hukum internasional, resume buku s tasrif

29
BAB I LEMBAGA PENGAKUAN INTERNASIONAL 1. Fungsi Pengakuan Para sarjana Hukum Internasional pada umumnya sependapat, bahwa “Pengakuan” (Inggeris: recognition, Perancis: reconnaissance, Jerman: Anerkennung) adalah suatu lembaga yang sangat penting artinya dalam hubungan antarnegara. Sebelum suatu negara batu dapat mengadakan hubungan yang lengkap dan sempurna dalam berbagai bidang dengan negara-negara lainnya, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya dan sebagainya, terlebih dahulu harus melalui “pintu pengakuan”. Dengan demikian, fungsi pengakuan adalah untuk menjamin suatu negara harus dapat menduduki tempat yang wajar sebagai suatu organisme politik yang merdeka dan berdaulat di tengah-tengah keluarga bangsa-bangsa, sehingga secara aman dan sempurna dapat mengadakan hubungan dengan negara-negara lainnya, tanpa mengkhawatirkan bahwa kedudukannya sebagai kesatuan politik itu akan diganggu oleh negara-negara yang telah ada. DE VISSCHER, seorang sarjana Hukum Internasional terkemuka berkebangasaan Belgia, mengemukakan bahwa lembaga pengakuan internasional itu memenuhi dua kebutuhan sosial dalam kehidupan antarnegara, “pertama, untuk tidak mengasingkan suatu kumpulan manusia dari hubungan-hubungan Internasional; kedua, untuk menjamin kontinuitas hubungan-hubungan Internasional dengan jalan mencegah adanya suatu kekosongan (vaccum) hukum yang merugikan, baik bagi keentingan-kepentingan Individu maupun bagi hubungan-hubungan antar negara.

Upload: ryu-jersey-kurniawan

Post on 10-Nov-2015

75 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Resume buku S. Tasrif

TRANSCRIPT

BAB ILEMBAGA PENGAKUAN INTERNASIONAL

1. Fungsi Pengakuan

Para sarjana Hukum Internasional pada umumnya sependapat, bahwa Pengakuan (Inggeris: recognition, Perancis: reconnaissance, Jerman: Anerkennung) adalah suatu lembaga yang sangat penting artinya dalam hubungan antarnegara. Sebelum suatu negara batu dapat mengadakan hubungan yang lengkap dan sempurna dalam berbagai bidang dengan negara-negara lainnya, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya dan sebagainya, terlebih dahulu harus melalui pintu pengakuan.

Dengan demikian, fungsi pengakuan adalah untuk menjamin suatu negara harus dapat menduduki tempat yang wajar sebagai suatu organisme politik yang merdeka dan berdaulat di tengah-tengah keluarga bangsa-bangsa, sehingga secara aman dan sempurna dapat mengadakan hubungan dengan negara-negara lainnya, tanpa mengkhawatirkan bahwa kedudukannya sebagai kesatuan politik itu akan diganggu oleh negara-negara yang telah ada.DE VISSCHER, seorang sarjana Hukum Internasional terkemuka berkebangasaan Belgia, mengemukakan bahwa lembaga pengakuan internasional itu memenuhi dua kebutuhan sosial dalam kehidupan antarnegara, pertama, untuk tidak mengasingkan suatu kumpulan manusia dari hubungan-hubungan Internasional; kedua, untuk menjamin kontinuitas hubungan-hubungan Internasional dengan jalan mencegah adanya suatu kekosongan (vaccum) hukum yang merugikan, baik bagi keentingan-kepentingan Individu maupun bagi hubungan-hubungan antar negara.CHEN TI-CHIANG, yang telah banyak membahas masalah pengakuan dalam bukunya The International Law of Recognition, umumnya diakuai bahwa pengakuan itu adalah salah satu masalah yang paling membingungkan dalam Hukum Internasional. Dan BRIERLY, sarjana Hukum Internasional yang terkenal itu, mengatakan dalam kata pengantar untuk buku CHEN di atas, bahwa lembaga pengakuan Internasional di samping artinya yang penting dilihat dari sgi doktrin Hukum Internasional, juga merupakan masalah yang selalu menjadi pemikiran bagi kementrian-kementrian luar negeri dan bagi para sarjana hukum internasional yang perhatiannya terutama tertuju kepada penerapan sistem itu dalam praktek.

STARKE berpendapat bahwa maslah pengakuan kelihatannya merupakan suatu hal yang sederhana, tetapi kesan itu memperdayakan, karena sebenarnya masalah ini merupakan salah satu bagian yang aling sulit dalam Hukum Internasional, bukan saja dilihat dari segi asas-asas, tetapi juga secara Intrinsik karena banyaknya masalah-masalah pelik yang seing terjadi dalam praktek.Dengan demikian, dapat ditunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pendap dimana-mana mengenai arti penting dari lembaga pengakuan Internasional. Hal ini merupakan maslah yang selalu tetap hangat dan tetap aktual, sehingga suatu pembahasan mengenai seluk- beluk lembaga tersebu pada dewasa ini pun kiranya masih tetap penting artinya.2. Bentuk-bentuk PengakuanLembaga pengakuan bukan hanya tampil ke muka pada waktu munculnya suatu negara atau pemerintah baru, akan tetapi dapat diterapkan terhadap berbagai peristiwa dalam kehidupan suatu negara yang telah lama berdiri. Pada umumnya terdapat persamaan pandangan dalam pembagian peristiwa-peristiwa itu oleh para sarjana Hukum Internasional, dibawah ini diberikan beberapa contoh dari pembagian tersebut.Bentuk-bentuk pengakuan itu oleh OPPENHEIM LAUTERPACHT misalnya, dirinci sebagai berikut:

a. Recognition of states (pengakuan negara);b. Recognition of new heands of governments of old states (pengakuan kepala pemerintah baru dari negara lama);

c. Recognition of governments and representation inthe United Nations (pengakuan pemerintah dan perwakilan dalam PBB);

d. Recognition of belligerency (pengakuan beligerensi);

e. Recognition of Insurgency (pengakuan pemberontakan);

f. Recognition of new territorial titles and International situations (pengakuan hak-hak teritorial dan situasi internasional baru).

