finish

Upload: ratihnovyantidewi

Post on 15-Jul-2015

180 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal akan keanekaragaman budayanya. Bali yang menjadi salah satu bagian dari Indonesia adalah salah satu pulau yang memiliki keanekaragaman seni, adat istiadat, dan budaya, sehingga sampai saat ini Bali tetap menjadi tujuan para wisatawan. Uniknya lagi, kebudayaan antardaerah di Bali mempunyai daya tarik seni tersendiri, seperti upacara Makotek yang terdapat di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Desa Munggu merupakan desa yang memiliki peradaban yang sangat tinggi serta spesifik dalam hal adat istiadat dan tata cara keagamaan, seperti Makotek itu sendiri yang dilaksanakan setiap Sabtu Kliwon wuku Kuningan. Upacara Makotek sudah mendarah daging di masyarakat Desa Munggu. Dimana upacara ini dipercayai bertujuan untuk membersihkan tempat (alam semesta beserta isinya), serta memberikan penyupatan kepada para Bhuta Kala dan makhluk yang dianggap lebih rendah dari manusia. Dengan melaksanakan upacara Makotek masyarakat Desa Munggu terhindar dari malapetaka dan serangan hama (Ida Bagus Astika, 9 September 2007). Upacara Makotek dianggap suatu upacara yang paling pokok di Desa Munggu. Karena itulah pada saat upacara Makotek semua krama desa wajib untuk ikut serta. Mereka seolah-olah diikat, sehingga timbul kepercayaan bahwa, apabila tidak mengikuti upacara Makotek, maka keselamatan Desa Munggu beserta kramanya akan terancam. Demikian tebalnya kepercayaan krama Desa Munggu terhadap fungsi dari upacara Makotek, sehingga upacara Makotek dapat membudaya dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Selain itu, bila ditinjau dari segi pendidikan Agama Hindu, pelaksanaan upacara Makotek mempunyai arti yang sangat mendasar, karena membentangkan dasar-dasar moral agama yang tinggi, seperti mendahulukan persembahan daripada kepentingan pribadi, memupuk sikap gotong royong, tenggang rasa, serta mempertebal ketakwaan umatnya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu,

1

upacara Makotek perlu dilestarikan agar nilai-nilai filosofis, etika, dan upacaranya tetap langgeng. Melihat fenomena di atas, penulis sangat tertarik melakukan penelitian untuk mengkaji lebih dalam tentang tradisi Makotek, terkait dengan nilai-nilai pendidikan dan budaya yang terdapat di dalamnya, serta keunikan dari upacara Makotek itu sendiri. Maka dari itu, penulis mengangkat sebuah judul karya tulis MENGUAK NILAI-NILAI PENDIDIKAN DAN BUDAYA DALAM TRADISI MAKOTEK DI DESA MUNGGU, KECAMATAN MENGWI, KABUPATEN BADUNG.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat penulis angkat adalah : 1. Bagaimana asal-usul upacara Makotek di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung? 2. Apa sajakah fungsi upacara Makotek di lingkungan masyarakat Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung? 3. Nilai-nilai pendidikan dan budaya apa sajakah yang terdapat dalam upacara Makotek di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung?

1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui asal-usul upacara Makotek di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. 2. Untuk mengetahui fungsi upacara Makotek di lingkungan masyarakat Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.

2

3. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan dan budaya yang terdapat dalam upacara Makotek di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.

1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian di atas, manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang tradisi-tradisi yang berkembang di suatu daerah, khususnya tradisi Makotek yang terdapat di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. 2. Diharapkan agar nilai-nilai budaya yang terdapat dalam upacara Makotek dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya, dan karma Desa Munggu, pada khususnya.

1.5 Ruang Lingkup Ruang lingkup dari penelitian ini adalah : 1. Asal-usul upacara Makotek di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. 2. Fungsi upacara Makotek di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. 3. Nilai-nilai pendidikan dan budaya yang terdapat dalam upacara Makotek di Desa Munggu, Kecamtan Mengwi, Kabupaten Badung

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

3

2.1.1 Letak Geografis Desa Munggu Desa Munggu merupakan suatu desa yang temasuk dalam kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, terletak di ujung Barat Daya Kota Denpasar yang jaraknya sekitar 19 km dari Kota Denpasar. Desa Munggu tempat berkembangnya dan membudayanya upacara Makotek apabila ditinjau dari letak desanya sangat datar dan subur, membentang dari arah utara sampai selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Desa Munggu merupakan daerah yang sangat cocok untuk daerah pertanian karena daerahnya terdapat cukup air serta teraturnya sistem organisasi pengairannya yang biasa disebut Subak. Desa Munggu dulunya merupakan desa yang terisolir akibat sarana lalu lintasnya yang kurang lancar, namun seiring perkembangan zaman dan adanya teknologi yang memungkinkan sarana lalu lintasnya menjadi lebih baik, sehingga berpengaruh terhadap meningkatnya produksi pertanian maupun sarana perhubungan atau pangangkutan. Perkembangan Desa Munggu di dukung atas perkembangan desa-desa tetangganya yang merupakan batas dari Desa Munggu seperti : 1. Sebelah Utara 2. Sebelah Timur 3. Sebelah Selatan 4. Sebalah Barat : Desa Buduk : Desa Pererenan : Samudra Indonesia : Desa Beraban

2.1.2 Kependudukan Masyarakat Desa Munggu Data kependudukan Desa Munggu berdasarkan monografi Desa Munggu tahun 2006, jumlah penduduk adalah 175 jiwa dengan 1.244 Kepala Keluarga yang tersebar dalam 23 banjar. Desa Munggu terdiri dari 2 jenis pemerintahan desa, yaitu : Pemerintahan desa administrasi dan Pemerintahan desa adat. Tugas dan wewenang desa adat adalah mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan adat dan agama. Dalam hubungan ini diantaranya adalah meliputi aspek Parahyangan atau Pura, aspek Pawongan dan aspek Palemahan. Demikian pula halnya desa dinas yang di pimpin oleh kepala dusun atau kelian dinas, memiliki tugas dan wewenang

