epilepsi
DESCRIPTION
status epileptikusTRANSCRIPT
ANALISIS MASALAH
Bagaimana makna klinis kejang tidak disertai demam?
Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus ada, tetapi
tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi. Seorang anak terdiagnosa menderita
epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang lain yang bisa dihilangkan
atau disembuhkan (unprovoked), misalnya adanya demam tinggi, adanya pendesakan
otak oleh tumor, adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium akibat trauma, adanya
inflamasi atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan biokimia atau elektrolit dalam
darah. Tetapi jika kelainan tersebut tidak ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan
timbulnya epilepsi di kemudian hari.
Sumber: World Health Organization. Epilepsy : Fact Sheet. 2012. [cited 2013
November 4]. Available from : URL http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs99/en.
Shorvon S. Epilepsy. In : Shorvon S, editors. Handbook of Epilepsy Treatment.
Blackwell science Ltd. 2000 :1-4
Apa makna klinis tidak sadarkan diri setelah kejang?
Ini menunjukkan bahwa pasien sedang mengalami status epileptikus. Status
epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang
mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau
lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus. Status epileptikus adalah gawat
darurat medik yang memerlukan pendekatan terorganisasi dan terampil agar meminimalkan
mortalitas dan morbiditas yang menyertai.3,4
Sumber: Huff JS. Status Epilepticus. http://emedicine.medscape.com/article/793708
Haslam HA. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Vol 3. Dalam: editor Behrman,
Kliegman, Arvin. Status Epileptikus. Jakarta : EGC; 2000. pp 2067-68
Pada pemeriksaan fisik :
Keadaan kompos mentis, suhu aksila 36,50C, tekanan darah 90/45 mmHg,
nadi 100x/menit, frekuensi napas 30x/menit.
Pada pemeriksaan neurologis :
1. Kepala : tampak mulut penderita mencong ke sebelah kiri. Lipatan dahi
masih nampak dan kedua bola mata dapat menutup. Saat penderita
diminta mengeluarkan lidah, terjadi deviasi ke kanan dan disertai tremor
lidah.
2. Ekstrimitas : pergerakan lengan dan tungkai kanan tampak terbatas dan
kekuatannya lebih lemah dibanding sebelah kiri. Lengan dan tungkai
kanan dapat sedikit diangkat, namun sama sekali tidak dapat melawan
tahanan dari pemeriksa. Lengan dan tungkai kiri dapat melawan
tahanan kuat sewajar usianya. Tonus otot hipertoni dan reflex fisiologis
lengan dan tungkai kanan meningkat, dan ditemukan reflex babinski di
kaki sebelah kanan.
3. Tanda rangsang meningeal berupa kaku kuduk, brudzinsky I dan II
maupun kernig tidak di jumpai.
Bagaimana interpretasi dari kedua pemeriksaan diatas?
Pemeriksaan fisik:
Tabel 1. Tanda vital anak
Sumber: Dieckmann R, Brownstein D, Gausche-Hill M (eds): Pediatric Education for Prehospital Professionals.
Sudbury, Mass, Jones & Bartlett, American Academy of Pediatrics, 2000, pp 43-45.
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi
Keadaan umum Kompos mentis Kompos mentis normal
Suhu aksila 36,5o C 36,5-37,5 normal
Nadi 100 65-110 normal
Tekanan darah 90/45 mmHg 95-110/60-75 hipotensi
Frekuensi nafas 30 20-25 takipnea
Tabel 2. Interpretasi Pemeriksaan Fisik
1. Kepala:
Mulut penderita mengot ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih nampak dan
kedua kelopak mata dapat menutup penuh saat dipejamkan:
Keadaan di atas merupakan penanda adanya lesi pada nervus fasialis. Jika terdapat
lesi pada satu sisi nervus fasialis, mulut akan miring. Sebagian besar daerah gigi-
geligi diperlihatkan pada sisi saraf yang masih utuh karena mulut tertarik ke sisi
yang sehat.
Saat penderita diminta mengeluarkan lidah terjadi deviasi ke kanan dan
tremor lidah:
Terjadi kelumpuhan/ parese pada N. XII (hipoglossal)
Bagaimana cara melakukan pemeriksaan penunjang lain?
