revisi hepatitis b

43
Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk di Indonesia yaitu hepatitis A, B, C, D dan E. Hepatitis A dan E sering muncul dan ditularkan secara fecal oral dan biasanya berhubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Hepatitis ini bersifat akut dan dapat sembuh dengan baik. Hepatitis B,C dan D jarang ditularkan secara parenteral namun dapat menjadi kronis dan menimbulkan sirosis kemudian menjadi kanker hati. Hepatitis B khususnya selain ditularkan secara parenteral juga ditularkan melalui seksual dan kandungan. A. EPIDEMIOLOGI Hepatitis virus merupakan fenomena gunung es dimana penderita yang baru datang ke layanan kesehatan jauh lebih sedikit daripada jumlah penderita sesungguhnya. Mengingat penyakit ini merupakan penyakit kronis yang menahun, dimana pada saat orang tersebut telah terinfeksi namun kondisinya masih sehat dan menunjukkan gejala dan tandayang khas tapi penularan terus berjalan. Virus hepatitis B telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia, sekitar 240 juta orang diantaranya menjadi hepatitis B kronik. Sebanyak 1,5 juta penduduk dunia meninggal setiap tahunnya karena Hepatitis. Prevalensi di setiap wilayah dapat bervariasi namun infektivitas tinggi terdapat di daerah Sahara- Afrika, sebagian besar Asia, Amerika utara, Amazon, Eropa Timur bagian selatan serta Timur Tengah.

Upload: dewi-anugrah-prakoso

Post on 13-Nov-2015

32 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

makalahfarmakoterapi 1

TRANSCRIPT

Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk di Indonesia yaitu hepatitis A, B, C, D dan E. Hepatitis A dan E sering muncul dan ditularkan secara fecal oral dan biasanya berhubungan dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Hepatitis ini bersifat akut dan dapat sembuh dengan baik. Hepatitis B,C dan D jarang ditularkan secara parenteral namun dapat menjadi kronis dan menimbulkan sirosis kemudian menjadi kanker hati. Hepatitis B khususnya selain ditularkan secara parenteral juga ditularkan melalui seksual dan kandungan.A. EPIDEMIOLOGIHepatitis virus merupakan fenomena gunung es dimana penderita yang baru datang ke layanan kesehatan jauh lebih sedikit daripada jumlah penderita sesungguhnya. Mengingat penyakit ini merupakan penyakit kronis yang menahun, dimana pada saat orang tersebut telah terinfeksi namun kondisinya masih sehat dan menunjukkan gejala dan tandayang khas tapi penularan terus berjalan.Virus hepatitis B telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia, sekitar 240 juta orang diantaranya menjadi hepatitis B kronik. Sebanyak 1,5 juta penduduk dunia meninggal setiap tahunnya karena Hepatitis. Prevalensi di setiap wilayah dapat bervariasi namun infektivitas tinggi terdapat di daerah Sahara- Afrika, sebagian besar Asia, Amerika utara, Amazon, Eropa Timur bagian selatan serta Timur Tengah. (Rubins, 2012).Indonesia merupakan negara dengan endemisitas tinggi terkena Hepatitis B terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Myanmar. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda), studi dan uji saring darah donor PMI diperkirakan terdapat 100 penduduk Indonesia, 10 diantaranya telah terinfeksi Hepatits B. Sehingga saat ini diperkirakan terdapat 28 juta penduduk Indonesia terinfeksi Hepatitis B dan 1,4 juta diantaranya berpotensi untuk menjadi kronis dan dari yang kronis tersebut 1,4 juta orang berpotensi untuk menderita kanker hati.Menurut hasil Riskesdas tahun 2013 bahawa jumlah orang yang didiagnosis Hepatitis di fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan gejala- gejala yang ada menunjukkan peningkat 2 kali lipat apabila dibandingkan dari tahun 2007.

Dari grafik ditas terlihat bahwa dari hasil survei tahun sebelumnya yaitu 2007 , pada tahun 2013 lima propinsi dengan prevalensi tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur , Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Pada tahun 2013 ada 13 provinsi yang memilki angka prevalensidiatas rata- rata nasional yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Tengah, Maluku, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Aceh. Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Kalimanatan Tengah, Sumatra Utara dan Kalimantan Selatan.

Dari tabel diatas terlihat karakteristik prevalensi Hepatitis tertinggi terdapat pada kelompok umur 45-54 dan 65-74 (1,4%). Penderita Hepatitis baik laki- laki maupun perempuan proporsinya tidak berbeda bermakna. Jenis pekerjaan juga mempengaruhi prevalensi Hepatitis. Tabel diatas menunjukkan bahwa penderita Hepatitis banyak terjadi pada petani/nelayan/buruh.

