hepatitis b final
DESCRIPTION
hepatitis bTRANSCRIPT
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1Epidemiologi
Hepatitis adalah penyakit radang hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis. Sebelumnya virus hepatitis dibedakan menjadi tiga yaitu, hepatitis A,
hepatitis B, dan hepatitis non-A non-B. saat ini, saat ini sudah ditemukan virus
hepatitis C, D, E, F, G, dan lainnya. Adapun penyakit hepatitis B menyerang
semua umur, gender, dan ras di seluruh dunia. Hepatitis B dapat menyerang
dengan atau tanpa gejala hepatitis. Sekitar 5% penduduk dunia mengidap
penyakit hepatitis B tanpa gejala. Angka prevalensi bervariasi sesuai dengan
kemampuan negara yang bersangkutan dalam menangani penyakit ini. Di
negara maju, seperti AS dan eropa, prevalesinya sekitar 0,1%, sedangkan di
Asia dan Afrika dapat mencapai 15%. Prevalensinya di indonesia sekitar 5-17%
(endemisitas sedang-tinggi).
Indonesia merupakan negara dengan endemisitas tinggi hepatitis B,
terbesar kedua di negara South East Asian Region (SEAR) setelah myanmar.
Berdasarkan hasil riset kesehatan Dasar (Riskesdas), studi dan uji saring darah
sonor PMI maka diperkirakan diantara 100 irang indonesia, 10 diantaranya
terinfeksi hepatits B atau C. sehingga saat ini diperkirakan terdapat 28 orang
indonesia yang terinfeksi hepatitis B dan C, 14 juta diantaranya berpotensi
untuk menjadi kronis, dan dari yang kronis tersebut 1,4 juta orang berpotensi
untuk menderita kanker hati. Berdasarkan masalah tersebut tentunya akan
berdampak sangat besar terhadap masalah kesehatan masyarakat, produktivitas,
umur harapan hidup, dan dampak sosial ekonomi lainnya.
Gambar 1 : prevalensi hepatitis menurut provinsi tahun 2007 dan2013
Tabel 1 : prevalensi hepatitis menurut karakteristik di indonesia tahun 2013
3.2Definisi
Hepatitis adalah penyakit radang hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B
3.2Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis B (VHB) yang berukuran
sekitar 42 nm. Virus ini mempunyai lapisan luar (selaput) yang berfungsi
sebagai antigen HbsAGg. Virus mempunyai bagian inti dengan partikel inti
HbcAg dan HbeAg.
Cara Penularan/ faktor resiko
Penularan secara parenteral terjadi melalui suntikan, tranfusi darah,
operasi, tusuk jarum, rajah kulit (tato), ada hubungan seksual, serta melalui
transmisi vertikal dari ibu ke anak. Masa inkubasinya sekitar 75 hari.
3.2Patofisiologi
Virus hepatitis B (VHB) masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari
peredaran darah partikel dan masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi
virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel yang
utuh, partikel HbsAg bentuk bulat dan tubuler, dan HbsAg yang tidak ikut
membentuk partikel virus. VHB merangsang respons imun tubuh, yang pertama
kali dirangsang adalah respons imun spesifik (innate immune response) karena
dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa
jam. Proses eliminasi nonspesifik ini tejadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan
memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T.
Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respons imun
spesifik, yaitu dengan mengaktifasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi
sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks
peptida VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada
permukaan dinding APC dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya
sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada
dinding APC. Peptida VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati
dan menjadi antigen sasaran respons imun adalah peptida kapsid yaitu HbcAg
atau HbeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada
didalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam
bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau
mekanisme sitolitik. Di samping itu dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel
tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas IFNγ dan TNFα yang
dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik).
Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan
produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, anti-Hbe. Fungsi anti-HBs
adalah netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus kedalam
sel. Dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke
sel. Infeksi kronik VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs.
Buktinya pada pasien Hepatitis B kronik ternyata dapat ditemukan adanya anti-
HBs bersembunyi dalam kompleks dengan HbsAg.
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat
diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi
VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respons imun yang tidak
efisien dapat disebabkan oleh faktor virus ataupun faktor pejamu.
a.Faktor Virus
Terjadinya imunotoleransi terhadap produk VHB, hambatan terhadap
CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya mutan
VHB yang tidak memproduksi HbeAg, integrasi genom VHB dala genom
sel hati.
a.Faktor Pejamu
Faktor genetik, kurangnya IFN, adanya antibodi terhadap antigen
nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor kelamin
atau hormonal.
Salah satu contoh peran imunoterapi terhadap produk VHB dalam
persistensi VHB adalah mekanisme persistensi infeksi VHB pada neonatus
yang dilahirkan oleh ibu HbsAg dan HbeAg positif. Diduga persistensi tersebut
disebabkan adanya imunotoleransi terhadap HbeAg yang masuk ke dalam
tubuh janin mendahului invasi VHB, sedangkan persistensi pada usia dewasa
diduga disebabkan oleh kelelahan sel T karena tingginya konsentrasi partikel
virus. Persistensi infeksi VHB dapat disebabkan karena mutasi pada daerah
precore dari DNA yang menyebabkan tidak dapat diproduksinya HbeAg. Tidak
adanya HbeAg pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang
terinfeksi VHB.