(terlampir di LI pada bagian Uji Laboratorium dan Diagnostik)
Bagaimana pencegahan dan edukasi pada kasus?
Edukasi pada orang tua kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi
orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya
telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya:
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat
adanya efek samping
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit,
jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih
Sumber: Wong V, dkk. Clinical Guideline on Management of Febrile Convulsion. HK
J Paediatr 2002; 7:143-151.
Fukuyama Y, dkk. Practical guidelaines for physician in the management of febrile
seizures. Brain Dev 1996; 18:479-484.
LEARNING ISSUE
Kejang
Definisi
Kejang adalah gerakan otot tonik atau klonik yang involuntar yang merupakan serangan
berkala, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. Kejang
tidak secara otomatis berarti epilepsi. Dengan demikian perlu ditarik garis pemisah yang
tegas : manakah kejang epilepsi dan mana pula kejang yang bukan epilepsi? Tetanus, histeri,
dan kejang demam bukanlah epilepsi walaupun ketiganya menunjukkan kejang seluruh
tubuh. Cedera kepala yang berat, radang otak, radang selaput otak, gangguan elektrolit dalam
darah, kadar gula darah yang terlalu tinggi, tumor otak, stroke, hipoksia, semuanya dapat
menimbulkan kejang. Kecuali tetanus, histeri, hal-hal yang tadi, kelak di kemudian hari dapat
menimbulkan epilepsi.
Insiden
Sedikitnya kejang terjadi sebanyak 3% sampai 5% dari semua anak-anak sampai usia 5 tahun,
kebanyakan terjadi karena demam.
Klasifikasi
Pada tahun 1981, The International League Against Epilepsy (ILAE) membuat suatu sistem
klasifikasi internasional kejang epileptik yang membagi kejang menjadi dua kelompok besar
yaitu Kejang Parsial (fokal atau lokal) dan Kejang Generalisata. Kejang parsial kemudian
dibagi lagi menjadi Parsial Sederhana, Parsial Kompleks, dan Parsial yang menjadi
Generalisata sekunder. Adapun yang termasuk kejang generalisata yaitu Lena (Tipikal atau
Atipikal), mioklonik, klonik, tonik, tonik-klonik, dan kejang atonik.
1. Kejang Parsial (Partial-onset Seizure)
Kejang Parsial bermula dari area fokus tertentu korteks serebri,
2. Kejang Generalisata (Generalized-onset Seizure)
Kejang Generalisata berawal dari kedua hemisfer serebri. Bisa bermula dari talamus
dan struktur subkortikal lainnya. Pada EEG ditemukan kelainan secara serentak pada
kedua hemisfer. Kejang generalisata memberikan manifetasi bilateral pada tubuh dan
ada gejala penurunan kesadaran. Kejang generalisata diklasifikasikan menjadi atonik,
tonik, klonik, tonik klonik atau absence seizure. Beberapa penyakit yang memberikan
gambaran kejang generalisata antara lain : Benign Neonatal Convulsion, Benign
Myoclonic Epilepsy, Childhood Absence Epilepsy, Juvenille Absence Epilepsy,
Juvenille Myoclonic Epilepsy.
Kejang tonik adalah kekakuan kontraktur pada otot-otot, termasuk otot pernafasan.
Kejang klonik berupa gemetar yang bersifat lebih lama. Jika keduanya muncul secara
bersamaan maka disebut kejang tonik klonik (kejang Grand Mal).
Sebagian kejang yang lain sulit dikelompokkan pada salah satunya dimasukkan
sebagai kejang tidak terklasifikasi (Unclassified Seizure). Cara pengelompokan ini
masih diterima secara luas.
Jenis-Jenis Kejang
A. Kejang Parsial
Kejang Parsial Sederhana
1. Kesadaran tidak terganggu; dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini:
ü Tanda-tanda motoris→kedutaan pada wajah. Tangan, atau salah satu sisi tubuh :
umumnya gerakan kejang yang sama.
ü Tanda atau gejala otonomik→muntah berkeringan, muka merah, dilatasi pupil.
ü Gejala somatosensoris atau sensoris khusus→-mendengar musik, merasa seakan jatuh
dari udara, parestesia.
ü Gejala psikik→dejavu, rasa takut, sisi panoramic.
Kejang parsial komplesk
1. Terdapat gangguan kesadaran. Walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial
simpleks.
