penanganan hepatitis b kronis

Upload: afrianto-akhmad

Post on 30-Oct-2015

133 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

hepatitis b

TRANSCRIPT

  • PENANGANAN HEPATITIS B KRONIS

    Siti Nurdjanah Subbagian Gastroentero-hepatologi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam

    FK UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

    PENDAHULUAN

    Virus Hepatitis B (VHB) merupakan penyebab dari 80% kasus kanker hati

    primer di dunia, yang merupakan satu dari tiga penyebab kematian yang paling sering

    ditemui di Asia, daerah Pasifik, dan Afrika. Indonesia merupakan salah satu negara

    dengan prevalensi infeksi VHB tinggi. Pada tahun 1994, 4,6% seluruh populasi di

    Indonesia positif HBsAg, 21% diantaranya HBeAg positif, dan 73% anti HBe positif.

    Empat puluh empat persen pasien sirosis di Indonesia positif HBsAg, sedangkan 45%

    pasien kanker hati dengan HBsAg positif (Merican et al., 2000; Sulaiman, 2006).

    Tujuan ideal terapi untuk pasien yang terinfeksi VHB adalah eliminasi virus.

    Sayangnya dengan terapi yang ada saat ini tersedia hal ini jarang tercapai. Tujuan untuk

    terapi HBK adalah untuk memperlambat progresi fibrosis menjadi sirosis, untuk

    mencegah hepatic failure, dan mencegah perkembangan menjadi kanker hati (Worman,

    2003; Osborn and Lok, 2006).

    Perkembangan obat maju sangat pesat dalam dekade terakhir untuk terapi HBK.

    Terdapat 6 terapi yang saat ini disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk

    terapi hepatitis B pada dewasa, meliputi : interferon alfa-2b; lamivudin; adevovir

    dipivoxil; entecavir; pegylated interferon alfa-2a; dan antiviral oral telbivudine yang

    baru-baru saja disetujui. Pilihan-pilihan ini dengan cepat bertambah banyak dan dengan

    demikian algoritme rekomendasi terapi dengan cepat bisa berubah (Pokros, 2006; Tran,

  • 2

    2006). Bagaimana tatalaksana infeksi hepatitis B kronis ini akan dikemukakan di sini

    beserta hasil konsensus dari perhimpunan peneliti hati Indonesia.

    PEMBAHASAN

    A. Perjalanan Penyakit

    Sembilan puluh lima persen individu yang mendapat infeksi sejak lahir akan

    tetap HbsAg positif sepanjang hidupnya dan menderita Hepatitis B Kronik (HBK),

    sedangkan hanya 5% individu dewasa yang mendapat infeksi akan mengalami persistensi

    infeksi. Persistensi VHB menimbulkan kelainan yang berbeda pada individu yang

    berbeda, tergantung dari kadar partikel VHB dan respon imun tubuh. Interaksi antara

    VHB dengan respons imun tubuh terhadap VHB sangat besar perannya dalam

    menentukan derajat keparahan hepatitis (Soemohardjo and Gunawan, 2006).

    Sumber: Martin et al. 2006

    Gambar 1. Perjalanan alamiah infeksi VHB

  • 3

    Tersedianya pemeriksaan DNA VHB yang lebih baik dan pemahaman yang

    lebih baik mengenai genom VHB, siklus replikasi virus dan respons imun penjamu telah

    merubah pemahaman konsep perjalanan alami penyakit infeksi kronik VHB dari

    pembagian 2 atau 3 fase di pertengahan tahun 1980an menjadi 4 fase pada saat ini.

    Keempat fase tersebut adalah : immune tolerance, immune clearance, inactive HBsAg

    carrier state, reactivation of HBV replication/HBe-negative chronic hepatitis B.

    Pasien yang berada pada fase immune tolerance, meskipun terapi antiviral pada

    fase ini efektif untuk menekan replikasi VHB, terapi tidak meningkatkan kecepatan

    hilangnya HBeAg sehingga tidak direkomendasikan. Pasien-pasien yang mengalami

    kenaikan ALT di kemudian hari mungkin terdapat keuntungan jika diterapi. Pada fase

    immune clearance dengan HBsAg positif direkomendasikan untk diobservasi selama 3-6

    bulan dan memulai terapi hanya jika tidak ada serokonversi HBeAg spontan, kecuali

    kemudian timbul jaundice atau dekompensasi pada pasien. Titik akhir terapi adalah

    serokonversi HBeAg (Osborn and Lok, 2006).