Perjalanan Penyakit Hati
Sebagian besar Individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan tetap
HbsAg positif sepanjang hidupnya dan menderita Hepatitis B Kronik,
sedangkan hanya sedikit individu dewasa yang mendapat infeksi akan
mengalami persistensi infeksi. Persistensi VHB menimbulkan kelainan yang
berbeda pada individu yang berbeda, tergantung dari konsentrasi partikel VHB
dan respons imun tubuh. Interaksi antara VHB dengan respons imun tubuh
terhadap VHB, sangat besar perannya dalam menentukan derajat keparahan
hepatitis. Makin besar respons imun tubuh terhadap virus, makin besar pula
kerusakan jaringan hati, sebaliknya bila tubuh toleran terhadap virus tersebut
maka tidak terjadi kerusakan hati. Ada 3 fase penting dalam perjalanan
penyakit hepatitis B Kronik yaitu fase imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase
immune clearence, dan fase nonreplikatif atau fase residual. Pada masa anak-
anak atau pada masa dewasa muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB
sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak
terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase
replikatif dengan titer HbsAg yang sangat tinggi, HbeAg positif, anti-Hbe
negatif, titer DNA VHB tinggi dan konsentrasi ALT yang relatif normal. Fase
ini disebut fase imunotoleransi. Pada fase imunotoleransi sangat jarang terjadi
serokonversi HbeAg secara spontan, dan terapi untuk menginduksi
serokonversi HbeAg tersebut biasanya tidak efektif. Pada sekitar 30% individu
dengan persistensi VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan,
terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT.
Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase
ini disebut fase imunoaktif atau immune clearance. Pada fase ini tubuh
berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang
terinfeksi VHB. Pada fase imunoaktif serokonversi HbeAg baik secara spontan
maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70% dari individu
tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa ada
kerusakan sel hati yang berarti. Pada keadaan ini, titer HbsAg rendah dengan
HbeAg yang menjadi negatif dan anti-Hbe yang menjadi positif secara spontan,
serta konsentrasi ALT yang normal, yang menandai terjadinya fase
nonreplikatif atau fase residual. Sekitar 20-30% pasien Hepatitis B Kronik
dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan.
Mekanisme Terjadinya Ikterus
Pembagian mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung
dalam 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik, masih relevan.
Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan
metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin,
transpor plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan
oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.
a.Fase Prahepatik
Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan
oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah)
l壱Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar
4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari
pemecahan sel darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30%
berasal dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum
tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan
penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.
l弐Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak
terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak
dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.
a.Fase Intrahepatik
Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada
hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin
l壱Liver uptake. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan
berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.
l弐Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami
konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida /
bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan
bilirubin yang tidak larut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai
kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak
terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang
larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama
dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga
terbentuk bilirubin glukuronid / bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk.
a.Fase Pascahepatik
Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar
hati oleh batu empedu atau tumor
l壱Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus
bersama bahan lainnya. Di dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin
menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja
yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke
dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai
urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin konjugasi tetapi tidak
bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap
khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik. Gangguan
metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari keempat mekanisme
ini: over produksi, penurunan ambilan hepatik, penurunan konjugasi hepatik,
penurunan eksresi bilirubin ke dalam empedu (akibat disfungsi intrahepatik
atau obstruksi mekanik ekstrahepatik)
3.2Gejala klinis
Berdasarkan gejala klinis dan petunjuk serologis, manifestasi klinis
hepatitis B dibagi 2 yaitu :
1. Hepatitis B akut yaitu manifestasi infeksi virus hepatitis B terhadap individu
yang sistem imunologinya matur sehingga berakhir dengan hilangnya virus
hepatitis B dari tubuh hospes.
Hepatitis B akut terdiri atas 3 yaitu :
a. Hepatitis B akut yang khas
b. Hepatitis Fulminan
c. Hepatitis Subklinik
Hepatitis B akut yang khas
Bentuk hepatitis ini meliputi 95 % penderita dengan gambaran ikterus
yang jelas.
Gejala klinis terdiri atas 3 fase yaitu :
1. Fase Praikterik (prodromal)
Gejala non spesifik, permulaan penyakit tidak jelas, demam tinggi,
anoreksia, mual, nyeri didaerah hati disertai perubahan warna air kemih
menjadi gelap. Pemeriksaan laboratorium mulai tampak kelainan hati
(kadar bilirubin serum, SGOT dan SGPT, Fosfatose alkali, meningkat).
2. Fase lkterik
Gejala demam dan gastrointestinal tambah hebat disertai
hepatomegali dan splenomegali. timbulnya ikterus makin hebat dengan
puncak pada minggu kedua. setelah timbul ikterus, gejala menurun dan
pemeriksaan laboratorium, tes fungsi hati abnormal.
