diagnosis dan terapi hepatitis b kronis
DESCRIPTION
HEP BTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B
(HBV). Virus ini merupakan virus DNA dan termasuk famili Hepadnavirus.
Partikel virus yang disebut virion, terdiri dari selubung lipid di luar dan
sebuah inti nukleokapsid ikosahedral dari protein. Virus ini terbagi menjadi
empat gen masing - masing mengkode protein struktural yang spesifik, yaitu
gen S untuk selubung virus (surface antigen), gen C untuk antigen
nukleokapsid (core) dan antigen precore (e), gen X untuk protein pengatur
yang dibutuhkan untuk replikasi virus, dan gen P untuk DNA polimerase
serta menjadi delapan genotip (A – H) berdasarkan jenis nukleotid akibat
variasi genom. Setiap genotip mempunyai distribusi geografis yang berbeda
dan digunakan dalam melacak evolusi dan transmisinya. Genotip yang
berbeda mempengaruhi keparahan penyakit, perjalanan penyakit, komplikasi,
respon terapi, serta vaksinasi. Kerusakan sel hati pada infeksi oleh virus
hepatitis B (HBV) bukan disebabkan oleh virus itu sendiri, melainkan oleh
imunitas dari inang (manusia) untuk melawan virus hepatitis B. Berikut
struktur virus hepatitis B (HBV).1,2
Gambar 1. Struktur Virus Hepatitis B.1
Infeksi virus hepatitis B merupakan masalah kesehatan global, dimana
terdapat kurang lebih 400 juta orang di dunia yang terinfeksi secara kronis.
Setiap tahun, lebih dari 500 ribu kematian di seluruh dunia disebabkan oleh
virus ini. Dalam sepuluh tahun terakhir telah terjadi perubahan besar dalam
1
pengertian, diagnosis, serta klasifikasi hepatitis B kronis. Perubahan ini sangat
besar pengaruhnya terhadap penatalaksanaan pasien. Salah satu yang
mendasar adalah perubahan definisi hepatitis B kronis. Pada saat ini definisi
hepatitis B kronis adalah adanya persistensi virus hepatitis B ( HBV) lebih
dari 6 bulan, sehingga pemakaian istilah carrier sehat tidak dianjurkan lagi.3,4
Hepatitis B merupakan masalah kesehatan besar terutama di Asia, dimana
terdapat sedikitnya 75 % dari seluruhnya 300 juta individu HBsAg positif
menetap di seluruh dunia. Di Asia, sebagian besar pasien hepatitis B kronis
mendapat infeksi pada masa perinatal. Kebanyakan pasien ini tidak
mengalami keluhan atau gejala sampai akhirnya terjadi penyakit hati kronis.
Spektrum hepatitis B kronis bervariasi dari carrier asimptomatik, sirosis hati,
sampai karsinoma hati. Perjalanan penyakit hepatitis B sangat kompleks dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor virus itu sendiri, dan faktor
inang (manusia). Faktor virus antara lain tingkat replikasi virus, genotip virus
hepatitis B, serta mutasi genom virus. Sedangkan faktor inang antara lain
umur saat mendapatkan infeksi, status imunitas, infeksi yang terjadi
bersamaan dengan virus hepatotropik lainnya, serta kebiasaan minum
alkohol.3,4
Transmisi virus hepatitis B adalah melalui paparan terhadap darah atau cairan
tubuh yang mengandung virus hepatitis B, seperti melalui kontak seksual yang
tidak aman, transfusi darah, penggunaan jarum suntik bersama, dan transmisi
vertikal dari ibu ke anak selama masa persalinan. Tanpa pencegahan yang
baik, seorang ibu yang memiliki HBsAg positif memiliki risiko sebesar 20 %
untuk menularkan virus hepatitis B kepada anaknya selama persalinan.
Apabila ibu HBeAg positif, risiko penularan akan semakin meningkat
menjadi 90 %.1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Patogenesis Persistensi Virus Hepatitis B
2
Virus hepatitis yang masuk ke dalam tubuh akan merangsang respon imun
tubuh, yang pertama kali dirangsang adalah respon imun nonspesifik (innate
immune response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam
beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eleminasi nonspesifik ini terjadi
tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan sel – sel NK dan NK-T.
