fix wrap up skenario 3

38
Skenario 3 RONA MERAH DI PIPI Seorang wanita, 25 tahun, masuk Rumah Sakit YARSI dengan keluhan demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut sariawan, nyeri pada persendian, rambut rontok, pip berwarna merah bila terkena sinar matahari. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat sariawan di mulut. Pada wajah terlihat malarrash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan. Dokter menduga pada pasien Sistemic Lupus Eritematosus. Kemudian dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium hematologi, urin dan marker autoimun (autoantibodi misalnya ds- DNA). Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup. 1

Upload: citra-nurul-aviandari

Post on 02-Jan-2016

66 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Fix Wrap Up Skenario 3

Skenario 3

RONA MERAH DI PIPI

Seorang wanita, 25 tahun, masuk Rumah Sakit YARSI dengan keluhan demam yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut sariawan, nyeri pada persendian, rambut rontok, pip berwarna merah bila terkena sinar matahari.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat sariawan di mulut. Pada wajah terlihat malarrash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan. Dokter menduga pada pasien Sistemic Lupus Eritematosus.

Kemudian dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium hematologi, urin dan marker autoimun (autoantibodi misalnya ds-DNA). Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup.

1

Page 2: Fix Wrap Up Skenario 3

Sasaran Belajar

LI 1. Memahami dan Menjelaskan Penyakit Autoimun

LO 1.1 Definisi Penyakit Autoimun

LO 1.2 Patofisiologi

LO 1.3 Klasifikasi

LI2. Memahami dan Menjelaskan Sistemic Lupus Eritematosus

LO 1.1 Definisi

LO 1.2 Etiologi

LO 1.3 Patofisiologi

LO 1.4 Manifestasi

LO 1.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding

LO 1.6 Penatalaksanaan

LI 3. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Laboratorim untuk Sistemic Lupus Eritematosus

LI 4. Memahami dan Menjelaskan Perspektif Islam tentang Sabar

2

Page 3: Fix Wrap Up Skenario 3

LI 1. Memahami dan Menjelaskan Penyakit Autoimun

LO 1.1 Definisi Penyakit Autoimun

Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya.

Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang ditimbulkan oleh respon autoimun. Penyakit-penyakit autoimun secara khas mencirikan peradangan dari beragam jaringan-jaringan tubuh. Dapat disertai penyakit atau penyakit yg ditimbulkan mekanisme lain (seperti infeksi). Penyakit autoimun ini berkaitan dengan sistem antibodi yang berlebihan dalam tubuh, dimana jaringan tubuh dianggap sebagai “Benda Asing”.

LO 1.2 Patofisiologi

Beberapa mekanisme dianggap operatif dalam patogenesis penyakit autoimun, dengan latar belakang kecenderungan genetik dan modulasi lingkungan. Hal ini di luar cakupan artikel ini membahas masing-masing dari mekanisme ini secara mendalam, tapi ringkasan dari beberapa mekanisme penting telah dijelaskan:

T-Cell Bypass – Sistem kekebalan tubuh yang normal memerlukan aktivasi sel-B dengan T-sel sebelum mantan dapat menghasilkan antibodi dalam jumlah besar. Kebutuhan sel-T ini  bisa di bypass dengan kasus yang jarang terjadi, seperti infeksi oleh organisme memproduksi super antigen , yang mampu memulai aktivasi poliklonal sel-B, atau bahkan T-sel, dengan langsung mengikat β- subunit T-sel reseptor dalam mode non-spesifik.

T-Cell-B-Cell discordance – Sebuah respon imun normal diasumsikan melibatkan B dan respon sel T terhadap antigen yang sama, bahkan jika kita tahu bahwa sel B dan sel T mengenali hal yang sangat berbeda: konformasi pada permukaan molekul untuk sel B dan pra-olahan fragmen peptida protein untuk sel T.  Namun, tidak ada sejauh kita tahu bahwa membutuhkan ini. Semua yang diperlukan adalah bahwa sel B mengenali antigen X endocytoses dan proses protein Y (biasanya = X) dan menyajikan itu ke sel T. Roosnek dan Lanzavecchia menunjukkan bahwa sel B mengenali IgGFc bisa mendapatkan bantuan dari setiap sel T menanggapi antigen co-endocytosed dengan IgG oleh sel B sebagai bagian dari kompleks imun.  Pada penyakit celiac nampaknya sel B mengenali transglutamine jaringan dibantu oleh sel T mengenali gliadin.

Aberrant B cell receptor-mediated feedback – Sebuah fitur penyakit autoimun manusia adalah bahwa hal itu sebagian besar terbatas pada sekelompok kecil antigen, beberapa di antaranya telah dikenal peran sinyal dalam respon imun (DNA, C1q, IgGFc, Ro, Con A. reseptor, Kacang Tanah agglutinin reseptor (PNAR)). Fakta ini memunculkan gagasan bahwa autoimun spontan dapat terjadi bila pengikatan antibodi terhadap antigen tertentu dapat sinyal menyimpang yang makan kembali ke induk sel B melalui ligan terikat membran.   Ligan termasuk reseptor sel B (untuk antigen), Fc IgG reseptor, CD21, yang mengikat komplemen C3d, Pulsa seperti reseptor 9 dan 7 (yang dapat mengikat DNA dan nucleoproteins) dan PNAR. Aktivasi menyimpang tidak langsung sel B juga bisa dipertimbangkan dengan autoantibodies untuk reseptor asetil kolin (pada sel myoid thymus) dan hormon dan protein hormon mengikat.

3

Page 4: Fix Wrap Up Skenario 3

Bersama dengan konsep T-sel-sel B kejanggalan ide ini membentuk dasar hipotesis mengabadikan diri sel B autoreaktif. Autoreaktif B sel-sel di autoimunitas spontan dilihat sebagai surviving karena subversi kedua sel T membantu dan jalur dari sinyal umpan balik melalui reseptor sel B, dengan demikian mengatasi sinyal negatif yang bertanggung jawab untuk sel B toleransi diri tanpa harus memerlukan hilangnya sel T diri-toleransi.