3. Fase Penyembuhan
Fase ini ditandai dengan menurunnya kadar enzim
aminotransferase. pembesaran hati masih ada tetapi tidak terasa nyeri,
pemeriksaan laboratorium menjadi normal.
3.2Penegakkan diagnosis
Penderita Hepatitis B akut akan mengalami gejala prodromal yang sama
dengan hepatitis akut umumnya, yaitu kelelahan, kurangnya nafsu makan, mual,
muntah, dan nyeri sendi. Gejala-gejala prodromal akan membaik ketika
peradangan hati yang umumnya ditandai dengan gejala kuning, walaupun begitu
70% penderita hepatitis akut ternyata tidak mengalami kuning. Sebagian dari
penderita Hepatitis B akut lalu akan mengalami kesembuhan spontan, sementara
sebagian lagi akan berkembang menjadi Hepatitis B kronik (Kemenkes, 2012).
Virus Hepatitis B menyebabkan hepatitis akut dengan pemulihan dan
hilangnya virus, hepatitis kronis nonprogresif, penyakit kronis progresif yang
berakhir dengan sirosis, hepatitis fulminan dengan nekrosis hati masif, keadaan
pembawa asimtomatik, dengan atau tanpa penyakit subklinis progresif. Virus ini
juga berperan penting dalam terjadinya karsinoma hepatoselular
Diagnosis Hepatitis B ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali riwayat
transmisi seperti pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit kuning sebelumnya.
Pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali. Pemeriksaan penunjang terdiri dari
pemeriksaan laboratorium, ultrasonografi (USG) abdomen, dan biopsi hepar
Pemeriksaan laboratorium VHB terdiri dari pemeriksaan biokimia, penanda
serologis, dan pemeriksaan molekuler. Pemeriksaan biokimia didapatkan
Aspartate transferase (AST), Alanine aminotransferase (ALT), Alkali fosfatase
(ALP), dan Gamma-glutamyl transferase (GGT) mengalami peningkatan saat
stadium akut. Penanda serologis VHB adalah Hepatitis B surface Antigen
(HBsAg), Antibodi Hepatitis B surface (Anti HBs), Hepatitis B core Antigen
(HBcAg), Antibodi Hepatitis B core (Anti HBc), dan Hepatitis B envelope
Antigen (HBeAg) (Hardjoeno, 2007). Pemeriksaan molekuler untuk deteksi VHB
DNA dalam serum atau plasma menjadi standar pendekatan secara laboratorium
untuk diagnosis infeksi VHB. Metode pemeriksaan VHB DNA antara lain adalah
Radioimmunoassay (RIA), Hybrid Capture Chemiluminescence (HCC),
amplifikasi signal (metode branched DNA/bDNA), dan amplifikasi target
(metode Polymerase Chain Reaction/PCR)
3.2Komplikasi
Hepatitis kronis dapat menyebabkan sirosis hepatis, kanker hepar, gagal
hepar, gangguan ginjal, dan vasculitis.
Hepatitis B kronik dapat berlanjut menjadi sirosis hepatis yang
merupakan komplikasi paling banyak, dan merupakan perjalanan klinis akhir
akibat nekrotik sel – sel hepatosit. Prognosis hepatitis B kronik dipengaruhi
oleh berbagai factor, yang paling utama adalah gambaran histology hati, respon
imun tubuh penderita, dan lamanya terinfeksi hepatitis B, serta respon tubuh
terhadap pengobatan.
Hepatitis fulminan akut terjadi lebih sering pada HBV daripada virus
hepatitis lain, dan risiko hepatitis fulminan lebih lanjut naik bila ada infeksi
bersama atau superinfeksi dengan HDV. Mortalitas hepatitis fulminan lebih
besar dari 30%. Transplantasi hati adalah satu-satunya intervensi efektif;
perawatan pendukung yang ditujukan untuk mempertahankan penderita
sementara memberi waktu yang dibutuhkan untuk regenerasi sel hati adalah
satu-satunya pilihan lain.
Infeksi VHB juga dapat menyebabkan hepatitis kronis, yang dapat
menyebabkan sirosis dan karsinoma hepatoseluler primer. Interferon alfa-2b
tersedia untuk pengobatan hepatitis kronis pada orang-orang berumur 18 tahun
atau lebih dengan penyakit hati kompensata dan replikasi HBV.
Glomerulonefritis membranosa dengan pengendapan komplemen dan HBeAg
pada kapiler glomerulus merupakan komplikasi infeksi HBV yang jarang.
3.2Prognosis
Prognosis hepatitis B kronik dipengaruhi oleh berbagai factor, yang
paling utama adalah gambaran histologi hati, respon imun tubuh penderita, dan
lamanya terinfeksi hepatitis B, serta respon tubuh terhadap pengobatan.