Rincian yang tidak banyak berbeda diberikan oleh FENWICK, yaitu meliputi pengakuan:a. New states (negara baru);

b. Revolting territories (daerah yang memberontak);

c. Belligency (beligensi);

d. Insurgency (pemberontakan);

e. New governments (pemerintah baru);

f. Absentee governments (pemerintah larian).

Textbook Sovlet, menambahkan lagi suatu bentuk pengakuan yang dinamakan recognition of nations (pengakuan sebagai bangsa), yang dikemukakan oleh sarjana Hukum Internasional Perancis terkenal, SCELLE, dalam buku pelajaran tentang Hukum Internasional.SCHWARZENBERGER melihat pengakuan itu dalam arti yang lebih luas. Menurut sarjana ini, tidak mungkin menciptakan situasi baru mengenai suatu subyek Hukum Internasional, kecuali apabila situasi baru itu telah diakui oleh pihak yang berperan, hal ini disebabkan dari sifat sistem Hukum Internasional yang individualis itu. Oleh karena itu, pengakuan dapat diartikan sebagai penerimaan suatu situasi dengan maksud menerima akibat-akibat hukum dari keadan sedemikian itu.

CHEN dalam bukunya yang disebut di atas, sebenarnya dengan tepat menunjukkan bahwa masalah pengakuan ini timbul dalam bidang kehidupan negara (In every viclssitude of State life). Satu-satunya arti yang tepat yang menyebabkan aspek-aspek kehidupan internasional beraneka warna itu - dimana pengakuan memainkan peranan - dapat ditunjukkan dalam perspektif yang sebenarnya, pengakuan Internasional adalah suatu hal yang terjadi setiap hari, meskipun hanya bagian terkecil saja yang menarik perhatian umum.

Bentuk-bentuk pengakuan terpenting yang selalu menarik perhatian umum, yaitu:

a. Pengakuan negara baru;

b. Pengakuan pemrintah baru;

c. Pengakuan sebagai pemberontak;

d. Pengakuan beligerensi;

e. Pengakuan sebagai bangsa;

f. Pengakuan hak-hak teritorial dan situasi Internasional baru.

Bentuk-bentuk pengakuan di atas akan dibahas dalam tulisan ini, baik berdasarkan teori maupun praktek yang dilakukan oleh negara-negara dengan melihat pula pada beberapa yurisprudensi yang terkenal dari pengadilan-pengadilan di berbagai negara.

3. Literatur tentang PengakuanPengakuan Internasional adalah suatu lembaga yang sangat penting artinya dalam hubungan antarnegara dan disamping itu merupakan satu bagian Hukum Internasional yang sangat sulit, karna penerapannya dalam praktek oleh negara-negara bukan saja berbeda, tetapi juga sering bertentangan. Oleh karena itu tidak mengherankan, para sarjana Hukum Internasional gemar sekali mengupas masalah ini, dengan memperkenalkan teorinya masing-masing.Buku-buku terpenting yang membahas lembaga pengakuan Internasional ini, baik secara umum maupun khusus mengenai praktek suatu negara tertentu diantaranya sebagai berikut : ARECHAGA: Reconocimlento de Gobiernos (1947); CHEN TI-CHIANG: The International Law of Recognition (1951); COLE: Recognition Policy of The U.S. since 1901 (1928); FUSCO: 11 reconoscimento di statineldidto internazlonale (1938); GORBEL: The Recognition Policy of The U.S. (1915); dsb.BAB II

NEGARA SEBAGAI SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL1. Unsur-unsur Negara

Menurut Oppenheim Lauterpacht, unsur-unsur yang harus dimiliki oleh suatu masyarakat politik agar dapat dianggap sebagai negara adalah sebagai berikut.

a. Harus ada rakyat, yang dimaksud dengan rakyat yaitu kumpulan manusia dari kedua jenis kelamin yang hidup bersama sehingga merupakan suatu masyarakat, meswkipun mereka ini mungkin berasal dari keturunan yang berlainan menganut kepercayaan yang berlainan ataupun memiliki kulit yang berlainan.

b. Harus ada daerah, dimana rakyat tersebut menetap

c. Harus ada pemerintah, yaitu seorang atau beberapa orang yang mewakili rakyat, dan memerintah menurut hukum negerinya.

d. Pemerintah itu harus berdaulat (sovereign), yang dimaksud dengan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi.2. Negara-negara Setengah berdaulat

Unsur kedaulatan yang harus dimiliki oleh suatu negara tidak semua sarjana hukum internasional mencantumkannya sebagai suatu unsur mutlak. Beberapa sarjana berpedoman kepada kenyataan, bahwa terdapat masyarakat-masyarakat politik, meskipun tidak merdeka sepenuhnya, juga memiliki kecakapan mengadakan hubungan internasional, sehingga dapat dianggap sebagai suatu pribadi internasional atau lebih mudah lagi sebagai negara di bawah hukum internasional. Oppenheim Lauterpacht sendiri yang mencantumkan syarat kedaulatan sebagai suatu unsur negara, melihat kenyataan adanya masyarakat-masyarakat politik yang diorganisasikan sebagai negara dan karenanya dapat dianggap sebagai negara, meskipun masyarakat-masyarakat politik itu tidak memiliki kedaulatan penuh. 3. Terbentuknya Negara Baru

Suatu negara baru dapat terbentuk di tengah-tengah negara lainnya yang telah ada. Kemungkinan-kemungkinannya anatara lain adalah pembentukan negara-negara dalam perjuangan kemerdekaan nasional, apabila daerah-daerah bekas jajahan atau apabila rakrat yang tergabung kepada bangsa lain mendirikan negara nasional mereka sendiri yang merdeka (India, Tunisia, Maruko dan sebagainya).4. Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban NegaraSebagai subjek hukum internasional, sebuah negara baru dianggap memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban dibawah sistem hukum itu. Hak yang umum dikenal yakni hak-hak asasi manusia, yaitu diantaranya kebebasan untuk bergerak, berserikat, beragama, menyatakan pikiran, memiliki pers merdeka dan sebagainya.5. Asas Kontinuitas Negara

Suatu asas yang penting didalam Hukum Internasional adalah asas kontinuitas negara (continuity of states) yang berarti tidak terputusnya kedudukan suatu negara sekalipun telah terbentuk perubahan-perubahan apapun yang telah terjadi didalamnya.