    Pada fase inactive terapi anti viral tidak memberikan keuntungan, tetapi

    monitoring seharusnya diteruskan karena sampai 20% pasien akan mengalami replikasi

    VHB sesudahnya. Pasien dengan HBeAg negatif HBK, tujuan terapi adalah untuk supresi

    secara menetap DNA VHB dan normalisasi enzim hati. Pasien dengan kadar ALT

  • 4

    Sumber : Lok and Mc Mahon, 2007

    Gambar 2. Algoritma Follow up VHB karier dengan HBeAg-positif (A)

    Atau HBeAg-negatif (B)

    Pada gambar 2 menunjukkan follow up VHB karier dengan stautus HbeAg untuk

    penanganan selanjutnya.

    Tujuan terapi HBK adalah untuk mencapai supresi yang menetap terhadap

    replikasi VHB dan remisi penyakit hati. Tujuan utama adalah untuk mencegah sirosis,

    hepatic failure, dan kanker hati. Pada konferensi NIH tahun 2000 dan 2006 tentang

    manajemen Hepatitis B diajukan bahwa respon terhadap anti viral HBK dapat

  • 5

    dikategorikan sebagai biokimia (BR), virologi (VR), atau histologi (HR), dan dalam

    terapi atau setelah terapi (Lok and McMahon, 2007).

    Saat ini terdapat 2 pendekatan terapi standar untuk HBK, meliputi:

    1. Terapi berbasis analog nucleosid, yang diklasifikasikan dalam 3 kelompok berdasar

    strukturnya, yaitu L-nucleosides (lamivudine, emtricitabin, telbivudine dan clevudin),

    acyclic phosphonates (adenovir, tenofovir, pradefovir) dan cyclopentane/pentane ring

    (entecavir, carbovir, abacavir).

    2. Terapi berbasis Interferon-alfa konvensional, menggunakan Interferon alfa-2b atau

    peginterferon alfa-2a.

    Terapi-terapi ini menggambarkan 2 pendekatan yang berbeda untuk terapi

    infeksi HBK. Regimen anti viral menggunakan analog nucleosid biasanya merupakan

    regimen jangka panjang untuk mempertahankan remisi dengan viremia rendah dan

    normalisasi ALT, karena obat ini hanya sedikit mempengaruhi pemulihan respon imun

    host terhadap virus. Hal ini ditunjukkan dengan lambatnya serokonversi eAg dan sAg

    dengan terapi analog nucleosid. Terapi ini bertujuan untuk menekan replikasi virus untuk

    memungkinkan resolusi nekro inflamasi hepar, asalkan virus tidak mempunyai resistensi

    terhadap bahan yang tersedia. Sebaliknya dengan menggunakan terapi yang menstimulasi

    imunitas berbasis IFN-, jangka terapi lebih singkat, dan 33-37% pasien mencapai

    HBeAg loss dengan normalisasi kadar ALT dan viremia DNA VHB rendah. Tujuan

    terapi ini untuk memperbaiki respon imun untuk mengendalikan virus sehingga

    perkembangan nekro inflamasi dan fibrosis terhenti atau keparahannya menurun dan

    HCC dapat dicegah (Lau et al., 2006; Liang et al., 2006).

  • 6

    Terdapat 6 terapi yang saat ini disetujui oleh Food and Drug Administration

    (FDA) untuk terapi hepatitis B pada dewasa, meliputi : interferon alfa-2b; lamivudin;

    adevovir dipivoxil; entecavir; pegylated interferon alfa-2a; dan antiviral oral telbivudine

    yang baru-baru saja disetujui (Tran, 2006).

    INTERFERON ALFA

    Interferon merupakan terapi pertama yang disetujui untuk infeksi HBK.

    Interferon (IFN) memiliki efek anti virus, anti proliferatif dan imunomodulator. Telah

    ditunjukkan bahwa IFN- efektif dalam menghambat replikasi VHB dan menyebabkan

    remisi penyakit hati. Akan tetapi efikasinya terbatas pada sebagian kecil pasien (Loka,

    2006; Lok and McMahon; 2006).