Prognosis pengidap kronik HBsAg sangat tergantung dari kelainan histologis
yang didapatkan pada jaringan hati. Semakin lama seorang pengidap kronik
mengidap infeksi HBV maka semakin besar kemungkinan untuk menderita
penyakit hati kronik akibat infeksi HBV tersebut. Penelitian menunjukkan
bahwa 40% pengidap infeksi HBV kronik yang mencapai usia dewasa akan
meninggal akibat penyakit hati kronik misalnya sirosis atau KHP. Disamping
itu seorang pengidap kronik dapat menjadi HBsAg negatif walaupun jarang.
Hal ini terjadi pada 1% dari pengidap kronik setiap tahunnya.
95-99% dari pasien hepatitis B yang akut, sembuh secara total. Namun,
prognosis penyakit hepatitis B memburuk pada pasien yang lanjut usia dan
pasien yang mempunyai penyakit lain. Bagi penderita yang telah didiagnosa
menderita penyakit hepatitis B yang kronis, prognosisnya baik jika pasien
mendapat terapi yang baik sehingga dapat
memperbaiki kondisi pasien. Perubahan dari fase akut ke fase kronik sangat
bergantung pada umur pasien dan cara terinfeksi. Prognosis memburuk pada
pasien-pasien yang menderita sirosis hati. Karsinoma hepar merupakan
komplikasi tersering bagi infeksi VHB yang kronik.
3.2Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis virus, akan tetapi secara
umum penatalaksanaan pengobatan hepatitis adalah sebagai berikut :
1. Istirahat
Pada periode akut dan keadaan lemah diharuskan cukup istirahat.
Istirahat mutlak tidak terbukti dapat mempercepat penyembuhan. Kecuali
mereka dengan umur tua dan keadaan umum yang buruk.
2. Diet
Jika pasien mual, tidak ada nafsu makan atau muntah – muntah,
sebaiknya diberikan infus. Jika tidak mual lagi, diberikan makanan cukup
kalori (30-35 kalori/kg BB) dengan protein cukup (1 gr/kg BB), yang
diberikan secara berangsur – angsur disesuaikan dengan nafsu makan klien
yang mudah dicerna dan tidak merangsang serta rendah garam (bila ada
resistensi garam/air).
3. Medikamentosa
Kortikosteroid tidak diberikan bila untuk mempercepat penurunan
billiburin darah. Kortikosteroid dapat digunakan pada kolestatis yang
berkepanjangan, dimana transaiminase serumsudah kembali normal tetapi
billburin masih tinggal. Pada keadaan ini dapat dberikan prednisone 3 x 10
mg selama 7 hari, jangan diberikan antimetik, jika perlu sekali dapat
diberikan fenotiazin. Vitamin K diberikan pada kasus dengan kecenderungan
perdarahan. Bila pasien dalam keadaan perkoma atau koma, penanganan
seperti pada koma hepatic.
Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mecegah atau
menghentikan progresi jejas hati (liver injury) dengan cara menekan
replikasi virus atau menghilangkan injeksi.
Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering di pakai
adalah hilangnya petanda replikasi virus yang aktif secara menetap (HbeAg
dan VHB DNA). Pada umumnya, serokonversi dari HbeAg menjadi anti-
Hbe disertai dengan hilangnya DNA VHB dalam serum dan meredanya
penyakit hati. Pada kelompok pasien hepatitis B kronik HbeAg negatif,
serokonvers HbeAg tidak daat dipakai sebagai titik akhir terapi dan respons
terapi hanya dapat dinilai dengan pemeriksaan DNA VHB.
Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitis B yaitu:
1. Terapi dengan Imunomodulator
a. Interferon (IFN) alfa.
IFN adalah kelompok protein intraseluler yang normal ada dalam
tubuh dan diproduksi oleh barbagai macam sel. INF alfa diproduksi oleh
limfosit B, IFN beta diproduksi oleh monosit fibroepitelial, dan IFN
gamma diproduksi oleh sel limfosit T. Produksi IFN dirangsang oleh
berbagai macam stimulasi terutama infeksi virus.
Beberapa khasiat IFN adalah aktivitas antivirus, imunomodulator,
anti proliferatif, dan anti fibrotik. IFN tidak memiliki khasiat anti virus
langsung tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein infeksi
virus.
Dalam proses terjadinya aktivitas antivirus, IFN mengadakan
interaksi dengan reseptor IFN yang terdapat pada membran sitoplasma sel
hati yang diikuti dengan diproduksinya protein efektor. Salah satu protein
yang terbentuk adalah 2’,5’-oligoadenylate synthetase (OAS) yang
merupakan suatu enzim yang berfungsi dalam rantai terbentuk aktivitas
antivirus.
Khasiat IFN pada hepatitis B terutama disebabkan oleh khasiat
imunomodulator. Penelitian menunjukan bahwa pasien hepatitis B kronis
sering didapat penurunan produksi IFN. Sebagai salah satu akibatnya
terjadi gangguan penampilan molekul HLA kelas I pada membran
hepatosit yang sangat diperlukan agar sel T sitotoksik dapat mengenali
sel-sel hepatosit yang terkena infeksi VHB. Sel-sel tersebut menampilkan
anti-gen sasaran (target antigen) VHB pada membran hepatosit.