Molecular Mimicry – Sebuah eksogen antigen dapat berbagi kesamaan struktural dengan antigen host tertentu, dengan demikian, antibodi apapun dihasilkan terhadap antigen ini (yang meniru antigen diri) juga bisa, secara teori, mengikat antigen host, dan memperkuat respon imun. Ide mimikri molekuler muncul dalam konteks Demam rematik , yang mengikuti infeksi dengan Grup A beta-hemolitik streptokokus . Meskipun demam rematik telah dikaitkan dengan mimikri molekuler selama setengah abad antigen belum ada secara resmi diidentifikasi (jika ada terlalu banyak telah diusulkan). Selain itu, jaringan distribusi yang kompleks penyakit (jantung, sendi, kulit, basal ganglia) berpendapat melawan antigen tertentu jantung. Masih mungkin bahwa penyakit ini disebabkan misalnya interaksi yang tidak biasa antara kompleks imun, komponen komplemen dan endotelium.

Idiotype Cross-Reaction – Idiotypes adalah antigenik epitop ditemukan di bagian antigen-mengikat (Fab) dari molekul imunoglobulin. Plotz dan Oldstone disajikan bukti bahwa autoimunitas dapat timbul sebagai akibat dari reaksi silang antara idiotype pada antivirus antibodi dan sel reseptor inang untuk virus tersebut. Dalam hal ini, reseptor sel inang dibayangkan sebagai sebuah gambar internal dari virus, dan anti-idiotype antibodi dapat bereaksi dengan sel inang.

Cytokine Dysregulation – sitokin telah baru-baru dibagi menjadi dua kelompok sesuai dengan populasi sel yang fungsi mereka mempromosikan: Helper T-sel tipe 1 atau tipe 2.  Kategori kedua sitokin, termasuk IL-4, IL-10 dan TGF-β (untuk beberapa nama), tampaknya memiliki peran dalam pencegahan berlebihan pro-inflamasi respon imun.

Dendritic cell apoptosis – sel sistem kekebalan yang disebut sel dendritik menyajikan antigen untuk aktif limfosit . Sel dendritik yang cacat dalam apoptosis dapat menyebabkan tidak tepat sistemik limfosit aktivasi dan penurunan konsekuen dalam diri toleransi.

Epitope spreading or epitope drift -  ketika reaksi kekebalan perubahan dari menargetkan utama epitop untuk juga menargetkan epitop lainnya. Berbeda dengan mimikri molekuler, epitop lainnya tidak perlu secara struktural mirip dengan yang utama.

Epitope modification or Cryptic epitope exposure – mekanisme penyakit autoimun adalah unik karena bukan hasil dari cacat dalam sistem hematopoietik. Sebaliknya, penyakit hasil dari pemaparan samar N-glycan (polisakarida) hubungan umum untuk eukariota dan prokariota lebih rendah pada glikoprotein dari mamalia non-sel dan organ hematopoietik. Paparan glycans phylogenically primitif mengaktifkan satu atau lebih sel kekebalan tubuh mamalia bawaan reseptor untuk menginduksi kondisi inflamasi kronis steril. Dengan adanya kerusakan sel dan inflamasi kronis, sistem kekebalan tubuh adaptif yang direkrut dan self-toleransi hilang dengan produksi autoantibody meningkat. Dalam bentuk penyakit, tidak adanya limfosit dapat mempercepat kerusakan organ, dan intravena IgG administrasi dapat terapi. Meskipun

4

Page 5: Fix Wrap Up Skenario 3

rute ini untuk penyakit autoimun mungkin mendasari berbagai negara penyakit degeneratif, tidak ada diagnostik untuk mekanisme penyakit ada saat ini, sehingga perannya dalam autoimunitas manusia saat ini tidak diketahui. Peran khusus immunoregulatory jenis sel, seperti sel T peraturan , sel NKT , γδ T-sel dalam patogenesis penyakit autoimun yang sedang diselidiki.

Ada beberapa mekanisme mengenai induksi autoimunitas

1.pelepasan antigen sekuester

2.kemiripan molekular

3.ekspresi MHC-II yang tidak sesuai

1. Sequestered Antigen

Adalah antigen sendiri yang kkarena letak anatominya tidak terpajan dengan sel b/ sel

T dari sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen dilindungi dan tidak

ditemukan untuk dikenal sistem imun.

Perubahan anatomi dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan

iskemia/ trauma) dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak

terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein lensa intraokular, sperma, dan MBP.

2. Gangguan Presentasi

Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respons

MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-B) dan gangguan respons terhadap IL-2.

Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts/ Tr. Bila terjadi

kegagalan sel Ts/ Tr, maka terjadi rengsangan ke sel Th yang akhirnya menimbulkan

autoimuntas.

3. Ekspresi MHC-II yang Tidak Benar

Pada orang sehat, sel B mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak

mengekspresikan MHC-II sama sekali. Namun pada penderita dengan IDDM ekspresi MHC-

I dan MHC-II denga kadar tinggi. Contoh lain pada penderita Grave yang mengekspresikan

MHC-II pada membran.

Ekspresi MHC-II Yng tidak pada tempatnya itu yang biasanya diekspreskan pada

APC dapat mensensitasi sel Th terhadap peptida yang berasal dari sel B/ tiroid dan

mengaktifkan sel B /Tc/ Th1 terhadap self antigen.

5

Page 6: Fix Wrap Up Skenario 3

Kerusakan pada penyakit autoimun terjadi melalui antibodi (tipe II dan III),

tipe IV yang mengaktifkan sel CD4+ /sel CD8+ kerusakan organ dapat juga terajdi melalui

autoantibodi yang mengikat tempat fungsional self antigwn seperti reseptor hormon, reseptor

neurotransmitor, dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat menyerupai /menghambat

efek ligan endogen untuk self protein yang menibulkan gangguan fungsi tanpa terjadinya

inflamasi/ kerusakan jaringan fenomena ini terliha t pda penyakit autoimunitas endokrin

dengan autoantibodi yang menyerupai/ menghambat efek hoormon seperti TSH, yang

menimbulkan aktifitas berlebihan/ kurang dari tiroid.