6. Marxisme-Leninisme tentang Kepribadian Negara

Marxisme Leninisme mengajarkan bahwa negara dapat digolongkan ke dalam beberapa tipe, dan pembagian ini tergantung pada kelas mana negara itu mengabdikan dirinya, atau dengan perkataan lain pada taraf yang terakhir yang menggolongkan tipe negara itu adalah dasar ekonomis dari masyarakat tertentu. Karenanya tipe suatu negara sesuai dengan dasar sosio-ekonomis. Sejarah mengenal tipe pokok.A. Terbentuknya Negara Baru diatas Negara Bebas

Dalam abad sekarang ini sudah tidak mungkin lagi, tetapi dalam abad-abad yang lalu peristiwa ini masih mungkin terjadi. Sebagai contoh telah terbentuk negara-negara Transval (1837), Liberia (1847) dan Congo (1876) di Afrika, semuanya diatas negara bebas, yaitu diatas daerah yang (oleh orang-orang Barat) dianggap tidak dimiliki oleh siapapun juga.

B. Terbentuknya Negara Baru diatas Daerah yang Dikuasai Negara Lain

Hal ini terjadi dalam keadaan:

a. Adanya pernyataan merdeka dari sebagian wilayah negara (baik diatas negara induk maupun didaerah seberang, dan dari suatu daerah mandat atau trusteeshipb. Adanya pernyataan merdeka dari daerah-daerah jajahan

c. Terbentuknya negara baru diatas daerah negara yang telah terhapus . Terjadi apabila suatu negar terpecah menjadi beberapa bagian, sedangkan negara-negara baru yang muncul itu tidak menganggap dirinya sebagai lanjutan dari negara lama.BAB III

PENGAKUAN NEGARA

A. Teori Pengakuan

Di kalangan para sarjana Hukum Internasional, terdapat dua golongan besar yang berpendapat mengenai pengakuan. Golongan pertama berpendapat, bahwa apabila semua unsur kenegaraan itu telah dimiliki oleh suatu masyarakat politik, maka dengan sendirinya telah merupakan sebuah Negara dan harus diperlakukan secara demikian oleh Negara-negara lainnya. Dengan perkataan lain, golongan pertama menganut teori deklaratoir, bahwa pengakuan hanyalah bersifat pernyataan dari pihak Negara-negara lain dan Negara tersebut telah mengambil tempat disamping Negara-negara yang telah ada. Salah satu pendukung dari golongan ini adalah Pendapat Konvensi Montevideo. Konvensi ini diadakan pada bulan Desember 1933 antara Negara-negara di benua Amerika Serikat, menganut teori deklaratoir, pasal 3 dari konevensi itu antara lain berbunyi : The political existence of state is independent of recognition by the other States. Even before recognition the states has the right to defend its integrity and independence to provide for it conservation and prosperity, and consequently to organized itself as it sees fit, to legislate upon its interests, administer its services, and to define the jurisdiction and competence of its courts

Sebaliknya golongan kedua berpendapat, walaupun unsur-unsur sudah terpenuhi oleh suatu masyarakat politik, namun tidak secara langsung dapat diterima sebagai suatu Negara di tengah-tengah masyarakat internasional. Golongan kedua ini dikatakan menganut teori konstitutif, yang menerangkan bahwa harus terlebih dahulu ada pernyataan dari Negara-negara lainnya bahwa masyarakat politik tersebut benar-benar telah memenuhi syarat sebagai Negara. Salah satu pendukung dari teori ini adalah Scuman. Sarjana ini berpendapat bahwa Sebuah negara dapat saja berdiri beberapa waktu lamanya, tetapi tidak dapat menjadi Negara dalam hukum, sebelum diterima oleh masyarakat bangsa-bangsa sebagai anggota-anggota yang diakuiB. Penganut Teori Jalan Tengah

Baik teori deklaratoir maupun teori konstitutif tidak sepenuhnya memuaskan beberapa sarjana lainnya, sehingga mereka telah merumuskan teori baru yang dimana teori jalan tengah atau teori pemisah, karena para sarjana ini ingin mengadakan pemisahan anatara kepribadian internasional yang dimiliki suatu Negara dengan penggunaan hak-hak internasional yang melekat kepribadian itu. Karenanya disatu pihak diakui bahwa suatu Negara dapat menjadi pribadi internasional tanpa melalui pengakuan (teori deklaratif), akan tetapi untuk menggunakan hak-hak sebagai pribadi internasional Negara tersebut memerlukan pengakuan dari Negara-negara lainnya (teori konstitutif). Salah satu pendukung teori ini adalah J.c Starke yang menyatakan bahwa kebenarannya mungkin berada ditengah tengah kedua teori itu.C. Pengakuan Kolektif

Teori ini timbul berdasarkan saran Jessup yang mengkhendaki agar pemberian pengakuan itu dilakukan secara bersama (kolektif) oleh sekumpulan Negara yang dinamakan group-recognition. Jessup mengatakan, mungkin akan ada pendapata supaya International Court of Justice yang menetukan kriteria, apakah suatu calon itu telah memenuhi semua syarat atau belum untuk diterima sebagai suatu Negara, bukan Sidang Umum PBB. Tetapi karena yang harus diuji adalah kecakapan dan kemauan calon itu untuk melaksanakan kewajibannya sebagai Negara, dengan perkataan lain suatu politis, maka lebih tepat apabila Sidang Umum PBB dengan berpedoman pada ajuran-anjuran dari Dewan Keamana yang memberikan keputusan daripada International Court of Justice. Pada hakekatnya teori ini adalah teori konstitutif, hanya dengan catatan bahwa teori tersebut tidak ditetapkan oleh setiap Negara secara tersendiri, namun secara kolektif (group-recognition).