(Kemenkes, 2013).Dari tabel diatas hasil survei menunjukkan bahwa Hepatitis B dari tahun 2008 mengalami penurunan namun pada survei tahun 2013 justru mengalami kenaikan kembali yaitu sebesar 1,64%. Paremeter untuk mengetahui Hepatitis B adalah melalui HbsAg yaitu suatu protein permukaan virus hepatitis B.B. PATOFISIOLOGIVirus Hepatitis B adalah suatu virus DNA dengan struktur genom yang sangat kompleks). Virus Hepatitis B berupa virus DNA sirkoler berantai ganda, termasuk family Hepadnaviradae, yang mempunyai tiga jenis antigen. Ketiga jenis antigen tersebut yaitu Antigen Surface Hepatitis (HbsAg) yang terdapat mantel (envelope virus), antigen cor Hepatitis B (HbcAg) dan antigen e Hepatitis B (HbeAg) yang terdapat pada nucleocapsid virus. Ketiga jenis antigen ini dapat merangsang timbulnya antibodi spesifik masing masing yang disebut anti HBs, anti HBc dan anti Hbe.1) HbsAg (Hepatitis B surface Antigen) merupakan petanda serologik infeksi virus hepatitis B pertama yang muncul di dalam serum dan mulai terdeteksi antara 1 sampai 12 minggu pasca infeksi, mendahului munculnya gejala klinik serta meningkatnya SGPT. Selanjutnya HBsAg merupakan satu-satunya petanda serologik selama 3 5 minggu. Pada kasus yang sembuh, HBsAg akan hilang antara 3 sampai 6 bulan pasca infeksi sedangkan pada kasus kronis, HBsAg akan tetap terdeteksi sampai lebih dari 6 bulan. HBsAg positif yang persisten lebih dari 6 bulan didefinisikan sebagai pembawa (carrier). 2) HbeAg (Hepatitis B e Antigen) adalah salah satu protein yang soluble yang muncul bersama dengan HbsAg yang menunjukkan virus aktif bereplikasi dan infektivitas di dalam tubuh setelah pasien terinfeksi. Adanya virus yang masuk tubuh akan meresponnya melalui sistem imun yaitu dengan munculnya anti-Hbe.3) HbcAg (Hepatitis B core antigen) adalah protein nukleokapsid pada hepatosit, yang mempromosikan kematian sel imun. Sebagian besar HBcAg yang dihasilkan dirakit menjadi inti virus (nukleokapsid).

Gb. Virus Hepatitis B(Rubins, 2012).

Replikasi Virus dan Respon Imun Virus hepatitis B (VHB) masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Partikel virus hepatitis B yang utuh masuk kedalam tubuh dari peredaran darah dan masuk ke dalam hati. Virus ini kemudian menempel pada sel inang . Setelah itu virus akan mempenetrasikan materi genetiknya yaitu DNA pada genom virus tersebut untuk diangkut kedalam inti sel dimana akan terjadi transkripsi genom virus hepatitis B dan akan bereplikasi dalam sel hati yang menyebabkan pertambahan jumlah kromosom virus. Kromosom dengan jumlah yang banyak tersebut kemudian akan melakukan perakitan komponen tubuh virus agar membentuk virus yang utuh. Virus utuh selanjutnya akan keluar dari sel inang untuk menginfeksi sel- sel lain.

Gb.replikasi Virus(Rubins, 2012).Virus Hepatitis B (VHB) merangsang respons imun tubuh, yang pertama kali dirangsang adalah respons imun nonspesifik (innate immune response) karena dapat terangsang dalam waktu pendek, dalam beberapa menit sampai beberapa jam. Proses eliminasi nonspesifik ini tejadi tanpa restriksi Human Leukosit Antigen (HLA) yaitu dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NK-T. Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respons imun spesifik, yaitu dengan mengaktifasi sel limfosit T dan sel limfosit B. Aktivasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati dan pada permukaan dinding APC dan dibantu rangsangan sel T CD4+ yang sebelumnya sudah mengalami kontak dengan kompleks peptida VHB-MHC kelas II pada dinding APC. Peptida VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan menjadi antigen sasaran respons imun adalah peptida kapsid yaitu HbcAg atau HbeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada didalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya ALT atau mekanisme sitolitik. Di samping itu dapat juga terjadi eliminasi virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas IFN dan TNF yang dihasilkan oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik). Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan menyebabkan produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc, anti-Hbe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel VHB bebas dan mencegah masuknya virus kedalam sel. Dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHB bukan disebabkan gangguan produksi anti-HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B kronik ternyata dapat ditemukan adanya anti-HBs bersembunyi dalam kompleks dengan HbsAg.

Gb. Respon Imun Terhadap Hepatitis B Virus(Rubins, 2012).Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB dapat diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respons imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor virus ataupun faktor pejamu.