4

serta tanggung jawab mengenai masalah terutama yang mempunya kaitan dengan struktur pemerintahan masa kini secara langsung berada di bawah pemerintahan desa atau lurah. Oleh karena itu kepala dusun adalah pemerintahan yang formal di dusun mewakili warga masyarakatnya dalam hubungan dengan dunia luar dan begitu pula sebaliknya, termasuk di dalam hubungannya secara vertikal dengan pemimpin formal yang menjadi atasannya seperti pemerintahan di desa, kecamatan, kabupaten, provinsi sampai ke pemerintah pusat. Meskipun terdapat dualisme sistem pemerintahan di tingkat desa yakni desa adat dan desa dinas, namun secara prinsip keduanya itu merupakan suatu kesatuan yang artinya semua pihak mempunyai tanggung jawab dan keterkaitan yang sangat erat satu dengan yang lainnya, saling menunjang dan melengkapi dalam pelaksanaan tugas masing-masing. Dengan demikian jalinan koordinasi yang sangat erat menjadi modal utama dalam upaya menggerakkan pembangunan dimasyarakat dalam artian yang lebih luas. Jadi bagaimanapun juga pemerintahan yang ada memiliki tanggung jawab yang sama yaitu melaksanakan pembangunan sesuai dengan bidang tugas masing-masing serta menjaga keamanan dan ketertiban untuk mewujudkan kesejahteraan hidup masyarakatnya. TABEL III.I JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN UMUR Umur (Tahun) 05 6 10 11 15 16 20 21 25 26 30 31 35 36 40 > 40 Jumlah Sumber : Monografi Desa Munggu, 2006 2.1.3 Mata Pencaharian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah (Orang) 423 493 402 380 426 486 678 569 2.318 6.175

Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor kelurahan Desa Munggu, dilihat dari kondisi mata pencaharian angka kerja dari usia 15 40 tahun sebanyak 4.489 orang. Jumlah tersebut berarti hampir mencapai 70% dari jumlah penduduk 5

keseluruhan. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Desa Munggu termasuk daerah yang produktif. Berdasarkan letak geografisnya masyarakat Munggu sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan sebagian lagi bermata pencaharian sebagai buruh, pegawai swasta maupun pegawai negeri. TABEL III.II MATA PENAHARIAN PENDUDUK DESA MUNGGU Mata Pencaharian Jumlah Petani 855 Petani Penggarap 508 Dagang 200 PNS 143 ABRI 28 Guru 71 Pegawai swasta 555 Tukang 990 Buruh 959 Bengkel 35 Peternak 94 Dokter 7 Bidan 5 Pensiunan 29 Veteran 10 Jumlah 4.489 Sumber : Monografi Desa Munggu, 2006 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Presentase (%) 19,10 11,40 4,46 3,19 0,62 1,58 12,37 22,10 21,37 0,78 2,10 0,16 0,11 0,65 0,22 100

Memperhatikan susunan mata pencaharian penduduk di atas nampak jelas bahwa mata pencaharian masyarakat yang paling menonjol di Desa Munggu adalah tukang, buruh dan petani. 2.1.4 Pendidikan

Berdasarkan data kantor Desa Munggu tahun 2006 tingkat pendidikan dapat diklasifikasikan sebagai berikut : TABEL III.III JUMLAH PENDUDUK MENURUT TINGKAT PENDIDIKAN

6

(Orang) Buta huruf 640 Tamat SD 1.438 Tamat SLTP 1.464 Tamat SLTA 1.234 Akademi 74 Sarjana 134 Jumlah 4.984 Sumber : Monografi Desa Munggu tahun 2006 1 2 3 4 5 6

No

Mata Pencaharian

Jumlah

Presentase (%) 12,84 28,86 29,38 24,76 1,48 2,69 100

Memperhatikan tabel III.III di atas dapat diketahui tingkat kesadaran masyarakat akan pendidikan sangat tinggi. Dari jumlah penduduk 6.175 dan yang mengenyam pendidikan 4.344 ini berarti bahwa kesadaran masyarakat khususnya para orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka sudah tinggi, walaupun hanya menyekolahkan anaknya pada tingkat Sekolah Dasar (SD), SLTP, SLTA dan jarang meneruskan ke perguruan tinggi. 2.1.5 Sistem Kepercayaan

Kepercayaan atau agama di Desa Munggu sangat beragam, mayoritas masyarakat beragama Hindu, namun selain agama Hindu agama lain seperti agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik juga berkembang dan hidup rukun di Desa Munggu. Berdasarkan data tahun 2006 jumlah pemeluk agama yang terdapat di Desa Munggu sebagai berikut :

TABEL III.IV JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN AGAMA Jumlah (Orang) 6.099 7 12 57 6.175

No 1 2 3 4

Mata Pencaharian

Agama Hindu Agam Islam Agama Kristen protestan Agama Kristen katholik Jumlah Sumber : Monografis Desa Munggu tahun 2006 7

Dari data tersebut dapat diketahui, agama yang berkembang di Desa Munggu yaitu agama Hindu, Islam, Kristen Protestan dan Kristen Katholik yang mayoritas adalah agama Hindu. Kalau dilihat pada dasarnya Desa Munggu tidak ada masyarakat asli yang menganut agama selain agama Hindu, namun karena banyaknya pendatang yang memiliki agama selain Hindu dapat mengembangkan agama yang dianutnya di daerah yang ditempati mereka dalam satu wilayah. 2.1.6 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana di Desa Munggu meliputi (1) sarana dan prasarana transportasi, (2) peribadatan, (3) sarana dan prasarana kesehatan. Adapun uraiannya sebagai berikut : 2.1.6.1 Sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi Desa Munggu yanga dahulunya merupakan desa yang terisolir akibat sarana lalu lintas kurang lancar, kini telah terbuka karena dipadukan dengan perkembangan yang sangat cepat, baik dalam meningkatnya produksi pertanian, maupun sarana perhubungan (pengangkutan). Selain sarana transportasi darat, sarana komunikasi berupa televisi, radio, telepon sudah menjangkau masyarakat bahkan seiring dengan kemajuan zaman, warga masyarakat sudah banyak yang menggunakan telepon genggam sebagai sarana komunikasi baik itu digunakan dalam urusan usaha dan urusan pribadi. Desa Munggu adalah desa yang sedang berkembang, dengan mudahnya informasi didapat oleh warga sehingga sangat memungkinkan masyarakat mendapatkan informasi dan mengadakan kontak dengan pihak luar. 2.1.6.2 Sarana Peribadatan Desa Munggu memiliki kemajemukan, agama yang terdapat dalam masyarakat mayoritas penduduknya beragama Hindu juga berkembang, agama Islam, Kristen Protestan dan Kristen Katholik. Karena mayoritas penduduk beragama Hindu, maka ada banyak sekali tempat ibadah umat Hindu yaitu Pura mulai dari pura Kahyangan Tiga (Puseh, Desa, Dalem), pura pesimpangan, pura dadia, pura paibon, pura kawitan, dan pura fungsional seperti pura segara, pura

