referat gerd ayu
DESCRIPTION
sTRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis persembahkan kehadirat tuhan yang maha esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul “Gastroesofagus Reflux Disease”. Referat ini diajukan sebagai persyaratan
untuk mengikuti KKS pada Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Bangkinang.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Dr. Inva Yolanda, MSc(PD), SpPD selaku pembimbing yang telah bersedia
membimbing saya, baik dalam penulisan dan pembahasan referat ini.
Dalam penulisan referat ini, penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mohon maaf atas segala kesalahan dan penulis
juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun untuk
kesempurnaan penulisan referat berikutnya.
Bangkinang, 28 September 2015
Penulis,
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... 1
DAFTAR ISI........................................................................................................ 2
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 4
II.1. Definisi........................................................................................................... 4
II.2. Epidemiologi.................................................................................................. 4
II.3 Etiologi dan Patofisiologi......................................................................... 4
II.4 Manifestasi Klinis........................................................................................... 8
II.5 Diagnosis Banding.......................................................................................... 10
II.6 Pemeriksaan Penunjang.................................................................................. 10
II.7 Penatalaksanaan………………………………….......................................... 13
II.8 Komplikasi…………………………….......................................................... 19
II.9 Prognosis......................................................................................................... 20
BAB III. KESIMPULAN.................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 22
2
BAB I
PENDAHULUAN
Gastroesofageal reflux disease (GERD) merupakan suatu keadaan dimana
terjadinya refluks isi lambung ke dalam esofagus dengan akibat menimbulkan gejala
klinik. Refluks dapat terjadi dalam keadaan normal yang biasanya berhubungan dengan
kondisi tertentu, seperti posisi berbaring setelah makan, pada saat muntah. Bila terjadi
refluks, esofagus akan segera berkontraksi untuk membersihkan lumen dari refluksat
tersebut sehingga tidak terjadi suatu kontak yang lama antara refluksat dan mukosa
esofagus.1
Dalam patogenesisnya dijumpai adanya gangguan mekanisme peristaltik,
kompetensi sfingter, relaksasi sfingter yang abnormal dan lain-lainnya dimana dimasukkan
dalam konteks gangguan motilitas.2,3 Dengan dasar hal tersebut diatas, pola pikir
pengobatannya tentu dikaitkan dengan perbaikan motilitas. Tetapi hasil klinik obat-obatan
prokinetik ternyata tidak memuaskan sehingga target pengobatan ditujukan pada penyebab
langsung gejala ataupun penyebab kerusakan mukosa esofagus yaitu asam lambung.4
Penyebab GERD pada populasi ras kulit putih lebih tinggi dibanding dengan ras
yang lainnya dan dari segi geografis dijumpai bervariasi antar negara dan benua, di benua
Afrika dan Asia prevalensinya sangat rendah sedangkan di Amerika utara dan Eropa
rasionya tinggi. Terjadinya GERD mempunyai peluang yang sama antar pria dan wanita
tetapi esofagitis dan barret’s esofagus ditemukan pria lebih tinggi dari pada wanita.2,5
Di Amerika serikat, dijumpai simptom heart burn pada individu dewasa muda
terjadi 14% setiap minggunya, sedangkan di Jepang dan Philipina adalah 7,2% dan 7,1%.4
Di negara barat sekitar 20-40% setiap individu pernah mengalami simptom heart burn
yang berkembang menjadi: esofagitis 25-25%, 12% jadi Barret’s esofagus dan 46%
adenokarsinoma. Sedangkan laporan kekerapan di Indonesia sampai saat ini masih rendah,
hal ini diduga karena kurangnya perhatian kita terhadp penyakit ini pada tahap awal proses
diagnosis.5
Gambaran klinis GERD dapat berupa gejala yang khas seperti heart burn dan
regurgitasi atau yang tidak khas dan sering salah didiagnosa sebagai dispepsia.3,4 Secara
umum, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan pada gejala klinis yang khas disertai denga
pemeriksaan penunjang yang lainnya. 3,4
3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Penyakit refuks gastroesofageal adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat dari
refluks kandungan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang timbul
akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas. Manifestasi klinis dari
Penyakit refluks gastroesofageal sendiri terdiri atas esofagus dan ekstraesofagus 3 .