LO 1.3 Klasifikasi

Penyakit Autoimun Organ Spesifik

Contoh alat tubuh yang menjadi sasaran penyakit autoimun adalah kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, lambung, dan pancreas. Pada penyakit-penyakit tersebut dibentuk antibody terhadap jaringan alat tubuh. Hal yang menarik perhatian adalah adanya antibody yang tumpang tindih (overlapping), misalnya antibody terhadap kelenjar tiroid dan antibody terhadap lambung sering ditemukan pada satu penderita. Kedua antibody tersebut jarang ditemukan bersamaan dengan antibody yang non-organ spesifik seperti antibody terhadap komponen nucleus dan nucleoprotein.

Contoh : Anemia pernisiosa, pemfigoid bulosa (salah satu penyakit kulit melepuh), tiroiditis hashimoto, miksedem primer, tirotoksikosis, penyakit Addison, dll.

Penyakit Autoimun Non-Organ Spesifik

Penyakit autoimun yang non-organ spesifik terjadi karena dibentuknya antibody terhadap autoantigen yang tersebar luas di dalam tubuh, misalnya DNA. Pada penyakit autoimun non-organ spesifik, sering juga dibentuk kompleks imun yang dapat diendapkan pada dinding pembuluh darah, kulit, sendi, dan ginjal, serta menimbulkan kerusakan pada alat tersebut.

Contoh : Artritis rheumatoid, SLE, LE discoid, scleroderma, Dermatomiositis, dll.

LI2. Memahami dan Menjelaskan Sistemic Lupus Eritematosus

LO 1.1 Definisi

6

Page 7: Fix Wrap Up Skenario 3

Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya bersifat episodik (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.

Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit LES sulit diduga dan sering berakhir dengan kematian. Karenanya LES harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding bila anak mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia, nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab terjadinya LES belum diketahui. Berbagai faktor dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun. Pada anak perempuan, awitan LES banyak ditemukan pada umur 9-15 tahun

LO 1.2 Etiologi

Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi, dan lingkungan berperan pada patofisiologi LES.

Faktor resiko :

1. Genetik: Jenis kelamin (frekuensi pada wanita 10 kali lebih sering), umur (lebih sering pada

umur 20-40 tahun), etnik, dan faktor keturunan (frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga di mana terdapat anggota dengan LES)

Sering pada anggota keluarga dan saudara kembar monozigot (25%) dibanding kembar dizigotik (3%), berkaitan dengan HLA seperti DR2, DR3 dari MHC kelas II.

Individu dengan HLA DR2 dan DR3 risiko 2-3 kali dibanding dengan HLA DR4 dan HLA DR5.

Gen HLA diperlukan untuk proses pengikatan dan presentasi antigen, serta aktivasi sel T.

Haploptip (pasangan gen yang terletak dalam sepasang kromosom yang menetukan ciri seseorang), HLA menggangu fungsi sistem imun yang menyebabkan peningkatan autoimunitas.

Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini.

2. Defisiensi komplemen Defisiensi C3 / C4 jarang pada yang manifestasi kulit dan SSP. Defisiensi C2 pada LES dengan predisposisi genetik. 80% penderita defisiensi komplemen herediter cenderung LES. Defisiensi C3 menyebabkan kepekaan tehadap infeksi meningkat, yang akan

menyebabkan predisposisi penyakit kompleks imun.

7

Page 8: Fix Wrap Up Skenario 3

Defisiensi komplemen menyebabkan eliminasi kompleks imun terhambat, menaikkan jumlah kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi lebih lama, lalu mengendap di jaringan yang menyebabkan berbagai macam manifestasi LES.

3. Hormon Estrogen : imunomodulator terhadap fungsi sistem imun humoral yang akan menekan

fungsi sel Ts dengan mengikat reseptor menyebabkan peningkatan produksi antibodi. Androgen akan induksi sel Ts dan menekan diferensiasi sel B (imunosupresor). Imunomodulator adalah zat yang berpengaruh terhadap keseimbangan sistem imun. 3 jenis imunomodulator :

Imunorestorasi Imunostimulasi Imunosupresi

4. Lingkungan Bakteri atau virus yang mirip antigen atau berubah menjadi neoantigen.Sinar UV akan

meningkatkan apoptosis, pembentukan anti DNA kemudian terjadi reaksi epidermal lalu terjadi kompleks imun yang akan berdifusi keluar endotel setelah itu terjadi inflamasi.

Faktor lingkungan yang mungkin berhubungan denganpatogenesis SLE :

a) Faktor fisik / kimia Amin aromatik Hydrazine Obat- obatan ( prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin,

penisilamin) Merokok Pewarna rambut Sinar ultraviolet

b) Faktor makanan Mengkonsumsi lemak jenuh yang berlebihan L –canavanine ( kuncup dari alfalfa)

c) Angen infeksi Retrovirus DNA bakteri / enditoksin

d) Hormon dan estrogen lingkungan ( environmental oestrogen) Terapi Sulih Hormon (HRT), pil kontrasepsi oral Papan estrogen prenatal

LO 1.3 Patofisiologi

Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti

8

Page 9: Fix Wrap Up Skenario 3

bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4(Epstein, 1998).

Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu    cell-mediated immunity.

Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena  lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun  (Mok dan Lau, 2003) pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan  mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).

Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB(yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, danMannose Receptor (MR) yang menghasilkan  sitokin  antiinflamasi.  Sedangkan  pada  SLE  yang  terjadi  adalah ikatan dengan autoantibodi  yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).

LO 1.4 Manifestasi

Manifestasi lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus, SLE) umumnya terjadi pada berbagai organ dan jaringan di seluruh tubuh dan terutama ditandai dengan vaskulitis sistemik yang tidak diketahui sebabnya.

9

Page 10: Fix Wrap Up Skenario 3

Perjalanan penyakit SLE bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat. Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi).

Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik penyakit SLE ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitifitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria SLE.

Gambaran klinis keterlibatan sendi atau musculoskeletal dijumpai pada 90% kasus SLE, walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus.

Gejala Konstitusional

Kelelahan

Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita SLE, dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini dapat diukur dengan menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tes toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh SLE, maka diperlukan pemeriksaan penunjang yang lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah.