Faktor Virus, antara lain : terjadinya imunotoleransi terhadap produk VHB, hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya mutan VHB yang tidak memproduksi HbeAg, integrasi genom VHB dala genom sel hati. Faktor Pejamu, antara lain : faktor genetik, kurangnya IFN, kelainan fungsi limfosit- respons antiidiotipe, faktor kelamin atau hormonal. Infeksi virus HBV ini dibagi menjadi 2 macam yaitu akut hepatitis dan kronik hepatitis.a. Akut hepatitis BSebagian besar pasien dewasa banyak mengalami hepatitis akut. Hepatitis B menginfeksi dan mengalami masa inkubasi dalam waktu yang cukup lama. Gejala hepatitis B akan muncul setelah 2- 3 bulan paparan virus namun masa inkubasi bervariasi yaitu kurang dari 2 minggu hingga 6 bulan.b. Hepatitis B KronikSaat fase kronik pasien tidak terlihat sakit (tampak sehat) meski virus berada dalam tubuhnya. Infeksi kronik sulit untuk di kontrol karena template HBV sudah terintegrasi pada genome sel host. Pasien yang terdeteksi HbsAg dan HbcAg dan memiliki kadar titer serum HBV DNA lebih dari 6 bulan akan berkembang menjadi hapatitis B kronik. Sebetulnya hati mempunyai kemampuan untuk memperbaiki jaringan yang rusak, namun peradangan menahun oleh virus hepatitis B dapat mengakibatkan kerusakan permanen. Kerusakan permanen akan membuat jaringan parut pada hati yang dapat terjadi yang disebut karsinoma hepatoseluler. Ada 3 fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B Kronik yaitu fase imunotoleransi, fase imunoaktif atau fase immune clearence, dan fase nonreplikatif atau fase residual.

(Rubins, 2012).1. Fase toleransi sistem imun tubuh pada virusPada masa anak-anak atau pada masa dewasa muda, sistem imun tubuh toleran terhadap VHB sehingga konsentrasi virus dalam darah dapat sedemikian tingginya, tetapi tidak terjadi peradangan hati yang berarti. Dalam keadaan itu VHB ada dalam fase replikatif dengan titer HbsAg yang sangat tinggi, HbeAg positif, anti-Hbe negatif, titer DNA VHB tinggi dan konsentrasi ALT yang relatif normal. Fase ini disebut fase imunotoleransi.2. Fase imun tubuh dalam melawan virus (fase imunoaktif atau immune clearance)Sekitar 30% individu dengan persistensi VHB akibat terjadinya replikasi VHB yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Pada keadaan ini pasien mulai kehilangan toleransi imun terhadap VHB. Fase ini disebut fase imunoaktif atau immune clearance. Pada fase ini tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Pada fase imunoaktif serokonversi HbeAg baik secara spontan maupun karena terapi lebih sering terjadi. Sisanya, sekitar 70% dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel VHB tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti.3. Fase virus hepatitis B istirahat atau tidur. Pada fase imunoaktif titer HbsAg yang terukur rendah dengan HbeAg yang menjadi negatif dan anti-Hbe yang menjadi positif secara spontan, serta konsentrasi ALT yang normal, yang menandai terjadinya fase nonreplikatif atau fase residual. Sekitar 20-30% pasien Hepatitis B Kronik dalam fase residual dapat mengalami reaktivasi dan menyebabkan kekambuhan.

(Rubins, 2012).Hepatitis B kronik akan menyebabkan nekrosis sel dan inflamasi hati apabila lebih dari 6 bulan. Seseorang yang terinfeksi hepatitis B kronik memiliki resiko mengalami sirosis dan kanker hati. Hepatis sirosis merupakan penyakit kronik yang mengakibatkan kerusakan sel hati dan sel tersebut digantikan oleh jaringan parut yang disebut fibrosis sehingga terjadi penurunan jumlah sel hati yang normal. Laki- laki memiliki faktor resiko lebih besar daripada perempuan, selain itu juga beresiko dengan orang yang berumur lebih dari 40 tahun. Hepatis sirosis ini juga dapat memicu terjadinya kanker hati namun mekanisme patofisiologinya belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli mengatakan kemungkinan terjadinya kanker bisa secara langsung maupun tidak langsung.

(Zeng, 2015).C. Tanda dan GejalaKebanyakan penderita Hepatitis B akut tidak merasakan gejala yang khusus, gejalanya bisa dikatakan sama dengan Hepatitis A. Namun beberapa penderita ada yang merasakan beberapa gejala, dan umumnya gejala tersebut dapat dirasakan setelah 4-6 minggu paska infeksi dan gejala tersebut dapat terus berlanjut sampai beberapa minggu bahkan beberapa bulan berikutnya. Apabila setelah enam bulan tubuh tidak dapat mengendalikan infeksi HBV maka dapat muncul gejala Hepatitis B kronis. Gejala tersebut antara lain: a. demam b. sakit perut kanan-atasc. jaundice (kulit, kuku dan mata menguning) d. urine gelap, tinja berwarna gelap atau pucat e. mudah lelah, anoreksia, cemas, kebingungan dan malaise f. mual, muntah dan kejangg. hilang nafsu makanh. berat badan menurun (Dipiro, 2008).