    53% pasien yang diterapi dibanding 17% kontrol (p

  • 7

    HBeAg (+) HBK. Pemberian interferon 4,5 MU atau 5 MU seminggu 3 kali selama 4-6

    bulan dapat efektif pada orang Oriental (Asia) tetapi angka keberhasilan sedikit lebih

    rendah dibanding orang Kaukasia (Eropa). Terdapat bukti bahwa pengobatan selama 12

    bulan dapat memperbaki angka serokonversi HBeAg (Setiawan, et al., 2006; Lok and Mc

    Mahon, 2007).

    PEGYLATED INTERFERON a-2a

    Pegylated interferon adalah interferon yang dipegilasi. Sama seperti

    interferon , PegIFN- memiliki mekanisme kerja ganda yaitu sebagai imunomudulator

    dan anti virus. Sebagai imunomodulator, PegIFN- akan mengaktifasi makrofag, sel

    natural killer (NK) dan limfosit T sitotoksik serta memodulasi pembentukan antibodi

    yang akan meningkatkan respon imun host untuk melawan VHB. Sedangkan aktivitas

    anti virus dilakukan dengan menghambat replikasi VHB secara langsung melalui aktivasi

    endo-ribonuclease, elevasi protein kinase dan induksi 2,5-oligodenylate synthetase.

    PegIFN- memiliki keuntungan pemberiannya yang lebih menyenangkan dan supresi

    virus lebih menetap. Penelitian klinis menyatakan bahwa efikasi PegIFN- mirip atau

    lebih baik dibanding IFN- standar (Setiawan, et al., 2006; Lok and McMahon, 2007).

    LAMIVUDINE

    Lamivudine adalah analog nukleosida yang menghambat sintesis DNA VHB.

    Lamivudine monoterapi efektif menghambat replikasi VHB dan memperbaiki penyakit

    hati pada pasien dengan HBeAg (+) dan juga pada pasien HBeAg (-) HBK (Lokb, 2006;

    Osborn and Lok, 2006).

    Problem pada terapi lamivudine adalah munculnya resistensi obat. Setelah 6-9

    bulan terapi lamivudine, mutan VHB yang resisten terhadap lamivudine mulai muncul.

  • 8

    Spesies VHB ini telah melakukan mutasi pada gen polimerase, sehingga disebut mutasi

    YMDD. Resistensi ini dapat dideteksi pada 14%-32% setelah terapi lamivudine 1 tahun,

    dan meningkat sesuai durasi terapi sampai 60%-70% setelah 5 tahun terapi. Faktor yang

    berhubungan dengan peningkatan resistensi lamivudine termasuk lamanya terapi,

    tingginya kadar DNA VHB serum sebelum terapi. Munculnya resistensi ini seharusnya

    dicurigai pada pasien dengan timbul kembali infeksi, dimana DNA VHB muncul kembali

    setelah sebelumnya sempat menghilang. Virologic breakthrough biasanya diikuti

    biochemical breakthrough (peningkatan ALT setelah normalisasi) dan pada beberapa

    pasien mungkin timbul eksaserbasi akut dan yang meskipun jarang dekompensasi hati

    dan kematian (Lokb, 2006; Setiawan, et al., 2006; Lok and McMahon, 2007).

    Lamivudine diberikan per oral dengan dosis 100 mg perhari. Reduksi dosis

    diperlukan pada pasien dengan insufficiency renal (creatinin clearance

  • 9

    ADEFOVIR DIPIVOXIL

    Adefovir Dipivoxil adalah nukleosida analog dari adenosine monofosfat.

    Adefovir Dipivoxil bekerja menghambat VHB polymerase dengan berkompetisi langsung

    dengan substrat endogen deoksiadenosin trifosfat dan setelah berintegrasi dengan DNA

    VHB sehingga pembentukan rantai DNA VHB terhenti (Setiawan, et al., 2006).

    Penelitian menunjukkan bahwa adefovir efektif dan aman, dan juga efektif

    dalam menekan VHB dengan mutasi YMDD. Tidak adanya potensi adefovir untuk

    berkembang menjadi resisten disebabkan karena eratnya hubungan struktural dengan

    substrat alami sehingga membatasi potensi untuk menjadi steric hindrance yang

    merupakan mekanisme terjadinya resistensi (Setiawan, et al., 2006).

