eritroderma fix
DESCRIPTION
referat kulit dan kelaminTRANSCRIPT
ERITRODERMA
A. DEFENISI
Eritroderma juga dikenal sebagai sindrom manusia merah atau sebagai
dermatitis eksfoliatif. Eritroderma merupakan manifestasi klinis dari berbagai
penyakit yang mendasari, termasuk keganasan (misalnya, kulit T-sel limfoma
dan fenomena paraneoplastik), ada penyakit kulit terdahulu (misalnya,
dermatitis, psoriasis dermatitis atopik, seboroik dan pityriasis rubra pilaris),
reaksi obat, gangguan bulosa dan dermatitis kontak alergi. Saat ini sampai
dengan 25% dari kasus, tidak ditemukan penyebab yang mendasari dan karena
itu disebut eritroderma idiopatik. Eritoderma berasal dari bahasa Yunani, yaitu
erythro yang artinya merah dan dermatos yang artinya kulit.(1,2)
Insiden eritroderma di Amerika Serikat bervariasi, antara 0,9 sampai 71,0
per 100.000 penderita rawat jalan dermatologi. Hasan dan Jansen (1983)
memperkirakan insiden eritroderma sebesar 1-2 per 100.000 penderita. Sehgal
dan Srivasta (1986) pada sebuah penelitian prospektif di India melaporkan 35
per 100.000 penderita eritroderma dirawat jalan dermatologi. Pada beberapa
kasus, didapatkan insiden pada laki-laki lebih besar dari pada perempuan,
dengan proporsi 2:1 sampai 4:1 dan usia rata-rata 41-61 tahun. (2,3)
B. ETIOLOGI
Eritroderma dapat timbul sebagai perluasan dari penyakit kulit yang telah
ada sebelumnya seperti psoriasis atau dermatitis atopik. Pada kasus yang
lainnya terjadi dikarenakan obat-obatan dan beberapa diantaranya terjadi
sebagai akibat dari keganasan, erythrodermic mycosis fungoides atau sindrom
Sezary. Pada anak-anak, gangguan sistem imun biasanya menjadi penyebab
timbulnya eritroderma. Tetapi, kebanyakan penderita eritroderma
penyebabnya tidak diketahui bahkan setelah dilakukan evaluasi. (2,4)
Persentase penyakit kulit yang dapat menimbulkan eritroderma
diantaranya adalah psoriasis 23%, dermatitis spongiotik 20%, alergi obat 15%,
1
CTCL (Cutaneus T-Cell Lymphoma) atau sindrom sezary 5%. Sekitar 20%
kasus eritroderma tidak dapat ditemukan penyebabnya dan diklasifikasikan
sebagai eritroderma idiopatik. (5)
C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi eritroderma masih belum jelas, yang dapat diketahui adalah
akibat suatu agen dalam tubuh sehingga tubuh bereaksi berupa pelebaran
pembuluh darah kapiler (eritema) yang universal. Pelebaran pembuluh darah
tersebut menyebabkan aliran darah ke kulit meningkat sehingga kehilangan
panas bertambah dan mengakibatkan pasien merasa dingin dan menggigil.
Pada eritroderma kronis dapat terjadi gagal jantung, juga dapat terjadi
hipotermia akibat peningkatan perfusi kulit. Penguapan cairan yang makin
meningkat dapat menyebabkan dehidrasi. Bila suhu badan meningkat,
kehilangan panas juga meningkat sehingga pengaturan suhu terganggu.
Kehilangan panas menyebabkan hipermetabolisme kompensator dan
peningkatan laju metabolisme basal. Kehilangan cairan oleh transpirasi
meningkat sebanding laju metabolisme basal. Edema sering terjadi,
kemungkinan disebabkan oleh pergeseran cairan ke ruang ekstravaskuler.
