gerd

28
REFERAT RADIOLOGI GASTROESOFAGEAL REFLUX DISEASE (GERD) Pembimbing : Dr. Nugroho Tjandra Sp. Rad. Penyusun : Nikki Putrayana,S.ked 2001.04.0.0077 Qony Astriana Safitri,S.ked 2004.04.0.0106 A.A.Ngr. Mayun Trinanditya,S.ked 2002.04.0.0126 1

Upload: mayun-trinanditya

Post on 26-Nov-2015

1.077 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

gerd

TRANSCRIPT

Page 1: Gerd

REFERAT RADIOLOGI

GASTROESOFAGEAL REFLUX DISEASE

(GERD)

Pembimbing :

Dr. Nugroho Tjandra Sp. Rad.

Penyusun :

Nikki Putrayana,S.ked 2001.04.0.0077

Qony Astriana Safitri,S.ked 2004.04.0.0106

A.A.Ngr. Mayun Trinanditya,S.ked 2002.04.0.0126

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUMUNIVERSITAS HANG TUAH

SURABAYA2010

1

Page 2: Gerd

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami

dapat menyelesaikan referat yang merupakan tugas dari Kepaniteraan Klinik di bidang

Radiologi dengan pokok bahasan “GastroEsophageal Reflux Disease (GERD)”. Tak

lupa kami ucapkan terimakasih kepada para dokter pembimbing :

1. Dr. Ronny Lirungan Sp.Rad

2. Dr. R. Witjaksono W,Sp.Rad

3. Dr. Nugroho Tjandra,Sp.Rad

4. Dr. Sri Mulyati Noer,Sp.Rad

5. Dr. Iswahyudi,Sp.Rad

6. Dr. Sri Agustina,Sp.Rad

Serta paramedik di bagian SUBDEP Radiologi RSAL Dr.Ramelan Surabaya yang telah

memberikan pengarahan dan petunjuk sehingga kami dapat menyelesaikan tugas referat

ini.

Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi kami sendiri dan bagi para pembaca.

Kritik dan saran akan selalu kami terima dengan lapang dada demi kelengkapan tugas

referat ini.

Akhir kata, atas segala perhatian dan dukungannya kami mengucapkan terima

kasih.

Surabaya, September 2010

Penyusun

DM 33 D

2

Page 3: Gerd

DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………...................................................

Lembar Pengesahan………………………………………………..........................

Daftar Isi…………………………………………………………............................

BAB I PENDAHULUAN………….………………………………………............

1.1 Latar Belakang.................................................................................................

1.2 Maksud dan Tujuan. .......................................................................................

1.3 Definisi GERD ………………………………………………......................

1.4 Epidemiologi... ..............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................

2.1 Anatomi dan Fisiologi....................................................................................

2.1.1 Anatomi Esofagus....................................................................................

2.1.2 Anatomi Lambung...................................................................................

2.1.3 Fisiologi...................................................................................................

2.2 Patofisiologi...................................................................................................

2.3 Manifestasi Klinis..........................................................................................

2.4 Komplikasi.....................................................................................................

BAB III PEMERIKSAAN.........................................................................................

3.1 Pemeriksaan dan Diagnosa............................................................................

BAB IV TERAPI.......................................................................................................

4.1 Penatalaksanaan.............................................................................................

DAFTAR PUSAKA...................................................................................................

3

Page 4: Gerd

LEMBAR PENGESAHAN

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan

Yang Maha Esa karena berkat anugerah dan rahmat-nya tugas referat Radiologi yang

berjudul bahasan “GastroEsophageal Reflux Disease (GERD)” ini bisa terselesaikan.

Kami juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para dokter

pembimbing serta paramedic di Bagian SUBDEP Radiologi RSAL Dr.Ramelan

Surabaya yang telah membimbing dan memberi petunjuk dalam penyusunan referat ini.

