penanganan hepatitis b kronis
DESCRIPTION
hepatitis bTRANSCRIPT
-
PENANGANAN HEPATITIS B KRONIS
Siti Nurdjanah Subbagian Gastroentero-hepatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
PENDAHULUAN
Virus Hepatitis B (VHB) merupakan penyebab dari 80% kasus kanker hati
primer di dunia, yang merupakan satu dari tiga penyebab kematian yang paling sering
ditemui di Asia, daerah Pasifik, dan Afrika. Indonesia merupakan salah satu negara
dengan prevalensi infeksi VHB tinggi. Pada tahun 1994, 4,6% seluruh populasi di
Indonesia positif HBsAg, 21% diantaranya HBeAg positif, dan 73% anti HBe positif.
Empat puluh empat persen pasien sirosis di Indonesia positif HBsAg, sedangkan 45%
pasien kanker hati dengan HBsAg positif (Merican et al., 2000; Sulaiman, 2006).
Tujuan ideal terapi untuk pasien yang terinfeksi VHB adalah eliminasi virus.
Sayangnya dengan terapi yang ada saat ini tersedia hal ini jarang tercapai. Tujuan untuk
terapi HBK adalah untuk memperlambat progresi fibrosis menjadi sirosis, untuk
mencegah hepatic failure, dan mencegah perkembangan menjadi kanker hati (Worman,
2003; Osborn and Lok, 2006).
Perkembangan obat maju sangat pesat dalam dekade terakhir untuk terapi HBK.
Terdapat 6 terapi yang saat ini disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk
terapi hepatitis B pada dewasa, meliputi : interferon alfa-2b; lamivudin; adevovir
dipivoxil; entecavir; pegylated interferon alfa-2a; dan antiviral oral telbivudine yang
baru-baru saja disetujui. Pilihan-pilihan ini dengan cepat bertambah banyak dan dengan
demikian algoritme rekomendasi terapi dengan cepat bisa berubah (Pokros, 2006; Tran,
-
2
2006). Bagaimana tatalaksana infeksi hepatitis B kronis ini akan dikemukakan di sini
beserta hasil konsensus dari perhimpunan peneliti hati Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Perjalanan Penyakit
Sembilan puluh lima persen individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan
tetap HbsAg positif sepanjang hidupnya dan menderita Hepatitis B Kronik (HBK),
sedangkan hanya 5% individu dewasa yang mendapat infeksi akan mengalami persistensi
infeksi. Persistensi VHB menimbulkan kelainan yang berbeda pada individu yang
berbeda, tergantung dari kadar partikel VHB dan respon imun tubuh. Interaksi antara
VHB dengan respons imun tubuh terhadap VHB sangat besar perannya dalam
menentukan derajat keparahan hepatitis (Soemohardjo and Gunawan, 2006).
Sumber: Martin et al. 2006
Gambar 1. Perjalanan alamiah infeksi VHB
-
3
Tersedianya pemeriksaan DNA VHB yang lebih baik dan pemahaman yang
lebih baik mengenai genom VHB, siklus replikasi virus dan respons imun penjamu telah
merubah pemahaman konsep perjalanan alami penyakit infeksi kronik VHB dari
pembagian 2 atau 3 fase di pertengahan tahun 1980an menjadi 4 fase pada saat ini.
Keempat fase tersebut adalah : immune tolerance, immune clearance, inactive HBsAg
carrier state, reactivation of HBV replication/HBe-negative chronic hepatitis B.
Pasien yang berada pada fase immune tolerance, meskipun terapi antiviral pada
fase ini efektif untuk menekan replikasi VHB, terapi tidak meningkatkan kecepatan
hilangnya HBeAg sehingga tidak direkomendasikan. Pasien-pasien yang mengalami
kenaikan ALT di kemudian hari mungkin terdapat keuntungan jika diterapi. Pada fase
immune clearance dengan HBsAg positif direkomendasikan untk diobservasi selama 3-6
bulan dan memulai terapi hanya jika tidak ada serokonversi HBeAg spontan, kecuali
kemudian timbul jaundice atau dekompensasi pada pasien. Titik akhir terapi adalah
serokonversi HBeAg (Osborn and Lok, 2006).
