faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi...
TRANSCRIPT
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
HIPERTENSI DI WILAYAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN
INDONESIA TAHUN 2013
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat (SKM)
Oleh:
Dina Adlina Amu
1111101000036
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Agustus 2015
Dina Adlina Amu
NIM. 1111101000036
ii
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, 18 Agustus 2015
Dina Adlina Amu, NIM: 1111101000036
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan
dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013
xv + 159 halaman, 14 tabel, 4 bagan, 4 lampiran
ABSTRAK
Latar Belakang: Prevalensi hipertensi di perkotaan Indonesia lebih besar
dibandingkan di pedesaan, yaitu 26,1% versus 25,5%. Perubahan gaya hidup
akibat urbanisasi dan globalisasi berperan dalam perbedaan prevalensi hipertensi
tersebut. Gaya hidup masyarakat perkotaan, seperti diet tidak sehat dan kurang
aktivitas fisik membuat masyarakat perkotaan lebih berisiko mengalami
hipertensi. Sedangkan, diet tradisional dan gaya hidup aktif melindungi
masyarakat desa dari hipertensi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah
perkotaan dan pedesaan Indonesia tahun 2013. Metode: Penelitian ini adalah
analisis lanjut dari Riskesdas tahun 2013 sehingga desain studi yang digunakan
pun mengikuti Riskesdas, yaitu cross sectonal. Jumlah sampel penelitian ini
adalah 616.986 masyarakat berusia ≥ 15 tahun. Hubungan antara faktor risiko
dengan hipertensi ditentukan melalui nilai Prevalence Odds Ratio (POR) dan 95%
confidence interval (CI). Hasil: Aktivitas fisik < 600 MET/minggu [PORkota 1,051
(1,025-1,078)] [PORdesa 1,184 (1,152-1,217)], pernah merokok [PORkota 2,133
(2,06-2,31)] [PORdesa 2,024 (1,95-2,10)], konsumsi makanan asin ≥ 1 kali/hari
[PORkota 0,970 (0,950-0,991)] [PORdesa 1,028 (1,008-1,048)] dan konsumsi buah
< 2 porsi/hari [PORkota 0,821 (0,771-0,847)] [PORdesa 0,883 (0,808-0,965)] adalah
faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun
pedesaan Indonesia. Sedangkan, konsumsi sayur < 3 porsi/hari [POR 0,952
(0,933-0,970)] hanya berhubungan dengan hipertensi di perkotaan dan konsumsi
makanan berlemak ≥ 1 kali/hari [POR 1,046 (1,027-1,064)] hanya berhubungan
dengan hipertensi di pedesaan. Simpulan: Hampir tidak ada perbedaan antara
faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di perkotaan dengan di
pedesaan. Oleh karena itu, pencegahan dan pengendalian hipertensi sangat penting
dilakukan untuk menurunkan prevalensi dan risiko hipertensi di wilayah
perkotaan dan pedesaan Indonesia.
Kata Kunci: hipertensi, kota, desa
Daftar bacaan: 141 (2000-2015)
iii
ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
EPIDEMIOLOGY CONCENTRATION
Undergraduate Thesis, 18th
August 2015
Dina Adlina Amu, NIM: 1111101000036
Factors that Related to Hypertension in Urban and Rural Indonesia 2013
xv + 159 pages, 14 tables, 4 charts, 4 attachments
ABSTRACT
Background: The prevalence of hypertension in urban areas of Indonesia is
greater than in the rural areas, i.e. 26.1% versus 25.5%. Lifestyle changes due to
urbanization and globalization has different roles in the hypertension prevalence.
The lifestyles in urban communities, such as unhealthy diet and the lack of
physical activity make urban communities has the higher risk for hypertension.
Meanwhile, traditional diet and physically active lifestyles tend to protect the rural
communities from hypertension. Therefore, this study aims to determine the
associated factors of hypertension in urban and rural Indonesia in 2013. Methods:
This study is an advanced Riskesdas 2013 data analysis, so that the study design is
the same as Riskesdas, cross sectional. The number of samples of this study is
616,986 individuals aged ≥ 15 years. The relationship between risk factors and
hypertension is determined by the value of Prevalence Odds Ratio (POR) and
95% confidence intervals (CI). Results: Physical activity <600 MET/week
[PORurban 1.051 (1.025 to 1.078)] [PORrural 1.184 (1.152 to 1.217)], ex-smoker
[PORurban 2.133 (2.06 to 2.31)] [PORrural 2.024 (1.95 to 2.10)], salty foods
consumption ≥ 1 time/day [PORurban 0.970 (0.950 to 0.991)] [PORrural 1,028
(1,008- 1.048)] and fruit consumption <2 servings/day [PORurban 0.821 (0.771 to
0.847)] [PORrural 0.883 (0.808 to 0.965)] are the factors that associated with
hypertension in urban and rural areas. Meanwhile, vegetable consumption <3
servings/day [POR 0.952 (0.933 to 0.970)] are only associated with hypertension
in urban areas and fatty foods consumption ≥ 1 time/day [POR 1.046 (1.027 to
1.064)] is only associated with hypertension in rural areas. Conclusion: There are
almost no differences between the factors associated with hypertension in the
urban and rural areas. Therefore, prevention and control of hypertension are
essential to decrease the prevalence and risk of hypertension in urban and rural
area in Indonesia.
Keywords: hypertension, urban, rural
Reading list: 141 (2000-2015)
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul:
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIPERTENSI DI
WILAYAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN INDONESIA TAHUN 2013
Disusun Oleh:
Dina Adlina Amu
NIM. 1111101000036
Telah disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 18 Agustus 2015
Pembimbing I Pembimbing II
Catur Rosidati, SKM, MKM
NIP. 197502102008012018
Hoirun Nisa, M.Kes, Ph.D
NIP. 197904272005012005
v
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, 18 Agustus 2015
Penguji I
dr. Yuli Prapanca Satar, MARS
NIP. 19530730 198011 1 001
Penguji II
Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M.Kes
NIP. 19750215 200901 2 003
Penguji III
dr. Sholah Imari, M.Kes
vi
Kupersembahkan Skripsi ini untuk Mama dan Papa yang tak henti berdoa
untukku hingga selalu ada semangat dan harapan baru untukku bangkit dari
segala kesedihan dan kelelahan dalam menuntut ilmu…
Dina Sayang Mama Papa.. ^_^ :*
vii
RIWAYAT HIDUP PENULIS
DATA DIRI
Nama : Dina Adlina Amu
Tempat, tanggal
lahir
: Manado, 10 Desember 1993
Jenis Kelamin : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Suku : Gorontalo
No. Telp : 081244714014/081527412391
Alamat email : [email protected]
Alamat : Linawan, RT 001, Desa Linawan, Kecamatan Pinolosian,
Kabupaten Bolmong Selatan, Sulawesi Utara
Hobi : Membaca, traveling, penelitian
Kemampuan : Public speaking, pengoperasian komputer, bahasa
Inggris, enumerator, analisis data (SPSS, Epidata)
Nama Orang Tua : Ayah : Drs. Sofyan Amu, M.Si
Ibu : Djartin Monoarfa
Pekerjaan Orang
Tua
: Ayah : PNS
Ibu : Ibu rumah tangga
RIWAYAT PENDIDIKAN
TK Al-Hasanah, Yogyakarta (1998-1999)
SDN 1 Sagan, Yogyakarta
SDN 05 Manado
SDN 1 Tataaran, Tondano Selatan
(1999-2001)
(2001)
(2001-2005)
Mts. Pondok Pesantren Assalam Manado (2005-2008)
MAN Insan Cendekia Gorontalo (2008-2011)
Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
(2011-2015)
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT. atas rahmat dan karuniaNya sehingga skripsi
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Skripsi dengan judul “Faktor-Faktor
yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan
Indonesia Tahun 2013” ditujukan untuk menjelaskan secara ilmiah faktor-faktor
apa saja yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan
Indonesia tahun 2013 sehingga kedepannya diharapkan dapat dilaksanakan
penanggulangan dan pengendalian yang tepat.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik
karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Orangtua yang senantiasa memberikan dukukungan moral dan materi
sehingga penulis menjadi lebih bersemangat dalam menyelesaikan proposal
skripsi ini.
2. Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM dan Ibu Hoirun Nisa, M.Kes, Ph.D selaku
Dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan saran, arahan dan
motivasi.
3. Laboratorium data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik
Indonesia yang telah memenuhi permintaan data Riskesdas tahun 2013
sebagai bahan penelitian
4. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
ix
5. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selaku ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6. Teman-teman seperjuangan Epidemiologi 2011 tercinta yang selalu
memberikan dukungan semangat, perhatian dan saran untuk perbaikan skripsi
ini. “Kalian luar biasa!”
7. Teman-teman seperjuangan angkatan 2011 PSKM FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang juga memberi dukungan semangat sehingga
memotivasi penulis agar bisa wisuda bersama
8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan proposal
skripsi ini, dimana tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Dalam pembuatan skripsi ini tentu masih memiliki keterbatasan dan perlu
perbaikan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kemajuan penelitian selanjutnya.
Jakarta, 18 Agustus 2015
Dina Adlina Amu
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................. ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ...................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 5
C. Pertanyaan Penelitian ........................................................................................ 5
D. Tujuan Penelitian .............................................................................................. 6
1. Tujuan Umum ............................................................................................ 6
2. Tujuan Khusus ........................................................................................... 6
E. Manfaat Penelitian ............................................................................................ 7
1. Manfaat bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ....................... 7
2. Manfaat bagi Masyarakat Indonesia .......................................................... 8
3. Manfaat bagi Peneliti Lain ......................................................................... 8
F. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................. 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 9
A. Hipertensi .......................................................................................................... 9
xi
1. Definisi Hipertensi ..................................................................................... 9
2. Pengukuran Tekanan Darah ..................................................................... 10
3. Jenis dan Patofisiologis Hipertensi .......................................................... 12
4. Gejala Klinis ............................................................................................ 13
B. Epidemiologi Hipertensi ................................................................................. 14
1. Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan ....................................... 15
2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah
Perkotaan dan Pedesaan ........................................................................... 22
D. Kerangka Teori ............................................................................................... 46
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ............ 49
A. Kerangka Konsep ............................................................................................ 49
B. Definisi Operasional ....................................................................................... 53
C. Hipotesis ......................................................................................................... 57
BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................... 59
A. Desain Penelitian ............................................................................................ 59
B. Waktu dan Lokasi Penelitian .......................................................................... 59
C. Populasi dan Sampel Penelitian ...................................................................... 59
1. Populasi Penelitian ................................................................................... 59
D. Metode Pengumpulan Data ............................................................................. 61
E. Instrumen Pengumpulan Data ......................................................................... 63
F. Manajemen Pengumpulan Data ...................................................................... 71
1. Filter ........................................................................................................ 71
2. Cleaning Data .......................................................................................... 71
3. Coding Data ............................................................................................. 73
xii
G. Analisa Data .................................................................................................... 75
BAB V HASIL ..................................................................................................... 77
A. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografi di
Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ............................... 77
B. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit
Masyarakat di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ....... 79
C. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah Perkotaan
dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 .............................................................. 79
D. Hubungan Faktor Sosiodemografi dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan
dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 .............................................................. 81
E. Hubungan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit Hipertensi di Wilayah
Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ............................................. 83
F. Hubungan Faktor Gaya Hidup dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan
Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ..................................................................... 84
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................... 87
A. Keterbatasan Penelitian ................................................................................... 87
B. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan
dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 .............................................................. 89
1. Faktor Sosiodemografi ............................................................................. 89
2. Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit .......................................................... 99
3. Faktor Gaya Hidup ................................................................................. 103
BAB VII PENUTUP .......................................................................................... 117
A. Simpulan ....................................................................................................... 117
B. Saran ............................................................................................................. 119
xiii
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 121
LAMPIRAN 1 .................................................................................................... 132
LAMPIRAN 2 .................................................................................................... 134
LAMPIRAN 3 .................................................................................................... 136
LAMPIRAN 4 .................................................................................................... 139
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah untuk Orang Dewasa ................................. 10
Tabel 2.2 Penentuan Klasifikasi Wilayah Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia . 21
Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Riskesdas 2013 .................... 50
Tabel 3.2 Definisi Operasional Penelitian ............................................................ 53
Tabel 4.1 Perhitungan Skor MET Berdasarkan Kriteria Intensitas Aktivitas Fisik
.............................................................................................................. 69
Tabel 4.2 Daftar Variabel dan Kuesioner ............................................................. 71
Tabel 4.3 Jumlah Sampel Hasil Penyeleksian Data .............................................. 73
Tabel 4.4 Pengkodean Baru dan Pengkodean Ulang Data Riskesdas 2013 .......... 74
Tabel 5.1 Proporsi Hipertensi Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografi di
Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 .................. 77
Tabel 5.2 Proporsi Hipertensi Berdasarkan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit
Masyarakat di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun
2013 .................................................................................................... 79
Tabel 5.3 Proporsi Hipertensi Berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah Perkotaan dan
Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ........................................................ 79
Tabel 5.4 Hubungan Faktor Sosiodemografi dengan Hipertensi di Wilayah
Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ................................ 82
Tabel 5.5 Hubungan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit dengan Hipertensi di
Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 .................. 83
Tabel 5.6 Hubungan Faktor Gaya Hidup dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan
dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ................................................. 84
xv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Konsep Kemiskinan Berkontribusi terhadap Masalah Penyakit Tidak
Menular .............................................................................................. 30
Bagan 2.2 Kerangka Teori ................................................................................... 48
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................ 50
Bagan 4.1 Alur Penyeleksian Data........................................................................ 72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit
kardiovaskular yang menjadi isu kesehatan global saat ini. Data World Health
Organization (WHO) tahun 2008 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi
pada orang dewasa berusia ≥ 25 tahun di dunia adalah sekitar 38,4%. Data
tersebut juga menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di Asia Tenggara
mencapai 36,6%. Indonesia adalah negara dengan prevalensi hipertensi
tertinggi kedua setelah Myanmar untuk kawasan Asia Tenggara, yaitu sekitar
41% (WHO, 2013; Krishnan dkk., 2013).
Trend kasus hipertensi pun terus meningkat dari tahun ke tahun seiring
dengan terjadinya transisi epidemiologi. Berdasarkan data WHO diketahui
terjadi peningkatan kasus sebanyak 400 kasus dari tahun 1980 sampai dengan
tahun 2008 dan diprediksikan kasus hipertensi akan mencapai 1,56 miliar di
tahun 2025 (WHO, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di
Indonesia menunjukkan bahwa 7,2% responden pernah didiagnosis dokter
mengalami hipertensi di tahun 2007 dan meningkat menjadi 9,4% di tahun
2013 (Kemenkes RI, 2008; Kemenkes RI, 2013).
Karakteristik penyakit hipertensi yang asimtomatis menyebabkan
penyakit hipertensi diketahui setelah penyakit sudah parah (WHO, 2013). Jika
penyakit hipertensi tidak segera diobati maka berisiko menyebabkan penyakit
lain seperti, stroke, infark miokard, kerusakan jantung, demensia, kerusakan
2
ginjal dan kebutaan (WHO, 2014). Hasil penelitian Walker di Tanzania,
penderita hipertensi berisiko 2,14 kali terkena stroke (Walker, 2013). Hasil
meta-analisis Fowkes di seluruh negara di dunia menunjukkan bahwa orang
dengan hipertensi juga memiliki risiko 1,47 kali menderita penyakit arteri
periferal (Fowkes dkk., 2013).
Hipertensi juga menyebabkan kehilangan sekitar 3 tahun kesempatan
hidup pada penderita penyakit kardiovaskular (Rapsomaniki, 2014).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Cina, hipertensi merupakan
risiko terjadinya disability-adjusted life-years (DALYs), dimana terjadi
peningkatan kasus DALYs lebih dari 40% dari tahun 1990 sampai dengan
tahun 2010 (Yang dkk., 2013).
Dampak terburuk dari hipertensi adalah kematian dimana saat ini
hipertensi diperkirakan dapat menyebabkan 7,5 miliar kematian atau 12,8%
dari seluruh kematian (WHO, 2014). Penelitian Lim SS et al tahun 2012 juga
menunjukkan bahwa komplikasi akibat hipertensi menyebabkan 9,4 miliar
kematian di seluruh dunia setiap tahun (WHO, 2013). Di Asia Tenggara,
hipertensi menyebabkan 1,5 miliar kematian setiap tahun (WHO, 2011).
Urbanisasi dan globalisasi merupakan penyebab tidak langsung dari
peningkatan prevalensi hipertensi (Peer dkk., 2013). Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa keduanya merupakan faktor terjadinya perbedaan
prevalensi hipertensi antara wilayah perkotaan dengan pedesaan (Addo dkk.,
2007; Prabhakaran dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Musinguzi dan
Nuwaha, 2013).
3
Penelitian Musinguzi dan Nuwaha pada masyarakat Uganda tahun 2012
menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di wilayah perkotaan lebih besar
dibandingkan pedesaan, yaitu 23,6% di perkotaan dan 21% di pedesaan
(Musinguzi dan Nuwaha, 2013). Hasil analisis Riskesdas di Indonesia tahun
2013 juga menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di perkotaan lebih besar
dibandingkan pedesaan, yaitu 26,1% di perkotaan dan 25,5% di pedesaan.
Dampak dari urbanisasi dan globalisasi paling nyata terjadi di perkotaan
dimana gaya hidup masyarakat kota yang tidak sehat berisiko menyebabkan
hipertensi (Prabhakaran dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Peer dkk.,
2013). Masyarakat kota memiliki gaya hidup modern yang diikuti dengan
perubahan pola konsumsi makanan yang mengandung garam dan lemak
tinggi. Pola konsumsi makanan tersebut dapat mempengaruhi berat badan,
dimana biasanya disertai dengan konsumsi rokok, kurangnya aktivitas fisik
dan stres sehingga meningkatkan risiko terkena hipertensi (The Lancet,
2012).
Namun, gaya hidup masyarakat desa justru menunjukkan hal sebaliknya.
Diet tradisional masyarakat desa yang tinggi protein seperti susu fermentasi
yang mengandung bahan tambahan saponin dan fenolik dari tumbuhan dapat
mencegah hipertensi dengan menurunkan kadar kolesterol dalam darah
(Ngoye, 2014). Selain itu, gaya hidup aktif seperti lebih sering berjalan kaki
setiap hari memungkinkan masyarakat desa lebih terlindungi dari hipertensi
(Moore, 2001). Oleh karena itu, kemungkinan ada perbedaan antara faktor-
faktor yang berhubungan dengan hipertensi di perkotaan dengan di pedesaan.
4
Penelitian Moreira dkk. (2013) menunjukkan bahwa jenis kelamin, usia,
kebiasaan merokok dan riwayat diabetes berisiko merupakan faktor risiko
hipertensi di wilayah perkotaan Brazil. Sedangkan, jenis kelamin, usia,
pendapatan rumah tangga yang rendah dan tidak adanya asuransi kesehatan
merupakan faktor risiko hipertensi di pedesaan.
Penelitian Mohan dkk. (2007) dan Hou dkk. (2008) menunjukkan bahwa
usia, jenis kelamin, obesitas dan kebiasaan merokok merupakan faktor-faktor
yang berhubungan dengan hipertensi pada masyarakat perkotaan. Sedangkan,
penelitian Mohan dkk. (2007) dan Hou dkk. (2008) pada masyarakat desa
memperlihatkan bahwa faktor ekonomi dan kurangnya pengetahuan terkait
risiko hipertensi berhubungan dengan kejadian hipertensi di wilayah
peredesaan.
Tempat tinggal di pedesaan dan perkotaan berperan terhadap perubahan
gaya hidup berisiko hipertensi pada masyarakat di kedua tempat tersebut.
Penelitian terkait faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di
perkotaan dan pedesaan Indonesia belum pernah dilakukan. Selain itu, sampel
Riskesdas telah mewakili seluruh masyarakat Indonesia sehingga dapat
mendiskripsikan kejadian hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan
Indonesia. Oleh karena itu, dengan tersedianya data terkait hipertensi dalam
Riskesdas tahun 2013, penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan
dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun
2013 penting untuk dilakukan.
5
B. Rumusan Masalah
Kecenderungan prevalensi hipertensi secara global maupun nasional
terus meningkat seiring dengan terjadinya transisi epidemologi. Di samping
itu, prevalensi hipertensi di Indonesia lebih tinggi di wilayah perkotaan
dibandingkan di pedesaan. Urbanisasi dan globalisasi menjadi faktor yang
berperan penting karena keduanya mempengaruhi gaya hidup masyarakat.
Gaya hidup masyarakat perkotaan, seperti pola konsumsi makanan yang tidak
sehat dan aktivitas fisik yang kurang membuat masyarakat perkotaan lebih
berisiko mengalami hipertensi. Sebaliknya, diet tradsional dan budaya
berjalan kaki membuat masyarakat desa lebih terlindungi dari hipertensi.
Oleh karena itu, penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan
hipertensi antara wilayah perkotaan dengan pedesaan di Indonesia pada tahun
2013 perlu dilakukan.
C. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana proporsi kejadian hipertensi berdasarkan karakteristik
sosiodemografi (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan)
masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
2. Bagaimana proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor fisik dan
riwayat penyakit (obesitas dan riwayat diabetes) masyarakat di perkotaan
dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
3. Bagaimana proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor gaya hidup
(aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi
6
makanan berlemak, konsumsi sayur dan konsumsi buah) masyarakat di
perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
4. Apakah ada hubungan faktor sosiodemografi (jenis kelamin, umur,
pendidikan dan pekerjaan) dengan kejadian hipertensi di perkotaan dan
pedesaan Indonesia pada tahun 2013
5. Apakah ada hubungan antara faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas
dan riwayat diabetes) masyarakat dengan kejadian hipertensi di
perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
6. Apakah ada hubungan antara faktor gaya hidup (aktivitas fisik, kebiasaan
merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak,
konsumsi sayur dan konsumsi buah) dengan kejadian hipertensi di
perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-
faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan
pedesaan di Indonesia pada tahun 2013.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari dilakukan penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Diketahuinya proporsi kejadian hipertensi berdasarkan karakteristik
sosiodemografi (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan)
masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
7
b. Diketahuinya proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor fisik
dan riwayat penyakit (obesitas dan riwayat diabetes) masyarakat di
perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
c. Diketahuinya proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor gaya
hidup (aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi makanan asin,
konsumsi makanan berlemak, konsumsi sayur dan konsumsi buah)
masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
d. Diketahuinya hubungan faktor sosiodemografi (jenis kelamin,
umur, pendidikan dan pekerjaan) dengan kejadian hipertensi di
perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
e. Diketahuinya hubungan faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas
dan riwayat diabetes) masyarakat dengan kejadian hipertensi di
perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
f. Diketahuinya hubungan faktor gaya hidup (aktivitas fisik, kebiasaan
merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak,
konsumsi sayur dan konsumsi buah) dengan kejadian hipertensi di
perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
E. Manfaat Penelitian
Berikut ini adalah berbagai manfaat dari penelitian ini.
1. Manfaat bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam pembuatan program
pencegahan dan penanggulangan masalah hipertensi di Indonesia,
8
khususnya dalam menentukan program yang tepat untuk wilayah
perkotaan dan pedesaan di Indonesia.
2. Manfaat bagi Masyarakat Indonesia
Penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan untuk memperbanyak
pengetahuan masyarakat, baik penderita hipertensi maupun bukan
penderita hipertensi, terkait berbagai faktor yang berhubungan dengan
hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia. Selanjutnya,
masyarakat diharapkan mampu untuk mencegah dan menanggulangi
masalah hipertensi baik secara individu maupun komunitas.
3. Manfaat bagi Peneliti Lain
Peneliti lain dapat melakukan analisis lanjutan berupa analisis multivariat
untuk melihat faktor gaya hidup apa yang lebih dominan dalam
mempengaruhi kejadian hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan
Indonesia.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain
cross sectional yang dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia
pada tahun 2013. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juli
tahun 2015 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, penelitian ini
menggunakan data Riskesdas tahun 2013 sebagai bahan analisis untuk
menjawab pertanyaan penelitian.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hipertensi
1. Definisi Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan suatu kondisi ketika
pembuluh darah terus-menerus mengalami peningkatan tekanan (WHO,
2015). Tekanan darah adalah kekuatan yang dibutuhkan untuk
mendorong atau memompa darah agar dapat mengalir di dalam
pembuluh darah (Gunawan, 2001). Semakin tinggi tekanan, semakin kuat
jantung memompa darah (WHO, 2015).
Tekanan darah diukur dalam satuan milimeter merkuri (mmHg) dan
dinyatakan dalam dua angka, yaitu sistolik dan diastolik. Sistolik adalah
tekanan tertinggi pada pembuluh darah dan terjadi ketika jantung
berkontraksi atau berdetak. Sedangkan, diastol adalah tekanan terendah
ketika otot-otot jantung mengalami relaksasi (WHO, 2013).
Tekanan darah orang dewasa normal adalah kurang dari 120 mmHg
untuk diastol dan 80 mmHg. Sedangkan, tekanan darah tinggi atau biasa
disebut hipertensi adalah ketika tekanan darah telah mencapai ataupun
melebihi 140 mmHg (sistol) dan 90 mmHg (diastol). Berikut ini adalah
klasifikasi tekanan darah menurut Joint National Committee 7 (JNC 7)
(JNC, 2004).
10
Tabel 2.1
Klasifikasi Tekanan Darah untuk Orang Dewasa
Klasifikasi Tekanan Darah SBP* (mmHg) DBP** (mmHg)
Normal <120 <80
Prahipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Level 1 140-159 90-99
Level 2 ≥160 ≥100 *Systolic Blood Pressure **Diastolic Blood Pressure
Sumber: Joint National Comitee (JNC), 2004
Beberapa referensi menyebutkan bahwa hipertensi adalah kondisi
dimana tekanan darah sistolik ≥140 dan tekanan darah diastolik ≥90
seperti yang dijelaskan dalam JNC 7. Namun, nilai tekanan darah
tersebut merupakan hasil rata-rata dari dua kali pengukuran tekanan
darah pada setiap dua atau lebih kunjungan setelah skrining awal. Selain
itu, kenaikan tekanan darah ini harus mempertimbangkan kondisi pasien,
dimana terdapat kondisi yang menyebabkan kenaikan tekanan darah
sesaat (Aiyagari, 2011; Kaplan dan Michael, 2010; Klabunde, 2005).
2. Pengukuran Tekanan Darah
Pengukuran tekanan darah sebaiknya memperhatikan jenis alat yang
digunakan, ukuran dan penempatan manset, penempatan stetoskop, posisi
tubuh dan lengan, keahlian pengukur serta frekuensi pengukuran
(Pickering dkk., 2005). Berikut ini adalah cara mengukur tekanan darah
yang sebaiknya dilakukan (Pickering dkk., 2005).
a. Spignomanometer merkuri sejauh ini masih menjadi gold standar
dalam pengukuran tekanan darah. Namun, penggunaan
spinomanometer ini dapat mengontaminasi lingkungan. Oleh karena
belum ada pengganti yang berlaku umum untuk spignomanometer
11
ini maka penggunaannya masih diperbolehkan dengan syarat harus
dilakukan pemeliharaan yang baik untuk menghindari kontaminasi
merkuri ke lingkungan. Selain itu petugas yang mengukur tekanan
darah pun harus: (1) terlatih; (2) mengetahui keadaan pasien yang
dapat mempengaruhi pengukuran tekanan darah, seperti kecemasan
dan baru mengonsumsi nikotin, sebaiknya pasien tidak mengonsumsi
rokok 30 menit sebelum pengukuran (Aiyagari, 2011); (3) mengatur
posisi pasien dengan benar (4) pemilihan dan penempatan manset
yang tepat dan (5) mengukur dengan metode oskilometrik auskulasi
atau otomatis serta merekam hasilnya dengan akurat.
b. Pasien harus duduk dengan nyaman menggunakan sandaran
punggung dan lengan atas dibiarkan terbuka tanpa tertupi oleh
pakaian yang tebal (Kaplan dan Michael, 2010). Lengan baju tidak
boleh digulung semedikan rupa sehingga memberikan efek torniket.
Kaki tidak perlu disilangkan.
c. Lengan harus disejajarkan dengan posisi jantung dan kantung manset
harus mengelilingi minimal 80% dari lingkar lengan (Kaplan dan
Michael, 2010). Apabila pengukuran dilakukan pada pasien dengan
posisi berbaring maka sebaiknya lengan ditopang dengn bantal.
d. Jarak antara fossa antecubital dengan ujung bahwah manset harus
sekitar 2-3 cm sehingga ada ruang untuk menempatkan stetoskop
(Kaplan dan Michael, 2010). Ukuran manset harus sesuai dengan
lingkar lengan pasien.
12
e. Kolom merkuri harus turun hingga 2 sampai 3 mm/s, suara pertama
yang terdengar akan menjadi tekanan sistolik dan suara yang
didengar terakhir kali akan menjadi tekanan diastolik. Kolom harus
dibaca dengan ketelitian 2 mmHg.
f. Baik pasien maupun pengamat harus berbicara selama pengukuran.
g. Pengukuran sebaiknya dilakukan 2 kali dengan selang waktu 1-2
menit (Kaplan dan Michael, 2010). Rata-rata dari kedua hasil
tersebut kemudian menjadi hasil akhir tekanan darah pasien. Namun,
ketika ada perbedaan 5 mmHg atau 10 mmHg antara pengukuran
pertama dengan kedua maka dilakukan pengukuran ulang kemudian
hasilnya dirata-ratakan (Kaplan dan Michael, 2010; Kemenkes RI,
2013). Hasil rata-rata dari semua pengukuran tersebut kemudian
menjadi tekanan darah akhir pasien.
3. Jenis dan Patofisiologis Hipertensi
Hipertensi terbagi 2, yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder.
Hipertensi primer (esensial) adalah hipertensi yang hingga sekarang tidak
jelas penyebabnya. Interaksi faktor genetik dengan lingkungan yang
rumit kemudian dihubungkan oleh pejamu mediator neuro-hormonal
merupakan ciri dari hipertensi esensial. Sejauh ini hipertensi primer
disebabkan oleh peningkatan aktifitas sistem rennin-angiotensin-
aldosteron, system saraf simpatis, gangguan transport garam dan
interaksi yang kompleks antara resistensi insulin dengan fungsi endotel
(Brashers, 2003).
13
Berbeda dengan hipertensi primer, hipertensi sekunder lebih jelas
penyebabnya, yaitu karena adanya penyakit atau gangguan tertentu.