Surabaya, September 2010

Mengetahui :

Dr. Nugroho Tjandra ,Sp.Rad

Pembimbing

BAB I PENDAHULUAN

4

Page 5: Gerd

1. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Penyakit refluks gastro esofageal (GERD) adalah penyakit organ esofagus yang

banyak ditemukan dinegara barat. Berbagai survei menunjukkan bahwa 20 – 40 %

populasi dewasa menderita heart burn (rasa panas membakar didaerah retrosternal),

suatu keluhan klasik GERD. Di Indonesia penyakit ini sepintas tidak banyak

ditemukan, bahkan mungkin tidak pernah dibuat diagnosisnya, oleh karena sering

tidak terpikirkan. Lagi pula hanya sebagian kecil pasien GERD datang berobat

pada dokter karena pada umumnya keluhannya ringan dan menghilang setelah

diobati sendiri dengan antasida. Dengan demikian hanya kasus yang berat dan

disertai kelainan endoskopi berupa esofagitis dan berbagai macam komplikasinya

yang datang berobat pada dokter. Kondisi ini yang oleh Castell diibiratkan sebagai

sebagai fenomena puncak gunung es.

MAKSUD DAN TUJUAN

Referat ini kami susun dengan maksud dan tujuan sebagai berikut :

1. sebagai bentuk pemenuhan tugas kelompok selama masa pendidikan profesi dokter

muda Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah di Subdep Radiologi RSAL dr.

Ramelan

2. untuk menambah wawasan tentang GERD, dari segi definisi, anatomi, etiologi,

epidemiologi, diagnosa, dan terapi.

3. untuk mengetahui gambaran radiology GERD, terutama bagi kami dan teman-

teman dokter muda lainnya.

1.2. DEFINISI

Refluks Esofageal (GER) adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada

setiap orang sewaktu – waktu. Pada orang normal refluks ini terjadi pada

posisi tegak sewaktu habis makan.Karena sikap posisi tegak tadi dibantu

oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir masuk

ke esofagus segera dikembalikan ke lambung. Refluks sejenak ini tidak

merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala dan

oleh karena itu dinamakan Refluks fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan

patologis dan disebut suatu penyakit, yaitu penyakit refluks gastro

5

Page 6: Gerd

esofageal (GERD), bila refluk terjadi berulang – ulang yang menyebabkan

esofagus distal terkena pengaruh isi lambung untuk waktu yang lama.

Istilah esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus akibat refluks cairan

lambung, seperti erosi dan ulserasi epitel skuamus esofagus.

1.3. EPIDEMIOLOGI

Keadaan ini umum ditemukan pada populasi dinegara negara barat, namun

dilaporkan relatif rendah insidennya dinegara negara Asia Afrika. Di Amerika

dilaporkan bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami gejala refluk (heart burn

dan atau regurgitasi) skali dalam seminggu serta lebih dari 40% mengalami gejala

tersebut sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di Amerika serikat mendekati

7%, sementara dinegara-negara non-westen prevalensinya lebih rendah (1,5% di

Cina dan 2,7% di Korea).

Di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini, namun di

Difisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto

Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua

pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dispepsia

(Syafrudin,1998).

Tingginya gejala refluks pada populasi di negara-negara barat diduga

disebabkan karena faktor diet dan meningkatnya obesitas.

6

Page 7: Gerd

BAB II PEMBAHASAN

2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI

2.1.1. ANATOMI ESOFAGUS

Esofagus merupakan salah satu organ silindris berongga dengan panjang sekitar

25 cm dan berdiameter 2 cm, terbentang dari hipofaring sampai cardia lambung,

kira-kira 2-3 cm di bawah diafragma. Esofagus terletak posterior terhadap jantung

dan trakea, anterior terhadap vertebra dan berjalan melalui lubang diafragma tepat

anterior terhadap aorta.

Pada kedua ujung esofagus, terdapat otot-otot spingter, diantaranya :

1. Krikofaringeal

Membentuk sfingter esofagus bagian atas dan terdiri atas serabut-serabut

otot rangka. Dalam keadaan normal berada dalam keadaan tonik, atau kontraksi

kecuali waktu menelan.

2. Sfingter Esofagus bagian bawah

Bertindak sebagai sfingter dan berperan sebagai sawar terhadap refluks

isi lambung ke dalam esofagus. Dalam keadaan normal, sfingter ini menutup

kecuali bila makanan masuk ke dalam lambung atau waktu bertahak atau

muntah.

