referat ayu

27
REFERAT MEKANISME DAN PENATALAKSAAN CEDERA SEKUNDER MEDULA SPINALIS Perseptor: dr. Roezwir Azhary, Sp. S Disusun oleh: Ayu Sulung Nariratri, S. Ked 1018011044

Upload: billy-aditya-pratama

Post on 07-Nov-2015

276 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

tugas

TRANSCRIPT

REFERATMEKANISME DAN PENATALAKSAAN CEDERA SEKUNDER MEDULA SPINALIS

Perseptor:dr. Roezwir Azhary, Sp. S

Disusun oleh:Ayu Sulung Nariratri, S. Ked1018011044

KEPANITERAAN KLINIK SMF SARAFFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG RUMAH SAKIT UMUM ABDUL MOELOEK2015BAB IPENDAHULUAN

Medula spinalis merupakan suatu massa jaringan saraf yang berbentuk silinder memanjang di dalam kolumna vertebralis. Panjang normal sumsum tulang orang dewasa adalah 42-45cm dan bagian ujung atas dari medula spinalis ini dilanjutkan dengan batang otak. Konus medularis merupakan ujung distal (inferior) dari medula spinalis yang berbentuk kerucut. Filum terminale membentang dari ujung konus dan melekat pada bagian distal kantong dura (Snell, 2006; deGroot, 1997).

Medula spinalis terbagi atas segmen-segmen yang berfungsi mengatur mekanisme sensoris, motorik, dan otonom pada masing-masing segmennya (Gambar 1). Segmen-segmen tersebut terbagi dalam empat bagian yaitu segmen servikal (8 segmen), segmen torakal (12 segmen), segmen lumbal (5 segmen), dan segmen sakral (5 segmen). Segmen-segmen ini harus selalu terhubung satu sama lain agar dapat menjalankan fungsinya. Kerusakan pada sistem koneksi medula spinalis ini akan menyebabkan proses penghantaran sinyal tidak berjalan dengan baik (Bradbury dan McMahon, 2006).

Tiap segmen dari medula spinalis mempunyai empat akar yaitu akar ventralis dan dorsalis pada sisi kiri dan sisi kanan. Segmen servikal yang pertama biasanya tidak memiliki akar dorsalis. Masing-masing dari saraf spinalis yang muncul dari medula spinalis mempunyai satu akar ventral dan satu akar dorsal yang akan dibentung oleh 8 serabut akar. Pada akar dorsalis dari suatu saraf spinal yang khas, terdapat ganglion akar dorsalis yaitu suatu penggembungan yang berisi badan-badan sel saraf (Snell, 2006; deGroot, 1997).

Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian. Sejak dahulu sudah diketahui bahwa cedera yang mengenai medula spinalis akan menyebabkan disabilitas baik berupa gejala negatif (kehilangan kemampuan bergerak dan sensibilitas) maupun gejala positif (nyeri dan spasme kronik). Selain itu, kerusakan yang disebabkan oleh cedera medula spinalis sangat sulit diperbaiki dengan terapi apapun. Trauma medula spinalis meliputi kerusakan medula spinalis karena trauma langsung atau tak langsung. Trauma medula spinalis merupakan penyebab kematian dan kecacatan pada era modern, dengan 8000-10000 kasus per tahun pada populasi penduduk USA dan membawa dampak ekonomi yang tidak sedikit pada sistem kesehatan dan asuransi di USA. Angka mortalitas diperkirakan 48% dalam 24 jam pertama, dan lebih kurang 80% meninggal di tempat kejadian. Hal ini disebabkan vertebra servikalis yang memiliki resiko trauma yang paling besar, dengan level tersering C5, diikuti C4, C6, dan kemudian T12, L1, dan T10 (Gondowardaja dan Purwata, 2014; Sina, 2013; Bradbury dan McMahon, 2006; PERDOSSI, 2006).