8

subak dan pura melanting. Untuk masyarakat yang beragama Katholik dan Protestan memiliki 1 buah Gereja. Untuk masyarakat yang beragama Islam belum mempunyai tempat ibadah, untuk menjalankan ibadahnya masyarakat yang beragama Islam harus ke desa lain untuk menjalankan ibadah. 2.1.6.3 Sarana Kesehatan Sarana kesehatan yang terdapat di Desa Munggu berupa Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) terdapat 2 buah, sarana kesehatan ini dipakai oleh untuk mendapatkan layanan kesehatan. Puskesmas dimanfaatkan oleh masyarakat khususnya masyarakat yang sudah lansia karena jenis obat yang diberikan kepada pasien lebih banyak jenis obat generik. Selain Puskesmas di Desa Munggu juga banyak dibuka dokter-dokter praktek yang siap sedia melayani masyarakat. Khusus untuk pelayanan Posyandu yang melayani para balita (mengontrol perkembangan balita) dan untuk konsultasi ibu-ibu hamil mulai dari persiapan persalinan atau melahirkan maka tetap awal bulannya petugas dari Posyandu mengadakan penimbangan dan pemeriksaan kesehatan ke masing-masing banjar yang dibantu oleh kader PKK.

2.2 Sejarah Upacara Makotek Upacara Makotek diadakan pertama kali pada masa pemerintahan Ida Cokorda Mengwi dari Puri Mengwi. Pada masa pemerintahannya masyarakat Desa Adat Munggu hidup dengan damai dan sejahtera. Ida Cokorda Mengwi sangat pemurah pada rakyatnya. Demikian pula rakyatnya sangat menghormati Ida Cokorda Mengwi. Beberapa lama kemudian, terdengar isu bahwa Ida Cokorda Mengwi berencana akan menyerang daerah Jawa, yaitu Blambangan. Namun sebelum rencana itu dilakukan, Ida Cokorda Mengwi beserta rakyat-rakyatnya berdoa memohon restu Ida Sang Hyang Widhi di Pura Dalem Khayangan Wisesa Desa Adat Munggu. Mereka melakukan pemujaan dengan persembahan berupa Kebo Yus Brana. Kebo itu dikuliti dan kulitnya digunakan sebagai alas berjalan Ida

9

Batara di Pura Dalem Khayangan Wisesa. Setelah berdoa sekian lama, akhirnya Ida Batara memberikan wahyu kepada Ida Cokorda Mengwi bahwa rencananya akan berhasil. Ida Batara juga memberi bekal berupa tombak kepada para prajurit Mengwi yang akan berperang. Singkat cerita, Ida Cokorda Mengwi beserta pasukannya telah sampai di Blambangan. Di sana, prajurit Blambangaan sudah menunggu dan siap untuk berperang. Setelah berperang sekian lama akhirnya pasukan Mengwi berhasil menang, sehingga Blambangan pun menjadi daerah kekuasaan Mengwi. Sepulangnya dari Blambangan, pasukan Mengwi merasa sangat senang karena berhasil mengalahkan Blambangan. Kesenangan mereka dilampiaskan dengan saling bergurau menggunakan tombak mereka hingga banyak yang terluka. Melihat hal ini Ida Cokorda Mengwi bersabda Apabila luka pasukan Mengwi dapat sembuh, maka setiap hari Sabtu Kliwon wuku Kuningan akan diadakan upacara Makotek. Akhirnya sesampainya mereka di Puri Mengwi, Ida Cokorda Mengwi beserta seluruh pasukannya tangkil ke Pura Dalem di Desa Adat Munggu. Setelah mendapat tirta, seluruh pasukan yang terluka pun sembuh dalam waktu singkat. Begitu datangnya hari Sabtu Kliwon wuku Kuningan maka diadakanlah upacara Makotek sesuai sabda Ida Cokorda Mengwi. Semua masyarakat ikut berpartisipasi dalam upacara Makotek. Alat yang digunakan pada saat Makotek adalah tombak. Naamun, sejak tahun 1948 yaitu zaman penjajahan Belanda, tombak diganti menjadi kayu pulet sepanjang 3,5 meter. Hal ini dikarenakan jika menggunakan tombak, penjajah Belanda mengira rakyat Mengwi akan mengadakan perlawanan sehingga akan membahayakan hidup seluruh masyarakat. Masyarakat Desa Adat Munggu sangat percaya bahwa apabila sekali saja upacara Makotek tidak dirayakan, maka Desa Munggu akan mengalami musibah. Peristiwa ini pernah terjadi pada tahun 1939. Pada saat itu upacara Makotek pernah tidak dirayakan. Timbullah musibah kematian massal yang tanpa henti. Akhirnya sejak tahun 1948, masyarakat Desa Adat Munggu selalu merayakan upacara Makotek sampai saat ini.

10

Sumber lain yang memberikan penjelasan yang bersifat religius mengenai sejarah atau asal- usul Makotek terdapat dalam sebuah lontar yang disebut lontar Sri Jaya Kasunu. Adapun terjemahan adalah sebagai berikut : Inilah sabda Bhatari Gangga kepada Sri Jaya Kasunu, karena setiap raja yang naik tahta di Bali, hanya memerintah setahun sudah wafat, sampaisampai kepada keturunannya ikut mati. Itulah sebabnya Sri Jya Kasunu melakukan yoga semadi di Gandamayu. Turunlah Bhatari Gangga dan berkata kepada Sri Jaya Kasunu. Katanya, apa tujuanmu Jaya Kasunu? Menjawablah Sri Jaya Kasunu : Minta urip (kehidupan) untuk menjadi raja, ya Bhatari dan mohon keselamatan rakyat serta keluarga Jaya Kasunu. Sebab setiap raja yang memerintah menemui ajalnya setiap wuku Dungulan. Baru setahun memerintah datang wabah sebab semua, pura- pura, leluhur rusak, sanggah rusak, dan hancur, sampai- sampai semua kepercayaan kepada Tuhan punah. Sebab mereka tidak berbakti kepada para Dewa di Besakih, pura Batur, pura Batungaus, serta pura- pura lainnya. Juga tidak adanya yang bersemedi, mengadakan upacara suci di Besakih. Kalau menginginkan keselamatan, maka tiap-tiap tahun, setiap sasih Kapat pada hari Senin Umanis, bila ada bahaya seperti : banjir atau desa menjadi lautan, hujan lebat terus-menerus, gelap gulita, maka arus mengadakan upacara Eka Dasa Ludra di Besakih. Lagi pula di tiap-tiap desa seperti dilakukan di atas harus diadakan pecaruan dengan lima ekor ayam, baik nista, madya maupun utama. Juga diadakan mecaru di laut, karena laut adalah sumber dari segala mara bahaya. Upacara mecaru itu harus diadakan setiap sasih ka Enem atau sasih ka Sanga untuk menghilangkan wabah yang menimpa manusia maupun gangguan dari hama. Kalau tidak diadakan upacara macaru seperti tersebut di atas, maka desa akan kena waah terus-menerus. Demikian sabda Bhatari Gangga terhadap Sri Jaya Kasunu, agar setiap sasih ka Sanga harus mengumpulkan semua dewa-dewa untuk pergi melasti ke laut, pada tilem ka Sanga. Dengan upacara caru lima ekor ayam, sesuai dengan mata angin. Setelah enam tahun harus mecaru Panca Wali Krama dengan lima ekor kerbau pada pempatan agung, macaru mendirikan sanggah tawang lima buah sesuai dengan mata angin. Upacara ini berguna untuk menghilangkan kotoran kejahatan terutama kalau manusia jahat agar umurnya panjang. Lebih tegas lagi Bhatari Gangga menjelaskan kepada Sri Jaya Kasunu : Suruhlah rakyatmu memanggul senjata-senjata yang ada, setiap hair Senin Kliwon wuku Kuningan dengan upacara ini harus diselesaikan oleh Brahmana Siwa. Sebab jiwa (pasupati) senjata itu dibuat oleh Brahmana Siwa serta senjata ini agar tidak punah atau hilang keutamaannya. Upacara ini tidak boleh memakai bahan yang tidak halal. Demikianlah rakyatmu harus berbuat. Upacara itu harus juga dimulai dengan mabyakaonan (pembersihan diri), semua rakyat dan raja pada hari Selasa Wage Dungulan (panampahan Kuningan)..