2.2 EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara-negara barat, namun
dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia- Afrika. Di amerika di laporkan satu
dari lima orang dewasa mengalami gejala heartburn atau regurgutasi sekali dalam
seminggu serta lebih dari 40 % mengalaminya sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis
di amerika sekitar 7%, sementara negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di
China dan 2,7% di Korea). Sementara di Indonesia belum ada data epidemiologi mengenai
penyakit ini, namun di Difisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari
semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.5
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan, tidak ada predileksi seksual.
Rasio laki-laki dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:14. GERD pada
negara berkembang sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun
merupakan usia yang seringkali mengalami GERD 5.
2.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Penyakit GERD bersifat multifaktorial3,4. GERD dapat merupakan gangguan
fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%). Gangguan fungsional lebih pada
disfungsi sfingter esofagus bawah (SEB) dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa
esofagus. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang
cukup lama dengan bahan yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat
dari resistensi yang menurun pada jaringan mukosa esofagus walaupun kontak dengan
refluksat tidak terlalu lama3. Selain itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus bawah
5
oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan dan alkohol juga ditengarai sebagai penyebab
terjadinya refluks.1,3
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh
kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan dipertahankan,
kecuali pada saat terjadinya aliran antergrad (menelan) atau retrograd (muntah atau
sendawa) 3 .
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni
sfingter esofagus bawah2,3. Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan lambung
yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah. Tonus SEB
dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg. Sedangkan pada orang normal 25-35
mmHg.3
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah
dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau
sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung
mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus
bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap
berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika
sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi
lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring3.
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme 1 :
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks menyangkut
keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat 3.
Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:
2.3.1 Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya tonus
SEB dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi peningkatan
tekanan intraabdomen 3.
6
Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal. Yang
dapat menurunkan tonus SEB antara lain 2,3,4,
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain.
4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat menurunkan tonus
SEB
5. Makanan berlemak dan alkohol.
Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus
GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh terjadinya transient
LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat spontan dan berlangsung
kurang lebih 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum jelas diketahui bagaimana
mekanisme terjadinya TLESR. Tetapi pada beberapa individu diketahui adanya kaitan
dengan keterlambatan pengosongan lambung dan dilatasi lambung 2,3,4.
Gambar 1. Hiatus Hernia
Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena banyak
pasien GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak menampakan gejala
GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk
bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus SEB3.
2.3.2 Bersihan asam dari lumen esofagus
Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik,
eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan
kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan.
Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar
esofagus 3 .
7
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu bersihan
maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan makin besar pula
kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD memiliki waktu transit
refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya refluks adalah peristaltik esofagus
yang minimal3.
Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada esofagus,
karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif 3.
2.3.3 Ketahanan Epitelial Esofagus.
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus
untuk melindungi mukosa esofagus 3.
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari3,4 :
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl-
intrasel dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.
Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus.
Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang
dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung
yang juga ikut berpengaruh dalam kerusakan mukosa gaster (menambah daya rusak
refluksat) antar lain HCl, pepsin, garam empedu, enzim pankreas3.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya.
Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2, atau adanya pepsin dan
garam empedu. Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya rusak tinggi3.
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dialatasi lambung
atau obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan lambung. Sedangkan peranan
Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan tidak banyak didukung oleh
data yang ada 3.
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab GERD . Pada
kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari lambungpun juga banyak. Hal
ini berakibat meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster yang meningkat ini
8
akan berlawanan dengan kerja dari SEB. Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah oleh
tekanan intragaster dan terjadilah refluks5.
2.3.4 Peran Sfingter Esofagus Atas
Sfingter esofagus atas (SEA) merupakan pertahanan akhir untuk mencegah
refluksat masuk ke laringofaring. Tonus SEA yang meninggi sebagai reaksi terhadap
refluksat menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada SEA menyebabkan
terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.1,2
2.3.5 Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus
Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus. Mekanisme
tersebut antara lain.1
1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus proximal dan
SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan paru.
2. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang menyebabakan
spasme bronkus, batuk, sering meludah dan menyebabkan inflamasi pada faring
dan laring.