Dinding esofagus terdiri dari 4 lapisan, yaitu :

1. Mukosa

Terbentuk dari epitel berlapis gepeng bertingkat yang berlanjut ke faring

bagian atas, dalam keadaan normal bersifat alkali dan tidak tahan terhadap isi

lambung yang sangat asam

2. Sub Mukosa

Mengandung sel-sel sekretoris yang menghasilkan mukus yang dapat

7

Page 8: Gerd

mempermudah jalannya makanan sewaktu menelan dan melindungi mukosa

dari cedera akibat zat kimia.

3. Muskularis

Otot bagian esofagus, merupakan otot rangka. Sedangkan otot pada

separuh bagian bawah merupakan otot polos, bagian yang diantaranya terdiri

dari campuran antara otot rangka dan otot polos.

4. Lapisan bagian luar (Serosa)

Terdiri dari jaringan ikat yang jarang menghubungkan esofagus dengan

struktur-struktur yang berdekatan, tidak adanya serosa mengakibatkan

penyebaran sel-sel tumor lebih cepat (bila ada kanker esofagus) dan

kemungkinan bocor setelah operasi lebih besar.

Persarafan utama esofagus dilakukan oleh serabut-serabut simpatis dan

parasimpatis dari sistem saraf otonom. Serabut-serabut parasimpatis dibawa oleh

nervus vagus yang dianggap merupakan saraf motorik. Selain persarafan

ekstrinsik tersebut, terdapat juga jala-jala longitudinal (Pleksus Allerbach) dan

berperan untuk mengatur peristaltik esofagus normal.

Distribusi darah esofagus mengikuti pola segmental, bagian atas disuplai oleh

cabang-cabang arteria tiroide inferior dan subklavia. Bagian tengah disuplai oleh

cabang-cabang segmental aorta dan artetia bronkiales, sedangkan bagian sub

diafragmatika disuplai oleh arteria gastrika sinistra dan frenika inferior.

Peranan esofagus adalah menghantarkan makanan dan minuman dari faring ke

lambung. Pada keadaan istirahat antara 2 proses menelan, esofagus tertutup kedua

ujungnya oleh sfingter esofagus atas dan bawah. Sfingter esofagus atas berguna

mencegah aliran balik cairan lambung ke esofagus (Refluks).

2.1.2. ANATOMI LAMBUNG

Lambung merupakan bagian sistem gastrointestinal yang terletak antara

esofagus dan duodenum. Dari hubungan anatomi topografik lambung-duodenum

dengan hati, pankreas, dan limpa, dapat diperkirakan bahwa tukak peptik akan

mengalami perforasi ke rongga sekitarnya secara bebas atau penetrasi ke dalam

organ didekatnya, berganting pada letak tukak.

8

Page 9: Gerd

Berdasarkan faalnya, lambung dibagi dalam dua bagian. Tiga perempat

proksimal yang terdiri atas fundus dan korpus, berfungsi sebagai penampung

makanan yang ditelan serta tempat produksi asam lambung dan pepsin, sedangkan

seperempat distal atau antrum bekerja mencampur makanan dan mendorongnya

ke duodenum serta memproduksi gastrin.

Ciri yang cukup menonjol pada anatomi lambung adalah peredaran darahnya

yang sangat kaya dan berasal dari empat jurusan dengan pembuluh nadi besar

dipinggir kurvatura mayor dan minor serta dalam dinding lambung. Dibelakang

dan tepi media duodenum, juga ditemukan arteri besar (a. gastroduodenalis).

Perdarahan hebat bisa terjadi karena erosi dinding arteri itu pada tukak peptik

lambung atau duodenum.

Vena dari lambung dan duodenum bermuara ke vena porta. Peredaran vena ini

kaya sekali dengan hubungan kolateral ke organ yang ada hubungan embrional

dengan lambung dan duodenum. Pada hipertensi portal hampir selalu terjadi

varises esofagus, sedangkan varises lambung sering tidak menimbulkan masalah

sehingga tidak dibahas.