Contohnya, penyakit renovaskular yang terjadi karena aterosklerosis
yang menyebabkan penyempitan arteri renalis dikarenakan berkurangnya
perfusi ginjal. Selain itu ada juga hipertensi akibat peningkatan volume
darah (Baradero, 2005).
4. Gejala Klinis
Gejala klasik dari hipertensi adalah sakit kepala, epistaksis,
perdarahan hidung, dan pusing. Namun, berbagai studi mengindikasikan
frekuensi yang rendah atas gejala-gejala tersebut di populasi. Gejala lain
yang lebih umum di populasi adalah kemerahan, berkeringat, dan
pandangan kabur. Walaupun begitu, tidak sedikit juga yang asimtomatik
(tidak menunjukkan gejala) (Lilly, 2011).
Peningkatan tekanan, termasuk hipertropi ventrikel kiri dan
retinopati adalah beberapa tanda-tanda dari hipertensi. Selain itu,
hipertensi dengan komplikasi aterosklerosis akan menyebabkan arterial
bruits, khususnya pada karotid dan arteri femoral (Lilly, 2011).
5. Pencegahan Hipertensi
Penanggulangan kejadian hipertensi di masyarakat dapat dilakukan
dengan pengendalian faktor risiko. Pengendalian faktor risiko hipertensi
dapat dilakukan melalui upaya promosi kesehatan, yaitu komunikasi-
informasi-edukasi (KIE). Posbindu berperan besar dalam pelaksanaan
KIE di masyarakat (Kemenkes RI, 2013). Pengendalian faktor risiko
meliputi (Kemenkes RI, 2013):
14
a. Makan gizi seimbang, yaitu dianjurkan untuk mengonsumsi sayur
dan buah 5 porsi/hari, melakukan pembatasan konsumsi gula, garam
dan makanan berlemak.
b. Mengatasai obesitas.
c. Olahraga teratur, yaitu disarankan senam aerobik atau jalan cepat
selama 30-45 menit (sejauh 3 kilometer) lima kali per minggu.
d. Berhenti merokok. Saran untuk berhenti merokok mungkin sulit
untuk dilakukan, tetapi konseling terkait rokok harus dilakukan agar
perokok dapat terus mendapatkan dorongan untuk berhenti merokok.
Selain itu, metode lain yang dapat digunakan adalah menyarankan
perokok untuk mennganti rokok dengan permen yang mengandung
nikotin dalam jangka waktu tertentu. Dengan begitu kebiasaan
merokok perlahan-lahan dapat ditinggalkan.
B. Epidemiologi Hipertensi
Hipertensi telah menjadi masalah global. Data WHO tahun 2008
menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi pada orang dewasa berusia 25
tahun atau lebih adalah sekitar 38,4% (WHO, 2014). Penelitian Rapsomaniki
dkk. (2014) terhadap 1,25 miliar orang di Inggris diketahui bahwa 87% di
antaranya mengalami hipertensi.
Di Afrika, prevalensi pada tahun 2010 adalah sebesar 30,8% (Adeloye
dan Basquill, 2014). Di Brazil, prevalensi hipertensi tahun 2008 mencapai
20,9% (Moreira dkk., 2013). Di Cina, prevalensi hipertensi tahun 2006 pada
orang dewasa sebesar 26,6% (Xu dkk., 2008).
15
1. Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan
Urbanisasi dan globalisasi merupakan faktor penyebab tidak
langsung dari hipertensi (WHO, 2014; Peer, 2013; Sobngwi, 2004).
Beberapa penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa urbanisasi dan
globalisasi menjadi faktor penting yang menyebabkan adanya perbedaan
prevalensi hipertensi antara wilayah urban dengan rural (Prabhakaran
dkk., 2007; Addo dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Musinguzi
dan Nuwaha, 2013). Prevalensi hipertensi di wilayah urban lebih tinggi
dibandingkan wilayah rural (Prabhakaran dkk., 2007; Addo dkk., 2007;
Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Chang, 2003; Paibul, 2003).
Urbanisasi sendiri didefinisikan sebagai perpindahan penduduk dari
desa ke kota. Berbagai alasan masyarakat desa memilih untuk migrasi ke
kota di antaranya adalah (Santy dan Buhari, 2015):
a. Masyarakat ingin hidup modern dan mewah. Media masa cetak dan
eloktronik memberikan informasi terkait kehidupan modern dan
mewah di kota sehingga mempengaruhi masyarakat desa untuk bisa
menikmatinya juga.
b. Kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Perkembangan
industri di kota mempengaruhi masyarakat desa berpikir akan
memperoleh pekerjaan yang lebih baik jika mereka tinggal di kota.
c. Pendidikan. Kualitas pendidikan di desa yang minim menjadi alasan
masyarakat pindah ke kota agar memperoleh pendidikan yang lebih
baik. Fasilitas dan jenjang pendidikan di desa juga minim sehingga
16
masyarakat desa pindah ke kota agar dapat melanjutkan
pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, seperti universitas.
d. Fasilitas dan infrastruktur di kota lebih lengkap, seperti pelayanan
kesehatan, lapangan pekerjaan dan pendidikan. Selain itu, ada juga
fasilitas lain seperti tempat hiburan (bioskop, pusat perbelanjaan
modern, dan lain-lain).
e. Kesempatan untuk menjadi lebih maju dan hebat.
f. Memperoleh kebebasan personal. Beberapa orang menghindari
kehidupan di desa yang penuh kontrol sosial yang ketat.
Saat ini, kondisi urbanisasi di Indonesia semakin berkembang.
Pertambahan penduduk kota Indonesia yang diperkirakan mencapai 95%
dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2025 (Santoso, 2006). Selain itu,
perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan pedesaan di
Indonesia tahun 2010-2015 adalah 17,26%. Perbedaan tersebut
diprediksikan akan terus meningkat setiap 5 tahun, yaitu mencapai
20,98% di periode tahun 2030-2035 (BPS, 2013).
Selain perkembangan urbanisasi, globalisasi juga semakin
berkembang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi terus
berkembang di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia. Walaupun
penggunaan internet di pedesaan masih minim, tetapi bukan berarti tidak
ada pengguna internet di pedesaan. Selain itu, telepon dan televisi bukan
merupakan hal baru di pedesaan (APJII, 2012; Hadiyat Y. D., 2014).
Pada tahun 2011, 95,56% rumah tangga di Indonesia adalah pengguna
televisi, 90% adalah pengguna telepon dan hanya 37,51% rumah tangga
17
yang memiliki akses internet. Artinya, sebagian besar masyarakat kota
maupun desa memperoleh informasi dari media televisi (Kemenkominfo,
2011).
Dampak buruk dari kemudahan memperoleh informasi di antaranya
adalah masyarakat tergiur dengan pengaruh iklan. Contohnya iklan
makanan cepat saji dan produk tekonologi yang mendorong masyarakat,
terutama remaja untuk mengonsumsinya dan menjadikannya gaya hidup
(Hutagalung I., 2004; Emalia R. D. dkk., 2009; Arief E. dkk., 2011;
APJII, 2013).
Selain itu, gadget atau smartphone yang tersambung dengan jaringan
internet sedang digemari oleh para generasi muda saat ini. Hal ini
membuat mereka menjadi jarang bergerak dan berolahraga karena
digunakan terlalu sering. Hasil penelitian Syamsoedin W. K. P. dkk
(2015) diketahui 30,6% remaja SMA Negeri 9 Manado mengakses
internet 5-6 jam/hari. Artinya, hampir seperempat dari kehidupan sehari-
hari mereka digunakan untuk mengakses internet.
Perkembangan urbanisasi dan globalisasi menjadi masalah ketika
tanpa didukung oleh fasilitas, peluang pekerjaan dan tempat tinggal.
Dampaknya adalah terjadi perubahan gaya hidup masyarakat desa,
dimana masyarakat desa mulai mengikuti gaya hidup modern (Santy dan
Buhari, 2015). WHO (2014) juga menjelaskan bahwa urbanisasi
memberikan pengaruh terhadap gaya hidup masyarakat sehingga
masyarakat berisiko mengalami hipertensi. Gaya hidup berisiko yang
18
dimaksud adalah diet tidak sehat, aktvitas fisik kurang, merokok dan
konsumsi alkohol (WHO, 2014).
Penelitian di India menunjukkan prevalensi hipertensi lebih tinggi
pada wilayah urban dibandingkan wilayah rural. Penelitinya berpendapat
bahwa urbanisasi berperan penting dalam hal ini karena urbanisasi
mengubah siklus kehidupan dan secara otomatis mengubah gaya hidup,
terutama terkait pola makan dan aktivitas fisik. Pola makan lebih
cenderung pada makanan yang mengandung lemak dan garam
dibandingkan yang mengandung serat seperti sayuran dan buah-buahan
(Prabhakaran dkk., 2007).
Sebuah penelitian di Afrika juga menununjukkan prevalensi
hipertensi lebih tinggi pada wilayah urban dibandingkan wilayah rural
disebabkan oleh adanya perbedaan gaya hidup di antara kedua wilayah
tersebut. Tingkat obesitas yang tinggi, konsumsi makanan berlemak dan
bergaram yang berlebih serta komitmen dengan jenis pekerjaan yang
menyebabkan kurangnya aktivitas fisik menjadi alasan mengapa
prevalensi hipertensi lebih tinggi di wilayah urban (Addo dkk., 2007).
Keberadaan dan ketersediaan sistem transportasi, mesin pencuci piring,
mesin cuci dan remote control di era globalisasi mengurangi aktivitas
fisik masyarakat kota (Ekezie dan Anthony, 2011).
Namun, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa prevalensi
hipertensi antara wilayah urban dengan rural tidak jauh berbeda (Adeloye
dan Basquill, 2014; Moreira dkk, 2013; Okpechi dkk., 2014). Misalnya,
prevalensi hipertensi pada wilayah urban dengan wilayah rural di Brazil
19
yang tidak jauh berbeda, yaitu 21% dan 20,1% (Moreira dkk., 2013). Hal
ini karena golabalisasi tidak selamanya memberikan dampak buruk bagi
kesehatan masyarakat. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi
serta berkembangnya kualitas dan fasilitas pelayanan kesehatan di
perkotaan justru dapat memudahkan masyarakat untuk memperoleh
informasi dan pelayanan kesehatan yang berkualitas (Martens P. dkk.,
2010).
Selain itu, sebenarnya sulit untuk melakukan pembedaan antara
masyarakat perkotaan dengan pedesaan. Seberapa kecilnya suatu desa
masih bisa terpengaruh oleh masyarakat kota. Hal ini karena adanya
hubungan antara konsentrasi masyarakat dengan gejala-gejala sosial
berupa urbanisme. Urbanisme merupakan kondisi dimana adanya
masyarakat desa yang tinggal di kota sesekali kembali ke desa dan
membawa gaya hidup di kota sehingga sebagian masyarakat desa ada
yang menirunya (Soekanto, 2009). Penduduk desa yang datang ke kota
bahkan dapat mengalami peningkatan tekanan darah sekalipun hanya
berkunjung dalam rentang waktu satu bulan (Ekezie dan Anthony, 2011)
Berdasarkan peraturan No. 37 Tahun 2010, pengertian perkotaan dan
pedesaan adalah sebagai berikut.
a. Perkotaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat
desa/kelurahan yang memenuhi klasifikasi wilayah perkotaan.
b. Pedesaan adalah suatu wilayah administrasi setingkat/desa/kelurahan
yang belum memenuhi klasifikasi wilayah perkotaan.
20
Kriteria klasifikasi wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia terdapat
dalam Tabel 2.3. Sedangkan, berikut ini adalah perbedaan antara
masyarakat kota dan desa (Soekanto, 2009).
a. Masyarakat Perkotaan
1) Jumlah penduduk tidak tentu
2) Masyarakat bersifat individualis
3) Perubahan sosial terjadi secara cepat, menimbulkan konflik
antara golongan muda dengan golongan orang tua
4) Interaksi lebih disebabkan faktor kepentingan daripada faktor
pribadi
5) Perhatian lebih pada penggunaan kebutuhan hidup yang
dikaitkan dengan masalah gengsi
6) Kehidupan keagamaan lebih longgar
7) Banyaknya pengangguran, meningkatnya kriminalitas, persoalan
rumah dan lain-lain yang merupakan dampak negatif dari
kedatangan para migran yang berasal dari daerah
b. Masyarakat Pedesaan
1) Antarwarga memiliki hubungan yang lebih erat
2) Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar
kekeluargaan
3) Umumnya hidup dari pertanian
4) Golongan orang tua berperan penting
5) Dari sudut pemerintahn, hubungan antara penguasa dengan
rakyat bersifat informal
21
6) Masyarakat lebih mengutamakan kebutuhan pokok
7) Kehidupan keagamaan lebih kental
8) Banyak yang berurbanisasi ke kota
Dalam penentuan wilayah sesungguhnya tidak dapat langsung
digolongkan menjadi desa atau kota. Hal ini karena tidak semua desa
merupakan daerah tertinggal. Hanya 30% desa terpencil yang berlokasi
di wilayah Barat Indonesia sedangkan sisanya berada di Indonesia bagian
Timur. (Kemendesa, 2013). Oleh karena itu, sebaiknya ada tingkatan
dalam pengkategorian wilayah desa atau kota.
Tabel 2.2
Penentuan Klasifikasi Wilayah Perkotaan dan Pedesaan di
Indonesia
No. Variabel/Klasifikasi Skor
Total Skor
Skor minimum
Skor maksimum
2
26
1. Kepadatan penduduk
< 500
500 - 1.249
1.250 - 2.499
2.500 - 3.999
4.000 - 5.999
6.000 - 7.499
7.500 - 8499
8.500 <
1
2
3
4
5
6
7
8
2. Persentase rumah tangga pertanian
70,00 <
50,00 – 69,99
30,00 – 49,99
20,00 – 29,99
15,00 – 19,99
10,00 – 14,99
5,00 – 9,99
< 5,00
1
2
3
4
5
6
7
8
3. Akses fasilitas umum 0, 1, 2, …, 10
a. Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK)
1) Ada atau ≤ 2,5 km
2) > 2,5 km
1
0
22
No. Variabel/Klasifikasi Skor
b. Sekolah Menengah Pertama (SMP)
1) Ada atau ≤ 2,5 km
2) > 2,5 km
1
0
c. Sekolah Menengah Umum (SMU)
1) Ada atau ≤ 2,5 km
2) > 2,5 km
1
0
d. Pasar
1) Ada atau ≤ 2 km
2) > 2 km
1
0
e. Pertokoan
1) Ada atau ≤ 2 km
2) > 2 km
1
0
f. Bioskop
1) Ada atau ≤ 5 km
2) > 5 km
1
0
g. Rumah Sakit
1) Ada atau ≤ 5 km
2) > 5 km
1
0
h. Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon
1) Ada
2) Tidak ada
1
0
i. Persentase Rumah Tangga Telepon
1) ≥ 8,00
2) < 8,00
1
0
j. Persentase Rumah Tangga Listrik
1) ≥ 90,00
2) < 90,00
1
0
Total Skor ≥ 10 = Desa/Kelurahan Perkotaan (Urban)
Total Skor < 10 = Desa/Kelurhan Pedesaan (Rural) Sumber: BPS, 2010
2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah
Perkotaan dan Pedesaan
WHO (2014) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap peningkatan prevalensi hipertensi adalah usia, kemiskinan,
pelayanan kesehatan, genetik, stres, obesitas, aktivitas fisik, merokok,
konsumsi alkohol, konsumsi makanan asin dan lemak berlebih dan
kurang mengonsumsi sayur dan buah. Berikut ini merupakan pejelasan
23
faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi
hipertensi.
a. Jenis Kelamin
Penelitian Kannan dan Satyamoorthy (2009) dan Mohan dkk.
(2007) menyebutkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin
dengan hipertensi. Penelitian Moreira dkk. (2013) di Brazil, risiko
hipertensi lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-
laki, baik wilayah rural maupun urban.
Di wilayah rural Liaoning Cina, perempuan berisiko 1,293
mengalami hipertensi dibandingkan laki-laki (Xu dkk., 2008). Di
wilayah urban India, prevalensi hipertensi juga lebih tinggi pada
perempuan dibandingkan laki-laki (Prabhakaran dkk., 2007).
Perempuan akan lebih berisiko pada usia >50 tahun dibandingkan
dengan laki pada usia yang sama (Howteerakul dkk., 2006).
Perempuan berusia >40 tahun lebih berisiko mengalami
hipertensi daripada laki-laki karena pengaruh hormon estrogen.
Hormon estrogen berperan dalam proteksi tekanan darah istirahat
ketika adanya aktivitas saraf simpatis akibat dari peningkatan
aktivitas saraf simpatis otot. Oleh karena itu, prevalensi ataupun
risiko hipertensi akan meningkat pada perempuan yang telah
menopouse (Robertson, 2012).
Namun, pada beberapa penelitian prevalensi ataupun risiko
hipertensi justru lebih tinggi pada laki-laki. Di Chennai, prevalensi
hipertensi pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan (laki-
24
laki: 23,2% perempuan: 17,1%) (Mohan, 2007). Penelitian
Howteerakul dkk. (2006) di wilayah rural Thailand menunjukkan
bahwa rata-rata tekanan darah sistolik maupun diastolik lebih tinggi
pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Penelitian Howteerakul dkk. (2006) menjelaskan bahwa laki-
laki berusia <50 tahun berisiko mengalami hipertensi lebih tinggi
dibandingkan perempuan pada usia yang sama. Hal ini karena
mereka cenderung lebih sering terpapar oleh perilaku berisiko
hipertensi, seperti konsumsi alkohol dan rokok.
Hasil penelitian Peer dkk. (2013) juga menjelaskan prevalensi
hipertensi lebih laki-laki tinggi dibandingakan perempuan karena
perempuan lebih baik dalam mengontrol hipertensi. Hal tersebut
dikarenakan perempuan lebih mudah menerima pengobatan dan
lebih mudah mengubah gaya hidup. Selain itu, perempuan lebih
sering mengunjungi tempat pelayanan kesehatan untuk keperluan
kesehatan Ibu dan Anak sehingga mereka memiliki kesempatan
memeriksakan tekanan darah. Sedangkan, laki-laki lebih tertarik
pada urusan pekerjaan dibandingkan mengunjungi pelayanan
kesehatan, terutama saat jam kerja masih berlangsung (Peer dkk.,
2013).
b. Umur
Umur sering dihubungkan dengan kejadian hipertensi. Hal ini
karena seiring dengan pertembahan usia, elastisitas pembuluh darah
arteri semakin berkurang. Hal ini dipengaruhi oleh adanya
25
penumpukan kolagen dan hipertropi sel otot halus yang tipis,
berfragmen dan patahan dari serat elastin. Selain itu, seiring
pertambahan usia terjadi abnormalitas struktural berupa disfungsi
endotel sehingga meningkatkan kekakuan pada pembuluh darah
arteri orang tua (Black dkk., 2007).
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa adanya hubungan
antara usia dengan hipertensi (Kannan dan Satyamoorthy, 2009;
Howteerakul dkk., 2006; Xu dkk., 2008). Prevalensi dan risiko
hipertensi akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya
usia (Hou, 2008; Musingizi dkk., 2013; Howteerakul dkk., 2006;
Mohan dkk., 2007). Di Indonesia, risiko hipertensi terus meningkat
seiring dengan bertambahnya usia bahkan hingga 11,53 kali ketika
seseorang berusia 75 tahun (Rahajeng dan Tuminah., 2009). Laporan
hasil Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan bahwa sebagian besar
lansia cenderung mengalami hipertensi, yaitu 57,6% kemudian
disusul penyakit artritis 51,9% (Kemenkes RI, 2013)
Di Brazil, baik di wilayah rural maupun urban, risiko hipertensi
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur seseorang.
Namun, risiko hipertensi lebih besar pada wilayah urban
dibandingkan dengan wilayah rural (Moreira dkk., 2013). Selain itu,
penelitian di wilayah rural Thailand menunjukkan adanya hubungan
antara usia dengan hipertensi dan orang dengan usia >40 tahun
berisiko 4,2 kali mengalami hipertensi dibandingkan yang berusia
≤40 tahun (Howteerakul dkk., 2006).
26
c. Pendidikan
Hasil penelitian Yang dkk. (2006) dan Okpechi dkk. (2013)
membuktikan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan
hipertensi. Penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) di Indonesia
dan Penelitian Zhang dkk. (2013) di Cina menunjukkan bahwa
semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi
pula risiko mengalami hipertensi. Penelitian di wilayah urban Afrika
Selatan menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ≤7
tahun dengan kejadian hipertensi (Peer dkk., 2013). Selain itu, di
Brazil, orang yang menempuh pendidikan selama ≥15 tahun dapat
terlindungi dari risiko hipertensi sebesar 0,69 kali di wilayah urban
dan 0,75 kali di wilayah rural (Moreira dkk., 2013).
Hubungan antara pendidikan dengan hipertensi bisa dikatakan
hubungan tidak langsung. Hal ini karena adanya peran pengetahuan,
dimana tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan
seseorang, pengetahuan yang baik kemudian akan menimbulkan
kesadaran. Kesadaran masyarakat tentang faktor risiko hipertensi
akan membuat mereka dengan sukarela mengubah gaya hidup (Aung
dkk., 2012; Anggara dan Prayitno., 2013).
Tingkat pendidikan formal yang rendah merupakan salah satu
hambatan untuk menimbulkan kesadaran terhadap faktor risiko
hipertensi pada masyarakat desa dan penduduk minoritas (Aung
dkk., 2012). Hasil penelitian Aung dkk. (2012) pada masyarat desa
etnis Karen di Thailand membuktikan bahwa responden yang
27
memperoleh pendidikan formal 6,5 kali lebih tahu tentang hipertensi
dibandingkan yang tidak memperoleh pendidikan formal. Penelitian
Viera dkk. (2008) di California juga membuktikan bahwa responden
dengan tingkat pendidikan rendah berisiko 2,43 kali memiliki
pengetahuan tentang hipertensi yang rendah.
Namun, tingkat pengetahuan cukup pun belum bisa menjamin
terciptanya perilaku yang baik karena menurut teori Lehendroff dan
Tracy perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan tetapi juga
kemauan (Sudarma M., 2008). Informasi yang diterima masyarakat
di luar lingkungan pendidikannya juga berperan penting terhadap
peningkatan pengetahuan (Suhardi dkk., 2014; Shaikh, 2011). Oleh
karena itu, metode penyuluhan yang diterapkan pun perlu
diperhatikan agar menarik minat masyarakat. Hal ini karena setiap
masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda-beda (Maulana H.
D. J., 2009).
d. Pekerjaan
Penelitian Peer dkk. (2013), Kannan L. dan Satyamoorthy
(2009) dan Yang dkk. (2006) diketahui bahwa ada hubungan antara
status pekerjaan dengan kejadian hipertensi. Di Brazil, orang yang
bekerja dapat terhindar dari hipertensi sebesar 0,73-0,88 kali pada
wilayah urban dan 0,79-0,81 kali pada wilayah rural dibandingkan
dengan yang tidak bekerja (Moreira dkk., 2013). Sedangkan di
Indonesia, orang yang tidak bekerja berisiko 1,42 kali mengalami
hipertensi (Rahajeng dan Tuminah., 2009).
28
Orang yang bekerja dapat terlindungi dari hipertensi karena
dirinya melakukan aktivitas fisik yang baik untuk peredaran darah
(Kannan dan Satyamoorthy, 2009). Namun, Yang dkk. (2006)
menjelaskan bahwa jam kerja yang panjang dapat meningkatkan
risiko hipertensi melalui beberapa hal. Pertama, jam kerja yang
panjang akan mengurangi waktu untuk pemulihan dan istirahat tidur
sehingga berdampak gangguan proses psikologis. Kedua, jam kerja
yang panjang berhubungan dengan gaya hidup dan perilaku,
termasuk merokok, diet tidak sehat dan kurang aktivitas fisik. Lebih
jauh lagi, jam kerja yang panjang membuat pekerja terpajan kondisi
psikologis berbahaya di lingkungan kerja dalam waktu yang lama.
Selain itu jenis dan kondisi lingkungan kerja dapat menjadi
faktor risiko dari hipertensi. Contohnya, pekerja industri yang
terpapar kondisi lingkungan kerja yang panas dan bising dapat
berisiko terkena hipertensi (Greenberg M. I. dkk., 2003; Juan P.,
2005; Rodahl K., 2005; Levy B. S. dkk., 2005; Arezes P. M. dkk.,
2014). Kondisi lingkungan yang panas dapat menyebabkan stres
yang dapat tekanan darah sehingga menyebabkan hipertensi (Rodahl
K., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014).
Peningkatan tekanan darah juga dapat terjadi ketika kondisi
lingkungan bising karena dapat mempengaruhi viskositas plasma dan
menyebabkan penyempitan pembuluh darah (Greenberg M. I. dkk.,
2003; Juan P., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014). Selain itu, jenis
pekerjaan seperti pegawai negeri sipil, pekerja bank, supir, petugas
29
pengamanan (security) dan pekerjaan yang mengandalkan mesin
otomatis membuat para pekerja menjadi kurang beraktivitas fisik
sehingga berisiko hipertensi (Kumar P. dkk., 2002; Divan V. dkk.,
2010; Bosu, 2014).
Pengendalian risiko kesehatan kerja penting dilakukan sebagai
upaya pencegahan hipertensi akibat kerja, baik itu melalui
manajemen kerja, penggunaan alat pelindung diri (APD), ataupun
penguran sumber pemapar. Pengaturan waktu kerja penting untuk
mengurangi keterpaparan suhu tinggi dan kebisingan di lingkungan
kerja. Penyediaan alat pendingin ruangan ataupun ruang ruang
pendingin khusus pekerja juga dapat menjadi solusi untuk mengatasi
lingkungan kerja yang panas. Selain itu, penggantian alat sumber
kebisingan dengan alat yang lebih rendah tingkat kebisingannya
dapat menjadi solusi untuk mengurangi kebisingan di lingkungan
kerjaa (Hughes P. dan Ferret E., 2011).
e. Kemiskinan
WHO (2011) menjelaskan bahwa kemiskinan secara tidak
langsung dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti yang
terlihat pada Bagan 2.1. Lebih khusus, pendapatan keluarga yang
tinggi akan mempermudah seseorang dalam memperoleh informasi,
cara pencegahan, pengobatan dan diagnosis segera penyakit
hipertensi (Mion dkk., 2004). Hasil penelitian Mion dkk. (2004) di
Brazil menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang rendah
meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,66 kali.
30
Penelitian kohort oleh Conen dkk. (2009) pada tenaga kesehatan
perempuan di Rumah Sakit juga membuktikan bahwa pendapatan
yang rendah berhubungan dengan hipertensi (P = 0,05). Semakin
rendah pendapatan maka semakin meningkat risiko hipertensi.
Penelitian Conen dkk. (2009) juga menjelaskan bahwa status sosial
ekonomi yang rendah menyebabkan hipertensi karena adanya
pengaruh akses ke pelayanan bekualitas, diet, dukungan sosial, stres
emosional, dan lingkungan tetangga yang tidak menguntungkan.
Bagan 2.1
Konsep Kemiskinan Berkontribusi terhadap Masalah Penyakit
Tidak Menular
Sumber: WHO, 2010
Kearney dkk. (2005) menjelaskan bahwa kemiskinan menjadi
faktor dalam pemilihan makanan. Pendapatan yang rendah akan
menurunkan kemampuan membeli makanan yang sehat. Selain itu,
pendapatan yang rendah mendorong individu untuk bekerja lebih
giat sehingga lebih memilih mengonsumsi makanan cepat saji di luar
rumah. Hal ini sering terjadi pada masyarakat perkotaan.
31
Di Indonesia, status ekonomi berhubungan dengan kejadian
hipertensi pada masyarakat miskin (P = 0,000) (Indrawati dkk.,
2009). Penelitian Khanam dkk. (2015) pada masyarakat pedesaan di
Bangladesh juga menunjukkan bahwa status ekonomi berhubungan
dengan hipertensi (P < 0,0001). Sebaliknya, penelitian Khan dkk.
(2013) tidak menunjukkan adanya hubungan dari status sosial
ekonomi dengan hipertensi.
f. Akses ke Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan berperan penting dalam penanggulangan
penyakit kardiovaskular, terutama pelayanan kesehatan primer.
Pelayanan kesehatan diharapkan dapat menyediakan obat-obatan
yang cukup dan pemeriksaan untuk penyakit kardiovaskular.
Sulitnya akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan akan
mempersulit masyarakat untuk memperoleh informasi, pemeriksaan
dan pengobatan penyakit kardivaskular (WHO, 2014).
Hasil systematic review Maimaris dkk. (2013) menunjukkan
bahwa jarak ke pelayanan kesehatan berhubungan dengan hipertensi,
dimana dalam penelitian Ambaw dkk (2012) jarak >30 menit
meningkatkan risiko hipertensi sebesar 2,02 kali. Di Indonesia,
sebagian besar masyarakat memerlukan waktu 16-30 menit (34,4-
37,7%) untuk sampai ke sarana pelayanan kesehatan seperti Rumah
Sakit. Selain itu, sebagian besar masyarakat memerlukan waktu < 15
menit (60-80%) untuk sampai ke Puskesmas, Puskesmas pembantu,
praktik dokter/klinik, praktik bidan atau rumah bersalin, Pos
32
Kesehatan Desa (Poskesdes), Pos Lintas Desa (Polindes) dan
Posyandu (Kemenkes RI, 2013).
Untuk pergi ke sarana pelayanan kesehatan, sebagian besar
masyarakat menggunakan sepeda motor (sekitar 70%) dan biaya
transportasi menuju unit kesehatan berbasis masyarakat terdekat
adalah ≤ Rp.10.000.. Namun, ada sekitar 5% masyarakat dengan
status ekonomi rendah yang harus menggunakan alat transportasi
lebih dari satu. Selain itu, sekitar 45% masyarakat ekonomi rendah
menempuh perjalanan ke Rumah Sakit pemerintah terdekat selama >
60 menit (Kemenkes RI, 2013).
Secara finansial, upaya pencegahan hipertensi dan pelayanan
kesehatan terhadap penderita hipertensi telah ditanggulangi oleh
pemerintah Indonesia melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
(BPJS, 2014). Indonesia juga memiliki Pos Pembinaan Terpadu
(Posbindu) sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan berbasis
masyarakat yang berperan penting terhadap deteksi dini penyakit
jantung dan pembuluh darah dan pembinaan gaya hidup sehat pada
masyarakat (Kemenkes RI, 2013). Namun, berdasarkan hasil
penelitian Handayani (2012) pemanfaatan Posbindu oleh para lansia
di Kecamatan Ciomas masih rendah, yaitu 23%. Jarak, dukungan
keluarga, peran kader dan peran petugas kesehatan adalah faktor
yang berhubungan dengan rendahnya pemanfaatan Posbindu
(Handayani, 2012).
