hepatitis b kronis

Upload: willya-eka-putri

Post on 18-Jul-2015

581 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

HEPATITIS B KRONIS DEFINISI Hepatitis B kronis adalah persistensi virus hepatitis B lebihdari 6 bulan.Hal ini diketahui dengan terdapatnya HBsAg dalam darah, anti Hbc, dan serum HBV DNA lebihdari 6 bulan. EPIDEMIOLOGI Infeksi hepatitis B yang didapat pada masa perinatal dan balita biasanya bersifat asimtomatik dan dapat menjadi kronikpada 90 % kasus. Pada orang dewasa 10 % menjadi kronis.Dari yang terinfeksi secara kronis 20 % menjadi sirosis hati dan HCC. PATOGENESIS Virus hepatitis B masuk secara parenteral, partikel dane dari virus masuk kehepar, kemudian bereplikasi. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi partikel dane utuh, partikel HbsAg ,danHBeAg. Awalnya terjadi responimun nonspesifik, kemudian respon imun spesifik yaitu aktifasi sel limfosit T dan sel Limfosit B sehingga terbentuk anti bodi antara lain anti HBs Anti HBe, anti HBc. Respon imun mengeliminasi sasaran dengan cara sitolitik / nekrosis hati atau non sitolitik melalui aktifitas interferon gamma dan tissue nekroting factor. Virus hepatitis B bersifat tidak sitopatik, kerusakan hepatosit terjadi akibat lisis hepatosit melalui mekanisme imunologis. Kesembuhan dari infeksi VHB bergantung pada integritas sistem imunologis seseorang. Infeksi kronis terjadi jika terdapat gangguan respon imunologis terhadap infeksi virus. Hepatitis virus B yang berlanjut menjadi kronik menunjukkan bahwa respons imunologis selular terhadap infeksi virus tidak baik. Jika respons imunologis buruk, lisis hepatosit yang terinfeksi tidak akan terjadi, atau berlangsung ringan saja. Virus terus berproliferasi sedangkan faal hati tetap normal. Kasus demikian disebut pengidap sehat.

Di sini ditemukan kadar HbsAg serum tinggi dan hati mengandung sejumlah besar HbsAg tanpa adanya nekrosis hepatosit. Pasien dengan respons imunologis yang lebih baik menunjukkan nekrosis hepatosit yang terus berlangsung, tetapi respons ini tidak cukup efektif untuk eliminasi virus dan terjadilah hepatitis kronik. Pada hepatitits B kronikterdapat 3 faseyaitu : 1. Fase imunotoleran : Terjadi pada masa anak-anak dan dewasa muda, yang mana system imuntoleran terhadap VHB. Dari pemeriksaan labor didapatkan HBsAg serta HBeAg di dalam serum serta titer HBV DNA nya tinggi, akan tetapi ALT normal. 2. Fase imunoaktif/imuno clearance : pada 30 % individu dengan persistensi VHB yang terjadi karna replikasi virus berkepanjangan, terjadi nekroinflamasi yang ditandai dengan kadar ALT menaik. Pada fase ini, imun mulai menghancurkan VHB dan mengakibatkan pecahnya selhati.Pada fase ini terjadi serokonversi HBeAg secara spontan atau terapi. 3. fase non replikatif : pada 70 % atau sisanya, proses menghilangkan HBV tidak dengan kerusakan selhati yang berarti. Pada pemeriksaan labor ditemukan HBsAg rendah, HBeAg menjadi (-), anti HBe (+) spontan, ALT normal.20 % dari fase ini bisa kambuh/reaktifasi. MANIFESTASIKLINIS Keluhan dari hepatitis B kronis sangat bervariasi. Pada sebagian didapatkan hepatomegali atau bahkan splenomegali atau tanda-tanda penyakit kronis lainnya misalnya palmar eritema dan spider naevi,serta pada pemeriksaan laboratorium sering didapatkan peningkatan konsentrasi ALT. Pada umumnya konsentrasi albumin dan bilirubin normal. Secara sederhana manifestasi klinis hepatitis B kronik dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu : 1. hepatitis B kronik yang masih aktif. HbsAg positif dengan DNA VHB lebih dari 10 ^5 kopi / ml, didapatkan kenaikan ALT menetap atau intermitten. Pada pasien sering didapatkan tanda-tanda penyakit hati kronik. Menurut status HbeAg pasien dikelompokan menjadi HbeAg positif dan negatif.

2.

CarrierVHB inaktif. Pada kelompok ini HbsAg positif, titer DNA VHB rendah yaitu kurang dari 10 ^ 5 kopi .ml. konsentrasi ALT normal dan tidak didapatkan keluhan. Jenis ini sulit dibedakan dengan Hepatitis B kronik HbeAg negatif jika pemeriksaan DNA VHB tidak tersedia, maka dari itu perlu dilakukan pemeriksaan ALT berulang.