Sementara yang menjadi faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi
lambung, beberapa kondisi patologis yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan
pengosongan lambung seperti obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.2
2.4 MANIFESTASI KLINIS
2.4.1 Gejala Klasik
1. Heart burn
Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering dikeluhkan oleh
penderita 2,4. Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus yang sifatnya panas membakar atau
mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah ujung sternum. Penjalarannya umunya
keatas hingga kerahang bawah dan ke epigastrium, punggung belakang bahkan kelengan
kiri yang menyerupai pada angina pektoris. Timbulnya keluhan ini akibat ransangan
kemoreseptor pada mukosa. Rasa terbakar tersebut disertai dengan sendawa, mulut terasa
masam dan pahit dan merasa cepat kenyang. Keluhan heart burn dapat diperburuk oleh
posisi membungkuk kedepan berbaring terlentang dan berbaring setelah makan. Keadaan
ini dapat ditanggulangi terutama dengan pemberian antasida. 3
9
Gambar 2. Gejala Heartburn
2. Regurgitasi
Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang
terkandung dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga mulut. Bahan regurgitasi
yang terasa asam atau sengit dimulut merupakan gambaran sudah terjadinya GERD yang
berat dan dihubungkan dengan inkompetensi sfingter bagian atas dan LES. Regurgitasi
dapat mengakibatkan aspirasi laringeal, batuk yang terus-menerus, keadaan tercekik waktu
bangun dari tidur dan aspirasi pneumoni. Peningkatan tekanan intraabdomal yang timbul
karena posisi membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya
regurgitasi. 3
Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa serangan
tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi hari, sesak nafas,
karies gigi dan aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh sering terbangun dari tidur
karena rasa tercekik, batuk yang kuat tapi jarang menghasilkan sputum. 1,5
3. Disfagia
Disfagia (kesulitan dalam menelan) yaitu suatu gangguan transport aktip bahan yang
dimakan, merupakan keluhan utama yang dijumpai pada penyakit faring dan esofagus.
Disfagia dapat terjadi pada gangguan non esofagus yang merupakan akibat dari penyakit
otot dan neurologis. Disfagia esofagus mungkin dapat bersifat obstruktif atau motorik.
Obstruksi disebabkan oleh striktur esofagus, tumor intrinsik atau ekstrinsik esofagus yang
mengakibatkan penyempitan lumen. Penyebab gangguan motorik pada disfagia berupa
gangguan motilitas dari esofagus atau akibat disfungsi sfingter bagian atas dan bawah.
Gangguan motorik yang sering menimbulkan disfagia adalah akalasia, skleroderma dan
spasme esofagus yang difus. 2,5
2.4.2 Gejala Ekstraesofagus
10
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti
laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma3. Manifestasi non
esofagus pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma,
pneumonia aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay)5. Di
lain pihak, penyakit paru juga dapat memicu timbulnya GERD oleh karena
penatalaksanaan berupa obat yang dapat menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.1,2
2.5 DIAGNOSIS BANDING 4,5
11
Refluks gastroesofageal
Ulkus Peptikum Penyakit Jantung
Durasi nyeri 10-60 menit Prolonged 2-10 menit
Kualitas nyeri Rasa terbakar Rasa terbakar Tertekan, terbakar
Lokasi nyeri Substernal, epigastrium
Substernal, epigastrium Retrosternal menjalar keleher, bahu, rahang
Fitur terkait Memburuk saat postrandial dan berbaring
Diringankan oleh makanan atau antasida
Diperberat oleh aktivitas, stress
Barium swallow Normal Tampak ulkus gaster atau duodenum
Normal
EGD Eritematous esofagus bag distal
Tampak ulkus gaster atau duodenum
Normal
EKG Normal Normal Peningkatan gelombang
Foto toraks Normal Normal Pembesaran jantung
ELISA IgM dan IgG dan H.pylori
Non reaktif Reaktif Non Reaktif
Monitor pH 24 jam <4 Normal (4-6) Normal
Tes Bernstein + - -
PPI + - -
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan
penunjang lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :
2.6.1 Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks). 2,3
Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus,
serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD.