Penurunan Berat Badan

Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.

Demam

Demam akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil. Gejala lain yang sering dijumpai penderita SLE dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktivitas penyakitnya seperti rambut rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran KGB, bengkak, sakit kepala, mual, dan muntah.

Manifestasi Muskuloskeletal

Keluhan musculoskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai pada penderita SLE, lebih dari 90%. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Yang membedakan SLE dengan artritis rheumatoid, pada umumnya SLE tidak menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit, dan sebagainya. Perlu diperhatikan juga kemungkinan adanya koinsidensi penyakit autoimun lain seperti Artritis rheumatoid, Polymyositis, Skleroderma atau manifestasi klinis penyakit-penyakit tersebut merupakan bagian gejala klinis SLE.

10

Page 11: Fix Wrap Up Skenario 3

Manifestasi Kulit

Ruam kulit merupakan manifestasi SLE pada kulit yang telah lama dikenal oleh para ahli. Seborea kongestifa, herpes esthimones, dan sebagainya telah diperdebatkan sebagai suatu lesi kulit pada SLE. Lesi muko-kutaneus yang tampak sebagai bagian SLE dapat berupa reaksi fotosensitifitas, discoid LE (DLE), subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), lupus profundus / paniculitis, lesi vaskuler berupa eritema periungual, depigmentasi pada bibir, dan sebagainya.

Manifestasi Paru

Manifestasi klinis pada paru-paru berupa radanginterstitial parenkim paru (pneumonitis), embolis paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru atau shrinking lung syndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak, batuk kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Hemoptysis merupakan keadaan yang serius apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat SLE.

Manifestasi Kardiologis

Pericardium, miokardium, endocardium ataupun pembuluh darah koroner dapat terlibat pada penderita SLE, walaupun yang paling banyak terkena adalah pericardium. Penyakit jantung coroner dapat pula dijumpai pada penderita SLE dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif. Vasvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan komplikasi lain yang juga sering dijumpai pada penderita SLE.

Manifestasi Renal

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita SLE. Pemeriksaan terhadap protein urin > 500 mg/24 jam atau 3+ semi kuantitatif, adanya cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit atau gabungan serta pyuria ( > 5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada penderita SLE.

Manifestasi Gastrointestinal

Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita SLE, karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai akibat pengobatan. Secara klinis, tampak adanya keluhan penyakit pada esophagus, mesenteric vasculitis, inflammatory bowel disease (IBS), pankreatitis, dan penyakit hati. Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada penderita saat dalam keadaan tertekan dan sifatnya episodic, walaupun tidak dapat dibuktikan adanya kelainan pada esophagus tersebut, kecuali gangguan motilitas. Hepatomegaly merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada SLE, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.

11

Page 12: Fix Wrap Up Skenario 3

Manifestasi Neuropsikiatrik

Keterlibatan neuropsikiatrik akibat SLE sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologic dan psikiatrik. Pembuktian adanya keterlibatan saraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses penegakkan diagnosis. Dapat dijumpai kelainan EEG namun tidak spesifik, pada cairan serebrospinal dapat ditemukan kompleks imun, kadar C4 rendah, peningkatan IgG, IgA, dan atau IgM, peningkatan jumlah sel, peningkatan kadar protein atau penurunan kadar glukosa. Keterlibatan SSP dapat bermanifestasi sebagai epilepsy, hemiparesis, lesi syaraf kranial, lesi batang otak, meningitis aseptic atau myelitis transversal.

Manifestasi Hemik-Limfatik

Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita SLE. Organ limfoid yang sering dijumpai pada penderita SLE adalah splenomegaly yang biasanya disertai pembesaran hati. Anemia dapat dijumpai pada suatu periode dalam perkembangan penyakit SLE.

LO 1.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Kecurigaan akan penyakit SLE peril dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria, yaitu :

1. Wanita muda dengan eterlibatan dua organ atau lebih.2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat

badan.3. Musculoskeletal: arthritis, arthralgia, myositis.4. KUlit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrane

mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vasculitis.5. Ginjal: hematuria, proteinuriasilinderia. Sindroma nefritik.6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen.7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkim paru-paru.8. Jantung: pericarditis, endocarditis, miokarditis.9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegaly, hepatomegaly).10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia.11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organic, myelitis transversus,

gangguan kognititf neuropati kranial dan perifer.

RekomendasiKecurigaan terhadap SLE perlu dipikirkan pada penderita yang memiliki 2 atau lebih kriteria kewaspadaan SLE.

Diagnosis SLEBatasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi mengacu pada

kriteria diagnosis dari American College of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997. Terkait dengan dinamisnya perjalan penyakit SLE, maka diagnosis ini tidak mudah ditegakkan . SLE pada tahap awal sering sekali bermanifestasi sebagai penyakit lain mislanya artritis

12

Page 13: Fix Wrap Up Skenario 3

rheumatoid, glomerulonephritis, anemia, dermatitis, dan sebagainya. Maka dari itu ketepatan dalam diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE sangat penting.

Tabel. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik Kriteria Definisi

Bercak

malar

(butterfly

rash)

Eritema datar atau menimbul yang menetap di

daerah pipi, cenderung tidak menyebar ke lipatan

nasolabial

Bercak

diskoid

Bercak eritema yang menimbul dengan adherent

keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi

lama dapat terjadi parut atrofi

Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar

matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik

Ulkus

mulut

Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri

Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian

perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau

efusi

Serositif a. Pleuritis

Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural

friction rub atau terdapat efusi pleura pada

pemeriksaan fisik

atau

b. Perikarditis

Dibuktikan dengan EKG atau terdengar

pericardial friction rub atau terdapat efusi

perikardial pada pemeriksaan fisik

Gangguan

ginjal

a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau

pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak

dilakukan

13

Page 14: Fix Wrap Up Skenario 3

atau

b. Silinder seluler : eritrosit, Hb, granular, tubular

atau campuran

Gangguan

saraf

Kejang

Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan

metabolik (uremia, ketoasidosis atau

ketidakseimbangan elektrolit)

atau

Psikosis

Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan

metabolik (uremia, ketoasidosis atau

ketidakseimbangan elektrolit)

Gangguan

darah

Terdapat salah satu kelainan darah

Anemia hemolitik à dengan retikulositosis

Leukopenia à < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan

Limfopenia à < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan

Trombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya

intervensi obat

Gangguan

imunologi

Terdapat salah satu kelainan

Anti ds-DNA diatas titer normal

Anti-Sm(Smith) (+)

Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan

kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang

14

Page 15: Fix Wrap Up Skenario 3

abnormal

antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes

standar

tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan

dan dikonfirmasi dengan ditemukannya

Treponema palidum atau antibodi treponema

Antibodi

antinuklear

Tes ANA (+)

Titer abnormal dari antibody anti-nuklear

berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau

pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu

perjalanan penyakit tanpe keterlibatan obat yang

diketahui berhubungan dg sindroma lupus yang

diinduksi obat.