Gambaran Histopatologik Hepatitis B Kronik

Pemeriksaan histopatologi biobsi untuk pasiien hepatitis B kronik sangat penting terutama untuk pasien dengan HbrAg positif dengan konsentrasi ALT 2 kali normal tertinggi atau lebih. Biobsi hati diperlukan untuk diagnosis dan prognosis serta kemungkinan keberhasilan terapi (respon histologi). Gambaran histologis hepatitis B kronis adalah, pada segitiga porta terdapat infiltrasi sel radang terutama sel plasma, terdapat fibrosis, sel radang bisa masuk kedalam llobuus, dan terjadi erosi di limiting plate. Klasifikasi histologis hepatitis B kronik 1. Hepatitis Kronik Persisten Terdapatnya infiltrasi sel-sel radang di daerah portal, fibrosis periportal sedikit sekali atau tidak ada, arsitektur lobular normal, limiting plate pada hepatosit utuh, piece meal necrosis (-). Umumnya pasien asimtomatik atau mengalami gejala konstitusi ringan (lemah, anoreksia, mual). Pada pemeriksaan fisik hati membesar, lembek, kenyal. Limpa tidak teraba, ikterik ringan. Pada laboratorium peningkatan ringan aktivitas aminotransferase. Perkembangan menjadi hepatitis kronik aktif dan sirosis sangat jarang terjadi, terutama pasien hepatitis kronis persisten idiopatik atau autoimun.

2. Hepatitis Kronik Lobular Terdapat fokus nekrosis dan peradangan dalam lobulus hati. Secara morfologis mirip hepatitis akut yang sedang sembuh perlahan. Limiting plate utuh, fibrosis periportal sedikit atau tidak ada, arsitektur lobulus normal. Jarang menjadi hepatitis kronis aktif dan sirosis.

Dapat dianggap varian hepatitis kronik persisten dengan komponen lobuler dengan gambaran klinis/laboratoriumnya serupa. Kadang-kadang aktivitas klinis meningkat spontan, mirip hepatitis akut, perburukan sementara gambaran histologis.

3. Hepatitis Kronik Aktif Ditandai oleh nekrosis hati yang terus-menerus, peradangan

portal/periportal dan lobuler serta fibrosis. Keparahan dari ringan sampai berat. Dapat menimbulkan sirosis, gagal hati, dan kematian. Bentuk ringan: erosi ringan dari limiting plate dengan beberapa piece meal nekrosis tanpa nekrosis bridging atau penumpukan rosette. Bentuk berat: septa fibrous meluas ke kolumna sel hati, pembentukan rosette, nekrosis bridging sel hepar, saluran porta dan vena sentralis, juga antara portal. Jika terkena multilobulus dan mengenai seluruh hati terjadi perburukan cepat bahkan gagal hati akut. Klinis walaupun ada yang asimtomatik, tapi sebagian besar dengan konstitusi ringan sampai berat, terutama rasa lelah. Lebih sering ditemukan hipertensi portal, kadar aminotransferase cenderung lebih tinggi dan ikterik (hiperbilirubinemia). Pada 20-50% biopsi juga sudah mengalami sirosis, bersamaan dengan hepatitis kronik aktifnya. Umur pada saat menderita infeksi sangatlah penting, karena infeksi pada usia dini berakibatkan terjadi persistensi / kronisitas. Karsinogenesitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses infeksi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA kedalam DNA sel pejamu, dan aktifitas spesifik selHBV berintegrasi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh kompensasi proliperatif merespon nekroinflamasi selhati atau akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV. Koinsiden HBV

dengan pajanan agen ongotik lain seperti aflatoksin dapat menyebabkan HCC tanpa didahului oleh sirosis hepatis. Transaktifasi beberapa promoter selular atau viral tertentu oleh agen x HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya HCC ,kemungkinan ini terjadi karna akselerasi aktifasi hepatosit melampaui batas apoptosis sel. PENGOBATAN Tujuan Terapi Hepatitis Kronik B 1. Menekan dan menghilangkan replikasi virus (HbeAg, HBV DNA) 2. Kontrol jangka panjang nekroinflamasi dai hepatosit (GPT) 3. Mencegah transformasi maligna dari hepatosit (Integrasi HBV DNA virus ke dalam DNA genom host) Ketiga hal di atas bertujuan mencegah sekuele sirosis hepatis atau KHP. Penerapan secara serologis: HbeAg (+) HbeAg (-) dan HbeAb (+) HBV DNA HBV DNA / (-) HbsAg (+) HbsAb (+)

Terapi Nonmedikamentosa 1. Umum Pengidap dilarang menjadi donor darah, sperma, susu atau organ tubuh lainnya, pinjam meminjam alat cukur dan gosok. Pengidap harus memberitahukan status pengidapnya kepada dokter gigi, dokter pribadi, dan petugas laboratorium. Keluarga di rumah, istri/keluarga seharusnya diimunisasi bila HbsAg (-) dan HbsAb (-). Bila ibu pengidap hamil, diberitahu dokter kebidanan untuk segera mengimunisasi bayi yang baru lahir (pasif dan aktif). 2. Diet Makanan sehat bergizi untuk mempertahankan berat badan tetap normal. Dianjurkan diet tinggi kalori, protein, lemak secukupnya (diet hati). Bila sudah terjadi komplikasi sirosis hati terutama dengan asites dianjurkan restriksi lemak, garam, air, protein, sebaiknya diberikan vitamin. 3. Latihan/kerja

Pengidap asimtomatis bisa kerja dan olah raga seperti biasa. Bila timbul sirosis hati hindari latihan berat. 4. Alkohol dan obat-obatan Hindari hepatotoksik potensial, hindari minum alkohol secara rutin dan regular. Steroid dan obat imunosupresif akan memperberat infeksi laten dan dapat menimbulkan suatu hepatitis fatal.