Jika tidak ditemukan muscosal break pada pasien GERD dengan gejala yang khas,
keadaan ini disebut non erosive reflux disease (NERD).5,6
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan
dengan pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa gejala heartburn atau
regurgutasi memang karena GERD.3,6
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s esophagus,
displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan
histopatologi/biopsi pada NERD.3,6
Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi pasien
GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller.
Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles3
Derajat kerusakan Endoskopi
A Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau mengelilingi seuruh lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/ mengelilingi seluruh lumen esofagus.
Tabel 2. Klasifikasi Savary-Miller3
Grade Deskripsi Endoskopi
I Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus
II Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus.
12
Erosi dapat bergabung
III Erosi meluas pada sirkumferesnsia esofageal
IV Ulkus, striktura dan pemendekan esofagus
V Barrett’s ephitelium
2.6.2 Radiografi Barium
Pemeriksaan radiologi esofagus dengan menggunakan barium sulfat dalam cairan
atau suspensi yang ditelan. Mekanisme menelan dapat secara langsung dilihat dengan
flouroskopi atau gambaran radiogram dengan menggunakan teknik sinematografi. Hasil
pemeriksaan barium umumnya normal pada refluks esofagitis tanpa komplikasi.
Pemeriksaan foto barium lebih dianjurkan bila dicurigai adanya striktur esofagus. Peran
utama pemeriksaan barium yaitu untuk menilai mekanisme antirefluks yang kurang baik,
dengan cara mengobservasi refluks gastresofageal dan melihat perubahan morfologi
refluks esofagitis.2,3
2.6.3 Pemantauan pH 24 jam.
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada
bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus distal dapat memastika ada tidaknya
refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik
untuk refluks gastroesofageal2,3
2.6.4 Pemeriksaan Bernstein
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari satu
jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada pasien dengan gejala yang
tidak khas. Tes ini dianggap positif bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada pada
pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup
kemungkinan adanya gangguan pada esofagus3.
2.6.5 Pemeriksaan Manometri
Manometrik esofagus merupakan pemeriksaan untuk menilai fungsi motor atau
adanya gangguan motilitas esofagus terutama LES, mengevaluasi sumber gejala refluks
13
dan digunakan terutama pada pasien dalam perencanaan terapi pembedahan antirefluks.
Penilaian motilitas esofagus sangat membantu dalam mendiagnosa akalasia, spasme
esofagus yang difus, skleroderma dan gangguan motor yang lain dari esofagus.
Pemeriksaan manometrik memberikan informasi secara kuantitatif yang tidak akan
didapatkan dengan pemeriksaan endoskopi dan barium radiografi. 2,3
2.6.6 Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan
menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya technetium)
dan bersifat non invasif. Selanjutnya sebuah penghitung gamma eksternal akan memonitor
transit dari cairan atau makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini
masih diragukan.2,3
2.6.7 Tes supresi asam
Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empiris untuk menilai gejala dari GERD.
Dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respon yang
terjadi. Tes ini terutama dilakukan jika modalitas lainya seperti endoskopi dan ph metri
tidak tersedia. Tes ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50-75% gejala yang
terjadi. Dewasa ini tes ini merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme
tatalaksana GERD Pada pelayanan kesehatan lini pertama pada pasien yang tidak memiliki
alarm symptom (BB turun, anemia, hematemesis, melena, disfagia, odinofagia, riwayat
keluarga dengan keganasan esofagus atau lambung dan umur diatas 40 tahun.3
2.6.8 Diagnosis Refluks Ekstraesofagus
Diagnosis REE dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis terarah mengenai riwayat
penyakit GERD, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hipofaring, laring dan tes diagnosis.
Memonitor ph 24 jam dengan double/trople probe pada esofagus bagian atas (minimal 1
probe). Pemeriksaan laringoskopi fleksible fiberoptik, videolaringoskopi, video
stroboskopi dan laringoskopi kaku merupakan pemeriksaan yang sensitif terhadap refluks
ekstraesofagus.5
2.7 PENATALAKSANAAN
Walau keadaan ini jarang menyebabkan kematian, mengingat kemungkinan
timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun esofagus
Barett’s yang merupakan keadaan premalignan, maka seyogyanya penyakit ini mendapat
penatalaksaan yang adekuat. Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu
14
terapi modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhir-
akhir ini mulai dipekenalkan terapi endoskopik 2,3,5
Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus,
menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan
mencegah timbulnya komplikasi 3,5.
