gangguan ginjal akut
DESCRIPTION
UrogenitaliaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan ginjal akut sebelumnya disebut sebagai gagal ginjal akut adalah
peningkatan kadar kreatinin serum dan metabolit persenyawaan nitrogen, yang
disebabkan oleh penurunan secara cepat kemampuan ginjal dalam mempertahankan
homeostasis cairan dan elektrolit. Angka kejadian gangguan ginjal akut pada anak
menjadi meningkat dan etiologi selama dekade terakhir telah bergeser dari penyakit
renal primer menjadi multifaktorial.1 Etiologi gangguan ginjal akut dibagi menjadi
prerenal, renal intrinsik, dan post renal. Diagnosis Gangguan ginjal akut
menggunakan kriteria RIFLE (R-risk, I-injury, F-failure, L-loss, E-end stage).
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang meliputi urinalisis dan
pemeriksaan radiologis dapat menegakkan penyebab gangguan ginjal akut.2
Prinsip penatalaksanaan gangguan ginjal akut dimulai dengan pengobatan
konservatif. Pengobatan konservatif pada gangguan ginjal akut meliputi pengaturan
keseimbangan cairan, elektrolit, asam basa, stabilisasi tekanan darah, penanganan
anemia, pemberian nutrisi yang adekuat, pengaturan pemberian dosis dan jenis obat-
obatan. Ketika cara ini gagal maka terapi pengganti ginjal perlu dilakukan. Beberapa
anak dengan gangguan ginjal akut memerlukan terapi pengganti ginjal untuk
menghilangkan toksin endogen dan eksogen, dan untuk menjaga keseimbangan
cairan, elektrolit, dan asam basa sampai fungsi ginjal membaik.2 hemodialisis
intermiten, peritoneal dialisis, dan terapi pengganti ginjal kontinyu dapat digunakan
1
untuk mempertinggi ultrafiltrasi.1 Prognosis gangguan ginjal akut sangat tergantung
pada etiologi gangguan ginjal akut tersebut. Pada anak yang pernah mengalami
gangguan ginjal akut dengan berbagai penyebab mempunyai risiko berkembang
mengalami penyakit ginjal pada beberapa tahun kemudian.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi dan Klasifikasi
Secara konseptual gangguan ginjal akut adalah suatu sindrom yang reversible
dan memiliki banyak etiologi dengan karakteristik peningkatan konsentrasi kreatinin
dan sampah nitrogen didalam darah dan ketidakmampuan ginjal untuk meregulasi
homeostasis cairan dan elektrolit.3
Penurunan tersebut dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal
(gangguan ginjal akut “klasik”) atau tidak normal (acute on chronic kidney disease).
Dahulu, hal di atas disebut sebagai gagal ginjal akut dan tidak ada definisi
operasional yang seragam, sehingga parameter dan batas parameter gagal ginjal akut
yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepustakaan. Hal itu menyebabkan
permasalahan antara lain kesulitan membandingkan hasil penelitian untuk
kepentingan meta-analisis, penurunan sensitivitas kriteria untuk membuat diagnosis
dini dan spesifisitas kriteria untuk menilai tahap penyakit yang diharapkan dapat
menggambarkan prognosis pasien.4
Atas dasar hal tersebut, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang
beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat
mengganti istilah ARF (Acute Renal Failure) menjadi AKI (Acute Kidney Injury).
Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman
3
masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury dianggap
lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal. Kriteria yang melengkapi
definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain4:
1. kriteria diagnosis harus mencakup semua tahap penyakit;
2. sedikit saja perbedaan kadar kreatinin serum ternyata mempengaruhi
prognosis penderita;
3. kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan penanda yang sensitif yaitu
penurunan produksi urin yang seringkali mendahului peningkatan serum
kreatinin;
4. penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar serum kreatinin, produksi urin
dan laju filtrasi glomerulus mengingat belum adanya penanda biologis
(biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di
mana saja.
ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi gangguan ginjal akut dengan kriteria
RIFLE yang terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar serum kreatinin
dan kriteria produksi urin) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal
dan 2 kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal.5
Tabel 1. Klasifikasi Gangguan Ginjal akut berdasarkan kriteria RIFLE, ADQI revisi 2007 6
4
Tabel 2. Klasifikasi/definisi gangguan ginjal akut pada anak 6
pRIFLE
Tahap eCCL – Schwartz produksi urin Risk eCCL menurun 25% < 0,5ml/kg per jam x 8 jam
Injury eCCL menurun 50% < 0,5ml/kg per jam x 16jam atau anuri 12 jam
Loss Failure > 4 week ESRD Failure > 3 months
Klasifikasi gangguan ginjal akut secara multidimensi dan sistem stratifikasi
seperti pRIFLE dapat meningkatkan pemahaman mengenai epidemiologi dan
berpotensi mengoptimalkan evaluasi dan pengobatan untuk gangguan ginjal akut
pada anak-anak. Serum creatinin dan produksi urin tampaknya merupakan penanda
5
yang lambat untuk gangguan ginjal, penggunaan sistem klasifikasi penting untuk
menilai potensial urin dan serum biomarker lain untuk mendeteksi gangguan ginjal
akut lebih awal dan lengsung memberikan terapi untuk mencegah atau mengurangi
gangguan ginjal akut pada anak-anak sebelum terjadi peningkatan serum creatinin.7
Pada penelitian yang dilakukan oleh Akcan et al, produksi urin dan serum
kreatinin diperiksa setiap hari sampai 14 hari dan keluaran kreatinin (eCCL) dihitung
menggunakan formula Schwartz. Untuk penentuan dasar eCCL, digunakan nilai
terendah serum kreatinin dalam 3 bulan terakhir. Jika tidak tersedia serum kreatinin