9

Page 10: Gerd

Saluran limfe dari lambung juga cukup rumit. Semuanya akan berakhir di

kelenjar para aorta dan preaorta dipangkal mesentrium embrional. Antara lambung

dan pangkal embrional itu terdapat kelenjar limfe yang letaknya tersebar dimana

mana akibat putaran embrional. Oleh karena itu, anak sebar karsinoma lambung

mungkin menyebar ke kelenjar limfe di kurvatura mayor, kurvatura minor, hilus

limfa, ligamentum hepatoduodenale, pinggir atas pankreas, dan berbagai tempat

lain diretro peritoneal. Ini sangat mempersulit pengobatan kuratif kangker

lambung.

Persarafan simpatis lambung seperti biasa melalui selaput saraf yang

menyertai arteri. Impuls nyeri dihantarkan melalui selaput eferen saraf simpatis.

Serabut para simpatis berasal dari n. vagus dan mengurus sel pariental di fundus

dan korpus lambung. Sel ini berfungsi menghasilkan asam lambung. N.vagus

anterior (sinister) memberikan cabang ke kandung empedu, hati, dan antrum

sebagai saraf Laterjet anterior, sedangkan n.vagus posterior ( dekster) memberikan

cabang ke ganglion seliakus untuk viceralain di perut dan ke antrum sebagai saraf

Laterjet posterior.

2.1.3. FISIOLOGI

MOTILITAS ESOFAGUS

Menelan merupakan suatu aksi fisologi kompleks, dimana makanan atau

cairan berjalan dari mulut ke lambung. Juga merupakan rangkaian gerakan otot

10

Page 11: Gerd

yang sangat terkoordinasi, dimulai dari pergerakanvolunter lidah & diselesaikan

refleks dalam faring dan esofagus. Pada saat menelan, sfingter esofagus atas

membuka sesaat untuk memberi jalan kepada bolus makanan yang ditelan.

Menelan menimbulkan gelombang kontraksi yang bergerak ke bawah sampai ke

lambung. Hal ini dimungkinkan dengan adanya kerja sama antara kedua lapisan

otot esofagus yang berjalan sirkuler dan longitudinal (gelombang peristaltik

primer) dan adanya daya tarik gravitasi. Cairan yang diminum dalam posisi tegak

akan mencapai cardia lebih cepat darii gelombang peristaltik primer. Tapi pada

posisi berbaring (kepala di bawah), maka cairan akan berjalan sesuai dengan

kecepatan gelombang peristaltik primer.

Fase Menelan :

1. Fase Oral

Makanan yang dikunyah oleh mulut (bolus) didorong ke belakang

mengenai dinding posterior faring oleh gerakan volunter lidah.

2. Fase Faringeal

Palatum mole & uvula menutup rongga hidung, laring terangkat dan

menutup glotis, mencegah makanan masuk trakea. Kemudian bolus melewati

epiglotis menuju faring bagian bawah dan memasuki esofagus.

3. Fase Esofageal

Terjadi gelombang peristaltik pada esofagus, mendorong bolus menuju

sfingter esofagus bagian distal, kemudian menuju lambung.

MOTILITAS LAMBUNG

Ketika makanan masuk kedalam lambung maka lambung berespons terhadap

gerakan peristaltic. Pada saat gelombang konstraksi mencapai ujung bawah lambung

yang disebut antrum, kontraksi semakin cepat untuk mencampur makanan.

Gelombang konstraksi ini juga menyebabkan penutupan taut antara ujung distal di

lambung dan bagian atas duodenum yang disebut spingter pilorik. Spingter pilorik

adalah spingter sejati dan normalnya bereaksasi saat makanan tidak masuk ke

lambung.

Gelombang peristaltic terjadi sebagai akibat dari depolarisasi sel otot polos

lambung.Sel pemacu di otot polos lambung berdepolarisasi secara

berkesinambungan pada laju yang inheren,yang disebut dengan irama elektrik dasar

11

Page 12: Gerd

yang terlalu rendah untuk menyebabkan otot lambung mencapai ambang dan oleh

karenanya tidak menyebabkan kontraksi. Dengan meningkatnya peregangan

lambung atau dengan stimulasi saraf dan hormon, otot polos tidak berdepolarisasi

mencapai ambangnya dan kekuatan peristaltic lambung meningkat.