33
g. Genetik
Faktor genetik berpengaruh terhadap hipertensi karena memiliki
peran dalam metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel
(Depkes, 2006). Namun, Hipertensi secara patofisiologis tidak hanya
dipengaruhi oleh regulasi otak dan ginjal. Namun, menurut paradigma
biologi molekular, hipertensi juga dipengaruhi oleh regulasi endotel
Relaxing factor dapat diproduksi oleh endotel yang berperan sebagai gas
vasoaktif, yaitu nitric oxide (NO) (Sulastri, 2011).
Produksi NO dikendalikan oleh gen eNOS3. Glu298Asp merupakan
salah satu polimorfisme gen eNOS3 yang berhubungan dengan kejadian
hipertensi. Mutasi yang terjadi berupa subtitusi guanine menjadi timin pada
exon 7 posisi 894 yang menyebabkan terjadinya perubahan ekspresi
protein matur dari glutamat menjadi aspartat pada posisi 298. Polimorfisme
Glu298Asp (G894T) sebagai varian yang berperan terjadinya hal tersebut
menyebabkan penurunan ketersediaan biologi dari senyawa NO (Sulastri,
2011).
Hubungan fungsi NO dengan kejadian hipertensi adalah NO
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dengan cara menghambat
pelepasan renin dan norepinefrin secara tidak langsung. Sintesis NO juga
di bawah nilai basal (normal 25 µM/L-45 µM/L) pada penderita hipertensi
esensial. Akibatnya, terjadi peningkatan tahanan perifer karena efek
vasodilatasi terhadap pembuluh darah menurun (Sulastri, 2011).
Selain gen eNOS3, gen CYP11B2 varian T(-344)C adalah salah satu
polimorfisme yang berhubungan dengan hipertensi. Gen ini merupakan
polimorfisme single nucleotide varian T(-344)C dan satu-satunya penyandi
aldosterone synthase. Polimorfisme gen yang lebih sering ditemukan pada
34
ras Asia ini terjadi pada promoter region yang mempengaruhi putative
binding site steroidogenic transcription factor-1 (SF-1) (Sundari, 2013).
Penelitian Sundari dkk, (2013) menjelaskan bahwa telah terjadi mutasi
genetik pada gen CYP11B2 varian T(-344)C, yaitu basa Thymine (T)
substitusi menjadi Cytosine (C) pada kodon 344. Mutasi terjadi pada 8,3%
individu dengan genotip homozigot CC. Hal ini berarti dapat diasumsikan
bahwa telah terjadi polimorfisme pada promoter region gen CYP11B2
varian T(-344)C pada pasien hipertensi di wilayah pantai. Mutasi ini
kemudian terkait dengan peningkatan kadar aldosteron yang dapat
merangsang aktivitas epithelial Na+ channel (EnaC) yang merupakan
etiologi hipertensi esensial.
Penelitian Sundari (2013) juga menunjukkan bahwa individu dengan
homozigot TT akan lebih rentan terkena hipertensi dibandingkan TC dan
CC. Hal ini dimungkinkan individu homozigot TT kurang adaptif sehingga
promoter region polimorfisme gen CYP11B2 varian T(-344)C sensitif
terhadap stimulus angitensin II. Akibatnya, terjadi peningkatan angiotensin
II dalam plasma yang membuat individu homozigot rentan mengalami
hipertensi.
Selain mutasi dua gen tersebut, ada juga mutasi gen NPHS2
(412C→T, 419delG) yang manifestasi klinisnya adalah hipertensi. Namun,
penelitian Rachmadi dkk. (2011) tidak menemukan adanya hubungan
antara mutasi gen tersebut dengan kemunculan hipertensi sebagai
manifestasi klinis dari sindrom nefrotik resisten steroid pada anak. Selain
itu, ada beberapa mutasi gen lain yang menyebabkan terjadinya hipertensi.
Ada sekitar sepuluh mutasi genetik yang terkait dengan kejadian hipertensi
berdasarkan hukum Mendelian. Liddle’s syndrome adalah salah satu
contohnya (Carretero, 2000).
35
h. Stres
Stres dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon
adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan kuat
sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Stres yang kronis akan
berdampak pada perubahan patologis tubuh karena adanya kelainan
organis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit
maag (Kemenkes RI, 2006).
Berdasarkan penelitian Sirait dan Riyadina (2010) pada pekerja
industri di kawasan industri Pulogadung, stres berhubungan dengan
hipertensi (0,013). Penelitian South dkk. (2014) juga menunjukkan
adanya hubungan antara stres dengan hipertensi (P = 0,002).
Sebaliknya, penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) dan Agyei
dkk. (2014) menunjukkan tidak adanya hubungan antara stres
dengan hipertensi.
Selain berhubungan langsung dengan hipertensi, stres juga
memicu orang untuk berperilaku merokok. Penelitian Liu dkk.
(2015) dan Cui dkk. (2012) menjelaskan bahwa faktor stres adalah
penyebab perilaku merokok pada imigran Cina yang tinggal di kota,
terutama stres kerja. Penelitian kualitatif pada mahasiswi di Kota
Makassar juga menunjukkan bahwa stres menjadi salah satu faktor
pemicu para mahasiswi berperilaku merokok (Tarupay, dkk., 2014).
Stres juga menjadi penyebab perilaku merokok pada remaja laki-laki
di kota Medan (Hasnida dan Kemala, 2005).
36
i. Obesitas
Obesitas adalah kondisi dimana indeks masa tubuh >27 kg/m2
(Kemenkes RI, 2013). Namun, WHO mendefinisikan obesitas
sebagai keadaan dimana indeks masa tubuh ≥30 kg/m2 (WHO,
2014). Hasil penelitian sebelumnya di Ghana menunjukkan bahwa
indeks massa tubuh pada masyarakat perkotaan (29,9) lebih tinggi
dibandingkan dengan masyarakat pedesaan (25,3) (Obirikorang,
2015). Berbagai penelitian membuktikan bahwa obesitas berisiko
menyebabkan hipertensi (Sobngwi dkk., 2004; Howteerakul dkk.,
2006; Mendez-Chacon, 2008; Gao dkk., 2013; Forman, 2009).
Penelitian di wilayah rural Brazil menunjukkan bahwa obesitas
berisiko 1,21 kali menyebabkan hipertensi pada laki-laki dan 5,45
kali pada perempuan (Pimenta dkk., 2008). Di Chennai, obesitas
menimbulkan risiko 2,37 kali mengalami hipertensi dibandingkan
orang normal (Mohan dkk., 2007). Di Indonesia, seseorang yang
mengalami obesitas berisiko 2,79 kali mengalami hipertensi
(Rahajeng dan Tuminah, 2009).
Penderita obesitas akan lebih mudah mengalami hipertensi. Hal
ini karena pada penderita obesitas terjadi ketidaknormalan
mekanisme kontrol terhadap tekanan arterial. Ketidaknormalan itu
umumnya berupa hiperinsulinemia yang meyebabkan aktivasi
system saraf simpatis dan penyimpanan sodium sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan darah dan hipertensi (Goran M. I.
dan Sothern, 2006; Hu, 2008). Penderita obesitas juga dapat
37
menyebabkan diabetes terlebih dulu sebelum hipertensi. Berdasarkan
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa obesitas merupakan
faktor yang berhubungan dengan diabetes (Jelantik dan Heryati,
2014; Hussain A. dkk., 2010).
j. Riwayat Diabetes
Diabetes merupakan salah satu faktor risiko dari hipertensi. Hal
ini karena orang dengan diabetes dapat menderita resistensi insulin.
Resistensi insulin akan meningkatkan tekanan darah karena
hilangnya aktivitas vasodilator normal dari insulin atau efek jangka
panjang dari hiperinsulinemia (Holt, 2011).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antra
diabetes dengan hipertensi (Peer dkk., 2013; Gao dkk., 2013). Di
Brazil, riwayat diabetes meningkatkan risiko hipertensi sebesar 4,43
kali (urban) dan 4,61 kali (rural) (Moreira dkk., 2013). Di India,
orang yang diabetes berisiko 4,32 kali mengalami hipertensi
(Kannan dan Satyamoorthy, 2009).
Penelitian Basuki dan Setianto (2001) pada masyarakat Sunda di
Kabupaten Bogor membuktikan bahwa riwayat diabetes berisiko
2,45 kali mengalami hipertensi. Namun, penelitian Rahajeng di
Indonesia justru menunjukkan bahwa riwayat diabetes tidak
memberikan risiko yang signifikan untuk mengalami hipertensi
(Rahajeng dan Tuminah, 2009).
38
k. Konsumsi Alkohol
Peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume eritrosit
serta kekentalan darah diduga berperan dalam menaikkan tekanan
darah. Konsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap hari
akan memberikan efek terhadap tekanan darah (Depkes RI, 2006).
Penelitian kohort Forman (2009) pada para mahasiswa keperawatan
di Amerika Serikat menunjukkan bahwa risiko hipertensi semakin
meningkat seiring dengan banyaknya alkohol yang dikonsumsi.
Beberapa penelitian lain juga menunjukkan adanya hubungan
antara konsumsi alkohol dengan hipertensi (Sobngwi dkk., 2003; Xu
dkk., 2008; Hou, 2008; Kannan dan Satyamoorthy, 2009; Yao dkk.,
2010; Khan dkk., 2013). Penelitian Kannan dan Satyamoorthy
(2009) di Tamilnadu menunjukkan bahwa seorang alkoholik berisiko
3,812 kali mengalami hipertensi. Penelitian Agyemang dkk. (2006)
di Ghana membuktikan bahwa orang yang mengonsumsi alkohol
berisiko 1,60 kali mengalami hipertensi
l. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik mempengaruhi tekanan darah karena aktivitas
fisik terkait dengan peningkatan dan reduksi saraf simpatis dan para
simpatis (Mohler dan Townsend, 2006). Selain itu, aktivitas fisik
yang rutin dapat mengurangi lemak jenuh, meningkatkan eliminasi
sodium akibat terjadinya perubahan fungsi ginjal dan mengurangi
plasma renin serta aktivitas katekolamin. Oleh karena itu, aktivitas
39
fisik yang rutin dapat menurunkan tekanan darah sistolik maupun
diastolik sehingga mampu mencegah hipertensi (Rahl, 2010).
Durasi, intensitas dan frekuensi aktivitas fisik akan
mempengaruhi manfaat aktivitas fisik bagi kesehatan (Carnethon,
2009). WHO menganjurkan aktivitas fisik sebaiknya berlangsung
selama ≥ 600 MET (WHO, 2013). MET merupakan ukuran lamanya
waktu (menit) beraktivitas dalam satu minggu dikalikan bobot
tertentu (Kemenkes RI, 2013). Berikut ini jenis tingkatan aktivitas
fisik (Kemenkes RI, 2013).
1) Berat: kegiatan yang dilakukan selama minimal 10 menit secara
terus-menerus sampai denyut nadi meningkat dan napas lebih
cepat dari biasanya (misalnya menimba air, mendaki gunung,
lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dll) selama minimal
tiga hari dalam satu minggu dan total waktu beraktivitas ≥1500
MET minute. Bobot (MET value) untuk aktivitas fisik berat
adalah 8 kalori
2) Sedang: apabila melakukan aktivitas fisik sedang (menyapu,
mengepel, dll) minimal lima hari atau lebih dengan total
lamanya beraktivitas 150 menit dalam satu minggu. Bobot (MET
value) untuk aktivitas fisik sedang adalah 4 kalori (WHO, 2015)
3) Ringan: aktivitas yang tidak termasuk dalam aktivitas berat
maupun sedang.
Hasil penelitian Peer N. (2013) menunjukkan bahwa ada
hubungan antara aktivitas fisik yang rutin yang kurang (<150 menit)
40
dengan kejadian hipertensi. Penelitian Forman (2009) pada wanita
dewasa yang berpofesi sebagai perawat menunjukkan bahwa latihan
rutin 7 hari per minggu mampu menurunkan risiko hipertensi hingga
0,87 kali dibandingkan yang <1 hari per minggu. Sedangkan di
Brazil, semakin meningkat aktivitas fisik responden justru semakin
meningkatkan risiko hipertensi. Namun, hal ini hanya terjadi pada
wilayah rural, sedangkan wilayah urban tidak menunjukkan
hubungan yang signifikan (Moreira dkk., 2013).
Penelitian di daerah Urban Uttarakhand membuktikan adanya
hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi (P = 0,046) (Pooja
dan Mittal, 2013). Hasil penelitian South dkk. (2014) di Minahasa
Utara menunjukkan bahwa aktivitas fisik berhubungan kuat dengan
hipertensi (P = 0.000, r = 0,584). Hasil penelitian Rahajeng dan
Tuminah (2009) di Indonesia juga menunjukkan bahwa ada
hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi. Namun, perbedaan
risiko hipertensi antara responden yang memiliki aktivitas fisik
kurang dengan yang memiliki aktivitas fisik cukup hanya 1,05 kali.
m. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok dapat memicu terjadinya hipertensi karena
rokok mengandung bahan-bahan berbahaya, seperti nikotin dan
karbon dioksida. Nikotin akan meningkatkan asam lemak dan
mengaktiviasi trombosit, memicu aterosklerosis dan penyempitan
pembuluh darah (Cahyono, 2008; Depkes RI, 2006). Sedangkan
karbon monoksida akan membuat hemoglobin dalam darah rusak
41
sehingga akan ditampung di membran pembuluh kapiler dan
menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah (Schnitzer, 2000;
Depkes RI, 2006).
Di wilayah urban Chennai, merokok berhubungan dengan
kejadian hipertensi dan risiko orang merokok adalah 1,5 kali lebih
besar dibandingkan yang tidak merokok (Mohan dkk., 2007).
Penelitian di Brazil mengungkapkan bahwa perilaku merokok dapat
meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,2 kali pada masyarakat
perkotaan dan 1,24 kali pada masyarakat pedesaan (Moreira dkk.,
2013).
Selain itu, Di India, orang yang merokok 2,4 kali lebih berisiko
mengalami hipertensi dibandigkan yang tidak merokok (Kannan dan
Satyamoorthy, 2009). Penelitian Anggara dan Prayitno (2013) di
Cikarang Barat juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara perilaku merokok dengan hpertensi dan merokok
dapat meningkatkan risiko hipertensi sebesar 8,1 kali. Namun, Di
China, perokok ringan tidak menunjukkan risiko yang signifikan
terhadap hipertensi dan perokok berat justru dapat terhindar 0,96 kali
dari hipertensi (Hou, 2008). Durasi merokok juga berperan dalam
meningkatkan risiko hipertensi. Penelitian Thuy A. B. (2010)
menunjukkan bahwa kebiasaan merokok menyebabkan hipertensi
dipengaruhi oleh lama waktu menjadi perokok.
Perokok pasif pun dapat berisiko mengalami hipertensi. Hal ini
dibuktikan dengan hasil penelitian Lina dkk. (2013) di wilayah kerja
42
Puskesmas Mulyorejo Kota Surabaya yang menunjukkan bahwa
perokok pasif berisiko mengalami hipertensi sebesar 1,37 kali
dibandingkan yang bukan perokok pasif. Dalam penelitian tersebut,
hubungan keluarga, jenis rokok, jumlah perokok, lama paparan,
jumlah rokok dan lokasi merokok merupakan variabel paparan asap
rokok yang berisiko menimbulkan hipertensi.
n. Konsumsi Makanan Asin
Konsumsi makanan asin atau yang mengandung garam tinggi
dapat menyebabkan volume cairan dalam tubuh meningkat. Hal ini
karena garam menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan oleh
tubuh sehingga meningkatkan volume dan tekanan darah (Depkes
RI, 2006). Dalam buku Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah dijelaskan bahwa salah satu faktor risiko
penyakit jantung dan pembuluh darah pada penduduk umur 18 tahun
ke atas adalah sering makan makanan asin (≥1 kali/hari) (Kemenkes
RI, 2010).
Data WHO menunjukkan bahwa 1,7 juta orang meninggal di
tahun 2010 karena penyakit kardiovaskular, dimana konsumsi garam
berlebih merupakan salah satu faktor pemicunya. Data WHO juga
menunjukkan bahwa secara global rata-rata konsumsi garam
masyarakat adalah sekitar 10 g per hari (4 g/hari sodium). Asia
Tenggara merupakan kawasan dengan tingkat konsumsi garam yang
tinggi. Padahal, konsumsi garam melebihi 5 g/hari (lebih dari 1
43
sendok teh per hari) berkontribusi terhadap peningkatan tekanan
darah (WHO, 2014).
Hasil penelitian He (2005) diketahui bahwa pengurangan
konsumsi garam berhubungan dengan penurunan tekanan darah (P =
0,002). Penelitian Bartwal dkk. (2014) di Haldwani membuktikan
bahwa ada hubungan antara asupan garam dengan hipertensi (x2 =
12,42). Hasil analisis multivariat penelitian Indrawati dkk. (2009)
menunjukkan ada hubungan antara konsumsi makanan asin dengan
hipertensi (P = 0,001) walaupun tidak ada perbedaan risiko
hipertensi antara yang sering atau jarang makan makanan asin
dengan yang tidak pernah makan makanan asin.
Penelitian terkait pola konsumsi makanan harus dapat
menjelaskan pola konsumsi makanan dengan baik. Pengukuran pola
konsumsi makanan yang digunakan saat Riskesdas 2013 adalah
berdasarkan frekuensi makan sehingga kurang valid dan subjektif
(Rahajeng dan Tuminah, 2009). Oleh karena itu, penelitian Rahajeng
dan Tuminah (2009) justu menunjukkan bahwa konsumsi makanan
asin berlebih tidak ada berhubungan dengan kejadian hipertensi.
o. Konsumsi Makanan Berlemak
Konsumsi makanan berlemak secara berlebihan akan
menyebabkan hiperlipidemia. Hiperlipidemia akan menyebabkan
peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL
dan/atau penurunan kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol
berperen penting dalam proses terjadinya aterosklerosis yang
44
kemudian menghambat aliran darah sehingga tekanan darah menjadi
tinggi (Depkes RI, 2006).
Konsumsi makanan berlemak terlalu sering adalah mencapai ≥ 1
kali/hari (Kemenkes RI, 2010). Hasil analisis konsumsi lemak pada
penduduk Indonesia menunjukkan bahwa persentase lemak total
penduduk Indonesia masih di bawah standar yang dianjurkan, yaitu
25%. Namun, persentase lemak jenuh mencapai 18,2% sehingga
melebihi persentase lemak jenuh yang dianjurkan WHO yaitu 10%
(Hardiansyah, 2011). Penelitian Stefhany (2012) menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara (P = 0,010) dan pra lansia dan
lansia yang sering mengonsumsi lemak berisiko 2,785 kali
mengalami hipertensi.
Di Afrika, konsumsi lemak berlebih berhubungan dengan
hipertensi (P = 0,024) dan meningkatkan risiko hipertensi hingga
2,08 kali (Ramirez dkk., 2010). Penelitian Indrawati dkk. (2009)
juga menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi makanan
berlemak dengan hipertensi. Namun, sering mengonsumsi lemak
justru memberikan efek protektif terhadap hipertensi
p. Konsumsi Sayur dan Buah
Konsumsi sayur dan buah dapat memproteksi diri dari
hipertensi. Sayuran mengandung serat yang merupakan jenis
karbohidrat istimewa karena resisten terhadap enzim pencernaan
manusia. Serat ini dapat mengurangi tingkat insulin, dimana
hiperinsulinemia menyebabkan intoleransi glukosa yang dapat
45
menyebabkan hipertensi (Lin dan Laura, 2012). Sedangkan, buah
mengandung polifenol yang dapat melindungi jantung. Selain itu,
beberapa jenis buah memiliki beban glikemik yang rendah sehingga
tidak berisiko menyebabkan hipertensi (McFarlane dan Bakris,
2012).
Konsumsi buah < 3 kali (porsi)/hari dan sayur < 2 kali
(porsi)/hari dapat berisiko mengalami penyakit kardiovaskular.
Sedangkan, DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension)
menganjurkan untuk mengonsumsi buah dan sayur sebanyak 4-5
porsi/hari (Grodner dkk., 2004).
Hasil peneletian Utsugi dkk. (2008) di Jepang menunjukkan
bahwa mengkonsumsi buah dan sayur yang banyak berhubungan
dengan rendahnya risiko terkena hipertensi. Hasil penelitian dari
Bazzano dkk (2002) menunjukkan bahwa konsumsi buah dan sayur
berhubungan dengan hipertensi (P < 0,001). Selain itu, hasil
penelitian pada masyarakat rural Bangladesh menunjukkan bahwa
konsumsi sayur dan buah berhubungan dengan hipertensi (P =
0,0006 dan P = 0,0138) (Khanam dkk., 2015)
Di Indonesia, konsumsi buah dan sayur berhubungan dengan
kejadian hipertensi (P = 0,000). Namun, tidak ada perbedaan risiko
hipertensi antara yang mengonsumsi buah dan sayur < 3 porsi/hari
dengan yang ≥ 3 porsi/hari (Indrawati dkk., 2009). Sebaliknya,
penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) di Indonesia menunjukkan
46
bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi sayur dan buah dengan
hipertensi.
D. Kerangka Teori
WHO (2013-2014), Kemenkes RI (2013) dan Rahajeng serta Tuminah
(2009) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam meningkatkan
prevalensi hipertensi adalah faktor sosiodemografi, faktor fisik dan riwayat
penyakit serta faktor gaya hidup. Faktor sosiodemografi di antaranya adalah
jenis kelamin, usia, kemiskinan, akses pelayanan kesehatan yang tidak
memadai. Faktor fisik dan riwayat penyakit di antaranya adalah genetik, stres,
obesitas, riwayat diabetes. Faktor gaya hidup di antaranya adalah kurang
aktivitas fisik, merokok, konsumsi alkohol, konsumsi makanan asin dan
berlemak berlebih serta kurang konsumsi sayur dan buah. Namun, faktor-
faktor tersebut tidak secara langsung menyebabkan hipertensi.
Beberapa faktor akan mendahului faktor yang lain sebelum menyebabkan
hipertensi. Contohnya faktor kemiskinan yang terlebih dulu mempengaruhi
akses ke pelayanan kesehatan kemudian pengetahuan (Mion dkk., 2014;
Conen dkk., 2009; WHO, 2014). Dari faktor pengetahuan, kemudian
menyebabkan perubahan gaya hidup. Salah satu di antaranya adalah
kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok kemudian secara biologis dapat
menyebabkan hipertensi melalui aterosklerosis yang menyebabkan
peningkatan tahanan perifer pembuluh darah, seperti yang tergambarkan pada
Bagan 2.2 (Schnitzer, 2000; Depkes RI, 2006; Cahyono, 2008).
47
Pada Bagan 2.2, faktor umur, jenis kelamin, kelainan genetik, riwayat
diabetes dan obesitas juga menyebabkan serangkaian kondisi biologis
(biological plausibility) yang kemudian dapat menyebabkan hipertensi.
Namun, sebelum faktor-faktor tersebut, tidak ada faktor lain yang
mempengaruhinya. Contohnya faktor jenis kelamin dimana penurunan
hormon estrogen yang dialami perempuan menyebabkan aktivasi berlebih
saraf simpatis sehingga dapat menyebabkan hipertensi (Robertson, 2012).
48
Bagan 2.2
Kerangka Teori
Penurunan
hormon
Estrogen
Pendidikan
Asupan garam
berlebih
Kelainan
Genetik
Perubahan
membran sel
Volume Cairan dalam
Tubuh Meningkat
Umur
Aktivasi berlebih
saraf simpatis
Stres
Jenis Kelamin
Urbanisasi & Globalisasi
(tempat tinggal)
Sekresi
Hormon
Adrenalin
Perubahan struktur
pembuluh darah besar
Disfungsi atau
kerusakan lapisan
endotel pembuluh
darah arteri
Dinding
pembuluh darah
menjadi kaku
Kurang Aktivitas Fisik Kebiasaan Merokok
Aterosklerosis
Konsumsi Alkohol
Peningkatan
Kadar Kortisol
Peningkatan volume
dan tekanan darah
Pekerjaan
Gaya hidup tidak sehat
Diet tidak sehat
Obesitas
Hiperinsulinemia
Riwayat
Diabetes
Melitus
Sering Konsumsi
Makanan Asin
Peningkatan kolesterol
total, trigliserida,
kolesterol LDL
Peningkatan
tahanan perifer
pembuluh darah
Jantung
berdetak lebih
cepat dan kuat
Pengetahuan
Sering Konsumsi
Makanan Berlemak
Kurang Konsumsi
Sayur dan Buah
Hiperlipidemia
Insulin tidak terkontrol
Akses ke pelayanan
kesehatan kurang
Kemiskinan
HIPERTENSI
= Faktor Sosiodemografi
Sumber: WHO, 2014; Santy, 2015; Robertson dkk.,
2012; Black dkk., 2007; Anggara dkk., 2013; Mion
dkk., 2004; Depkes RI, 2006; Goran dan Sothern,
2006; Holt, 2011; Cahyono, 2008; Schnitzer, 2000;
Mohler dan Townsend, 2006; Lin dan Laura, 2012;
McFarlane dan Bakris, 2012
= Biological Plausibility
= Faktor Fisik dan Riwayat
Penyakit
= Faktor Gaya Hidup
49
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Kerangka teori menggambarkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh
dengan hipertensi di antaranya adalah faktor sosiodemografi (jenis kelamin,
umur, pekerjaan, pendidikan, kemiskinan dan pelayanan kesehatan), faktor
fisik dan riwayat penyakit (stres, genetik, obesitas dan riwayat diabetes) serta
faktor gaya hidup (konsumsi alkohol, kebiasaan merokok, kurang aktivitas
fisik, sering konsumsi makanan asin, sering konsumsi makanan berlemak dan
kurang konsumsi sayur dan buah). Namun, tidak semua faktor-faktor tersebut
diteliti. Untuk faktor sosiodemografi, hanya jenis kelamin, umur, pekerjaan
dan pendidikan yang diteliti dalam penelitian ini. Untuk faktor fisik dan
riwayat penyakit, faktor yang diteliti adalah obesitas dan riwayat diabetes.
Sedangkan, untuk faktor gaya hidup, faktor-faktor yang diteliti adalah
kebiasaan merokok, kurang aktivitas fisik, sering konsumsi makanan asin,
sering konsumsi makanan berlemak dan kurang konsumsi sayur dan buah.
Adapun faktor kemiskinan, akses pelayanan kesehatan, genetik, stres dan
konsumsi alkohol tidak diteliti dalam penelitian ini karena keterbatasan dari
data Riskesdas 2013. Berikut uraiannya:
1. Faktor kemiskinan tidak diteliti dengan pertimbangan data yang tersedia
kurang valid sehingga dapat mempengaruhi hasil analisis penelitian ini
(lihat Tabel 3.1). Selain itu, kemiskinan berkaitan dengan status ekonomi
berupa pendapatan yang bisa dijelaskan melalui variabel pekerjaan.
50
2. Faktor akses pelayanan kesehatan juga tidak diteliti karena data yang
tersedia kurang reliabel sehingga dapat mempengaruhi hasil analisis
penelitian ini. Tabel 3.1 menunjukkan hasil uji validitas dan reliabilitas
data Riskesdas 2013
3. Faktor genetik, stres dan konsumsi alkohol tidak bisa menjadi variabel
penelitian karena tidak diukur dalam Riskesdas tahun 2013.
Tabel 3.1
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Riskesdas 2013
No. Kelompok Variabel Validasi
Kesimpulan Keterangan Proses Isi
1.
Keterangan Anggota
Rumah Tangga (Jenis
Kelamin, Umur,
Pendidikan, Pekerjaan)
77,5 83,1 Valid dan
reliabel
2. Akses dan Pelayanan
Kesehatan 79,0 73,2
Valid tetapi
kurang
reliabel
3. Pemukiman dan
Ekonomi 75,0
Kurang
Valid
4. Penyakit Tidak
Menular - 88,8
Baik
reliabilitasn
ya
Ada
masalah
pengukurn
reliabilitas
asma dan
kanker
5. Pengukuran Tekanan
Darah 89,8 Valid
Ada
penyimpang
an SOP Sumber: Kemenkes RI, 2013
Bagan 3.1 menjelaskan bahwa faktor sosiodemografi, faktor fisik dan
riwayat penyakit serta faktor gaya hidup berhubungan dengan hipertensi.
Berikut penjelasannya:
1. Faktor sosiodemografi
Faktor sosiodemografi berhubungan dengan hipertensi karena secara
teoritis hipertensi lebih berisiko pada perempuan, usia lanjut, masyarakat
51
berpendidikan rendah dan masyarakat yang tidak bekerja. Perempuan lebih
berisiko mengalami hipertensi karena setelah mengalami menopous hormon
estrogen perempuan yang berfungsi melindungi tekanan darah istirahat
menjadi berkurang. Risiko hipertensi semakin meningkat seiring dengan
pertembahan usia karena fungsi fisiologis tubuh juga ikut menurun sehingga
usia lanjut sangat berisiko mengalami hipertensi.
Risiko hipertensi juga semakin meningkat seiring dengan rendahnya
tingkat pendidikan seseorang karena pendidikan yang rendah mempengaruhi
pengetahuan masyarakat terkait hipertensi. Pengetahuan yang rendah
berdampak pada perilaku pencegahan hipertensi. Status tidak bekerja
berhubungan dengan hipertensi karena dapat mempengaruhi pendapatan
seseorang sehingga sulit untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
adekuat. Akibatnya, informasi terkait pencegahan dan pengobatan hipertensi
yang diinformasikan melalui pelayanan kesehatan pun sulit diperoleh.
Faktor pendidikan dan pekerjaan dapat juga menjadi salah satu alasan
masyarakat melakukan urbanisasi. Urbanisasi kemudian dapat menimbulkan
perubahan gaya hidup masyarakat menjadi gaya hidup tidak sehat sehingga
berisiko hipertensi.
2. Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit
Faktor fisik diukur melalui variabel obesitas dimana obesitas
berhubungan dengan hipertensi karena orang yang mengalami obesitas
umumnya mengalami hyperinsulinemia yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Sedangkan faktor riwayat penyakit diukur melalui riwayat
diabetes respnden. Riwayat diabetes berhubungan dengan hipertensi
52
karena dapat menyebabkan resistensi insulin yang merupakan efek
jangka panjang dari hiperinsulinemia. Kedua faktor ini merupakan faktor
yang berhubungan dengan hipertensi karena faktor biologis sehingga
tidak ada perbedaan risiko baik di perkotaan maupun pedesaan.
3. Faktor Gaya Hidup
Masyarakat kota akan lebih berisiko mengalami hipertensi
dibandingkan masyarakat pedesaan karena masyarakat perkotaan
cenderung memiliki aktivitas fisik yang kurang, kebiasaan merokok dan
diet tidak sehat. Waktu bekerja yang lama dan pendapatan yang rendah
membuat masyarakat kota lebih mementingkan urusan pekerjaan
dibandingkan memperhatikan pola makan dan aktivitas fisik.
Bagan 3.1
Kerangka Konsep
Hipertensi di
Perkotaan
dan Pedesaan
Indonesia
Sosiodemografi:
Jenis kelamin
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Faktor Fisik dan Riwayat
Penyakit:
Obesitas
Riwayat diabetes
Gaya Hidup:
Aktivitas fisik
Kebiasaan merokok
Konsumsi makanan asin
Konsumsi makanan berlemak
Konsumsi sayur
Konsumsi buah
53
B. Definisi Operasional
Tabel 3.2
Definisi Operasional Penelitian
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur
Cara
Pengambilan
Data
Hasil Ukur Skala
Ukur
1. Hipertensi Rata-rata hasil 2 kali pengukuran
tekanan darah. Jika terdapat
perbedaan ≥10 mmHg antara hasil
pengukuran tekanan darah sistolik
maupun diastolik yang pertama dan
yang kedua maka dilakukan
pengukuran tekanan darah yang
ketiga sehingga status hipertensi
ditentukan melalui rata-rata hasil 3
kali pengukuran tekanan darah.
(Kemenkes RI, 2013)
Kuesioner
RKD13.IND
K05A, K05B,
K05C, K06A,
K06B, K06C,
K07A, K07B,
K07C
Observasi
kuesioner
Riskesdas tahun
2013
0. Hipertensi (≥
140/90 mmHg)
1. Normal (<
140/90 mmHg)
(Kemenkes RI, 2013;
Kaplan dan Michael,
2010)
Ordinal
2. Jenis
Kelamin
Jenis kelamin responden berdasarkan
hasil konfirmasi menggunakan kartu
keluarga dan pengamatan langsung
terhadap ciri-ciri fisik responden.
(Kemenkes RI, 2013)
Kuesioner
RKD13.RT
B4K4
Observasi
kuesioner
Riskesdas tahun
2013
0. Perempuan
1. Laki-laki
(Kemenkes RI, 2013)
Ordinal
3. Umur Umur responden yang dihitung sejak
lahir hingga ulang tahun terakhir saat
penelitian berdasarkan kalender
Masehi dengan pembulatan ke
bawah. (Kemenkes RI, 2013)
Kuesioner
RKD13.RT
B4K7THN
Observasi
kuesioner
Riskesdas tahun
2013
0. ≥ 65 tahun
1. 55-64 tahun
2. 45-54 tahun
3. 35-44 tahun
4. 25-34 tahun
5. 15-24 tahun
Ordinal
54
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur
Cara
Pengambilan
Data
Hasil Ukur Skala
Ukur
(Kemenkes RI, 2013)
4. Pendidikan Status pendidikan tertinggi yang
ditamatkan responden.
(Kemenkes RI, 2013)
Kuesioner
RKD13.RT
B4K10
Observasi
kuesioner
Riskesdas tahun
2013
0. Tidak
sekolah/Tidak
tamat SD/MI
1. Tamat SD/MI
2. Tamat
SLTP/MTs
3. Tamat SLTA/MA
4. Tamat perguruan
tinggi
(Kemenkes RI, 2013)
Ordinal
5. Pekerjaan Pekerjaan responden atau kegiatan
terbanyak yang dilakukan responden.
(Kemenkes RI, 2013)
Kuesioner
RKD13.RT
B4K9
Observasi
kuesioner
Riskesdas tahun
2013
0. Tidak Bekerja
1. Bekerja
(Kemenkes RI, 2013)
Ordinal
6. Obesitas Nilai indeks massa tubuh (kg/m2)
menunjukkan >27 kg/m2.
(Kemenkes RI, 2013)
Kuesioner
RKD13.IND
K01A-K02B
Observasi
kuesioner
Riskesdas tahun
2013
0. Ya
1. Tidak
(Kemenkes RI, 2013)
Ordinal
7. Riwayat
Diabetes
Melitus
Responden yang pernah didiagnosis
dokter menderita diabetes mellitus
atau kencing manis.
(Kemenkes RI, 2013)
Kuesioner
RKD13.IND
B12
Observasi
kuesioner
Riskesdas tahun
2013
0. Ya
1. Tidak
(Kemenkes RI, 2013)
Ordinal
8. Aktivitas
Fisik
Frekuensi aktivitas fisik responden
dalam seminggu terakhir sebelum
Kuesioner
RKD13.IND
Observasi
kuesioner
0. < 600 MET
1. ≥ 600 MET
Ordinal
55
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur
Cara
Pengambilan
Data
Hasil Ukur Skala
Ukur
penelitian dilakukan.
(Kemenkes RI, 2013)
G16-
G22MNT
Riskesdas tahun
2013
(WHO, 2015)
9. Kebiasaan
Merokok
Perilaku merokok responden sebulan
terakhir sebelum penelitian
dilakukan. (Kemenkes RI, 2013)
Kuesioner
RKD13.IND
G05
Observasi
kuesioner
Riskesdas tahun
2013
0. Merokok
1. Pernah merokok
2. Tidak pernah
merokok
(Kemenkes RI, 2013)
Ordinal
10. Konsumsi
Makanan
Asin
Frekuensi kebiasaan seseorang
mengonsumsi makanan yang
mengandung natrium tinggi.
Makanan yang lebih dominan rasa
asin, seperti ikan asin, ikan pindang,
telur asin, snack asin, makanan yang
mengandung terasi, kecap, dan saos.
(Kemenkes RI, 2013)
Kuesioner
RKD13.IND
G27B
Observasi
kuesioner
Riskesdas tahun
2013
0. ≥1 kali/hari
1. <1 kali/hari
(Kemenkes RI, 2010)
Ordinal
11. Konsumsi
Makanan
Berlemak
Frekuensi kebiasaan seseorang
mengonsumsi makanan yang
mengandung lemak jenuh dan
makanan yang mengandung
kolesterol. Bahan makanan yang
mengandung banyak lemak seperti
daging berlemak, sop buntut,
makanan gorengan, makanan
bersantan, makanan yang
mengandung banyak margarin.
Sedangkan, makanan yang banyak
mengandung kolesterol, contoh
Kuesioner
RKD13.IND
G27B
Observasi
kuesioner
Riskesdas tahun
2013
0. ≥1 kali/hari
1. <1 kali/hari
(Kemenkes RI, 2010)
Ordinal
56
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur
Cara
Pengambilan
Data
Hasil Ukur Skala
Ukur
jeroan (usus, babat), telur, udang.
(Kemenkes RI, 2013)
12. Konsumsi
Sayur
Kebiasaan seseorang mengonsumsi
sayur yang dinyatakan dalam bentuk
frekuensi makan per hari dalam
seminggu dan banyaknya sayur yang
dikonsumsi dalam satu sajian.
(Kemenkes RI, 2013)
Kuesioner
RKD13.IND
G24
Observasi
kuesioner
Riskesdas tahun
2013
0. <3 porsi/hari
1. ≥3 porsi/hari
(Kemenkes RI, 2010)
Ordinal
13. Konsumsi
Buah
Kebiasaan seseorang mengonsumsi
buah yang dinyatakan dalam bentuk
frekuensi makan per hari dalam
seminggu dan banyaknya buah yang
dikonsumsi dalam satu sajian.
(Kemenkes RI, 2013)
Kuesioner
RKD13.IND
G26
Observasi
kuesioner
Riskesdas tahun
2013
0. <2 porsi/hari
1. ≥2 porsi/hari
(Kemenkes RI, 2010)
Ordinal
57
C. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Ada hubungan antara faktor jenis kelamin dengan kejadian hipertensi di
perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
2. Ada hubungan antara faktor umur dengan kejadian hipertensi di
perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
3. Ada hubungan antara faktor pendidikan dengan kejadian hipertensi di
perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
4. Ada hubungan antara faktor pekerjaan dengan kejadian hipertensi di
perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
5. Ada hubungan antara faktor obesitas dengan kejadian hipertensi di
perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
6. Ada hubungan antara faktor riwayat diabetes dengan kejadian hipertensi
di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
7. Ada hubungan antara faktor aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi di
perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
8. Ada hubungan antara faktor kebiasaan merokok dengan kejadian
hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
9. Ada hubungan antara faktor konsumsi makanan asin dengan kejadian
hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
10. Ada hubungan antara faktor konsumsi makanan berlemak dengan
kejadian hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
11. Ada hubungan antara faktor konsumsi sayur dengan kejadian hipertensi
di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
58
12. Ada hubungan antara faktor konsumsi buah dengan kejadian hipertensi di
perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013
59
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain
cross sectional. Desain penelitian ini mengikuti desain penelitian Riskesdas
tahun 2013. Penelitian ini merupakan analisis lanjutan dari data Riskesdas
2013 terkait hipertensi sehingga diperoleh penjelasan mengenai faktor-faktor
yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan
Indonesia tahun 2013.
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
Riskesdas 2013 dilaksanakan di 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2013.
Selanjutnya, data Riskesdas yang dimanfaatkan peneliti dianalisis pada bulan
Februari hingga Juli tahun 2015 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah total sampel Riskesdas 2013.
Total sampel Riskesdas diperoleh setelah dilakukan pemutakhiran data
rumah tangga, kunjungan dan wawancara anggota rumah tangga.
Pemutakhiran data rumah tangga dilakukan sebelum sampel ditentukan.
Pemutakhiran dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut
(Kemenkes RI, 2013):
60
60
a. Blok sensus yang sudah tidak ditemukan/hilang karena bencana
(banjir, longsor, gempa bumi), seperti di Mentawai, beberapa
Kabupaten di Kalimantan
b. Blok sensus yang merupakan daerah konflik dan sangat sulit untuk
dijangkau seperti Papua
c. Bangunan sensus yang tidak ditemukan, karena berubah fungsi,
bukan rumah tangga biasa
Setelah pemutakhiran dilakukan, blok sensus yang berhasil
dikunjungi sebanyak 11.986 blok sensus yang tersebar di 33 provinsi,
497 kabupaten/kota. Ada 14 blok sensus yang tidak berhasil dikunjungi
karena penolakan warga setempat dan lokasi sulit dijangkau, yaitu 12
blok sensus di Papua, 1 blok sensus di Papua Barat dan 1 blok sensus di
Jakarta. Adapun dari 300.000 rumah tangga yang ditargetkan, terdapat
294.959 rumah tangga yang berhasil dikunjungi. Dari 294.959 rumah
tangga yang dikunjungi, ada 1.027.763 anggota rumah tangga (ART)
yang berhasil diwawancarai. Jadi, populasi dalam penelitian ini adalah
sebanyak 1.027.763 orang.
2. Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah seluruh responden Riskesdas 2013
berusia ≥ 15 tahun yang berhasil diwawancarai oleh para enumerator
Riskesdas 2013, yaitu sebanyak 722.329 orang. Namun, untuk keperluan
analisis dalam penelitian ini maka ditentukan kriteria eksklusi sebagai
berikut.
a. Responden Riskesdas 2013 yang berstatus hamil
61
61
b. Data responden tidak lengkap (missing data).
c. Data numerik hasil pengukuran bernilai ekstrim
Setelah mempertimbangkan kriteria eksklusi, jumlah sampel
penelitian ini berkurang menjadi 616.986 sampel sehingga hanya 85,42%
dari total 722.329 sampel Riskesdas yang bisa dianalisis dalam penelitian
ini. Namun, saat analisis variabel umur dan obesitas, secara berturut-turut
jumlah sampel penelitian menjadi 616.983 dan 613.479 sampel karena
terdapat nilai ekstrim dan missing data (lihat Tabel 4.3).
Teknik pengambilan sampel dari penelitian ini adalah multistage
sampling mengikuti teknik pengambilan sampel Riskesdas tahun 2013.
Namun, dilakukan perhitungan nilai kekuatan uji dan derajat kemaknaan
yang sesuai dengan besar sampel penelitan ini. Hal ini karena penelitian
ini bertujuan untuk menguji hipotesis. Berdasarkan hasil perhitungan
diketahui bahwa dengan jumlah sampel sebesar 616.986, proporsi
hipertensi pada perempuan dan laki-laki secara berturut-turut sebesar
0,503 dan 0,497 (Rahajeng dan Tuminah, 2009) sehingga diperoleh nilai
derajat kemaknaan sebesar 5% dengan kekuatan uji sebesar 99%.
D. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil Riskesdas tahun 2013.
Data ini diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Balitbangkes) Kementerian Kesehatan Indonesia. Sebelum pengambilan
data, peneliti melakukan observasi kuesioner Riskesdas tahun 2013 untuk
mengetahui pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hipertensi. Dengan
62
62
demikian, dapat diperoleh variabel-variabel yang akan dianalisis sebagai
faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi.
Pengumpulan data Riskesdas tahun 2013 dilakukan oleh para enumerator
terlatih dengan metode wawancara, observasi dan pengukuran langsung.
Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk memperoleh
informasi terkait umur, pekerjaan, pendidikan, riwayat diabetes, kebiasaan
merokok dan aktivitas fisik responden. Sedangkan, metode observasi
dilakukan untuk memperoleh informasi terkait jenis kelamin responden.
Pengukuran langsung dilakukan untuk memperoleh informasi terkait
berat badan dan tinggi badan. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
dilakukan oleh enumerator terlatih sehingga posisi tubuh dan cara pembacaan
hasil pengukuran diupayakan sesuai dengan pedoman.
Tim enumerator dan Tim manajemen data dibentuk di setiap
kabupaten/kota. Setiap Tim enumerator bertanggung jawab untuk 6 BS (150
Rumah Tangga). Setiap Tim enumerator terdiri dari lima orang yang diketuai
oleh ketua tim. Setiap anggota maupun ketua dari Tim enumerator dan
manajemen data minimal mempunyai pendidikan D3 Kesehatan.
Perekrutan tenaga enumerator dan Tim manajemen data dilakukan di
Poltekkes, STIKES, Universitas (Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kedokteran Gigi), dan lain-lain.
Kekurangan tenaga pengumpul dan manajemen data di beberapa daerah
diatasi dengan merekrut para staf Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang
telah memperoleh peresetujuan kepala bidang masing-masing untuk
dibebaskan dari tugas rutin.
63
63
E. Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner individu
(RKD13.IND) dan kuesioner rumah tangga (RKD13.RT) Riskesdas tahun
2013. Kuesioner telah diuji validasi oleh tim gabungan dari Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Universitas Airlangga dan
Universitas Hasanudin agar kualitas data Riskesdas 2013 terjamin. Berikut
penjelasan cara pengukuran masing-masing variabel yang digunakan dalam
penelitian ini.
1. Hipertensi
Variabel ini diukur melalui pengukuran tekanan darah dengan
menggunakan spignomanometer digital. Pengukuran tekanan darah
dilakukan sebanyak 2 kali kali dalam satu waktu. Namun, jika terdapat
perbedaan hasil pengukuran sebesar ≥ 10 mmHg maka dilakukan
pengukuran ketiga. Hasil beberapa kali pengukuran tekanan darah
tersebut kemudian dirata-ratakan.
Untuk menjamin kevalidan data maka cara pengukuran dipastikan
harus benar. Posisi duduk tenang atau berbaring telentang bagi yang tidak
mampu duduk. Responden diharuskan tidak melakukan aktivitas fisik
seperti olah raga, merokok dan makan minimal 30 menit sebelum
pengukuran tekanan darah. Selain itu, responden diminta duduk istirahat
minimal 10 menit sebelum pengukuran. Petugas yang mengukur pun
dilarang untuk mengajak responden berbicara ataupun tertawa saat
pengukuran tekanan darah berlangsung.
64
64
2. Tempat Tinggal
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada blok I
dengan kode B1R5. Penentuan desa atau kota mengikuti hasil sensus
penduduk tahun 2010 (SP2010).
3. Jenis Kelamin
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada blok
IV dengan kode B4K4. Enumerator Riskesdas tahun 2013 menentukan
jenis kelamin berdasarkan observasi langsung dan kartu keluarga serta
bertanya langsung pada responden maupun keluarga responden yang ada
saat wawancara berlangsung.
4. Umur
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada
blok IV dengan kode B4K7THN. Umur ditanyakan langsung pada
responden dan dihitung dengan pembulatan ke bawah atau ulang tahun
yang terakhir berdasarkan kalender masehi. Enumerator Riskesdas 2013
melakukan probing melalui dokumen atau catatan kelahiran/akte
kelahiran dan kartu pengenal seperti KTP, SIM, dan sebagainya ketika
responden tidak mengetahui umurnya dengan pasti atau lupa. Namun,
jika dokumen-dokumen tersebut tidak ada maka waktu kelahiran
responden dihubungkan dengan tanggal, bulan, dan tahun penting atau
peristiwa penting di Indonesia. Umur responden kemudian dikategorikan
menjadi 6 kategori mengikuti kategorisasi yang terdapat dalam laporan
Riskesdas tahun 2013, yaitu 1) 15-24 tahun, 2) 25-34 tahun, 3) 35-44
tahun, 4) 45-54 tahun, 5) 55-64 tahun, 6) ≥ 65 tahun.
65
65
5. Pendidikan
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada blok
IV dengan kode B4K8. Enumerator Riskesdas menanyakan langsung
pada responden terkait pendidikan apa yang terakhir kali ditamatkan
responden. Berikut ini adalah kategori tingkatan pendidikan dalam
Riskesdas 2013.
a. Tidak/belum pernah sekolah
b. Tidak tamat SD/MI. Tidak tamat SD termasuk Madrasah Ibtidaiyah
(MI)
c. Tamat SD/MI. Tamat SD, termasuk tamat Madrasah Ibtidaiyah/
Paket A dan tidak tamat SLTP/ MTS.
d. Tamat SLTP/MTS. Tamat SLTP, termasuk tamat Madrasah
Tsanawiyah (MTS)/ Paket B dan tidak tamat SLTA/MA.
e. Tamat SLTA/MA. Tamat SLTA, termasuk tamat Madrasah Aliyah
(MA)/Paket C
f. Tamat D1, D2, D3, atau mahasiswa strata 1 drop-out.
g. Tamat Perguruan Tinggi, termasuk tamat Strata-1, Strata-2, Strata-3.
Dalam penelitian ini, variabel pendidikan akan dikategorikan menjadi
tidak sekolah/tidak tamat SD/MI, tamat SD/MI, tamat SLTP/MTs, tamat
SLTA/MA dan tamat perguruan tinggi.
6. Pekerjaan
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada blok 4
dengan kode B4K9. B4K9 memuat pertanyaan terkait status pekerjaan
66
66
responden yang ditujukan pada responden yang berusia ≥ 10 tahun.
Status pekerjaan dibagi dalam 4 kategori, yaitu:
a. Tidak bekerja
b. Bekerja, adalah jenis kegiatan yang menghasilkan uang
c. Sedang mencari kerja, adalah sedang mencari pekerjaan,
mempersiapkan suatu usaha, atau sudah mempunyai pekerjaan tetapi
belum mulai bekerja.
d. Sekolah, adalah kegiatan bersekolah di sekolah formal baik pada
pendidikan dasar, pendidikan menengah atau pendidikan tinggi yang
di bawah pengawasan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, atau
institusi pendidikan swasta.
Namun, pada penelitian ini status pekerjaan hanya digolongkan menjadi
bekerja dan tidak bekerja.
7. Obesitas
Variabel ini tidak secara langsung terdapat di dalam kuseioner
Riskesdas 2013. Variabel obesitas diperoleh setelah peneliti melakukan
perhitungan indeks massa tubuh yang memanfaatkan data tinggi badan
dan berat badan. Nilai indeks masa tubuh ≥ 27 kg/m2 digolongkan
sebagai obesitas.
Data berat badan diperoleh melalui kuesioner individu dengan kode
K01a dan K01b. Sedangkan, data tinggi badan diperoleh melalui
kuesioner individu dengan kode K02a dan K02b. K01a dan K02a
memuat pertanyaan “Apakah anggota rumah tangga dilakukan
67
67
pengukuran berat badan dan tinggi badan?”. Sedangkan, K01b dan K02b
memuat hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan
Pengukuran berat badan menggunakan timbangan digital Camry
berkpasitas 150 kg dan ketilitian 100 gram. Alat timbangan ini diletakkan
pada permukaan lantai yang keras dan datar. Sebelum penimbangan,
responden harus membuka alas kaki, jaket, topi dan mengeluarkan isi
kantong yang berat seperti kunci. Posisi tubuh responden juga dipastikan
benar, yaitu kaki berada di tengah-tengah timbangan tanpa menutupi
layar baca, tubuh tegap dan tenang serta pandangan lurus kedepan. Hasil
pengukuran berat badan kemudian muncul setelah angka di layar baca
statis.
Pengukuran tinggi badan menggunakan pengukur multifungsi
berkapasitas 2 meter dan ketelitian 0,1 cm. Alat ukur diletakkan di atas
permukaan lantai yang keras dan datar serta menempel pada permukaan
dinding yang rata. Sebelum pengukuran responden diminta melepaskan
alas kaki, penutup kepala/topi/peci.
Posisi responden berdiri di atas alat ukur dengan posisi
membelakangi alat ukur yang sejajar dengan dinding rumah, berdiri
tegak, pandangan lurus ke depan dan titik cuping telinga dengan ujung
mata membentuk garis imajiner yang tegak lurus terhadap dinding
belakang alat ukur (membentuk sudut 90º). Lima bagian badan yaitu
kepala, punggung, pantat, betis, dan bagian dalam tumit menempel di alat
ukur. Jika ini tidak mungkin dilakukan, minimal punggung, pantat dan
betis yang menempel pada alat ukur.
68
68
Dinding belakang alat ukur diletakkan tepat ditengah bagian
belakang responden dan alat digeser sampai menyentuh kepala bukan
rambut. Hasil pengukuran dibaca tepat pada garis jendela baca.
8. Riwayat Dabetes
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner individu Riskesdas 2013
dengan kode B12. Pertanyaan yang ditanyakan pada responden adalah
“Apakah anda pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh
dokter?”. Jawaban pertanyaan ini menentukan status riwayat diabetes
responden.
9. Aktivitas Fisik
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner individu Riskesdas 2013
dengan kode G16-G33. Sebelum menanyakan pertanyaan aktivitas fisik,
enumerator Riskesdas 2013 mengarahkan responden untuk menyebutkan
semua kegiatan mulai dari bangun pagi sampai tidur malam. Enumerator
kemudian mencatat semua kegiatan tersebut beserta waktu dan jenis
kegiatan yang dilakukan responden secara terus-menerus selama ≥10
menit dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan:
a. Pekerjaan di lingkungan kerja yang dibayar maupun yang tidak
dibayar, pekerjaan rumah tangga, memanen hasil pertanian,
memancing ikan atau berburu hewan, mencari pekerjaan, dan lain-
lain;
b. Waktu senggang termasuk olahraga dan rekreasi; dan
c. Perjalanan (jalan kaki atau naik sepeda) menuju ke tempat kerja,
pasar, tempat rekreasi.
69
69
Setelah itu, kegiatan dikelompokkan sesuai dengan jenis aktivitas
fisik dan waktu atau lama kegiatan berlangsung. Langkah-langkah ini
berlaku untuk pertanyaan G16-G33. Kartu peraga menjadi alat bantu agar
responden lebih mudah menjawab pertanyaan. Berikut ini adalah
penjelasan mengenai jenis aktivitas fisik.
a. Berat: aktivitas fisik yang memerlukan kerja fisik berat dan
menyebabkan nafas atau denyut nadi meningkat cepat.
b. Sedang: aktivitas fisik yang membutuhkan kerja fisik sedang dan
sedikit peningkatan denyut nadi atau nafas
Dalam penelitian ini, hasil ukur dari variabel aktivitas fisik
dikategorikan menjadi dua, yaitu < 600 (tidak direkomendasikan) MET
dan ≥ 600 MET (rekomendasi WHO). Kategorisasi tersebut diperoleh
dari hasil penjumlahan antara durasi beraktivitas fisik berat selama
seminggu yang dikali 8 (MET value aktivitas fisik berat) dengan durasi
beraktivitas fisik ringan selama seminggu yang dikali 4 (MET value
aktivitas fisik ringan) (WHO, 2015), seperti yang ditunjukkan pada Tabel
4.1.
Tabel 4.1
Perhitungan Skor MET Berdasarkan Kriteria Intensitas Aktivitas Fisik
Jenis
Aktivitas
Fisik
Perhitungan Aktivitas Fisik MET
Value
Hasil Ukur
(MET)
Berat Durasi
beraktivitas
(menit/hari)
x
Jumlah hari
beraktivitas
dalam seminggu
x 8
< 600 ≥ 600
Sedang 4
70
70
10. Merokok
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner individu Riskesdas 2013
dengan kode G05. Pertanyaan yang ditanyakan pada responden adalah
“Apakah anda merokok selama 1 bulan terakhir?”. Hasil ukur dari
variabel ini ada 5 kategori, tetapi akan dikode ulang oleh peneliti menjadi
3 kategori (lihat Tabel 4.3).
11. Konsumsi Makanan Asin dan Berlemak
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan kode G27A-
G27C, G27G. Pertanyaan yang ditanyakan adalah “Biasanya berapa kali
Anda mengonsumsi makanan-makanan tersebut?”. Jawaban dari
pertanyaan ini terkategori menjadi enam kategori, tetapi peneliti
melakukan pengkategorian ulang menjadi dua kategori (lihat Tabel 4.3).
12. Konsumsi Sayur dan Buah
Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan kode G24 dan
G26. Pertanyaan yang ditanyakan adalah “Berapa porsi rata-rata Anda
mengonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran dalam sehari?". Jawaban
responden jika tidak mencapai ukuran satu porsi maka digolongkan
menjadi satu porsi.
Untuk membantu responden dalam menjawab pertanyaan,
enumerator berusaha mengingatkan responden terhadap seluruh jenis
sayur-sayuran maupun buah-buahan yang ada di Indonesia. Selain itu,
ada kartu peraga sebagai alat bantu untuk mendapatkan gambaran besar
porsi dalam satu sajian.
71
71
F. Manajemen Pengumpulan Data
Manajemen data tetap dilakukan untuk penelitian ini dengan rincian kegiatan
sebagai berikut.
1. Filter
Peneliti mengoreksi kelengkapan dan keseusaian data yang diperoleh dari
Balitbangkes dengan data yang dibutuhkan peneliti. Berikut ini adalah
daftar data yang dibutuhkan dalam penelitian ini.
Tabel 4.2
Daftar Variabel dan Kuesioner
No. Variabel Kode Kuesioner
1. Hipertensi K05A-K07C RKD13.IND
2. Tempat Tinggal B1R5 RKD13.RT
3. Jenis Kelamin B4K4 RKD13.RT
4. Umur B4K7THN RKD13.RT
5. Pendidikan B4K10 RKD13.RT
6. Pekerjaan B4K9 RKD13.RT
7. Obesitas K01A-K02B RKD13.IND
8. Riwayat Diabetes B12 RKD13.IND
9. Aktivitas Fisik G16-G22MNT RKD13.IND
10. Kebiasaan Merokok G05 RKD13.IND
11. Konsumsi Makanan Asin G27B RKD13.IND
12. Konsumsi Makanan Berlemak G27C RKD13.IND
13. Konsumsi Sayur G24 RKD13.IND
14. Konsumsi Buah G26 RKD13.IND
15. Status Kehamilan B4K11 RKD13.RT
2. Cleaning Data
Peneliti menghilangkan/mengeluarkan data ibu hamil melalui
variabel status kehamilan. Selain menyeleksi ibu hamil, penyeleksian
juga dilakukan terhadap missing data dan/atau nilai ekstrim dari variabel
dependen, yaitu variabel tekanan darah yang digunakan dalam penentuan
72
72
status hipertensi. Bagan 4.1 menjelaskan alur penyeleksian data ibu hamil
dan missing data ataupun nilai ekstrim pada variabel tekanan darah.
Bagan 4.1
Alur Penyeleksian Data
Hasil akhir penyeleksian data menunjukkan bahwa idealnya ada
616.986 data yang dapat dianalisis. Namun, ada dua variabel independen
yang mengandung missing data maupun nilai ekstrim, yaitu variabel
umur dan obesitas. Agar tidak mengurangi validitas dalam analisis
variabel independen yang lain, penyeleksian missing data maupun nilai
ekstrim hanya dilakukan saat menganalisis variabel umur dan obesitas.
Oleh karena itu, jumlah sampel yang dapat digunakan saat menganalisis
variabel umur dan obesitas pun berbeda dengan jumlah sampel ideal
yang berlaku pada variabel-variabel independen lain yang tidak terdapat
missing data dan nilai ekstrim. Tabel 4.3 menunjukkan perbedaan
tersebut
Sampel = 722.329 Ibu hamil
n = 71.401
Laki-laki dan perempuan tidak hamil
n = 650.928
Tidak diukur tekanan
darah pertama
n = 4.560
Diukur tekanan darah
pertama
n = 646.368
Diukur tekanan darah
kedua
n = 616.986
Tidak diukur tekanan
darah kedua
n = 29.382
Kota
n = 287.476
Desa
n = 329.510
73
73
Tabel 4.3
Jumlah Sampel Hasil Penyeleksian Data
No. Variabel Data yang terseleksi akibat: Jumlah
Sampel
(n) Missing Data Nilai Esktrim
1. Umur 0 3 616.983
2. Jenis Kelamin 0 0 616.986
3. Pendidikan 0 0 616.986
4. Pekerjaan 0 0 616.986
5. Obesitas 3.507 0 613.479
6. Riwayat Diabetes Melitus 0 0 616.986
7. Kebiasaan Merokok 0 0 616.986
8. Aktivitas Fisik 0 0 616.986
9. Konsumsi Makanan Asin 0 0 616.986
10. Konsumsi Makanan Berlemak 0 0 616.986
11. Konsumsi Sayur 0 0 616.986
12. Konsumsi Buah 0 0 616.986
3. Coding Data
Pada tahap ini peneliti membuat kode baru ataupun melakukan
pengkodean ulang terhadap variabel yang membutuhkan perubahan
kategori sesuai dengan kebutuhan analisis. Variabel umur, aktivitas fisik,
konsumsi sayur dan buah, berat badan dan tinggi badan akan dibuat kode
baru karena merupakan data numerik yang perlu diubah menjadi data
kategorik. Sedangkan, variabel pekerjaan, pendidikan, kebiasaan
merokok, aktivitas fisik, konsumsi makanan asin dan makanan berlemak
akan dilakukan pengkodean ulang sesuai dengan definisi operasional
penelitian ini. Tabel 4.4 menjelaskan pengkodean yang dilakukan
peneliti.