Pada beberapa orang, virus Hepatitis B dapat menyebabkan infeksi liver kronis yang kemudian dapat berkembang menjadi Sirosis atau kanker hati.

D. Tes LaboratoriumHepatitis B dapat berkembang menjadi infeksi kronis/menahun jika setelah enam bulan tubuh tidak dapat mengatasi infeksi yang terjadi. Hal ini dapat meningkatkan resiko terjadinya kerusakan hati yang permanen (Sirosis) dan bahkan kanker hati. Virus Hepatitis B tidak merusak hati secara langsung, tetapi menyerang ke sistem kekebalan tubuh sehingga infeksi tersebut tidak memperlihatkan gejala yang nyata. Tes Hepatitis B dilakukan dengan tes darah yang bertujuan mencari antigen (pecahan virus hepatitis B) tertentu dan antibody (yang dibuat oleh system kekebalan tubuh sebagai reaksi terhadap HBV). Antigen dan antibody tersebut antara lain : Antigen HBsAg (antigen permukaan, atau surface hepatitis B) Antigen HBcAg (antigen core/inti dari HBV) Antibodi anti-HBs (antibody terhadap antigen permukaan/surface HBV) Antibodi anti-HBc (antibody terhadap antigen bagian inti, atau core HBV) Antibodi anti-HBe (antibody terhadap antigen envelope HBV) Selama fase infeksi kronis Hepatitis B terjadi, pada tes pengukuran darah terdapat serum DNA HBV yang tinggi dan juga terdapat HBeAg. Pada fase inilah tubuh berusaha untuk menyingkirkan HBeAg dengan cara membentuk antibody untuk HBeAg (Anti-HBe).(Dipiro, 2008).(Anna, 2009).

Terdapat berbagai kombinasi antigen dan antobodi yang berbeda, dan masing-masing kombinasi tersebut mempunyai arti sendiri. Bila HBeAg dapat terdeteksi dalam contoh darah, berarti bahwa virus masih aktif dalam hati (dan dapat ditularkan pada orang lain). Bila HBeAg adalah negatif dan anti-HBe positif, berarti virus tidak aktif. Namun hal ini tidak selalu benar. Beberapa orang dengan hepatitis B kronis terinfeksi dengan apa yang disebut sebagai precore mutant (semacam mutasi) HBV. Hal ini dapat menyebabkan HBeAg tetap negatif dan anti-HBe positif, walaupun virus tetap aktif dalam hati, sehingga pasien tersebut masih dapat menyebarkan virus.

Tes yang digunakan untuk mendiagnosa Hepatitis B :1. Tes Enzim HatiTes ini mengukur enzim AST (Aspartat aminotransferase) atau SGOT (Serum Glutamic Oksaloasetat transaminase) dan ALT (Alanin Aminotransferase) atau SGPT (Serum Glutamik Piruvik Transaminase). Tingkat enzim hati yang tinggi menandakan terjadinya suatu kerusakan pada hati. Pada Hepatitis B kronis, enzim hati terutama ALT meningkat secara berkala, Hal ini menunjukkan resiko kerusakan hati jangka panjang. Nilai normal kadar enzim AST untuk laki-laki adalah 6-34 IU/L dan wanita 20-40 IU/L, sedangkan nilai normal ALT adalah 20-60 IU/L.

2. HBV DNA AssaysPengujian ini berdasarkan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) amplification dengan batas terendah yang dapat terdeteksi adalah 50-200IU/mL (250-1000kopi/mL) dan batas dynamic range hingga 4-5 log10 IU / mL. Saat ini, tes DNA HBV yang memanfaatkan real-time teknologi PCR dikembangkan sehingga terjadi peningkatan sensitivitas (5-10 IU / mL) dan dynamic range yang lebih luas (sampai 8-9 log10 IU / mL). Penghitungan serum HBV DNA adalah cara yang digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan infeksi HBV kronis dan menilai efficacy pengobatan antivirus yang diberikan.Sebuah dilema besar dalam penafsiran tingkat serum HBV DNA adalah penentuan batas nilai yang digunakan untuk menentukan indikasi pengobatan. Karena HBV DNA tetap ada bahkan pada pasien yang sudah mengalami pemulihan serologi dari infeksi HBV akut, rendahnya tingkat HBV DNA tidak dapat dikaitkan dengan penyakit hati yang progresif dan pemberantasan virus merupakan suatu pengobatan yang realistis.Nilai dari HBV DNA yang ditetapkan sebagai kriteria diagnostik untuk Hepatitis B kronis pada konferensi NIH tahun 2000 adalah sebesar 20.000IU/mL (105 kopi/mL). Namun, hepatitis kronis, sirosis dan kanker hati ditemukan pada pasien dengan penurunkan kadar HBV DNA. Juga ditemukan pada beberapa pasien hepatitis B kronis dengan peningkatan kadar HBV DNA dari tidak terdeteksi sampai 2.000.000IU/mL. Dengan demikian, pemantauan secara periodik kadar HBV DNA lebih ditekankan untuk memastikan dan menangani sesegera mungkin. 3. Biopsi HatiTujuan dari tes biopsy hati adalah untuk melihat tingkat kerusakan hati (inflamasi hati). Tingkat enzim hati yang mengalami peningkatan secara terus menerus adalah tanda peradangan hati yang selanjutnya dapat berkembang menjadi jaringan parut yang kaku. Prinsip dari Biopsi adalah pengambilan potongan hati menggunakan jarum kecil, dimana potongan tersebut kemudian diperiksa dalam laboratorium. Biopsi hati ini menilai kerusakan hati dengan mengukur seberapa kaku atau lunaknya hati. (Anna, 2009).