Eritroderma akut dan kronis dapat mengganggu mitosis rambut dan kuku
berupa kerontokan rambut difus dan kehilangan kuku. Pada eritroderma yang
telah berlangsung berbulan-bulan, dapat terjadi perburukan keadaan umum
yang progresif.(3,6)
D. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Pada saat melakukan anamnesis diperlukan rincian riwayat
perjalanan penyakit pasien untuk menentukan kemungkinan etiologinya,
termasuk riwayat keluarga dan penggunaan obat-obatan yang pernah
digunakan serta riwayat menderita penyakit primer lainnya (contoh :
psoriasis, dermatitis atopik). Eritroderma berkembang dengan cepat jika
disebabkan oleh alergi obat-obatan, limfoma, leukemia atau
staphylococcal scalded skin syndrome, sehingga onset dari penyakit sangat
2
penting untuk ditanyakan. Keluhan lainnya seperti pruritus, malaise,
demam dan menggigil juga tidak boleh dilewatkan dari anamnesis untuk
membantu mendiagnosis. (5,7)
b. Gambaran Klinis
Eritroderma ditandai dengan adanya eritema pada lebih dari 90%
permukaan kulit dan biasanya disertai skuama. Bila eritemanya antara
50%-90% disebut sebagai pre-eritroderma. Pada eritroderma gejala klinis
yang harus ada adalah eritema, sedangkan skuama tidak selalu ada,
misalnya pada eritroderma karena alergi obat secara sistemik, pada
mulanya tidak disertai skuama, baru kemudian pada stadium penyembuhan
timbul skuama. Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas,
karena bercampur dengan hiperpigmentasi. (3)
Meskipun eritroderma memiliki etiologi yang berbeda, penyakit ini
memiliki beberapa gejala klinis yang umum. Pruritus adalah salah satu
gejala yang paling sering dikeluhkan dan didapatkan pada hampir 90%
pasien. Gejala ini bervariasi tergantung dari penyakit yang mendasari dan
lebih berat pada sindrom sezary. Bekas garukan karena kulit yang gatal
menjadi tebal dan area dengan likenifikasi dialami oleh 1 dari 3 pasien. (8)
Eritroderma terjadi dalam waktu yang singkat. Lesi kemerahan
yang gatal meluas ke seluruh tubuh dengan cepat dan disertai dengan
skuama. Deskuamasi yang difus dimulai dari daerah lipatan, kemudian
menyeluruh. Bila kulit kepala sudah terkena, dapat terjadi alopesia,
perubahan kuku dan kuku dapat terlepas. Kulit terlihat merah terang,
terasa panas, kering dan tebal jika diraba. Biasanya gejala klinis tersebut
disertai dengan keluhan demam, menggigil dan malaise. Penyebab dari
kelainan kulit ini biasanya sulit diidentifikasi, tetapi pada beberapa kasus,
pasien memiliki gejala klinis yang spesifik. (9)
Eritroderma bisa terjadi dikarenakan alergi obat dan biasanya
secara sistemik. Untuk menentukannya diperlukan anamnesis yang teliti.
3
Waktu mulai masuknya obat kedalam tubuh hingga timbul penyakit
bervariasi dapat segera sampai 2 minggu. Gambaran klinisnya ialah
eritema universal. Bila masih akut tidak terdapat skuama, pada tahap
penyembuhan baru terdapat skuama. Eritroderma akibat perluasan
penyakit kulit yang sering menjadi masalah adalah psoriasis dan dapat
pula penyakit dermatitis seboroik pada bayi (penyakit linear). Psoriasis
dapat menjadi eritroderma karena disebabkan oleh penyakitnya sendiri
atau karena pengobatan yang terlalu kuat misalnya dengan pengobatan
topikal dengan ter dengan konsentrasi yang terlalu tinggi. Sedangkan pada
penyakit leiner atau biasa disebut eritroderma deskuamativum ini
etiologinya belum diketahui pasti tetapi menurut para ahli penyakit ini
disebabkan oleh karena dermatitis seboroik yang meluas. Eritroderma
akibat penyakit sistemik termasuk keganasan, termasuk di dalam golongan
ini adalah sindrom sezary. Sindrom sezary termasuk dalam penyakit
limfoma, ada yang mengatakan kalau penyakit ini adalah stadium dini dari
mikosis fungoides. Penyebabnya belum diketahui, diduga berhubungan
dengan infeksi virus HTLV-V (Human T-Lymphotropic Virus) dan
dimasukkan kedalam CTCL (Cutaneous T-Cell Lymphoma).(3)
4
Gambar 1. Eritroderma pada Sindrom Sezary. Eritema berwarna merah membara yang universal disertai skuama. (10)
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium hasil yang didapatkan biasanya
tidak spesifik. Paling umum ditemukan adanya anemia, leukositosis,
limfositosis, eosinofilia, peningkatan IgE, dan peningkatan LED.