MEDIKAMENTOSA Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B kronik yaitu : I. Kelompok imunomodulasi Interferon : kelompok protein intra seluler normal yang diproduksi tubuh oleh limfosit B. Sivat antivirus interferon tidak secara langsung tapi melalui pengaktifan protein efektor yang berkasiat antivirus. Pada pasien hepatitis kronis, terjadi penurunan fungsi interferon akibatnya terjadi gangguan penampilan molekul HLA kelas 1 pada membran hepatosit yang sangat diperlukan agar sel limfosit T mengenai viru HBV. Penggunaan interferon : hepatitis B kronik yang HbsAg positif , aktifasi ringan sampai sedang, yang belum sirosis. Dosis : Penyuntikan subkutis selama 4 bulan (16 minggu) setiap hari dengan dosis 5 juta unit, atau 3 kali seminggu dengan dosis 10 juta unit, menyebabkan serokonversi 40% dari infeksi HBV replikatif (HbeAg dan DNA HBV terdeteksi dalam serum) menjadi nonreplikatif (anti HbeAg terdeteksi) disertai perbaikan gambaran histologi hati, dan pada 10% HbsAg mungkin tidak terdeteksi lagi. Respon terhadap interferon meningkat pada pasien dengan kadar DNA HBV yang rendah sampai sedang ( 2 x nilai normal tertinggi dengan DNA VHB positif. Lamivdin Merupakan nukleosida analog generai ke II. Obat ini lebih toleran, efektif, ekonomis, efek samping tidak ada. Dapat digunakan tunggal, kombinasi dengan IFN, juga pada pemakaian IFN yang kurang berhasil atau kontraindikasi. Dosis 100 mg/hari. Penghentian pengobatan jika HbeAg menghilang atau terjadi serokonversi ke anti Hbe (pemeriksaan beberapa kali). Pada penelitian di Asia serokonversi HbeAg terjadi 22% dalam 1 tahun, 29% dalam 2 tahun dan 40% dalam 3 tahun. Lamivudin berfungsi menghambat enzime revere transkriptase yang berfunhsi sebagai trankripsi balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi pada replikasi virus.

Lamivudin hanya bekerja pada sel hepatosit sehat yang belum terinfeksi karena sel-sel yang telah terinfeksi ada dalam keadaan convalent closed cirkular. Oleh karena itu, setelah obat diberikan, sel sel yang telah terinfeksi sebelumnya meroduksi virus baru lagi. Lamivudin menurunkan progresi fibrosis 30 % dibandingkan dengan

kelompokplasebo 15 %. Menurut penelitian , dalam waktu 1 tahun serokonversi HbeAg menjadi anti Hbe terjadi pada 16-18 % pasien yang mendaaptkan lamivudin, sedangkan serokonversi hanya terjadi pada 4-5 % pada lasebo dan 19 % pada pasien yang mendapatkan IFN. Khasiat lamivudin semakin meningkat bila diberikan dalam waktu yang lebih panjang. Oleh karena itu strategi pengobatan yang tepat adalah pengobatan jangka panjang. Sayangnya hal ini bisa menimbulkan virus yang kebal terhadap lamivudin. Biasanya muncul setelah penggunaan 6 bulan terapi. Hal ini terjadi mutasi pada gen P didaerah dengan motif YMDD. Hal ini masih bisa di atasi dengan pemakaian adefivir dan enticavir. Setelah penghentian lamivudin dapat terjadi kekambuhan yaitu pada 16 % pada pasien hepatitis B kornik.hal ini terjadi karena reinfeksi sejumlah besar sel-sel hati yang sehat akibat dihentikannya lamivudin yang diikuti respon imut yang mirip hepatitis Akut. Pada keadaan ini lamivuddin dapat dibetikan kembali. Adenofir dipivoksil Kerjanya hampir mirip dengan lamivudin. Kelebihan obat ini adalah jarang terjadi kekebalan. Kerugiannya adalah harganya mahal.

Kriteria respon terhadap terapi antivirus Respon biokimiawi : penurunan ALT menjadi normal. Respon virologik : negatifnya DNA VHB degan metode nonamplivikasi (,10^5 kopi.ml), hilangnya HbeAg pasien yang sebelumnya positif. Respon histologis : emnurunnya indeks histologik sedikitnya 2 poin dibandingkan biobsi hati sebelumnya. Respon komplit : adanya respon biokimiawi dan virologik yang disertai dengan negatifnya HbsAg.

Waktu pengukuran respon terapi antivirus adalah : selama terapi ALT, HbeAg dan DNA VHB (nonPCR) diperiksa tiap 1-3 bulan. Setelah terapi selesai ALT,HbeAg dan DNA VHB diperiksa tiap 3-6 bulan.