Tes biopsi hati harus mempertimbangkan usia, kadar ALT, status HbeAg, tingkat HBV DNA, dan fitur klinis lainnya seperti penyakit hati kronis atau hipertensi portal. Tes ini hanya diusulkan untuk pasien dengan HBV DNA yang tinggi (>100.000 kopi) dan tingkat enzim hati yang tinggi, juga pada pasien sirosis.

E. Terapi Hepatitis B 1. Terapi farmakologis1. Hepatitis B akut Tujuan terapi hepatitis B akut adalah untuk meringankan gejala klinis yang ada, mempersingkat lamanya sakit, dan mencegah perkembangan penyakit yang lebih parah. Umumnya tidak diperlukan terapi obat khusus pada hepatitis B akut, namun cukup dengan terapi suportif untuk memperbaiki kondisi pasien. Terapi antivirus umumnya juga tidak dibutuhkan, karena pada pasien yang imunokompeten hepatitis B akut akan sembuh dengan sendirinya. Obat obat simptomatik dapat digunakan untuk membantu menghilangkan keluhan dan gejala klinis, misalnya untuk mengatasi nausea, anorexia, vomiting, demam, dan gejalagejala yang lain. Terapi antiviral diindikasikan bagi pasien dengan infeksi akut yang berkepanjangan dan berat. Terapi yang direkomendasikan adalah lamivudine atau telbivudine, jika tidak memungkinkan entenavir bisa digunakan. Sedangkan terapi dengan IFN tidak direkomendasikan karena terbukti tidak memeberikan efek. 1. Hepatitis B kronis Tujuan terapi hepatitis B kronis adalah untuk menekan replikasi virus hepatitis B dan untuk meringankan penyakit hepar, sehingga mencegah perkembangan penyakit menjadi sirosis, hepatic failure, dan hepatocellular carcinoma (HCC).

(Tang, C.M, 2014)First-line terapi pada hepatitis B kronis adalah PegIFN-, IFN-, entenavir, atau tenofovir. Terapi dengan interferon merupakan first-line terapi ketika pasien tidak mengalami sirosis.

(Liaw, 2012)

(Liaw, 2012)

(Liaw, 2012)

PerbandinganImmunomodulatorAnalog nukleosida

IFN-PegIFN-Thy-LAMADVETVTBFTDF

Rute pemberianscsc scpopoPopopo

Dosis 5-10 MIU, tiw180g, qw1,6mg, biw100mg, od10mg, od0,5-1 mg, od600mg, od300 mg, od

Lama terapi HbsAg (+)4-6 bulan12 bulan6 bulanMinimum 1 tahun, kemudian dilanjutkan 6 bulan samapi terjadi HBeAg serokonversi dan HBV DNA tidak terdeteksi

HbsAg (-)12 bulan12 bulan6 bulanLamanya terapi tidak jelas ketika HBsAg masih positif, terapi dapat dihentikan jika pasien telah diterapi selama 2 tahun dan menunjukkan HBV DNA tidak terdeteksi

Mekanisme Memodulasi sistem imun dan menghambat sintesis DNAMenghambat DNA polimerase

Efek samping Gejala seperti influenza (demam dan sakit kepala) depresi, mual, muntahJarang terjadiJarang terjadiNefrotoksisitiJarang terjadiJarang terjadiNefrotoksisiti

kontraindikasiWanita hamil, alergi, depresi berat, sirosis, dan penyakit autoimunPasien yang alergi terhadap obat bersangkutan

Resistensi pada treatment naive 1 thTidak tejadi resistensi, namun ada beberapa pasien yang tidak merespon terapi ini240040