Untuk proses eradikasi lebih lanjut diperlukan respon imun yang lebih
spesifik, yaitu dengan mengaktivasi sel limfosit T dan limfosit B. Aktivasi sel
T CD8 terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompeks peptida
VHB – MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada
permukaan APC (Antigen Presenting Cell) dan dibantu rangsangan sel T
CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida
VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida VHB yang ditampilkan pada
permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respon imun adalah
peptida kapsid yaitu HBcAg atau HBeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan
mengeliminasi virus yang ada dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi
ini bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang menyebabkan
meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Di samping itu dapat juga terjadi
eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui
aktivitas Interferon gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF) alfa yang
dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik). Aktivasi sel limfosit B
dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara lain
anti-HBs, anti-HBc, dan anti-HBe. Fungsi anti-HBs adalah menetralkan
partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel. Dengan
demikian, anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Bila
proses eliminasi virus berlangsung efisien, maka infeksi VHB dapat diakhiri,
sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB yang
menetap. 4
Proses eliminasi VHB oleh respon imun yang tidak efisien dapat disebabkan
oleh faktor virus atau faktor inang (manusia). Faktor virus antara lain :
terjadinya imunotoleransi terhadap produk VHB, hambatan terhadap CTL
yang berfungsi melakukan lisis sel-sel teinfeksi, terjadinya mutan VHB yang
tidak memproduksi HBeAg, integrasi genom VHB dalam genom sel hati.
3
Faktor inang (manusia) antara lain : faktor genetik, kurangnya produksi IFN,
adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit,
respon antiidiotipe, faktor kelamin, dan hormonal. Salah satu contoh peran
imunotoleransi terhadap produk VHB dalam persistensi VHB adalah
mekanisme persistensi infeksi VHB pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu
HBsAg danHBeAg positif. Persistensi tersebut diakibatkan adanya
imunotoleransi tehadap HBeAg yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului
invasi VHB, sedangkan persistensi pada usia dewasa disebabkan oleh
kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus. Persistensi infeksi
VHB dapat disebabkan oleh mutasi pada daerah precore dari DNA yang
menyebabkan tidak dapat diproduksinya HBeAg. Tidak adanya HBeAg pada
mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB.4
2.2 Perjalanan Penyakit Infeksi Hepatitis B Kronis
Terdapat empat fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronis,
yaitu fase imunotoleran, fase imunoaktif atau immune clearance, fase
nonreplikatif atau inactive carrier, dan fase reaktivasi. Pada fase
imunotoleran, yang merupakan fase paling awal infeksi hepatitis B kronis,
sering terdapat pada pasien yang mendapat paparan virus secara vertikal atau
selama masa perinatal. Fase ini ditandai dengan replikasi virus yang sangat
tinggi, (level HBV DNA sangat tinggi, dan HBeAg+), dan ALT yang normal
atau sedikit meningkat. Meskipun pasien memiliki level HBV DNA yang
tinggi, pasien tidak menunjukkan penyakit hati yang signifikan, atau bisa
dikatakan fase ini merupakan fase yang jinak dengan insiden sirosis dan
karsinoma hati yang rendah. Pada fase imunotoleran sangat jarang terjadi
serokonversi HBeAg secara spontan, hanya 15 % dari mereka dengan fase
imunotoleran akan melalui serokonversi antigen HBVe (hilangnya antigen dan
munculnya antibodi anti-e) secara spontan dalam 20 tahun setelah infeksi.
Pada sekitar 30 % individu dengan persistensi VHB akibat replikasi VHB
berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang nampak dari kenaikan
konsentrasi ALT. Pada keadaan ini, pasien mulai kehilangan toleransi imun
terhadap VHB. Fase ini disebut fase imunoaktif (immune clearance), muncul
sekitar 20 sampai 30 tahun setelah onset fase imunotoleran pada pasien yang
4
mendapat infeksi pada masa perinatal, juga sering dijumpai pada pasien yang
mendapat infeksi pada masa anak-anak dan dewasa. Fase ini ditandai dengan