Gambar 1. Struktur Medula Spinalis (Bradbury dan McMahon, 2006)Secara epidemiologi, diperkirakan insidensi cedera medula spinalis sebesar 22 tiap satu juta populasi dengan 2,5 juta diantaranya menjadi survivor dari cedera medula spinalis. Cedera medula spinalis sering terjadi pada orang yang berusia sekitar 20 tahun dimana populasi tersebut adalah populasi yang seharusnya memiliki kualitas hidup yang baik. Meskipun angka harapan hidup penyandang cedera medula spinalis tinggi, penderitanya biasanya akan kehilangan kualitas hidup akibat kecacatan yang dimilikinya. Trauma medula spinalis baik traumatik maupun non traumatik akan memberikan dampak berupa disabilitas dan disfungsi yang bersifat katastropik. Secara fisik dan fisiologis, dampak dari trauma medula spinalis akan ikut mempengaruhi keluarga dan lingkungannya (Lim dan Tow, 2007; Rossignol et al, 2007).

BAB IIMEKANISME CEDERA SEKUNDER

Kerusakan primer merupakan sebuah nidus atau titik awal terjadinya kerusakan sekunder. Kerusakan sekunder disebabkan antara lain, oleh syok neurogenik, proses vaskular, seperti perdarahan dan iskemia, eksotoksisitas, lesi sekunder yang dimediasi kalsium, gangguan elektrolit, kerusakan karena proses imunologi, apoptosis, gangguan pada mitokondria, dan proses lain. Cedera medula spinalis akibat trauma mengakibatkan beberapa perubahan. Pertama, cedera dapat langsung merusak badan sel. Sel yang rusak akan mati dan seperti yang telah diketahui bahwa medula spinalis tidak mengandung stem sel sehingga sangat sulit untuk diperbaiki. Kedua, cedera yang mengenai akson ternyata jauh lebih signifikan efeknya dalam kerusakan medula spinalis (Gondowardaja dan Purwata, 2014; Bradbury dan McMahon, 2006)

Cedera medula spinalis dapat terjadi akibat trauma eksogen maupun endogen. Berdasarkan patologinya, mekanisme cedera pada medula spinalis dibagi menjadi cedera primer (langsung) dan cedera sekunder (berhubungan dengan perubahan vaskularisasi dan biokimiawi). Berdasarkan respon biologisnya, cedera medula spinalis dibagi menjadi tiga fase yaitu fase akut (onset terjadi dalam hitungan detik sampai menit setelah cedera), fase subakut/ sekunder (onset terjadi dalam hitungan menit sampai beberapa minggu setelah cedera), dan fase kronik (onset terjadi dalam hitungan bulan atau beberapa tahun setelah cedera). Proses yang terjadi dalam setiap fase ini berbeda-beda namun berkelanjutan (Tabel 1) (Oyinbo, 2011; Hamann et al, 2008).

ACUTESUB-ACUTECHRONIC

Systemic hypotension and spinal shock

VasospasmVasospasm

Cell death from direct insultCell death from direct insult

IschemiaIschemia

OedemaOedema

Derangements in ionic homeostasisDerangements in ionic homeostasis

Accumulation of neurotransmittersGlutamatergic excitotoxicity

Plasma membrane compromisePlasma membrane compromise /Permeability

Free-radical production

Lipid peroxidation

Nitrous oxide excess

Conduction block

Excess noradrenaline

Energy failure and decreased ATP

Immune cells invasion and release of cytokines

Inflammatory mediated cell death

Neurite growth-inhibitory factors

Central chromatolysis

Vertebral compression / column instability

Demyelination of surviving axonsContinued demyelination

ApoptosisContinued apoptosis

Initiation of central cavitationContinued central cavitation

Astroglial scar launchGlial scar / syrinx formation

Alteration of ion channels and receptors

Regenerative processes, including sprouting by neurons

Altered neurocircuits

Syringomyelia

Tabel 1. Respon biologis dari setiap fase dalam cedera medula spinalis (Oyinbo, 2011).

Dalam jurnalnya, Oyinbo (2011) mengatakan bahwa fase subakut atau disebut juga fase sekunder terjadi dalam hitungan menit sampai beberapa minggu dari onset cedera. Fase sekunder ini merupakan kelanjutan dari fase akut yang terjadi sebelumnya. Ada beberapa mekanisme yang terjadi dalam fase ini (Tabel 1). Beberapa mekanisme yang akan dijelaskan antara lain (1) peran sistem imun, (2) peran peroksidasi lipid, (3) peran eksitotoksisitas glutamat, (4) peran apoptosis, (5) kekacauan vaskularisasi lokal, dan (6) faktor lain pada cedera medula spinalis.