11

Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa asal-usul dan sejarah timbulnya upacara Makotek adalah dimulai dari zaman pemerintahan Sri Jaya Kasunu. Majapahit. Di samping sumber-sumber yang dapat dianggap cukup bisa dipercaya seperti lontar Sri Jaya Kasunu, masih ada lagi sumber-sumber yang tidak tertulis yang diceritakan turun-temurun, namun dapat dipercaya dan berkembang sampai kini adalah sebagai apa yang dituturkan oleh Ida Bagus Astika pada tanggal 9 April 2007, yaitu : Pada zaman dahulu kala terjadilah banjir di Sungai Penet. Tiba-tiba ada sebuah pelinggih yang beratap ijuk hanyut dalam keadaan berdiri dan Stana Dewa ini kandas di atas batu besar (batu jineng), pelinggih itu kemudian diambil oleh pemangku Pura Sapuh Jagat. Melalui mimpinya, pemangku mendapat ilham, agar palinggih tersebut di tempatkan di Pura Sapuh Jagat. Hal ini dilaporkan kepada Ida Pedandan Pemaron yang kemudian melaporkan pula masalah ini kepada Cokorda Mengwi. Setelah mendapat restu dari Cokorda Mengwi kemudian dibuatkan fundamen di ujung Utara untuk palinggih tersebut dengan segala upacaranya. Pada saat pembongkaran fundamen itulah ditemukan sepotong besi , kemudian besi tersebut diolah menjadi tiga buah senjata, yaitu : tombak lekuk tiga, keris dan tamiang kulem (perisai). Setelah ketiga senjata itu dipasupati (dijiwai) oleh Ida Pedanda, maka senjata itu katanya mempunyai kekuatan gaib, lebih-lebih lagi setelah menang perang, waktu pecahnya perang antara Kerajaan Mengwi dengan Kerajaan Buleleng. Dengan adanya peristiwa yang misterius itulah, kemudian ketiga senjata itu dianggap mempunyai kekuatan gaib yang mampu membersihkan jagat atau desa dari segala macam kejahatan. Berdasarkan atas kepercayaan itulah maka setiap ada wabah atau merana yang mengancam keselamatan desa, maka setiap enam bulan secara rutin senjata tersebut digrebegkan atau diparadekan mengelilingi desa sebagai tindakan preventif. Disamping itu juga sebagai peringatan atas kemenangan dharma melawan adharma dan merupakan hari kemenanan Kerajaan Mengwi terhadap Kerajaan Buleleng." Unsur-unsur yang terlibat dalam pelaksanaan upacara Makotek, antara lain : 2.2.1 Pura Kahyangan Tiga Pura Kahyangan Tiga adalah pusat kegiatan upacara Makotek, karena pura Khyangan Tiga adalah bangunan suci yang berfungsi untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi untuk mendapatkan wara nugraha-Nya. Di dalam pelaksanaan upacara Makotek, pura-pura yang ada di wilayah Desa Munggu sebagian besar terlibat dalam upacara Makotek, karena pura yang menjadi tempat menyimpan benda-benda keramat, seperti tempat menyimpan senjata keris bekas Sebagai kelanjutan tradisi Makotek yang dilakukan di Kerajaan

12

dipakai berperang pada zaman dahulu. Pura Kahyangan Tiga terdiri dari : Pura Desa atau Pura Bale Agung, dalam upacara Makotek merupakan tempat berkumpulnya semua peralatan yang akan digunakan dalam upacara Makotek. Pura Puseh merupakan tempat berstananya Dewa Wisnu dan sekaligus pura ini tempat menyimpan senjata-senjata keramat dan dianggap berwasiat seperti cemeti, cakra, tombak, dan lainnya. Pura Kahyangan, yaitu tmepat berstananya Dewa Siwa, adalah tempat menyimpan senjata seperti : tamiang Kulem (perisai), tombak trisakti (tombak bersacang tiga) dan keris Luk Munggu (keris lekuk tiga) Menurut kepercayaan masyarakat Munggu, semua senjata yang ada di Pura Desa dianggap senjata yang bertuah karena sejarahnya. Senjata tersebut membawa kemenangan pada saat perang antara Kerajaan Mengwi melawan kerajaan Buleleng. Di samping Pura Kahyangan Tiga, ada beberapa pura yang juga terlibat aktif dalam upacara Makotek seperti pura fungsional (Pura Ulun Carik). Di Pura Ulun Carik tidak ada tersimpan senjata-senjata yang berupa tombak maupun keris. Di pura ini hanya terdapat beberapa umbul-umbul (bendera) serta tirta atau air suci sebagai lambang kesuburan. Ada pula beberapa pura keluarga yaitu tempat memuja leluhur keluarga yang telah disucikan. Yang termasuk pura keluarga antara lain : Pura Pasek yaitu untuk memuja leluhur dari keluarga keturunan Pasek. Di pura ini terdapat 4 buah tombak dan beberapa buah umbul-umbul. Di Pura Cepaka terdapat enam buah tombak bersejarah, seperti sebuah tombak yang bersama Sekar Sunsang Luk, dua buah tombak bernama Bangun Oleg, dan tiga buah tobak bernama Beringin 2.2.2 Karang Desa Karang desa adalah suatu wilayah yang merupakan teritorial suatu desa yang ditentukan secara definitif batas- batasnya dengan upacara. Karang desa adalah unsur yang menciptakan kesejahteraan. Karena itulah di dalam upacara Makotek, karang desa dikelilingi oleh parade Makotek untuk menyucikan desa dari gangguan penyakit ataupun Bhuta kala. 2.2.3 Krama Desa Krama desa merupakan warga desa atau masyarakat yang mendukung upacara Makotek. Krama desa merupakan nafas dan jantung suatu desa karena setiap gerak krama desa menentukan segala kehidupan desa. Itulah sebabnya dalam