sebelumnya, pasien diasumsikan memiliki fungsi organ normal dan menggunakan
nilai dasar 100 ml/min/1.73 m2.7
Definisi ini dimaksudkan untuk menetapkan ada-tidaknya klinis dari gangguan
ginjal akut dan menggambarkan tingkat keparahan sindrom ini. Hal ini tidak
bertujuan untuk memprediksi kematian atau hasil buruk atau untuk memicu standar
intervensi terapeutik. Namun, asumsi bahwa pada tingkat penyakit yang lebih parah
harus menghasilkan hasil yang lebih buruk tampaknya logis, dan akibatnya disfungsi
ginjal dinilai oleh dua parameter yakni perubahan dalam serum kreatinin atau LFG
dari nilai dasar, dan produksi urin per kilogram berat badan selama jangka waktu
tertentu.8
Kriteria RIFLE sudah diuji dalam berbagai penelitian dan menunjukkan
kegunaaan dalam aspek diagnosis, klasifikasi berat penyakit, pemantauan perjalanan
penyakit dan prediksi mortalitas.5
6
B. Epidemiologi
Angka kejadian gangguan ginjal akut akut pada anak secara pasti tidak
diketahui. Namun pada penelitihan akhir-akhir ini di negara maju diperoleh gangguan
ginjal akut pada anak yang dirawat di rumah sakit banyak disebabkan tindakan
pembedahan jantung dan terapi stem cell. Pada keadaan ini gangguan ginjal akut
akibat multi faktor, namun faktor terpenting adalah akibat hipoksia/iskemia serta
akibat bahan nefrotoksik. Gangguan ginjal akut akibat faktor pre-renal, bagian
interinsik ginjal masih normal. Fungsi ginjal akan kembali normal setelah dilakukan
dilakukan penggantian cairan sehingga perfusi ginjal kembali normal. Sedang pada
gangguan interinsik ginjal misalnya nikrosis tubular akut, fungsi ginjal akan membaik
setelah interinsik ginjal membaik. Penelitian epidemiologi pada anak dengan
gangguan ginjal akut belum banyak dilakukan. Namun demikian, hipoksia/iskemia
dan gangguan ginjal akut akibat bahan nefrotoksik tampaknya merupakan penyebab
penting terjadi gangguan ginjal akut pada neonatus, anak dan remaja.9
Dengan klasifikasi RIFLE terbukti dapat mendeteksi gangguan fungsi ginjal
paling ringan sampai keadaan paling berat. Evaluasi penggunaan klasifikasi RIFLE
dicetuskan dengan melakukan penelitian 247 penderita yang dirawat di perawatan
intensif (ICU). Penderita dengan kadar kreatinin awal diatas 1,5 mg/dl, tidak ada
satupun yang menjadi gagal ginjal akut. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa
penderita klasifikasi F (failure), mempunyai mortalitas paling tinggi yaitu 74,5%
7
dibandingkan dengan klasifikasi I (injury) mortalitas 50% sedang pada klasifikasi R
(Risk) mortalitas 38,3%.10
Penelitian lebih besar dengan melibatkan 5383 penderita yang dirawat di ICU,
penderita dengan gangguan ginjal akut ditemukan 67% di mana 12% klasifikasi R,
28% klasifikasi F. Dari kelompok penderita dengan klasifikasi R, 56% progress
menjadi klasifikasi I atau F. Penderita dengan klasifikasi R mortalitas 8,8%,
sedangkan klasifikasi I mortalitas 11,4% dan klasifikasi F mortalitas 26,3%.
Penelitian lebih besar dengan melibatkan 20126 penderita juga mendapatkan hasil
lebih kurang sama. Pada penelitian ini juga mendapatkan hubungan linier antara
klasifikasi RIFLE dengan mortalitas penderita. Pada penderita dengan klasifikasi I
mempunyai mortalitas dua kali dari pada R. Sedang penderita dengan klasifikasi F
mempunyai mortalitas sepuluh kali lebih tinggi dari pada penderita yang dirawat
tanpa gangguan ginjal akut. Analisis lebih lanjut didapatkan bahwa penderita dengan
klasifikasi R mempunyai odds ratio mortalitas 2,5, odds ratio klasifikasi I sebesar 5,4
dan odds ratio klasifikasi F sebesar 10,1. Dengan demikian klasifikasi RIFLE dapat
memprediksi prognosis penderita. Penggunaan klasifikasi RIFLE pada penderita
dengan gangguan ginjal akut, dengan intervensi lebih dini, dapat mencegah penderita
mengalami gangguan ginjal dengan klasifikasi lebih berat.10
C. Etiologi
8
Etiologi gangguan ginjal akut pada anak dapat dibagi menjadi tiga kategori,
yaitu prerenal, renal/ intrinsik, dan pascarenal (Tabel 3). Pembagian ini berdasarkan
lokasi terjadinya kelainan patofisiologi yang menimbulkan gangguan ginjal akut.9
Tabel 3. Etiologi gangguan ginjal akut pada anak9
Tipe Etiologi
Prerenal 1. Kehilangan volume cairan tubuh : Dehidrasi,Perdarahan2. Penurunan volume vaskular efektif:
Sepsis akibat vasodilatasi Luka bakar, terutama akibat pengumpulan cairan di
ruang ketiga Sindrom nefrotik akibat hipoalbuminemia
3. Penurunan curah jantung : gagal jantung, kardiomiopati, pasca bedah jantung
4. Nekrosis tubular akut5. Hipoksia/iskemik6. Obat-obatan
Penyakit ginjal intrinsik
1. Toksin : Toksin endogen : hemoglobin, mioglobin Toksin eksogen : Etilen glikol, metanol
2. Nefropati asam urat dan sindrom lisis tumor3. Nefritis intertisial :Obat-obatan, Idiopatik4. Glomerulonefritis:
Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN)5. Kelainan vaskuler :
Trombosis arteri renalis Trombosis vena renalis Nekrosis kortikal Hemolytic Uremic Syndrome (HUS) Hipoplasia/diaplasia dengan/tanpa uropati obstruksi Idiopatik Paparan obat-obat nefrotoksik intrauterin
Penyakit pascarenal
Obstruksi ureter bilateral
Obstruksi uretra
Obstruksi ginjal soliter
9
D. Patogenesis
1. Gangguan Ginjal Akut Prerenal
Jejas iskemi pada ginjal akan berlanjut menjadi kerusakan parenkim ginjal
melalui empat fase yaitu :11
Fase awal : Terjadi penurunan perfusi ginjal dan kekurangan adenine mono
phosphate (ATP)
Fase lanjut : terjadi reperfusi, proses inflamasi, iskemi berkepanjangan
sehingga jejas menjadi lebih berat. Pada fase ini mulai terjadi regenerasi
tubulus proksimal dan ascenden yang merupakan unit nefron, namun juga
dapat berlanjut menjadi nekrosis dan apoptosis, Beratnya jejas pada fase ini
akan menentukan prognosis.