Keterangan:a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria

tersebut yang terjadi bersamaan atau dengan tenggang waktub. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitisitas 85%dan spesitifitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negative, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.

Diagnosis BandingBeberapa penyakit atau kondisi dibawah ini sering mengacaukan diagnosis akibat

gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu:a. Undifferentiated connective tissue diseaseb. Sindroma Sjogrenc. Sindroma antibody antifosfolipid (APS)d. Fibromialgia (ANA positif)e. Purpura trombositopenik idiopatikf. Lupus imbas obatg. Artritis rheumatoid dinih. Vaskulitis

15

Page 16: Fix Wrap Up Skenario 3

LO 1.6 Penatalaksanaan

Penyuluhan dan intervensi psikososial merupakan hal penting dalam penatalaksanaan penderita yang baru terdiagnosis SLE. Sistemik Lupus Eritematosus merupakan golongan penyakit yang dapat relaps dan remisi. Penatalaksanaan ditujukan pada manifestasi yang terjadi pada penyakit imun ini dan pada strategi-strategi pencegahan seperti :

Perlindungan terhadap sinar UV (penderita mengalami fotosensitifitas) Profilaksis antibiotik (penderita menjalani tindakan-tindakan invasif) Pengaturan kehamilan (terutama pada penderita nefritis lupus/penderita mendapat

terapi antimalaria atau siklifosfamid) Evaluasi serta terapi terhadap infeksi

Pemantauan klinis yang ketat, dengan penilainan perkembangan penyakit secara rutin, penting untuk menentukan kebutuhan terapi antiinflamasi dan imunosupresi, terutama untuk meminimalkan kerusakan ginjal dan sistem saraf pusat. Penderita SLE mendapat terapi tergantung tingkat keparahan yang dialami:

Terapi konservatif

Diberikan apabila penyakit ini tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan

dengan kerusakan organ. Bila dipertimbangkan pemberian glukokortikoid dapat diberikan

prednison 0.5 mg/kgBB/hari.

Arthritis, arthralgia, myalgiaMerupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE. Keluhan ringan seperti ini

dapat diberikan analgetik sederhana/obat antiinflamasi nonsteroid, tetapi pemberiannya dihentikan bila menunjukkan efek samping yang memperberat keadaan umum penderita, seperti pada sistem gastrointestinal, hepar, dan ginjal sehingga diperlukan pemantauan kreatinin serum berkala. Bila pemberian analgetik dan OAINS tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian obat antimalaria :

Hidroksiklorokuin 400mg/hari (bila hingga 6 bulan tidak memberikan respon baik, maka pemberian dihentikan). Hidroksiklorokuin (> 6 bulan pemakaian) dan klorokuin (> 3 bulan pemakaian) perlu diperiksa oftalmologik karena beresiko toksik terhadap retina.

Bila pemberian OAM tidak berespon baik, pertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah (< 15 mg/pagi hari). Metotreksat (7.5-15 mg/minggu) dan diberikan berdampingan dengan obat anti artritis.

Bila terjadi artralgia pada 1 atau 2 sendi yang “menetap” dan bukan merupakan bukti tambahan peningkatan aktivitas penyakit, kemungkinan penderita mengalami osteonekrosis (terutama pada penderita terapi kortikosteroid). Osteonekrosis awal, sering tidak menunjukkan gambaran bermakna pada foto radiologik konvensional, sehingga memerlukan pemeriksaan MRI.

Lupus kutaneusSekitar 70% mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE timbul bila penderita

terpapar sinar UV, inframerah, fluoresensi. Sehingga perlu diberikan sunscreen berupa cream, minyak, lotion, atau gel yang mengandung PABA (ρ-aminobenzoit acid) dan esternya, benzofenon, salisilat, sinamat yang kesemuanya dapat menyerap sinar UV α dan β (pemakaian diulang setelah mandi dan berkeringat). Glukokortikosteroid lokal (cream, salep,

16

Page 17: Fix Wrap Up Skenario 3

atau injeksi) dapat dipertimbangkan pada dematitis lupus, pemilihan preparat harus diperhatikan karena bersifat diflorinasi (atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis, dan fragilitis), anjuran preparat steroid untuk kulit :

1) Muka (steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi (hidrokortison)2) Badan dan lengan [steroid lokal berkekuatan sedang (betametason valerat dan

triamsinolon asetonid)]3) Palmar dan plantar pedis dengan lesi hipertrofik (glukokortikoid berkekuatan tinggi

contohnya betametason dipropionat, penggunaan cream dibatasi selama 2 minggu dan diganti dengan yang berkekuatan rendah)

Fatigue dan keluhan sistemikFatigue merupakan keluhan yang sering terjadi, demikian juga penurunan berat badan,

dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup dengan menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan akitivitas SLE dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.

Serositis (radang membran serosa)Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis. Keadaan ini dapat diatasi dengan

salisilat, OAINS, OAM, atau glukokortikoid dosisi rendah (< 15 mg/hari). Pada keadaan berat diberikan glukokortikoid sistemik.