Bagan 1. Patofisiologi kerusakan sekunder medula spinalis (Gondowardaja dan Purwata, 2014).

(1) Peran Sistem Imun dalam Cedera Medula SpinalisPada medula yang cedera, terjadi suatu proses yang dikenal sebagai inflamasi. Inflamasi adalah kunci utama dalam mekanisme cedera sekunder ini. Sistem imun tubuh akan mengeluarkan sitokin proinflamasi yang terdiri dari interleukin dan tumor nekrosis faktor yang akan meningkat selama proses inflamasi. Respon inflamasi sangat penting dalam proses pembersihan debris yang dapat mencegah regenerasi dari akson. Meskipun demikian, aktivasi berlebihan dari respon inflamasi dapat merusak jaringan sehat dan mengakibatkan eksaserbasi dari cedera tersebut (Oyinbo, 2011). Sel glia berfungsi menjaga proses homeostasis melalui regulasi asam amino eksitatorik dan derajat keasaman (pH). Sel glia menghasilkan berbagai macam growth factor untuk menstabilkan kembali jaringan saraf yang rusak, serta sprouting atau penyebaran ujung saraf. Sel glia lain berfungsi menghilangkan debris atau sisa sel melalui enzim lisosom. Leukosit mempunyai peran bifasik saat trauma, awalnya didapatkan predominasi inflitrasi neutrofil yang melepaskan enzim lisis yang akan mengeksaserbasi kerusakan sel saraf, sel glia, dan vaskular, tahap berikutnya adalah proses rekruitmen dan migrasi makrofag yang akan memfagositosis sel rusak (Gondowardaja dan Purwata, 2014).

Proses rekrutmen sel imun pada lokasi trauma dimediasi oleh berbagai golongan protein, seperti ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1). Protein ini akan memodulasi infiltrasi neutrofil pada lokasi trauma. Penggunaan antibodi monoklonal ICAM-1 pada percobaan dapat mensupresi mieloperoksidase, mengurangi edema medula spinalis, dan meningkatkan aliran darah medula spinalis. Molekul protein sejenis yang berfungsi mirip ICAM-1 antara lain P-selektin, sitokin interleukin-1, interleukin-6, and tumor necrosis factor (TNF), sedangkan interleukin-10 mampu mengurangi TNF yang akan menurunkan juga monosit dan sel imun lain pascatrauma. Faktor lain yang masih perlu dipahami lebih lanjut adalah aktivasi faktor kappa-B; faktor nuklear kappa-B merupakan kelompok gen yang meregulasi proses inflamasi, proliferasi, dan kematian sel (Gondowardaja dan Purwata, 2014).

Pada proses inflamasi, terjadi keterlibatan dari empat sel imun utama, yaitu neutrofil, monosit, mikroglia, dan limfosit T. Neutrofil pada jaringan spinal akan menghilangkan mikroba dan debris dari jaringan. Namun, neutrofil juga akan mengeluarkan sitokin, protease, dan radikal bebas yang akan mengaktivasi timbulnya proses inflamasi di tempat lain yang dapat menyebabkan kematian pada neuron. Monosit pada jaringan spinal akan berubah menjadi makrofag yang bersama-sama dengan mikroglia mensekresi sitokin, radikal bebas, dan faktor pertumbuhan yang akan menimbulkan efek positif dan negatif seperti yang terjadi pada neutrofil. Beberapa penelitian mengatakan bahwa limfosit T juga berperan dalam memberikan efek negatif bagi jaringan spinal yaitu mengakibatkan hilangnya fungsi jaringan (Oyinbo, 2011).

Selain mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis itu sendiri, proses inflamasi juga menimbulkan hipersensitivitas nyeri yang diperantarai oleh mediator-mediator inflamasi dari sel imun dan sel non-neuronal di perifer. Mediator pro inflamasi (interleukin-1, interleukin-6, TNF-) diduga berperan pada proses hipersensitivitas ini. Mediator pro inflamasi akan menyebabkan ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi aktivitas sinaps sehingga terjadilah nyeri neuropatik. Inhibisi pada mediator pro inflamasi ini dapat mengurangi nyeri kronik yang ditimbulkannya (Kawasaki et al, 2008).