2. Dapat mencakup otomatisme atau gerakan aromatic—mengecapkan bibir, mengunyah,
gerakan mencongkel yang berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
3. Dapat tanpa otomatisme—tatapan terpaku.
B. Kejang Umum (Konvulsif atau Non-Konvulsif)
Kejang Absens
1. Gangguan kewaspadaan dan responsivitas.
2. Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik.
3. Awitan dan khiran cepat, setelah itu kembali waspada dan berkonsentrasi penuh.
4. Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering sembuh dengan
sendirinya pada usia 18 tahun.
Kejang Mioklonik
Kedutaan-kedutaan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi mendadak
Kejang Mioklonik→Lanjutan
1. Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik, berupa kedutaan-
kedutaan sinkron dari leher, bahu, lengan atas dan kaki.
2. Umumnya berlangusung kurang dari 15 detik dan terjadi didalam kelompok.
3. Kehilangan kesadaran hanya sesaat
Kejang Tonik-Klonik
1. Diawali dengan hilangnya kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ektremitas,
batang tubuh, dan wajah, yang langsung kurang dari 1 menit.
2. Dapat disertai dengan hilangnya kontrol kandung kebih dan usus.
3. Tidak adan respirasi dan sianosis
4. Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan bawah.
5. letargi, konfusi, dan tidur dalam fase postical
Kejang Atonik
1. Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun,
kepala menunduk atau jatuh ketanah.
2. Singkat, dan terjadi tampa peringatan.
Status Epileptikus
1. Biasanya. Kejang tonik-klonik umum yang terjadi berulang.
2. Anak tidak sadar kembali diantara kejang.
3. Potensial untuk depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia
4. memerlukan pengobatan medis darurat dengan segera
Fisiologi dan Patofisiologi
Tiap neuron yang aktif melepaskan muatan listriknya. Fenomena elektrik ini adalah wajar.
Manifestasi biologiknya ialah merupakan gerak otot atau suatu modalitas sensorik,
tergantung dari neuron kortikal mana yang melepaskan muatan listriknya. Bilamana neuron
somatosensorik yang melepaskan muatannya, timbullah perasaan protopatik atau
propioseptif. Demikian pula akan timbul perasaan panca indera apabila neuron daerah korteks
pancaindera melepaskan muatan listriknya.
Secara fisiologis, suatu kejang merupakan akibat dari serangan muatan listrik terhadap
neuron yang rentan di daerah fokus epileptogenik. Diketahui bahwa neuron-neuron ini sangat
peka dan untuk alasan yang belum jelas tetap berada dalam keadaan terdepolarisasi. Neuron-
neuron di sekitar fokus epileptogenik bersifat GABA-nergik dan hiperpolarisasi, yang
menghambat neuron epileptogenik. Pada suatu saat ketika neuron-neuron epileptogenik
melebihi pengaruh penghambat di sekitarnya, menyebar ke struktur korteks sekitarnya dan
kemudian ke subkortikal dan struktur batang otak.
Dalam keadaan fisiologik neuron melepaskan muatan listriknya oleh karena potensial
membrannya direndahkan oleh potensial postsinaptik yang tiba pada dendrit. Pada keadaan
patologik, gaya yang bersifat mekanik atau toksik dapat menurunkan potensial membran
neuron, sehingga neuron melepaskan muatan listriknya dan terjadi kejang.
Penyakit-penyakit yang Menyebabkan Kejang
Penyakit-penyakit yang menyebabkan kejang dapat dikelompokkan secara sederhana menjadi
penyebab kejang epileptik dan penyebab kejang non-epileptik. Penyakit epilepsi akan dibahas
tersendiri sementara kelompok non-epileptik terbagi lagi menjadi penyakit sistemik, tumor,
trauma, infeksi, dan serebrovaskuler.
a. Sistemik
Metabolik : Hiponatremia, Hipernatremia,
Hiponatremia
Hiponatremia terjadi bila :
a). Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi,
b). Ketidakmampuan menekan sekresi ADH (mis : pada kehilangan cairan melalui
saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH = Syndrom of
Inappropriate ADH-secretion). Hiponatremia dengan gejala berat (mis : penurunan
kesadaran dan kejang) yang terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari
ektrasel masuk ke intrasel yang osmolalitas-nya lebih tinggi digolongkan sebagai
hiponatremia akut (hiponatremia simptomatik). Sebaliknya bila gejalanya hanya
ringan saja (mis : lemas dan mengantuk) maka ini masuk dalam kategori kronik
(hiponatremia asimptomatik).