Pada saat gelombang peristaltic diteruskan ke lambung, sejumlah kecil materi

didorong melewati spingter pilorik kedalam duodenum. Makin banyak isi dalam

lambung, makin cepat laju pengosongan lambung. Pada akhirnya, semua isi

lambung dikosongkan masuk kedalam usus halus.

2.2. PATOFISIOLOGI

Penyakit Refluks Gastroesofagus

Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal reflux

disease) disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam esophagus. GERD

seringkali disebut nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri yang terjadi ketika asam

yang normalnya ada dilambung, masuk dan mengiritasi atau menimbulkan rasa

seperti terbakar di esophagus.

Penyebab Refluks Gastroesofagus

Refluks gastroesofagus biasanya terjadi setelah makan dan disebabkan

melemahnya tonus spingter esophagus atau tekanan di dalam lambung yang lebih

tinggi dari esophagus. Dengan kedua mekanisme ini, isi lambung yang bersifat asam

bergerak masuk ke dalam esophagus.

Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esophagus karena adanya

kontraksi sfingter esophagus

(mengingatkan kembali bahwa

spingter esophagus bukan

spingter sejati, tetapi suatu area

yang tonus ototnya

meningkat).Spingter ini

normalnya terbuka hanya jika

gelombang peristaltic

menyalurkan bolus makanan ke

bawah esofagus. Apabila hal ini

terjadi, otot polos sfingter

melemas dan makanan masuk

12

Page 13: Gerd

ke dalam lambung. Spingter esofagus seharusnya tetap dalam keadaan tertutup

kecuali pada saat ini, karena banyak organ yang berbeda didalam rongga abdomen,

menyebabkan tekanan abdomen lebih besar dari pada tekanan toraks. Dengan

demikian, ada kecendrungan isi lambung terdorong ke dalam esofagus. Akan tetapi,

jika sfingter melemah atau inkopeten, sfingter tidak dapat menutup lambung.

Refluks akan terjadi dari daerah bertekanan tinggi (lambung) ke daerah bertekanan

rendah (esofagus). Episode refluks yang berulang dapat memperburuk kondisi

karena menyebabkan inflamasi dan jaringan parut di area bawah esofagus.

Pada beberapa keadaan, meskipun

tonus sfingter dalam keadaan

normal, refluks dapat terjadi jika

terdapat gradien tekanan yang

sangat tinggi di sfingter. Sebagai

contoh, jika isi lambung berlebihan,

tekanan abdomen dapat meningkat

secara bermakna. Kondisi ini dapat

disebabkan porsi makanan yang

besar, kehamilan, atau obesitas.

Tekanan abdomen yang sangat

tinggi cenderung mendorong

sfingter esofagus kerongga toraks;

hal ini memperbesar gradien tekanan antara esofagus dan rongga abdomen. Posisi

berbaring terutama setelah makan juga dapat mengakibatkan refluks.

Hernia hiatus juga dapat menyebabkan refluks. Hernia hiatus adalah

penonjolan sebagian lambung melalui lubang di diagfragma. Apabila hal ini terjadi,

tekanan yang tinggi dibagian lambung tersebut akan mendorong isi lambung ke

dalam esofagus. Refluks isi lambung mengiritasi esofagus karena tingginya

kandungan asam dalam isi lambung. Walaupun esofagus memiliki sel penghasil

mukus, namun sel – sel tersebut tidak sebanyak atau seaktif sel yang ada di

lambung.

13

Page 14: Gerd

2.3. MANIFESTASI KLINIS

Gejala-gejalanya dapat mencakup prosis (sensasi terbakar pada esofagus),

dispepsia (indigesti), regurgitasi, disfagia, atau osinofagia (kesulitan menelan /

nyeri saat menelan), hipersalivasi, atau esofagitis. Gejala-gejala ini dapat

menyerupai serangan jantung.

2.4. KOMPLIKASI

Komplikasi dari GERD dapat

berupa :

Syok

Koma

Edema laring

Perforasi esofagus

Aspirasi pneumonia

Peradangan

Erosi

Pembentukan tukak

Perdarahan

Struktur

Pembentukan jaringan parut.