(2) Peran Peroksidasi LipidSetelah terjadi cedera, akan terjadi proses patologis berupa dikeluarkannya oksigen reaktif (ROS) dan nitrogen reaktif (RNS). ROS dan RNS ini akan mencetuskan terjadinya peroksidasi lipid yang akan merusak protein dan asam amino. ROS yang berperan dalam proses cedera sekunder adalah peroksinitrit (PON). Selain itu, peroksidasi lipid juga akan menyebabkan absorbsi elektron oleh radikal bebas pada molekul lipid. Molekul tersebut akan kehilangan kestabilannya dan terjadilah lisis membran molekul dan kematian molekul akibat nekrosis (Oyinbo, 2011).

(3) Peran Eksitotoksisitas GlutamatGlutamat, neurotransmiter eksitatori utama dalam sistem saraf pusat akan otomatis dirilis ketika terjadi cedera. Glutamat ekstraseluler akan segera meningkat kadarnya dan berada di sekitar daerah cedera sehingga dapat menyebabkan kerusakan langsung pada daerah cedera tersebut. Selain itu, glutamat secara tidak langsung akan memperberat kerusakan di daerah cedera tersebut dengan memproduksi oksigen reaktif. Neuron dan oligodendrosit merupakan struktur yang paling mudah rusak oleh proses eksitotoksisitas glutamat karena pada kedua struktur tersebut banyak terdapat reseptor glutamat. Pada proses eksitotoksisitas glutamat terjadi demielinisasi akson. Akson yang kehilangan mielin akan secara langsung terpapar oleh radikal bebas dan sitokin sehingga akson akan mengalami nekrosis dan atau apoptosis. Akibatnya, akan terjadi penurunan drastis dari fungsi konduksi yang menghubungkan otak dengan medula spinalis (Oyinbo, 2011).

(4) Peran ApoptosisSelama fase akut, trauma spinal yang terjadi akan menyebabkan kematian medula spinalis secara langsung. Setelah beberapa jam, akan terjadi apoptosis (sel terbagi menjadi segmen-segmen sesuai dengan yang diprogramkan tubuh). Proses apoptosis ini biasanya terjadi pada neuron, oligodendrosit, mikroglia, dan astrositosit. Proses apoptosis ini memerlukan energi dan sintesis protein. Infuk kalsium adalah faktor yang berperan dalam apoptosis ini. Influk kalsium akan mengaktivasi enzim calpain yang berada di dalam sel dan menghancurkan sel protein dalam sitoskeleton dan membran sel hingga terjadi kematian sel (Bagan 1) (Oyinbo, 2011).

Bagan 2. Hubungan kerusakan oksidatif dan mekanisme degradasi calpain proteolitik pada cedera medula spinalis (Xiong, 2007).Apoptosis mikroglia menyebabkan respons sekunder trauma, apoptosis oligodendrosit mengakibatkan demielinisasi pascatrauma pada beberapa minggu berikutnya, apoptosis neuron akan mengakibatkan hilangnya sel saraf. Proses apoptosis melalui dua jalur, jalur pertama ekstrinsik yang dimediasi oleh ligan Fas, reseptor Fas, dan inducible nitric oxide synthase (i-NOS) yang diproduksi makrofag, sedangkan jalur intrinsik lewat aktivasi proenzim kaspase-3 oleh rusaknya mitokondria, sitokrom-C, dan kaspase-9. Studi menggunakan inhibitor kaspase dapat mencegah kematian sel. Reseptor apoptosisdipengaruhi oleh tumor necrosis factor (TNF). Tumor necrosis factor meningkat pascatrauma dan mengaktifkan reseptor Fas di sel saraf, mikroglia, dan oligodendrosit yang akan mengaktifkan pula beberapa kaspase, seperti kaspase-8 sebagai inducer, kaspase-3 dan 6 sebagai kaspase efektor. Produksi i-NOS mengaktifkan kaspase dengan cara yang serupa dengan TNF (Gondowardaja dan Purwanto, 2014).