Fase rumatan : proses inflamasi, jejas pada sel ginjal terus berlangsung.
Sehingga akan terjadi nekrosis dan apoptosis.
Fase final atau penyembuhan : terjadi regenerasi, perbaikan dan proliferasi
dari sel yang mengalami jejas.
Derajat dan luas jejas akan menentukan apakah ginjal akan mengalami
perbaikan secara penuh, berproses menjadi penyakit renal fase akhir, atau menjadi
penyakit ginjal kronik.11
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya jejas pre-renal yaitu perdarahan,
dehidrasi akibat gangguan gastrointestinal, gangguan adrenal misalnya diabetes
10
insipidus, luka bakar. Penyakit lain yang dapat meningkatkan ekskresi cairan yaitu
nefrotik sindrom, sepsis, sindrom kebocoran kapiler. Penurunan volume darah efektif
pada ginjal juga dapat menyebabkan gangguan ginjal akut pre-renal misalnya gagal
jantung kongestif, tamponade jantung, sindrom hepato renal. Apapun jenis penurunan
volume darah penyebab jejas pre renal, koreksi gangguan yang mendasari akan
mengembalikan fungsi ginjal.9
Beberapa parameter dapat dipergunakan untuk membedakan antara jejas pre-
renal dengan gangguan ginjal akut akibat hipoksi/iskemi. Pemeriksaan urin yaitu
osmolaritas urin, konsentrasi sodium urin, fraksi ekskresi urin. Pada gangguan ginjal
akut karena faktor pre-renal, tubulus ginjal akan meningkatkan absorbsi sodium dan
air oleh karena terjadi penurunan perfusi ginjal. Akibatnya akan terjadi peningkatan
osmolalitas urin menjadi 400-500 mosmol/L. Ekskresi sodium dalam urin menurun
menjadi lebih kecil dari 10-20 mEq/L dan fraksi ekskresi sodium lebih kecil dari 1%.
Keadaan ini tidak terjadi pada gangguan ginjal akut akibat hipoksi/iskemi yang
disebut juga nefropati vasomotor atau nikrosis tubular akut. Oleh karena pada
hipoksi/iskemi terjadi kerusakan tubulus ginjal.9
Pada anak dengan gangguan ginjal akut akibat keadaan hipoksia/iskemia,
sindrom hemolitik–uremik (HUS), glomerulonefritis akut (GNA) pada umumnya
mempunyai gejala oligouri atau anuri. Produksi urin pada keadaan ini kurang dari 500
ml/24 jam untuk anak lebih besar, sedang pada anak lebih kecil produksi urin lebih
kecil 1 ml/kg per jam. Pada penderita dengan nefritis akut interstisiel, obat
11
nefrotoksik misalnya aminoglikosida dan nefropati akibat pemakaian kontras,
gangguan ginjal akut terjadi dengan produksi urin normal. Pada penelitian diperoleh
bahwa gangguan ginjal akut non oliguri mempunyai mortalitas lebih kecil dari pada
penderita dengan oliguri.9
2. Gangguan Ginjal Akut renal
Hipoksi/iskemi sebagai penyebab gangguan ginjal akut interinsik telah
dijelaskan diatas dapat merupakan kelanjutan gangguan ginjal akut pre-renal yang
berkepanjangan. Pada keadaan ini tidak hanya terjadi gangguan pada epitel tubulus
ginjal tetapi juga terjadi kerusakan pada vaskuler ginjal dan sel endotel. Kerusakan ini
juga sangat penting untuk menentukan apakah fungsi ginjal akan kembali normal atau
berlanjut menjadi penyakit ginjal kronik. Kerusakan vaskuler dan endotel ini akan
memicu terjadinya proses inflamasi yang akan menyebabkan kerusakan fungsi organ
tidak hanya di ginjal tetapi juga organ diluar ginjal misalnya otak, paru-paru, jantung,
hati, sumsum tulang dan saluran cerna.12
Bahan nefrotoksik dapat menyebabkan kerusakan ginjal, tergantung pada jenis
bahan nefrotoksiknya. NSAID, diuretik, ACE-inhibitor akan menurunkan perfusi
ginjal. Aminoglikosida, cephalosporin, amphoterisin B, rifampin, vancomicin, bahan
kontras, myoglobin/hemoglobin akan merusak secara langsung pada epitel tubulus
ginjal. Penelitian oleh Zappitelli mendapatkan bahwa penggunaan aminoglikosida
paling sedikit lima hari akan menyebabkan terjadinya gangguan ginjal akut sebesar
12
33%. Bahan lain yang diduga dapat mengganggu fungsi ginjal adalah asiklovir, asam
urat. Pada intersisial akut, sindrom tumor lisis juga terjadi mekanisme yang sama.12
Glomerulonefritis/gangguan vaskuler harus menjadi pertimbangan bila
gangguan ginjal akut tidak diketahui secara pasti penyebabnya. Pemeriksaan sedimen
urin antara lain adanya cast eritrosit, dapat membedakan gangguan di glomerulus atau
tubulus ginjal. Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya gangguan
autoimmune misalnya anti neutrophil cytoplasmic antibody (p-ANCA), C-ANCA,
antiglomerular basement membrane antibody, antinuclear antibody, complement C3
(C3), C4 dan biopsi ginjal kadang diperlukan untuk mengetahui penyebab dan derajat
beratnya gangguan ginjal akut.12