14

Page 15: Gerd

Esofagitis Barrett adalah iritasi lapisan esofagus yang ditandai

dengan perubahan sel yang dapat mengakibatkan refluks kronis.

Esofagitis Barrett merupakan kondisi pramalignan yang dapat

berkembang menjadi kangker esofagus.

Iritasi kronis esofagus dapat menyebabkan inflamasi kronis,

spasme otot, dan jaringan parut esofagus, yang semuanya ini dapat

menyebabkan tumbuhnya striktur, sehingga mengganggu atau

menyumbat jalur pergerakan makanan.

Muntah dan disfagia (sulit menelan) pada saat makan dapat

terjadi.

BAB III PEMERIKSAAN dan DIAGNOSA

3.1. Pemeriksaan Radiologi

a. Pemeriksaan endoskopi

Endoskopi adalah proses memaksukkan teropong tipis, kaku atau flesibel

kedalam saluran gastrointestinal untuk memvisualisasikan esofagus (esofaguscopi),

usus halus atas (duodenoskopi), lambung (gastroskopi), atau kolon sigmoid

(sigmoidoskopi).

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku

15

Page 16: Gerd

untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis

refluks).

Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan

makroskopik dari mukosa esofagus serta dapat menyingkirkan keadaan patologios

lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break

pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala

khas GERD. Keadaan ini disebut sebagai non erosive reflux disease (NERD).

Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang

dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan

bahwa gejala heart burn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.

Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barett’s Esophagus,

displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan

histopatologi / biopsi pada NERD.

TABEL KLASIFIKASI LOS ANGELES

Derajat

Kerusakan

Gambaran Endoskopi

A Erosi kecil – kecil pada mukosa

esofagus dengan diameter < 5mm

B Erosi pada mukosa / lipatan

mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa

saling berhubungan

C Lesi yang konfluen tetapi tidak

mengenai / mengelilingi seluruh lumen

D Lesi Mukosa esofagus yang

bersifat sirkumferensial (mengelilingi

seluruh lumen esofagus)

Terdapat beberapa klasifikasi kelaianan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi

dari pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry –

Miller.

16

Page 17: Gerd

b. Esofagografi dengan Barium

Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali

tidak menunjukkan kelaianan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan

yang lebih berat gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan

17

Page 18: Gerd

mukosa, ulkus atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini tidak sangat

tidak sensitif untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini

mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada 1). Stenosis esofagus derajat

ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia, 2). Hiatus hernia.

c. Pemantauan pH 24 jam

Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal

esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikro

elektroda pH pada bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus bagian

distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada

jarak 5 cm diatas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.

d. Pemeriksaan Bernstein

Tes ini mengukur sensitifitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan

melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCL 0,1 M dalam waktu kurang

dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien –

pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada

seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan

rasa nyeri, maka tes ini dianggap positif. Tes Bernstein yang negaif tidak

menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esofagus.

e. Pemeriksaan manometri

Tes manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien – pasien

dengan gejala nyeri epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi

barium dan endoskopi yang normal.

f. Tes Gastro esofageal Scintigraphy

Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan esofagus

dan sifatnya non invasif.

18

Page 19: Gerd

BAB IV TERAPI

4.1. PENATALAKSANAAN

Walau keadaan ini jarang menyebabkan kematian, mengingat kemungkinan

timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun

esofagus Barett’s yang merupakan keadaan premalignan, maka seyogyanya penyakit ini

mendapat penatalaksaan yang adekuat.

Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi hidup, terapi

medikamentosa, terapi bedah serta akhir – akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.

Target penatalaksanaan GERD adalah : a). menyembuhkan lesi esofagus b).

menghilangkan gejala / keluhan, c). mencegah kekambuhan, d). memperbaiki kualitas

hidup, e). mencegah timbulnya komplikasi

A. Modifikasi Gaya Hidup

Modifikasi gaya adalah salah satu bagian penatalaksanaan namun bukan

merupakan pengobatan primer. Usaha ini didasarkan pada tujuan untuk mengurangi

frekuensi refluks serta mengurangi kekambuhan.