Pada fase inactive terapi anti viral tidak memberikan keuntungan, tetapi
monitoring seharusnya diteruskan karena sampai 20% pasien akan mengalami replikasi
VHB sesudahnya. Pasien dengan HBeAg negatif HBK, tujuan terapi adalah untuk supresi
secara menetap DNA VHB dan normalisasi enzim hati. Pasien dengan kadar ALT
-
4
Sumber : Lok and Mc Mahon, 2007
Gambar 2. Algoritma Follow up VHB karier dengan HBeAg-positif (A)
Atau HBeAg-negatif (B)
Pada gambar 2 menunjukkan follow up VHB karier dengan stautus HbeAg untuk
penanganan selanjutnya.
Tujuan terapi HBK adalah untuk mencapai supresi yang menetap terhadap
replikasi VHB dan remisi penyakit hati. Tujuan utama adalah untuk mencegah sirosis,
hepatic failure, dan kanker hati. Pada konferensi NIH tahun 2000 dan 2006 tentang
manajemen Hepatitis B diajukan bahwa respon terhadap anti viral HBK dapat
-
5
dikategorikan sebagai biokimia (BR), virologi (VR), atau histologi (HR), dan dalam
terapi atau setelah terapi (Lok and McMahon, 2007).
Saat ini terdapat 2 pendekatan terapi standar untuk HBK, meliputi:
1. Terapi berbasis analog nucleosid, yang diklasifikasikan dalam 3 kelompok berdasar
strukturnya, yaitu L-nucleosides (lamivudine, emtricitabin, telbivudine dan clevudin),
acyclic phosphonates (adenovir, tenofovir, pradefovir) dan cyclopentane/pentane ring
(entecavir, carbovir, abacavir).
2. Terapi berbasis Interferon-alfa konvensional, menggunakan Interferon alfa-2b atau
peginterferon alfa-2a.
Terapi-terapi ini menggambarkan 2 pendekatan yang berbeda untuk terapi
infeksi HBK. Regimen anti viral menggunakan analog nucleosid biasanya merupakan
regimen jangka panjang untuk mempertahankan remisi dengan viremia rendah dan
normalisasi ALT, karena obat ini hanya sedikit mempengaruhi pemulihan respon imun
host terhadap virus. Hal ini ditunjukkan dengan lambatnya serokonversi eAg dan sAg
dengan terapi analog nucleosid. Terapi ini bertujuan untuk menekan replikasi virus untuk
memungkinkan resolusi nekro inflamasi hepar, asalkan virus tidak mempunyai resistensi
terhadap bahan yang tersedia. Sebaliknya dengan menggunakan terapi yang menstimulasi
imunitas berbasis IFN-, jangka terapi lebih singkat, dan 33-37% pasien mencapai
HBeAg loss dengan normalisasi kadar ALT dan viremia DNA VHB rendah. Tujuan
terapi ini untuk memperbaiki respon imun untuk mengendalikan virus sehingga
perkembangan nekro inflamasi dan fibrosis terhenti atau keparahannya menurun dan
HCC dapat dicegah (Lau et al., 2006; Liang et al., 2006).
-
6
Terdapat 6 terapi yang saat ini disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk terapi hepatitis B pada dewasa, meliputi : interferon alfa-2b; lamivudin;
adevovir dipivoxil; entecavir; pegylated interferon alfa-2a; dan antiviral oral telbivudine
yang baru-baru saja disetujui (Tran, 2006).
INTERFERON ALFA
Interferon merupakan terapi pertama yang disetujui untuk infeksi HBK.
Interferon (IFN) memiliki efek anti virus, anti proliferatif dan imunomodulator. Telah
ditunjukkan bahwa IFN- efektif dalam menghambat replikasi VHB dan menyebabkan
remisi penyakit hati. Akan tetapi efikasinya terbatas pada sebagian kecil pasien (Loka,
2006; Lok and McMahon; 2006).