(5) Kekacauan Vaskularisasi LokalMedula spinalis yang terkena trauma biasanya mengalami perdarahan berat pada daerah substansia abu-abu. Proses ini belum dapat dijelaskan secara rinci. Perdarahan ini diduga mengakibatkan iskemik dan proses agregasi platelet yang akan menyumbat mikrosirkulasi pada medula spinalis. Dalam beberapa jam, biasanya iskemik akan semakin memberat (Oyinbo, 2011).

BAB IIIPENATALAKSAAN CEDERA SEKUNDER

Beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap cedera medula spinalis menyebutkan bahwa penatalaksanaan cedera medula spinalis dapat melalui intervensi (Gambar 2) endogen (perbaikan secara anatomi, neurokimia, fisiologi) dan eksogen (farmakologi, pembedahan, rehabilitasi). Terdapat beberapa tujuan pengobatan pada lesi medula spinalis diantaranya yaitu untuk menjaga sel yang masih hidup agar terhindar dari kerusakan lanjut, untuk mengeliminasi kerusakan akibat proses patogenesis sekunder, mengganti saraf yang rusak, menstimulasi pertumbuhan akson dan koneksitasnya, memaksimalkan penyembuhan defisit neurologis, melakukan stabilisasi vertebra, neurorestorasi dan neurorehabilitasi untuk mengembalikan fungsi tubuh (Sina, 2013; Rossignol et al, 2007).

Gambar 2. Intervensi pada Cedera Medula Spinalis (Rossignol et al, 2007)

Saat ini, fokus penelitian mengenai cedera medula spinalis adalah untuk menemukan bagaimana cara meregenerasi akson-akson yang rusak akibat mekanisme cedera sekunder. Ada tiga tujuan dalam penelitian mengenai regenerasi akson ini. Pertama, untuk menginisiasi dan mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan akson. Kedua, untuk secara langsung meregenerasi akson dan menghubungkannya kembali dengan neuron target. Ketiga, untuk mengembalikan fungsi dari medula spinalis tersebut (Bradbury dan McMahon, 2006; Rossignol et al, 2007).

MEDIKAMENTOSABeberapa agen sudah diteliti penggunaannya dalam intervensi intensif pada cedera medula spinalis. Metylprednisolone Sodium Succinate (MPSS), GM-1, TRH, gacyclidine, naloxone, dan nimodipin adalah beberapa agen yang dapat digunakan dalam intervensi eksogen cedera medula spinalis (Tabel 2) (Hawryluk et al, 2008).

1. KortikosteroidKortikosteroid sering digunakan dalam kasus neurotrauma karena efek neuroprotektifnya. Kortikosteroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid, mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis, menghambat pelepasan endorfin dari hipofisis, dan menghambat respon radang. Metilprednisolon menjadi pilihan karena dapat menembus sel saraf lebih cepat. The National Acute Spinal Cord Injury Study (NASCIS) I merekomendasikan dosis tinggi sebesar 30mg/kgBB sebagai pencegah peroksidasi lipid, diberikan sesegera mungkin setelah trauma karena distribusi metilprednisolon akan terhalang oleh kerusakan pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme kerusakan sekunder. Penelitian NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis 30mg/kgBB bolus IV selama 15 menit dilanjutkan dengan 5,4mg/kgBB secara infus selama 23 jam berikutnya dengan nalokson (antireseptor opioid) 5,4 mg/kgBB bolus IV, dilanjutkan dengan 4 mg/kgBB /jam secara infus selama 23 jam. Hasilnya, metilprednisolon lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam pascatrauma. Penelitian NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan secara infus sampai 48 jam ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding pemberian 24 jam. Selain itu, dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor peroksidase lipid nonglukokortikoid, dan ternyata tidak lebih baik dibanding metilperdnisolon (Gondowardaja dan Purwata, 2014; Hawryluk et al, 2008; Lim dan Tow, 2007).

Tabel 2. Penelitian berbagai agen intervensi cedera medula spinalis (Hawryluk et al, 2008).