74
74
Tabel 4.4
Pengkodean Baru dan Pengkodean Ulang Data Riskesdas 2013
No. Variabel Kode Awal Kode Akhir Keterangan
1. Umur Data numerik 0. ≥ 65 tahun
1. 55-64 tahun
2. 45-54 tahun
3. 35-44 tahun
4. 25-34 tahun
5. 15-24 tahun
Kategoorisasi data
numerik
2. Pendidikan 1. Tidak sekolah/belum
pernah sekolah
2. Tidak tamat SD/MI
3. Tamat SD/MI
4. Tamat SLTP/MTs
5. Tamat SLTA/MA
6. Tamat D1, D2, D3
7. Tamat perguruan tinggi
0. Tidak
sekolah/Tidak
tamat SD/MI
1. Tamat SD/MI
2. Tamat
SLTP/MTs
3. Tamat
SLTA/MA
4. Tamat
perguruan tinggi
Penggabungan kategori
tidak sekolah (1) dan
tidak tamat SD/MI (2)
menjadi satu kategori,
yaitu “tidak
sekolah/tidak tamat
SD/MI” (0)
Penggabungan kategori
tamat D1, D2, D3 (6)
dengan kategori tamat
perguruan tinggi (7)
menjadi “tamat
perguruan tinggi (4)
3. Pekerjaan Status Pekerjaan
1. Tidak bekerja
2. Bekerja
3. Sedang menjari
pekerjaan
4. Sekolah
0. Tidak Bekerja
1. Bekerja
Penggabungan kategori
“sedang mencari
pekerjaan” (3) dan
“sekolah” (4) menjadi
“tidak bekerja” (1)
4. Obesitas Data numerik 0. Ya
1. Tidak
Kategoorisasi data hasil
perhitungan data berat
badan dan tinggi badan
brupa nilai indeks masa
tubuh
5. Kebiasaan
Merokok
1. Ya, setiap hari
2. Ya, kadang-kadang
3. Tidak, namun
sebelumnya pernah
merokok tiap hari
4. Tidak, namun
sebelumnya pernah
merokok kadang-kadang
5. Tidak pernah sama
sekali
0. Merokok
1. Pernah merokok
2. Tidak pernah
merokok
Pengkodean ulang
terhadap kode awal 1
dan 2 digabungkan
menjadi “merokok” (0),
kode 3 dan 4
digabungkan menjadi
“pernah merokok” (1)
6. Aktivitas
Fisik
Data Numerik 0. < 600 MET
1. ≥ 600 MET
Kategorisasi data
numerik
7. Konsumsi
Makanan
1. >1 kali/hari
2. 1 kali/hari
0. ≥1 kali/hari
1. <1 kali/hari
Pengkodean ulang
terhadap kode awal 1
75
75
No. Variabel Kode Awal Kode Akhir Keterangan
Asin 3. 3-6 kali/minggu
4. 1-2 kali/minggu
5. <3 kali/bulan
6. Tidak pernah
dan 2 yang digabungkan
menjadi satu kode, yaitu
“0“ (≥1 kali/hari) dan
kode awal 3-6
digabungkan menjadi
satu kode, yaitu, “1” (<1
kali/hari)
8.
Konsumsi
Makanan
Berlemak
1. >1 kali/hari
2. 1 kali/hari
3. 3-6 kali/minggu
4. 1-2 kali/minggu
5. <3 kali/bulan
6. Tidak pernah
0. ≥1 kali/hari
1. <1 kali/hari
Pengkodean ulang
terhadap kode awal 1
dan 2 yang digabungkan
menjadi satu kode, yaitu
“0“ (≥1 kali/hari) dank
ode awal 3-6
digabungkan menjadi
satu kode, yaitu, “1” (<1
kali/hari)
9. Konsumsi
Sayur
Data Numerik 0. <3 porsi/hari
1. ≥3 porsi/hari
Kategoorisasi data
numerik
10. Konsumsi
Buah
Data Numerik 0. <2 porsi/hari
1. ≥2 porsi/hari
Kategoorisasi data
numerik
G. Analisa Data
Analis data penelitian ini akan diawali dengan analisis univariat terhadap
variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu variabel hipertensi,
jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, obesitas, riwayat
diabetes, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi maknan asin,
konsumsi makanan berlemak dan konsumsi sayur dan buah. Semua variabel
tersebut ditampilkan dalam satu tabel yang memuat jumlah dan presentasi
dari masing-masing variabel.
Selanjutnya, analisis bivariat dengan uji chi-square dilakukan untuk
melihat hubungan antara variabel jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan,
obesitas, riwayat diabetes, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi
makanan asin, konsumsi makanan berlemak, konsumsi sayur dan buah
dengan hipertensi pada masing-masing wilayah tinggal (desa/kota).
76
76
Penentuan adanya hubungan dan risiko antara variabel independen dengan
dependen ditentukan berdasarkan nilai prevalence odds ratio (POR) dan
confidence interval (CI). Hasil analisis ini disajikan dalam bentuk tabel yang
memuat persentase, POR dan 95% CI.
Nilai POR memiliki makna tertentu yang ditentukan sebagai berikut
(Merrill, 2011; Webb P. dan Bain C., 2011).
1. Jika nilai POR > 1 maka terdapat hubungan antara faktor risiko atau
pajanan dengan dampak atau penyakit dan faktor risiko akan
meningkatkan risiko orang yang terpajan faktor risiko untuk terkena
penyakit.
2. Jika nilai POR = 1 maka tidak ada hubungan yang bermakna antara
faktor risiko dengan penyakit
3. Jika nilai POR < 1 maka terdapat hubungan antara faktor risiko atau
pajanan dengan dampak atau penyakit dan faktor risiko akan menurunkan
risiko orang yang terpajan faktor risiko untuk terkena penyakit.
Interpretasi nilai POR juga harus diiringi dengan nilai 95% CI, dimana ketika
nilai antara lower limit dengan upper limit 95% CI mengandung angka 1
maka tidak ada hubungan yang bermakna antara faktor risiko atau pajanan
penyakit dengan dampak atau penyakit (Katz, 2006).
77
77
BAB V
HASIL
A. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Karakteristik
Sosiodemografi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun
2013
Tabel 5.1
Proporsi Hipertensi Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografi di
Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013
Variabel
Kota Desa
Hipertensi Normal Hipertensi Normal
n % n % n % n %
Jenis Kelamin
Perempuan 31070 45,26 10947 47,96 33878 45,98 118055 46,14
Laki-laki 37574 54,74 113885 52,04 39798 54,02 137779 53,85
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00
Umur (tahun)
≥ 65 5993 8,73 4547 2,08 7649 10,38 6918 2,70
55-64 7993 11,64 9935 4,54 8351 11,34 12772 4,99
45-54 22789 33,20 36606 16,73 22431 30,45 43149 16,87
35-44 18165 26,46 51980 23,75 19577 26,57 62788 24,54
25-34 10179 14,83 62997 28,79 11523 15,64 73716 28,81
15-24 3525 5,14 52764 24,11 4142 5,62 56488 22,08
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255831 100,00
Pendidikan
Tidak Sekolah/Tidak
tamat SD/MI 9327 13,59 18291 8,36 20227 27,45 49973 19,53
Tamat SD/MI 18152 26,44 43087 19,69 28965 39,31 19,53 33,61
Tamat SLTP/MTs 12167 17,72 51550 23,56 11384 15,45 59929 23,42
Tamat SLTA/MA 21179 30,85 80605 36,83 10224 13,88 49811 19,47
Tamat perguruan
tinggi 7819 11,39 25299 11,56 2876 3,90 10127 3,96
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00
Pekerjaan
Tidak Bekerja 26033 37,92 91648 41,88 23163 31,44 92955 36,33
Bekerja 42611 62,07 127184 58,12 50513 68,56 162879 63,67
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa proporsi kejadian hipertensi lebih tinggi
pada laki-laki (kota: 54,74% dan desa: 54,02%) dibandingkan perempuan
(kota: 45,26% dan desa: 45,98%), baik di perkotaan maupun pedesaan.
78
78
Proporsi laki-laki di perkotaan yang mengalami hipertensi lebih besar
dibandingkan laki-laki di pedesaan yang mengalami hipertensi. Sebaliknya,
proporsi perempuan yang mengalami hipertensi justru lebih besar di
pedesaan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa sekitar 30-33% masyarakat kota dan
desa yang mengalami hipertensi termasuk dalam kelompok umur 45-54
tahun. Namun, proporsi hipertensi pada masyarakat usia 45-54 tahun lebih
tinggi di wilayah perkotaan (33,20%) dibandingkan pedesaan (30,45%).
Walaupun begitu, secara keseluruhan proporsi hipertensi pada setiap
kelompok umur cenderung lebih tinggi di pedesaan.
Selain itu, proporsi hipertensi berdasarkan tingkat pendidikan di
perkotaan lebih tinggi pada masyarakat tamatan SLTA/MA (30,85%).
Sedangkan di pedesaan, proporsi hipertensi lebih tinggi pada masyarakat
tamatan SD/MI (39,31%).
Tabel 5.1 juga menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat perkotaan
dan pedesaan yang mengalami hipertensi adalah pekerja (62,07% dan
68,56%) dan proporsinya lebih tinggi di desa dibandingkan di kota.
Sebaliknya, proporsi hipertensi pada masyarakat kota yang tidak bekerja
(37,92%) lebih tinggi dibandingkan proporsi masyarakat desa yang tidak
bekerja (31,44%).
79
79
B. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Faktor Fisik dan Riwayat
Penyakit Masyarakat di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia
Tahun 2013
Berdasarkan Tabel 5.2 diketahui bahwa 30,28% penderita hipertensi di
perkotaan mengalami obesitas. Persentase tersebut pun lebih tinggi
dibandingkan di desa, yaitu 20,67%. Proporsi masyarakat kota yang
mengalami hipertensi dan memiliki riwayat diabetes pun lebih tinggi (3,97%)
dibandingkan masyarakat desa yang mengalami hipertensi dan memiliki
riwayat diabetes (1,96%).
Tabel 5.2
Proporsi Hipertensi Berdasarkan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit
Masyarakat di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013
Variabel
Kota Desa
Hipertensi Normal Hipertensi Normal
n % n % n % n %
Obesitas
Ya 20609 30,28 28682 13,15 15062 20,67 22028 8,66
Tidak 47447 69,72 189424 86,85 57817 79,33 232410 80,09
Jumlah 68056 100,00 218106 100,00 72879 100,00 254438 100,00
Riwayat Diabetes
Ya 2727 3,97 2774 1,27 1442 1,96 1901 0,74
Tidak 65917 96,03 216058 98,73 72234 98,04 253922 99,26
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00
C. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah
Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013
Tabel 5.3
Proporsi Hipertensi Berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah Perkotaan dan
Pedesaan Indonesia Tahun 2013
Variabel
Kota Desa
Hipertensi Normal Hipertensi Normal
n % n % n % n %
Aktifitas Fisik
< 600 MET/minggu 9258 13,53 28354 12,96 7562 10,26 22544 8,81
≥ 600 MET/minggu 59359 86,47 190478 87,04 66114 89,74 233290 91,88
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00
Kebiasaan Merokok
Merokok 21848 31,83 70985 32,44 25686 34,86 93313 36,47
Pernah Merokok 6137 8,94 9771 4,46 5234 7,10 9268 3,62
Tidak pernah merokok 40659 59,23 138076 63,10 42756 58,03 153253 59,90
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00
80
80
Variabel
Kota Desa
Hipertensi Normal Hipertensi Normal
n % n % n % n %
Konsumsi Makanan
Asin
≥ 1 kali/hari 14378 20,95 46948 21,45 16705 22,67 56778 22,19
< 1 kali/hari 54266 79,05 171884 76,12 56971 77,33 199056 77,81
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00
Konsumsi Makanan
Berlemak
≥ 1 kali/hari 25918 37,76 83538 38,17 22879 31,05 77020 30,10
< 1 kali/hari 42726 62,24 135294 61,83 50797 68,95 178814 69,89
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00
Konsumsi Sayur
< 3 porsi/hari 50443 73,49 162894 74,44 54985 74,63 190638 74,52
≥ 3 porsi/hari 18201 26,52 55938 25,56 18691 25,37 65196 25,48
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00
Konsumsi Buah
< 2 porsi/hari 67286 98,02 215266 98,37 73023 99,11 253829 99,22
≥ 2 porsi/hari 1358 1,98 3566 1,63 653 0,89 2005 0,78
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa sebagian besar penderita hipertensi baik
di kota maupun desa memiliki aktivitas fisik ≥ 600 MET, tidak pernah
merokok, konsumsi makanan asin < 1 kali per hari, konsumsi makanan
berlemak < 1 kali/hari, konsumsi sayur ≥ 3 kali/hari dan konsumsi buah ≥ 2
porsi/hari. Namun, persentase penderita hipertensi yang memiliki aktivitas
fisik < 600 MET dan konsumsi makanan berlemak > 1 kali/hari lebih tinggi
di kota (13,53% dan 37,76%) dibandingkan di desa (10,26% dan 31,05%).
Sebaliknya, persentase penderita hipertensi yang merokok, mengonsumsi
makanan asin > 1 kali/hari, konsumsi sayur < 3 porsi/hari dan konsumsi buah
< 2 porsi/hari justru lebih tinggi di desa (34,86%, 22,67%, 74,63% dan
99,11% secara berturut-turut) dibandingkan di kota (31,83%, 20,95%,
73,46% dan 98,02% secara berturut-turut).
81
81
D. Hubungan Faktor Sosiodemografi dengan Hipertensi di Wilayah
Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013
Ada tidaknya hbungan antara faktor sosiodemografi, gaya hidup, fisik
dan riwayat penyakit ditentukan melalui nilai POR dan 95% CI. Hasil analisis
menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan hipertensi di
perkotaan (95% CI: 0,882-0,913). Namun, nilai POR menunjukkan bahwa
jenis kelamin perempuan menjadi faktor protektif hipertensi. Sebaliknya,
jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian hipertensi di pedesaan
(95% CI 0,977-1,010).
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa umur berhubungan dengan kejadian
hipertensi di perkotaan maupun di pedesaan. Selain itu, risiko hipertensi juga
semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur. Untuk kelompok
umur ≥ 65 tahun, risikonya mencapai 19,729 kali (95% CI: 18,739-20,771)
pada masyarakat kota dan 17,318 kali (95% CI: 14,411-15,778) pada
masyarakat desa. Jika diperbandingkan risiko setiap kelompok umur antara di
perkotaan dengan pedesaan maka diketahui risiko hipertensi pada setiap
kelompok umur di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan.
Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa pendidikan merupakan
Faktor sosiodemografi yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah
perkotaan maupun pedesaan. Namun, hanya tingkat pendidikan “tidak
sekolah/tidak tamat SD/MI” dan “tamat SD/MI” yang memiliki nilai POR >
1, baik di perkotaan (POR = 1,65 dan POR = 1,363) maupun pedesaan (POR=
1,425 dan POR = 1,186). Artinya, tingkat pendidikan “tidak sekolah/tidak
tamat SD/MI” dan “tamat SD/MI” dapat meningkatkan risiko hipertensi di
perkotaan maupun pedesaan.
82
Secara statistik, faktor pekerjaan juga berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun pedesaan (95% CI: 0,833-0,863
dan 95% CI: 0,790-0,818). Namun, nilai POR keduanya menunjukkan penurunan risiko hipertensi.
Tabel 5.4
Hubungan Faktor Sosiodemografi dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013
Variabel
Kota Desa
Hipertensi Normal Jumlah POR 95%CI
Hipertensi Normal Jumlah POR 95%CI
n % n % n % n %
Jenis Kelamin
Perempuan 31070 22,8 10947 77,2 136017 0,897 0,882-0,913 33878 22,3 118055 77,7 151933 0,993 0,977-1,010
Laki-laki 37574 24,8 113885 75,2 151459 1,000 Reference 39798 22,4 137779 77,6 177577 1,000 Reference
Umur (tahun)
≥ 65 5993 56,9 4547 43,1 10540 19,729 18,739-20,771 7649 52,5 6918 47,5 14567 15,079 14,411-15,778
55-64 7993 44,6 9935 55,4 17928 12,043 11,512-12,598 8351 39,5 12772 60,5 21123 8,917 8,551-9,299
45-54 22789 38,4 36606 61,6 59395 9,319 8,972-9,679 22431 34,2 43149 65,8 65580 7,090 6,843-7,345
35-44 18165 25,9 51980 74,1 70145 5,231 5,036-5,434 19577 23,8 62788 76,2 82365 4,252 4,104-4,405
25-34 10179 13,9 62997 86,1 73176 2,419 2,324-2,517 11523 13,5 73716 86,5 85239 2,132 2,054-2,213
15-24 3525 6,3 52764 93,7 56292 1,000 Reference 4142 6,8 56488 93,2 60630 1,000 Reference
Pendidikan
Tidak
Sekolah/Tidak
tamat SD/MI
9327 33,8 18291 66,2 27618 1,650 1,592-1,710 20227 28,8 49973 71,2 70200 1,425 1,363-1,490
Tamat SD/MI 18152 29,6 43087 70,4 61239 1,363 1,322-1,406 28965 25,2 85994 74,8 114959 1,186 1,136-1,239
Tamat SLTP/MTs 12167 19,1 51550 80,9 63717 0,764 0,740-0,789 11384 16,0 59929 84,0 71313 0,669 0,639-0,700
Tamat SLTA/MA 21179 20,8 80605 79,2 101784 0,850 0,825-0,876 10224 17,0 49811 83,0 60035 0,723 0,690-0,757
Tamat perguruan
tinggi 7819 23,6 25299 76,4 33118 1,000 Reference 2876 22,1 10127 77,9 13003 1,000 Reference
Pekerjaan
Tidak Bekerja 26033 22,1 91648 77,9 117681 0,848 0,833-0,863 23163 19,9 92955 80,1 116118 0,803 0,790-0,818
Bekerja 42611 25,1 127184 74,9 169795 1,000 Reference 50513 23,7 162879 76,3 213392 1,000 Reference
83
E. Hubungan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013
Tabel 5.5
Hubungan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013
Variabel
Kota Desa
Hipertensi Normal Jumlah POR 95%CI
Hipertensi Normal Jumlah POR 95%CI
n % n % n % n %
Obesitas
Ya 20609 41,8 28682 58,2 49291 2,869 2,810-2,928 15062 40,6 22028 59,4 37090 2,749 2,687-2,811
Tidak 47447 20,0 189424 80,0 236871 1,000 Reference 57817 19,9 232410 80,1 290227 1,000 Reference
Riwayat Diabetes
Ya 2727 49,6 2774 50,4 5501 3,222 3,054-3,400 1442 43,1 1901 56,9 3343 2,667 2,489-2,857
Tidak 65917 23,4 216058 76,6 281975 1,000 Reference 72234 22,1 253922 77,9 326167 1,000 Reference
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa obesitas dan riwayat diabetes berhubungan dengan kejadian hipertensi di wilayah perkotaan
maupun pedesaan. Masyarakat kota yang memiliki riwayat diabetes berisiko 3,222 kali (95% CI: 3,054-3,400) mengalami
hipertensi. Sedangkan di pedesaan risikonya lebih rendah, yaitu 2,667 kali (95% CI: 2,489-2,857). Masyarakat kota yang
obesitas pun berisiko 2,868 kali (95% CI: 2,810-2,928) mengalami hipertensi dan risiko masyarakat desa sedikit lebih rendah,
yaitu 2,749 (95% CI: 2,687-2,811).
84
F. Hubungan Faktor Gaya Hidup dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013
Tabel 5.6
Hubungan Faktor Gaya Hidup dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013
Variabel
Kota Desa
Hipertensi Normal Jumlah POR 95%CI
Hipertensi Normal Jumlah POR 95%CI
n % n % n % n %
Aktifitas Fisik
< 600 MET/minggu 9258 24,7 28354 75,3 37639 1,051 1,025-1,078 7562 25,1 22544 74,9 30106 1,184 1,152-1,217
≥ 600 MET/minggu 59359 23,8 190478 76,2 249837 1,000 Reference 66114 22,1 233290 77,9 299404 1,000 Reference
Kebiasaan Merokok
Merokok 21848 23,5 70985 76,5 92833 1,045 1,026-1,065 25686 21,6 93313 78,4 118999 0,987 0,970-1,004
Pernah Merokok 6137 38,6 9771 61,4 15908 2,133 2,062-2,206 5234 36,1 9268 63,9 14502 2,024 1,954-2,097
Tidak pernah merokok 40659 22,7 138076 77,3 178735 1,000 Reference 42756 21,8 153253 78,2 196009 1,000 Reference
Konsumsi Makanan
Asin
≥ 1 kali/hari 14378 23,4 46948 76,6 61326 0,970 0,950-0,991 16705 22,7 56778 77,3 73483 1,028 1,008-1,048
< 1 kali/hari 54266 24,0 171884 76,0 226150 1,000 Reference 56971 22,3 199056 77,7 256027 1,000 Reference
Konsumsi Makanan
Berlemak
≥ 1 kali/hari 25918 23,7 83538 76,3 109456 0,982 0,965-1,000 22879 22,9 77,1 30,10 99899 1,046 1,027-1,064
< 1 kali/hari 42726 24,0 135294 76,0 178020 1,000 Reference 50797 22,1 77,9 69,89 229611 1,000 Reference
Konsumsi Sayur
< 3 porsi/hari 50443 23,6 162894 76,3 213337 0,952 0,933-0,970 54985 22,4 190638 77,6 245623 1,006 0,987-1,025
≥ 3 porsi/hari 18201 24,5 55938 75,5 74139 1,000 Reference 18691 22,3 65196 77,7 83887 1,000 Reference
Konsumsi Buah
< 2 porsi/hari 67286 23,8 215266 76,2 282552 0,821 0,771-0,874 73023 22,3 253829 77,7 326852 0,883 0,808-0,965
≥ 2 porsi/hari 1358 27,6 3566 72,4 4924 1,000 Reference 653 24,6 2005 75,6 2658 1,000 Reference
85
Berasarkan Tabel 5.6 diketahui bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan
hipertensi, baik di perkotaan maupun pedesaan. Namun, masyarakat desa dengan
aktivitas fisik < 600 MET/minggu memiliki risiko lebih besar untuk mengalami
hipertensi dibandingkan masyarakat kota. Aktivitas fisik < 600 MET/minggu
meningkatkan risiko hipertensi di perkotaan sebesar 1,051 kali (95% CI: 1,025-
1,078) dibandingkan aktivitas fsik ≥ 600 MET/minggu. Sedangkan di pedesaan,
aktivitas fisik < 600 MET/minggu meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,184
kali (95% CI: 1,152-1,217) dibandingkan aktivitas fsik ≥ 600 MET/minggu.
Hasil analisis menunjukkan bahwa status pernah merokok berhubungan
dengan hipertensi di perkotaan maupun di pedesaan. Masyarakat perkotaan yang
pernah merokok berisiko 2,133 kali (95% CI: 2,06-2,21) mengalami hipertensi
dibandingkan yang tidak pernah merokok. Sedangkan, risiko masyarakat desa
yang pernah merokok sedikit lebih kecil, yaitu 2,024 kali (95% CI: 1,95-2,10).
Sedangkan, masyarakat kota maupun desa yang merupakan perokok tidak
memiliki risiko hipertensi yang signifikan (PORkota = 1,045 dan PORdesa = 0,987).
Secara statistik, status merokok bahkan tidak berhubungan dengan hipertensi.
Konsumsi makanan asin dan konsumsi makanan berlemak juga merupakan
faktor gaya hidup yang menunjukkan hubungan dengan kejadin hipertensi, baik di
perkotaan maupun pedesaan. Di pedesaan, masyarakat yang mengonsumsi
makanan asin ≥ 1 kali/hari berisiko 1,028 kali (95% CI: 1,008-1,048) untuk
mengalami hipertensi. Sedangkan, masyarakat kota yang mengonsumsi makanan
asin ≥ 1 kali/hari dapat terlindungi dari hipertensi (POR = 0,970).
Masyarakat pedesaan yang mengonsumsi makanan berlemak ≥ 1 kali/hari
berisiko mengalami hipertensi sebesar 1,046 kali (95% CI: 1,027-1,064).
86
Sedangkan, konsumsi makanan berlemak ≥ 1 kali/hari tidak berhubungan dengan
hipertensi pada masyarakat kota (95% CI: 0,965-1,000).
Konsumsi sayur < 3 porsi/hari pun tidak berhubungan dengan hipertensi
(95% CI: 0,987-1,064) di wilayah pedesaan. Ada hubungan antara konsumsi sayur
< 3 porsi/hari dengan hipertensi di wilayah perkotaan (95% CI 0,933-0,970),
walaupun nilai POR menunjukkan penurunan risiko hipertensi. Di wilayah
perkotaan dan pedesaan, konsumsi buah < 3 porsi/hari secara statistik juga
memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi walaupun nilai POR justru
menunjukkan bahwa konsumsi buah < 3 porsi/hari dapat meningkatkan risiko
hipertensi (PORkota = 0,281, 95% CI: 0,771-0,874) dan PORdesa = 0,883, 95% CI:
0,808-0,965).
87
BAB VI
PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki berbagai keterbatasan yang kemudian
berpengaruh terhadap hasil penelitian. Penggunaan data sekunder Riskesdas
2013 sebagai bahan analisis membuat peneliti terbatas untuk meminimalisasi
bias, terutama bias informasi yang terjadi saat pengumpulan data. Adapun
pengontrolan bias yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan melakukan
cleaning data terhadap missing data dan nilai ekstrim. Selain itu,
pengontrolan terhadap confounding juga dilakukan peneliti, yaitu dengan
mengeksklusi perempuan yang sedang hamil ketika Riskesdas 2013
berlangsung. Pengelola Riskesdas 2013 juga telah melakukan upaya untuk
menjaga kualitas data, di antaranya dengan melakukan pelatihan terhadap
enumerator. Para enumerator yang direkrut juga dipastikan berlatar belakang
pendidikan di bidang kesehatan. Berikut ini adalah penjelasan terkait
beebrapa penyebab bias dalam penelitian ini.
1. Banyak dan beragamnya jenis aktivitas fisik yang dilakukan seseorang
membuat faktor lupa tidak dapat dihindari pada saat wawancara terkait
aktivitas fisik. Faktor lupa juga menjadi penyebab bias dalam
pengumpulan data kebiasaan merokok, terutama terkait waktu pertama
kali merokok sehingga cukup berisiko untuk menambahkan variabel
lama menjadi perokok dalam penelitian. Enumerator Riskesdas berusaha
mengatasi penyebab bias ini dengan melakukan probing.
88
2. Pengukuran aktivitas fisik juga tidak mempertimbangkan aktivitas fisik
yang dilakukan karena pekerjaan ataupun yang dilakukan karena bentuk
dari aktivitas sehari-hari.
3. Pengukuran pola konsumsi dilakukan berdasarkan frekuensi makan yang
kurang spesifik dan kategori pilihan jawabannya cukup sulit untuk
dimengerti. Selain itu jenis makanan yang ditanyakan masih umum.
Upaya yang telah dilakukan untuk mengontrol bias ini adalah dengan
bertanya sebanyak mungkin jenis, frekuensi dan porsi makanan yang
dikonsumsi dengan bantuan kartu peraga.
4. Pengukuran tekanan darah hanya dilakukan pada satu kali kunjungan
sehingga penentuan status hipertensi menjadi bias. Selain itu, pengukuran
tekanan darah menggunakan spignomanometer digital yang validitasnya
lebih rendah dibandingkan menggunakan spignomanometer raksa.
Namun, enumerator meminimalisasi bias ini dengan pengkalibrasian alat.
5. Penentuan wilayah desa-kota dalam Riskesdas 2013 mengikuti ketentuan
yang telah ditetapkan BPS sehingga tidak diketahui dengan pasti
indikator yang digunakan dan apakah indikator tersebut dapat diterapkan
untuk seluruh wilayah di Indonesia atau tidak. Kriteria desa/kota pada
Riskesdas tidak memiliki tingkatan sehingga menjadi bias karena tidak
semua desa merupakan desa tertinggal.
89
B. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah
Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013
1. Faktor Sosiodemografi
a. Jenis kelamin
Perempuan rentan mengalami hipertensi karena peran hormon
estrogen. Hormon estrogen berperan dalam proteksi tekanan darah
istirahat ketika adanya aktivitas saraf simpatis akibat dari
peningkatan aktivitas saraf simpatis otot. Pada perempuan yang
berusia > 40 tahun, produksi estrogen mulai menurun sehingga
perlindungan terhadap tekanan darah ketika ada aktivitas saraf
simpatis pun berkurang. Oleh karena itu, prevalensi ataupun risiko
hipertensi akan meningkat pada perempuan yang telah menopouse
(Robertson, 2012).
Hasil penelitian Moreira dkk. (2013) di Brazil menunjukkan
risiko hipertensi di wilayah perkotaan maupun pedesaan lebih tinggi
pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, penelitian
di pedesaan Liaoning Cina menunjukkan perempuan berisiko 1,293
mengalami hipertensi dibandingkan laki-laki (Xu dkk., 2008).
Penelitian di perkotaan India juga menunjukkan prevalensi hipertensi
lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (Prabhakaran
dkk., 2007).
Namun, hasil analisis penelitian ini menunjukkan hal yang
berbeda. Persentase hipertensi lebih tinggi pada laki-laki-laki
dibandingkan perempuan, baik di wilayah perkotaan maupun
pedesaan. Selain itu, tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan
90
hipertensi di wilayah pedesaan. Sedangkan di perkotaan, jenis
kelamin berhubungan dengan hipertensi, tetapi nilai POR
menunjukkan faktor protektif terhadap hipertensi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa prevalensi ataupun
risiko hipertensi justru lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Di Chennai, prevalensi hipertensi pada laki-laki sebesar
23,2% sedangkan perempuan 17,1% (Mohan, 2007). Penelitian di
wilayah rural Thailand juga menunjukkan bahwa rata-rata tekanan
darah sistolik maupun diastolik lebih tinggi pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan (Howteerakul dkk., 2006).