53% pasien yang diterapi dibanding 17% kontrol (p
-
7
HBeAg (+) HBK. Pemberian interferon 4,5 MU atau 5 MU seminggu 3 kali selama 4-6
bulan dapat efektif pada orang Oriental (Asia) tetapi angka keberhasilan sedikit lebih
rendah dibanding orang Kaukasia (Eropa). Terdapat bukti bahwa pengobatan selama 12
bulan dapat memperbaki angka serokonversi HBeAg (Setiawan, et al., 2006; Lok and Mc
Mahon, 2007).
PEGYLATED INTERFERON a-2a
Pegylated interferon adalah interferon yang dipegilasi. Sama seperti
interferon , PegIFN- memiliki mekanisme kerja ganda yaitu sebagai imunomudulator
dan anti virus. Sebagai imunomodulator, PegIFN- akan mengaktifasi makrofag, sel
natural killer (NK) dan limfosit T sitotoksik serta memodulasi pembentukan antibodi
yang akan meningkatkan respon imun host untuk melawan VHB. Sedangkan aktivitas
anti virus dilakukan dengan menghambat replikasi VHB secara langsung melalui aktivasi
endo-ribonuclease, elevasi protein kinase dan induksi 2,5-oligodenylate synthetase.
PegIFN- memiliki keuntungan pemberiannya yang lebih menyenangkan dan supresi
virus lebih menetap. Penelitian klinis menyatakan bahwa efikasi PegIFN- mirip atau
lebih baik dibanding IFN- standar (Setiawan, et al., 2006; Lok and McMahon, 2007).
LAMIVUDINE
Lamivudine adalah analog nukleosida yang menghambat sintesis DNA VHB.
Lamivudine monoterapi efektif menghambat replikasi VHB dan memperbaiki penyakit
hati pada pasien dengan HBeAg (+) dan juga pada pasien HBeAg (-) HBK (Lokb, 2006;
Osborn and Lok, 2006).
Problem pada terapi lamivudine adalah munculnya resistensi obat. Setelah 6-9
bulan terapi lamivudine, mutan VHB yang resisten terhadap lamivudine mulai muncul.
-
8
Spesies VHB ini telah melakukan mutasi pada gen polimerase, sehingga disebut mutasi
YMDD. Resistensi ini dapat dideteksi pada 14%-32% setelah terapi lamivudine 1 tahun,
dan meningkat sesuai durasi terapi sampai 60%-70% setelah 5 tahun terapi. Faktor yang
berhubungan dengan peningkatan resistensi lamivudine termasuk lamanya terapi,
tingginya kadar DNA VHB serum sebelum terapi. Munculnya resistensi ini seharusnya
dicurigai pada pasien dengan timbul kembali infeksi, dimana DNA VHB muncul kembali
setelah sebelumnya sempat menghilang. Virologic breakthrough biasanya diikuti
biochemical breakthrough (peningkatan ALT setelah normalisasi) dan pada beberapa
pasien mungkin timbul eksaserbasi akut dan yang meskipun jarang dekompensasi hati
dan kematian (Lokb, 2006; Setiawan, et al., 2006; Lok and McMahon, 2007).
Lamivudine diberikan per oral dengan dosis 100 mg perhari. Reduksi dosis
diperlukan pada pasien dengan insufficiency renal (creatinin clearance
-
9
ADEFOVIR DIPIVOXIL
Adefovir Dipivoxil adalah nukleosida analog dari adenosine monofosfat.
Adefovir Dipivoxil bekerja menghambat VHB polymerase dengan berkompetisi langsung
dengan substrat endogen deoksiadenosin trifosfat dan setelah berintegrasi dengan DNA
VHB sehingga pembentukan rantai DNA VHB terhenti (Setiawan, et al., 2006).
Penelitian menunjukkan bahwa adefovir efektif dan aman, dan juga efektif
dalam menekan VHB dengan mutasi YMDD. Tidak adanya potensi adefovir untuk
berkembang menjadi resisten disebabkan karena eratnya hubungan struktural dengan
substrat alami sehingga membatasi potensi untuk menjadi steric hindrance yang
merupakan mekanisme terjadinya resistensi (Setiawan, et al., 2006).
Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan adefovir pada dewasa dengan fungsi
ginjal normal adalah 10 mg perhari peroral. Interval pemberian harus dinaikkan pada
pasien dengan renal insufficiency. Pada pasien HBeAg (+) HBK, terapi dihentikan jika
telah terjadi serokonversi HBeAg dan telah diterapi konsolidasi selama 6 bulan secara
lengkap. Terapi dapat diteruskan pada pasien yang tidak mencapai serokonversi HBeAg
tapi kadar DNA VHB tetap tersupresi. Pada pasien HBeAg (-) HBK, terapi diteruskan
(lebih dari 1 tahun) diperlukan untuk memelihara respon (Lok and McMahon, 2007).
ENTECAVIR
Entecavir adalah analog nukleosida, menghambat replikasi VHB melalui tiga
jalur yaitu priming polimerase DNA VHB, negative strand synthesis, dan positive strand
synthesis, dengan demikian produksi double stranded viral DNA akan sangat menurun.
Pada penelitian in vitro menunjukkan bahwa entecavir lebih manjur dibanding
-
10
lamivudine dan edefovir dan lebih efektif terhadap mutan VHB resisten lamivudine
(Setiawan, et al., 2006; Lok and McMahon, 2007).
Dosis yang disetujui untuk pasien yang belum pernah diterapi adalah 0.5 mg
peroral perhari, dan untuk pasien yang resisten/refrakter terhadap lamivudine diberikan 1
mg peroral sekali sehari. Entecavir memiliki profil keamanan yang sama seperti
lamivudin pada uji klinis (Lok and Mcahon, 2007).
L-deoxythymidine (Telbivudine/LdT, Tyzeka)
Telbivudine adalah analog nukleoside dengan aktivitas in vitro yang poten
melawan VHB. Penelitian klinik menunjukkan bahwa telbivudine lebih poten dari pada
lamivudine dalam menekan replikasi VHB. Meskipun demikian angka resistensinya
tinggi dan mutasi telbivudine terkait resistensi terdapat cross-resistan terhadap
lamivudine. Meskipun demikian, telbivudine monoterapi memiliki peran terbatas pada
terapi hepatitis B (Lok and McMahon, 2007).
Dosis yang disetujui untuk telbivudine adalah 600 mg sekali sehari. Telbivudine
ditoleransi dengan baik dan memiliki profil keamanan yang sama dengan lamivudine.
Durability setelah terapi hilangnya HBeAg atau serokonversi adalah >80%(Lai et al.,
2006; Lok and McMahon, 2007).
-
11
Tabel.1. Respon terapi antiviral pada diantara pasien dengan HBeAg (+) HBK
Sumber : Lok and McMahon, 2007
Tabel.2. Respon terapi antiviral pada diantara pasien dengan HBeAg (-) HBK
Sumber : Lok and McMahon, 2007
Terapi Kombinasi
Manfaat potensial terapi kombinasi adalah efek antiviral tambahan atau
sinergistik, dan bisa menurunkan atau memperlambat resistensi. Kurangnya manfaat dari
terapi kombinasi adalah adanya biaya tambahan, meningkatkan toksisitas dan interaksi
obat. Berbagai kombinasi terapi telah dievaluasi; hingga kini, tidak ada terapi kombinasi
-
12
yang terbukti superior dibandingkan monoterapi dalam menginduksi sustained respon
yang lebih tinggi. Meskipun beberapa terapi kombinasi ditunjukkan untuk menurunkan
angka resistensi lamivudin dibandingkan dengan monoterapi lamivudin, tidak ada data
yang mendukung bahwa terapi kombinasi akan menurunkan laju resistensi senyawa
antiviral yang memiliki risiko resistensi obat rendah ketika digunakan tunggal (Lok and
McMahon, 2007). Penelitian yang sudah dilakukan lamivudin dikombinasi dengan
Interferon, adefovir atau telbivudin.