Pengidapkronik VHB (HbsAg (+) VE . 6 bulan) Nasehatnon spesifik Latihan AlkoholdanObat EvaluasiAwalHbeAg/anti HbeAg HBV DNA Biokimiahati/SGPT USG hati biopsihati

HbeAg (+) ve HBV DNA (+) ve ALT/AST normal Minimal changes

HbeAg (+) ve HBV DNA (+) ve ALT/AST Hepatitis kronis

HbeAg (-) ve Anti Hbe (+) ve

HBV DNA (+) Hep. Kronis

HBV DNA (-) SirosisHati

Observasi

TerapiSpesifik

KHP Surveilans USG dan feto protein regular

PROGNOSIS Hepatitis B akutdapatsembuhsempurna 90 %, dapatdikontroldenganpengobatanantivirus . 5 tahun survival rate pada pasien hepatitis kronis B dengan kelainan hati ringan adalah 97%, untuk kronik aktif 86% dan 55% untuk kronik aktif hepatitis dengan sirosis. Imunisasi massal pada bayi yang baru lahir, anak di bawah umur 1,5 tahun adalah cara yang terbaik untuk mencegah hepatitis akut, kronis, sirosis hati, KHP. sedangkan hepatitis

kronispotensiuntukhilangnya virus amatsukar. Meskipundemikianreplikasi virus

HEPATITIS C KRONIS

PENDAHULUAN Prevalensi hepatitis virus C (HCV) meningkat di seluruh dunia. WHO memperkirakan lebih dari 170 juta individu di seluruh dunia terjangkit HCV. Insiden HCV di Indonesia sampai saat ini belum ada data pasti, namun dari pemeriksaan terhadap penderita HCV (+) dilaporkan terdapat 44,8% HCV RNA (+), dan HCV RNA (+) ini lebih banyak ditemukan pada usia tua dan ekonomi rendah. Kadar HCV dalam cairan tubuh seperti saliva, sperma, urin, feses dan sekresi vagina amat rendah dibandingkan di dalam serum. Transmisi HCV melalui hubungan seksual hanya kurang dari 3-7%. Hal ini dapat dieliminir lagi dengan pemakaian kondom. Insiden meningkat pada free sex, mempunyai penyakit seksual yang menular, homoseksual, lama kawin dan meningkatnya jumlah virus. Hepatitis virus C mempunyai kemampuan untuk bermutasi dalam replikasi RNA (quasi spesies) yang pada akhirnya akan mempunyai sensitivitas yang berbeda terhadap penatalaksanaan. Tingkatan perubahan (diversity) akan berbanding lurus dengan resistensi terhadap terapi interferon. Ada enam genotip utama dan sejumlah subtipe dari HCV berdasarkan pendekatan molekular. HCV genotip 1, khususnya 1b, tidak berespon terhadap terapi sama seperti genotip 2 dan 3. Genotip 1 juga dihubungkan dengan penyakit liver yang lebih berat dan resiko yang lebih tinggi untuk mendapat HCC.

PATOGENESA Bila seorang terinfeksi HCV sebagian kecil akan sembuh sempurna dan sebagian besar menjadi kronis dengan terbentuknya antibodi terhadap virus C (anti HCV). Reaksi imunologis bersifat humoral dan selular dimana sistem humoral membentuk IgM anti HCV dan imunologik selular mengaktivasi sel sitotoksik untuk menghancurkan virus C dengan bantuan MHC (mayor histocompability) dan interferon, dimana interferon melalui enzim 2,5 oligo adenylate sintetase menghambat pembentukan protein virus (replikasi virus). Bila sel T sitotoksik mampu mengeliminasi virus akan terjadi penyembuhan dan bila gagal akan menjadi hepatitis kronik. Walaupun anti HCV negatif selama lebih dari 6 bulan dan transaminase normal namun kalau masih ditemukannya HCV RNA (+) maka penderita dianggap sebagai pengidap hepatitis C Koinfeksi dengan HBV juga telah dihubungkan peningkatan keparahan hepatitis C kronik dan mempercepat laju ke arah sirosis. Tambahan koinfeksi dengan HBV mempengaruhi perkembangan ke arah HCC.

Hepatitis Virus C RNA-HCV 2-7 hari Hepatitis Akut Anti HCV 6-12 bln

Sembuh/Resolusi RNA-HCV (-) IgM anti HCV (-) ALT Normal 20-30%

Carier Hep C RNA-HCV (+) IgM anti HCV (-) ALT Normal 6080%

Hep C Kronis RNA-HCV (+) IgM anti HCV (+) ALT Meninggi 2030%

Sirosis / Hepatoma

Sirosis 20%

Hepatoma

DIAGNOSIS Karena gejala klinis sangat minimal maka pemeriksaan penunjang memang mempunyai peranan yang sangat penting. Diagnosis ditegakkan dengan: Anti HCV positif Marker of infection HCV RNA positif Marker of viremia