IFN adalah salah satu pilihan untuk pengobatan pasien hepatitis B
kronik dengan HBeAg positif, dengan aktivitas penyakit ringan sampai
sedang, yang belum mengalami sirosis. Pengaruh pengobatan IFN dalam
menurunkan replikasi virus telah banyak dilaporkan dari berbagai laporan
penelitian yang menggunakan follow-up jangka panjang.
Beberapa faktor yang dapat meramalkan keberhasilan IFN:
Konsentrasi ALT yang tinggi
l壱Konsentrasi DNA VHB yang rendah
l弐Timbulnya flare-up selama terapi
l参IgM anti-HBc yang positif
Efek samping IFN:
l壱Gejala seperti flu
l弐Tanda-tanda supresi sumsum tulang
l参Flare-up
l四Depresi
l伍Rambutrontok
l六Berat badan turun
l七Gangguan fiingsi tiroid
Sebagai kesimpulan, IFN merupakan suatu pilihan untuk pasien
hepatitis B kronik nonsirotik dengan HBeAg positif dengan aktivitas
penyakit ringan sampai sedang.
Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg
positif adalah 5-10 MU 3 x seminggu selama 16-24 minggu. Penelitian
menunjukkan bahwa terapi IFN untuk hepatitis B kronik HBeAg negatif
sebaiknya diberikan sedikitnya selama 12 bulan.
Kontra indikasi terapi IFN adalah sirosis dekompensata, depresi
atau riwayat depresi di waktu yang lalu, dan adanya penyakit jantung
berat.
b. PEG Interferon.
Penambahan polietilen glikol (PEG) menimbulkan senyawa IFN
dengan umur paruh yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan IFN
biasa. Dalam suatu penelitian yang membandingkan pemakaian PEG IFN
alfa 2a dengan dosis 90,180, atau 270 mikrogram tiap minggu selama 24
minggu menimbulkan penurunan DNA VHB yang lebih cepat
dibandingkan dengan IFN biasa yang diberikan 4,5 MU 3 x seminggu.
Serokonversi HBeAg pada kelompok PEG IFN pada masing-masing
dosis adalah 27, 33,37% dan pada kelompok IFN biasa sebesar 25%.
1. Penggunaan steroid sebelum terapi IFN.
Pemberian steroid pada pasien Hepatitis B Kronik HBsAg positif
yang keinudian dihentikan mendadak akan menyebabkan flare up yang
disertai dengan kenaikan konsentrasi ALT. Beberapa penelitian awal
menunjukkan. Bahwa steroid withdrawl yang diikuti dengan
pemberian IFN lebib efektif dibandingkan dengan pemberian IFN saja,
tetapi hal itu tidak terbukti dalam penelitian skala besar. Karena itu
steroid withdrawl yang diikuti dengan pemberian IFN tidak dianjurkan
secara rutin.
2. Timosin Alfa 1
Timosin adalah suatu jenis sitotoksin yang dalam keadaan alami
ada dalam ekstrak pinus. Obat ini sudah dapat dipakai untuk terapi
baik sebagai sediaan parenteral maupun oral. Timosin alfa 1
merangsang fungsi sel limfosit. Pemberian Timosin alfa 1 pada pasien
hepatitis B kronik dapat menurunkan replikasi VHB dan menurunkan
konsentrasi atau menghilangkan DNA VHB. Keunggulan obat ini
adalah tidak adanya efek samping seperti IFN. Dengan kombinasi
dengan IFN, obat ini meningkatkan efektivitas IFN.
3. Vaksinasi Terapi.
Salah satu langkah maju dalam bidang vaksinasi hepatitis B
adalah kemungkinan penggunaan vaksin Hepatitis B untuk pengobatan
infeksi VHB. Prinsip dasar vaksinasi terapi adalah fakta bahwa
pengidap VHB tidak memberikan respons terhadap vaksin Hepatitis B
konvensional yang mengandung HBsAg karena individu-individu
tersebut mengalami imunotoleransi terhadap HBsAg. Suatu vaksin
terapi yang efektif adalah suatu vaksin yang kuat yang dapat mengatasi
imunotoleransi tersebut. Salah satu dasar vaksinasi terapi untuk
hepatitis B adalah penggunaan vaksin yang menyertakan epiiop yang
mampu merangsang sel T sitotoksik yang bersifat Human Leucocyte
Antigen (HLA)-restricted, diharapkan sel T sitotoksik tersebut mampu
menghancurkan sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Salah satu strategi
adalah penggunaan vaksin yang mengandung protein pre-S. Strategi
kedua adalah menyertakan antigen kapsid yang spesifik untuk sel
limfosit T sitotoksik (CTL). Strategi ketiga adalah vaksin DNA.