Hal – hal yang dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai berikut :

1. Posisi kepala / tempat tidur ditinggikan 6-8 inch serta menghindari makan

sebelum tidur dengan tujuan meningkatkan bersihan asam selama tidur serta

mencegah refluks asam dari lambung ke esofagus.

2. Berhenti merokok dan menkonsumsi alkohol karena keduanya dapat

menurunkan tonus dari LES.

19

Page 20: Gerd

3. Mengurangi konsumsi lemak serta jumlah makanan yang dimakan karena

dapat menimbulkan distensi lambung.

4. Menurunkan berat badan

5. Menghindari makanan dan minuman yang dapat mempengaruhi sekresi asam

6. Menghindari obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti anti

kolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonist beta

adrenergik, progesteron.

B. Terapi Medikamentosa

Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa yaitu step up dan step down.

Pendekatan step up dimulai dengan obat – obatan yang tergolong kurang kuat

dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik,

bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan

masa terapi yang lebih lama (penghambat pompa proton / PPI). Sedangkan pada

pendekatan step down, pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil

dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih

rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.

Menurut Genval Statement (1999) disepakati untuk terapi lini pertama terhadap

GERD adalah golongan PPI dengan pendekatan terapi step down.

Berikut adalah obat – obatan yang dapat digunakan dalam terapi GERD :

1. Antasid

Obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi

tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer HCl, obat ini

memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah (LES).

Dosis : 4 x 1 sendok makan

2. Antagonis reseptor H2

Sebagai penekan sekresi asam obat ini efektif bila diberikan dosis 2

kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Hanya efektif pada

pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang tanpa komplikasi

Dosis pemberian :

Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg

20

Page 21: Gerd

Ranitidin : 4 x 150 mg

Famotidin : 2 x 20 mg

Nizatidin : 2 x 150 mg

3. Obat – obatan prokinetik

Secara teoritis obat ini paling sesuai untuk GERD .

Dosis pemberian :

Metoklopramid : 3 x 10 mg

Domperidon : 3 x 10 – 20 mg

Cisapride : 3 x 10 mg

4. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)

Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung dan aman karena bekerja

secara topikal

Dosis : 4 x 1 gram

5. Penghambat pompa proton (Proton pump inhibitor / PPI)

Obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD, efektif menghilangkan

keluhan serta penyembuhan lesi esofagitis.

Dosis yang diberikan yaitu dosis penuh :

Omeprazole : 2 x 20 mg

Lansoprazole : 2 x 30 mg

Pantoprazole : 2 x 40 mg

Rabeprazole : 2 x 10 mg

Esomeprazole : 2 x 40 mg

Umumnya pengobatan diberikan selama 6 – 8 minggu (terapi inisial) yang dapat

dilanjutkan dengan terapi pemeliharaaan selama 4 bulan atau on demand teraphy .

Efektifitas golongan obat ini semakin bertambah jika digabung dengan golongan

prokinetik.

C. Terapi Bedah

Beberapa keadaan dapat menyebabkan gagalnya terapi medikamentosa, yaitu : 1).

Diagnosis tidak benar; 2). Pasien GERD sering disertai gejala – gejala lain seperti rasa

kembung, cepat kenyang dan mual – mual yang sering tidak memberikan respon

denganpengobatan PPI serta menutupi perbaikan gejala refluksnya; 3). Pada beberapa pasien

21

Page 22: Gerd

memerlukan waktu lama untuk penyembuhan esofagitisnya; 4). Kadang Barret’s Esofagus tidak

memberikan respon terhadap terapi PPI; 5). Terdapat stiktur; 6). Terdapat stasis lambung dan

disfungsi LES

Terapi bedah merupakan terapi alternatif bila medikamentosa gagal atau pada GERD

dengan striktur berulang. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi.

22

Page 23: Gerd

DAFTAR PUSTAKA

Mubin, A. Halim. 2008. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam. EGC : Jakarta

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. : Jakarta

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

Pusat Penerbitan Departemen IPD, FKUI : Jakarta

Sjamsuhidajat & Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta

23