BEBERAPA PEMERIKSAAN PENUNJANG ANTARA LAIN: 1. Laboratorium Tes anti bodi Hepatitis C Skrining serologis anti HCV mencakup enzim immunoassay (EIA) yaitu EIA 1 dan EIA 2 yang 97% spesifik. Cara ini untuk membedakan kasus akut dan kronis. EIA generasi ketiga sudah dapat mendeteksi antibodi 4-10 minggu setelah terinfeksi. Rekombinan imunoblot assay (RIBA) yaitu RIBA-2 digunakan untuk konfirmasi infeksi HCV dengan hasil EIA positif pada populasi resiko rendah. HCV RNA dengan PCR digunakan untuk mendeteksi infeksi dalam 1-3 minggu terpapar. Sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%. Viral load test diperiksa secara kualitatif digunakan untuk memperkirakan hasil anti HCV yang sepertinya menggambarkan progresifitas penyakit. Genotip virus penting dalam terapi penderita, akan membantu dalam melihat hasil dan lama terapi. Secara klinis perbedaan yang relevan adalah antara genotip 1 dan genotip 2 dan 3. Genotip 1 biasanya diterapi 12 bulan sedang yang lain 6 bulan. Pemeriksaan yang harus dilakukan sebelum pengobatan: Anti HCV anti bodi EIA Genotip HCV RNA kuantitatif; reverse transcriptase PCR lebih sensitif dari DNA Pemeriksaan ALT dan AST, bilirubin dan level albumin Skrining koinfeksi 2. USG hati dan sistem biliar untuk menyingkirkan kemungkinan diagnostik lain. 3. Biopsi hati Biopsi hati sebenarnya tidak diharuskan pada awal pengobatan, dilakukan untuk menilai aktivitas penyakit hati yang dihubungkan dengan HCV. Evaluasi

histologis dari biopsi hati dapat meramalkan prognosa dan progresifitas penyakit. Temuan biopsi juga dapat menyingkirkan penyebab lain sehingga dianjurkan pada pemeriksaan awal infeksi HCV. Tapi ada juga bila hanya tidak dijumpai adanya remisi menetap. PENATALAKSANAAN Indikator respon pengobatan yang diharapkan adalah klirens virus, ditunjukkan dengan tidak terdapatnya HCV RNA di serum dengan menggunakan test yang paling sensitif. Respon virus pada akhir pengobatan (End of Treatment Viral Response = ETVR) dinyatakan dengan tidak dijumpainya HCV RNA pada akhir pengobatan. Respon virus menetap (Sustained Viral Response = SVR) dinyatakan dengan HCV RNA pada 6 bulan setelah menyelesaikan pengobatan.

MANFAAT PENGOBATAN ANTIVIRAL PADA HEPATITIS KRONIS C 1. Regresi fibrosis 2. Mengurangi angka terjadinya HCC 3. Mengurangi laju terjadinya komplikasi lain seperti gagal hati dan angka kematian oleh karena penyebab hati. 4. Meningkatkan kualitas hidup

Pasien dengan ALT serum normal tidak diterapi. Pasien dengan tidak ada atau fibrosis yang minimal tidak penting sekali diterapi dengan antiviral. Bila telah ditetapkan untuk tidak diterapi maka pasien ini harus diikuti untuk melihat progresi penyakitnya, mencakup biopsi liver ulangan untuk melihat tingkatan fibrosis, setiap 3-7 tahun. Pasien dengan fibrosis nyata yang berisiko menjadi sirosis dengan sirosis kompensata harus dipertimbangkan pemberian terapi antiviral. Pasien dengan sirosis dan gagal hati secara umum tidak boleh diterapi dengan antivirus HCV. Sebaliknya harus dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi hati. Yang mempengaruhi hasil pengobatan: usia, jenis kelamin, variabilitas virus, titer HCV RNA, keparahan fibrosis.

TERAPI PASIEN YANG BELUM PERNAH DITERAPI SEBELUMNYA Rekomendasi dari Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan Hepatitis C kronik adalah terapi kombinasi dengan interferon/ribavirin. Lama terapi 6 bulan untuk genotip 2 dan 3 atau genotip 1 dengan beban virus rendah (2.000.000 virus ekivalen/ml). Pemakaian IFN dosis tinggi setiap hari selama 4-6 minggu pertama pengobatan (terapi induksi) memperbaiki efikasi antiviral tetapi belum dapat dibuktikan meningkatkan SVR. Jika terapi kombinasi tidak tersedia atau kontraindikasi maka monoterapi IFN dan regimen khusus atau produk lain yang menambah efikasi masih mempunyai peranan.

PASIEN YANG TIDAK MEMBERI RESPON VIRUS MENETAP Yang termasuk golongan ini adalah pasien yang respon tetapi kemudian relaps ataupun yang tidak respon sama sekali, walaupun pada beberapa pasien ini ada terlihat manfaat perlambatan progresi ke arah fibrosis dan perbaikan klinis. Rekomendasi Konsensus Asia Pasifik: Terapi ulangan harus dipertimbangkan pada pasien yang relaps setelah ETR terhadap pengobatan sebelumnya dengan regimen yang kini dipertimbangkan suboptimal, misal IFN 3 juta U, tiga kali seminggu selama 6 bulan. Rekomendasi yang dianjurkan antara lain: a. IFN 3 juta U, 3x/minggu, selama 6 bulan ditambah ribavirin 1000-1200 mg/hari, sesuai dengan berat badan. b. Monoterapi IFN optimal seperti dosis yang lebih tinggi dan/atau waktu yang lebih lama, atau penggunaan produk iFN yang lebih kuat.