2. GM-1 GangliosidMonosialotetraheksosilgangliosid (GM-1 gangliosid) merupakan asam salisilat yang terdapat di menran jaringan saraf yang berperan meningkatkan neuronal sprout dan transmisi sinaptik. Fungsi GM-1 gangliosid antara lain sebagai faktor pertumbuhan neurit, menstimulasi pertumbuhan sel saraf, serta meregulasi protein kinase C untuk mencegah kerusakan sel saraf pascaiskemik. Pada percobaan, dilakukan terapi 72 jam pascatrauma dan dimulai dengan dosis 100 mg/hari. Terdapat hipotesis bahwa pemberian GM-1 gangliosid lebih awal setelah cedera akan memberikan efikasi yang lebih baik. Studi terbaru menyatakan masih kurang bukti ilmiah terkait obat ini (Gondowardaja dan Purwata, 2014, Hawryluk et al, 2008).

3. Antagonis OpioidOpioid endogen memperparah kerusakan sekunder. Opioid endogen akan menginhibisi sistem dopaminergik dan depresi sistem kardiovaskular. Penggunaan nalokson sebagai antagonis opioid pada NASCIS II menunjukkan hasil tidak lebih baik dibanding metilprednisolon. Penggunaan obat golongan antagonis reseptor kappa pada hewan coba berhasil baik; diduga berefek pada perbaikan sirkulasi pembuluh darah, pengurangan influks kalsium, peningkatan kadar magnesium, serta modulasi pelepasan asam amino eksitatorik. Pemberian antagonis opioid dapat mencegah hipotensi sehingga mikrosirkulasi medula spinalis membaik (Gondowardaja dan Purwata, 2014; Hawryluk et al, 2008).

4. Thyrotropin-Releasing HormonThyrotropin-releasing hormone (TRH) adalah tripeptida yang mempunyai fungsi melawan faktor-faktor pengganggu, seperti opioid endogen, platelet activating factor, peptidoleukotrien, dan asam amino eksitatorik, sehingga akan menguatkan aliran darah spinalis, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan mencegah degradasi lipid. Pemberian thyrotropin-releasing hormone intravena bolus 0,2 mg/kgBB diikuti 0,2 mg/kgBB/jam infus sampai 6 jam, dikatakan memberikan hasil baik, terutama perbaikan motorik dan sensorik sampai 4 bulan setelah cedera (Gondowardaja dan Purwata, 2014; Hawryluk et al, 2008).

5. Penyekat Kanal KalsiumKalsium berperan pada kematian sel melalui mekanisme efek neurotoksik, vasospasme arteri, blokade kanal natrium serta NMDA dan AMPA. Obat yang dipakai adalah nimodipin, golongan lainnya adalah benzamil dan bepridil merupakan antagonis ion kalsium dan natrium. Nimodipin adalah golongan penyekat kanal kalsium dihidropiridin, sering dipakai pada kasus stroke, memiliki fungsi blokade kanal ion kalsium sehingga mencegah akumulasi ion kalsium intrasel terutama pada dinding sel endotel pembuluh darah, oleh karena itu dianggap dapat mencegah vasospasme dan iskemi post trauma. Namun, klinis masih belum terbukti mampu meningkatkan keluaran pascatrauma karena diduga ada keterlibatan kanal ion lain. Influks kalsium terjadi dalam hitungan detik pascatrauma sehingga jendela terapeutiknya sempit. Beberapa studi menunjukkan bahwa peningkatan dosis justru malah memperjelek aliran darah regional menyebabkan hipoperfusi dan iskemia. Karena itu, dosis terapeutiknya juga sempit dan penggunaannya selektif (Gondowardaja dan Purwata, 2014; Hawryluk et al, 2008).