D. Pengakuan TerpisahBagi pengakuan suatu Negara berlaku syarat-syarat tertentu dan bagi pengakuan pemerintahberlaku pada syarat-syarat lainnya. Oleh karena itu dapat pula terjadi pada waktu berdirinya suatu Negara baru, pengakuan yang diberikan pada Negara baru sebagai Negara dan kepada pemerintah yang pada waktu itu memegang kekuasaan dalam Negara, berbbeda sifatnya. Dengan perkata lain, dapat terjadi kemungkinan pengakuan yang terpisah.

E. Pengakuan Mutlak dan Bersyarat

Oppenheim-Lauterpacht berpendapat bahwa suatu Negara dapat kehilangan salah satu unsur kenegaraannya, sehingga apabila hal ini terjadi, pengakuannya harus ditarik kembali.

BAB IV

PENGAKUAN PEMERINTAH BARU

20. Doktrin Legitimasi

Dapat dikemukakan, setiap penggantian pemerintah yang terjadi secara normal dan konstitusional, dibawah Hukum Internasional tidak memerlukan pengakuan bagi pemerintah baru itu. Penggantian pemerintah secara demikian terjadi secara sah (legitimate) dan berdasarkan kepada doktrin legitimasi ini, maka pengakuan dari negara-negara lain tidak mutlak diharuskan dibawah Hukum Internasional dan hanya merupakan salah satu tatakrama kehidupan Internasional belaka.

21. Doktrin de Facto-ism

Dilihat dari sudut ini, maka lembaga pengakuan menurut sejarahnya sebenarnya adalah suatu konsep yang revolusioner karena telah berjasa menampung hasil-hasil perjuangan pejuang kemerdekaan. Akan tetapi kemudian akan kita lihat betapa konsep yang semula progresif dan revolusioner ini kadang-kadang sering disalahgunakan untuk maksud-maksud politik yang tidak wajar.

22. Pengakuan de facto

Pengakuan terhadap suatu pemerintah baru yag terbentuk dengan cara yang tidak konstitusional biasanya diberikan dalam dua tingkatan, pengakuan secara de facto kemudian secara de jure. Pengakuan de facto hanya diberikan kepada suatu pemerintahan baru dalam keadaan pemerintahan lama telah digulingkan telah lumpuh seluruhnya, dan pemerintah baru itu secara de facto berkuasa di seluruh wilayah negara.

23. Kedudukan Hukum pemerintahan de facto

Pengakuan de facto yang diberikan kepada sebuah pemerintah revolusioner, sifatnya belum penuh dan lengkap, hanya bersifat sementara karena masih ada kemungkinan pemerintah itu tudak berumur panjang dan masih dapat digulingkan dalam jangka waktu yang pendek. Dengan perkataan lain, pembedaan pengakuan de facto itu sebenarnya mencerminkan sikap ragu kepada negara yang memberikannya, mengenai kemampuan pemerintahan baru itu untuk dapat terus memegang kekuasan.

24. Pengakuan de jure

Pengakuan de jure bukan menunjukan asal-usul dari suatu pemerintah yang diakui secara demikian, akan tetapi untuk menunjukan tidak ada golongan lain lagi yang menggangu-gugat kedudukan dari pemerintah yang bersangkutan itu. Pemerintah itulah satu-satunya yang mewakili negaranya berdasarkan kekuasaan nyata yang menimbulkan hak baginya.

25. Penyalahgunaan Lembaga Pengakuan

Penilaian tentang keadaan yang timbul dalam suatu negara sesudah terjadinya perebutan kekuasaan dapat disalahgunakan oleh negara yang hendak memberikan pengakuan, dengan mudah dapat dimengerti. Akibatnya ialah lembaga pengakuan yang semula merupakan doktrin yang revolusioner untuk menentang legitimasi, adakalanya berubah sifat menjadi alat politik nasional yang digunakan untuk menekan suatu pemerintah baru supaya memberikan konsensi-konsensi politik dan lain-lain kepada negara yang hendak memberikn pengkuan itu.

26. Doktrin Tobar

Doktri tobar ini menentukan syarat konstitusionalitas bagi pengakuan terhadap pemerintah baru. Pemberontakan atau perebutan kekuasaan memang tidak mungkin dicegah terjadinya dalam suatu negara, tetapi apabila sebagai akibat perebutan kekuasaan terbantuk suatu pemerintahan baru, pengakuan harus ditangguhkan sampai rakyat di egara itu melalui suatu pemilihan umum yang bebas telah menyatakan sikapnya mengenai pemerintah baru itu.27. Doktri Estrada

Doktrin Estrada itu Pemerintah Mexico ingin menunjukan sepenuhnya, bahwa penggantian pemerintah dalam suatu negara adalah urusan negara itu sendiri dan pemerintah lainnya tidak ada hak untuk memberikan penilaian terhadap asal-usul dan kedudukan hukum pemerintah itu, baik dengan jalan memberikan pengakuan ataupun menolak memberikan pengakuan.