13

upacara Makotek krama desa disucikan terlebih dahulu, agar dapat melaksanakan upacara Makotek dengan jiwa dan hati yang bersih. Demikian tebalnya kepercayaan krama Desa Munggu terhadap fungsi dari upacara Makotek. Oleh karena itu upacara Makotek dapat membudaya dan berkembang terus dan sejalan dengan perkembangan kepercayaan krama Desa Munggu. 2.2.4 Alat- Alat Kelengkapan Upacara Alat- alat kelengkapan upacara merupakan alat yang dipakai dalam menjalankan upacara- upacara keagamaan. Adapun alat- alat yang ada dan dipergunakan dalam upacara Makotek, antara lain : 2.2.4.1 Banten 2.2.4.2 Senjata 2.2.4.3 Gong dan Kulkul 2.2.4.4 Tirta

2.3 Hubungan Hari Raya Kuningan dengan Upacara Makotek Hari suci atau rerahinan sering juga disebut hari raya. Hari suci adalah hari yang diperingati atau yang diistimewakan, karena berdasarkan keyakinan bahwa hari itu mempunyai makna dan fungsi yang sangat penting bagi kehidupan seseorang atau umat, baik karena pengaruhnya maupun karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, sehingga perlu untuk diingat, disucikan, dan dirayakan. Memperingati perayaan hari suci tersebut dapat bersifat rutin dan juga bersifat insidental, tergantung pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hari raya itu patut kita rayakan secara berkelanjutan dengan maksud untuk selalu mengobarkan semangat kesucian serta makna penting yang terkandung pada hakikat hari suci dari agama yang bersangkutan. Perlu kita ketahui bersama bahwa semua agama yang ada dan diakui secara resmi di Indonesia memiliki hari suci, termasuk agama Hindu. Salah satu dari hari suci Agama Hindu adalah rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan. Setelah pelaksanaan hari raya Galungan, maka berselang

14

sepuluh harinya, tepatnya pada hari Saniscara Kliwon wuku Kuningan, masyarakat Hindu merayakan hari raya Kuningan. Hari suci Kuningan disebut juga Tumpek Kuningan, yang dirayakan setiap 210 hari (6 bulan). Pada hari ini umat meyakini bahwa Hyang Widhi beserta Ida Bhatara dan para roh suci leluhur turun kembali ke dunia guna melimpahkan karunianya kepada semua umatnya. Pada hari suci Kuningan, umat terbiasa mempersembahkan nasi kuning yang diyakini sebagai lambang kemakmuran, dan cinta kasih atas anugerah Hyang Widhi kepada umatnya. Bila kita memperhatikan persembahan nasi kuning tersebut, sebagaimana alasannya dipergunakan tebog dan selanggi yang berisi nasi dengan ditancapi wayang-wayangan. Di samping itu juga kita dapat memperhatikan persembahan berupa tamiang. Semua itu melambangkan kemakmuran, daya tahan, dan kemenangan.

2.4 Hubungan Budaya dengan Upacara Makotek Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri

15

khas suatu masyarakat. Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan seharihari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

2.5 Hubungan Pendidikan dengan Upacara Makotek Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Pendidikan anak usia dini. Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani 16

agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah (SMA). Pendidikan menengah merupakan jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup.Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran. Banyak orang yang lain, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya." Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam -- sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.

17

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat Penelitian Tempat penelitian ini adalah di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Lokasi ini dipilih karena upacara Makotek hanya dapat disaksikan di Desa Munggu.

3.2 Jenis Penelitian Penelitian dapat digolongkan atau dibagi menjadi beberapa jenis. Dalam bagian in jenis penulisan yang dipergunakan oleh penulis untuk mengkaji tentang tradisi Makotek (perspektif pendidikan Agama Hindu) adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian dilakukan pada kondisi obyek yang alami dan peneliti sebagai instrumen kunci. Data yang dihasilkan bersifat deskriptif, analisis data dilakukan secara induktif, dan penelitian lebih menekankan pada makna daripada generalisasi.

3.3 Jenis dan Sumber Data Melakukan penelitian kualitatif dalam dunia keilmuan merupakan suatu aktivitas pengamatan terhadap aktivitas subjek peneliti. Data merupakan keterangan-keterangan tentang suatu hal, dapat berupa sesuatu pengetahuan atau anggapan. Sebelum digunakan dalam proses analisis, data itu perlu dikelompokkan terlebih dahulu. Berdasarkan sumber pengambilannya, data dibedakan menjadi dua, yaitu : 3.1.1 Data Primer Data primer dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat di Desa Munggu, antara lain :

18

1. Pemangku Pura Puseh, I Nyoman Wandra 2. Ida Bagus Astika 3. Bendesa Adat Munggu, I Ketut Kormi 4. Pemangku Pura Dalem Wisesa, I Nyoman Riyug 5. Ida Pedanda Gede Kekeran Pemaron dari Gria Agung Mandara, Br. Pasekan Munggu. 6. Pemangku Pura Rambut Sedana, I Made Lunting 7. I Nyoman Nerog, Petani 8. I Nyoman Ardana 9. Ni Putu Setia Dewi 10. Ni Luh Putu Srinadi 3.3.2 Data Sekunder Dalam penelitian ini, penulis menggunakan gabungan antara data primer dan data sekunder. Antara data primer dengan data sekunder saling melengkapi. 3.4 Metode Pengumpulan Data 3.5.1 Wawancara 3.5.2 Observasi 3.5.3 Studi Kepustakaan 3.5 Metode Analisis Data Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Setelah mencari dan mengumpulkan data, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data atau mengolah data terkumpul, penelitian ini menggunakan metode pengolahan data atau analisis data deskriptif atau menulis kembali data-data lapangan dan data kepustakaan serta lain-lain untuk secara

19

sistematis. Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.