Rekomendasi untuk Terapi Hepatitis B Kronik
Terapi terkini HBK tidak mengeradikasikan virus hepatitis B dan efikasi jangka
panjangnya terbatas. Sehingga, pertimbangan secara hati-hati dari umur pasien,
keparahan penyakit hepar, kemungkinan respon dan potensial efek samping dibutuhkan
sebelum terapi dimulai. Karena fluktuasi infeksi hepatitis B virus kronik, risiko
morbiditas dan mortalitas terkait hepar dan kemungkinan respons bisa bervariasi sesuai
progresi pasien. Sehingga monitoring berkelanjutan adalah penting untuk penilaian risiko
(Lok and Mc Mahon, 2007).
Dalam memilih agen antiviral mana yang digunakan sebagai terapi lini pertama,
pertimbangan harus diberikan untuk keamanan dan efikasi terapi, risiko dari resistensi
obat, biaya terapi (pengobatan, monitoring tes dan kunjungan klinik). Pemberian IFN-
standar dan khususnya pegIFN- menunjukkan hasil sustained response yang lebih
tinggi, namun kedua obat ini mempunyai efek samping yang lebih banyak dan
memerlukan pengawasan yang lebih ketat dan kontra indikasi pada keadaan
dekompensasi hati. Meskipun efikasinya tidaklah berbeda secara substansial, pegIFN-
mungkin lebih disukai untuk menggantikan IFN- standar karena jadwal dosisnya yang
-
13
lebih nyaman. Lamivudine digunakan terutama bila didapatkan tanda-tanda
dekompensasi hati. Adefovir dipifoxil dapat dipilih atas dasar resistensinya yang rendah,
dan bermanfaat pada penderita yang mengalami mutan akibat pengobatan lamivudine.
Entecavir mempunyai daya supresi DNA VHB yang sangat kuat dan belum menunjukkan
adanya tanda resistensi (dalam waktu 2 tahun). Terakhir, ketika terapi kombinasi
tampaknya menjadi pendekatan yang lebih logis, tidak ada satupun kombinasi regimen
yang diujikan lebih superior hingga kini. Pasien yang mendapatkan terapi IFN-
seharusnya dimonitor hitung darah dan fungsi hepar setiap 4 minggu, HBV DNA setiap
12 minggu dan jika awalnya HBeAg positif, HBeAg/antiHBe setiap 24 minggu selama
terapi. Hitung darah, fungsi hepar, TSH dan HBV DNA dan jika awalya HBeAg positif,
HBeAg/anti Hbe harus dites setiap 12 minggu selama 24 minggu pertama setelah terapi.
Pasien yang mendapatkan terapi analog nukleosida harus dimonitor fungsi hepar setiap
12 minggu dan kadar HBV DNA setiap 12-24 minggu, dan jika awalnya HBeAg positif
HBe/anti HBe setiap 24 minggu selama terapi. Sebagai tambahan, serum kreatinin harus
dimonitor setiap 12 minggu untuk pasien yang mendapatkan adefovir. HBsAg seharusnya
dites setiap 6-12 bulan pada pasien dengan HBeAg negatif dengan serum HBV DNA
yang tidak terdeteksi secara persisten (Setiawan, et al., 2006; Lok and Mc Mahon, 2007).
-
14
Tabel. 4. Perbandingan terapi pada Hepatitis B Kronik
Sumber : Lok and McMahon, 2007
RINGKASAN
Hepatitis B kronik berkaitan dengan progresi penyakit dan risiko karsinoma
hepatoselular. Terapi antiviral yang berhasil dapat memperbaiki derajat fibrosis,
menurunkan insidensi fibrosis dan karsinoma hepatoselulare dan memperpanjang lama
hidup.
Terdapat 6 terapi yang saat ini disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk terapi hepatitis B pada dewasa, meliputi : interferon alfa-2b; lamivudin;
adevovir dipivoxil; entecavir; pegylated interferon alfa-2a; dan antiviral oral telbivudine .
Dalam memilih agen antiviral mana yang digunakan sebagai terapi, pasien dan dokternya
harus mempertimbangkan keamanan dan efikasi terapi, risiko dari resistensi obat, biaya
terapi (pengobatan, monitoring tes dan kunjungan klinik).