mulainya proses imunitas untuk menghancurkan virus dan menimbulkan
pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi. 2,4
Gambar 2. Perjalanan Infeksi Hepatitis B.5
Pada fase imunoaktif, serokonversi HBeAg baik secara spontan atau karena
terapi akan lebih sering terjadi. Sisanya sekitar 70 % dari individu tersebut
akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa kerusakan
sel hati yang berarti. Prediktor yang kuat terhadap serokonversi ini adalah
umur yang tua, peningkatan ALT, dan eksaserbasi akut. Meskipun ALT
meningkat dan pada biopsi hati ditemukan bukti hepatitis kronik yang aktif,
fase ini biasanya asimptomatis. Titer HBsAg pada fase ini dalam keadaan
rendah, dengan HBeAg menjadi negatif, anti-HBe menjadi positif secara
spontan, serta konsentrasi ALT yang normal yang menandai terjadinya fase
nonreplikatif atau inactive carrier. Fase yang ketiga ini ditandai dengan
5
konsentrasi ALT yang normal, HBV DNA yang rendah (< 1,000 kopi/Ml)
atau tidak terdeteksi, titer HBsAg rendah, HBeAg negatif dan antibodi anti-
HBe yang positif. Pada sebagian pasien dalam fase nonreplikatif, pada waktu
terjadi serokonversi HBeAg positif menjadi anti-HBe justru sudah menjadi
sirosis. Hal ini karena terjadinya fibrosis setelah nekrosis yang terjadi
berulang-ulang sebelum terjadi serokonversi tersebut. Replikasi VHB pada
fase ini sudah mencapai titik yang minimal, tetapi fase yang tenang ini justru
berisiko untuk terjadinya karsinoma hati, diduga karena integrasi genom VHB
ke dalam genom sel hati. Fase yang keempat yaitu fase reaktivasi, dimana
virus mengalami mutasi core atau precore secara spontan yang menyebabkan
sel yang terinfeksi tidak mampu mensekresikan antigen e. Meskipun pasien ini
tidak memperlihatkan antigen e dalam darahnya, mereka menunjukkan
peningkatan ALT yang persisten, peningkatan HBV DNA, dan gambaran
histopatologis hepatitis kronis. Jika dibandingkan dengan pasien pada fase
imunotoleran, pasien pada fase ini dijumpai pada umur yang lebih tua, level
HBV DNA yang lebih rendah, tetapi kerusakan hati yang terjadi lebih parah
dibandingkan dengan fase imunotoleran.2,4,6
2.3 Gambaran Klinis Hepatitis B Kronis
Gambaran klinis hepatits B kronis sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak
didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati hasilnya
normal, dan sebagian lagi didapatkan hepatomegali, splenomegali, tanda-tanda
penyakit hati kronis seperti spider nevi dan eritema palmaris, serta didapatkan
kenaikan konsentrasi ALT. Umumnya konsentrasi bilirubin normal, dan
albumin yang normal kecuali pada kasus yang sudah parah. Secara sederhana
manifestasi klinisnya dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Hepatitis B kronis yang masih aktif
HBsAg positif dengan HBV DNA lebih dari 105 kopi/ml, dengan
kenaikan ALT yang menetap atau intermiten. Pada pasien sering
didapatkan tanda-tanda penyakit hati kronis. Pada biopsi hati
didapatkan gambaran peradangan yang masih aktif. Menurut status
HBeAg, pasien dikelompokkan menjadi hepatitis B kronis HBeAg
positif, dan hepatitis B kronis HBeAg negatif.
6
2. Carrier HBV Inaktif
Pada kelompok ini, HBsAg positif dengan titer HBV DNA yang
rendah, yaitu kurang dari 105 kopi/ml. Tidak terdapat keluhan dan
konsentrasi ALT normal. Pemeriksaan histologi menunjukkan kelainan
yang minimal. Kelompok pasien ini sulit dibedakan dengan kelompok
pasien hepatitis B kronis HBeAg negatif, karena pemeriksaan DNA
kuantitatif masih jarang dilakukan secara rutin, sehingga diperlukan
pemeriksan ALT berulang untuk waktu yang cukup lama.4
2.4 Diagnosis Infeksi Hepatitis B Kronis
Diagnosis infeksi hepatitis B kronis dapat ditegakkan melalui gambaran
biokimia, virologi, dan gambaran histopatologi serta eksklusi terhadap
penyebab lain seperti hepatitis C. Tes fungsi hati yang rutin dan asai serologi
untuk mendeteksi antigen HBV (HBsAg dan HBeAg) dan antibodi (anti-HBs,
anti-HBc, dan anti-HBe) harus dilakukan untuk mengetahui fase hepatitis B
kronis.5
Tabel 1. Pola Serologi Infeksi Hepatitis B.2
Pada hepatits B kronis yang masih aktif, kerusakan sel hati lebih berat. AST
dan ALT meningkat sampai 5 kali atau 10 kali di atas angka normal. Gamma
GT biasanya lebih rendah dari AST. Apabila kerusakan sel hati lebih berat,
dapat pula ditemukan peninggian GLDH. Pada kelainan hepatitis B persisten,
biasanya hanya didapatkan peninggian AST dan ALT yang tidak terlalu hebat.