    Dosis yang dianjurkan untuk penggunaan adefovir pada dewasa dengan fungsi

    ginjal normal adalah 10 mg perhari peroral. Interval pemberian harus dinaikkan pada

    pasien dengan renal insufficiency. Pada pasien HBeAg (+) HBK, terapi dihentikan jika

    telah terjadi serokonversi HBeAg dan telah diterapi konsolidasi selama 6 bulan secara

    lengkap. Terapi dapat diteruskan pada pasien yang tidak mencapai serokonversi HBeAg

    tapi kadar DNA VHB tetap tersupresi. Pada pasien HBeAg (-) HBK, terapi diteruskan

    (lebih dari 1 tahun) diperlukan untuk memelihara respon (Lok and McMahon, 2007).

    ENTECAVIR

    Entecavir adalah analog nukleosida, menghambat replikasi VHB melalui tiga

    jalur yaitu priming polimerase DNA VHB, negative strand synthesis, dan positive strand

    synthesis, dengan demikian produksi double stranded viral DNA akan sangat menurun.

    Pada penelitian in vitro menunjukkan bahwa entecavir lebih manjur dibanding

  • 10

    lamivudine dan edefovir dan lebih efektif terhadap mutan VHB resisten lamivudine

    (Setiawan, et al., 2006; Lok and McMahon, 2007).

    Dosis yang disetujui untuk pasien yang belum pernah diterapi adalah 0.5 mg

    peroral perhari, dan untuk pasien yang resisten/refrakter terhadap lamivudine diberikan 1

    mg peroral sekali sehari. Entecavir memiliki profil keamanan yang sama seperti

    lamivudin pada uji klinis (Lok and Mcahon, 2007).

    L-deoxythymidine (Telbivudine/LdT, Tyzeka)

    Telbivudine adalah analog nukleoside dengan aktivitas in vitro yang poten

    melawan VHB. Penelitian klinik menunjukkan bahwa telbivudine lebih poten dari pada

    lamivudine dalam menekan replikasi VHB. Meskipun demikian angka resistensinya

    tinggi dan mutasi telbivudine terkait resistensi terdapat cross-resistan terhadap

    lamivudine. Meskipun demikian, telbivudine monoterapi memiliki peran terbatas pada

    terapi hepatitis B (Lok and McMahon, 2007).

    Dosis yang disetujui untuk telbivudine adalah 600 mg sekali sehari. Telbivudine

    ditoleransi dengan baik dan memiliki profil keamanan yang sama dengan lamivudine.

    Durability setelah terapi hilangnya HBeAg atau serokonversi adalah >80%(Lai et al.,

    2006; Lok and McMahon, 2007).

  • 11

    Tabel.1. Respon terapi antiviral pada diantara pasien dengan HBeAg (+) HBK

    Sumber : Lok and McMahon, 2007

    Tabel.2. Respon terapi antiviral pada diantara pasien dengan HBeAg (-) HBK

    Sumber : Lok and McMahon, 2007

    Terapi Kombinasi

    Manfaat potensial terapi kombinasi adalah efek antiviral tambahan atau

    sinergistik, dan bisa menurunkan atau memperlambat resistensi. Kurangnya manfaat dari

    terapi kombinasi adalah adanya biaya tambahan, meningkatkan toksisitas dan interaksi

    obat. Berbagai kombinasi terapi telah dievaluasi; hingga kini, tidak ada terapi kombinasi

  • 12

    yang terbukti superior dibandingkan monoterapi dalam menginduksi sustained respon

    yang lebih tinggi. Meskipun beberapa terapi kombinasi ditunjukkan untuk menurunkan

    angka resistensi lamivudin dibandingkan dengan monoterapi lamivudin, tidak ada data

    yang mendukung bahwa terapi kombinasi akan menurunkan laju resistensi senyawa

    antiviral yang memiliki risiko resistensi obat rendah ketika digunakan tunggal (Lok and

    McMahon, 2007). Penelitian yang sudah dilakukan lamivudin dikombinasi dengan

    Interferon, adefovir atau telbivudin.