3. Gangguan Ginjal Akut pascarenal
Gangguan obstruksi akut sebagai penyebab gangguan ginjal akut pada anak
terutama akibat kelainan kongenital misalnya sindrom prune belly, obstruksi katup
urethra posterior, prepusium imperforata, neurogenik bladder, batu ginjal dan
sumbatan akibat jamur. Tergantung pada penyebab sumbatan, usaha untuk
menghilangkan sumbatan dengan segera sangat penting menentukan fungsi ginjal.9,12
E. Pendekatan Diagnosis
Diagnosis gangguan ginjal akut dapat ditegakkan berdasarkan adanya
peningkatan kreatinin serum dan atau peningkatan kadar ureum, dan atau penurunan
produksi urin. Peningkatan ureum dan kreatinin serum bukan hanya disebabkan oleh
13
kerusakan ginjal, tetapi dapat sebagai respon normal ginjal terhadap deplesi volume
intraselular atau penurunan aliran darah ginjal. Serum kreatinin merupakan gambaran
dari laju fltrasi glomerulus.2
Dalam perkembangannya, untuk menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut
menggunakan kriteria RIFLE menurut Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) dan
biomarker untuk gangguan ginjal akut. Beberapa biomarker (penanda biologis) dapat
digunakan untuk mendeteksi gangguan ginjal akut secara dini, antara lain cystatin
C serum, neutrophil gelatinase associated lipocalin (NGAL), interleukin 18,
and kidney injury molecule-1(KIM-1).2
Tabel 4. Biomarker gangguan ginjal akut13
F. Pemeriksaan Klinis
Keluhan dan gejala klinis gangguan ginjal akut pada anak tidak spesifik, dan
seringkali merupakan gejala dari penyakit awalnya, misalnya glomerulonefritis akut.
Pendekatan diagnosis gangguan ginjal akut dapat ditentukan dengan melakukan
anamnesis dan pemeriksaan klinis yang baik untuk menentukan penyebab prerenal,
renal, atau pascarenal.2
14
Anamnesis yang baik akan sangat membantu mencari penyebab terjadinya
gangguan ginjal akut. Adanya riwayat diare, muntah, trauma atau pascaoperasi
menunjukkan ke arah gangguan ginjal akut prerenal. Sakit tenggorok, 1-2 minggu
sebelumnya atau koreng di kulit, hematuria, sembab periorbita menunjukkan ke arah
gangguan ginjal akut renal, yaitu GNA pasca streptococcus. Adanya riwayat sering
panas, ruam kulit, artritis menunjukkan ke arah lupus eritematosus sistemik atau
vaskulitis. Adanya riwayat obstruksi saluran kemih, seperti kurang lancar, frekuensi,
menetes merupakan petunjuk gangguan ginjal akut postrenal.2
Tabel 5. Gejala klinis yang berkaitan dengan nekrosis tubular akut14
Gejala klinisGejala klinis FrekuensiFrekuensi
LeukocyturiaLeukocyturia 82%82%MicrohematuriaMicrohematuria 67%67%FeverFever 42%42%EosinophiliaEosinophilia 34%34%RashRashOliguriaOliguria
23%23%23%23%
Tabel 6. Gejala klinis yang sering didapatkan pada AKI2
Gejala pada intravascular
Takikardi
Hipotensi
Akral dingin
Mukosa membrane kering
Cappilary refill time > 2 detik
Gejala Akibat Kelebihan Cairan
15
Edem
Hipertensi
Irama Gallop
Hepatomegali
Krepitasi
JVP meningkat
Gejala dari Penyakit Penyebab
Anemia (penyakit ginjal kronik)
Purpura (Henoch_Schonlein purpura)
Malar Rash (SLE)
Pembesaran ginjal (Trombosis vena renalis, Hidronefrosis)
Gangguan pertumbuhan
Tender kidney (Pyelonefritis, penolakan transplantasi)
Pembesaran ginjal (Uropati Obstruksi)
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis gangguan ginjal akut
terdiri dari urinalisis, kimia darah, pemeriksaan radiologis, dan bila perlu dilakukan
pemeriksaan biopsi ginjal.2
1. Urinalisis
Pemeriksaan urin sebaiknya dilakukan sebelum pemberian diuretika. Adanya
proteinuria (> 3 g/24 jam), eritrosit, silinder eritrosit,dan silinder granular ditemukan
16
pada glomerulonefritis atau vaskulitis. Bila tidak ditemukan adanya elemen seluler
dan proteinuria maka kemungkinan gangguan ginjal akut prerenal dan pascarenal.2
Untuk membedakan gangguan ginjal akut prerenal dan renal dapat dilakukan
pemeriksaan laboratorium urin, sebagai berikut :2
Tabel 7. Perbedaan pemeriksaan urin antara gangguan ginjal akut prarenal dengan renal14
Urine Prarenal Renal
Warna
Volume
Kuning pekat
Sedikit
Kuning
Sedikit
Protein Negatif Sering positif
Sedimen Normal Torak granular, eritrosit
Berat jenis > 1020 1010 – 1015
Na urin (mmol/l) < 10 > 25
Urea urin (mmol/l) > 250 < 160
Osmolalitas (mmol/l) > 500 200-350
Rasio osmolalitas U/P > 1.3 < 1,1
FENa < 1 > 1
2. Pemeriksaan Radiologis
Ultrasonografi (USG) ginjal merupakan pemeriksaan radiologis yang harus
dilakukan pada anak dengan gangguan ginjal akut yang etiologinya tidak jelas.