2. Terapi Antivirus
a. Lamivudin
Lamivudin adalah suatu analog nukleosid. Nukleosid berfungsi
sebagai bahan pembentuk pregenom, sehingga analog nukleosid bersaing
dengan nukleosid asli. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reverse
transkriptase yang berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi
DNA yang terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudia menghambat
produksi VHB baru dan mencegah terjadinya infeksi hepatosit sehat yang
belum terinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi
karena pada sel-sel yang telah terinfeksi DNA VHB ada dalam keadaan
convalent closed circular (cccDNA). Karena itu setelah obat dihentikan,
titer DNA VHB akan kembali lagi seperti semula karena sel-sel yang
terinfeksi akhirnya memproduksi virus baru lagi. Lamivudin adalah
analog nukleosid oral dengan aktivitas antivirus yang kuat. Kalau
diberikan dalam dosis 100 mg tiap hari, lamivudin akan menurunkan
konsentrasi DNA VHB sebesar 95% atau lebih dalam waktu 1 minggu.
Dengan metode hibridisasi, DNA VHB tidak bisa dideteksi lagi dengan
metode non PCR dalam waktu 8 minggu tetapi masih dapat dideteksi
dengan metode PCR. Setelah dihentikan selama 2 minggu, konsetttrasi
DNA akan kembali positif dan meneapai konsentrasi sebelum terapi.
Suatu parameter tunggal terbaik yang bisa dipakai untuk
meramalkan kemungkinan serokonversi HBeAg adalah konssntrasi ALT.
Khasiat lamivudin semakin meningkat bila diberikan dalam waktu
yang lebih panjang. Karena itu strategi pengobatan yang tepat adalah
pengobatan jangka panjang. Di samping khasiat Lamivudin untuk
menghambat fibrosis, pemberian Lamivudin mungkin dapat mencegah
terjadinya karsinoma hepatoselular. Bila terjadi kekebalan terhadap
lamivudin, analog nukleosid yang lain masih bisa dipakai (misalnya
adefovir dan enticavir).
Keuntungan dan kerugian lamivudin. Keuntungan utarua dari
lamivudin adalah keamanan, toleransi pasien serta harganya yang relatif
murah. Kerugiannya adalah seringnya tirnbul kekebalan.
Kekambuhan akut (flare up) setelah penghentian terapi lamivudin.
Sekitar 16% pasien hepatitis B kronik yang mendapatkan pengobatan
lamivudin dalam jangka lama mengalami kenaikan konsentrasi AIT 8-24
minggu setelah lamivudin dihentikan. Pada umumnya reaktivasi infeksi
VHB tersebut tidak disertai ikterus dan kebanyakan akan hilang sendiri.
Pada sebagian kecil kasus dapat terjadi gejala-gejala hepatitis akut dan
bahkan gagal hati, Keadaan ini disebabkan karena terjadinya reinfeksi
sejumlah besar sel-sel hati yang sehat akibat dihentikannya lamivudin
yang di ikuti dengan respon imun yang mirip hepatitis B akut, hepatitis B
kronik yang mendapat terapi lamivudin perlu dilakukan monitoring
seksama setelah pengobatan dihentikan. Pada kekambuhan dengan gejala
berat lamivudin diberikan kembali. Perhatian khusus perlu dilakukan
untuk pasien-pasien yang sebelum terapi Lamivudin sudah menderita
dekompensasi.
b. Adefovir dipivoksil
Adefovir dipivoksil adalah suatu nukleosid oral yang rnenghambat
enzim reverse transcriptase. Mekanisme khasiat adefovir hampir sama
dengan lamivudin. Penelitian menunjukkan bahwa pemakaian adefovir
dengan dosis 10 atau 30 mg tiap hari selama 48 minggu menunjukkan
perbaikan. Juga terjadi penurunan konsentrasi DNA VHB, penurunan
konsentrasi ALT serta serokonversi HBeAg.
Walaupun adefovir dapat juga dipakai untuk terapi tunggal primer,
namun karena alasan ekonomik dan efek samping adefovir, maka pada
saat ini adefovir baru dipakai pada kasus-kasus yang kebal terhadap
lamivudin. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg tiap hari. Sampai
sekarang kekebalan terhadap adefovir belum pernah dilaporkan. Salah
satu hambatan utama dalam pemakaian adefovir adalah toksisitas pada
ginjal yang sering dijumpai pada dosis 30 mv, atau Lebih.
penggunaan adefovir adalah jarangnya terjadi kekebalan. Dengan
demikian obat ini merupakan obat yang ideal untuk terapi hepatitis B
kronik dengan penyakit hati yang parah. Kerugiannya adalah harga yang
lebih mahal dan masih kurangnya data mengenai khasiat dan keamanan
dalam jangka yang sangat panjang,
c. Analog nukleosid yang lain.
Berbagai macam analog nukleosid yang dapat dipakai pada
hepatitis B kronik adalah Famciclovir dan (FTC). Indikasi terapi
autivirus. Terapi antivirus dianjurkan untuk pasien hepatitis kronik
dengan ALT > 2 x nilai normal tertinggi dengan DNA VHB positif.
Untuk ALT < 2 x nilai normal tertmggi tidak perlu terapi antivirus.
Terapi antivirus untuk hepatitis B kronik dengan konsentrasi ALT normal
atau hampir normal.