2 th3830,2250

>5th80291N/A0

resistensi pada pasien yang resisten terhadap LAM2 thTidak tejadi resistensi, namun ada beberapa pasien yang tidak merespon terapi iniN/A259N/A0

4 thN/AN/A39N/A0

PegIFN : pegylated intereron, sc : subkutan, po : peroral, tiw : three times a week, qw : once a week, biw : twice a week, od : once daily, ALT : alanine transaminase, LAM : lamivudine, ADV : adefovir, ETV : entenavir, TBF : telbivudine, TDF : tenofovir, N/A : not applicable

Pasien dengan terapi analog nukleosida yang mengalami penurunan fungsi ginjal perlu dilakukan penyesuaian dosis berdasarkan nilai clearance creatinin, yaitu :

(Lok, 2009)Terapi pada pasien hepatitis B dengan HBeAg positif menunjukkan bahwa terapi dengan menggunakan PegIFN 180g/minggu selama 48 minggu dapat menurunkan level HBV DNA sebanyak 25% dibandingkan dengan kontrol. Jika digunakan terapi entenavir 0,5mg/hari selama 48 minggu dapat menurunkan level HBV DNA sebanyak 67% dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan terapi dengan menggunakan tenofovir 300mg/hari selama 48 minggu dapat menurunkan level HBV DNA sebanyak 76% dibandingkan dengan kontrol (Lihat tabel 8).Terapi pada pasien hepatitis B dengan HBeAg negatif menunjukkan bahwa terapi dengan menggunakan PegIFN- 180g/minggu selama 48 minggu dapat menurunkan level HBV DNA sebanyak 63% dibandingkan dengan kontrol. Jika terapi yang digunakan adalah entenavir dengan dosis 0,5mg/hari selama 48 minggu dapat menurunkan level HBV DNA sebanyak 90% dibandingkan degan kontrol. Sedangkan jika menggunakan tenofovir 300mg/hari selama 48 minggu dapat menurunkan level HBV DNA sebanyak 93% dibandingkan dengan kontrol (lihat tabel 9).

Alternatif terapi : 1. Emtricitabine (Emtriva, FTC), merupakan inhibitor replikasi HIV dan HBV yang poten. Namun monoterapi emtricitabine ini tidak direkomendasikan, karena resiko resistensi sangat tinggi. Dosis yang digunakan adalah 300mg/hari. 1. Clevudine (LFMAU, 2_-fluoro-5-methyl-beta-Larabinofuranosyl uracil), analog nukleosida pirimidin yang terbukti mampu menekan replikasi HBV. Dosis yang digunakan adalah 30mg/hari. 1. Thymosin-1, dapat menstimulasi fungsi sel T, namun masih sedikit studi yang menunjukkan efikasi penggunan thymosin-1 pada pasien dengan hepatitis b kronik.

Penanganan terapi pada pasien yang mengalami resistensi pada beberapa terapi, yaitu : (Lok, 2009).Terapi kombinasi Keuntungan dengan penggunaan terapi kombinasi antara lain efek antiviral yang sinergis dan menurunkan resiko resistensi. Sedangkan kerugiannya antara lain, menambah biaya, ada resiko interaksi obat, dan meningkatkan toksisitas. Berdasarkan tabel 5, maka terapi kombinasi kurang direkomendasikan, karena aktifitas antiviral yang dimiliki tidak berbeda signifikan dengan monoterapi masing-masing obat. Namun pada kombinasi antara lamivudine dan adevofir dapat menurunkan resiko resistensi terhadap lamivudine dibandingkan dengan monoterapi lamivudine. Begitu pula dengan kombinasi antara lamivudine dan PegIFN- dapat menurunkan resiko resistensi terhadap lamivudine dibandingkan dengan monoterapi lamivudine (lihat tabel 5).