Tujuan pemeriksaan USG ginjal adalah untuk menentukan apakah kedua ginjal ada,
menentukan ukuran/besar ginjal, mengevaluasi parenkim ginjal, mengevaluasi adanya
obstruksi pada saluran kemih, melihat aliran darah ginjal. Untuk mengevaluasi aliran
17
darah ginjal dari arteri dan vena renalis, digunakan pemeriksaan radiologis
USG Doppler.2
3. Biopsi ginjal
Biopsi ginjal digunakan apabila hasil evaluasi pemeriksaan yang non-invasif
tidak dapat menegakkan diagnosis etiologinya, atau pada keadaan tertentu yaitu
dicurigai kemungkinan glomerulonefritis progresif cepat atau nefritis interstisial.2
H. Pengobatan
Tatalaksana gangguan ginjal akut secara garis besar terdiri dari terapi
konservatif dan terapi pengganti ginjal. Terapi konservatif dilakukan sesuai keadaan
penderita. Pada gangguan ginjal akut karena faktor interinsik pemberian diuretik,
norepineprin, fenoldopam diduga mempunyai efek untuk meningkatkan produksi
urin. Pemberian dopamin masih kontroversi.14 Pemberian nutrisi adekuat diperlukan
walaupun keadaan ini tidak mudah karena biasanya penderita gangguan ginjal akut
disertai oliguri. Pada gangguan ginjal akut pre-renal penggantian cairan untuk
mengembalikan volume intra vaskuler sangat penting. Terapi pengganti ginjal perlu
dipertimbangkan terutama penderita disertai overload cairan. Hasil jangka panjang
tergantung keadaan penderita. Bila penderita dalam keadaan sehat sebelum menderita
gangguan ginjal akut, pada umumnya morbiditas dan mortalitasnya rendah. Sedang
penderita gangguan ginjal akut yang sebelumnya mengalami hiperfiltrasi, hipertensi
18
dan mikroalbumin urin mempunyai prognosis yang kurang baik. Pengobatan
gangguan ginjal akut pada anak meliputi pengobatan konservatif dan renal
replacement therapy (RRT) atau terapi pengganti ginjal.2
1. Pengobatan Konservatif
Pengobatan konservatif gangguan ginjal akut pada anak, antara lain pengaturan
keseimbangan cairan, elektrolit, asam basa, stabilisasi tekanan darah, penanganan
anemia, pemberian nutrisi yang adekuat, pengaturan pemberian dosis dan jenis obat-
obatan. Perawatan dapat dilakukan di ruang bangsal atau di ruang intensive care
unit (ICU) tergantung pada gejala klinis. Apabila penderita dengan manifestasi klinis
didapatkan adanya gangguan jantung-paru, harus dilakukan pengamatan ketat, atau
pada penderita dengan dialisis harus dirawat di ruang ICU.2
2. Diuretika
Pemberian diuretika dan obat-obat vasoaktif seringkali digunakan untuk
mencegah atau mengurangi gangguan ginjal akut. Diuretika furosemid intravena (1-5
mg/kg/dosis) dapat meningkatkan produksi urin. Pemberian diuretika dapat diberikan
dengan cara diuresis paksa, meskipun tindakan ini masih kontroversi. Sebelum
melakukan tindakan ini, penderita tidak dehidrasi dan tidak didapatkan adanya
obstruksi saluran kemih (gangguan ginjal akut pascarenal). Efek samping pemberian
furosemid adalah eksaserbasi gagal ginjal dan ototoksisitas terutama bila diberikan
dalam dosis tinggi dan keadaan asidosis metabolik.2
19
Obat manitol (0.5-1.0 g/kg) dapat pula digunakan untuk meningkatkan produksi
urin. Apabila anak tidak respon terhadap pemberian diuretika, maka melanjutkan
pemberian diuretika tidak boleh dilakukan karena membahayakan dengan efek
samping obat yaitu meningkatkan volume darah dan edema paru. Obat dopamin dapat
memperbaiki tekanan darah dan memperbaiki perfusi ginjal. Untuk menjaga perfusi
yang adekuat diperlukan pengawasan ketat tekanan vena sentral.2
Dopamin dosis rendah (0,5 – 3.0 µg/kg/ menit) dapat memperbaiki aliran darah
ginjal melalui vasodilatasi. Perfusi glomerulus dipengaruhi oleh tekanan dan volume
glomerulus. Dilaporkan bahwa pemberian dopamin dosis rendah pada anak-anak
belum efektif untuk meningkatkan perfusi glomerulus. Bahkan dapat meningkatkan
risiko terjadinya takiaritmia dan iskemik miokardium oleh karena konsumsi oksigen
miokardium meningkat.14
Fenolodam, agonis dopamine selektif dapat meningkatkan aliran darah ginjal
dan mungkin mengurangi mortalitas dan terapi pengganti ginjal pada dewasa.