Biasanya hanya meningkat 2-3 kali diatas normal, sedangkan gamma GT lebih
7
rendah dari AST. Fosfatase alkali, GLDH, CHE, dan enzim koagulasi masih
dalam batas normal. Prognosis penyakit ini biasanya baik. Pada sirosis hati,
akan ditemukan peninggian AST dan ALT yang sangat bervariasi. Umumnya
akan didapatkan gamma GT yang lebih tinggi dari AST. Perbandingan AST
dengan ALT atau rasio de Ritis biasanya di atas 1. Kolinestrase akan menurun
apabila kerusakan hati semakin berat. Enzim untuk pembekuan juga akan
menurun. Pemeriksaan biopsi untuk pasien hepatitis B kronis sangat penting
terutama untuk pasien dengan HBeAg positif dengan konsentrasi ALT 2x nilai
normal tertinggi atau lebih (nilai normal ALT = 0-45 iu/l, AST= 0-35 iu/l ).4
Biopsi hati diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti dan untuk
meramalkan prognosis serta kemungkinan keberhasilan terapi (respon
histologik). Sejak lama diketahui bahwa pasien hepatitis B kronis dengan
peradangan hati yang aktif mempunyai risiko tinggi untuk mengalami
progresi, tetapi gambaran histologik yang aktif juga dapat meramalkan respon
yang baik terhadap terapi antivirus. Penemuan biopsi pasien hepatitis B kronis
bervariasi dari inflammasi minimal sampai sirosis. Karakteristik utama
gambaran histologi pasien hepatitits B kronis adalah Ground Glass Hepatocyte
akibat akumulasi antigen HBV permukaaan secara intraselular. Salah satu
klasifikasi histologik untuk menilai aktifitas peradangan adalah dengan
mengunakan sistem skor seperti terlihat pada tabel 2 dan 3 dibawah ini.2,4,8
Tabel 2. Aktivitas Peradangan Portal dan Lobular.4
Grade Patologi
0 Tidak ada peradangan portal/peradangan portal minimal
1 Peradangan portal tanpa nekrosis atau peradangan lubular
tanpa nekrosis
2 Limiting Plate Necrosis ringan (Interface Hepatitis
Ringan) dengan atau nekrosis lobular yang bersifat lokal
3 Limiting Plate Necrosis sedang atau Interface Hepatitis
sedang dan atau nekrosis fokal berat (Confluent Necrosis)
4 Limiting Plate Necrosis berat (Interface Hepatitis berat)
dan atau Bridging necrosis
8
Tabel 3. Fibrosis.4
Stage Patologi
0 Tidak ada fibrosis
1 Fibrosis terbatas pada zona yang melebar
2 Pembentukan septa periportal atau septa portal-portal
dengan arsitektur yang masih utuh
3 Distorsi arsitektur (Fibrosis Septa Bridging) tanpa
sirosis yang jelas
4 Kemungkinan sirosis atau pasti sirosis
HBV DNA dapat dimonitor pada serum untuk mengetahui aktivitas penyakit
dan keperluan pemberian terapi antivirus, serta untuk menentukan respon
terapi. Terdapat empat tipe asai molekular yang digunakan untuk
mendiagnosis dan memanajemen infeksi hepatitis B kronis, yaitu tes beban
virus kuantitatif, asai genotif, tes mutasi resistensi obat, dan asai core
promoter/ mutasi precore. Tes beban virus (Viral load Test) yang menghitung
HBV DNA pada darah periferal (serum atau plasma), merupakan tes yang
paling banyak dan paling sering digunakan, sedangkan penggunaan ketiga tes
lainnya lebih khusus dan terbatas. Pemeriksaan HBV DNA pada plasma harus
dilakukan seiring dengan tes lainnya untuk menegakkan diagnosis. Nilai HBV
DNA >20,000 IU/ml (100,000 kopi/ml) menandakan replikasi virus yang aktif
selama hepatitis B kronis HBeAg positif. Sementara itu, nilai <20,000 IU/ml
terdapat pada carrier HBsAg inaktif dan hepatitis B kronis HBeAg negatif.