Terapi pada populasi khusus Terapi pada pasien dengan HCCTerapi pada pasien dengan HCC yaitu dengan menggunakan IFN standar. Namun pada beberapa studi yang penggunaan IFN pada terapi ini menunjukkan hasil yang tidak berbeda signifikan jika dibandingkan dengan kontrol, maka penggunaan IFN pada kondisi ini perlu di evaluasi kembali. Terapi lalin yang bisa digunakan adalah lamivudine dan entenavir.Terapi pada anak-anakTerapi lamivudine mulai dapat digunakan untuk anak-anak diatas 3 tahun dengan dosis 3mg/kg/hari dengan dosis maksimal 100mg/hari. IFN pada usia 1 tahun dengan dosis 6MU tiga kali seminggu, dengan maksimal dosis 10MU. Sedangkan terapi dengan adefovir dapat digunakan anak-anak pada usia 12 tahun atau lebih, dan entenavir pada usia 16 tahun atau lebih. Untuk PegIFN- dan telbifudine belum dapat dipastikan efektifitas dan keamanannya bila digunakan pada anak-anak. Terapi pada wanita hamil.Terapi dengan PegIFN maupun IFN kontraindikasi pada wanita hamil karena memiliki sifat antiproliferatif yang dapat menyebabkan teratogenik. telbivudine dan tenofovir termasuk dalam kategori B. Sedangkan adefovir, lamivudine, dan entecavir termasuk obat dalam kategori C pada wanita hamil yang berarti obat tersebut tidak direkomendasikan pada wanita hamil. Terapi pada HBV/HCV coinfectionBerdasarkan studi kombinasi terapi anatar PegIFN- dan ribavirin memiliki efektifitas yang sama ketika digunakan pada terapi infeksi HCV dan HBV/HCV coinfection. Terapi pada HBV/HDV coinfectionTujuan terapinya dalah menekan replikasi virus HDV, terapi yang digunakan adalah IFN- atau PegIFN-Terapi pada HBV/HIV coinfection First-line terapi pada kondisi ini adalah kombinasi anatara tenofovir dan lamivudine atau kombinasi tenofovir dan emtricitabine. 1. Terapi non farmakologis 1. Pasien disarankan untuk kontrol ke dokter dan berkonsultasi jika hendak menggunakan obatobatan lain, seperti obat herbal ataupun obatobat non resep. 1. Menghindari konsumsi alkohol dan tidak merokok karena dapat meningkatkan resiko perkembangan penyakit hepar1. Tirah baring, sebagian besar penderita hepatitis B tidak perlu rawat inap di rumah sakit kecuali pada kasus hepatitis yang sudah parah, dengan istirahat yang cukup akan menjamin tubuh untuk memperbaiki selsel yang rusak1. Menjaga keseimbangan nutrisi termasuk jika perlu pergantian cairan, seperti infus yang hilang karena muntah atau diare.Pencegahan hepatitis B1. Vaksinasi Vaksinasi pencegahan hepatitis b ini sebaiknya diberikan sedini mungkin. Vaksinasi Pencegahan Hepatitis B bisa langsung diberikan pada kelompok masyarakat yang memiliki resiko tinggi untuk tertular virus hepatitis B (VHB). Bagi mereka yang memiliki resiko tinggi tertular hepatitis B harus degera diberikan vaksin hepatitis B. sedangkan pada bayi yang baru lahir dengan ibu positif hepatitis B harus segera diberikan hepatitis B immune globulin (HBIG).1. Tidak menggunakan barang secara bersama Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara tidak menggunakan barang secara bersama, khususnya alat-alat kebersihan yang dapat menyebabkan luka, antara lain seperti pisau cukur, gunting kuku, sikat gigi, dan lain sebagainya. Ataupun penggunaan jarum suntik bersamaan atau tidak steril juga perlu dihindari. 1. Melakukan hubungan seks yang sehat dan aman Melakukan hubungan seks dengan banyak pasangan dan berganti-ganti dapat meningkatkan resiko tertular hepatitis B. Jika salah satu pasangan terinfeski hepatitis B maka sang pria wajib menggunakan kondom saat berhubungan intim untuk menghindari resiko penularan hepatitis b.1. Hindari kontak dengan darahKontak dengan darah perlu dihindari atau diwaspadai karena salah satu media yangdapat menularkan virus ini adalah darah. 1. Meningkatkan pemantauan dan perawatan yang tepat bagi ibu hamil denganhepatitis B kronisPre-natal immunoprophylaxis penting sekali dilakukan sebagai cara pencegahan hepatitis B dari ibu ke bayi yang baru dilahirkan. Jika bayi dilahirkan oleh seorang ibu yang diketahui menderita heptitis b, bayi harus menerima HBIG waktu lahir atau dalam 12 jam kelahiran.(Lok, 2009)

F. Contoh Kasus dan PenyelesaianA. Kasus IIdentitas Pasien1. Nama: Deni2. Usia: 50 tahun3. Pasien menolak untuk rawat inap dan diketahui bahwa pasien juga merupakan perokok aktif

Hasil Tes Laboratorium1. HBsAg (+)2. HBeAg (-)3. Serum ALT 75 int.unit/L (Harga Normal 40 int.unit/L)4. Mengalami hepatitis kronik dengan bridging fibrosis pada biopsy