Langkah pertama dalam penatalaksanaan hiponatremia adalah mencari sebab
terjadinya hiponatremia melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang. Langkah selanjutnya adalah pengobatan yang tepat sasaran dengan koreksi
Na berdasarkan kategori hiponatremia-nya.
Hipernatremia
Hipernatremia terjadi bila kekurangan air tidak diatasi dengan baik misalnya pada
orang dengan usia lanjut atau penderita diabetes insipidus. Oleh karena air keluar
maka volume otak mengecil dan menimbulkan robekan pada vena menyebabkan
perdarahan lokal dan subarakhnoid.
Setelah etiologi ditetapkan, maka langkah penatalaksanaan berikutnya ialah mencoba
menurunkan kadar Na dalam plasma ke arah normal. Pada diabetes insipidus, sasaran
pengobatan adalah mengurangi volume urin. Bila penyebabnya adalah asupan Na
berlebihan maka pemberian Na dihentikan.
b. Intoksikasi
Penegakan diagnosa pasti penyebab keracunan cukup sulit karena diperlukan sarana
laboratorium toksikologi sehingga dibutuhkan autoanamnesis dan alloanamnesis yang
cukup sermat serta bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian. Selanjutnya pada
pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun. Penemuan klinis
seperti ukuran pupil mata, frekuensi napas dan denyut jantung mungkin dapat
membantu penegakan diagnosis pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Pemeriksaan penunjang berupa analisa toksikologi harus dilakukan sedini mungkin
dengan sampel berupa 50 ml urin, 10 ml serum, bahan muntahan, feses. Pemeriksaan
lain seperti radiologis, laboratorium klinik, dan EKG juga perlu dilakukan. Adapun
standar penatalaksanaan dari intoksikasi yaitu stabilisasi, dekontaminasi, eliminasi,
dan pemberian antidotum. Sementara gejala yang sering menjadi penyerta atau
penyulit adalah gangguan cairan, elektrolit, dan asam-basa ; gangguan irama jantung ;
methemoglobinemia ; hiperemesis ; distonia ; rabdomiolisis ; dan sindrom
antikolinergik.
c. Tumor
Kira-kira 10% dari semua proses neoplasmatik di seluruh tubuh ditemukan pada
susunan saraf dan selaputnya, 8% di antaranya berlokasi di ruang intrakranial dan 2%
sisanya di ruang kanalis spinalis. Dengan kata lain 3-7 dari 100.000 orang penduduk
mempunyai neoplasma saraf primer. Urutan frekuensi neoplasma intrakranial yaitu :
Glioma (41%), Meningioma (17%), Adenoma hipofisis (13%), Neurilemoma /
neurofibroma (12%), Neoplasma metastatik dan neoplasma pembuluh darah serebral.
Pembagian tumor dalam kelompok benigna dan maligna tidak berpengaruh secara
mutlak bagi tumor intrakranial oleh karena tumor benigna secara histologik dapat
menduduki tempat yang vital, sehingga menimbulkan kematian dalam waktu singkat.
Simptomatologi tumor intrakranial dapat dibagi dalam :
1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranial yang meninggi
Selain menempati ruang, tumor intrakranial juga menimbulkan perdarahan
setempat. Penimbunan katabolit di sekitar jaringan tumor menyebabkan jaringan
otak bereaksi dengan menimbulkan edema yang juga bisa diakibatkan penekanan
pada vena sehingga terjadi stasis. Sumbatan oleh tumor terhadap likuor sehingga
terjadi penimbunan juga meningkatkan tekanan intrakranial.
TIK yang meningkat menimbulkan gangguan kesadaran dan menifestasi disfungsi
batang otak yang dinamakan:
(a) sindrom unkus / kompresi diensefalon ke lateral ;
(b) sindrom kompresi sentral restrokaudal terhadap batang otak ; dan
(c) herniasi serebelum di foramen magnum. Sebelum tahap stupor atau koma
tercapai, TIK yang meninggi sudah menimbulkan gejala-gejala umum.