Pengukuran HBV DNA sangat penting untuk diagnosis dan manajemen
hepatitis B kronis HBeAg negatif, karena merupakan satu-satunya penanda
replikasi virus yang bisa dimonitor. Membedakan hepatitis B kronis HBeAg
negatif dengan carrier HBsAg inaktif dapat menjadi sulit karena level ALT
dan HBV DNA yang berfluktuasi. Tetapi, cut off 2,000 IU/ml dapat
membedakan keduanya, terutama pada pasien dengan ALT yang normal. 6
9
2.5 Terapi Hepatitis B Kronis
Tujuan terapi hepatitis B kronis adalah mencegah progesi menjadi sirosis dan
karsinoma hepatoselular dengan mencegah replikasi virus dan menekan
aktivitas nekroinflammasi. Pasien dengan status inactive carrier tidak
memerlukan terapi, karena progresi penyakit hatinya sangat lambat. Risiko
untuk berkembang menjadi karsinoma hepatoselular lebih kecil daripada
mereka dengan status HBeAg positif. Konsentrasi alanine aminotransferase
harus diperiksa setiap 6-12 bulan, dan harus diskrining karsinoma
hepatoselular dengan ultrasonografi atau a-fetoprotein setiap 2 tahun sekali.
Peningkatan alanine aminotransferase pada pasien ini mengindikasikan
hepatitis B kronis HBeAg negatif dan harus dimanajemen dengan tepat untuk
replikasi virus hepatitis (tes DNA virus hepatitis B), dan untuk penyebab
kerusakan hati lainnya (alkohol,obat,dll). Yang berkualifikasi menjalani terapi
adalah pasien dengan infeksi hepatitis B kronis dengan virus yang bereplikasi
secara aktif, dan terdapat nekroinflammasi. Pasien dengan infeksi virus
hepatitis B kronis (HBsAg positif > 6 bulan), alanine aminotransferase
meningkat 1,5- 2 kali batas normal secara persisten, DNA virus hepatitis B
>105 kopi/ml, dan indeks aktivitas histologi > 4 adalah kandidat untuk
diterapi.3,5
Alanine Aminotransferase merupakan penanda aktivitas nekroinflammasi dan
merupakan sarana sederhana dan tidak mahal untuk memonitor respon
terhadap terapi. Serokonversi ( hilangnya HBeAg dan munculnya anti HBe),
yang muncul secara alami atau karena dirangsang oleh terapi, sangat penting
dan digunakan secara luas sebagai end-point terapi, karena berhubungan
dengan penurunan rate progresi menjadi sirosis hati dan dekompensasi.
Meskipun virus hepatitis B tidak secara langsung sitopatik, menjaga
konsentrasi DNA virus hepatitis B dibawah konsentrasi spesifiknya juga
sangat penting sebagai end-point terapi. Konsentrasi DNA virus hepatitis B
dibawah 105 kopi/ml merupakan cut off yang paling sering digunakan sebagai
respon virologi, dan dapat diases selama terapi, akhir terapi atau setelah terapi
berakhir. Karena tujuan utama terapi hepatitis B kronis adalah mencegah
10
progresi fibrosis dan perkembangan sirosis hati, biopsi hati bisa menyediakan
sarana yang representatif untuk mengetahui respon terapi. Tetapi, metode ini
bersifat invasive dan risiko komplikasinya lebih besar. Pada pasien dengan
status dekompensasi, skor Child-Pugh bisa digunakan sebagai sarana untuk
mengetahui respon terapi. 3
Pada saat ini dikenal dua kelompok terapi untuk hepatitis B kronis, yaitu
kelompok immunomodulator dan kelompok antiviral. Tiga obat ini_interferon
alfa,lamivudin,dan adefovir_ telah banyak digunakan di beberapa negara untuk
menterapi hepatitis B kronis. Interferon memiliki kedua aktivitas, baik sebagai
immunomodulator dan sebagai antiviral. Sedangkan lamivudin dan adefovir
merupakan antiviral primer. Interferon adalah salah satu pilihan untuk
pengobatan pasien hepatitis B kronis dengan HBeAg positif, dengan aktivitas
penyakit ringan sampai sedang yang belum mengalami sirosis. Dosis yang
dianjurkan adalah 5-10 MU 3x seminggu selama 16-24 minggu. Penelitian
menunjukkan bahwa terapi interferon untuk hepatitis B kronis HBeAg negatif
sebaiknya diberikan selama 12 bulan,sedangkan pasien dengan HBeAg positif
diberikan selama 16 bulan. Dosis yang direkomendasikan untuk anak-anak
adalah 6 MU/m2 3x seminggu dengan dosis maksimum 10 MU.4.9
Tabel 4. Rekomendasi Terapi Hepatitis B Kronis.5
11
Kontraindikasi terapi interferon adalah sirosis dekompensata, depresi atau
riwayat depresi di masa lalu, dan penyakit jantung yang berat. Selain itu sering
juga dilaporkan gejala seperti flu, yang bisa diredakan dengan parasetamol,
lelah, leukopenia, rambut rontok, anoreksia, perubahan mood dan perasaan
sensitif. Terapi dengan interferon juga bisa mendasari penyakit autoimune
seperti tiroiditis.9 Penambahan polietilen glikol (PEG) menimbulkan senyawa
interferon dengan umur paruh yang lebih tinggi dari interferon jenis biasa,
yang disebut Pegylated Interferon.4,9
Jenis antiviral Lamivudin, analog nukleosida sintetis, berfungsi sebagai bahan
pembentuk pregenom sehingga analog nukleosida bersaing dengan nukleoside
asli. Lamivudin berkhasiat menghambat produksi VHB baru dan mencegah
terjadinya infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi, tetapi tidak
12
mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi karena pada sel-sel yang telah
terinfeksi DNA VHB, ada dalam keadaan convalent closed circular DNA.