Peer dkk. (2013) dalam penelitiannya berasumsi bahwa
perempuan lebih sering mengunjungi tempat pelayanan kesehatan
untuk keperluan kesehatan Ibu dan anak sehingga mereka memiliki
kesempatan memperoleh penanganan hipertensi lebih besar.
Sedangkan, laki-laki lebih peduli terhadap urusan pekerjaan daripada
mengunjungi pelayanan kesehatan, terutama ketika jam kerja masih
berlangsung.
Penelitian Howteerakul dkk. (2006) juga menjelaskan bahwa
laki-laki berusia <50 tahun lebih berisiko mengalami hipertensi
dibandingkan perempuan pada usia yang sama. Hal ini karena laki-
laki cenderung lebih sering terpapar oleh perilaku berisiko
hipertensi, seperti konsumsi alkohol dan rokok.
Hasil perbandingan persentase antara perempuan dengan laki-
laki yang memiliki aktivitas fisik < 600 MET/minggu menunjukkan
91
bahwa persentase laki-laki yang beraktivitas fisik < 600
MET/minggu lebih besar dibandingkan perempuan, yaitu 57,2% di
perkotaan dan 55,9% di pedesaan. Hasil perbandingan antara
persentase perempuan dengan laki-laki perokok juga menunjukkan
bahwa baik di perkotaan maupun pedesaan, persentase perokok lebih
tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Setelah dilakukan perbandingan persentase lak-laki dan
perempuan berdasarkan aktivitas fisik dan kebiasaan merokok
diketahui bahwa laki-laki memang cenderung berperilaku berisiko
hipertensi baik di kota maupun di desa. Perbedaan risiko hipertensi
lebih ditentukan oleh faktor gaya hidup dimana baik perempuan
maupun laki-laki dapat berisiko mengalami hipertensi karena gaya
hidup yang diterapkan berisiko menimbulkan hipertensi. Artinya,
jenis kelamin cenderung tidak memberikan perbedaan risiko
hipertensi di wilayah perkotaan maupun pedesaan.
Berdasarkan hasil pembahasan terkait hubungan antara jenis
kelamin dengan hipertensi dapat diketahui laki-laki lebih berisiko
mengalami hipertensi karena gaya hidup berisiko hipertensi yang
diterapkannya. Dalam buku Pedoman Teknis Penemuan dan
Tatalaksana Hipertensi, Kementerian Kesehatan RI menganjurkan
agar dilakukan pengendalian faktor risiko hipertensi melalui promosi
kesehatan (Kemenkes RI, 2013). Oleh karena itu, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota perlu melakukan edukasi terkait bahaya dan faktor
risiko hipertensi pada mayarakat di perkotaan maupun pedesaan.
92
Edukasi terkait hipertensi dan skrining penyakit jantung dan
pembuluh darah (PJPD) di tempat kerja juga dapat menjadi salah
satu solusi penanggulangan hipertensi di masyarakat, terutama laki-
laki di perkotaan.
b. Umur
Umur merupakan karakteristik sosiodemografi yang berperan
terhadap kejadian hipertensi. Hal ini karena seiring pertambahan usia
terjadi penumpukan kolagen dan hipertropi sel otot halus yang tipis,
berfragmen dan patahan dari serat elastin pembuluh darah.
Akibatnya, abnormalitas struktural berupa disfungsi endotel yang
meningkatkan kekakuan pembuluh arteri tidak dapat dihindari. Oleh
karena itu, elastisitas pembuluh darah arteri menjadi berkurang
(Black dkk., 2007).
Hasil peneltian ini menunjukkan fakta yang kurang sesuai
dengan teori dimana sebagian besar masyarakat Indonesia yang
mengalami hipertensi, baik di kota maupun desa, berusia 45-54
tahun. Hal ini diduga terjadi karena pengaruh jumlah responden yang
diteliti juga sebagian besar berusia 45-54 tahun. Namun, secara
statistik umur berhubungan dengan hipertensi dan risiko hipertensi
semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur.
Risiko hipertensi pun paling besar ditunjukkan pada kelompok
umur ≥ 65 tahun. Laporan hasil Riskesdas tahun 2013 mendukung
fakta tersebut dimana hipertensi merupakan penyakit yang
cenderung dialami sebagian besar lansia, yaitu 57,6% kemudian
93
disusul penyakit artritis 51,9% (Kemenkes RI, 2013). Penelitian
Moreira (2013) di Brazil juga menunjukkan bahwa prevalensi dan
risiko hipertensi semakin meningkat seiring dengan pertmbahan
umur.
Prevalensi dan risiko hipertensi yang meningkat seiring dengan
pertambahan umur terjadi di wilayah perkotaan maupun pedesaan.
Artinya, penyakit hipertensi saat ini dapat terjadi pada semua
golongan umur dan tidak ada perbedaan antara di kota maupun di
desa. Oleh karena itu, selain perlu dilakukan edukasi terkait bahaya
dan cara pencegahan hipertensi, skrining penyakit jantung dan
pembuuh darah (PJPD) juga perlu dilakukan sebagai upaya
pencegahan dini hipertensi pada kelompok masyarakat muda.
c. Pendidikan
Pendidikan merupakan hal penting untuk meningkatkan
pengetahuan. Penelitian Viera dkk. (2008) di California
membuktikan bahwa responden dengan tingkat pendidikan rendah
berisiko 2,43 kali memiliki pengetahuan tentang hipertensi yang
rendah. Pengetahuan yang baik akan menimbulkan kesadaran yang
positif. Masyarakat akan dengan sukarela mengubah gaya hidupnya
ketika memiliki kesadaran terkait faktor risiko dari hipertensi (Aung
dkk., 2012; Anggara dan Prayitno., 2013).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
masyarakat desa yang menderita hipertensi hanya tamatan SD/MI.
Penelitian sebelumnya juga menunjukkan hal serupa dimana
94
persentase hipertensi lebih banyak terjadi pada masyarakat tamatan
SD/MI (Rahajeng dan Tuminah, 2009). Hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat
pendidikan yang rendah (tidak sekolah/tidak tamat SD/MI dan
tamatan SD/MI) dengan hipertensi di wilayah perkotaan mapun
pedesaan.
Risiko hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan juga
meningkat seiring dengan semakin rendahnya tingkat pendidikan
masyarakat. Hal ini sesuai dengan penelitian Rahajeng dan Tuminah
(2009) dan penelitian Zhang dkk. (2013) di Cina bahwa semakin
rendah tingkat pendidikan masyarakat maka semakin tinggi pula
risikonya mengalami hipertensi. Penelitian di Brazil juga
menunjukkan bahwa pendidikan selama ≥15 tahun dapat melindungi
responden dari risiko hipertensi 0,69 kali di wilayah urban dan 0,75
kali di wilayah rural (Moreira dkk., 2013).
Walaupun risiko hipertensi di perkotaan maupun pedesaan
semakin meningkat seiring dengan rendahnya tingkat pendidikan
masyarakat, tetapi risiko hipertensi di perkotaan lebih besar
dibandingkan di pedesaan. Selain itu, proporsi penderita hipertensi
terbesar pada masyarakat kota adalah masyarakat yang justru
berhasil menempuh pendidikan hingga tamat SMA/MA. Artinya,
pengetahuan yang cukup pun belum bisa menjamin terciptanya
perilaku yang baik. Hal ini karena menurut teori Lehendroff dan
95
Tracy perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan tetapi juga
kemauan (Sudarma M., 2008).
Hasil analisis penelitian ini memang menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan hipertensi.
Risiko hipertensi pun semakin meningkat seiring dengan rendahnya
tigkat pendidikan, terutama di pedesaan. Namun, hal ini tidak dapat
menunjukkan hubungan ataupun risiko yang sebenernya antara
tingkat pendidikan yang rendah dengan kejadian hipertensi. Hal ini
karena proporsi masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah
(tamatan SD/MI) lebih besar di pedesaan, yaitu 34,88%. Sedangkan,
sebagian besar masyarakat kota adalah tamatan SLTA/MA, yaitu
35,41%.
Pada penelitian ini, tingkat pendidikan yang rendah tidak dapat
menunjukkan hubungan dan risiko sebenarnya terhadap kejadian
hipertensi. Namun, pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan RI
diharapkan dapat terus membuat kebijakan terkait kampanye gaya
hidup sehat yang dapat diselenggarakan oleh semua kabupaten/kota
di seluruh Indonesia. Hal ini agar tigkat pengetahuan masyarakat
dapat terus meningkat sehingga dapat mencegah dan mengendalikan
kejadian hipertensi di wilayah perkotaan maupun pedesaan
Indonesia.
d. Status Pekerjaan
96
Bekerja dapat mencegah terjadinya hipertensi karena dengan
bekerja, tubuh dapat melakukan aktivitas fisik yang baik untuk
peredaran darah (Kannan dan Satyamoorthy, 2009). Hasil penelitian
Moreira dkk. (2013) di Brazil menunjukkan bahwa masyarakat kota
maupun desa yang bekerja dapat terhindar dari hipertensi. Di
Indonesia, orang yang tidak bekerja berisiko 1,42 kali mengalami
hipertensi (Rahajeng dan Tuminah, 2009).
Namun, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori maupun
hasil-hasil penelitian tersebut dimana kejadian hipertensi sebagian
besar dialami oleh para pekerja. Selain itu, status pekerjaan
berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun
pedesaan. Namun, nilai POR justru menunjukkan bahwa orang yang
tidak bekerja justru terlindungi dari hipertensi.
Di perkotaan, masyarakat yang bekerja dengan pendapatan
minim tentu mengalami kendala dalam memenuhi kebutuhan hidup,
salah satunya kesehatan. Menurut Mion dkk. (2004), cara
pencegahan pengobatan dan diagnosisis dini penyakit hipertensi
dapat diperoleh ketika pendapatan keluarga tinggi. Hasil penelitian
Mion dkk. (2004) di Brazil menunjukkan bahwa pendapatan
keluarga yang rendah meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,66
kali. Conen dkk. (2009) dalam penelitiannya juga menjelaskan
bahwa status sosial ekonomi yang rendah secara tidak langsung
dapat menyebabkan hipertensi karena pengaruh akses ke pelayanan
kesehatan, diet, dukungan sosial dan tetangga serta stres emosional.
97
Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
pemilihan makanan (Kearney dkk., 2005). Karney dkk. (2009)
menjelaskan bahwa pendapatan yang rendah akan menurunkan
kemampuan membeli makanan yang sehat. Selain itu, tuntutan untuk
meningkatkan pendapatan membuat masyarakat bekerja lebih giat.
Akibatnya, seperti yang sering terjadi di perkotaan, masyarakat lebih
memilih mengonsumsi makanan cepat saji di luar rumah ketika
sedang sibuk bekerja (Karney dkk., 2009).
Kemiskinan tentu menjadi masalah bagi masyarakat desa.
Namun, budaya kekeluargaan dan hubungan yang erat
antarmasyarakat di pedesaan membuat mereka saling membantu
antarsesama. Kehidupan masyarakat desa yang agamis juga
membuat mereka tidak mudah stres ketika mengalami masalah
kehidupan, termasuk masalah pekerjaan dan masalah ekonomi
(Soekanto, 2009). Hal-hal tersebut kemudian dapat menjadi faktor
terlindunginya masyarakat desa dari hipertensi sekalipun mereka
tidak bekerja dan miskin.
Dalam menentukan bahwa pekerjaan merupakan salah satu yang
berhubungan dengan hipertensi tidak dapat dilihat hanya dari status
seseorang bekerja atau tidak. Namun, perlu juga mempertimbangkan
lama waktu kerja. Waktu untuk pemulihan dan istirahat tidur akan
berkurang ketika lama waktu kerja terlalu panjang. Waktu kerja yang
panjang dapat mempengaruhi gaya hidup, seperti merokok, diet tidak
98
sehat dan kurang aktivitas fisik. Kondisi psikologis pekerja juga
dapat terganggu ketika bekerja terlalu lama (Yang dkk., 2006).
Studi kesehatan kerja dan beberapa buku tentang kesehatan
kerja menjelaskan bahwa pekerja industri yang terpapar kondisi
lingkungan kerja yang panas dan bising dapat berisiko terkena
hipertensi (Greenberg M. I. dkk., 2003; Juan P., 2005; Rodahl K.,
2005; Levy B. S. dkk., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014). Kondisi
lingkungan yang panas dapat menyebabkan stres yang dapat
meningkatkan tekanan darah sehingga menyebabkan hipertensi
(Rodahl K., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014). Kondisi lingkungan
yang bising dapat mempengaruhi viskositas plasma dan
menyebabkan penyempitan pembuluh darah sehingga tekanan darah
meningkat (Greenberg M. I. dkk., 2003; Juan P., 2005; Arezes P. M.
dkk., 2014).
Selain itu, beberapa jenis pekerjaan seperti, pegawai negeri sipil,
pekerja bank, supir, petugas pengamanan (security) dan pekerjaan
yang mengandalkan mesin otomatis membuat para pekerja menjadi
kurang beraktivitas fisik sehingga berisiko hipertensi (Kumar P.
dkk., 2002; Divan V. dkk., 2010; Bosu, 2014). Oleh karena itu, perlu
dilakukan penanggulangan risiko kesehatan kerja, baik melalui
manajemen kerja, penggunaan alat pelindung diri (APD), ataupun
penguran sumber pemapar. Selain itu, pelayanan skrining dan
kontrol hipertensi sebaiknya tersedia di tempat kerja agar kasus
hipertensi pada pekerja dapat segera diketahui dan ditanggulangi.
99
Oleh karena itu, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
diharapkan dapat mengawasi pelaksanaan kesehatan dan
keselematan di tempat kerja. Selain itu pihak Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota juga harus melakukan advokasi kepada para
pengelola tempat kerja untuk mengadakan skrining dan kontrol
penyakit hipertensi.
Jenis pekerjaan berperan penting terhadap kejadian hipertensi.
Namun, penelitian ini tidak meneliti variabel jenis pekerjaan
walaupun Riskesdas 2013 sesungguhnya memiliki variabel jenis
pekerjaan. Hal ini dikarenakan pengkategorian variabel jenis
pekerjaan dalam Riskesdas 2013 belum spesifik dan tidak
mempertimbangkan jenis pekerjaan yang berisiko hipertensi. Hal ini
kemudian menjadi kelemahan dalam penelitian ini.
2. Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit
a. Obesitas
Obesitas adalah kondisi dimana indeks masa tubuh >27 kg/m2
(Kemenkes RI, 2013). Ketidaknormalan mekanisme kontrol terhadap
tekanan arterial, seperti hiperinsulinemia terjadi pada penderita
obesitas. Akibatnya, terjadi aktivasi sistem saraf simpatis dan
penyimpanan sodium sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
darah dan hipertensi (Goran M. I. dan Sothern, 2006; Hu, 2008).
Hasil analisis menunjukkan bahwa persentase penderita
hipertensi di perkotaan yang mengalami obesitas (30,28%) lebih
tinggi dibandingkan di pedesaan (20,67%). Hasil penelitian
100
sebelumnya di Ghana menunjukkan bahwa indeks massa tubuh pada
masyarakat perkotaan (29,9) lebih tinggi dibandingkan dengan
masyarakat pedesaan (25,3) (Obirikorang, 2015).
Berbagai penelitian juga membuktikan bahwa obesitas berisiko
menyebabkan hipertensi (Sobngwi dkk., 2004; Howteerakul dkk.,
2006; Mendez-Chacon, 2008; Gao dkk., 2013; Forman, 2009;
Natalia D., 2015). Obesitas berisiko 1,21 kali menyebabkan
hipertensi pada laki-laki dan 5,45 kali pada perempuan di wilayah
rural Brazil (Pimenta dkk., 2008). Di Chennai, obesitas
menimbulkan risiko 2,37 kali mengalami hipertensi dibandingkan
orang normal (Mohan dkk., 2007). Di Indonesia, seseorang yang
mengalami obesitas berisiko 2,79 kali mengalami hipertensi
(Rahajeng dan Tuminah, 2009).
Hasil analisis penelitian ini juga menemukan bahwa obesitas
behubungan dengan hipertensi tidak hanya terjadi di wilayah
perkotaan tetapi di pedesaan juga terjadi. Besar risiko obesitas untuk
menyebabkan hipertensi di masing-masing wilayah pun hampir
sama. Masyarakat kota yang obesitas berisiko 2,869 kali mengalami
hipertensi sedangkan masyarakat desa sedikit lebih kecil, yaitu 2,749
kali. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa peran obesitas untuk
menyebabkan hipertensi tidak dipengaruhi oleh wilayah desa atau
kota sehingga penanggulangan obesitas menjadi penting baik di
wilayah kota maupun desa.
101
Orang yang mengalami obesitas berisiko mengalami hipertensi
tanpa mengenal daerah atau wilayah tempat tinggal. Namun, jika
dilihat dari penyebab terjadinya obesitas, seperti pola konsumsi dan
aktivitas fisik maka adanya perbedaan persentase penderita
hipertensi yang mengalami obesitas antara di kota dengan di desa
dapat dijelaskan.
Hasil analisis proporsi pola konsumsi masyarakat yang
mengalami obesitas di perkotaan dan pedesaan menunjukkan bahwa
sebagian besar pola konsumsi tidak sehat dilakukan oleh masyarakat
kota yang. Persentase masyarakat kota yang mengalami obesitas dan
mengonsumsi makanan berlemak ≥ 1 kali/hari adalah sebesar 60,5%
sedangkan masyarakat pedesaan hanya 39,5%. Sekitar 56%
masyarakat penderita obesitas yang kurang mengonsumsi sayur dan
buah tinggal di kota. Selain itu, 66,3% masyarakat penderita obesitas
yang beraktivitas fisik < 600 MET/minggu juga tinggal di kota. Oleh
karena itu pencegahan dan pengendalian hipertensi melalui edukasi
dan pemberdayaan masyarakat terkait gaya hidup sehat perlu
dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, terutama di perkotaan.
b. Riwayat Diabetes
Resistensi insulin yang biasanya dialami oleh penderita diabetes
akan meningkatkan tekanan darah. Hal ini karena hilangnya aktivitas
vasodilator normal dari insulin atau efek jangka panjang dari
hiperinsulinemia (Holt, 2011). Oleh karena itu, secara biologis
riwayat diabetes menjadi salah satu faktor terjadinya hipertensi.
102
Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa persentase
penderita hipertensi yang memiliki riwayat diabetes lebih tinggi di
perkotaan dibandingkan pedesaan. Hal ini kemungkinan dipengaruhi
oleh faktor obesitas dimana dalam penelitian ini persentase penderita
hipertensi yang obesitas juga lebih tinggi di perkotaan dibandingkan
di pedesaan. Sebagaimana hasil penelitian sebelumnya yang
menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor yang berhubungan
dengan diabetes (Jelantik dan Heryati, 2014; Hussain A. dkk., 2010)
.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antara
diabetes dengan hipertensi (Peer dkk., 2013; Gao dkk., 2013). Di
India, orang yang diabetes berisiko 4,32 kali mengalami hipertensi
(Kannan dan Satyamoorthy, 2009). Penelitian Basuki dan Setianto
(2001) pada masyarakat Sunda di Kabupaten Bogor membuktikan
bahwa riwayat diabetes berisiko 2,45 kali mengalami hipertensi.
Namun, penelitian Rahajeng di Indonesia justru menunjukkan bahwa
riwayat diabetes tidak memberikan risiko yang signifikan untuk
mengalami hipertensi (Rahajeng dan Tuminah, 2009).
Tidak jauh berbeda dengan hasil analisis terhadap faktor
obesitas, riwayat diabetes juga berhubungan dengan hipertensi di
wilayah perkotaan maupun pedesaan. Risiko masyarakat yang
memilki riwayat diabetes untuk mengalami hipertensi pun hampir
sama antara di perkotaan dengan pedesaan. Penelitian sebelumnya
juga menunjukkan bahwa riwayat diabetes meningkatkan risiko
103
hipertensi sebesar 4,43 kali di perkotaan dan 4,61 kali pedesaan
Brazil (Moreira dkk., 2013). Oleh karena itu, penderita diabetes di
perkotaan maupun pedesaan harus segera diobati dan dicegah agar
tidak berdampak resistensi insulin yang dapat menyebabkan
hipertensi.
3. Faktor Gaya Hidup
a. Aktivitas Fisik
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
penderita hipertensi di perkotaan (86,47%) maupun di pedesaan
(89,74%) memiliki aktivitas fisik ≥ 600 MET. Penelitian Moreira
dkk. (2013) juga menunjukkan hal serupa dimana risiko hipertensi
justru semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas
fisik, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Padahal, WHO
merekomendasikan untuk melakukan aktivitas fisik ≥ 600
MET/minggu agar dapat terhindar dari penyakit kardiovaskular
(WHO, 2013).
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara
aktivitas fisik dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun
pedesaan. Hasil beberapa penelitian sebelumnya juga menunjukkan
ada hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi (Peer N., 2013;
Pooja dan Mittal, 2013; South dkk., 2013; Rahajeng dan Tuminah,
2009). Namun, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa risiko
hipertensi sangat kecil pada responden dengan aktivitas fisik < 600
MET/minggu. Sebaliknya, penelitian Forman (2009) menunjukkan
104
bahwa latihan rutin 7 hari per minggu mampu menurunkan risiko
hipertensi pada perawat hingga 0,87 kali dibandingkan yang <1 hari
per minggu.
Secara teoritis, aktivitas fisik mempengaruhi tekanan darah
melalui peningkatan ataupun penurunan aktivitas saraf simpatis
(Mohler dan Towsend, 2006). Aktivitas fisik meningkatkan
penggunaan glukosa dalam otot dan meningkatkan sensitivitas
insulin yang menyebabkan penurunan aktivitas saraf simpatis
sehingga menurunkan tekanan darah sistolik dan siastolik (Lin dan
Laura, 2012). Selain itu, aktivitas fisik yang rutin dapat mengurangi
lemak jenuh, meningkatkan eliminasi sodium yang terjadi karena
perubahan fungsi ginjal, mengurangi plasma renin dan aktivitas
katekolamin yang dapat mencegah terjadinya peningkatan tekanan
darah (Rahl, 2010).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa aktivitas fisik ≤
600 MET/minggu meningkatkan risiko hipertensi di wilayah
pedesaan. Besar risiko dan persentase masyarakat pedesaan dengan
aktivitas fisik ≤ 600 MET bahkan lebih besar daripada masyarakat
perkotaan. Padahal menurut Moore (2001), masyarakat desa lebih
terlindungi dari hipertensi karena gaya hidup mereka aktif, seperti
lebih sering berjalan kaki setiap hari.
Dampak urbanisasi dan globalisasi dapat menjadi alasan
masyarakat desa tidak lagi memiliki gaya hidup yang aktif.
Masyarakat desa yang berkunjung ke kota akan mengikuti gaya
105
hidup modern masyarakat kota. Penduduk desa yang datang ke kota
bahkan dapat mengalami peningkatan tekanan darah sekalipun hanya
berkunjung dalam rentang waktu satu bulan (Ekezie dan Anthony,
2011). Selain itu, teknologi informasi seperti televisi dan internet
mulai berkembang di pedesaan (APJII, 2012; Kemenkominfo, 2011;
Hadiyat Y. D., 2014). Masyarakat desa pun kini dapat memperoleh
informasi gaya hidup modern dengan mudah tanpa harus ke kota.
Oleh karena itu, Puskesmas di pedesaan perlu membuat kegiatan
yang dapat meningkatkan aktivitas fisik masyarakat, contohnya
senam sehat.
Selain itu, pengukuran aktivitas fisik yang kurang tepat mungkin
menyebabkan bias pada hasil penelitian ini. Dalam kuesioner
Riskesdas tahun 2013, dilakukan penggabungan pertanyaan untuk
mengukur aktivitas fisik pada hari-hari kerja dan aktivitas fisik pada
hari-hari libur. Sedangkan, WHO membuat pemisahan pertanyaan
untuk kedua kondisi tersebut (Kemenkes RI, 2013).
b. Kebiasaan Merokok
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
penderita hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia
belum pernah merokok. Namun, 31,83% penderita hipertensi di
perkotaan dan 34,86% penderita hipertensi di pedesaan merupakan
perokok. Penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) juga
menunjukkan ada sekitar 30% penderita hipertensi yang merupakan
perokok.
106
Kebiasaan merokok ini berperan menyebabkan hipertensi karena
rokok mengandung nikotin dan karbondioksida yang mempengaruhi
tekanan darah. Nikotin dapat meningkatkan asam lemak,
mengaktiviasi trombosit, memicu aterosklerosis dan penyempitan
pembuluh darah (Cahyono, 2008; Depkes RI, 2006). Sedangkan
karbon monoksida mengakibatkan hemoglobin dalam darah rusak
sehingga menumpuk di membran pembuluh kapiler dan
menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah (Schnitzer, 2000;
Depkes RI, 2006).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kebiasaan
merokok berhubungan dengan kejadian hipertensi di wilayah
perkotaan dan pedesaan Indonesia. Risiko hipertensi terdapat pada
masyarakat yang pernah merokok dan risiko masyarakat perkotaan
yang pernah merokok lebih tinggi dibandingkan masyarakat
pedesaan. Hasil penelitian Moreira dkk. (2013) di wilayah perkotaan
Brazil juga menunjukkan bahwa merokok berhubungan dengan
hipertensi dan risiko masyarakat kota yang pernah merokok adalah
1,20 kali lebih berisiko dibandingkan yang tidak pernah merokok.
Masyarakat yang pernah merokok berisiko terkena hipertensi
karena orang yang pernah merokok diasumsikan memiliki durasi
merokok yang lebih lama dibandingkan yang masih merokok. Hal
ini didukung oleh penelitian Thuy A. B. (2010) bahwa kebiasaan
merokok menyebabkan hipertensi dipengaruhi oleh lama waktu
107
menjadi perokok. Namun, dalam penelitian ini durasi merokok tidak
diteliti sehingga menjadi kelemahan dalam penelitian ini
Masyarakat kota yang pernah merokok lebih berisiko
mengalami hipertensi dibandingkan pedesaan dimungkinkan karena
faktor stres. Penelitian Liu dkk. (2015) dan Cui dkk. (2012)
menjelaskan bahwa faktor stres adalah penyebab perilaku merokok
pada imigran Cina yang tinggal di kota, terutama stres kerja.
Penelitian kualitatif pada mahasiswi di Kota Makassar juga
menunjukkan bahwa stres menjadi salah satu faktor pemicu para
mahasiswi berperilaku merokok (Tarupay dkk., 2014). Stres juga
menjadi penyebab perilaku merokok pada remaja laki-laki di kota
Medan (Kemala H., 2005).
Penerapan konsep kota sehat harus terus dilakukan oleh
pemerintah daerah di Indonesia. Hal ini dapat menjadi solusi untuk
mencegah dan mengendalikan perilaku merokok di masyarakat yang
bersifat pemberdayaan, contohnya kampanye anti rokok oleh
masyarakat. Selain itu, dapat mengatasi tingkat stres masyarakat
melalui taman-taman kota yang nyaman. Jadi, masyarakat diajak
untuk mandiri dalam menciptakan kehidupan kota yang aman,
nyaman dan sehat sebagaimana definisi kota sehat (Hidayat dan
Abikusno, 2003).
c. Konsumsi Makanan Asin
108
Volume cairan dalam tubuh meningkat ketika seseorang
mengonsumsi makanan asin atau yang mengandung garam tinggi.
Hal ini karena garam menarik cairan di luar sel agar tidak
dikeluarkan oleh tubuh sehingga volume dan tekanan darah
meningkat (Depkes RI, 2006). Dalam buku Deteksi Dini Faktor
Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah dijelaskan bahwa
sering makan makanan asin (≥1 kali/hari) merupakan salah satu
faktor risiko dari penyakit jantung dan pembuluh darah pada
penduduk umur 18 tahun ke atas (Kemenkes RI, 2010).
Konsumsi garam berlebih merupakan salah satu faktor pemicu
meninggalnya 1,7 juta orang di tahun 2010 karena penyakit
kardiovaskular. Data WHO juga menunjukkan bahwa konsumsi
garam masyarakat secara global adalah sekitar 10 g per hari (4 g/hari
sodium). Asia Tenggara merupakan kawasan dengan tingkat
konsumsi garam yang tinggi. Padahal, konsumsi garam melebihi 5
g/hari (lebih dari 1 sendok teh per hari) berkontribusi terhadap
peningkatan tekanan darah (WHO, 2014).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 20,95% penderita
hipertensi di perkotaan mengonsumsi makanan asin ≥1 kali/hari
sedangkan di pedesaan persentasenya sedikit lebih tinggi, yaitu
22,67%. Selain itu, konsumsi makanan asin ≥1 kali/hari juga
berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun
pedesaan. Hasil penelitian Bartwal dkk. (2014) di Haldwani juga
109
membuktikan bahwa ada hubungan antara asupan garam dengan
hipertensi (x2 = 12,42).
Urbanisasi dan globalisasi dapat menjadi alasan adanya
perubahan gaya hidup masyarakat desa dalam hal konsumsi
makanan asin sehingga berisiko hipertensi (WHO, 2014). Fenomena
urbanisasi dan globalisasi seharusnya diiringi oleh pengetahuan yang
baik agar tidak menimbulkan dampak buruk. Namun, hasil penelitian
di Desa Blulukan Karanganyar menunjukkan bahwa sebagian besar
dari lansia memiliki pengetahuan yang kurang (48,7%) tentang
hipertensi (Utomo P. T., 2013).
Hasil penelitian pada masyarakat desa Patobong Kecamatan
Pinrang pun menunjukkan bahwa 93,8% masyarakat memiliki
pengetahuan yang kurang terkait hipertensi (Maharani dkk., 2013).
Oleh karena itu, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten dibantu dengan
tenaga kesehatan Puskesmas desa dapat berperan dalam memberikan
edukasi terkait faktor risiko hipertensi dan cara pencegahannya.
Selain faktor urbanisasi dan globalisasi, karakteristik desa yang
diteliti dalam penelitian ini juga berperan penting dalam hasil
penelitian terkait hubungan konsumsi makanan asin dengan
hipertensi. Hal ini karena sesungguhnya terdapat tingkatan dalam
penentuan sebuah desa sehingga tidak semua desa adalah desa
tertinggal. Data dari situs Kementerian Desa (2015) menunjukkan
bahwa pada tahun 2013 sebanyak 70% desa tertinggal berlokasi di
wilayah Timur Indonesia. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya
110
disarankan untuk membuat tingkatan dalam pengkategorian desa-
kota.