28. Komentran tentang Doktrin Estrada

a. Komentar JESSUP

JESSUP mengakui pentingnya art Doktrin Estrada ini karena pada pokoknya doktrin ini bertujuan untuk menghapuskan perbedaan antara peristiwa perubahan pemerintah melalui cara pemberian suara secara damai dan melalui revolusi atau kudeta.

b. Komentar FENWICK

FENWICK sebaliknya berpendapat, ada kesalahpahaman pada doktrin estrada mengenai tujuan prakis dari pengakuan itu. Konsep yang diuraikan dalam doktri estrada, setiap penyelidikan oleh negara-negara ketiga terhadap sifat suatu pemerintah revolusioner tidak dapat dibenarkan, hal ini karena adanya kesalahpahaman mengenai tujuan praktis dari pengakuan itu.

BAB V

PENGAKUAN SEBAGAI PEMBERONTAK

29. Arti Pemberontakan dalam Hukum Internasional.

Ada tiga istilah di Inggris yang penggunaanya dalam percakapan sehari-hari sering dicampuradukan, tetapi di bawah Hukum Internasional masing-masing mempunyai ciri-ciri khusus. Ketiga istilah tersebut adalah: insurrection, rebellion, dan, revolution. Untuk kata-kata insurrection, rebellion, dan, revolution tersebut masing-masing diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu: pemberontakan, rebell, dan revolusi.SCHUMAN memberikan definisi mengenai ketiga istilah Inggris di atas sebagai berikut, In general an uprising directed toward a radical modification of the exsisting political or social order throughout the whole territory of a state is effered to as a revolution, while the word rebellion is more frequently confined to efforts on the part of a portion of a state to throw off the authory of the reminder. Insurrection usually refers to movements smaller in scope and purpose than those described by the other terms. Jadi, revolusi bertujuan untuk merombak secara radikal suatu susunan politis atau sosial di seluruh wilayah negara; rebeli adalah perjuanagan sebagaian wilayah negara untuk menggulingkan kekuasaan di wilayah lainnya, dan pemberontakan adalah kegiatan-kegiatan yang luas dan tujuannya lebih sempit daripada kedua istilah di atas.

SCHUMAN mengemukakan juga bahwa hara-hara yang terjadi dalam suatu negara pada taraf pertama akakn bersifat pemberontakan, kemudian dapat meningkat menjadi rebeli dan akhirnya meningkat menjadi revolusi. Namun meskipun pemberontak dapat meningkat menjadi rebeli dan revolusi, orang-orang yang tersangkut di dalalmnya tetap akan kita namakan kaum pemberontak.

30. Kedudukan Hukum Kaum Pemberontak

Suatu asas Hukum Internasional yang telah diterima oleh semua negara menegaskan bahwa kejadian-kejadian dalam suatu negara adalah urusan intern negara tersebut dan pihak asing tidak berhak turut campur . tetapi suatu pemberontakan biasanya merupakan suatu peristiwa berdarah yang menggunakan senjata dan dapat terjadi pertempuran antara pasukan pemerintah dengan pasukan-pasukan pemberontak. Di samping itu, mungkin juga terjadi penangkapan terhadap pengikut-pengikut kaum pemberontak dan oknum-oknum simpatisannya, sehingga akan terdapat orang yang merupakan tawanan pemerintah yang resmi.

Hukum Internasional tidak menghukum adanya pemberontakan atau revolusi. Neither Insurrection not revolution is condemned by Internasional law, kata DE VISSCHER). Dan apabila pemberontak dalam suatu negara telah mengambil proporsi sedemikian rupa, sehingga negara-negara lain tidak mungkin menutup mata terhadap kejadian tersebut, terpaksa negara-negara dengan suatu cara menunjukkan perhatian mereka. Maka lahirlah konsep recognition of insurgency di dalam Hukum Internasioanl, yaitu pengakuan adanya pemberontakan itu, bukan penghukumannya.

Sebelumyan, telah dikenal konsep pengakuan beligerensi terlebih dahulu, tetapi pemberian status beligerensi itu mencakup kenyataan adanya suatu golongan politik yang telah terorganisir dan secara de facto menguasai daerah tertentu, di mana golongan telah bertindak seolah-olah merupaka suatu pemerintah. Dengan perkataan lain, apabila pemberontakan itu telah meningkat menjadi rebeli seperti yang tlah diuraikan SCHUMAN.

Tetapi tidak selamanya kaum pemberontak itu segera dapat menguasai suatu daerah secara de facto. Mungkin mereka belum terorganisir dan kedudukannya masi terpencar, sehingga belum mampu bertindak sebagai suatu pemerintah. Namun demikian, kaum pemberontak itu telah mampu memberi perlawanan yang efektif terhadap pasukan-pasukan pemerintah resmi dalam pertempuran yang terjadi.

Lalu didasarkan pada pertimbangn-pertimbangan prikemanusian terhadap nasib orang-orang ini, yang pada hakekatnya bukan penjahat-penjahat kriminal biasa, namun merupakan pejuang-pejuang politik yang telah mengangkat senjata meskipun dapat juga menyelundup kaum petualang dalam barisan mereka Hukum Internasional memberikan kedudukan hukum tertentu kepada kaum pemberontakini di bawah konsep recognition of insurgency.

Seperti dikemukakan oleh DE VISSHER, meskipun dengan pemberian pengakuan sebagai pemberontak, mereka tidak mendapat status hukum yang tegas dan hak-hak yang mereka dapat itu berubah-ubah dalam berbagai keadaan, yang penting adalah dengan pengakuan itu diharapkan bahwa pemerintah pusat akan memperlakukan mereka sesuia denga tuntutan prikemanusiaan,... In conformily with the demands with humanity. Menurut FENWIK, pemberian pengakuan sebagai pemberontak adalah the expression of a bellf on the part of regognizing power on the one hand that the insurgents should not be excecuted as rebels if captured by the mothercountry and on the other hand that the insurgents should be entitled to prevent the access of supplise to the mothercountry from neutral state, without however, going so far as to excercise the right of visit and search at sea.