Karena itu, setelah obat dihentikan, titer DNA VHB akan kembali lagi seperti
semula karena sel-sel yang terinfeksi akan memproduksi virus baru lagi.
Khasiat lamivudin akan meningkat jika diberikan dalam waktu panjang,
sehingga strategi pengobatan yang tepat adalah jangka panjang. Sayangnya,
strategi ini terhambat oleh munculnya virus yang kebal terhadap lamivudin,
yang biasa disebut mutan YMDD. Mutan ini akan meningkat 20 % tiap tahun
jika pengobatan lamivudin diteruskan. Antiviral adefovir, merupakan
nukleosida oral yang menghambat enzim reverse transkriptase.
Mekanismenya hampir sama dengan lamivudin. Walaupun adefovir dapat
dipakai untuk terapi tunggal primer namun karena alasan ekonomi dan efek
samping adefovir, maka pada saat ini terapi dengan adefovir baru dipakai
untuk kasus-kasus yang kebal terhadap lamivudin. Dosis yang dianjurkan
adalah 10 mg tiap hari. Salah satu hambatan utama dalam pemakaian adefovir
adalah toksisitas pada ginjal yang sering dijumpai pada dosis 30 mg atau
lebih.4
Pada kasus koinfeksi dengan virus HIV, pasien kategori ini memiliki HBV
DNA yang lebih tinggi, prognosis dan respon terapi yang buruk. Kebutuhan
akan antiretroviral (HAART) dan anti hepatitis B harus di ases secara
independent. Pemilihan obat untuk hepatitis B tergantung dari kebutuhan
terapi antiretroviral, tingkat supresi imun, dan riwayat pengobatan terdahulu.
Tenofovir disoproxil mempunyai aktivitas melawan hepatitis dan HIV( wild-
type seperti mutan YMDD). Respon terapi dengan interferon menurun pada
pasien dengan koinfeksi HIV, sehingga obat ini hanya digunakan untuk pasien
dengan CD4 > 500/ml. Lamivudin tidak digunakan karena menyebabkan
resistensi pada kedua virus, kecuali pada pasien yang memerlukan HAART,
lamivudin (150 mg 2x sehari) dengan adefovir atau tenofovir harus digunakan
dalam kombinasi dengan regimen antiretoviral.3
Pasien dengan koinfeksi hepatitis C juga memiliki prognosis yang lebih buruk
daripada pasien yang hanya terinfeksi hepatitis B saja. Jika HBV DNA
melebihi 103 kopi dan hepatitis C RNA tidak terdeteksi, terapi sama seperti
13
pasien yang terinfeksi hepatitis B saja. Tetapi jika HBV DNA rendah dan
hepatitis C RNA terdeteksi, terapi harus diawali dengan interferon dan
ribavirin, serta HBV DNA harus diukur setiap 3 bulan. Jika terdapat
peningkatan bisa ditambahkan lamivudin atau adefovir. 3
Pada pasien hepatitis B kronis yang menjalani kemoterapi dan
immunosuppressants , lamivudin harus diberikan sampai 6 bulan setelah terapi
selesai untuk mencegah reaktivasi virus hepatitis B. Pada anak-anak, karena
berda dalam fase imunotoleran manifestasi penyakit hati jarang terjadi. Jika
terdapat indikasi terpai, dapat diberikan lamivudin atau interferon. Adefovir
tidak digunakan pada anak-anak. Sementara itu, pemberian lamivudin pada
trimester ketiga pada wanita hamil dapat mencegah transmisi hepatitis B pada
fetus.3
2.6 Pencegahan Transmisi Virus Hepatitis B
Pencegahan transmisi HBV yang paling efektif adalah dengan imunisasi rutin
terhadap bayi yang baru lahir. Imunisasi juga harus dilakukan pada orang-
orang yang memiliki risiko tinggi terhadap paparan HBV, seperti pekerja
rumah sakit, orang dengan pasangan sex berganti-ganti, pengguna jarum
suntik bersama, pasien penyakit kronis yang mendapatkan injeksi perkutaneus
berkali-kali, dan kontak dengan orang yang terinfeksi HBV. Bayi yang terlahir
dari ibu yang carrier HBsAg harus dilindungi dari transmisi perinatal dengan