Terapi yang diberikan:PegInterferon alfa, diberikan secara subcutan dengan dosis 5 MU dalam satu hari, selama 15 minggu. Setelah diberikan selama 2 minggu pasien mengalami demam, diare, dan sakit kepala yang tidak tertahankan. Penyelesaian:PegInterferon alfa sebenarnya dapat pula digunakan untuk menangani pasien dengan kasus ini, namun harus diberikan pengawasan (mengingat dalam kasus ini pasien mengalami bridging fibrosis.) Penggunaan PegInterferon alfa selama 15 minggu kurang tepat. Sebaiknya terapi ini dilakukan setidaknya 48 minggu (menurut National Institute for Health and Care Treatment Guideline) untuk menghindari resiko sirosis. Penggunaan terapi kombinasi entecavir dan tenofovir dapat pula diberikan sebagai second line terapi. Terapi nonfarmakologis dapat dilakukan dengan menghindari merokok dan menjaga keseimbangan elektrolit saat mengalami diare.B. Kasus IIIdentitas Pasien:1. Nama: Dodi2. Umur: 22 tahunHasil laboratorium:1. HBsAg (+)2. HBeAg (+)3. Anti-HBe (-)4. HBV DNA 71,5 juta copy/ml (nilai normal 14 juta copy/ml)5. ALT 20-30 int.unit/L (upper limit of normal 40 int.unit/L) Hasil biopsi hati normalTerapi yang digunakan:INF alfa 3x seminggu, lama terapi: 48 minggu dosis 10 MUPenyelesaian:Dalam kasus ini perlu adanya pertimbagan khusus apakah pasien akan mendapatkan terapi antivirus ataupun tidak. Walaupun level HBV DNA tinggi, namun pasien masih dikategorikan dalam usia muda, selain itu tidak ditemukan adanya inflamasi pada hasil biopsy. Serum ALT-pun masih dalam range normal. Meskipun sebenarnya terapi antivirus dapat menurunkan serum HBV DNA pada pasien, namun tidak terdapat evidence yang menyatakan bahwa mengobati pasien dapat meningkatkan outcome, dan pasien harus melaksanakan terapi ini selama beberapa tahun hingga 1 dekade untuk mendapatkan efek terapi. Tidak dipungkiri juga akan memicu adanya resistensi obat. Dimungkinkan pula pasien akan mengalami perubahan HBeAg dalam beberapa tahun kedepan. Oleh karena itu disarankan agar pasien melakukan pengecekan serum ALT setiap 3-6bulan. Jika dalam kurun waktu tersebut nilai ALT menjadi 2x lipat dari nilai normal, maka monitoring dan terapi pemberian INF bisa dilakukan.

Lampiran (Tang, 2014) (Lok, 2009) (Lok, 2009)

Daftar PustakaDipiro, Joseph T, 2008, Pharmacotherapy A Phathophysiologic Approach, Seven Edition, USA, The McGraw-Hill Companies, Inc., pp. 678-680.Dipiro, Joseph T, 2008, Pharmacotherapy A Phathophysiologic Approach, Seven Edition, USA, The McGraw-Hill Companies, Inc., pp. 678-680.http://penyakithepatitisb.com/pengobatan-hepatitis-b-kronik/ , diakses tanggal 15 Februari 2015http://penyakithepatitisb.com/pengobatan-hepatitis-b-kronik/, diakses tanggal 14 Februari 2015http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf, diakses tanggal 14 Februari 2015http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pdf , diakses tanggal 14 Februari 2015http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3047495/table/T1/, diakses tanggal 14 Februari 2015http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3047495/table/T1/, diakses tanggal 18 Februari 2015http://www.uptodate.com/contents/overview-of-the-management-of-hepatitis-b-and-case-examples, Wolter Cluwer Update, diakses 13 Februari 2015 http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs204/en/ , diakses tanggal 11 Februari 2015Liaw, Y.F., et.al., 2012, Guideline ; Asian-Pacific Consensus Statement on the Management of Chronic Hepatitis B: a 2012 Update, 6, Asian Pacific Association for the Study of the Liver, Jepang, pp. 531 -561.Lindseth, Glenda N. Gangguan Gangguan Hati, Empedu, Dan Pankreas. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Vol.1. Jakarta: EGC. hal. 485-493Lok, A.S.F., McMahon, B.J., 2009, Chronic Hepatitis B: Update 2009, AASLD Practice Guidelines, USA, pp. 1-38. Rubins, 2012, Pathology : Clinicopathology Foundations of Medicine, Sixth Edition, Philadelpia, Lippincott Williams & Wilkins, pp. 698-701.Sanityoso A, dkk., 2009, Hepatitis Virus Akut, Hepatitis B Kronik. Ed. V. Jilid.1. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. h. 427-39Sherman, M., et.al., 2007, Management of Chronic Hepatitis B : Consensus Guideline, Asian Pacific Association for the Study of the Liver, 21, Can J Gastroenterol, Canada, pp. 5-24. Soemoharjo Sowignyo, 2007, Hepatitis Virus B, Edisi 2, Jakarta ,Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal 35-37.Tang, C.M., Yau, T.O., and Yu, J., 2014, Management of Chronic Hepatitis B Infection: Current Treatment Guidelines, Challenges, and New Developments, 20(20), World Journal of Gastroenterology, 6262-6290.www.aasld.org/sites/default/files/guideline_documents/ChronicHepatitisB2009.pdf , diakses tanggal 12 Februari 2015