Ada hubungan antara konsumsi makanan asin ≥1 kali/hari
dengan hipertensi. Namun, risiko hipertensi akibat konsumsi
makanan asin ≥1 kali/hari ternyata hanya terjadi pada masyarakat
pedesaan. Sedangkan di perkotaan, konsumsi makanan asin ≥1
kali/hari justru menunjukkan faktor protektif. Hasil analisis
multivariat penelitian Indrawati dkk. (2009) mirip dengan hasil
penelitian di perkotaan dalam penelitian ini dimana ada hubungan
antara konsumsi makanan asin dengan hipertensi (P = 0,001).
Namun, konsumsi makanan asin yang sering atau jarang tidak
berisiko menyebabkan hipertensi.
Globalisasi sebenarnya memiliki dampak positif di bidang
kesehatan. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi serta
berkembangnya kualitas dan fasilitas pelayanan kesehatan di
perkotaan justru dapat memudahkan masyarakat untuk memperoleh
informasi dan pelayanan kesehatan yang berkualitas (Martens P.
dkk., 2010). Jadi, mungkin tidak semua masyarakat kota bergaya
hidup tidak sehat. Masyarakat kota pun punya peluang yang besar
terlindungi dari hipertensi terutama jika mereka bijak dalam
menyikapi globalisasi.
Pengukuran pola konsumsi makanan yang kurang valid juga
dapat menjadi perilaku konsumsi makanan asin ≥1 kali/hari
masyarakat kota justru mengurangi risko hipertensi. Pengukuran
111
pola konsumsi makanan yang digunakan saat Riskesdas 2013 adalah
berdasarkan frekuensi makan sehingga kurang valid dan subjektif
(Rahajeng dan Tuminah, 2009). Selain itu, penelitian ini adalah
penelitian berskala nasional sehingga data yang diperoleh lebih
heterogen. Akibatnya, beberapa wilayah Indonesia yang memiliki
budaya makan makanan asin jadi tersamarkan pengaruhnya.
d. Konsumsi Makanan Berlemak
Konsumsi makanan berlemak terlalu sering adalah mencapai ≥ 1
kali/hari (Kemenkes RI, 2010). Hasil analisis penelitian ini
menunjukkan bahwa sebagian besar penderita hipertensi di
perkotaan dan pedesaan Indonesia justru mengonsumsi makanan
berlemak < 1 kali/hari. Hasil analisis konsumsi lemak pada
penduduk Indonesia menunjukkan bahwa persentase lemak total
penduduk Indonesia masih di bawah standar yang dianjurkan, yaitu
25%. Namun, persentase lemak jenuh mencapai 18,2% sehingga
melebihi persentase lemak jenuh yang dianjurkan WHO, yaitu 10%
(Hardiansyah, 2011).
Konsumsi makanan berlemak secara berlebihan dapat
menyebabkan hiperlipidemia. Hiperlipidemia akan menyebabkan
peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL
dan/atau penurunan kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol
berperan penting dalam proses terjadinya aterosklerosis yang
kemudian menghambat aliran darah sehingga tekanan darah menjadi
tinggi (Depkes RI, 2006).
112
Hasil penelitian ini menunjukkan baha ada hubungan antara
konsumsi makanan berlemak ≥ 1 kali/hari dengan hipertensi.
Penelitian Stefhany (2012) juga menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara konsumsi lemak dengan hipertensi pada lansia (P =
0,010). Lansia yang sering mengonsumsi lemak berisiko kemudian
berisiko 2,785 kali mengalami hipertensi (Stefhany, 2012). Di
Afrika, konsumsi lemak berlebih berhubungan dengan hipertensi (P
= 0,024) dan meningkatkan risiko hipertensi hingga 2,08 kali
(Ramirez dkk., 2010).
Hasil penelitian ini justru menunjukkan hal sebaliknya untuk
wilayah perkotaan dimana tidak ada hubungan antara konsumsi
makanan berlemak ≥ 1 kali/hari dengan hipertensi. Penelitian
Indrawati dkk. (2009) menunjukkan adanya hubungan antara
konsumsi makanan berlemak dengan hipertensi. Namun, sejalan
dengan penelitian ini, penelitian Indrawati dkk. (2009) juga
menjelaskan konsumsi makanan berlemak yang terlalu sering justru
tidak meningkatkan risiko hipertensi.
Perubahan gaya hidup akibat pengaruh urbanisasi dan
globalisasi pada masyarakat desa juga merupakan alasan adanya
hubungan konsumsi makanan berlemak dengan hipertensi pada
masyarakat desa (WHO, 2013). Sedangkan, dampak positif
globalisasi seperti kemajuan teknologi informasi menjadi faktor
masyarakat kota juga dapat terlindungi dari risiko hipertensi, yaitu
konsumsi makanan berlemak (Martens P. dkk., 2010).
113
Cara pengukuran pola makan yang kurang valid dan subjektif,
tidak ada tingkatan pengkategorian desa-kota dan tidak
dipertimbangakannya budaya makan daerah-daerah yang diteliti pun
menjadi kelemahan dalam analisis konsumsi makanan berlemak
dengan hipertensi. Oleh karena itu, perbaikan metode pengukuran
konsumsi makanan dan penentuan desa-kota perlu diperhatikan
untuk penelitian selanjutnya.
e. Konsumsi Sayur dan Buah
Konsumsi buah < 3 porsi/hari dan sayur < 2 porsi/hari dapat
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Konsumsi sayur dan
buah yang cukup dapat mencegah hipertensi. Serat yang terkandung
dalam sayuran resisten terhadap enzim pencernaan manusia. Serat
berperan dalam mengurangi tingkat insulin, dimana hiperinsulinemia
menyebabkan intoleransi glukosa yang dapat menyebabkan
hipertensi (Lin dan Laura, 2012). Sedangkan, polifenol yang
terkandung dalam buah-buahan dapat melindungi jantung. Beban
glikemik yang rendah pada beberapa jenis buah tidak berisiko
menyebabkan hipertensi (McFarlane dan Bakris, 2012). Oleh karena
itu, konsumsi buah dan sayur sebanyak 4-5 porsi/hari adalah yang
dianjurkan dalam DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension)
(Grodner dkk., 2004).
Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa konsumsi
sayur < 3 porsi/hari berhubungan dengan hipertensi di wilayah
perkotaan, tetapi tidak untuk di pedesaan. Selain itu, konsumsi buah
114
< 2 porsi/hari berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan
maupun pedesaan. Namun, nilai POR menunjukkan bahwa konsumsi
sayur < 3 porsi/hari dan konsumsi sayur < 2 porsi/hari justru
menurunkan risiko hipertensi pada masyarakat di wilayah perkotaan
maupun pedesaan.
Hasil peneletian Utsugi dkk. (2008) di Jepang menunjukkan
bahwa banyak mengkonsumsi buah dan sayur berhubungan dengan
rendahnya risiko terkena hipertensi. Hasil penelitian dari Bazzano
dkk (2002) menunjukkan bahwa konsumsi buah dan sayur
berhubungan dengan hipertensi (P < 0,001). Selain itu, hasil
penelitian pada masyarakat rural Bangladesh menunjukkan bahwa
konsumsi sayur dan buah berhubungan dengan hipertensi (P =
0,0006 dan P = 0,0138) (Khanam dkk., 2015).
Sejalan dengan hasil analisis dalam penelitian ini, penelitian
Indrawati dkk. (2009) di Indonesia menunjukkan bhwa konsumsi
buah dan sayur berhubungan dengan kejadian hipertensi (P = 0,000).
Namun, tidak ada perbedaan risiko hipertensi antara yang
mengonsumsi buah dan sayur < 3 porsi/hari dengan yang ≥ 3
porsi/hari (Indrawati dkk., 2009). Penelitian Rahajeng dan Tuminah
(2009) di Indonesia juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara konsumsi sayur dan buah dengan hipertensi.
Berdasarkan hasil penelitian ini dan didukung dari hasil
penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa secara statistik
kurang mengonsumsi sayur dan buah bukan merupakan faktor risiko
115
hipertensi. Namun, hasil analisis penelitian ini juga menunjukkan
sebagian besar penderita hipertensi mengonsumsi sayur < 3
porsi/hari, bahkan persentasenya mencapai lebih dari 72%, baik di
perkotaan maupun di pedesaan Indonesia. Selain itu, sebagian besar
penderita hipertensi juga mengonsumsi buah < 2 porsi/hari, bahkan
persentasenya mencapai lebih dari 98%, baik di perkotaan maupun
di pedesaan Indonesia. Artinya, kurang mengonsumsi sayur dan
buah berkaitan dengan kejadian hipertensi walaupun tidak secara
statistik
Tingginya persentase penderita hipertensi yang kurang
mengonsumsi sayur dan buah seharusnya tidak terjadi di pedesaan.
Hal ini karena menurut Ngoye (2014) masyarakat desa memiliki
periaku konsumsi tradisional dimana makanan yang dikonsumsi
tinggi akan protein seperti susu fermentasi. Hal ini berarti perubahan
gaya hidup sebagai dampak globalisasi dan akulturasi budaya di
pedesaan juga turut berperan dalam pola konsumsi sayur dan buah
masyarakat desa sehingga berisiko hipertensi.
Seperti pembahasan terkait konsumsi makanan asin dan
berlemak dengan hipertensi, hasil analisis hubungan antara konsumsi
sayur dan buah dengan hipertensi pun dipengaruhi metode
pengukuran pola makan yang kurang valid. Pengelompokkan desa-
kota dalam Riskesdas 2013 yang tidak memperhatikan tingkatan
karakterstik perkotaan dan pedesaan Indonesia juga berperan dalam
hasil analisis penelitian ini. Oleh karena itu, kedua hal ini menjadi
116
keterbatasan dalam peelitian ini sehingga perlu diperhatikan pada
penelitian selanjutnya.
Tidak semua pedesaan di Indonesia tergolong desa terpencil.
Hanya 30% desa terpencil yang berlokasi di wilayah Barat Indonesia
sedangkan sisanya berada di Indonesia bagian Timur. (Kemendesa,
2013) Oleh karena itu, sebaiknya penelitian selanjutnya
mempertimbangkan karakteristik desa maupun kota agar dapat
diperoleh perbedaan yang jelas antara kejadian hipertensi di
perkotaan dengan pedesaan.
117
BAB VII
PENUTUP
A. Simpulan
1. Proporsi hipertensi di perkotaan maupun pedesaan lebih besar pada laki-
laki dibandingkan perempuan, yaitu 54,74% di perkotaan dan 54,02% di
pedesaan. Proporsi hipertensi di perkotaan maupun pedesaan lebih besar
pada kelompok umur 45-54 tahun, yaitu 33,20% di perkotaan dan
30,45% di pedesaan. Di wilayah perkotaan, proporsi hipertensi lebih
tinggi pada masyarakat tamatan SLTA/SMA, yaitu 30,85%. Sedangkan
di pedesaan, proporsi hipertensi lebih tinggi pada masyarakat tamatan
SD/MI, yaitu 39,31%. Proporsi hipertensi di perkotaan maupun pedesaan
lebih tinggi pada masyarakat yang bekerja daripada yang tidak bekerja,
yaitu 62,07% di perkotaan dan 68,56% di pedesaan.
2. Sebanyak 30,28% penderita hipertensi di perkotaan mengalami obesitas,
sedangkan di pedesaan ada 20,67% penderita hipertensi yang mengalami
obesitas. Selain itu, sebanyak 3,97% penderita hipertensi di perkotaan
memiliki riwayat diabetes. Sedangkan di pedesaan, hanya 1,96%
penderita hipertensi yang memiliki riwayat diabetes.
3. Di perkotaan, sebanyak 13,53% penderita hipertensi memiliki aktivitas
fisik < 600 MET/minggu. Sedangkan di pedesaan, ada 10,26% penderita
hipertensi memiliki aktivitas fisik < 600 MET/minggu. Berdasarkan
kebiasaan merokok, 31,83% penderita hipertensi di perkotaan adalah
perokok dan 8,94% mantan perokok. Sedangkan, 34,86% penderita
118
hipertensi di pedesaan adalah perokok dan 7,10 adalah mantan perokok.
Berdasarkan pola konsumsi maknan asin, sebanyak 20,95% penderita
hipertensi di perkotaan dan 22,67% penderita hipertensi di pedesaan
mengonsumsi makanan asin ≥ 1 kali/hari. Kemudian, proporsi penderita
hipertensi di perkotaan maupun pedesaan yang mengonsumsi makanan
berlemak ≥ 1 kali/hari, secara berturut-turut adalah 37,76% dan 31,05%.
Sebanyak 73,49% penderita hipertensi di perkotaan dan 74,63%
penderita hipertensi di pedesaan mengonsumsi sayur < 3 porsi/hari.
Selain itu, 98,02% penderita hipertensi di perkotaan dan 99,11%
penderita hipertensi di pedesaan mengonsumsi buah < 2 porsi/hari.
4. Ada hubungan antara faktor sosiodemografi (jenis kelamin, umur, tingkat
pendidikan dan pekerjaan) dengan hipertensi di wilayah perkotaan.
Sedangkan di pedesaan, jenis kelamin adalah satu-satunya faktor
sosiodemografi yang tidak berhubungan dengan hipertensi.
5. Ada hubungan antara faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas dan
riwayat diabetes) dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun
pedesaan Indonesia.
6. Faktor gaya hidup seperti aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi
makanan asin, konsumsi sayur dan konsumsi buah berhubungan dengan
hipertensi sedangkan konsumsi makanan berlemak tidak menunjukkan
adanya hubungan. Di pedesaan, hanya konsumsi sayur yang merupakan
faktor gaya hidup yang tidak berhubungan dengan hipertensi.
119
B. Saran
1. Bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia perlu membuat kebijakan
untuk mengkampanyekan gaya hidup sehat di Indonesia.
2. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota Indonesia
a. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota disarankan untuk terus melakukan
peningkatan kemampuan petugas kesehatan di Puskesmas dalam
rangka mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dapat
mencegah dan mengendalikan faktor risiko hipertensi, seperti
skrining PJPD, peningkatan aktivitas fisik masyarakat dan edukasi
pola makan sehat.
b. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota perlu mengadvokasi para pengelola
tempat kerja untuk memberikan edukasi dan skrining PJPD di tempat
kerja. Selain itu, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota juga perlu
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kesehatan dan
keselamatan kerja di tempat kerja.
c. Pemerintah kota bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota
disarankan untuk terus mengupayakan penerapan program kota sehat
di seluruh kota di Indonesia.
3. Bagi Puskesmas
Puskesmas diharapkan dapat memfasilitasi kegiatan pemberdayaan
masyarakat dalam rangka skrining PJPD, peningkatan aktivitas fisik, dan
edukasi pola makan sehat melalui Posbindu di setiap Rukun Warga
(RW).
120
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Peneliti selanjutnya disarankan untuk lebih memperhatikan metode
pengukuran pola konsumsi makanan. Pola konsumsi makanan
sebaiknya diukur dengan metode kuantitatif ataupun kombinasi
kualitatif-kuantitatif sehingga data terkait pola konsumsi makanan
dapat lebih valid dan objektif.
b. Peneliti selanjutnya disarankan untuk memberikan tingkatan dalam
penggolongan wilayah desa-kota. Selain itu, peneliti juga disarankan
untuk mempertimbangkan karakteristik budaya setiap wilayah yang
diteliti
121
DAFTAR PUSTAKA
Addo, dkk. 2007. Hypertension in Sub-aharan Africa: A Systematic Review.
Hypertension Journal of American Heart Association 2007; 50:1012-1018
Adeloye, D dan Basquill, C. 2014. Estimating the Prevalence and Awareness
Rates of Hypertension in Africa: A Systematic Analysis. Plose One August
2014 Vol. 9 Issue 8
Agyemang, dkk. 2006. Factors Associated with Hypertension Awareness,
Treatment, and Control in Ghana, West Africa. Journal Human
Hypertension. 2006 Jan; 20(1):67-71
Aiyagari, V. 2011. Hypertension and Stroke Pathophysiologis and Management.
Editor: Philip B. Gorelck. Springer
Ambaw, A. D., dkk,. 2012. Adherence to Antihypertensive Treatment and
Associated Factors Among Patients on Follow Up at University of Gondar
Hospital, Northwest Ethiopia. BMC Public Health, 2012; 12: 282
Anggara F. H. D. dan Prayitno N. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Tekanan Darah di Puskesmas Telaga Murni, Cikarang Barat Tahun
2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1): Jan 2013
Arief, E. dkk. 2011. Konsumsi Fast Food Remaja di Restoran Fast Food,
Makassar Town Square. Artikel Mahasiswa Program Studi Ilmu Gizi,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar
Arezes, P. M., dkk. 2014. Occupational Safety and Hygiene II. Netherlands: CRC
Press
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), 2012. Profil Pengguna
Internet Indonesia.
Aung, M. N., dkk. 2012. Assessing Awareness And Knowledge of Hypertension in
An At-Risk Population in the Karen Ethnic Rural Community, Thasongyang,
Thailand. International Journal Gen. Med. 2012;5:553-61
Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS). 2014. Panduan Praktis
Pelayanan Kesehatan.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik No.
37 Tahun 2010.
122
Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, United
Nation Population Fund
Baradero, M. 2005. Dayrit, M. W. dan Siswadi, Y. Seri Asuhan Keperawatan:
Klien Gangguan Kardiovaskular. Jakarta: EGC
Bartwal, J. dkk. 2014. Prevalence of Hypertension and Its Factors among
Individuals Attending Outpatent Department of Rural Health Training
Centre, Haldwani. Indian Journal of Community Health Vol. 26, Issue No. 01
Basuki, B. dan Setianto, B. 2001. Age, Body Posture, Daity Working Load, Past
Antihypertensive Drugs and Risk of Hypertension: A Rural Indonesian Study.
Rural Hypertensive Risk factor, Vol 10, No I , January - March 200 I
Bazzano L. A. dkk. 2002. Fruit and vegetable intake and risk of cardiovascular
disease in US adults: the first National Health and Nutrition Examination
Survey Epidemiologic Follow-up Study. American Journal of Clinical
Nutrition 2002;76:93–9
Black, H. R dan Elliot, W. J. 2007. Hypertension: A Companion to Braunwald’s
Heart Disease. USA: Elsevier
Brashers, V. L. 2003. Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan & Manajemen.
Edisi 2. Jakarta: EGC
Bosu, W. K. 2015. The Prevalence, Awareness, and Control o Hypertension
among Workers in West Africa: A Systematic Review. Global Health Action
2015, 8; 26227
Cahyono, J. B. S. B. 2008. Hidup & Penyakit Modern. Jogjakarta: Kanisius
Carnethon, M., 2009. Physical Activity and Cardiovascular Disease: How Much
is Enough? Am J Lifestyle Med., 3(1), pp.44-49.
Carretero, O. A. dan Oparil S. 2000. Essential Hypertension: Part I: Definition
and Etiology. Circulation 2000; 101:329-335
Chang, L. 2003. Behavioral Change for Blood Pressure Control among Urban
and Rural Adults in Taiwan. Health Promotion International Vol. 18 No. 3
Oxford University Press 2003
Conen, D., dkk. 2009. Socioeconomic Status, Blood Pressure Progression, and
Incident Hypertension in A Prospective Cohort of Female Health
Professionals. European Heart Journal 30, 1378–1384
Cui, X., 2012. Work Stress, Life Stress, and Smoking among Rural-Urban
Migrant Workers in China. BMC Public Health, 12:979
123
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 2006. Pedoman Teknis
Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi
Divan, V., dkk. 2010. Prevalence of Hypertension among Workers of A Fertilizer
Company in Surat District. National Journal of Community Medicine 2010,
Vol. I Issue 2
Ekezie, J., dkk. Impact o Urbanization on Obesity, Anthropometric Profile and
Blood Pressure in the Igbos of Nigeria. North American Journal of Medical
Sciences 2011 May; 3(5); 242-246
Emalia, R. D., dkk. 2009. Hubungan Iklan Makanan dan Minuman di Media
Massa dengan Frekuensi Konsumsi Junk Food pada Remaja di SMA Negeri
13 Palembang Tahun 2009. Artikel Mahasiswa Universitas Sriwijaya
Forman, J.P. 2009. Diet and Lifestyle Risk Factors Associated with Incident
Hypertension in Woman. JAMA 2009 July 22; 302(4): 401-411
Fowkes, F. G., dkk. 2013. Comparison of Global Estimates of Prevalences and
Risk Factors for Peripheral Artery Disease in 2000 and 2010: A systematic
Review and Analysis. Lancet 2013: 382: 1329-1340
Gao, Y. dkk. 2013. Prevalence of Hypertension in China: A Cross-Sectional
Study. Plose One June 2013 Vol. 8 Issue 6
Goran M. I. dan Sothern, M. S. 2006. Handbook of Pediatric Obesity: Etiology,
Pathophysiology and Prevention. USA: CRC Press Tylor & Francis Group
Greenberg, M. I. dkk. 2003. Occupational, Industrial and Environmental
Toxicology. Second Edition. Pennsylvania: Mosby
Grodner, M. dkk. 2004. Foundations and Clinical Applications of Nutrition: A
Nursing Approach. Third Edition. Missouri: Mosby
Gunawan, L. 2001. Hipertensi, Penyakit Darah Tinggi. Jogjakarta: Kanisius
Hadiyat, Y. D. 2014. Kesenjangan Digital di Indonesia (Studi Kasus di
Kabupaten Wakatobi). Jurnal Pekommas, Vol. 17, Agustus 2014: 81-90
Handayani, D. E. 2012. Pemanfaatan Pos Pembinaan Terpadu oleh Lanjut Usia
di Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor Tahun 2012 dan Faktor yang
Berhubungan. Skripsi Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.
Hardiansyah. 2011. Analisis Konsumsi Lemak, Gula dan Garam Penduduk
Indonesia. Gizi Indonesia 2011, 34(2):92-100
124
Hasnida dan Kemala I., 2005. Hubungan antara Stres dan Perilaku Merokok pada
Remaja Laki-Laki. Psikologia Vol. 1, No. 2, Desember 2005
He, F. J. 2005. Modest Salt Reduction Lowers Blood Pressure in Isolated Systolic
Hypertension and Combined Hypertension. Hypertension, 2005;46:66-70
Hidayat dan Abikusno, 2003. Membangun Kota Sehat Melalui Perilaku Sehat dan
Beradab Menyongsong Indonesia Sehat 2010. Jurnal Kedokteran Trisakti
Mei-Agustus 2003, Vol 22 No. 2
Holt, R. I. G. 2011. Textbook of Diabetes. 4th
Edition. John Wiley & Sons
Hou, X. 2008. Urban-Rural Disparity of Overweight, Hypertension, Undiagnosed
Hypertension and Untreated Hypertension in China. Asia Pac J Public Health
2008 20: 159
Howteerakul, N., dkk. 2006. Health Risk Behaviors, Awareness, Treatment and
Control of Hypertension among Rural Community People in Thailand. Asia
Pac J Public Health 2006 18: 3
Hu, F. 2008. Obesity Epidemiology. New York: Oxford University Press
Hughes, P. dan Ferret, E. 2011. Introduction to Health Safety in Construction.
Fourth Edition. USA: Routledge
Hussain, A. 2010. Type 2 Diabetes and Obesity: A Review. Journal of
Diabetology, June 2010; 2:1
Hutagalung, I. 2004. Penggunaan Media TV di Indonesia. Jurnal Komunikologi,
Vol. 1 No. 1, Maret 2004
Indrawati, L. dkk. 2009. Hubungan Pola Kebiasaan Konsumsimakanan
Masyarakat Miskin dengan Kejadian Hipertensi di Indonesia. Media
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol. XIX Nomor 4
Jelantik dan Heryati. 2014. Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis Kelamin,
Kegemukan dan Hipertensi dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe II di
Wilayah Kerja Puskesmas Mataram. Media Bina Ilmiah ISSN No. 1978-3787
Joint National Comitee (JNC). 2004. The Seventh Report of the Joint National
Comitee on Prevention, Detecton, Evaluation and Treatment of High Blood
Pressure. Department of Health and Human Service, National Institute of
Health
Juan, P. 2005. Prevalence and Influence Factors of Hypertension among
Mechanic Factory Workers. Journal Central University (Medical Sciences)
2004, 30(3): 02764-04
125
Kannan, L. dan Satyamoorthy, T. S. 2009. An Epidemiological Study of
Hypertension in A rural Household Community. Sri Ramachandra Journal of
Medicine, June 2009 Vol. II Issue 2
Kaplan, M. K. dan Michael, A. W. 2010. Hypertension Essentials. Second
Edition. Physicians Press
Katz, E. G., dkk. 2012. Interactions between Obesity, Parental History of
Hypertension, and Age on Prevalent Hypertension: The People’s Republic of
China Study. Asia Pac J Public Health 2012 24: 970
Katz, M. H. 2006. Study Design and Statistical Analysis. London: Cambridge
University Press
Kearney, J., dkk. 2005. Human Nutrition: Food and Nutrient Patterns. Editor:
Lawrence Haddad. Edisi Ke-7. USA: Elsevier
Kementerian Desa (Kemendesa). Daerah Teringgal. Artikel diakses tanggal 23
Juli 2015 dari http://kemendesa.go.id/hal/300027/183-kab-daerah-tertinggal
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2007. Laporan Riset
Kesehatan Dasar 2007
_____. 2010. Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.
Editor: Yusharmen D. Comm. H. dan Toni Wardana.
_____. 2013. Buku Pintar Kader: Penyelenggaraan Posbindu PTM. Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular
_____. 2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2013
_____. 2013. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo). 2011. Indikator TIK
Indonesia 2011. Jakarta: Puslitbang PPI-Kominfo
Khan, dkk. 2013. A Cross-Sectional Study of the Prevalence and Risk Factors for
Hypertension in Rural Nepali Women. BMC Public Health, 13:55
Khanam, M. A., dkk. 2015. Prevalence and Determinants of Pre-Hypertension
and Hypertension among the Adults in Rural Bangladesh: Findings from A
Community-Based Study
Klabunde, R. E. 2005. Cardiovascular Physiology Concepts. Editor: Betty Sun.
Lippincott Williams & Wilkins
126
Krishnan, A. dkk. 2013. Hypertension in the South-East Asia Region: an
Overview. Regional Health Forum Vol. 17, Number 1, 2013
Kumar, P. dkk. 2002. Prevalence of Hypertension amongst The Employees of A
Mega Industry of South Gujarat. Indian Journal of Community Medicine Vol.
XXVII, No. 1, Jan-Mar 2002.
Levy, B. S., dkk. 2005. Preventing Occupational Disease and Injury. Second
Edition. Washington: American Public Health Association
Lilly, L. S. 2011. Pathophysiology of Heart Disease: A Collaborative Project of
Medical Students and Faculty. Fifth Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins
Lin P. H. dan Laura. 2012. Nutrition, Lifestyle Factors and Blood Pressure.
United State: Taylor & Francis Group
Lina, N. dkk. 2013. Analisis Pengaruh Paparan Asap Rokok di Rumah pada
Wanita Terhadap Kejadian Hipertensi2013. Jurnal Berkala Epidemiologi,
Vol. 1, No. 2 September 2013: 244-253
Liu, Y. 2015. Determinants of Tobacco Smoking among Rural-to-Urban Migrant
Workers: A Cross Sectional Survey in Shanghai. BMC Public Health 15:131
Maimaris, W., dkk. 2013. The Influence of Health Systems on Hypertension
Awareness, Treatment and Control: A Systematic Literature Review. Plos
One July 2013 Volume 10 Issue 7
Maharani, dkk. 2013. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan terhadap Pengetahuan
Masyarakat tentang Penyakit Hipertensi di Desa Patobong Kecamatan
Mattiro Sompe Kabupaten Pinrang. Jurnal Stikes Nani Hasanuddin Makassar
Vol. 3 No. 1 2013
Martens, P. dkk. 2010. Is Globalization Healthy: A statistical Indicator Analysis
of The Impacts of Globalization on Health. Global Health, 2010; 6: 16
Maulana, H. D. J. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC
McFarlane S. I. dan Bakris G. L. 2012. Diabetes and Hypertension: Evaluation
and Management. New York: Springer
Mendez-Chacon, E. 2008. Factors Associated with Hypertension Prevalence,
Unawareness and Treatment among Costa Rican Elderly. BMC Public
Helath 2008, 8:275
Merrill, R. M. 2011. Principles of Epidemiology Workbook: Exercise and
Activities. Canada: Jones & Barlett Learning
127
Mion, D., dkk. 2004. Hypertension in Employees of A University General
Hospital. Rev. Hosp. Clín. Fac. Med. S. Paulo 59(6):329-336
Mohan, V., dkk. 2007. Prevalence, Awereness and Control of Hypertension in
Chennai-The Chennai Urban Rural Epidemiology Study (CURES-52). JAPI
Vol. 5 May 2007
Mohler, E. R. dan Townsend, R. R. 2006. Advanced Therapy in Hypertension and
Vascular Disease. Ontario: BC Decker
Moreira J. P., Moraes, J. R. dan Luiz, R. R. 2013. Prevalence of Self-Reported
Systemic Arterial Hypertension in Urban and Rural Environments in Brazil:
A Population-Based Study. Cad Saude Publica, Rio de Janeiro, 29 (1): 62-72,
Jan. 2013
Moore, R. D. 2001. The High Blood Pressure Solution: A Scientifically Proven
Program for Preventing Strokes and Heart Disease. Vermont: Healing Arts
Musinguzi, G. dan Nuwaha, F. 2013. Prevalence, Awereness and Control of
Hypertension in Uganda. Plose One April 2013 Vol. 8 Issue 4
Natalia, D. 2015. Hubungan Obesitas dengan Kejadian Hipertensi di Kecamatan
Sintang, Kalimantan Barat. CDK-224/vol. 42 no. 5, th. 2015
Ngoye, A., dkk. 2014. Differences in Hypertension Risk Factors between Rural
Maasai in Ngorongoro and Urban Maasai in Arusha Municipal: A
Descriptve Study. Journal of Applied Life Sciences International 1(1): 17-31,
2014
Obirikorang, C., dkk. 2015. Obesity and Cardio-Metabolic Risk Factors in An
Urban and Rural Population in The Ashanti Region-Ghana: A Comparative
Cross-Sectional Study. Plose One DOI: 10. 137
Okpechi, I. G. dkk. 2014 Blood Pressure Gradients and Cardiovascular Risk
Factors in Urban and Rural Populations in Abia State South Eastern Nigeria
Using the WHO STEPwise Approach. Plose One September 2014. Vol. 8
Issue 9
Paibul, S. 2003. Cardiovascular Risk Factor Levels in Urban and Rural Thailand
– The International Collaborative Study of Cardiovascular Disease in Asia
(InterASIA); the InterASIA Collaborative Group. European Journal of
Cardiovascular Prevention & Rehabilitation 2003 10:249
Peer, N., dkk. 2013 A High Burden of Hypertension in The Urban Black
Population of Cape Town: The Cardiovascular Risk in Black South Africans
(CRIBSA) Study. Plose One November 2013 Vol. 8 Issue 11
128
Pickering, T. G. dkk. 2005. Recommendations for Blood Pressure Measurement
in Human and Experimental Animals: Part 1: Blood Pressure Measurement
in Humans: A Statement for Professional from the Subcommittee of
Professional and Public Health of the American Heart Association Council
on High Blood Pressure Research. Hypertension, 2005;45:142-161
Pimenta, A. M., et al. 2008. Association Between Central Obesity, Triglycerides
and Hypertension in a Rural Area in Brazil. Arq Bras Cardiol 2008; 90(6):
386-392
Pooja dan Mittal, Y. 2013. Prevalence of Hypertension and Its Determinants in
Urban Area of Uttarakhand. Asian Journal of Biomedicali & Pharmaceutical
Sciences; 3(21), 12-16
Prabhakaran, D., dkk. 2007. Difference in The Prevalence of Metabolic Syndrome
in Urban and Rural India: A Problem of Urbanization. Sage Pub. Chronic
Illness 2007 3:8
Rachmadi, D., dkk. 2011. Mutasi Gen NPHS2 (412CT, 419delG) dan
Manifestasi Klinis Sindrom Nefrotik Resisten Steroid Anak Indonesia. MKB,
vol. 43, No. 4
Rahajeng, E. dan Tuminah, S. 2009. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di
Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 59, No. 12, Desember 2009
Rahl, R. L. 2010. Physical Activity and Health Guidelines: Recommendations for
Various Ages, Fitness Levels, and Conditions from 57 Authoriative Sources.