Kebanyakan ahli berpendapat bahwa untuk hepatitis B kronik
dengan konsentrasi ALT normal tidak diperlukan pemberian terapi
antivirus walaupun didapatkan DNA VHB titer tinggi atau HBeAg
positif. Beberapa ahli menyatakan bahwa pada kasus-kasus seperti di atas,
yang pada biopsi hati didapatkan gambaran biopsi yang sangat aktif
apalagi bila disertai fibrosis berat perlu diberikan terapi anti VIRUS.
IFN atau analog nukleosid Untuk ALT 2-5 kali nilai tertinggi dapat
diberikan Lamivudin 100 mg tiap hari atau IFN 5 MU 3x seminggu.
Untuk ALT > 5 x nilai normal tertinggi dapat diberikan lamivudin 100
mg tiap hari. Pemakaian IFN tidak dianjurkan.
Gabungan antara IFN dan nukleosid. Untuk meningkatkan khasiat
monoterapi IFN dan monoterapi lamivudin telah dilakukan penelitian
yang membandingkan pemakaian monoterapi dengan PEG interferon,
monoterapi dengan lamivudin dan kombinasi antara PEG inteferon dan
lamivudin pada pasien hepatitis B kronik. Ternyata gabungan antara
kedua obat itu tidak lebih baik dibandingkan dengan monoterapi PEG
Interferon atau monoterapi lamivudin.
Lama terapi antivirus. Dalam keadaan biasa IFN diberikan sampai 6
bulan sedangkan lamivudin sampai 3 bulan setelah serokonversi HBeAg.
Kriteria respons terhadap terapi antivirus. Respons terhadap antivirus
(IFN atau analog nukleosid) yang biasa dipakai adalah hilangnya DNA
VHB dalam serum (nonPCR), hilangnya HBeAg dengaa atau tanpa
munculnya anti-HBe (serokcnversi HBeAg), normalnya konsentrasi ALT
serta turunnya nekroinflamasi dan tidak adanya progresi fibrosis pada
biopsi hati yang dilakukan secara seri. Para ahli menganjurkan
standardisasi respons terhadap terapi antivirus untuk hepatitis B. Respons
tersebut dibagi menjadi respons biokimiawi (BR), respons virilogik (VR),
dan respons histologik (HR), pada akhir terapi dan 6-12 bulan setelah
terapi dihentikan.
Kategori Respons Antivirus.
• Respons biokimiawi (BR) adalah penuranan konsentrasi ALT menjadi
normal.
• Respons virologik (VR), iiegatimya DNA VHB dengan
metode nonamplifikasi (<105 kopi/ml), dan hilangnya HBeAg pada
pasien yang sebelum terapi HbeAg positif.
• Respons histologis (KR), menurunnya indeks aktivitas histologik
sedikitnya 2 poin dibandingkan biopsi hati sebelum terapi.
• Respons komplit (CR), adanya respons biokimiawi dan virologik yang
disertai negaifnya HBsAg
Waktu Pengukuran respons antivirus. Selama terapi ALT, HBeAg
dan DNA VHB (non PCR.) diperiksa tiap 1 -3 bulan. Setelah terapi
selesai ALT, HBeAg dan DNA VHB (nonPCR) diperiksa tiap 3-6 bulan.
Pengaruh genotip VHB terhadap respons terapi antivirus. Virus Hepatitis
B dikelompokkan menjadi 8 genotip (A-H). Sebagian besar genotip
menunjukkan distribusi geografik yang spesifik, misainya: Eropa Barat
dan Amerika Utara, Asia Tenggara, Asia Timur, Mediterania, India, dan
Timur Tengah.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa genotip VHB
berhubungan denganserokonversi HBeAg, progresi penyakit hati, dan
respons terapi antivirusnya. Sebagai contoh, penelitian di Taiwan
menunjukkan bahwa genotip C lebih lambat dibandingkan dengan
genotip B. Demikian juga kemungkinan untuk kekambuhan pada genotip
B lebih rendah dibandingkan dengan genotip C. Perbedaan respons terapi
antara genotip B dan C:
• Interferon: respons pada genotip B lebih baik daripada genotip C
• Lamivudin: respons sebanding anatara genotip B dan C Kekambuhan
pada genotip B lebih rendah dibandingkan C
• Kekebalan lamivudin sebanding antara genotip B dan C
• Adefovir: sebanding antara genotip B dan C
• Perbedaan respons terapi antara genotip A dan D:
• Interferon: respons genotip A lebih baik dibandingkan dengan genotip
D
• Lamivudin: respons genotip D lebih baik dibandingkan genotip A.