pemberian hepatitis B imunoglobulin, dan vaksin HBV. Vaksin hepatitis B
terdapat dalam dua tipe, berasal dari plasma dan rekombinan. Vaksin
diberikan dalam tiga dosis (saat 0,1,dan 6 bulan), sebanyak 10-30 ug (biasanya
20 ug untuk dewasa dan 10 ug untuk anak-anak). Vaksin hepatitis B bersifat
menginduksi antibodi yang akan menetralkan HBsAg (anti-HBs) pada
kebabyakan (95% ) penerima vaksin. Konsentrasi antibodi 10 mlU/ml
dinyatakan sudah terproteksi. Proteksi ini berlangsung selama kurang lebih 15
tahun, dan karena memori imunologis yang kuat, proteksi akan berlangsung
berkelanjutan sampai anti HBs menjadi tidak terdeteksi. Imunitas akan
berlangsung seterusnya dan boster tidak direkomandasikan secara rutin.3,5
14
Semua wanita hamil harus diskrining untuk HBsAg. Bayi yang terlahir dari
ibu dengan HBsAg positif risiko transmisi vertikal semakin tinggi jika disertai
dengan HBeAg positif. Bayi tersebut harus menerima baik vaksin dan HBIg
(0,5 ml) dalam 12 jam kelahiran. Mereka harus dites untuk HBsAg, anti-HBs,
dan anti-HBc pada umur 12 bulan. Adanya anti-HBs mengindikasikan
imunitas yang diinduksi vaksin, dan deteksi anti-HBs serta anti HBc
mengindikasikan infeksi yang dimodifikasi oleh imunopropilaksis, sementara
itu adanya HBsAg mengindikasikan kegagalan propilaksis. Pasien yang secara
tidak sengaja terinfeksi HBV, dan belum medapatkan vaksin, harus diberikan
HBIg (0,04-0,07 ml/kg) sesegera mungkin. Vaksinasi harus dilakukan secara
simultan, dengan dosis awal diberikan pada tempat yang berbeda dengan
HBIg, dan jadwal imunisasi yang diakselerasi dalam 4 dosis (bulan 0,1,2,dan
12) disarankan pada kondisi ini.3
BAB III
PENUTUP
Hepatitis B, penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (HBV), yang
merupakan virus DNA dan termasuk famili Hepadnavirus. Setiap tahun, lebih dari
500 ribu kematian di seluruh dunia disebabkan oleh virus ini. Spektrum hepatitis
B kronis bervariasi dari carrier asimptomatik, sirosis hati, sampai karsinoma hati.
15
Transmisi virus hepatitis B adalah melalui paparan terhadap darah atau cairan
tubuh yang mengandung virus hepatitis B, seperti melalui kontak seksual yang
tidak aman, transfusi darah, penggunaan jarum suntik bersama, dan transmisi
vertikal dari ibu ke anak selama masa persalinan. Terdapat empat fase penting
dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronis, yaitu fase imunotoleran, fase
imunoaktif atau immune clearance, fase nonreplikatif atau inactive carrier, dan
fase reaktivasi. Gambaran klinis hepatits B kronis sangat bervariasi. Pada banyak
kasus tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati
hasilnya normal, dan sebagian lagi didapatkan hepatomegali, splenomegali, tanda-
tanda penyakit hati kronis seperti spider nevi dan eritema palmaris, serta
didapatkan kenaikan konsentrasi ALT. Secara sederhana manifestasi klinisnya
dapat dibagi menjadi 2 yaitu : hepatitis B kronis yang masih aktif, dan carrier
hepatitis B inaktif. Diagnosis infeksi hepatitis B kronis dapat ditegakkan melalui
gambaran biokimia, virologi, dan gambaran histopatologi serta eksklusi terhadap
penyebab lain seperti hepatitis C. Tes fungsi hati yang rutin dan asai serologi
untuk mendeteksi antigen HBV (HBsAg dan HBeAg) dan antibodi (anti-HBs,
anti-HBc, dan anti-HBe) harus dilakukan untuk mengetahui fase hepatitis B
kronis. Biopsi hati diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti dan untuk
meramalkan prognosis serta kemungkinan keberhasilan terapi (respon histologik).