JESSUP mengatakan, tujuan pemberian pengakuan sebagai pemberontak adalh untuk menjamin bahwa mereka itu dalam tindakan dan perbuatannya tidak hanya akan dianggap sebagai pelanggar hukum belaka (lawbreakers).BAB VI

PENGAKUAN BELIGERENSI

31. Syarat Pengakuan Beligerensi

Dari urutan bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa pengakuan sebagai pemberontak itu Pengakuan hanya diberian pada tahap-tahap permulaan (intial stages) dari pemberontokan itu, ketika kaum pemberontak masih belum kuat kedudukannya, masih belum terorganisasi secara rapi dan masih terpancar di sana-sini. Tetapi andaikata pemberontakan itu tidak dapat segera ditumpas oleh pemerintah yang sah, dan kaum pemberontak itu bertambah kuat kedudukannya, sehingga pada suatu ketika mereka menguasai suatu daerah yang cukup luas secara de facto, maka jelaslah bahwa suatu fase baru telah timbul dalam pemberontakan itu.

Dalam keadaan seperti ini, kaum pemberontak biasanya telah mempunyai pemerintah sendiri dengan alat-alatmya dan mereka itu baik ke dalam maupun luar telah bertindak seolah-olah merupakan pemerintah dari suatu negara yang merdeka yang sedang berperang. Sifat pemberontakan telah meningkat menjadi rebeli dan kaum pemberontak sudah jelas tujuannya, yaitu menyumbangkan pemerintah pusat untuk menggantikannya.

Dalam keadaan adanya dua pemerintah yang bertanding itu, maka negara ketiga dapat memberikan pengakuan beligerensi (recognation of belligerency), yang sifatnya lebih tegas dan lebih jelas daripada hanya suatu pengakuan sebagai pemberontak. Dan pada saat itu, pemberontakan telah dianggap mengambil proposi sedemikian luasnya, sehingga negara-negara ketoga berkepentingan untuk secara aktif memperhatikannya. Akan tetapi, sebelum negara ketiga dapat memberikan pengakuan beligerensi kepada pihak-pihak yang sedang bertempur, maka menurut BRIELY harus dipenuhi dan syarat terlebih dahulu.

Pertama, pertempuran-pertempuran yang sedang berlangsung itu harus telah mencapai tingkatan sedemikian rupa seolah-olah sedang terjadi peperangan yang sebenarnya, artinya kaum pemberontak telah diorganisasikan di bawah suatu pemerintah yang menguasai daerah tertentu dan menjaga penataatan hukum-hukum perang oleh pasukan-pasukannya. Pada umumnya, pemerintah harus bertindak seolah-olah pemerintah suatu negara merdeka yang sedang berperang dengan negara lain. Tidak perlu ada kepastian, bahwa pemerintah itu akan bersifat permanen, karena hal ini merupakan suatu soal yang harus ditentukan oleh perkembangan perang selanjutnya.

Kedua, perkembangan dari peperangan itu harus sedemikian rupa sifatnya, sehingga negara-negara lain tidak mungkin terus berdiri di luar garis saja. Perkembangan sedemikian hal ini dapat terjadi, walaupun pertempuran-pertempuran itu hanya terbatas pada daratan saja, misalnya, pasukan-pasukan dari suatu pihak yang melewati sikap menginternir mereka atau tidak, yang akan berarti mengakui mereka sebagai anggota-angggota tentara yang sedang berperang. Jika peperangan itu meluas kelautan, maka hampir tidak dapat dihindarkan lagi bagi setiap negara yang memiliki kapal-kapal perdaganganm yang dengan terpaksa akan mengambil sikap untuk memberi atau tidak pengakuan beligerens kepada kaum pemberontak itu, karena pengakuan dari negara ketiga itu menentukan diijinkan atau tidaknya untuk mengambil warganegaranya dalam suatu peperangan laut oleh pihak-pihak yang sedang berperang. Andaikata negara ketiga, dalam hal ini mengijinkan kapal-kapal mereka digeledah dengan maksud mencari barang-barang seludupan (contraband) atau ditahan karena dianggap telah menerobos blokade. Maka negara itu pada hakekatnya telah memberi pengakuan tentang adanya suatu peperangan yang sejati sebab hanya dalam keadaan perang diperbolehkan mengambil tindakan-tindakan tersebut. LAUTERPACHT memberikan rincian mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum pemberian pengakuan beligerensi itu : Ditekankan selanjutnya, jika syarat-syarat tidak terpenuhi, maka pemberian pengakuan beligerensi itu merupakan campur tangan yang tidak sah dalam urusan negara yang sedang mengalami pertempuran-pertempuran itu : singkatnya, merupakan pelanggaran hukum internasional yang dapat disamakan dengan memberikan pengakuan yang terburu-buru terhadap suatu negara atau pemerintahan baru. Akan tetapi, apabila syarat-syarat ini terpenuhi, dan pengakuan beligerensi tidak diberikan, maka sikap itu dapat dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip yang sehat dan dengan preseden (contraty to sund principle and precedent)

Pasukan-pasukan pemberontak sendiri harus memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu merdeka.

a. Harus diorganisasikan secara teratur dibawah pimpinan yang bertanggungjawab;

b. Harus memakai tanda-tanda yang jelas dapat dilihat;

c. Harus membawa senjata secara terang-terangan, dan

d. Harus mengindahkan cara-cara peperangan yang lazim.

Akhirnya, perlu dikemukakan juga bahwa pengakuan beligerensi itu hanya berlaku selama berlangsungnya peperangan saja.

32. Hubungan dengan kaum Beligeren

Kontak dengan kaum beligeren itu apabila tidak dapat dihindarkan untuk suatu kepentingan, hanya wajar dilakukan secara informal tanpa suatu sifat diplomatik. Hal ini untuk menjaga hubungan baik dengan pemerintah yang sah.