• Kekebalan terhadap lamivudin: genotip A lebih sering dibandingkan
genotip D
• Adefovir: sebanding antara genotip A dan D
Analog nukleosid dan transplantasi hati. Pada pasien infeksi VHB
yang perlu dilakukan transplantasi hati sangat sulit untuk melakukan
eradikasi VHB sebelum transplantasi. Bila pasien tersebut dilakukan
transplantasi maka angka kekambuhan infeksi VHB pasca transplantasi
sangat tinggi karena pasca transplantasi semua pasien mendapat terapi
imunosupresif yang kuat. Karena itu, dulu para ahli sempat meragukan
manfaat transplantasi hati pasien hepatitis B. Dengan adanya terapi anti
VIRUS spesifik yang dapat menghambat progresi penyakit hati setelah
transplantasi, maka kini transplantasi tetap diberikan kepada pasien
infeksi VHB. Penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan
gabungan Hepatitis B immune globulin (HBG) dengan lamivudin
kekambuhan infeksi VHB pasca transplantasi dapat ditekan sampai
kurang dari 10%. Di samping itu, lamivudin ternyata bisa
memperpanjang angka harapan hidup pasca transplantasi.
3.2Pencegahan
Vaksinasi VHB rekombinan pertama diperkenalkan pada tahun 1986 dan
yang kedua pada tahun 1989 (Aru W. Sudoyo, 2007). Prioritas utama vaksinasi
adalah bayi, anak, kelompok berisiko tinggi (misalnya kontak erat dengan
pengidap), petugas laboratorium, petugas rumah sakit (terutama unit
hemodialisis), dan penderita penyakit darah (Aru W. Sudoyo, 2007).
Untuk pencegahan penularan secara vertikal pada masa perinatal,
terhadap seorang ibu yang melahirkan dengan HbsAg positif dengan atau tanpa
adanya HbeAg, maka kepada bayinya diberikan vaksinasi pasif HBIG dan
vaksinasi aktif. Pemberian HBIG saja tanpa vaksinasi aktif hanya memberi
perlindungan selama 6 bulan sehingga masih memungkinkan terjadinya infeksi
VHB. Faktor yang berpengaruh dalam reaksi imunologis adalah dosis vaksin,
umur, dan kondisi imunologis. Sebaiknya diberikan dosis sesuai dengan
rekomendasi yaitu antara 5-10 mcg. Bila dosis dikurangi maka nilai titer
antibodi juga turun. Lebih tua umur, serokonvensi makin berkurang. Biasanya
nonresponder terdapat pada mereka yang mengalami gangguan imunitas.
Kadang terjadi nonresponder palsu karena kesalahan tempat penyuntikan yaitu
masuk ke subkutan bukan otot (Aru W. Sudoyo, 2007).
1. Uji saring sebelum vaksinasi
Uji saring pravaksinasi dianjurkan pada kelompok khusus berisiko
tinggi termasuk pengguna obat secara intravena, homoseksual, mutiple sex
partner, dan kontak erat dengan penderita VHB. Hasil uji saring sangat
bervariasi antara 0,1%-20% dengan anti-HBc positif dan 80% dari merekaa
memberi respons positif terhadap vaksinasi. Hal ini menyebabkan
direkomendasikannya vaksinasi hanya untuk penderita dengan anti-HBc
positif (Aru W. Sudoyo, 2007).
2. Pemeriksaan paska Vaksinasi
Secara luas, dalam program vaksinasi tidak dilakukan pemeriksaan
paska vaksinasi. Pemeriksaan ini biasanya hanya dilakukan pada pekerja
kesehatan dengan risiko tinggi tertular malalui darah maupun cairan tubuh.
Pemeriksaan paska vaksinasi dilakukan satu atau dua bulan setelah suntikan
ketiga. Pada bayi dengan ibu HbsAg positif yang telah divaksinasi sebaiknya
dilakukan pemeriksaan penanda infeksi VHB pada umur 12 bulan (Aru W.
Sudoyo, 2007).
3. Penanganan nonresponden
Untuk para nonresponder dilakukan vaksinasi ulangan dengan 3 kali
suntikan. Biasanya setengah dari mereka akan mencapai kadar seroprotektif.
Bagi yang anti-HBs-nya tidak muncul atau anti-HBs-nya kurang dri 10
mIU/ml, tampaknya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan
walaupun dilakukan penggantian jenis vaksin. Untuk masa mendatang, bagi
para nonresponder ini dapat dilakukan:
a. Pemberian vaksin yang mengandung pre-S2 HbsAg
b. Pemberian vaksin VHB bersama-sama T-helper cell peptide
c. Pemberian kombinasi HbsAg dengan HbcAg
d. Transfer limfosit dari responder
Untuk penderita dengan dialisis yang respon imunologisnya sangat
rendah hal-hal tersebut diatas kurang bermanfaat.sebaiknya para penderita
penyakit ginjal diberikan vaksinasi sebelum penyakitnya lnjut dan menjalani
sialisis (Aru W. Sudoyo, 2007).
Daftar Pustaka
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Indonesia. 2014. Situasi dan
Analisis Hepatitis. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta Selatan. 3 hal.
Widoyono. 2005. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Erlangga Medical Series. Jakarta. 75-78 hal.
Siregar FA. Hepatitis B di tinjau Dari Kesehatan Masyarakat Dan Upaya
Pencegahan. Di akses www.library.usu.ac.id tanggal 19 Juni 2015
Green CW. Hepatitis Virus dan HIV. Jakarta : Yayasan Spiritia, 2005 ; 10-23