-
15
Daftar Pustaka
Hadziyannis, S.J., Tassopoulos, N.C., Heathcote, E.J.,Ting-Tsung Chang, T.,Kitis, G.,
Rizzetto, M., Marcellin, P., Lim, S.G., Goodman, Z., Ma, J., Arterburn, S., Xiong, S., Currie, G., Brosgart, C.L. 2005. Long-Term Therapy with Adefovir Dipivoxil for HBeAg-Negative Chronic Hepatitis B. N Engl J Med, 352(26): 2673-81
Keeffe, E.B., Ghany, M., Craig, M.A., King, E., Schirf, D.J., Schulz, J. 2006. Update on The Management of HBV. Clinical Care Options Hepatitis. Postgraduate Institute for Medicine and Clinical Care Options, LLC
Lai, C-L., Gane, E., Hsu, C-W., Thongsawat, S., Wang, Y., Chen ,Y., Heathcote, E.J., Rasenack, J., Bzowej, N., Naoumov, N., Zeuzem, S., Di Bisceglie,A., Chao, G.C., Constance, B.F., Brown N.A. 2006. Two-Year Results from the GLOBE Trial in Patients with Hepatitis B: Greater Clinical and Antiviral Efficacy for Telbivudine (LdT) vs Lamivudine.AASLD Annual Meeting, Boston
Lau, G.K.K., Craig, M., Schulz, J., King, E., Louie, K. 2006. Natural History of Chronic HBV Infection in Patients Receivng Anti-HBV Therapy. Clinical Care Options Hepatitis. Postgraduate Institute for Medicine and Clinical Care Options, LLC
Liang, T.J., Craig M., Schulz J., King E., Louie K. 2006. Summary of Mutations Associated With Resistance to HBV Drugs. Clinical Care Options Hepatitis. Postgraduate Institute for Medicine and Clinical Care Options, LLC
Loka, A.S.F. 2006. Standart and Pegylated Interferon for Chronic hepatitis B virus infection. UpToDate. 14.2
Lokb, A.S.F. 2006. Lamivudine monotherapy for chronic hepatitis B virus infection. UpToDate. 14.2
Lok, A.S.F., McMahon, B.J. 2007. AASLD Practice Guidelines: Chronic Hepatitis B. Hepatology, 45(2):507-532
Martin P., Craig M., Schulz J., King E., Louie K., 2006 Natural History of Hepatitis B Virus Infection. Clinical Care Options Hepatitis. Postgraduate Institute for Medicine and Clinical Care Options, LLC
Merican, I., Guan, R., Amarapuka, D., Alexander, M.J., Chutaputti, A., Chien, R.N., Hasnian, S.S., Leung, N., Lesmana, L., Phiet, P.H., Noer, H.M., Sollano, J., Sun, H.S., Xu, D.Z. 2000. Chronic hepatitis B virus infection in Asian countries. J Gastroenterol Hepato,15(12):1356-61
Osborn, M.,K., Lok, A.,S.,F. 2006. Antiviral options for the treatment of Chronic Hepatitis B. Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 57, 10301034
Pockros, P.,J. 2006. Update on Treatment of chronic Hepatitis B. US Gastroenterology Review
Setiawan, P.B., Djumhana, A., Akbar, N., Lesmana, L.A. 2006. Konsensus Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia: Panduan Tata Laksana Infeksi Hepatitis B Kronik, Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, Jakarta
Soemohardjo, S., Gunawan, S. 2006. Hepatitis B Kronik In A.W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata, S. Setiati, (Eds.) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid , 1st ed., Pusat Penerbitan IPD FK UI, Jakarta
-
16
Sulaiman, H.A. 2006. Penatalaksanaan Strategis Hepatitis B Kronik di Indonesia dalam The 3rd Liver update 2006: New Challenges & New Trends in Hepatology
Tran, T.,T. 2006. AASLD-2006- Clinical Advances in Hepatitis B and Hepatitis B. http://www.medscape.com
Worman, H.,J. 2003. Chronic Hepatitis B The Problem, Prevention, Treatment, and Politics. Global Healthcare
-
17
Lampiran 1. Algoritma Penatalaksanaan
Infeksi Hepatitis B di Indonesia
HBsAg (+)
Periksa HBeAg dan ALT
HBeAg (+) HBeAg (-)
ALT BANN ALT>BANN ALT