2.7.1 Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun
demikian bukan merupakan pengobatan primer3. Usaha ini bertujuan untuk mengurangi
refluks serta mencegah kekambuhan3,5.
Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain2,3,5 :
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan sebelum tidur,
dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung selama tidur serta mencegah
refluks asam lambung ke esofagus.
2. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada tonus SEB.
3. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di makan
karena dapat menimbulkan distensi lambung.
4. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk
mengurangi tekanan intrabdomen.
5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan minuman soda
karena dapat merangsang aam lambung.
6. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan menurunkan
tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam, antagonis kalsium,
progesteron.
Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita hamil
dengan GERD5.
2.7.2 Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam menekan
sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal baru diberikan
15
yang lebih kuat menekan sekresi asam dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat
pompa proton. Sedangkan untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana berupa PPI
terlebih dahulu, setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat dengan kerja yang kurang kuat
dalam menekan sekresi asam lambung, yaitu antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan
antasid.2,7
1. Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan masih
dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis. Selain sebagai penekan
asam lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan SEB3,4.
Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan
diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang
mengandung aluminium. 3,7
2. Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD . Yang termasuk obat
golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi
asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika
diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus2,3. Pengguanaan obat ini
dinilai efektif bagi keadaan yang berat, misalnya dengan barrett’s esophagus5.
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai
sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg7
3. Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya,
pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam. Obat ini berfungsi
untuk memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan gaster 4.
a. Metoklopramid3,7
- Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan dalam
penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan antagonis
reseptor H2 atau PPI.
- Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap saraf
pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia
- Dosis 3x10 mg sebelum makan dan sebelum tidur2.
16
b. Domperidon3,7
- Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid) hanya
saja obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek sampingnya
lebih jarang.
- Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini
diketahui dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan
lambung.
- Dosis 3x10-20 mg sehari
c. Cisapride3,7
- Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat
memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan lambung.
- Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi lebih
bagus dari domperidon.
- Dosis 3x10 mg
4. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan berefek
pada meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus
serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman karen
bersifat topikal. Dosis 4x1 gram.2,3,7
5. Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)
Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan drug of
choice3,4,5. Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
memperngaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan
serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat yang
refrakter dengan antagonis reseptor H2.
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg
17
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) berikutnya
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan, tergantung esofagitisnya.
Efektivitas obat ini semakin bertambah jika dikombinasi golongan prokinetik.7
Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama.5
18
Skema 2. Algoritma tatalaksana GERD pada pusat pelayanan yang memiliki fasilitas diagnostik memadai.5
2.7.3 Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi medikamentosa
pada pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar, pasien GERD sering disertai
gejala lain seperti rasa kembung, cepet kenyang dan mual-mual yang lebih lama
menyembuhkan esofagitisnya. Pada kasus Barrett’s esofagus kadang tidak memberikan
respon terhadap terapi PPI, begitu pula dengan adenokarsinoma dan bila terjadi striktura.
Pada disfungsi SEB juga memiliki hasil yang tidak memuaskan dengan PPI3.
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi modifikasi gaya
hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah
fundoplikasi2,6.
1. Fundoplikasi Nissen 4,6
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit
GERD bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil. Pada
Hiatus hernia, Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik operasi ini
dilakukan dengan laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah memperkuat esofagus bagian
bawah untuk mencegah terjadinya refluks dengan cara membungkus bagian bawah
esofagus dengan bagian lambung atas.
Gambar 2. Nissen Fundoplication
Indikasi Fundoplikasi
a. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak
sepenuhnya responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi medis
jangka panjang yang tidak menguntungkan.
19
b. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI, Pada pasien
ini dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan penyakit
yang tekontrol dengan baik juga dapat dilakukan pertimbangan pembedahan.
c. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam lambung
meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah keganasan, tetapi
kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi asam lambung secara lengkap
untuk pencegahan pada pasien yang terbukti secara histologis menderita esofagus
barret.
2. Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir ini
mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu penggunaan
energi radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal, implantasi endoskopik dengan
menyuntikan zat implan di bawah mukosa esofagus bagian distal sehingga lumennya
menjadi lebih kecil3.
Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal pasien
suspek GERD dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat untuk terapi medik.6
2.8. KOMPLIKASI
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi pada
GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis, Striktura
esofagus dan esofagus Barret 1,2,3.
2.8.1 Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari 50%
pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara lambung dan
esofagus2.
2.8.2 Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks2. Hal
ini ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal junction. Striktur
timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang bermanifestasi sulit menelan atau disfagia pada
makanan padat. Seringkali keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura berperan
sebagai barier refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari 13 mm.
Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat dilakukan
operasi 3.
20
2.8.3 Barrett’s Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi epitel
kolumnar metaplastik 2. Keadaan ini merupakan prekursor Adenokarsinoma esofagus4.
Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10%
pasien dengan esofagus Barrett.
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan regurgutasi.
Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini diduga karena sensitivitas
epitel Barrett terhadap asam yang menurun.
Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenal dengan mudah dengan tampaknya
segmen yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna kemerahan meluas ke proksimal
melampaui “gastroesophageal junction” dan tampak kontras sekali dengan epitel
skuamosa yang pucat dan mengkilat dari esofagus. Penyakit ini dapat ditatalaksana dengan
medikamentosa3.
2.8.4 Komplikasi lain
Asma gaster merupakan salah satu komplikasi GERD pada paru. Selain pada paru,
kelainan laringofaring juga dapat terjadi, seperti laringitis posterior, globus faringeus,
stenosis laring atau trakea, spasme laring dan nyeri tenggorok. Komplikasi ekstra esofagus
lainnya adalah sinusitis, otalgia dan erosi dental.1
2.9 PROGNOSIS
Sebagian besar pasien dengan GERD akan mebaik dengan pengobatan, walaupun
relaps mungkin akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi medis yang lebih lama.4
Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktur, aspirasi, penyakit
saluran nafas, Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi pembedahan. Prognosis
untuk pembedahan biasanya baik. Meskipun begitu, mortaliti dan morbiditi adalah tinggi
pada pasien pembedahan dengan masalah medis yang kompleks.4
.
2.10
21
BAB III
KESIMPULAN
1. GERD merupakan suatu keadaan dimana terjadinya refluk isi lambung ke esofagus
dengan akibat menimbulkan gejala klinis
2. Gejala yang sering ditemukan pada GERD adalah rasa nyeri dada retrosternal atau
rasa panas (heartburn) di dada, regurgutasi, disfagia, mual bahkan sampai suara
serak karena mengiritasi laring, menyebabkan laringitis.
3. Prosedur diagnostik yang membantu untuk menegakkan diagnosis GERD yaitu
pemantauan pH esofagus 24jam, pemeriksaan radiografi barium, endoskopi, biopsy
dan tes perfusi asam
4. Diagnosis GERD ditetapkan berdasarkan gejala klinis yang khas berupa heart burn
dan disertai pemeriksaan penunjang dijumpai gambaran refluks cairan lambung,
peradangan mukosa esofagus dan esofagus dalam keadaan asam
5. Penatalaksanaan GERD yaitu modifikasi gaya hidup, medikamentosa dan terapi
bedah. Pada sebagian besar kasus GERD pasien sembuh dengan terapi
medikamentosa.
6. Komplikasi yang ditimbulkan oleh GERD berupa perdarahan esofagus hingga
adenokarsinoma harus diwaspadai sedini mungkin.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. : Jakarta2. Patti, Marco G. 2010. Gastroesophageal reflux disease: From pathophysiology to
treatment. World J Gastroenterol 2010 August 14; 16(30): 3745-3749.3. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 20074. Syam AF, Aulia C, Renaldi K, Simadibrata M, Abdullah M, Tedjasaputra.2013.
Revisi konsensus nasional penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal (Gastro-esophageal Reflux Disease/ GERD) di Indonesia 2013. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.
5. Ndraha, Suzanna. 2014. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Vol. 27, No. 1 April 2014
6. Sjamsuhidajat & Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta7. Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi. Ed. 5.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
23