33. Tanggung jawab bagi perbuatan kaum beligeren

Mengenai tanggung jawab tentang perbuatan kaum pemberontakan, DE VISSCHER mengatakan, pada umumnya diterima pendirian bahwa dalam keadaan suatu gerakan revolusioner telah daoat ditumpas oleh pemerintah yang sah, negara tersebut tidak bertanggung jawab untuk perbuatan- perbuatan merusak yang telah dilakukan oleh kaum pemberontak. Doktrin hukum internasional klasik mendukung pendirian ini berdasarkan pada dua alasan. Pertama, kaum pemberontak itu tidak dapat dianggap sebagai organ atau agen dari pemerintah yang sah, dan dengan demikian dengan sendirinya negara itu tidak bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Kedua, pemerintah yang sah hanya dapat meminta pertanggungjawabannya bagi perbuatan orang-orang yang mereka benar-benar kuasai secara efektif, sedangkan peristiwa revolusioner yang sedang terjadi itu menunjukan bahwa untuk sementara terdapat kekuragan penguasaan yang efektif terhadap sebagian wilayah negara. Maka pemberian pengakuan beligerensi (kepada kaum pemberontak) memperkuat pendirian bahwa negara yang bersangkutan tidak bertanggungjawab atas perbuatan kaum pemberontak itu.BAB VII

PENGAKUAN SEBAGAI BANGSA

34. Riwayat Konsep Pengakuan sebagai Bangsa

Pengakuan sebagai bangsa (recognitlon of nations) adalah pengakuan yang paling mudah riwayatnya dan merupakan suatu konsep pengakuan yang banyak dikembangkan oleh banyak sarjana Soviet. Textbook Soviet mengmukakanselama Perang Dunia ke-1 beberapa bangsa di Eropa yang sebelumnya merupakan bagian dari suatu negara multinasional, mulai berjuang untuk mendirikan negara nasionalnya sendiri yang merdeka dibawah pimpinan organ-organ dari gerakan pembebasan atau dibawah suatu panitia nasional.

Konsep pengakuan sebagai bangsa ini sangat disetujui oleh para sarjana Soviet, akhirnya konsep itu dianggap seolah-olah konsep asli Soviet yang berdasarkan pada ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme yang artinya mengenal hak bangsa-bangsa untuk memiliki negara nasionalnya sendiri. Untuk lebih jelas di bawah ini akan diuraikan riwayat lainnya dari konsep diatas.35. Peristiwa Polandia

Di dalam sejarah dikenal adanya negara Polandia, akan tetepi negara itu sejak tahun 1795 telah terhapus karena wilayahnya diduduki dan dibagi-bagi oleh beberapa negara seperti Prusia, Austria dan Rusia. Keadaan ini masih berlangsung selama Perang Dunia ke-1 dan untuk menarik simpati rakyat Polandia baik negara-negara Sekutu maupun Jerman yang sedang berperang memiliki cara sendiri untuk memberikan hak kepada bangsa Polandia untuk mendirikan negara nasionalnya sendiri setelah perang berakhir.

Di kalangan negara sekutu telah dapat persetujuan untuk mendirikan negara Polandia dan sebagai hasil dari persetujuan itu, di Paris dibentuk suatu Polish National Committe yang mengkoordinasikan semua aktivitas-aktivitas orang-orang Polandia yang berjuang di pihak Sekutu. Selama peperangan berlangsung Polish National Committe memegang kekuasaan seolah-olah merupakan suatu pemerintah dari suatu negara yang telah berdiri. Dan kemudian setelah perang selesai, wakil-wakil Polandia juga turut diundang dalam Konferensi Perdamaian. Mereka pun ikut menandatangani dokumen-dokumen perjanjian perdamaian, sehingga ini di anggap sebagai suatu pengakuan de jure atas Negara Polandia.36. Peristiwa Cekoslovakia

Mengenai peristiwa Cekoslovakia dapat dikatakan, bahwa gerakan untuk menuntut kemerdekaan bagi rakyat Cekoslovakia telah dimulai pada permulaan perang Dunia ke-1. Di negara sekutu dan juga di negara netral telah didirikan pusat-pusat propaganda yang dikoordinasikan menjadi suatu National Counell of Czech Countries dengan MASARYK sebagsi ketuanya dan BENESJ sebagai sekretaris jendralnya.

Pada tanggal 9 Agustus 1918 Menteri Luar Negeri Inggris BALFOUR telah mengeluarkan sebuah pernyataan resmi yang dapat dianggap sebagai suatu bentuk pengakuan terhadap Ceko. Akhirnya sebagai kelanjutan perkembangan peristiwa Ceko ini dapat dikemukakan , pada tanggal 18 oktober 1918 MASARYK telah memproklamasikan kemerdekaan Cekoslovakia dalam suatu upacara di Washington. Pada tanggal 15 November, Inggris dan Perancis mengirimkan suatu Misi Militer ke Praha dan pada tanggal 4 Desembernya diberikan pengakuan de facto, sedangkan pengakuan de jure dapat disimpulkan dari kenyataan keikutsertaan wakil-wakil Cekoslovakia menandatangani dokumen-dokumen perjanjian perdamaian pada tahun 1919.37. Penting Artinya bagi Rakyat Asia-Afrika

Setelah Perang Dunia ke-II dengan timbulnya berbagai revolusi kemerdekaan di Asia-Afrika, maka konsep pengakuan sebagai bangsa dengan sendirinya sangat penting artiya untuk mendorong perjuangan kemerdekaan itu. Dengan pemberian pengakuan sebagai bangsa, maka meskipun unsur-unsur kenegaraan belum dimiliki sepenuhnya oleh segolongan rakyat yang sedang memperjuangkan berdirinya negara nasionalnya sendiri, wakil-wakil itu telah dapat diakui secara resmi mewakili suatu kesatuan politik yang menjadi subjek Hukum Internasional, sehingga dapat berhubungan dengan negara-negara yang sudah ada dan bersimpati kepada perjuangan mereka atas dasar hukum yang dikenal di bawah Hukum Internasional.BAB VIII

PENGAKUAN HAK HAK TERITORIAL

DAN SITUASI INTERNASIONAL BARU38. Doktrin STIMSON

Pengakuan ini lebih tepatnya melihat dari segi negatifnya yang bersifat penolakkan atas hak-hak internasional baru, penolakkan ini bertujuan menjegah peperangan sebagai alat politik nasional dalam hubungan internasional serta menganjurkan dengan cara-cara damai dalam menyelesaikan pertentangan antarnegara (disebut Pakta Perancis tahun 1928).