2. Gejala-gejala umum akibat tekanan intrakranial yang meninggi
A. Sakit kepala = Akibat peningkatan CBF setelah terjadi penumpukan PCO2
serebral terutama setelah tidur. Lonjakan TIK juga akibat batuk, mengejan atau
berbangkis.
B. Muntah = Akibat peningkatan TIK selama tidur malam karena PCO2 serebral
meningkat. Sifat muntah proyektil atau muncrat dan tidak didahului mual.
C. Kejang = Kejang fokal dapat merupakan manifestasi pertama tumor
intrakranial pada 15% penderita. Meningioma pada konveksitas otak sering
menimbulkan kejang fokal sebagai gejala dini. Kejang umum dapat timbul
sebagai manifestasi tekanan intrakranial yang melonjak secara cepat, terutama
sebagai menifestasi glioblastoma multiforme. Kejang tonik yang sesuai dengan
serangan rigiditas deserebrasi biasanya timbul pada tumor di fossa kranii posterior
dan secara tidak tepat dinamakan oleh para ahli neurologi dahulu sebagai
“cerebellar fits”.
D. Gangguan mental = Tumor serebri dapat mengakibatkan demensia, apatia,
gangguan watak dan intelegensi, bahkan psikosis, tidak peduli lokalisasinya.
E. Perasaan abnormal di kepala = Rasa seperti “enteng di kepala”, “pusing” atau
“tujuh keliling”. Mungkin sehubungan dengan TIK yang meninggi. Sehingga
karena samarnya maka kebanyakan dari keluhan semacam ini tidak dihiraukan
oleh pemeriksa dan dianggap keluhan fungsional.
3. Tanda-tanda lokalisatorik yang menyesatkan
Suatu tumor intrakranial dapat menimbulkan manifastasi yang tidak sesuai dengan
fungsi tempat yang didudukinya berupa :
a) Kelumpuhan saraf otak
b) Refleks patologik yang positif pada kedua sisi
c) Gangguan mental
d) Gangguan endokrin
e) Ensefalomalasia
4. Tanda-tanda lokalisatorik yang benar
Defisit serebral dibangkitkan oleh tumor di daerah fungsional yang khas berupa
monoparesis, hemiparesis, hemianopia, afasia, anosmia dan seterusnya.
I. Simptom fokal dari tumor di lobus frontalis : sakit kepala, gangguan mental,
kejang tonik fokal, katatonia, anosmia
II. Simptom fokal dari tumor di daerah pre-sentral : kejang fokal pada sisi
kontralateral, hemiparesis kontralateral, paraparese, gangguan miksi
III. Simptom fokal dari tumor di lobus temporalis : hemianopsia kuadran atas
kontralateral dengan tinitus, halusinasi auditorik, dan afasia sensorik beserta
apraksia
IV. Simptom fokal dari tumor di lobus parietalis : serangan Jackson sensorik,
astereognosia dan ataksia sensorik, “thalamic over-reaction”, hemianopsia
kuadran bawah homonim yang kontralateral, agnosia, afasia sensorik, serta
apraksia
V. Simptom fokal dari tumor di lobus oksipitalis
VI. Simptom fokal dari tumor di korpus kalosum
5.Tanda-tanda fisik diagnostik pada tumor intrakranial
(a).Papil edema ;
(b).Pada anak ukuran kepala membesar dan sutura teregang, perkusi = bunyi
kendi rengat, auskultasi = ada bising ;
(c).Hipertensi intrakranial → bradikardi & TD sistemik yang meningkat
progresif = dapat dianggap sebagai kompensasi penanggulangan iskemik
(d).Irama dan frekuensi pernafasan berubah
d. Trauma
Kejang dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus segera diatasi karena akan
menyebabkan hipoksia otak dan kenaikan tekanan intrakranial serta memperberat
edem otak. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat
diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin
15 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50
mg/menit.
e. Infeksi
Infeksi pada susunan saraf dapat berupa meningitis atau abses dalam bentuk empiema
epidural, subdural, atau abses otak. Klasifikasi lain membahas menurut jenis kuman
yang mencakup sekaligus diagnosa kausal
1) Infeksi viral
2) Infeksi bakterial
3) Infeksi spiroketal
4) Infeksi fungal
5) Infeksi protozoal
6) Infeksi metazoal
f. Serebrovaskuler
Stroke mengacu kepada semua gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat
pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah
stroke biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. CVA
(Cerebralvascular accident) dan serangan otak sering digunakan secara sinonim untuk
stroke. Konvulsi umum atau fokal dapat bangkit baik pada stroke hemoragik maupun
strok non-hemoragik.