Terapi agresifPemberian glukokortikoid dosis tinggi segera saat mulai timbul manifestasi serius

SLE dan mengancam nyawa, misalnya : Vaskulitis Lupus kutaneus berat Poliartritis Poliserositis Miokarditis pneumonitis lupus Glomerulonefritis (bentuk

proliferat) Anemia hemolitik Trombositopenia Sindrom otak organik Defek kognitif berat Mielopati Neuropati perifer Krisis lupus (demam tinggi,

prostrasi)

17

Page 18: Fix Wrap Up Skenario 3

Dosis glukokortikoid lebih penting untuk diperhatikan dibandingkan dengan jenisnya yang akan diberikan. Sebaiknya hindari pemberian deksametason karena berefek panjang, lebih baik menggunakan prednison karena lebih mudah untuk mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral sebaiknya diberikan pada pagi hari. Pada manifestasi berat dapat diberikan prednison 1-1.5 mg/kgBB/hari.

Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari, dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1.5 mg/kgBB/hari. Efek terapi dapat terlihat secepat mungkin atau mungkin 6-10 minggu kemudian. Toksisitas SLE merupakan masalah tersendiri pada penatalaksanaan SLE.

Setelah pemerian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus dilakukan penurunan dosis bertahap (5-10%) setiap minggu agar tidak timbul ekserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2.5 mg/minggu. Setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul ekserbasi akut, naikkan dosis hingga dosis efektif sampai beberapa minggu, kemudian turunkan dosis kembali.

Bila dalam 4 minggu pemberian glukokortikoid tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, maka pertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya. Obat sitotoksik adalah bolus siklofosfamid intravena 0.5-1 gr/m2 dalam 250 ml NaCl 0.9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah pemberian obat. Siklofosfamid diindikasikan pada :

1. Penderita SLE dengan terapi steroid dosis tinggi (steroid sparing agent)2. Penderita SLE dengan kontraindikasi terhadap steroid dosis tinggi3. Penderita yang kambuh setelah diterapi dengan steroid jangka panjang lama atau

berulang4. Glomerulonefritis difus awal5. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid6. Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal

lainnya.7. SLE dengan manifestasi SSP

Pada penderita dengan penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2. Setelah pemberian siklofosfamid, segera pantau jumlah leukosit darah, bila mencapai 1500/ml maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis yang tidak adekuat, sehingga harus ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian siklofosfamid diberikan, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi :

Nausea Vomitus alopesia Sistitis hemoragika

Page 19: Fix Wrap Up Skenario 3

Keganasan kulit Penekanan fungsi ovarium dan azoospermia

Obat sitotoksik lain dengan toksisitas dan efektifitas yang lebih rendah dari siklofosfamid adalah azatioprin yang merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif siklofosfamid dengan dosis 1-3 gr/kgBB/hari peroral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita SLE, setelah penyakitnya dapat dikontrol dengan steroid seminimal mungkin, maka dosis azatioprin dapat diturunkan perlahan dan dihentikan. Toksisitas dari azatioprin meliputi :

1. Penekanan sistem hemopoetik2. Peningkatan enzim hati3. Mencetuskan keganasan

Imunosupresan lain yang dapat digunakan adalah siklosporin-A dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat digunakan pada SLE baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus diperhatikan tekanan darah dan kada kreatinin darah, bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar sebelum pemberian siklosporin maka dosis harus diturunkan.

Terapi lain masih dalam taraf penelitian yaitu :1. Terapi hormonal2. Imunoglobulin3. Afaresis

o Plasmafaresiso Leukofaresiso Kriofaresis

Yang paling banyak digunakan yaitu danazol, merupakan androgen yang dapat mengatasi trombositopenia pada SLE. Mekanismenya tidak diketahui secara pasti. Pemberian Ig intravena juga dapat mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Pemberian Ig kontraindikasi mutlak dengan penderita defisiensi IgA pada penderita SLE.

Penatalaksanaan SLE keadaan khusus TrombosisMerupakan manifesatasi SLE dan berhubungan dengan adanya antibodi antifosfolipid.

Antikoagulan merupakan obat pilihan untuk mengatasinya (warfarin) dan mempertahankan nilai INR (international normalization ratio) 3–3,5, terutama pada trombosis arteri karotis interna. Antikoagulan lupus berespon baik terhadap glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan sedangkan antibodi antikardiolipin sangat resisten terhadap glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lainnya.

Abortus berulang pada SLEDisebabkan oleh aktivitas SLE atau adanya antibodi antifosfolipid, untuk menekan

aktivitas SLE, glukokortikoid cukup aman dan tidak mempengaruhi janin kecuali betametason dan deksametason karena dapat mencapai janin dalam bentuk aktif. Pada penderita yang belum pernah mengalami abortus, dapat dipertimbangkan untuk tidak diberikan terapi apapun. Makin

Page 20: Fix Wrap Up Skenario 3

sering terjadi abortus, kemungkinan mempertahankan kehamilan makin kecil, sehingga terapi perlu diberikan. Pilihan terapi :

a. Aspirin dosis rendahb. Kombinasi aspirin dosis rendah dengan glukokortikoid dosis sedangc. Glukokortikoid dosis tinggid. Glukokortikoid dosis tinggi dengan aspirine. Heparin (warfarin bersifat teratogenik pada kehamilan trimester I)

Semua regimen ini meningkatkan keberhasilan kehamilan secara bermakna, pemantauan pada ibu dan janin secara ketat sangat penting untuk diperhatikan.

Lupus neonatalMerupakan sindrom pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita SLE. Gejala paling

sering adalah ruam kemerahan dikulit disertai plakat. Lesi ini berhubungan dengan transmisi antibodi Anti Ro (SS-A) melalui plasenta. Kelainan yang serius seperti blok jantung kongenital jarang terjadi. Sehingga pada wanita hamil perlu diperiksa kemungkinan adanya antibodi anti-Ro.TrombositopeniaPertama-tama cari penyebab terjadinya trombositopenia :

a. Efek samping obatb. Purpura trombositopenia trombotikc. Infeksi virus (HIV, HBV, CMV)d. Infeksi bakteri (Endokarditis bakterialis, sepsis gram-negatif)

Berikan prednison 0.5-1 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu, bila jumlah trombosit < 50.000/ml kemudian turunkan dosis secara perlahan, target terapi ini trombosit > 50.000/ml. Bila prednison tidak berefek baik, berikan danazol 400-800 mg/hari, Ig atau splenektomi.