Peningkatan eosinofilia biasanya ditemukan pada 20% pasien eritroderma
tetapi hal tersebut tidak dapat digunakan sebagai penunjang diagnostik.
Meskipun demikan, ketika didapatkan peningkatan eosinofil yang sangat
tinggi, kemungkinan ada kaitannya dengan penyakit Hodgkin dan harus
diselidiki. Penurunan albumin serum juga biasanya didapatkan pada pasien
dengan eritroderma. Peningkatan IgE biasanya ditemukan pada
eritroderma yang disebabkan oleh dermatitis atopik. (5)
Pemeriksaan apusan darah tepi dan sumsum tulang berguna dalam
penentuan leukemia Pemeriksaan kerokan kulit dapat dilakukan untuk
melihat adanya hifa ataupun tungau scabies. Kultur juga dapat dilakukan
untuk melihat apakah ada pertumbuhan bakteri atau adanya virus herpes
simpleks. Pada sebuah penelitian, penurunan CD4 dan perhitungan sel T
diobservasi pada pasien dengan eritroderma dan juga menderita HIV. (7)
5
Gambar 3. Eritroderma dengan deskuamasi. Terlihat jelas lapisan stratum korneum yang terlepas pada telapak tangan dengan warna kulit yang merah. (8)
Gambar 2. Eritroderma pada Psoriasis. Terdapat eritema universalis dan penebalan kulit. (5)
Gambar 4. Hasil pemeriksaan kerokan kulit di mikroskop. Tampak tungau skabies, telur dan feses.(6)
E. DIAGNOSIS BANDING
a. Psoriasis
Psoriasis ialah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat
kronik dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas
tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis, kasar dan transparan
disertai dengan fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Köbner.(4)
Pada psoriasis yang menjadi eritroderma, sebagian penderita
mengeluh gatal ringan. Kelainan kulit terdiri atas bercak-bercak eritema
yang meninggi dengan skuama di atasnya. Eritema sikumskrip dan merata,
tetapi pada stadium penyembuhan sering eritema yang di tengah
menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Pada psoriasis terdapat
fenomena tetesan lilin, auspitz, dan köbner (isomorfik). Fenomena tetesan
lilin ialah skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada goresan,
seperti lilin yang digores, disebaban oleh berubahnya indeks bias. Pada
fenomena auspitz tampak serum atau darah berbintik-bintik yang
disebabkan oleh papilomatosis. Trauma pada kulit penderita psoriasis
misalnya garukan, dapat menyebabkan kelainan yang sama dengan
kelainan psoriasis dan disebut fenomena köbner yang timbul kira-kira
setelah 3 minggu. Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan pada kuku,
yakni sebanyak 50% yang agak khas ialah yang disebut pitting nail atau
nail pit berupa lekukan-lekukan miliar.(3)
6
b. Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik adalah penyakit kulit dengan keradangan
superfisial kronis yang mengalami remisi dan eksasebarsi dengan area
seboroik sebagai tempat predileksi. Penyebabnya belum diketahui pasti
tetapi diketahui bahwa faktor predisposisinya ialah kelainan konstitusi
berupa status seboroik yang rupanya diturunkan dan bagaimana caranya
belum dapat dipastikan. Dermatitis seboroik erat kaitannya dengan kerja
dari glandula sebasea. Glandula sebasea itu aktif pada bayi yang baru
7
Gambar 5. Psoriasis Eritroderma. Skuama tebal pada tangan kanan. (4)