PENANGANAN PENDERITA INFEKSI VHC KRONIK

HCV RNA (+) ALT Normal ALT Biopsi Hati ALT

HCV RNA (-)

ALT Normal

Penyakit Hati Sedang Interferon

Penyakit Hati Ringan

Singkirkan penyebab lain Hepatitis Kronik: Wilson Disease, Lupoid Hepatitis, dsb. Obati yang mendekati

Observasi Respo n Remisi Menetap Tidak Respon Remisi Sementara Pengobatan Ulang: mungkin dengan dosis yang lebih besar dan periode yang lebih lama atau terapi kombinasi Remisi Tidak Respon

OBSERVASI

Efek Samping Ribavirin dan Interferon Efek samping segera berupa flu like symptom, mual, iritabilitas, insomnia, diare, gangguan pendengaran, visual, dan anoreksia. Efek samping jangka panjang berupa penurunan berat badan, sering buang air besar, banyak tidur, efek psikologis (anxietas, depresi, dan iritabilitas), rambut rontok, insomnia, trombositopenia dan lekopenia. Ribavirin (7-10%) dapat menimbulkan anemia hemolitik.

PROGNOSA Infeksi HCV bersifat self limiting hanya pada sejumlah kecil kelompok, selainnya berkembang menjadi kronis. 20% berkembang menjadi sirosis setelah 20 tahun, dan 1-4% dari antaranya menjadi HCC setiap tahunnya setelah 30 tahun. HCC lebih sering pada penderita yang alkoholis, sirosis dan koinfeksi dengan HBV. Dengan terapi baru yang direkomendasi, mencakup PEG IFN dan ribavirin, sustained respond sebesar 60%.

PENCEGAHAN Tidak ada produk yang disediakan untuk mencegah hepatitis virus C Pengembangan imunoprofilaksis untuk penyakit ini masih sulit Pasien dengan HCV harus dinasehatkan untuk berhenti menggunakan alkohol Selama hubungan seksual agar menggunakan pengaman Skrining pasien dengan resiko tinggi dan memulai pengobatan yang tepat dapat membatasi insiden terjadinya sirosis dan HCC

SINDROMA HEPATORENAL DEFINISI Sindroma hepatorenal adalah gangguan fungsi ginjal sekunder pada penyakit hati tingkat berat baik akut maupun kronis tanpa disertai kelainan patologi ginjal yang penyebabnya diketahui. Menurut international ascites club 1994 adalah suatu kondisi klinik yang terjadi pada pasien penyakit hati menahun, gagal hati lanjut dan hipertensi portal, ditandai dengan fungsi ginjal terganggu, kelainan nyata pada sirkulasi arterial dan aktifitas system vasoaktif endogen. Sindroma hepatorenal bersifat fungsional dan progresif.Sindroma hepatorenal merupakan suatu gangguan fungsi ginjal prerenal yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal pre renal, namun demikian hanya perbaikan volume plasma saja ternyata tidak dapat memperbaiki gangguan fungsi ginjal. Epidemiologi Pada stadium awal gangguan fungsi ginjal ini bersifat reversible.Stadium ekstrim dari fungsi ginjal adalah sindroma hepato renal yang umumnya bersifat irreversible. Sekitar 20 % pasien sirosis hepatis dengan asiter disertai fungsi ginjal yang normal, akan mengalami sindroma hepato renal setelah 1 tahun, dan 30 % setelah 5 tahun perjalanan penyakit. Patogenesis Patogenesa sindroma hepato renal mula-mula diduga penurunan volume plasma sebagai factor yang memegang peranan penting dugaan ini didasarkan atas kenyataan sebagai berikut : Sindroma hepatorenal hampir selalu ditemukan pada penderita sirosis dengan asites ,asites ini menyebabkan volume plasma jadi menurun. Sindroma hepatorenal sering terjadi setelah perdarahan saluran makan, parasintesis, diuresis berlebihan atau keadaan lain yang disertai penurunan volume plasma. Penurunan volume plasma ini akan menyebabkan teragsangnya baroreseptor yang menyebabkan meningkatnya kadar katekolamin dalam darah

dan

meningkatnya

tonus

simpatis.

Peningkatan

katekolamin

ini

akan

mengakibatkan dampak buruk pada filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal yang keduanya menurun. Etapi dengan pemberian obat penghambat adrenergic ternyata tidak bisa memperbaiki filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal sehingga diduga iskemik korteks ginjal pada sindroma hepatorenal bukanlah semata-mata disebabkan peningkatan tonus simpatis saja. Diduga beberapa system lain ikut berperan antara lain : 1. Prostaglandin Dugaan ini berawal dari penggunaan NSID pada sirosis hepatic yang mengakibatkan sindroma hepato renal.NSID menghambat siklooksigenase yaitu enzim yang dipakai untuk merobah asam arakhidonat menjadi prostaglandin.Sehingga data disimpulkan pada penyakit hati kronik terdapat peningkatan produksi prostaglandin yang merupakan vasodilator renal dengan tujuan melawan vasokonstriksi renal dan melawan peningkatan katekolamindalam darah. Penurunan prostaglandin ini baik secara spontan maupun sebab lain (misalnya karena obat NSID) akan menyebabkan tidak tersedianya zat pelawan vasokonstriksi renal sehingga timbullah SHR. 2. Renin angiotensin aldosterone axis Rangsangan awal system RAAA yang menyebabkan kenaikan renin mungkin karena suatu hipotensi arterial, penurunan volume plasma, atau karena hipertensi portal. Beberapa peneliti menduga iskemia renal merupakan penyebab aktifasi system renin ini. Hal ini terbukti dengan pemberian dopamine akan mengakibatkan vasodilatasi ginjal yang akan menekan system RAAA. Tujuan dari RAAA dan peningkatan kadar katekolamin adalah untuk mempertahankan tekanan darah, namun dengan dampa negative terjadinya vasokonstriksi yang lebih berat di pembuluh renal dan menurunnya klirens kreatinin.