BAB IV PEMBAHASAN

20

4.1 Rangkaian Upacara Makotek di Desa Munggu Seperti telah diuraikan di atas, puncak upacara Makotek dilakukan pada hari raya Kuningan yang dimulai pada siag hari, sekitar pukul 13.00 Wita. Sehubungan dengan itu telah dilakukan serentetan upacara pendahuluan antaralain upacara Mabiakala. Pada hari raya Galungan, segenap masyarakat Desa Munggu melakukan upacara untuk memohon keselamatan kepada Dewa- Dewi dan leluhur agar murah sandang, pangan, dan rejeki. Pada akhir upacara, maka masyarakat yang ikut terlibat mengucapkan terima kasih atas anugerah yang dilimpahkan kepada kita. Pada hari raya Kuningan, yaitu hari kembalinya Sang Hyang Widhi diiringi oelh para Dewa dan Pitara umat menghaturkan bakti sebagai ucapan syukur atas kemenangan dharma melawan adharma. Pada hari ini pula kita memohon kesentosan dan kedirgayusaan, maupun perlindungan dan tuntunan lahir batin. Pada siang harinya upacara dilanjutkan dengan upacara Makotek dengan urutan jalannya upacara sebagai berikut. Tepat pada hari raya Kuningan, sekitar pukul 12.00 Wita, semua kulkul (kentongan) yang ada di tiap-tiap Bale Banjar maupun yang ada di pura-pura dibunyikan secara beramai- ramai oleh pemuda dan anak- anak sebagai tanda dimulainya upacara. Para pemangku dari tiap- tiap Pura melakukan upacara untuk nedunan (menurunkan) alat-alat yang akan dipakai dalam upacara Makotek, seperti : banten sodan, canang ajengan, canang meraka, kukus arum, dan lain- lain. Setelah upacara di tiap pura selesai, maka semua peralatan seprti tombak, keris, dan umbul- umbul diarak oleh para pendukung pura masing- masing, terutama para pemuda dan pemudi yang berkumpul di pura Puseh. Di samping alatalat tombak dan keris berkumpul pula pemuda-pemuda dengan bersenjatakan tongkat kayu yang berukuran dua meter sampai dengan tiga meter dan dihiasi dengan daun pandan, tamiang dari janur serta hiasan lainnya. Di antara pemudapemuda yang siap tempur itu, biasanya ada saja beberape pemuda yang cara berpakaiannya atau berhiasnya sangat lucu. Mereka berpakaian seperti wanita lengkap dengan alat kecantikannya atau rambut di gundul atau dicat. Pemudapemudi serta masyarakat yang berpakaian lengkap berduyun-duyun berkumpul di Pura Puseh kecuali mereka yang dalam keadaan Sebel (kotor) tidak

21

diperkenankan mengikuti upacara. Dalam hal ini sebel dimaksudkan adalh wanita yang dalam keadaan menstruasi atau salah satu keluarganya ada yang meninggal. Setelah sarana yang ikut dalam pawai terkumpul, barulah upacara Makotek dimulai. Rombongan yang tadinya berdesak- desakan memenuhi halaman Pura Puseh, mulai bergerak setelah suara gong menggema ke seluruh penjuru. Rombongan bergerak menuju arah selatan, seperti yang biasa dilakukan pada upacara- upacara suci seperti upacara pada candi yang arahnya atau jalan upacaranya memutar ke Selatan atau pradaksina. Peserta diatur dengan rapi. Rombongan paling depan terdiri dari pemuda-pemuda yang berpakaian sembahyang dan bersenjatakan tongkat kayu dengan bermacam ragam hiasannya. Rombongan kedua adalah pemuda- pemuda yang berpakaian adat memanggul umbul- umbul dari tiap-tiap pura. Rombongan ketiga adalah para pemangku yang membawa senjata pusaka, yaitu : Cemeti, Cakra, tombak lekuk tiga, dan tamiang kulem (perisai) dengan berpakaian adat. Rombongan terakhir adalah anggota penabuh gong yang memanggul gamelan, sambil menabuh terus- menerus sesuai dengan irama. Rombongan bergerak memenuhi jalan yang penuh dengan masyarakat. Di dalam perjalanan pemudapemuda yang bersenjatakan tongkat mengadakan atraksi perang-perangan, maka pemakai jalan yang lain tidak bisa melewati jalan itu. Sambil perang- perangan, rombongan bergerak terus mengikuti jalur yang telah ditentukan, sambl meminta percikan tirta dari pemangku pura yang bersifat umum. Rombongan bergerak menuju laut, karena laut merupakan asal dari segala kejahatan. Dengan suara gong dan kulkul yang bertalu-talu, diharapkan dapat menyenangkan para Bhuta Kala untuk pulang ke asalnya. Jalur ke laut ini jarang dilakukan, hanya apabila ada tanda Desa akan diserang wabah atau dalam situasi yang tidak baik. Setelah mengelilingi desa satu kali, rombongan berkumpul kembali di depan Pura Puseh Munggu. Di sinilah terjadi puncak upacara perang-perangan. Setelah mendapat percikan tirta, pemuda-pemuda kembali ke medan perangperangan. Dalam sekejap terjadilah beberapa kelompo yang sambil berputar- putar memukulkan tongkatnya disertai mengucapkan kata- kata yang menghina kelompok lain. Maka terjadilah perkelahian sengit yang mengakibatkan beberapa pemuda terluka. Pemangku segera memercikkan tirta sebagai penawar luka tersebut. Dengan

22

demikian, sempurnalah upacara Makotek ini, karena sebenarnya upacara Makotek adalah suatu cara untuk mengadakan tabuh rah. Setelah acara perang- perangan berakhir, maka diadakan upacara penutup, yaitu upacara menghaturkan blabaran (kurban) yang berupa segehan dan penyambleh (hewan yang dipotng lehernya) dengan tumpeng merah yang berdagingkan ayam berbulu merah. Setelah upacara tersebut, semua alat- alat dari masing- masing pura dikembalikan ke tempatnya seperti semula dengan banten segehan alit. Upacara ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh karena tebalnya kepercayaan Desa Munggu terhadap fungsi upacara Makotek sebagai pengemban keselamatan. Mereka percaya bahwa jika upacara Makotek ini tidak dilaksanakan, maka Desa Munggu akan diserang marabahaya. Pada tahun 1928 upacara Makotek pernah tidak dilaksanakan, karena pada saat itu terjadi perpecahan antara krama Desa Munggu. Perpecahan itu bersumber dari perselisihan pemuda- pemudi antarbanjar. Masalah ini dikhawatirkan akan menjadikan upacara Makotek sebagai ajang pelampiasan emosi. Sebulan kemudian, Desa Munggu terserang oleh wabah yang banyak memakan korban jiwa. Masyarakat Desa Munggu pun menganggap bahwa peristiwa ini diakibatkan oleh tidak dilaksanakannya upacara Makotek.