Stroke sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi vaskuler serebral
dapat dibagi dalam :
1) Transient ischemic attack,
2) Stroke in evolution,
3) Completed stroke, yang bisa dibagi menjadi tipe hemoragik dan tipe non
hemoragik
g. Epilepsi
Kata epilepsi berasal dari kata Yunani “epilambanein” yang berarti “serangan”.
Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi gejala yang dapat timbul karena penyakit.
Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi namun dengan
gejala tunggal yang khas, yaitu seragan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan
listrik neuron kortikal secara berlebihan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-
gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel. 2, 8
Klasifikasi serangan pada epilepsi dapat dibagi menjadi dua kelompok utama yaitu
parsial dan umum. Kejang parsial kemudian dibagi menjadi parsial sederhana, parsial,
kompleks, dan parsial dengan umum sekunder.
I. Serangan parsial (fokal, lokal) kesadaran tak berubah
A. Serangan parsial sederhana (kesadaran tetap baik)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
3. Dengan gejala autonom
4. Dengan gejala psikis
B.Serangan parsial kompleks (kesadaran menurun)
1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berkembang ke penurunan kesadaran
2.Dengan penurunan kesadaran sejak awitan
II. Serangan umum (konvulsif atau non-konvulsif)
A. 1. Absence
2. Absence tak khas
B. Mioklonik
C. Klonik
D. Tonik
E. Tonik-klonik
F. Atonik
III. Serangan epilepsi tak terklasifikasikan misalnya : gerakan ritmis pada mata,
gerakan mengunyah dan berenang. 2
Diagnosis
Pada umumnya, seseorang yang mengalami hanya satu kali serangan kejang tidak
akan diberi terapi epilepsi dahulu. Namun jika dalam waktu satu tahun terjadi lebih
dari satu serangan maka perlu dipertimbangkan untuk mulai dengan obat-obat
antiepilepsi. Diagnosis epilepsi biasanya dapat dibuat dengan cukup pasti dari
anamnesis lengkap, terutama mengenai gambaran serangan, hasil pemeriksaan umum
dan neurologik serta elektroensefaligrafi (EEG).
Terapi
Obat anti epilepsi (Antiepileptic Drug / AED) digolongkan berdasarkan mekanisme
kerjanya.
1. Sodium channel blockers : Fenitoin, Fosfenitoin, Oxcarbazepine, Zonisamide,
Clobazam, Fenobarbital, Felbamate, Topiramate
2. Calsium inhibitors : Fenitoin, Fosfenitoin, Clobazam, Fenobarbital, Felbamate
3. GABA enhancers : Clobazam, Clonazepam, Fenobarbital, Tiagabine, Vigabatrin,
Gabapentin, Topiramate
4. Glutamate blocker : Lamotrigine, Fenobarbital, Topiramate
5. Carbonic anhydrase inhibitor : Topiramate
6. Hormon
7. dan obat-obat lain yang belum diketahui pasti mekanisme kerjanya : Primidine,
Valproate, Levetiracetam.
Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung kepada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi, faktor
penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya
prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan
dapat dicegah dengan obat-obatan, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan
dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum
maupun serangan lena (ngelamun) atau absence mempunyai prognosis terbaik.
Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang
disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif
jelek.
Uji Laboratorium dan Diagnostik
1. Elektroensefalogram (EEG) →dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan focus
dan kejang.
1.1. Diagnosis epilepsy tidak hanya tergantung pada temuan EEG yang abnormal
1.2. Tidur lebih disukai selama EEG, meskipun sedasi dengan pemantauan mungkin
dindakasikan
2. Pemindaian CT→menggunakan kajian sinar-X yang masih lebih sensitive dan
biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. MRI ( Magnetic Resonance imaging) →menghasilkan bayangan dengan lapangan
magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah-daerah otak
(regio fossa posterior dan regio sella) yang tidak terlihat jelas apabila menggunakan
pemindaian CT.