Pada penderita yang resisten atau penderita dengan keterlibatan organ mayor dapat diberikan bolus siklofosfamid tiap bulan sampai 6 bulan.

SLE pada susunan saraf pusatPenderita SLE pada susunan saraf pusat dibagi menjadi dua, yaitu : Penderita dengan strok

Pemberian antikoagulan lebih berguna dibandingkan pemberian imunosupresan

Penderita dengan kelainan SSP yang lebih luasApabila disertai vaskulitis perifer, maka imunosupresan menjadi pilihan utama.

Pada penderita SLE dengan kejang-kejang tanpa aktivitas pada organ lain, dapat diberikan antikonvulsan tanpa imunosupresan. Pada penderita psikotik tanpa manifestasi SLE lain cukup diberikan obat psikoaktif. Kelainan kognitif ringan dapat diberikan prednison 30mg/hari selama beberapa minggu lalu dosis diturunkan secara bertahap. Pada sindrom otak organik berat, koma, mielopati diberikan terapi agresif dengan glukokortikoid dosis tinggi, dengan atau tanpa obat sitotoksik.

Page 21: Fix Wrap Up Skenario 3

Nefritis lupusPenatalaksanaan umum :

1. Penderita yang diduga menderita nefritis lupus, harus dilakukan biopsi ginjal (bila tidak ada kontraindikasi) guna menentukan strategi penatalaksanaan lebih lanjut.

2. Kurangi asupan :a. Garam (bila ada hipertensi)b. Lemak (bila ada dislipidemia)c. Protein (bila fungsi ginjal mulai terganggu)

3. Perhatikan asupan kalsium untuk mencegah osteoporosis akibat steroid4. Berikan loop diuretics untuk mengatasi edema5. Hindari penggunaan salisilat dan OAINS6. Terapi agresif terhadap hipertensi7. Hindrai kehamilan, karena beresiko tinggi untuk mengalami kegagalan ginjal8. Penderita nefritis lupus dengan manifestasi SLE kulit, dapat diberikan OAM9. Pemantauan berkala aktifitas penyakit dan fungsi ginjal meliputi :

a. Tekanan darahb. Sedimen urinc. Kreatinin serumd. Albumin serume. Protein urin 24 jamf. Komplemen C3

g. Anti DNA

LI 3. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Laboratorim untuk Sistemic Lupus Eritematosus

Pemeriksaan darah lengkap untuk melihat jumlah leukosit, trombosit, limfositdan kadar Hb dan LED. LED yang meningkat menandakan aktifnya penyakit.

Pemeriksaan CRP sangat membantu untuk membedakan lupus aktif dengan infeksi. Pada lupus yang aktif kadar CRP norma atau meningkat tidak bermakna, sedangkan pada infeksi terdapat peningkatan  CRP yang sangat tinggi. Pemeriksaan komplemen C3 dan C4 membantu untuk menilai aktivitas penyakit. Pada keadaan aktif kadar kedua komplemen ini rendah.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien SLE:a. Tes ANA (Anti Nuclear Antibody)

Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifitas yang rendahb. Tes Anti dsDNA (double stranded)

Page 22: Fix Wrap Up Skenario 3

Tes ini sangat spesifik untuk SLE, biasanya titernya akan meningkat sebelum SLEkambuh.

c. Tes Antibodi anti-S (Smith)Antibodi spesifik terdapat 20-30% pasien

d. Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La (antikoagulan lupus anti SSB, dan antibodi antikardiolipin).

Titernya tidak terkait dengan kambuhnya SLE a. Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)b. Tes sel LE

Kurang spesifik dan juga positif pada arthritis rheumatoid, syndrome sjogren, scleroderma, obat, dan bahan-bahan kimia lain

c. Tes anti ssDNA (single stranded)Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis

Pemeriksaan serologi

Tes ANA merupakan pemeriksaan serologi awal.  ANA tes juga di pakai untuk menilai aktivitas penyakit. Antibodi antibodi lainnya mempunyai sensitivitas dan spesivitas yang berbeda beda.Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter untuk membuat diagnosa SLE, antara lain :

1. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)yaitu : pemeriksaan untuk menentukan apakah auto-antibodi terhadap inti sel sering  muncul di dalam darah.

2. Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ).yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik di    dalam sel.

3. Pemeriksaan anti-Sm antibodiyaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein yang ditemukan dalam sel protein inti).

4. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes (kekebalan) di dalam darah

5. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement  (kelompok protein yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan) dan pemeriksaan untuk menilai tingkat spesifik dari C3 dan C4 – dua jenis protein dari kelompok pemeriksaan ini.

6. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep) yaitu : pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang dipengaruhi membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain – pemeriksaan ini jarang digunakan jika dibandingkan dengan pemeriksaan ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka untuk mendeteksi penyakit Lupus dibandingkan dengan LE cell prep.

8. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit 9. Urine Rutin 10. Antibodi Antiphospholipid  11. Biopsy Kulit 12. Biopsy Ginjal

Page 23: Fix Wrap Up Skenario 3

 

Hasil pemeriksaan ANA positif pada hampir semua pasien dengan sistemik lupus dan ini merupakan pemeriksaan diagnosa terbaik yang ada saat ini untuk mengenali sistemik lupus.  

Hasil pemeriksaan ANA negatif merupakan bukti kuat bahwa lupus bukanlah penyebab sakitnya orang tersebut walaupun sangat jarang terjadi dimana SLE muncul tanpa ditemukannya ANA. 

Kemungkinan seseorang mempunyai pemeriksaan ANA positif akan meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Pola dari hasil pemeriksaan ANA sangat membantu dalam menentukan jenis penyakit auto imun yang muncul dan menentukan program pengobatan seperti apa yang cocok bagi seorang pasien Lupus. Hasil pemeriksaan ANA bisa positif pada banyak keadaan, oleh karena itu dalam pemeriksaan ANA harus di dukung dengan catatan kesehatan pasien serta gejala-gejala klinis lainnya. Karena itu apabila hasil tes laboratorium ANA positif (hanya ANA saja) tidak cukup untuk mendiagnosa lupus. Lain halnya jika ANA negatif merupakan bantahan terhadap lupus akan tetapi tidak sepenuhnya mengesampingkan adanya penyakit tersebut. 