Tujuan terapi hepatitis B kronis adalah mencegah progesi menjadi sirosis dan
karsinoma hepatoselular dengan mencegah replikasi virus dan menekan aktivitas
nekroinflammasi. Pada saat ini dikenal dua kelompok terapi untuk hepatitis B
kronis, yaitu kelompok immunomodulator dan kelompok antiviral. Interferon
memiliki kedua aktivitas, baik sebagai immunomodulator dan sebagai antiviral.
Sedangkan lamivudin dan adefovir merupakan antiviral primer. Pada kasus
koinfeksi dengan virus HIV, Tenofovir disoproxil dapat digunakan karena
mempunyai aktivitas melawan hepatitis dan HIV. Lamivudin tidak digunakan
karena menyebabkan resistensi pada kedua virus, kecuali pada pasien yang
memerlukan HAART. Pasien dengan koinfeksi hepatitis C, jika HBV DNA
melebihi 103 kopi dan hepatitis C RNA tidak terdeteksi, terapi sama seperti pasien
yang terinfeksi hepatitis B saja. Tetapi jika HBV DNA rendah dan hepatitis C
RNA terdeteksi, terapi harus diawali dengan interferon dan ribavirin, serta HBV
16
DNA harus diukur setiap 3 bulan. Jika terdapat peningkatan bisa ditambahkan
lamivudin atau adefovir.3 Pada pasien hepatitis B kronis yang menjalani
kemoterapi dan immunosuppressants , lamivudin harus diberikan sampai 6 bulan
setelah terapi selesai untuk mencegah reaktivasi virus hepatitis B. Pada anak-
anak, karena berda dalam fase imunotoleran manifestasi penyakit hati jarang
terjadi. Jika terdapat indikasi terpai, dapat diberikan lamivudin atau interferon.
Adefovir tidak digunakan pada anak-anak. Sementara itu, pemberian lamivudin
pada trimester ketiga pada wanita hamil dapat mencegah transmisi hepatitis B
pada fetus.
Pencegahan transmisi HBV yang paling efektif adalah dengan imunisasi rutin
terhadap bayi yang baru lahir. Imunisasi juga harus dilakukan pada orang-orang
yang memiliki risiko tinggi terhadap paparan HBV, seperti pekerja rumah sakit,
orang dengan pasangan sex berganti-ganti, pengguna jarum suntik bersama,
pasien penyakit kronis yang mendapatkan injeksi perkutaneus berkali-kali, dan
kontak dengan orang yang terinfeksi HBV. Vaksin diberikan dalam tiga dosis
(saat 0,1,dan 6 bulan), sebanyak 10-30 ug. Konsentrasi antibodi 10 mlU/ml
dinyatakan sudah terproteksi. Semua wanita hamil harus diskrining untuk HBsAg.
Bayi yang terlahir dari ibu dengan HBsAg positif risiko transmisi vertikal
semakin tinggi jika disertai dengan HBeAg positif. Bayi tersebut harus menerima
baik vaksin dan HBIg (0,5 ml) dalam 12 jam kelahiran.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. Hepatitis B Virus. [ cited. 2008 February 8]. Available from: http:/
www. wikipedia. com.
17
2. Elgouhari H, Tamini AR, Carey W. Hepatitis B Virus Infection Understanding
its Epidemiologi Course and Diagnosis. Cleveland Clinic Journal of Medicine.
2008 ; 75 :881-888.
3. Aggralwal R, Ranjan P. Preventing and Treating Hepatitis B Infection.BMJ.
2004; 329: 1080-1085.
4. Soemohardjo S, Gunawan S. Hepatitis B Kronik. Dalam Sudoyo AW,
Setyohadi B, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
IV. Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. 2006: 433-422.
5. Foster G, Raymond D. Diagnosis and Treatment of Chronic Hepatitis B. J R
Soc Med. 2004 ; 97: 318-321.
6. Valsamakis A. Molekular Testing in The Diagnosis and Management of
Chronic Hepatitis B. Clinical Microbiologi Reviews. 2007; 20: 426-439.
7. O’shea R. Chronic Hepatitis B Virus Infection Issues in Treatment. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. 2007; 74: 557-560.
8. Nurul A. Kelainan Enzim Pada Penyakit Hati. Dalam Sudoyo AW, Setyohadi
B, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Ilmu
Penyakit Dalam FK UI. Jakarta. 2006: 424-426.
9. Karayiannis P. Hepatitis B Virus: Old New and Future Approach to Antiviral.
Journal of Antimicrobial Chemoterapy. 2003;51: 761-785.
18