3. System kalikrien kinin Pada penderita sirosis kadar prekalikrein dan bradikinin ini rendah, sehingga diduga penekanan system kalikrien kini ini ikut berperan dalam menimbulkan vasokonstriksi renal pada sindroma hepato renal. Pada pemberian kini terbukti menambah aliran darah ginajal dan ekskresi natrium. 4. Peptide intestinal vasoaktif Pada sirosis hati, dapat terjadi vasodilatasi periver yang cukup hebat dengan akibat perfusi ginjal berkurang sehingga dapat mengakibatkan timbulnya sindroma hepato renal.Hal ini disebabkan didalam tubuh terdapat bahan vaso aktif yang mempunyai aktifitas biologis yang mengganggu sirkulasi. Pada keadaan sirosis dimana hati tidak mampu inaktifasi secara sempurna , maka PIV ini akan masuk ke peredaran darah sistemik pada kadar yang cukup tinggi. 5. Kolemia Pada penderita sirosis yang mengalami sindroma hepatorenal, biasanya ada dalam keadaan ikterik yang moderat.Pada beberapa kasus keadaan ikterik ini bahkan terlihat sedang membaik. Beberapa peneliti terdahulu menyebutkan bahwa, kadar empedu yang tinggi adalah penyebab nefrotoksik , namun hal itu tidak sepenuhnya benar, kadar empedu yang tinggi dapat memperburuk keadaan ginjal dengan cara Membuat ginjal lebih peka terhadap iskemik Menimbulkan kardiodepresor. Kesemuanya memperberat factor pre renal dari SHR efek vasodepressor sistemik dan

6. Endotoksinemia Endotoksinemia biasanya diproduksi oleh bakteri di usus dan dibersihkan di hati.Pada penderita sirosis hati endotoksinemia ini meningkatkan vasodilatasi perifer dan vasokonstriksi renal sehingga timbul sindroma hepato renal. Efek endotoksin yang lain adalah mempermudah terjadinya agregasi trombosit dan deposit fibrin akan menambah berat gejala ginjal. 7. Neurotransmitterpalsu Adanya neurotransmitter palsu terutama oktapamin pada susunan saraf pusat dan perifer digunakan untuk menerangkan gangguan otonom pada koma hepatikum dan vasodilatasi perifer pada penderita sirosis hati. Menurut teori ini bahan untuk neuro transmitter ini dibuat di usus sebagai hasil degradasi protein oleh bakteri .bahan ini di detoksifikasi dihati dengan jalan dimetabolismeoleh enzim. Peranan neurotransmitter palsu ini masih dipertanyakan karena neuro transmitter ini akan menganggu transmisi disinap sehingga seharusnya terjadi pengurangan vasokonstriksi di ginjal dan dengan sendirinya memperingan sindroma hepato renal. Selain mekanisme vasokonstrisi, ada mekanisme lain yang berperan untuk terjadinya sindroma hepatorenal : 1. shunting intra renal Teori shunting intrarenal dimana terjadi pengalihan aliran darah diginjal dari korteks medulla, 2. kegagalan faal hati Hati berperan dalam menimbulkan sindroma hepatorenal , karena hati tidak mampu meninaktifasi zat vasoaktif.dari penelitian ada dugaan bahwa jaringan hati yang rusak itu yang mengeluarkan zat vasoaktif. 3. hiponatremia

pada penderita sirosis hati sering timbul hiponatremia. Keadaan ini dapat disebabkan oleh aktifitas antidiuretic yang meningkat atau karena kehilangan natrium akibat pemakaian diuretic atau karena diare dan lain-lain. Hiponatremi akan mengakibatkan penggeseran air dari kompartemen ekstraseluler ke dalam intraseluler dengan akibat timbulnya oligouri, azotemia, dan ekskresi natrium di urin yang berkurang. Pathogenesis sindroma hepato renal sekarang belum secara lengkap diketahui. Hipotesis pathogenesis sindroma hepato renal adalah sebagai berikut : akibat sirosis hati atau penyakit hati tingkat berat dan bersama-sama dengan hipertensi portal akan mengakibatkan vasodilatasi arteri splanknik. Vasodilatasi ini akan mengakibatkan hipovolemi arterial sentral, sehingga merangsang system saraf simpatis , renin-angiotensinogen-aldosteron, dan hormone antiduretik yang secara keseluruhan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah ginjal. Diginjal seharusnya terjadi mekanisme kompensasi, namun dengan alas an yang belum jelas justru terjadi ketidakseimbangan mekanisme kompensasi ini, yaitu meningkatany vasokonstriktor disertai penurunan vasodilator. Penelitian lain juga menunjukan terjadi vasokontriksi ginjal karna penurunan sintesis nitrit oksida pada pasien sirosis hepatis, yang merupakan vasodilator kuat. DIAGNOSIS Menurut international ascites club, kriteria untuk menegakkan diagnosis SHR terdiri dari 5 kriteria mayor dan 5 kriteria tambahan atau diagnose dapat dibuat jika ditemukan seluruh kriteria mayor. Kriteria mayor penyakit hati akut dan kronis dengan kegagalan tingkat lanjut dan hipertensi portal

laju filtrasi glomerulus yang rendah (kreatinin serum > 1,5 mg/dl . atau bersihan kreatinin < 40 ml/menit. Tidak ada syok, sepsis , kehilangan cairan, maupun pemakaian obat-obatan nefrotoksisk (misalnya OAINS atau aminoglikosid) Tidak ada perbaikan fungsi ginjal (penurunan kreatinin serum < 1,5 mg/ dl atau peningkatan bersihan kreatinin > 40 ml/menit) sesudah pemberian cairan isotonic salin 1,5 liter.