4.2 Nilai- Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Upacara Makotek di Desa Munggu Dengan memperhatikan uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa pelaksanaan upacara Makotek yang pada umumnya berfungsi sebagai tindakan preventif menolak bala, juga merupakan mekanisme pendidikan informal masyarakatnya. Mekanisme ini cukup efektif karena di dalamnya terintegrasi seara harmonis semua unsur- unsur dan lapisan masyarakat tanpa ada perbedaan. Dengan mengikuti pelaksanaan upacara Makotek, telah diajarkan tentang nilai-nilai kerohanian dan nilai- nilai kebersamaan. 4.2.1 Nilai Pendidikan Sradha

23

Berpedoman pada Sradha sebagai dasar pengertian Agama Hindu, maka dapat dijelaskan bahwa Sradha adalah dasar yang membentuk berbagai ajaran dalam Agama Hindu yang perlu diyakini dan dihayati dengan penuh rasa pengertian. Dalam lingkungan masyarakat Munggu tertanam kepercayaan yang kuat bahwa dengan melaksanakan upacara Makotek, grubug akan dapat dihindari, sehingga tercapailah kesejahteraan dan kedamaian serta kebahagiaan masyarakat. Berdasarkan latar belakang adanya upacara Makotek untuk mencapai kesejahteraan dan menetralisir pengaruh negatif para Bhutakala, nyatalah terlihat aktivitas Makotek dilandasi religius magis dari masyarakat Desa Munggu. Bertitik tolak dari hal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pandangan dan kepercayaan masyarakat Desa Munggu terhadap upacara Makotek adalah meyakini bahwa upacara ini harus dilaksanakan karena dengan melaksanakan upacara Makotek akan dapat dilenyapkan, seta terciptanya ketentraman bagi hidup warga masyarakat. 4.2.2 Nilai Pendidikan Tattwa Berdasarkan atas fungsi upacara Makotek sebagai jalan untuk mencapai keselamatan, Makotek juga untuk menuntun jalan pikiran masyarakat Munggu dalam memperdalam kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab masyarakat menganggap wabah itu merupakan akibat dari perbuatan roh-roh jahat yang tidak dapat ditanggulangi atas kemampuan manusia. Oleh sebab itu, satusatunya jalan adalah memohon kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. 4.2.3 Nilai Pendidikan Etika Dalam kehidupannya manusia di tuntut untuk berbuat atau bertingkah laku yang baik, hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan suatu keselarasan dan keharmonisan dalam kehidupan sehari hari. Keharmonisan akan dapat dirasakan apabila tingkah laku manusia tidak telepas dari norma norma dan nilai nilai yang berlaku dalam masyarakat sebagai pedoman dalam beretika. Etika berasal dari bahasa Yunani Ethos, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan. Di dalam puncak upacara Makotek, didahului dengan persembahyangan bersama yang diikuti oleh seluruh krama desa, dipimpin oleh pemangku. Tatkala

24

umat hindu tertib bersama sama bersembahyang, tidak ada ikatan status yang ,membedakan mereka. Ini adalah gemblengan moral bagi setiap manusia bahwa keberadaaanya di dunia ini pada hakekatnya adalah sama dengan orang lain, karena bersumber dari satu pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dari kesadaran ini timbullah rasa persaudaraan cinta sesama, dan saling hormat - menghormati . Aturan aturan kesusilaan yang mengikat setiap umat, norma kesusilaan yang mengatur dan harus dipatuhi bagaimana sepatutnya sikap umat atau masyarakat dalam pergaulannya di masyarakat, seperti harus memakai pakaian sembahyang yang sopan, tidak berbicara kasar, tidak boleh berkelahi dan hal- hal lainnya yang harus dipatuhi sebagai usaha untuk memelihara nilai kesucian. Dengan melihat langsung sikap orang tua atau orang dewasa yang patuh terhadap normanorma kesusilaan itu, baginnya merupakan pendidikan dan contoh yang harus diteladani. Melihat sikap orang tua yang antusias mengikuti parade senjata atau Makotek dan mengutamakan kebersamaan dari pada kepentingan pribadi yang merupakan pendidikan bagi anak yang dapat mengarahkan sikap masyarakat untuk tidak mementingkan diri sendiri, dan terbiasa untuk hidup bermasyarakat serta tekun melaksanakan upacara sebagai pelaksanaan bhakti kehadapan Tuhan. Semua ini adalah etika yang harus selalu diamalkan dalam berbagai aspek kehidupan sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisudha. 4.2.4 Nilai Pendidikan Sosial Pelaksanaan upacara Makotek melibatkan banyak orang, yaitu masyarakat Desa Munggu. Para pemuda dan masyarakat menyatu dalam suasana kemeriahan memperingati hari kemenangan. Rasa benci dan emosi yang sifatnya pribadi luluh oleh rasa kebersamaan. Pemuda yang bersenjatakan kayu menyatukan diri mereka dalam kelompok- kelompok dan membentuk suatu atraksi dimana araksi ini akan berhasil apabila adanya kekompakkan dan kerjasama antarindividu. Dalam hal tersebut dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan upacara Makotek memberikan kesempatan kepada seseorang untuk mengenal lebih jauh warga masyarakat yang lain, yang selama ini dirasakan kurang dekat. Dari beberapa uraian di atas, secara umum dapatlah ditarik suatu kesimpulan