United States: Human Kinetics
Ramirez, S. S. dkk. 2010. Prevalence and Correlates of Hypertension: A Cross-
Sectional Study among Rural Populations in Sub-Saharan Africa. Journal of
Human Hypertension (2010) 24, 786–795
Rapsomaniki, E., et al. 2014. Blood Pressure and Incidence of Twelve
Cardiovascular Disease: Lifetime Risks, Healthy Life-Years Lost, and Age-
Specific Associations in 1.25 Million People. Lancet 2014; 383: 1899-1911
Robertson, D. et al. 2012. Primer on the Autonomic Nervous System. Third
Edition. USA: Elsevier
Rodahl, K. 2005. The Physiology of Work. USA: Taylor and Francis
Santoso, J. 2006. Menyiasati Kota Tanpa Warga. Editor: Rani Elsant. Jakarta:
KPG
Santy, R. D. dan Buhari, R. M. 2015. Urbanization and Migration as Factors
Affecting Global Economic Development: Economic Impact and Current
Results of Urbanization: The Case of Indonesia. Editor: Denis Ushakov.
Rusia: Information Science Reference
129
Schnitzer, J. G. 2000. Hypertension Causes & Cure: Life Threatening Risk Factor
1, Now Curable!. Jerman: Johann Georg Schnitzer
Shaikh, M. A., 2011. Hypertension Knowledge, Attitude and Practice in Adult
Hypertensive Patients at LUMHS.
Sobngwi, E. dkk. 2004. Exposure over the Life Course to an Urban Environment
and Its Relation with Obesity, Diabetes, and Hypertension in Rural and
Urban Cameroon. International Journal of Epidemiology 2004: 33:769-776
Soekanto, S. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Grafindo Persada
Stefhany, E. 2012. Hubungan Pola Makan, Gaya Hidup dan Indeks Masa Tubuh
dengan Hipertensi pada Pra Lansia dan Lansia di Posbindu Kelurahan
Depok Jaya Tahun 2012. Skripsi Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia
Sudarma, M. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika
Suhardi, dkk. 2014. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Hipertensi Setalah
Penyuluhan Kesehatan di Puskesmas Air Lais Bengkulu Utara Tahun 2011.
Journal of Nursing and Public Health Vol., No. 1 Juli 2014
Sulastri, D., dkk. 2011. Asupan Lemak dan Ekspresi Gen eNOS3 Alel Glu298Asp
pada Penderita Hipertensi Etnik Minangkabau. Media Medika Indonesia
Vol. 45, No. 1 tahun 2011
Sundari, dkk. 2013. Faktor Risiko Nongenetik dan Polimorfisme Promoter Region
Gen CYP11B2 Varian T(-344)C Aldosterone Synthase pada Pasien
Hipertensi Esensial di Wilayah Pantai dan Pegunungan. Jurnal Kedokteran
Brawijaya, Vol. 27, No. 3 Februari 2013
Syamsoedin, W. K. P., dkk. 2015. Hubungan Durasi Penggunaan Media Sosial
dengan Kejadian Insomnia pada Remaja di SMA 9 Manado. E-jurnal
Keperawatan Vol. 3, No. 1 Februari 2015
Tarupay, dkk. 2014. Perilaku Merokok Mahasiswi di Kota Makassar. Jurnal
Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Hasanudin
The Lancet. 2012. Cardiovascular Disease 2012. London: Elsevier Ltd.
Thuy, A. B. 2010. The Association between Smoking and Hypertension in A
Population-Based Sample of Vietnamese Men. Journal of Hypertension 2010,
Vol. 28 No. 2
130
Utsugi, M. T., dkk. 2008. Fruit and Vegetable Consumption and the Risk of
Hypertension Determined by Self Measurement of Blood Pressure at Home:
The Ohasama Study. Hypertension Research Vol. 31, No. 7
Utomo, P. T. 2013. Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Hipertensi dengan
Upaya Pencegahan Kekambuhan Hipertensi pada Lansia di Desa Blulukan
Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar. Naskah Publikasi
Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Viera, A. J. 2008. High Blood Pressure Knowledge among Primary Care Patients
with Known Hypertension: A North Carolina Family Medicine Research
Network (NC-FM-RN) Study. (Journal Am. Board Fam. Med. 2008;21: 300-
308
Walker, R. W. 2013. Stroke Risk Factors in an Incident Population in Urban and
Rural Tanzania: A Prospective, Community-Based, Case Control. Lancet
Glob Health 2013; 1.
Webb P. dan Bain C. 2011. Essential Epidemiology: An Introduction for Students
and Health Professionals. Second Edition. United Kingdom: Cambridge
University Press.
World Health Organization (WHO). 2008. Mean Systolic Blood Pressure (SBP),
Ages 25+, Age Standardized Females, 2008. Artikel diakses tanggal 12
Oktober 2014 dari
http://gamapserver.who.int/mapLibrary/Files/Maps/Global_BloodPressureMe
an_Females_2008.png
_____. 2008. Mean Systolic Blood Pressure (SBP), Ages 25+, Age Standardized
Males, 2008. Artikel diakses tanggal 12 Oktober 2014 dari
http://gamapserver.who.int/mapLibrary/Files/Maps/Global_BloodPressureMe
an_Males_2008.png
_____. 2011. Global Status Report on Noncommunicable Diseases 2010.
_____. 2011. Hypertension Fact Sheet. Department of Sustainable Development
and Healthy Environments
_____. 2013. A Global Brief on Hypertension: Silent Killer, Global Public Health
Crisis
_____. 2013. World Health Day 2013: High Blood Pressure Global and Regional
Overview. WHO Regional Office of South-East Asia
_____. 2014. Global Status Report on Noncommunicable Diseases 2014:
Attaining the Nine Global Noncommunicable Diseases Targets; A Shared
Responsibility.
131
WHO. 2014. Obesity. Artikel diakses tanggal 13 Oktober 2014 dari
http://www.who.int/topics/obesity/en/
_____. 2014. Raised Blood Pressure. Artikel diakses tanggal 12 Oktober 2014
dari
http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/blood_pressure_prevalence_text/en/
_____. 2015. Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ): Analysis Guide.
Geneva: WHO
_____. 2015. Hypertension. Artikel diakses tanggal 9 Maret 2015 dari
http://www.who.int/topics/hypertension/en/
Xu, C. dkk. 2008. Prevalence of and Risk Factors for Isolated Systolyc
Hypertension in the Rural Adult Population of Liaoning Province, China.
Journal of International Medical Research 36:353
Yang, H., dkk. 2006. Work Hours and Self-Reported Hypertension Among
Working People in California. Hypertension 2006; 48: 744-750
Yang, G., dkk. 2013. Rapid Health Transition in China, 1990-2010: Findings
from the Global Burden of Disease Study 2010. Lancet 2013; 381: 1987-2015
Zhang, J., dkk. 2013. Prevalence, Awereness, Medication, Control, and Risk
Factors Associated with Hypertension in Bai Ethnic Group in Rural China:
The Yunan Minority Eye Study. Plose One August 2013 Vol. 8 Issue 8
132
LAMPIRAN 1
DISTRIBUSI SAMPEL RISKESDAS 2013
133
134
LAMPIRAN 2
HASIL UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS RISKESDAS 2013
135
136
LAMPIRAN 3
KUESIONER RISKESDAS 2013
137
138
139
LAMPIRAN 4
HASIL ANALISIS DATA
A. Kota
Jenis Kelamin * Status Hipertensi Crosstabulation
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Jenis Kelamin Perempuan Count 31070 104947 136017
% within Jenis Kelamin 22.8% 77.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 45.3% 48.0% 47.3%
Laki-laki Count 37574 113885 151459
% within Jenis Kelamin 24.8% 75.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 54.7% 52.0% 52.7%
Total Count 68644 218832 287476
% within Jenis Kelamin 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 152.277a 1 .000
Continuity Correctionb 152.169 1 .000
Likelihood Ratio 152.465 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 152.277 1 .000
N of Valid Casesb 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 32478,37.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Jenis Kelamin (Perempuan / Laki-laki) .897 .882 .913
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .921 .909 .933
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.026 1.022 1.030
N of Valid Cases 287476
140
Umur Responden * Status Hipertensi Crosstabulation
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Umur Responden >=64 Count 5993 4547 10540
% within Umur Responden 56.9% 43.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 8.7% 2.1% 3.7%
55-64 Count 7993 9935 17928
% within Umur Responden 44.6% 55.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 11.6% 4.5% 6.2%
45-54 Count 22789 36606 59395
% within Umur Responden 38.4% 61.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 33.2% 16.7% 20.7%
35-44 Count 18165 51980 70145
% within Umur Responden 25.9% 74.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 26.5% 23.8% 24.4%
25-34 Count 10179 62997 73176
% within Umur Responden 13.9% 86.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 14.8% 28.8% 25.5%
15-24 Count 3525 52767 56292
% within Umur Responden 6.3% 93.7% 100.0%
% within Status Hipertensi 5.1% 24.1% 19.6%
Total Count 68644 218832 287476
% within Umur Responden 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 31165.533a 5 .000
Likelihood Ratio 32256.568 5 .000
Linear-by-Linear Association 30840.463 1 .000
N of Valid Cases 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
2516,76.
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Tingkat
Pendidikan
Tidak sekolah/tidak tamat
SD/MI
Count 9327 18291 27618
% within Tingkat Pendidikan 33.8% 66.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 13.6% 8.4% 9.6%
Tamat SD/MI Count 18152 43087 61239
% within Tingkat Pendidikan 29.6% 70.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 26.4% 19.7% 21.3%
141
Tamat SLTP/MTs Count 12167 51550 63717
% within Tingkat Pendidikan 19.1% 80.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 17.7% 23.6% 22.2%
Tamat SLTA/MA Count 21179 80605 101784
% within Tingkat Pendidikan 20.8% 79.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 30.9% 36.8% 35.4%
Tamat perguruan tinggi Count 7819 25299 33118
% within Tingkat Pendidikan 23.6% 76.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 11.4% 11.6% 11.5%
Total Count 68644 218832 287476
% within Tingkat Pendidikan 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 3937.263a 4 .000
Likelihood Ratio 3827.444 4 .000
Linear-by-Linear Association 2096.994 1 .000
N of Valid Cases 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
6594,67.
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Status Pekerjaan Tidak Bekerja Count 26033 91648 117681
% within Status Pekerjaan 22.1% 77.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 37.9% 41.9% 40.9%
Bekerja Count 42611 127184 169795
% within Status Pekerjaan 25.1% 74.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 62.1% 58.1% 59.1%
Total Count 68644 218832 287476
% within Status Pekerjaan 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
142
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 338.196a 1 .000
Continuity Correctionb 338.033 1 .000
Likelihood Ratio 340.136 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 338.195 1 .000
N of Valid Casesb 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 28100,07.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Status Pekerjaan (Tidak Bekerja / Bekerja) .848 .833 .863
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .881 .870 .893
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.040 1.035 1.044
N of Valid Cases 287476
Status obesitas * Status Hipertensi Crosstabulation
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Status obesitas Ya Count 20609 28682 49291
% within Status obesitas 41.8% 58.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 30.3% 13.2% 17.2%
Tidak Count 47447 189424 236871
% within Status obesitas 20.0% 80.0% 100.0%
% within Status Hipertensi 69.7% 86.8% 82.8%
Total Count 68056 218106 286162
% within Status obesitas 23.8% 76.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 10677.730a 1 .000
Continuity Correctionb 10676.529 1 .000
Likelihood Ratio 9685.864 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 10677.693 1 .000
N of Valid Casesb 286162
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11722,55.
143
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Status obesitas (Ya / Tidak) 2.869 2.810 2.928
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 2.087 2.060 2.115
For cohort Status Hipertensi = Normal .728 .722 .733
N of Valid Cases 286162
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Riwayat Diabetes Ya Count 2727 2774 5501
% within Riwayat Diabetes 49.6% 50.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 4.0% 1.3% 1.9%
Tidak Count 65917 216058 281975
% within Riwayat Diabetes 23.4% 76.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 96.0% 98.7% 98.1%
Total Count 68644 218832 287476
% within Riwayat Diabetes 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Riwayat Diabetes (Ya / Tidak) 3.222 3.054 3.400
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 2.121 2.063 2.180
For cohort Status Hipertensi = Normal .658 .641 .676
N of Valid Cases 287476
b. Computed only for a 2x2 table
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 2037.077a 1 .000
Continuity Correctionb 2035.636 1 .000
Likelihood Ratio 1738.505 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 2037.070 1 .000
N of Valid Casesb 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1313,54.
b. Computed only for a 2x2 table
144
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Aktivitas Fisik <600 MET/Minggu Count 9285 28354 37639
% within Aktivitas Fisik 24.7% 75.3% 100.0%
% within Status Hipertensi 13.5% 13.0% 13.1%
>= 600 MET/Minggu Count 59359 190478 249837
% within Aktivitas Fisik 23.8% 76.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 86.5% 87.0% 86.9%
Total Count 68644 218832 287476
% within Aktivitas Fisik 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 14.885a 1 .000
Continuity Correctionb 14.835 1 .000
Likelihood Ratio 14.791 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 14.885 1 .000
N of Valid Casesb 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8987,50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Aktivitas Fisik (<600 MET/Minggu / >= 600
MET/Minggu) 1.051 1.025 1.078
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.038 1.019 1.058
For cohort Status Hipertensi = Normal .988 .982 .994
N of Valid Cases 287476
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 2022.765a 2 .000
Likelihood Ratio 1827.980 2 .000
Linear-by-Linear Association 64.722 1 .000
N of Valid Cases 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
3798,54.
145
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Konsumsi Makanan Asin >=1 kali/hari Count 14378 46948 61326
% within Konsumsi Makanan
Asin 23.4% 76.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 20.9% 21.5% 21.3%
<1 kali/hari Count 54266 171884 226150
% within Konsumsi Makanan
Asin 24.0% 76.0% 100.0%
% within Status Hipertensi 79.1% 78.5% 78.7%
Total Count 68644 218832 287476
% within Konsumsi Makanan
Asin 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 8.040a 1 .005
Continuity Correctionb 8.010 1 .005
Likelihood Ratio 8.065 1 .005
Fisher's Exact Test .005 .002
Linear-by-Linear Association 8.040 1 .005
N of Valid Casesb 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14643,52.
b. Computed only for a 2x2 table
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Kebiasaan
Merokok
Merokok Count 21848 70985 92833
% within Kebiasaan Merokok 23.5% 76.5% 100.0%
% within Status Hipertensi 31.8% 32.4% 32.3%
Pernah merokok Count 6137 9771 15908
% within Kebiasaan Merokok 38.6% 61.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 8.9% 4.5% 5.5%
Tidak pernah
merokok
Count 40659 138076 178735
% within Kebiasaan Merokok 22.7% 77.3% 100.0%
% within Status Hipertensi 59.2% 63.1% 62.2%
Total Count 68644 218832 287476
% within Kebiasaan Merokok 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
146
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 3.860a 1 .049
Continuity Correctionb 3.843 1 .050
Likelihood Ratio 3.863 1 .049
Fisher's Exact Test .050 .025
Linear-by-Linear Association 3.860 1 .049
N of Valid Casesb 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 26136,09.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Konsumsi Makanan Asin (>=1 kali/hari / <1 kali/hari) .970 .950 .991
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .977 .961 .993
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.007 1.002 1.012
N of Valid Cases 287476
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Konsumsi Makanan Berlemak >=1 kali/hari Count 25918 83538 109456
% within Konsumsi Makanan
Berlemak 23.7% 76.3% 100.0%
% within Status Hipertensi 37.8% 38.2% 38.1%
<1 kali/hari Count 42726 135294 178020
% within Konsumsi Makanan
Berlemak 24.0% 76.0% 100.0%
% within Status Hipertensi 62.2% 61.8% 61.9%
Total Count 68644 218832 287476
% within Konsumsi Makanan
Berlemak 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
147
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Konsumsi Makanan Berlemak (>=1 kali/hari /
<1 kali/hari) .982 .965 1.000
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .987 .973 1.000
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.004 1.000 1.008
N of Valid Cases 287476
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Konsumsi Sayur <2 porsi/hari Count 50443 162894 213337
% within Konsumsi Sayur 23.6% 76.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 73.5% 74.4% 74.2%
>=2 porsi/hari Count 18201 55938 74139
% within Konsumsi Sayur 24.5% 75.5% 100.0%
% within Status Hipertensi 26.5% 25.6% 25.8%
Total Count 68644 218832 287476
% within Konsumsi Sayur 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 24.796a 1 .000
Continuity Correctionb 24.746 1 .000
Likelihood Ratio 24.694 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 24.796 1 .000
N of Valid Casesb 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17703,03.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Konsumsi Sayur (<2 porsi/hari / >=2 porsi/hari) .952 .933 .970
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .963 .949 .977
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.012 1.007 1.017
N of Valid Cases 287476
Crosstab
148
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Konsumsi Buah <3 porsi/hari Count 67286 215266 282552
% within Konsumsi Buah 23.8% 76.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 98.0% 98.4% 98.3%
>=3 porsi/hari Count 1358 3566 4924
% within Konsumsi Buah 27.6% 72.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 2.0% 1.6% 1.7%
Total Count 68644 218832 287476
% within Konsumsi Buah 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 37.754a 1 .000
Continuity Correctionb 37.547 1 .000
Likelihood Ratio 36.545 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 37.753 1 .000
N of Valid Casesb 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1175,76.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Konsumsi Buah (<3 porsi/hari / >=3 porsi/hari) .821 .771 .874
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .863 .825 .904
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.052 1.034 1.070
N of Valid Cases 287476
149
B. Desa
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .610a 1 .435
Continuity Correctionb .603 1 .437
Likelihood Ratio .610 1 .435
Fisher's Exact Test .435 .219
Linear-by-Linear Association .610 1 .435
N of Valid Casesb 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 33971,10.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Jenis Kelamin (Perempuan / Laki-laki) .993 .977 1.010
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .995 .982 1.008
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.001 .998 1.005
N of Valid Cases 329510
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Umur Responden * Status
Hipertensi 329504 100.0% 0 .0% 329504 100.0%
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Jenis Kelamin Perempuan Count 33878 118055 151933
% within Jenis Kelamin 22.3% 77.7% 100.0%
% within Status Hipertensi 46.0% 46.1% 46.1%
Laki-laki Count 39798 137779 177577
% within Jenis Kelamin 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 54.0% 53.9% 53.9%
Total Count 73676 255834 329510
% within Jenis Kelamin 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
150
Chi-Square Tests
Umur Responden * Status Hipertensi Crosstabulation
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Umur Responden >=64 Count 7649 6918 14567
% within Umur Responden 52.5% 47.5% 100.0%
% within Status Hipertensi 10.4% 2.7% 4.4%
55-64 Count 8351 12772 21123
% within Umur Responden 39.5% 60.5% 100.0%
% within Status Hipertensi 11.3% 5.0% 6.4%
45-54 Count 22431 43149 65580
% within Umur Responden 34.2% 65.8% 100.0%
% within Status Hipertensi 30.4% 16.9% 19.9%
35-44 Count 19577 62788 82365
% within Umur Responden 23.8% 76.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 26.6% 24.5% 25.0%
25-34 Count 11523 73716 85239
% within Umur Responden 13.5% 86.5% 100.0%
% within Status Hipertensi 15.6% 28.8% 25.9%
15-24 Count 4142 56488 60630
% within Umur Responden 6.8% 93.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 5.6% 22.1% 18.4%
Total Count 73673 255831 329504
% within Umur Responden 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 28870.505a 5 .000
Likelihood Ratio 29348.275 5 .000
Linear-by-Linear Association 28595.142 1 .000
N of Valid Cases 329504
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3257,00.
151
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Tingkat
Pendidikan
Tidak sekolah/tidak tamat
SD/MI
Count 20227 49973 70200
% within Tingkat Pendidikan 28.8% 71.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 27.5% 19.5% 21.3%
Tamat SD/MI Count 28965 85994 114959
% within Tingkat Pendidikan 25.2% 74.8% 100.0%
% within Status Hipertensi 39.3% 33.6% 34.9%
Tamat SLTP/MTs Count 11384 59929 71313
% within Tingkat Pendidikan 16.0% 84.0% 100.0%
% within Status Hipertensi 15.5% 23.4% 21.6%
Tamat SLTA/MA Count 10224 49811 60035
% within Tingkat Pendidikan 17.0% 83.0% 100.0%
% within Status Hipertensi 13.9% 19.5% 18.2%
Tamat perguruan tinggi Count 2876 10127 13003
% within Tingkat Pendidikan 22.1% 77.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 3.9% 4.0% 3.9%
Total Count 73676 255834 329510
% within Tingkat Pendidikan 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 4880.346a 4 .000
Likelihood Ratio 4966.179 4 .000
Linear-by-Linear Association 3324.857 1 .000
N of Valid Cases 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
2907,37.
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Status Pekerjaan Tidak Bekerja Count 23163 92955 116118
% within Status Pekerjaan 19.9% 80.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 31.4% 36.3% 35.2%
Bekerja Count 50513 162879 213392
% within Status Pekerjaan 23.7% 76.3% 100.0%
% within Status Hipertensi 68.6% 63.7% 64.8%
Total Count 73676 255834 329510
% within Status Pekerjaan 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
152
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 600.619a 1 .000
Continuity Correctionb 600.405 1 .000
Likelihood Ratio 608.361 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 600.617 1 .000
N of Valid Casesb 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25963,13.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Status Pekerjaan (Tidak Bekerja / Bekerja) .803 .790 .818
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .843 .831 .854
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.049 1.045 1.053
N of Valid Cases 329510
Status obesitas * Status Hipertensi Crosstabulation
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Status obesitas Ya Count 15062 22028 37090
% within Status obesitas 40.6% 59.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 20.7% 8.7% 11.3%
Tidak Count 57817 232410 290227
% within Status obesitas 19.9% 80.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 79.3% 91.3% 88.7%
Total Count 72879 254438 327317
% within Status obesitas 22.3% 77.7% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 8132.366a 1 .000
Continuity Correctionb 8131.171 1 .000
Likelihood Ratio 7191.087 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 8132.341 1 .000
N of Valid Casesb 327317
153
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8258,30.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Status obesitas (Ya / Tidak) 2.749 2.687 2.811
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 2.038 2.010 2.068
For cohort Status Hipertensi = Normal .742 .735 .748
N of Valid Cases 327317
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Riwayat Diabetes Ya Count 1442 1901 3343
% within Riwayat Diabetes 43.1% 56.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 2.0% .7% 1.0%
Tidak Count 72234 253933 326167
% within Riwayat Diabetes 22.1% 77.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 98.0% 99.3% 99.0%
Total Count 73676 255834 329510
% within Riwayat Diabetes 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Riwayat Diabetes (Ya / Tidak) 2.667 2.489 2.857
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.948 1.872 2.026
For cohort Status Hipertensi = Normal .730 .709 .752
N of Valid Cases 329510
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 839.706a 1 .000
Continuity Correctionb 838.497 1 .000
Likelihood Ratio 719.609 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 839.703 1 .000
N of Valid Casesb 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 747,47.
b. Computed only for a 2x2 table
154
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Aktivitas Fisik <600 MET/Minggu Count 7562 22544 30106
% within Aktivitas Fisik 25.1% 74.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 10.3% 8.8% 9.1%
>= 600 MET/Minggu Count 66114 233290 299404
% within Aktivitas Fisik 22.1% 77.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 89.7% 91.2% 90.9%
Total Count 73676 255834 329510
% within Aktivitas Fisik 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Aktivitas Fisik (<600 MET/Minggu / >= 600
MET/Minggu) 1.184 1.152 1.217
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.137 1.114 1.161
For cohort Status Hipertensi = Normal .961 .955 .968
N of Valid Cases 329510
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 145.249a 1 .000
Continuity Correctionb 145.074 1 .000
Likelihood Ratio 141.672 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 145.248 1 .000
N of Valid Casesb 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6731,48.
b. Computed only for a 2x2 table
155
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Kebiasaan Merokok Merokok Count 25686 93313 118999
% within Kebiasaan Merokok 21.6% 78.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 34.9% 36.5% 36.1%
Pernah merokok Count 5234 9268 14502
% within Kebiasaan Merokok 36.1% 63.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 7.1% 3.6% 4.4%
Tidak pernah merokok Count 42756 153253 196009
% within Kebiasaan Merokok 21.8% 78.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 58.0% 59.9% 59.5%
Total Count 73676 255834 329510
% within Kebiasaan Merokok 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Konsumsi Makanan Asin >=1 kali/hari Count 16705 56778 73483
% within Konsumsi Makanan
Asin 22.7% 77.3% 100.0%
% within Status Hipertensi 22.7% 22.2% 22.3%
<1 kali/hari Count 56971 199056 256027
% within Konsumsi Makanan
Asin 22.3% 77.7% 100.0%
% within Status Hipertensi 77.3% 77.8% 77.7%
Total Count 73676 255834 329510
% within Konsumsi Makanan
Asin 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 1650.062a 2 .000
Likelihood Ratio 1479.695 2 .000
Linear-by-Linear Association .430 1 .512
N of Valid Cases 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
3242,54.
156
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 7.616a 1 .006
Continuity Correctionb 7.588 1 .006
Likelihood Ratio 7.594 1 .006
Fisher's Exact Test .006 .003
Linear-by-Linear Association 7.616 1 .006
N of Valid Casesb 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16430,26.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Konsumsi Makanan Asin (>=1 kali/hari / <1
kali/hari) 1.028 1.008 1.048
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.022 1.006 1.037
For cohort Status Hipertensi = Normal .994 .989 .998
N of Valid Cases 329510
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Konsumsi Makanan Berlemak >=1 kali/hari Count 22879 77020 99899
% within Konsumsi Makanan
Berlemak 22.9% 77.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 31.1% 30.1% 30.3%
<1 kali/hari Count 50797 178814 229611
% within Konsumsi Makanan
Berlemak 22.1% 77.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 68.9% 69.9% 69.7%
Total Count 73676 255834 329510
% within Konsumsi Makanan
Berlemak 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
157
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 24.338a 1 .000
Continuity Correctionb 24.293 1 .000
Likelihood Ratio 24.260 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 24.338 1 .000
N of Valid Casesb 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 22336,68.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Konsumsi Makanan Berlemak (>=1 kali/hari /
<1 kali/hari) 1.046 1.027 1.064
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.035 1.021 1.050
For cohort Status Hipertensi = Normal .990 .986 .994
N of Valid Cases 329510
Crosstab
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Konsumsi Sayur <2 porsi/hari Count 54985 190638 245623
% within Konsumsi Sayur 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 74.6% 74.5% 74.5%
>=2 porsi/hari Count 18691 65196 83887
% within Konsumsi Sayur 22.3% 77.7% 100.0%
% within Status Hipertensi 25.4% 25.5% 25.5%
Total Count 73676 255834 329510
% within Konsumsi Sayur 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
158
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .395a 1 .529
Continuity Correctionb .389 1 .533
Likelihood Ratio .396 1 .529
Fisher's Exact Test .533 .266
Linear-by-Linear Association .395 1 .529
N of Valid Casesb 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18756,51.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Konsumsi Sayur (<2 porsi/hari / >=2 porsi/hari) 1.006 .987 1.025
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.005 .990 1.020
For cohort Status Hipertensi = Normal .999 .994 1.003
N of Valid Cases 329510
Konsumsi Buah * Status Hipertensi Crosstabulation
Status Hipertensi
Total Hipertensi Normal
Konsumsi Buah <3 porsi/hari Count 73023 253829 326852
% within Konsumsi Buah 22.3% 77.7% 100.0%
% within Status Hipertensi 99.1% 99.2% 99.2%
>=3 porsi/hari Count 653 2005 2658
% within Konsumsi Buah 24.6% 75.4% 100.0%
% within Status Hipertensi .9% .8% .8%
Total Count 73676 255834 329510
% within Konsumsi Buah 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 7.526a 1 .006
Continuity Correctionb 7.398 1 .007
Likelihood Ratio 7.360 1 .007
Fisher's Exact Test .006 .003
Linear-by-Linear Association 7.526 1 .006
N of Valid Casesb 329510
159
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 594,31.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Konsumsi Buah (<3 porsi/hari / >=3 porsi/hari) .883 .808 .965
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .909 .851 .972
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.030 1.007 1.052
N of Valid Cases 329510