    Rekomendasi untuk Terapi Hepatitis B Kronik

    Terapi terkini HBK tidak mengeradikasikan virus hepatitis B dan efikasi jangka

    panjangnya terbatas. Sehingga, pertimbangan secara hati-hati dari umur pasien,

    keparahan penyakit hepar, kemungkinan respon dan potensial efek samping dibutuhkan

    sebelum terapi dimulai. Karena fluktuasi infeksi hepatitis B virus kronik, risiko

    morbiditas dan mortalitas terkait hepar dan kemungkinan respons bisa bervariasi sesuai

    progresi pasien. Sehingga monitoring berkelanjutan adalah penting untuk penilaian risiko

    (Lok and Mc Mahon, 2007).

    Dalam memilih agen antiviral mana yang digunakan sebagai terapi lini pertama,

    pertimbangan harus diberikan untuk keamanan dan efikasi terapi, risiko dari resistensi

    obat, biaya terapi (pengobatan, monitoring tes dan kunjungan klinik). Pemberian IFN-

    standar dan khususnya pegIFN- menunjukkan hasil sustained response yang lebih

    tinggi, namun kedua obat ini mempunyai efek samping yang lebih banyak dan

    memerlukan pengawasan yang lebih ketat dan kontra indikasi pada keadaan

    dekompensasi hati. Meskipun efikasinya tidaklah berbeda secara substansial, pegIFN-

    mungkin lebih disukai untuk menggantikan IFN- standar karena jadwal dosisnya yang

  • 13

    lebih nyaman. Lamivudine digunakan terutama bila didapatkan tanda-tanda

    dekompensasi hati. Adefovir dipifoxil dapat dipilih atas dasar resistensinya yang rendah,

    dan bermanfaat pada penderita yang mengalami mutan akibat pengobatan lamivudine.

    Entecavir mempunyai daya supresi DNA VHB yang sangat kuat dan belum menunjukkan

    adanya tanda resistensi (dalam waktu 2 tahun). Terakhir, ketika terapi kombinasi

    tampaknya menjadi pendekatan yang lebih logis, tidak ada satupun kombinasi regimen

    yang diujikan lebih superior hingga kini. Pasien yang mendapatkan terapi IFN-

    seharusnya dimonitor hitung darah dan fungsi hepar setiap 4 minggu, HBV DNA setiap

    12 minggu dan jika awalnya HBeAg positif, HBeAg/antiHBe setiap 24 minggu selama

    terapi. Hitung darah, fungsi hepar, TSH dan HBV DNA dan jika awalya HBeAg positif,

    HBeAg/anti Hbe harus dites setiap 12 minggu selama 24 minggu pertama setelah terapi.

    Pasien yang mendapatkan terapi analog nukleosida harus dimonitor fungsi hepar setiap

    12 minggu dan kadar HBV DNA setiap 12-24 minggu, dan jika awalnya HBeAg positif

    HBe/anti HBe setiap 24 minggu selama terapi. Sebagai tambahan, serum kreatinin harus

    dimonitor setiap 12 minggu untuk pasien yang mendapatkan adefovir. HBsAg seharusnya

    dites setiap 6-12 bulan pada pasien dengan HBeAg negatif dengan serum HBV DNA

    yang tidak terdeteksi secara persisten (Setiawan, et al., 2006; Lok and Mc Mahon, 2007).

  • 14

    Tabel. 4. Perbandingan terapi pada Hepatitis B Kronik

    Sumber : Lok and McMahon, 2007

    RINGKASAN

    Hepatitis B kronik berkaitan dengan progresi penyakit dan risiko karsinoma

    hepatoselular. Terapi antiviral yang berhasil dapat memperbaiki derajat fibrosis,

    menurunkan insidensi fibrosis dan karsinoma hepatoselulare dan memperpanjang lama

    hidup.

    Terdapat 6 terapi yang saat ini disetujui oleh Food and Drug Administration

    (FDA) untuk terapi hepatitis B pada dewasa, meliputi : interferon alfa-2b; lamivudin;

    adevovir dipivoxil; entecavir; pegylated interferon alfa-2a; dan antiviral oral telbivudine .

    Dalam memilih agen antiviral mana yang digunakan sebagai terapi, pasien dan dokternya

    harus mempertimbangkan keamanan dan efikasi terapi, risiko dari resistensi obat, biaya

    terapi (pengobatan, monitoring tes dan kunjungan klinik).