Gambar 6. Pitting nail. Tampak hiperkeratosis subungual, penebalan lapisan kuku dan lekukan-lekukan miliar. (4)
Gambar 7. Fenomena Auspitz. Tampak serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis.(10)
Gambar 8. Fenomena Köbner. Bekas garukan atau trauma menyebabkan lesi yang sama dengan psoriasis.(10)
lahir, kemudian menjadi tidak aktif selama 9-12 bulan akibat stimulasi
hormon androgen dari ibu berhenti. (3)
c. Erupsi Obat (Sindrom Hipersensitivitas Obat)
Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) merupakan salah satu reaksi
simpang obat yang berat. Sindrom hipersensitivitas obat ditandai oleh
ruam kulit, demam, leukositosis dengan eosinofilia atau limfositosis atipik,
pembesaran kelenjar getah bening, serta gangguan pada hati atau ginjal.
Faktor yang berperan dalam terjadinya SHO adalah paparan terhadap obat
yang berpotensi kepada individu yang memiliki kerentanan. Obat-obatan
yang seringkali menyebabkan SHO adalah anti kejang, alupurinol, atau
OAINS (obat anti inflamasi non steroid). Kerentanan individu disebabkan
oleh faktor keturunan (jenis kelamin, polimorfisme genetik) maupun
faktor didapat (infeksi Human Immunodeficiency Virus, Lupus
Eritematous Sistemik, Human Herpes Virus-6). Tatalaksana kasus SHO
meliputi tatalaksana suportif serta pemberian kortikosteroid sistemik.
Sebagian besar kasus SHO akan mengalami penyembuhan dengan baik.
Antihistamin serta kortikosteroid topikal dapat diberikan untuk
meringankan keluhan. (11)
F. PENATALAKSANAAN
Pada eritroderma yang dikarenakan alergi obat, obat yang tersangka
sebagai kausanya harus segera dihentikan. Umumnya pengobatan eritroderma
dengan kortikosteroid. Pada kasus yang disebabkan oleh alergi obat secara
sistemik, prednison 10 mg diberikan empat kali sehari dengan dosis maksimal
8
Gambar 9. Dermatitis seboroik. Terdapat makula eritema dengan skuama berminyak berwarna kekuningan pada dada dan axilla. (4)
60 mg. Penyembuhan terjadi secara cepat, umumnya dalam beberapa hari
sampai beberapa minggu. Pada eritroderma yang disebabkan perluasan
penyakit kulit juga dapat diberikan kortikosteroid. Dosis awal prednison 10
mg sampai 15 mg diberikan empat kali dalam sehari. Jika setelah beberapa
hari tidak tampak perbaikan maka dosis dapat dinaikkan dan setelah terlihat
perbaikan maka dosis dapat diturunkan. Jika eritroderma terjadi akibat
pengobatan dengan ter pada psoriasis maka obat tersebut harus segera
dihentikan. Pada pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid jangka
lama, yakni lebih dari 1 bulan baiknya menggunakan metilprednisolon
daripada prednison dengan dosis ekuivalen karena efeknya lebih sedikit. Pada
eritroderma kronis diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya
skuama mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula diolesi
dengan emolien untuk mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh karena
eritema.(3)
Penanganan utama pada eritroderma dengan etiologi yang berbeda adalah
penggantian cairan dan elektrolit. Walaupun kebanyakan pasien bisa dirawat
jalan, pasien dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit atau
kardiovaskular atau gangguan pernapasan membutuhkan perawatan inap.