4. PET (Pemindaian positron emission temography)→untuk mengevaluasi kejang yang
membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolic, atau aliran
darah dalam otak (mencakup suntikan radioisotop secara IV).
5. Potensial yang membangkitkan→digunakan untuk menentukan integritas jalur
sensoris dalam otak (respons yang tidak ada atau tertunda atau mengindikasikan keadaan
yang patologik).
6. Uji laboratorium→ berdasarkan riwayat anak dan hasil pemeriksaan.
6.1. Punksi lumbal untuk menganalisis cairan serebrospinal→terutama dipakai untuk
menyingkirkan kemungkinan infeksi.
6.2. Hitung daerah lengkap→untuk menyingkirkan infeksi sebagai penyebab; dan pada
kasus yang diduga disebabkan trauma, dapat mengevaluasi haematokit dan jumlah
trombosit.
6.3. Panel elektrolit→serum elektrolit, Ca total, dan magnesium serum seringkali
diperiksa pada saat pertama kali terjadi kejang, dan pada anak yang berusia kurang
dari 3 bulan, dengan penyebab elektrolit dan metabolic lebih lazim ditemuai (uji
glukosa darah dapat bermamfaat pada bayi atau anak kecil dengan kejang yang
berkepanjangan untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia).
6.4. Skrining toksisk dari serum dan urin→digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan keracunan.
6.5. Pemantauan kadar obat antiepileptik→digunakan pada fase awal penatalaksanaan
dan jika kepatuhan pasien diragukan.
Terapi Kejang
0 - 5 menit:
- Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
- Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan oksigen
- Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan
neurologi secara cepat
- Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi
5 – 10 menit:
- Pemasangan akses intarvena
- Pengambilan darah untuk pemeriksaan: darah rutin, glukosa, elektrolit
- Pemberian diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rektal 0,5
mg/kgbb (berat badan < 10 kg = 5 mg; berat badan > 10 kg = 10 mg). Dosis diazepam
intravena atau rektal dapat diulang satu – dua kali setelah 5 – 10 menit.
- Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.
10 – 15 menit
- Cenderung menjadi status konvulsivus
- Berikan fenitoin 15 – 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
- Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 – 10 mg/kgbb sampai maksimum dosis 30
mg/kgbb.
30 menit
- Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg
dengan interval 10 – 15 menit.
- Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah, elektrolit,
gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda -tanda depresi
pernafasan. - Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit
perawatan intensif.
Prognosis
Kejang adalah suatu masalah neurologik yang relative sering dijupai. Sekitar 10%
populasi akan mengalami paling sedikit satu kali kejang seumur hidup mereka,
dengan insiden paling tinggi terjadi pada masa anak-anak dini dan lanjut usia (setelah
usia 60 tahun), dan 0,3% sampai 0,5% akan didiagnosa mengidap epilepsi
(berdasarkan kriteria dua kali kejang tanpa pemicu)
DAFTAR PUSTAKA
Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The
treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000; 83:415-
19.
Budiman, G. (2009) Basic Neuroanatomical Pathways. 2nd ed. Jakarta: FKUI.
Commission on Classification and Terminology of the International League Against
Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of
epileptic seizures. Epilepsia 1981; 22:489-501.
Dewanto, G. (2009) Panduan Praktis Diangnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: EGC.
Dieckmann R, Brownstein D, Gausche-Hill M (eds): Pediatric Education for
Prehospital Professionals. Sudbury, Mass, Jones & Bartlett, American Academy of
Pediatrics, 2000, pp 43-45.
Fukuyama Y, dkk. Practical guidelaines for physician in the management of febrile
seizures. Brain Dev 1996; 18:479-484.
Haslam HA. (2000) Nelson Ilmu Kesehatan Anak. 15th ed. Vol 3. Jakarta: EGC.
Huff JS. Status Epilepticus. http://emedicine.medscape.com/article/793708
Mardjono, M. (2006). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Shorvon S. (2000) Handbook of Epilepsy Treatment. Blackwell science Ltd.
Wong V, dkk. Clinical Guideline on Management of Febrile Convulsion. HK J
Paediatr 2002; 7:143-151.
World Health Organization. Epilepsy : Fact Sheet. 2012. Available from : URL
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs99/en.