  • 15

    Daftar Pustaka

    Hadziyannis, S.J., Tassopoulos, N.C., Heathcote, E.J.,Ting-Tsung Chang, T.,Kitis, G.,

    Rizzetto, M., Marcellin, P., Lim, S.G., Goodman, Z., Ma, J., Arterburn, S., Xiong, S., Currie, G., Brosgart, C.L. 2005. Long-Term Therapy with Adefovir Dipivoxil for HBeAg-Negative Chronic Hepatitis B. N Engl J Med, 352(26): 2673-81

    Keeffe, E.B., Ghany, M., Craig, M.A., King, E., Schirf, D.J., Schulz, J. 2006. Update on The Management of HBV. Clinical Care Options Hepatitis. Postgraduate Institute for Medicine and Clinical Care Options, LLC

    Lai, C-L., Gane, E., Hsu, C-W., Thongsawat, S., Wang, Y., Chen ,Y., Heathcote, E.J., Rasenack, J., Bzowej, N., Naoumov, N., Zeuzem, S., Di Bisceglie,A., Chao, G.C., Constance, B.F., Brown N.A. 2006. Two-Year Results from the GLOBE Trial in Patients with Hepatitis B: Greater Clinical and Antiviral Efficacy for Telbivudine (LdT) vs Lamivudine.AASLD Annual Meeting, Boston

    Lau, G.K.K., Craig, M., Schulz, J., King, E., Louie, K. 2006. Natural History of Chronic HBV Infection in Patients Receivng Anti-HBV Therapy. Clinical Care Options Hepatitis. Postgraduate Institute for Medicine and Clinical Care Options, LLC

    Liang, T.J., Craig M., Schulz J., King E., Louie K. 2006. Summary of Mutations Associated With Resistance to HBV Drugs. Clinical Care Options Hepatitis. Postgraduate Institute for Medicine and Clinical Care Options, LLC

    Loka, A.S.F. 2006. Standart and Pegylated Interferon for Chronic hepatitis B virus infection. UpToDate. 14.2

    Lokb, A.S.F. 2006. Lamivudine monotherapy for chronic hepatitis B virus infection. UpToDate. 14.2

    Lok, A.S.F., McMahon, B.J. 2007. AASLD Practice Guidelines: Chronic Hepatitis B. Hepatology, 45(2):507-532

    Martin P., Craig M., Schulz J., King E., Louie K., 2006 Natural History of Hepatitis B Virus Infection. Clinical Care Options Hepatitis. Postgraduate Institute for Medicine and Clinical Care Options, LLC

    Merican, I., Guan, R., Amarapuka, D., Alexander, M.J., Chutaputti, A., Chien, R.N., Hasnian, S.S., Leung, N., Lesmana, L., Phiet, P.H., Noer, H.M., Sollano, J., Sun, H.S., Xu, D.Z. 2000. Chronic hepatitis B virus infection in Asian countries. J Gastroenterol Hepato,15(12):1356-61

    Osborn, M.,K., Lok, A.,S.,F. 2006. Antiviral options for the treatment of Chronic Hepatitis B. Journal of Antimicrobial Chemotherapy, 57, 10301034

    Pockros, P.,J. 2006. Update on Treatment of chronic Hepatitis B. US Gastroenterology Review

    Setiawan, P.B., Djumhana, A., Akbar, N., Lesmana, L.A. 2006. Konsensus Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia: Panduan Tata Laksana Infeksi Hepatitis B Kronik, Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia, Jakarta

    Soemohardjo, S., Gunawan, S. 2006. Hepatitis B Kronik In A.W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. Simadibrata, S. Setiati, (Eds.) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid , 1st ed., Pusat Penerbitan IPD FK UI, Jakarta

  • 16

    Sulaiman, H.A. 2006. Penatalaksanaan Strategis Hepatitis B Kronik di Indonesia dalam The 3rd Liver update 2006: New Challenges & New Trends in Hepatology

    Tran, T.,T. 2006. AASLD-2006- Clinical Advances in Hepatitis B and Hepatitis B. http://www.medscape.com

    Worman, H.,J. 2003. Chronic Hepatitis B The Problem, Prevention, Treatment, and Politics. Global Healthcare

  • 17

    Lampiran 1. Algoritma Penatalaksanaan

    Infeksi Hepatitis B di Indonesia

    HBsAg (+)

    Periksa HBeAg dan ALT

    HBeAg (+) HBeAg (-)

    ALT BANN ALT>BANN ALT