Obat-obatan yang mungkin dapat menyebabkan eritroderma harus segera
dihentikan, termasuk obat-obatan seperti litium dan antimalaria yang bisa
memicu penyebaran pada pasien dengan psoriasis. Lingkungan perawatan
haruslah hangat dan lembab untuk kenyamanan pasien dan juga untuk
mencegah hipotermia. Steroid topikal potensi tinggi dan immunomodulator
topikal harus dihindari selama penyerapan sistemik yang mungkin terjadi
dikarenakan peningkatan permeabelitas kulit dan luasnya permukaan area
yang terkena. Sebagai tambahan, obat topikal yang mengiritasi seperti tar
harus dihindari. Pengobatan gejala termasuk pemberian antihistamin untuk
pruritus dan diuretik untuk edema. Antibiotik sistemik dibutuhkan untuk
pasien dengan lokal dan sistemik infeksi sekunder.(5)
G. PROGNOSIS
9
Eritroderma merupakan suatu kondisi yang serius dan dapat menimbulkan
komplikasi yang buruk sesuai dengan penyebabnya. Hal ini berbahaya
terutama pada orang tua. Dilaporkan angka kematian dari eritroderma
bervariasi mulai dari 18% sampai 64%, tetapi dengan pengobatan yang
semakin maju, hal tersebut kemungkinan dapat diturunkan. (10)
DAFTAR PUSTAKA
1. Bruno TF, Grewal P. Erythroderma: A Dermatologic Emergency. Canadian
Journal of Emergency Medicine. 2009; 11 (3) : 244-6
2. Earlia N, Nurharini F, Jatmiko AC, Ervianti E. Penderita Eritroderma di
Instalasi Rawat Inap Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo
Surabaya Tahun 2005-2007. Departemen Medik Fungsional Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2009; 2 (21) :
93-101
3. Djuanda A, Eritroderma. Dalam: Djuanda A, Hmazah M, Boediaja SA, editor.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Cetakan 1 edisi VI. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI, 2010. hal. 197-200
4. James W.D, Berger T.G, Elston D.M. Andrews’ Disease of the Skin. 10thEd.
Netherlands ; 2006. p. 191-216.
10
5. Grant-Kels JM, Bernstein ML, Rothe JM. Exfoliative Dermatitis. In : Wolf K,
Goldsmith L.A, Katz S.I, Gilchrest B.A, Paller A.S, Leffel D.J, editors.
Fitzpattrick’s Dermatology in general Medicine, 7th edition. New York; Mc
Graw-Hill Companies, 2008. p. 225-31
6. Wolff K, Johnson RA. Exfoliative Erytroderma Syndrome. In : Wolff K,
Johnson RA, editors. Fritzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology, 6th edition. New York; Mc Graw-Hill Companies, 2009. p. 165,
875.
7. Umar. H. Sanusi. Erythroderma (Generalized Exfoliative Dermatitis). (online)
2013 [cited 2013 June 19]. Available from : http:// emedicine.medscape.com
8. Sterry W, Assaf Chalid. Papulosquamous and Eczematous Dermatoses.
Erythroderma. In : Bolognia JL, Jorizzo JL. Rapini RP, editors. Dermatology.
2thed London. Mosby. 2008.
9. Shimizu H. Erythroderma. In : Shimizu H, editor. Shimizu’s Textbook of
Dermatology. Hokkaido; Hokkaido University Press, 2007. p. 122-3
10. Berth-Jones J. Erythroderma. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths
C, editors. Rooks Textbook of Dermatology. Vol.1. Eight Edition. USA:
Blackwell publishing; 2010. p. 23.46-50
11. Cahyanur R, Koesnoe S, Sukmana N. Sindrom Hipersensitivitas Obat.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta. J Indom Med Association. 2009; 4 (61) : 179-85
11