Bagaimanapun juga jika hasil pemeriksaan ANA positif,  bukanlah bukti keberadaan Lupus, karena hasil pemeriksaan juga bisa positif terhadap :

Orang - orang dengan penyakit jaringan connective lainnya. Pasien yang sedang diobati dengan obat-obatan tertentu, misal menggunakan obat

prokrainamid, hidralazin, isoniazidklorpromazin. dan  Orang-orang dengan kondisi selain dari lupusseperti skeloderma, sjogren’s

syndrome,rematik arthritis, penyakit kelenjar gondok (thyroid), penyakit hati (liver)

LI 4. Memahami dan Menjelaskan Perspektif Islam tentang Sabar

Sabar di dalam Islam merupakan salah satu tuntunan akhlak Islam yang harus dilaksanakan dalam kehidupan ini.

Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan solat sebagai penolongmu,sesungguhnya allah beserta orang-orang yang sabar. (QS Al-Baqarah : 153)

Sabar termasuk akhlak yang paling utama yang banyak mendapat perhatian Al-Qur’an dalam surat-suratnya. Imam al-Ghazali berkata, “Allah swt menyebutkan sabar di dalam al-Qur’an lebih dari 70 tempat.”Ibnul Qoyyim mengutip perkataan Imam Ahmad: “Sabar di dalam al-Qur’an terdapat di sekitar 90 tempat.”

Page 24: Fix Wrap Up Skenario 3

Abu Thalib al-Makky mengutip sebagian perkataan sebagian ulama: “Adakah yang lebih utama daripada sabar, Allah telah menyebutkannya di dalam kitab-Nya lebih dari 90 tempat. Kami tidak mengetahui sesuatu yang disebutkan Allah sebanyak ini kecuali sabar.”

Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Baqarah : 177)

Surga Allah Untuk orang yang Sabar

Dan dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka dengan surga dan pakaian sutra (QS Al-Insan : 12)

Sabar menghadapi penyakit serta keutamaannya.

Tidak ada orang yang ingin ditimpa penyakit. Meskipun demikian ternyata ada maksud tertentu dari Allah atas penyakit yang diderita hamba-Nya.

“Tidaklah seorang muslim tertimpa derita dari penyakit atau perkara lain kecuali Allah hapuskan dengannya (dari sakit tersebut) kejelekan-kejelekannya (dosa-dosanya) sebagaimana pohon menggugurkan daunnya.” (Imam Muslim)

1. Menghapus Dosa,

Ini merupakan keutamaan yang besar dari Allah Swt karena dengan sakit yang diderita oleh seorang muslim, dosa yang pernah dilakukannya bisa terhapus karena penderitaannya dalam menghadapi penyakit menjadi kafarat (penebus) dosanya, Rasulullah Saw bersabda:

“Tiada seorang mu’min yang rasa sakit, kelelahan (kepayahan), diserang penyaki tatau kesedihan (kesusahan) sampai duri yang menusuk (tubuhnya) kecuali dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya” (HR. Bukhari).

Page 25: Fix Wrap Up Skenario 3

2. Memperoleh Pahala Kebaikan

Segala sesuatu yang terjadi pada manusia pasti ada hikmahnya. Seorang muslim yang sabar dalam menghadapi penyakit maka baginya pahala kebaikan. Rasulullah Saw bersabda:

“Tiada seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu, kecuali Allah mencatat baginya kebaikan dan menghapus darinya dosa.” (HR. Bukhari).

Di dalam hadits lain yang senada tentang ini, Rasulullah Saw bersabda:

Barangsisapa dikehendaki oleh Allah kebaikan baginya, maka dia (diuji) dengan suatu musibah. (HR. Bukhari).

3. Memperoleh Derajat Yang Tinggi di Sisi Allah SWT

“Seorang hamba memiliki suatu derajat di surga. Ketika dia tidak dapat mencapainya dengan amal-amal kebaikannya, maka Allah menguji dan mencobanya agar dia dapat mencapai derajat itu.” (HR. Thabrani)

4. Memperoleh Ganjaran Berupa Surga

Mana¬kala seorang muslim menghadapi penyakit dengan penuh kesabaran, misalnya penyakit yang sangat menyulitkan penderitanya dalam kehidupan ini seperti buta matanya, Rasulullah saw bersabda:

“Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan membutakan kedua matanya dan dia bersabar, maka Aku ganti kedua matanya itu dengan surga.” (HR. Ahmad).

DAFTAR PUSTAKA

Alqur’an dan terjemahan

Page 26: Fix Wrap Up Skenario 3

Baratawidjaja KG, Rengganis I. (2010). Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Davey P. (2002). Medicine at a Glance. England : Blackwell Science Ltd.

Diminati, dr alifa dkk. (2010).Kamus Kedokteran Dorlan. Edisi 31, Jakarta : EGC

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. (2005). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

European Assosiation of Oral Medicine. Oral Lupus Erythematosus. School ofDental Medicine University of Zagreb. 2005.

Greenberg MS, Michael G. Burket’s Oral Medicine Diagnosis & Treatment. 10thed. Hamilton: BC Decker Inc. 2003.

http://medicastore.com/penyakit/538/Lupus_Eritematosus_Sistemik.html. Lupus Eritematosus Sistemik. 22 Mei 2012. 20:30 WIB.

http://www.docstoc.com/docs/11783474/SLE. 22 Mei 2012. 20:30 WIB.

http://wikaprima.wordpress.com/2011/07/21/sabar-menurut-alquran-dan-hadits/

http://yasirmaster.blogspot.com/2011/06/ayat-ayat-al-quran-tentang-sabar.html

Isbagio H, Kasjmir Y.I, Setyohadi B, Suarjana N. (2006). Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, vol III Jakarta : Departemen Penyakit Dalam FKUI.

Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Balai Penerbit FKUI

Robbins & Cotran. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta : EGC

Underwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta : EGC