25

bahwa nilai pendidikan sosial yang terkandung dalam pelaksanaan upacara Makotek adalah mendidik warga masyarakat untuk menjalin rasa solidaritas, saling membantu, dan mambagi suka duka dalam hidup bersama. Seseorang tidak akan mampu menghindarkan diri dari keterikatan dan ketergantugan terhadap orang lain. Bantuan dan pertolongan dalam hidup bersama merupakan suatu usaha untuk mencapai Jagadhita, yaitu keseimbangan, keselarasan, dan kesejahteraan hidup di dunia. 4.2.5 Nilai Pendidiakn Upacara Dalam analisis yang telah dilakukan, masyarakat Desa Munggu pada umumnya tidak berani tidak melaksanakan upacara Makotek. Hal ini disebabkan adanya suatu kepercayaan bahwa melalui upacara manusia dapat menghubungkan diri dengan Tuhan. Upacara juga diyakini sebagai penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di dunia. Melalui upacara manusia dapat melampiaskan emosi keagamaan untuk memperoleh kepuasan rohani. Hal ini yang mendorong manusia untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat ritual, baik yang berhubungan dengan agama maupun yang berhubungan dengan tradisi. Pelaksanaan upacara Makotek merupakan salah satu upacara keagamaan yang harus dilakukan oleh masyarakat Munggu, sebab upacara Makotek dianggap sebagai suatu warisan yang diyakini memiliki arti dan makna yang sangat tinggi dalam kehidupan masyarakat Munggu. Dengan demikian, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa nilai pendidikan ritual yang terkandung dalam pelaksanaan upacara Makotek adalah mendidik masyarakat untuk tetap melaksnakan kegiatan- kegiatan yang bersifat ritual, sebagai upaya untuk mendekatkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Upaya ini dilakukan sebagai wujud bhakti dan penyampaian rasa terima kasih atas anugerah yang diberikan-Nya. Umat Hindu sangat menyadari dan meyakini bahwa pelaksanaan suatu upacara atau ritual, merupakan salah satu jalan untuk mencapai kebahagiaan hidup lahir dan batin. 4.2.6 Nilai Pendidikan Estetika

26

Bila menyaksikan tempat-tempat suci dan alat serta perlengkapan yang dipergunakan dalam upacara Makotek, seperti : senjata tamiang, tombak, keris, umbul- umbul, kober, tedung, dan tongkat dari kayu pulet, disamping memiliki nilai magis , juga mengandung nilai- nilai pendidikan seni budaya. Pada ujung tongkat biasanya diisi hiasan tamiang dan daun, ini untuk memperindah kayu kotekan. Suara gong dan kulkul yang bertalu-talu menggema mengiringi prosesi upacara Makotek juga menunjukkan nilai- nilai estetika atau seni. Di samping itu juga lantunan suara kidung yang merdu dan penuh khidmad dari peserta upacara Makotek menunjukkan bahwa upacara Makotek memiliki nilai seni. Cara berpakaian peserta arak-arakan yang membawa tongkat terlihat unik. Pada waktu Makotek, masyarakat melampiaskan semangat kegamaannya dalam rangka memperingati hari kemenangan Kerajaan Mengwi melawa Kerajaan Buleleng. Hal ini juga menunjukkan seni dan keunikan dari upacara Makotek.

BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan uraian- uraian di atas dapat dapat diambi beberapa kesimpulan yakni:

27

1. Secara umum yang dimaksud dengan Makotek adalah upacara yang dilakukan beramai- ramai, sehingga menimbulknan suasana yang semangat, disertai dengan sorak- sorai dan diiringi tetabuhan beleganjur. Upacara Makotek di Munggu juga memparadekan senjata- senjata pustaka berupa: Tamiang kulem (Perisai), Pecut (Cemeti), Tombak berbentuk cakra, yang kemudian diikuti oleh para pemuda yang bersenjatakan tongkat dari kayu pullet, yang berukuran kira- kira 2-3 meter. 2. Upacara Makotek ini ada, karena terdapat suatu keyakinan dari masyarakat Desa Munggu, bahwa dengan melaksanakan upacara ini Desa Munggu akan terhindar dari malapetaka. Upacara Makotek juga mempunyai pengaruh penting dalam segi kehidupan masyarakat Desa Munggu, baik dari segi keamanan, social, ekonomi, politik dan organisasi kemasyarakatan. Selain itu upacara ini juga berfungsi sebagai alat pemersatu, yaitu mempersatukan rakyat yang heterogen, tanpa membedakan derajat, dan kedudukan. 3. Nilai- nilai pendidikan yang terdapat dalam upacara Makotek adalah, khususnya nilai pendidikan agama Hindu yakni, nilai Sradha, nilai Tatwa, nilai Etika, nilai Upacara, nilai estetika. a. Nilai Sradha yang didapatkan adalah memperkuat kepercayaan masyarakat Desa Munggu terhadap upacara Makotek agar terhindar dari malapetaka. b. Nilai Tatwa yang didapatkan dari upacara Makotek adalah dapat menuntun jalan pikiran masyarakat Munggu dalam memperdalam kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. c. Nilai etika yang terdapat dalam upacara Makotek adalah melatih sikap hidup bermasyarakat serta tekun melaksanakan upacara sebagai perwujudan rasa bakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. d. Nilai upacara bahwa nilai pendidikan ritual yang terkandung dalam upacara Makotek adalah mendidik masyarakat untuk tetap melaksanakan kegiatan yang bersifat ritual sebagai upaya untuk mendekatkan Sradha Bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa.

28

e. Nilai pendidikan sosial yang terdapat dalam upacara Makotek adalah masyarakat Munggu secara bersama-sama tanpa membedakan status. f. Nilai estetika yang terdapat dalam Makotek adalah upacara yang dilakukan dengan beramai-ramai yang diiringi tetabuhan baleganjur yang menampakkan nilai seni serta adanya budaya yang berkembang, yang terus dipertahankan oleh masyarakat Munggu sebagai suatu tradisi yang dilaksanakan secara turuntemurun.

5.2 Saran- Saran Mengingat akan pentingnya upacara Makotek, maka ada pun beberapa hal yang menurut penulis perlu diperhatikan terkait dengan tradisi Makotek di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung antaralain : 1. Mengingat upacara Makotek merupakan tradisi leluhur yang di dalamnya terdapat nilai-nilai filsafat yang sangat tinggi, hendaknya pada saat melaksanakan upacara ini masyarakat Munggu menjalankannya dengan hati yang suci dan ikhlas sehingga dapat memberikan persembahan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, meskipun dalam sebuah perwujudan yang sederhana. 2. Di dalam pelaksanaan upacara Makotek, terutama saat perangperangan tongkat, hindarilah perselisihan yang bersifat pribadi yang dapat mengurangi dan melemahkan fungsi upacara Makotek itu sendiri. Oleh sebab itu, perlu kiranya dibuat suatu teknik- teknik pelaksanaannya. 3. Kepada para pemuka desa, utamanya tokoh-tokoh masyarakat yang mengetahui asal-usul sebenarnya upacara Makotek, disarankan agar membukukan segala sesuatu tentang upacara Makotek, dimana ini dapat dijadikan suatu pedoman bagi para generasi penerus agar

29

upacara Makotek tidak disangsikan keberadaannya dan tetap dilestarikan. 4. Keberadaan upacara Makotek yang merupakan salah satu budaya unik warisan leluhur hendaknya lebih disosialisasikan, sehingga upacara Makotek dikenal oleh masyarakat luas dan hingga ke mancanegara.

30