Kemudian lahirlah doktrin Stimson yang mana doktrin ini berdasarkan nota yang dikeluarkan oleh Menteri luar Negeri Amerika Serikat bernama STIMSON. Dalam nota tersebut berbunyi STIMSON Doctrint of Non-Recognition yang pokoknya menyatakan mencegah digunakannya kekerasan, terutama dalam hal penaklukan suatu daerah, hal ini berawal dari Jepang yang menyerbu Propinsi Cina yaitu Manehurla dan mendirikan sebuah negara boneka.

Doktrin ini pun dikenalkan dalam Liga Bangsa - Bangsa pada bulan Maret 1932. Doktrin ini pun sering digunakan ketika terjadi sengketa antara Bolivia dan Paraguay di tahun itu juga serta Pernyataan menggunakan doktrin ini pun tertuang dalam Konperensi Monvideo tahun 1933 dan Lima tahun 1938.

39. Impotensi Doktrin STIMSON

Dalam prakteknya doktrin ini tidak mencapai maksudnya yaitu mencegah jalan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa internasional, hal ini karena tidak adanya sanksi bagi pelanggarnya serta sering kali malah penganut doktrin ini sendirilah yang tidak konsekuen dalam penerapannya.

Impotensi Doktrin STIMSON lebih nyata lagi dalam peristiwa penyerbuan Ethiopia pada tahun 1935 oleh Italia yang memproklamasikan Raja Italia menjadi Kaisar Ethiopia. Walaupun Liga Bangsa - Bangsa telah melakukan upaya untuk menerapkan doktrin STIMSON terhadap sengketa Italia ini, tapi secara fait accompli Anggota - Anggota Liga Bangsa - Bangsa memberikan de jure tentang kedaulatan Italia atas Ethiopia.

Walaupun dalam praktek dokrin ini susah diterapkan pada masa itu, namun dengan adanya doktrin ini telah melahirkan cita-cita mencegah terjadinya kekerasan dalam menyelesaikan pertikaian internasional yang mengarah ke tindakan perang, sehingga kemudian doktrin ini pun tertuang pada Pasal 2 ayat 3 dan 4 dalam Piagam PBB.

BAB IX

CARA CARA PEMBERIAN PENGAKUAN40. Pengakuan yang tegas dan yang Tidak Langsung

Tidak ada pengaturan tertentu cara memberikan Pengakuan oleh hukum internasional, tapi pada dasarnya pemberian pengakuan dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu :

1. Pemberian pengakuan tegas dan nyata

2. Pemberian pengakuan melalui tindakan tertentu

Pengakuan yang tegas adalah keluarnya nota resmi yang mengumumkan niat pemberian pengakuan itu oleh negara bersangkuatan kepada negara yang meminta pengakuan. Sedangkan Pengakuan melalui tindakan tertentu adalah apabila dilakukan perbuatan yang meskipun tidak secara langsung menyinggung soal pengakuan tapi tidak menimbulkan kesangsian lagi adanya niat untuk memberikan pengakuan, diantarnya :

1. Terjadinya proses perjanjian bilateral

2. Adanya hubungan diplomatik resmi

3. Diberikannya izin untuk melakukan pekerjaan konsul

4. Pemberian pengakuan beligerensi suatu proklamasi

Akan tetapi tidak semua tindakan tertentu merupakan sebuah pengakuan negara terhadap negara tertentu, misalnya dalam Konperensi Jenewa tahun 1959 mengenai indo-cina, dan Amerika hadir disana. Walaupun Amerika hadir disana tidak dapat dikatakan bahwa Amerika mengakui Cina karena pihak Amerika tidak ada niat memberikan pengakuan.

41. Praktek Amerika Serikat

Dalam pemberian pengakuan, Amerika mempunyai caranya sendiri sebagaimana yang pernah diuraikan pada momerandum 28 Maret 1913 yang dibuat oleh ALVEY A. ADEE, Pembantu Menteri Luar Negeri di Amerika Serikat, diantarnya :

1. Pemberitahuan oleh wakil Amerika pada ibukota negara asing yang bersangkutan, bahwa ia telah diberi intruksi untuk memulai hubungan dengan pemerintah baru.

2. Pernyataan telah diterimanya surat yang dialamatkan kepada Presiden dari Pemimpin Pemerintahan baru itu.

3. Penerimaan seorang duta oleh Presiden

4. Presiden menerima wakil diplomatik lama dari negara asing bersangkutan.

5. Penyampaian secara resmi oleh duta Amerika pada ibukota negara asing yang bersangkutan, suatu amanat pengakuan dari Presiden.

6. Menambah pengakuan sebuah pemerintah sementara atau pemerintah peralihan dengan suatu pernyataan resmi berisi pengakuan yang dibuat oleh duta amerika.

7. Pernyataan melalui pers dan radio mengenal pengakuan terhadap suatu negara atau pemerintah baru.

Dan diera revolusioner pemberian pengakuan tidak hanya kerena sifat pengakuan yang tegas, tapi juga karena tempat dan saat pemberian pengakuan dilakukan. Hal ini dialami oleh Aljazair saat menyatakan pidato proklamasinya di Cairo (Mesir) dan seketika itu pula pemerintah mesir dan duta besar Irak menyatakan pengakuannya terhadap lahirnya Republik Aljazair yang merdeka.