Fenolodam dosis 0.07 + 0.08μg/kg/min meningkatkan produksi urin pada anak
dengan progresif oliguria tetapi tidak mempengaruhi hasil akhir secara umum.14
3. Terapi cairan
Terapi cairan dan oksigen adalah landasan resusitasi untuk semua pasien
dengan penyakit kronis. Sangat penting untuk mengenali bahwa defisit cairan dapat
20
terjadi karena vasodilatasi atau perubahan permeabilitas kapiler. Hipovolemi
mengakibatkan aliran darah tidak memadai untuk memenuhi metabolism jaringan dan
harus ditangani dengan segera jika ingin menghindari gangguan ginjal akut.15
Sebelum pemberian terapi cairan, harus ditentukan terlebih dahulu apakah anak
dalam keadaan hipovolemia, euvolemia atau kelebihan cairan. Parameter untuk
menentukan status volume cairan adalah gejala klinis, yaitu adanya perubahan berat
badan secara mendadak dan laboratorium seperti Na urin, fraksi ekskresi Natrium
(FeNa) BJ dan osmolalitas urin. Bila tidak dapat ditentukan maka diberikan
percobaan (challenge) cairan normal saline/ringer lactate (RL), 10-20 ml/kg selama
30-60 menit. Kemudian dilakukan penilaian lagi. Biasanya terjadi diuresis setelah 2-4
jam setelah rehidrasi. Bila setelah resusitasi cairan, produksi urin tidak meningkat dan
azotemia tidak membaik, maka indikasi umtuk dilakukan pemasangan tekanan vena
sentral / central venous pressure (CVP) yang dapat membantu untuk memantau
apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.2
Terapi cairan pada gangguan ginjal akut renal harus dilakukan balans cairan
secara cermat. Balans cairan yang benar adalah bila berat badan menurun 0,1-0,2%
setiap hari. Pemberian cairan diperhitungkan berdasarkan insensible water loss (IWL)
+ jumlah produksi urin 1 hari sebelumya serta ditambahkan dengan cairan yang
keluar melalui muntah, feses, slang nasogastrik, dan lain-lain. Dan dikoreksi dengan
kenaikan suhu tubuh setiap 10C sebanyak 12%. Perhitungan IWL dapat dilakukan
berdasarkan caloric expenditure, sebagai berikut:2
21
Tabel 8. Perhitungan IWL dapat dilakukan berdasarkan caloric expenditure2
Berat badan 0-10 kg : 100 kal/kg/hari
11-20 kg : 1000 kal + 50 kal/kg/hari
> 20 kg : 1500 kal + 20 kal/kg/hari
Jumlah IWL = 25 ml per 100 kal.
4. Renal Replacement Therapy
Tujuan renal replacement theraphy (RRT) atau terapi pengganti ginjal adalah
untuk menghilangkan toksin endogen dan eksogen dan menjaga keseimbangan
cairan, elektrolit, dan asam basa sampai ada perbaikan fungsi ginjal. Renal
replacement theraphy terdiri dari peritoneal dyalisis atau dialisis peritoneal (DP),
hemodialisis (HD), dan transplantasi ginjal. Beberapa faktor, seperti usia, berat
badan, penyebab gangguan ginjal akut, derajat gangguan metabolik, tekanan darah,
status gizi harus diketahui sebelum memulai RRT dan menentukan modalitas yang
akan digunakan. Tiga hal yang harus diperhatikan ketika akan memulai dialisis pada
penderita gangguan ginjal akut, yaitu saat memulai dialisis, modalitas dialisis, dan
dosis pemberian dialysis.2
I. Komplikasi
1. Asidosis dan Gangguan Keseimbangan Elektrolit
22
Pada AKI sering terjadi asidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit, antara
lain hiponatremi, hiperkalemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia.2
Asidosis metabolik dapat dikoreksi dengan natrium bikarbonat sesuai hasil
analisis gas darah, yaitu ekses basa x berat badan x 0,3 (mEq), atau 2-3 mEq/kg/hari
setiap 12 jam. Tindakan koreksi asidosis dapat menimbulkan hipokalsemia dan
tetani.2
Hiponatremia (Na serum < 130 mEq/L) sering didapatkan pada anak dengan
gangguan ginjal akut, biasanya disebabkan oleh pemberian cairan yang berlebihan
sebelumnya, cukup dilakukan restriksi cairan. Bila kadar serum Na < 120 mEq/L,
anak mempunyai risiko tinggi terjadi kejang sehingga harus dikoreksi dengan cairan
NaCl hipertonik 3% (0,5 mEq/ml), sampai kadar Na serum 125 mEq/L. Penghitungan
koreksi Na dengan rumus : (125-Na serum) x 0,6 X berat badan, diberikan secara
perlahan dalam 1-4 jam. Pada anak yang sudah didapatkan adanya gejala kejang,
maka koreksi dengan NaCl 3% yang diberikan adalah sebagai berikut:2
- NaCl 3% :10-12 mL/kg, secara intravena, selama 1 jam.