Proteinuria < 500 mg/hari, tanpa obstruksi saluran kemih atau penyakit ginjal pada pemeriksaan USG.

Kriteria Tambahan Volume urin < 500 ml/hari Natrium irin < 10 mEq/ liter Osmolaritas urin > osmolaritas plasma Eritrosit urin < 50 / lapangan pandang Natrium serum < 130 mEq/ liter Diagnosis sindroma hepato renal dapat dibuat dengan menyingkirkan Pseudohepatorenal Syndrome. Pseudohepatorenal syndrome adalah suatu keadaan terdapatnya kelainan fungsi ginjal bersamaan dengan gangguan fungsi hati yang tidak mempunyai hubungan satu sama lain. Yang termasuk pseudohepatorenal syndrome adalah 1. penyakit kongenital (penyakit polikista ginjal dan hati) 2. penyakit metabolic (diabetes militus, amyloidosis 3. penyakit sistemik ( SLE, artritis rematoid, sarkoidosis) 4. penyakit infeksi (leptospirosis, sepsis, malaria, hepatitis virus) 5. gangguan sirkulasi ( syok) 6. intoksikasi ( gigitan ular, luka bakar)

7. medikamentosa ( metoksifluran , halotan, sulfonamide, parasetamol, tetrasiklin, iponiazid) 8. eksperimenta (defisiensi kolin) Selain itu glomerulonephritis imun complek dapat terjadi pada hepatitis B, penderita penyakti hati akut yang disertai DIC dapat menyebabkan penurunan faal ginjal juga bukan termasuk kriteria SHR. Gambaran klinis Pasien sirosis hati dengan asites 80 % ensefalopati hepatic 74 % icterus 40 %

Pasien sebelumnya tidak menderita penyakit ginjal mempunyai factor resiko : malnutrisi volume hati yang mengecil infeksi perdarahan saluran cerna adanya varises esophagus terapi diuretic gangguan elekr=trolit obat-obatan nefrotoksik peningkatan tekanan intraabdominal oleh karena asites yang massif pungsi asites yang kurang tepat

Sindroma hepatorenal diklasifikasikan menjadi : 1. sindroma hepatorenal tipe 1

manifestasi sangat progresif, dimana terjadi peningkatan serum kreatinin 2 kali lipat (untuk nilai awal serum > 2,5 mg/dl) atau penurunan bersihan kreatinin 50% dari nilai awal sehingga mencapai 20 ml/menit dalam waktu kurang dari 2 minggu. 2. sindroma hepatorenal tipe 2 bentuk kronis, penurunan LFG lebih lambat . kondisi klinis lebih baik dari SHR tipe 1. SHR tipe 2 bisa berkembang menjadi SHR tipe 1. Pengobatan Penatatalaksanaan Umum Karena penyebabnya adalah ketidak seimbangan cairan dan elektrolit penderita SH, maka hindari pemakaian diuretic agresif, parasintesis asites, retriksi cairan berlebihan. Diet suportif berupa diet tinggi kalori rendah protein Koreksi keseimbangan asam basa Hindari pemakaian OAIS Peritonitis bakterialis spontan pada SH harus segera diobati sedini mungkin dan sekuat mungkin Hemodialisis belum terlalu efektif.

Pengobatan medikamentosa Vasokonstriktor gunanya mengatasi vasodilatasi spanknikus . pemberian vasokonstriktor akan member dampak positif terutama jika dikombinasi dengan pemberian infuse albumin/ koreksi albumin serum. Selain itu juga bisa digunakan talpresin Terapi invasive : Transplantasi hati. Angka harapan hidup SHR tipe 1 umumnya pendek yaitu dari beberapa hari atau kurang dari 2 minggu, sehingga transplantasi hati pada SHR tipe 1 sulit dilaksanakan. Pada SHR tipe 2, transplantasi hati terbukti 90 % angka ketahanan hidup lebih kurang sama dengan transplantasi

hati pada pasien tanpa SHR. TIPS / transjugular intrahepatic Portosystemik Shunt memperbaiki perfusi ginjal dan menurunkan aktifitas aksis RAAS. Pada pasien SHR yang tanpa transplantasi hati, TIPS bermanfaat pada 75 % kasus, dengan angka ketahanana hidup SHR tipe 2 lebih baik dari tipe 1 (70% vs 20 %). ekstracorporeL albumin dialysis adalah modifikasi dialaisis dengan menggunakan albumin untuk mengikat dialisat. Dikenal dengan nama MARS (Molekular Absorbant Resirculating System)