NON MEDIKAMENTOSAPenelitian Fehling et al (2012) menyatakan bahwa pasien dengan trauma medula spinalis yang mendapatkan intervensi pembedahan 8-24 jam setelah onset memiliki outcome yang lebih baik serta cedera sekunder yang minimal. Selain pembedahan, saat ini sudah ada banyak data yang menunjukkan tentang bagaimana strategi yang dapat dilakukan dalam meregenerasi akson. Strategi ini antara lain dengan menetralisasi dari inhibitor mielin dan degradasi inhibitor komponen skar pada sel glia. Regenerasi akson juga dapat dilakukan dengan memberikan molekul pemacu pertumbuhan yang akan membuat lingkungan lesi menjadi aktif untuk tumbuh. Termasuk memunculkan faktor neurotropik eksogen atau manipulasi yang meregenerasi jalur neuron, sebaik beberapa strategi transplantasi seluler seperti fibroblas yang dimodifikasi secara genetik, jembatan sel Schwann, sel olfaktori berselaput, dan stem sel. Lebih lanjut, terapi kombinasi yang ditujukan untuk berbagai faktor juga menunjukkan aksi yang sinergis untuk mengungkapkan bagaimana regenerasi akson setelah cedera medula spinalis tersebut (Bradbury dan McMahon, 2006).

BAB IVKESIMPULAN

Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian. Kerusakan sekunder medula spinalis disebabkan antara lain, oleh syok neurogenik, proses vaskular, seperti perdarahan dan iskemia, eksotoksisitas, lesi sekunder yang dimediasi kalsium, gangguan elektrolit, kerusakan karena proses imunologi, apoptosis, gangguan pada mitokondria, dan proses lain. Saat ini, fokus penelitian mengenai cedera medula spinalis adalah untuk menemukan bagaimana cara meregenerasi akson-akson yang rusak akibat mekanisme cedera sekunder. Beberapa agen sudah diteliti penggunaannya dalam intervensi intensif pada cedera medula spinalis. Metylprednisolone Sodium Succinate (MPSS), GM-1, TRH, gacyclidine, naloxone, dan nimodipin adalah beberapa agen yang dapat digunakan dalam intervensi eksogen cedera medula spinalis.

DAFTAR PUSTAKA

Bradbury EJ, McMahon SB (2006) Spinal cord repair strategies: why do they work?. Perspectives 7: 644-652.DeGroot J (1997) Neuroanatomi Korelasi. Penerbit EGC: 30-31.Fehling MG et al (2012) Early versus Delayed Decompression for Traumatic Cervical Spinal Cord Injury: Results of teh Surgical Timing in Acute Spinal Cord Injury Study (STASCIS). Plus One 7 (2): 1-7.Gondowardaja Y, Purwata TE (2014) Trauma Medula Spinalis Patobiologi dan Tata Laksana Medikamentosa. CDK 219 (41): 567-571.Hamann K, Durkes A, Ouyang H, Uchida K, Pond A, Shi R (2008) Critical role of acrolein in secondary injury following ex vivo spinal cord trauma. J of Neurochemistry 107: 712-721.Hawryluk GWJ, Rowland J, Kwon BK, Fehlings MG (2008) Protection and repair of the injured spinal cord: a review of completed, ongoing, and planned clinial trials for acute spinal cord injury. Neurosurg Focus 25 (5): 1-15.Kawasaki Y, Zhang L, Cheng JK, Ji RR (2008) Cytokine Mechanism of Central Sensitization: Distinct and Overlapping Role of Interleukin-1, Interleukin-6, and Tumor Necrosis Factor- in Regulating Synaptic and Neuronal Activity in the Superficial Spinal Cord. J of Neuroscience 28 (20): 5189-5194.Lim PAC, Tow AM (2007) Recovery and Regeneration after Spinal Cord Injury: A Review and Summary of Recent Literature. Ann Acad Med Singapore 36: 49-57.Oyinbo CA (2011) Secondary injury mechanisms in traumatic spinal cord injury: a nugget of this multiply cascade. Acta Neurobiol 71: 281-299.PERDOSSI (2006) Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta: 19-29.Rossignol S, Scwab M, Schwartz M, Fehlings MG (2007) Spinal Cord Injury: Time to Move?. J of Neuroscience 27 (44) 11782-11792.Sina MI (2013) Myelopati e.c. Fraktur Kompresi Vertebra Lumbal 1. Medula 1 (5): 24-50.Snell RS (2006) Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Penerbit EGC: 880-900.Xiong Y, Rabchevsky AG, Hall ED (2007) Role of peroxynitrite in secondary oxidative damage after spinal cord injury. J of Neurochemistry 100: 639-649.