- NaCl 3% : (125-Na serum) x 0,6 + (0.513 mEq Na/mL NaCl 3%), secepatnya
Hiperkalemia pada penderita AKI, harus ditangani secepatnya karena sangat
membahayakan. Pembagian hiperkalemia adalah sebagai berikut : hiperkalemia
ringan-sedang bila kadar kalium antara 6.0 – 7.0 mEq/L (6.0 dan 7.0 mmol/L),
hiperkalemia berat adalah kadar kalium > 7.0 mEq/L (7.0 mmol/L) disertai adanya
23
elektrokardiografi (EKG) atau aritmia jantung. Hiperkalemia disebabkan karena
menurunnya fungsi ginjal, gangguan sekresi kalium dari tubulus, kerusakan sel
tubulus. Bila didapatkan hiperkalemia ringan-sedang dikoreksi dengan pemberian
kation exchange resin (resonium A), yaitu kayexalat 1 gm/kg per oral atau per rektal
4x sehari atau kalitake 3x2,5 gram. Bila hiperkalemia berat atau bila didapatkan
adanya kelainan EKG atau aritmia jantung diberikan Ca glukonas 10% 0,5-1 mL/kg
intravena dalam 10-15 menit, natrium bikarbonat 7,5% 1-2 mEq/kg, intravena dalam
30-60 menit. Apabila hiperkalemia belum membaik, maka dapat diberikan glukosa
0,5-1.0 g/kg, ditambahkan insulin 0,1unit/kg, intravena selama 30 menit atau
subkutan; atau insulin 0,2 unit/kg sambil mempersiapkan dialisis. Penatalaksanaan
hiperkalemia dapat diberikan obat beta agonist, yaitu salbutamol 2,5 mg (anak
dengan berat badan kurang dari 25 kg atau 5 mg bila berat badan lebih dari 25 kg)
melalui nebulizer, atau 4-5 µg/kg dalam 15 menit, tetapi pemberian melalui nebulizer
lebih direkomendasikan.2
Hipokalsemia dapat disebabkan oleh hiperfosfatemia, resistensi tulang terhadap
hormon paratiroid, atau koreksi asidosis yang berlebihan. Penatalaksanaan
hipokalsemia atau hiperfosfatemia dapat diberikan kalsium karbonat per oral dengan
dosis 45-65 mg/kg/hari dan diit restriksi fosfor. Hipokalsemia berat dan/atau disertai
dengan tetani atau aritmia jantung, diberikan kalsium glukonas 10%, 0,5-1 mL/kg
selama 5-10 menit dilanjutkan dengan dosis rumatan kalsium 1-4 gram/hari, per oral.
Untuk mencegah terjadinya hiperparatiroid sekunder dapat diberikan Vitamin D,
24
yaitu 1,25-dihydroxyvitamin D3 (calcitriol), 0,01-0,05 mcg/kg/hari, per oral (usia <3
tahun) atau 0,25 mcg-0,75 mcg per hari (usia > 3 tahun).2
2. Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebahai tekanan darah lebih besar dari 95 persentil
berdasarkan usia, jenis kelamin dan tinggi badan. Hipertensi pada gangguan ginjal
akut biasanya disebabkan karena kelebihan volume atau perubahan tekanan pembuluh
darah. Bila disebabkan karena kelebihan cairan (overload) maka diberikan diuretika
(furosemid) atau dilakukan dialisis, bila perlu dapat dikombinasi dengan angiotesin-
converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor), yaitu kaptopril 0,3 mg/kg/kali,
diberikan 2-3 kali sehari. Pada hipertensi krisis diberikan calcium channel
blocker(nifedipin) 0,25-1 mg/kg/dosis, sublingual, dosis maksimal 10 mg/dosis atau 3
mg/kg/hari; atau vasodilator (natrium nitroprusside) 0,5-10 mcg/kg/menit, intravena.2
3. Anemia
Anemi pada anak dengan gangguan ginjal akut tidak harus dilakukan transfusi
kecuali bila didapatkan adanya perdarahan yang banyak, ketidakseimbangan
hemodinamik, atau hematocrit < 25%. Sebaiknya diberikan packed red cell (PRC) 10
ml/kg, secara pelan-pelan, dalam 4-6 jam (lebih kurang 10 tetes/menit).2
4. Gangguan Nutrisi
25
Gangguan ginjal akut pada anak seringkali menyebabkan anoreksia dan
malnutrisi, sehingga penatalaksanaan nutrisi yang benar harus segera diberikan.
Tujuan pemberian nutrisi pada anak dengan gangguan ginjal akut, adalah : (1)
memberikan kalori dan protein yang adequat untuk meningkatkan pertumbuhan, (2)
mengkontrol diit natrium, kalium, dan fosfat, (3) mempertahankan keseimbangan
cairan. Nutrisi yang harus diberikan adalah diit tinggi kalori, rendah protein, rendah
fosfor dan kalium. Kalori diberikan terutama dalam bentuk glukosa (>70%) dan
lemak (< 20%). Protein yang diberikan harus dalam bentuk protein hewani yang
bernilai biologik tinggi. Pengaturan diit disesuaikan dengan umur, berat badan anak,
tingkat gagal ginjal, penatalaksanaan yang diberikan (dialisis/konservatif).2
Tabel 9. Penatalaksanaan diit kalori dan protein Gangguan ginjal akut pada anak2
Kalorikcal/kg berat badan ideal
Protein
kcal/kg berat badan ideal
Pengobatan konservatif 0 – 2 tahun
Anak / remaja95 - 100
Minimal berdasarkan umur
1.0 - 1.81.0
Dialisis peritoneal 0 – 2 tahun
Anak / remaja
95 - 100Minimal berdasarkan umur
2.0 - 2.51.0 - 2.5
Hemodialisis 0 – 2 tahun
Anak / remaja95 - 150
Minimal berdasarkan tinggi badan
1.5 - 2.11.0 - 1.8
5. Infeksi
26
Infeksi biasanya menyerang saluran kemih, pernapasan, dan pencernaan.
