaan

Operasi Pasar Terbuka,dikenal dengan istilah fine tune operation yaitu transaksi

dalam rangka OPT yang dilakukan sewaktu-waktu oleh Bank Indonesia apabila

diperlukan untuk mempengaruhi likuiditas perbankan secara jangka pendek pada

waktu, jumlah dan harga transaksi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Dalam fine tune operaration di kenal dua kebijakan lagi yaitu:

1. Fine tune contraction : transaksi fine tune dalam rangka penyerapan likuiditas

perbankan secara jangka pendek.

2. Fine tune expansion: transaksi fine tune dalam rangka penambahan likuiditas

perbankan secara jangka pendek.

Penyerapan likuiditas tejadi apabila terjadi kelebihan likuiditas pada

perbankan dari nilai yang sudah ditetapkan.

33

Page 34: PEREK INDO

KESIMPULAN

Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang

bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang

tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal

(keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro,

yakni menjaga stabilitasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja.

Pada awal 2005, dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia

menganut sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targetting Framework

(ITF) yaitu secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada public dan

kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh

pemerintah tersebut.

Pada setiap masa, kebijakan moneter yang dilakukan berbeda-beda

tergantung dari kondisi perekonomian di setiap masa.

Dalam menentukan kebijakan moneter, akan lebih efektif jika melihat

penyebab apa saja yang mengakibatkan inflasi agar kebijakan tersebut tepat

sasaran.

34

Page 35: PEREK INDO

DAFTAR PUSTAKA

http://yasinta.net/permintaan-dan-penawaran-uang-money-supply-and-demand/

http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_moneter

http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/Keuangan/2005/0905/keu1.html

http://els.bappenas.go.id/upload/other/BI%20Targetkan%20Serap%20Likuiditas%20Rp%2064%20Triliun-SK.htm

http://www.kadin-indonesia.or.id/en/berita_isi.php?news_id=455&title=BI+Menetapkan+Enam+Langkah+Penjaga+Rupiah

http://www.antaranews.com/view/?i=1213803011&c=EKB&s=

http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/07/03/20/124338/inflasi-juni-2008-11-03

www.bps.co.id

http://www.bi.go.id/biweb/TimeSeries/tsInflasi_ID.aspx?sdate=2005/1&edate=2010/12

35

Page 36: PEREK INDO

LAMPIRAN

Indeks Harga Konsumen dan Inflasi Bulanan Indonesia,

2005, 2006, 2007, Januari - Mei 2008 ( 2002=100 ), Juni - Desember 2008, 2009, Januari - Mei 2010 ( 2007 = 100 )

Bulan2005 2006 2007 2008 2009 2010

IHKInflas

iIHK Inflasi IHK Inflasi IHK Inflasi IHK Inflasi IHK Inflasi

Januari 118.53 1.43 138.72 1.36 147.41 1.04 158.26 1.77 113.78 -0.07 118.01 0.84

Februari 118.33 -0.17 139.53 0.58 148.32 0.62 159.29 0.65 114.02 0.21 118.36 0.30

Maret 120.59 1.91 139.57 0.03 148.67 0.24 160.81 0.95 114.27 0.22 118.19 -0.14

April 121.00 0.34 139.64 0.05 148.43 -0.16 161.73 0.57 113.92 -0.31 118.37 0.15

Mei 121.25 0.21 140.16 0.37 148.58 0.10 164.01 1.41 113.97 0.04 118.71 0.29

Juni 121.86 0.50 140.79 0.45 148.92 0.23 110.08*) 2.46*) 114.10 0.11    

Juli 122.81 0.78 141.42 0.45 149.99 0.72 111.59 1.37 114.61 0.45    

Agustus 123.48 0.55 141.88 0.33 151.11 0.75 112.16 0.51 115.25 0.56    

September 124.33 0.69 142.42 0.38 152.32 0.80 113.25 0.97 116.46 1.05    

Oktober 135.15 8.70 143.65 0.86 153.53 0.79 113.76 0.45 116.68 0.19    

November 136.92 1.31 144.14 0.34 153.81 0.18 113.90 0.12 116.65 -0.03    

Desember 136.86 -0.04 145.89 1.21 155.50 1.10 113.86 -0.04 117.03 0.33    

Angka Inflasi   17.11   6.60   6.59   11.06   2.78   1.44

*) Sejak Juni 2008, IHK berdasarkan pola konsumsi yang didapat dari Survei Biaya Hidup di 66 Kota (2007=100).)

36

Page 37: PEREK INDO

GRAFIK TREND INFLASI

PADA TAHUN 2005 SAMPAI DENGAN 2010

2005 2006 2007 2008 2009 20100.00%

2.00%

4.00%

6.00%

8.00%

10.00%

12.00%

14.00%

16.00%

18.00%

37