Pengobatan dengan antibiotik yang sesuai harus segera diberikan. Dosis harus
disesuaikan dengan fungsi ginjal. Sebaiknya pencegahan dilakukan, antara lain
dengan cara menghindari tindakan-tindakan yang tidak perlu, penanganan secara
aseptik dan steril.2
J. Prognosis
Angka kematian gangguan ginjal akut tergantung pada etiologi, usia, dan
luasnya kerusakan ginjal yang terjadi. Gangguan ginjal akut yang disebabkan oleh
hipoksia/iskhemia dan nefrotoksik biasanya fungsi ginjal akan kembali normal.
Tetapi penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa hipoksia/iskhemia, dan
nefrotoksik dapat menyebabkan gangguan fisiologik dan morfologi ginjal sehingga
dapat menyebabkan penyakit ginjal dikemudian hari.2
Angka kejadian insufiensi ginjal akut pada anak meningkat dan merupakan
faktor risiko menjadi insufiensi ginjal kronis, dan 11% menjadi penyakit ginjal
kronik. Sehingga adanya riwayat gangguan ginjal akut pada anak apapun
penyebabnya harus selalu dipantau fungsi ginjal, tekanan darah, dan urinalisisnya
dalam waktu yang lama. Adanya riwayat gangguan ginjal akut pada saat neonatus
merupakan faktor risiko tejadinya penyakit ginjal di kemudian hari.2
27
BAB III
PENUTUP
Gangguan ginjal akut merupakan terminologi baru yang digunakan sebagai
pengganti gagal ginjal akut. Gangguan ginjal akut merupakan sebuah sindrom dalam
bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir menunjukkan peningkatan insidens
dengan angka mortalitas yang masih cukup tinggi. Perubahan tersebut disertai dengan
pengajuan kriteria diagnosis yang terbukti lebih sensitif untuk mendeteksi gangguan
ginjal akut lebih dini sehingga dapat diupayakan perbaikan prognosis pasien. Saat ini,
diagnosis gangguan ginjal akut ditegakkan dengan menggunakan kriteria RIFLE.
Berdasarkan etiologi, gangguan ginjal akut dibagi menjadi 3, yaitu prarenal, renal dan
pascarenal. Dalam upaya diagnosis, perlu ditentukan etiologi, tahap penyakit, dan
komplikasi gangguan ginjal akut. Penatalaksanaan gangguan ginjal akut harus
dilakukan secara menyeluruh, mencakup upaya tata laksana etiologi, pencegahan
menurunnya fungsi ginjal lebih jauh, terapi cairan dan nutrisi, serta tata laksana
komplikasi yang dapat dilakukan secara konservatif atau mengganti ginjal.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Shouman MG, El-Latif SA, Khattab SS, Makkar. Pediatric acute kidney injury: outcome by dialysis modality and disease severity. International J Of Academic Research. 2010; 2: 201-8
2. Subandiyah K. Terapi Konservatif Acute Kidney Injury pada Anak. Divisi Nefrologi Anak Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUB-RSU Dr. Saiful Anwar Malang. http://mbespa2011.blogspot.com/2011/08/terapi-koservatif-acute-kidney-injury.html
3. Pundzienė B, Dobilienė D, Rudaitis S. Acute kidney injury in pediatric patients:experience of a single center during an 11-year period. Medicina (Kaunas) 2010;46(8):511-5
4. Sinto R, Nainggolan G. Acute Kidney Injury:Pendekatan Klinis dan Tata Laksana. Majalah Kedokteran Indonesia. : 2010;60: 2
5. Bagshaw SM, George C, Bellomo R. A comparison of the RIFLE and AKIN criteria for acute kidney injury in critically ill patients. Nephrol Dial Transplant. 2008;23:1569-74
6. Askenazi DJ, Ambalavanan N, Goldstein SL. Acute kidney injury in critically ill newborns: What do we know? What do we need to learn? Pediatr Nephrol. 2009;24:265–74
7. Akcan-Arikan A, Zappitelli M, Loftis LL, Washburn KK, Jefferson LS, Goldstein SL. Modified RIFLE criteria in critically ill children with acute kidney injury. Kidney International. 2007;71:1028–1035
8. Ricci Z, Dinna, Cruz, Ronco C. Classification and staging of acute kidney injury: beyond the RIFLE and AKIN criteria. Nat. Rev. Nephrol. 2011
9. Andreoli SP. Acute kidney injury in children. Pediatr Nephrol. 2009; 24 : 253-63
29
10. Kellum JA, Bellomo R, Ronco C.The concept of acute kidney injury and the RIFLE criteria. Dalam Ronco C, Bellomo R, Kellum JA Eds. Acute kidney injury. Basel. S Karger AG.2007 : 10-15
11. Brophy PD. Acute kidney injury in the pediatric patient. US Nephrol. 2010 : 71-74
12. Askenazi D. Evaluation and management of critically ill children with acute kidney injury. Curr Opin Pediatr. 2011; 23 : 201-07
13. Basu RK, Wheeler D. Approaches to the Management of Acute Kidney Injury in Children. Recent Patents on Biomarkers 2011, Vol. 1, No. 1
14. Gonzales E, Guttierez E, Galeano C. Early steroid treatment improves the recovery of renal function in patients with drug-induced acute interstitial nephritis. Kidney International.2008. 73, 940–946
15. Bellomo R, Ronco C, Kellum, Mehta RL, Palevsky P, ADQI workgroup. Acute renal failure—definition, outcome measures, animal models, fluid therapy and information technology needs: the second international consensus conference of the Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) group. Crit Care 2004;8:4
30