epilepsi

39
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5%-2%. Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi. Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%-0,5% penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi. Menurut Devinsky sebagaimana dikutip oleh Harsono, pada epilepsi tidak ada penyebab tunggal. Banyak faktor yang dapat mencederai sel-sel, saraf otak atau lintasan komunikasi antar sel otak. Lebih kurang 65% dari seluruh kasus epilepsi tidak 1 | kelompok 6-epilepsi-blok neuropsikiatri

Upload: titi-pradani

Post on 29-Sep-2015

217 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

saraf

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangEpilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5%-2%. Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi. Sedangkan dari semua wanita hamil didapatkan antara 0,3%-0,5% penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi.Menurut Devinsky sebagaimana dikutip oleh Harsono, pada epilepsi tidak ada penyebab tunggal. Banyak faktor yang dapat mencederai sel-sel, saraf otak atau lintasan komunikasi antar sel otak. Lebih kurang 65% dari seluruh kasus epilepsi tidak diketahui faktor penyebabnya. Beberapa faktor risiko yang sudah diketahui antara lain: trauma kepala, demam tinggi, stroke, intoksikasi ( termasuk obat obatan tertentu ), tumor otak, masalah kardiovaskuler tertentu, gangguan keseimbangan elektrolit, infeksi ( ensefalitis, meningitis ) dan infeksi parasit terutama cacing pita. Apabila diketahui penyebabnya maka disebut epilepsy simtomatik. sedangkan apabila penyebabnya tidak diketahui disebut epilepsi idiopatik. Pellock mengemukakan, epilepsi dapat terjadi pada berbagai usia, namun tipe bangkitan tertentu dan etiologi tertentu lebih sering terjadi pada masa kanak ( infant dan childhood). Menurut Damudoro (1992), epilepsi merupakan kasus yang sering dijumpai pada anak-anak. Beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah trauma kepala, tumor otak, radang otak, riwayat kehamilan jelek dan kejang demam. Menurut Lumbantobing, sekitar 0,5 12% kejang demam berulang merupakan faktor predisposisi terjadinya epilepsi di kemudian hari. Penelitian kasus kontrol yang dilakukan oleh Budiarto, mendapatkan bahwa kejang demam sebagai faktor risiko epilepsi (OR: 5,94; 95% CI: 3,49 10,09). Faktor genetik memegang peranan penting dalam terjadinya kejang demam. Anderson dan Hauser mengatakan cara pewarisannya melalui faktor autosomaldominan. Kemungkinan besar sifat genetik yang diturunkan adalah sifat menurunnya ambang kejang pada kenaikan suhu tubuh. Hal ini memberi keyakinan terjadinya kejang demam oleh karena sel-sel neuron hiperiritabel terhadap peningkatan suhu tubuh. Kondisi saraf yang hipereksitabel ( spasmofili ) merupakan suatu keadaan dimana terjadi hiperiritabilitas yang bermanifestasi sebagai kejang otot. Spasmofili diyakini diwariskan secara autosom dominan. Riggs dalam penelitiannya menyatakan spasmofili terjadi secara turun-temurun dan luas penyebarannya. Epilepsi dapat terjadi setelah kerusakan otak yang didapat pada masa prenatal, perinatal maupun pasca natal. Penelitian yang dilakukan oleh Eriksson dan Koivikko di Finlandia, menemukan penyebab epilepsi pada anak-anak adalah idiopatik (64%), prenatal (15%), perinatal (9%) dan postnatal (12%). Pada intranatal asfiksia memegang peranan penting, di samping tindakan forsep dan trauma. Dalam kepustakaan dinyatakan bahwa trauma lahir dapat disebabkan oleh riwayat kehamilan postmatur, bayi besar, partus lama dan kelainan letak yang dapat menimbulkan cedera karena kompresikepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak yang dapat menyebabkan kelainan neurologik. Manifestasi klinis dari kelainan neurologik dapat berupa epilepsi.B. Tujuan1. Mengetahui dan memahami segala sesuatu tentang epilepsi2. Mengetahui dan memahami penangangan epilepsiC. Manfaat1. menambah pengetahuan serta wawasan bagi para mahasiswa dan para pembaca.2. Sebagai bekal ilmu dan pengetahuan sebagai seorang dokter saat berada di masyarakat.3. Dapat mencegah dan menangani terjadinya epilepsi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Pengertian epilepsiKata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan. Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hal ini merupakan latar belakang adanya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi. Mitos tersebut mewarnai sikap masyarakat dan menyulitkan upaya penangani penderita epilepsi dalam kehidupan normal. Epilepsi sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum Masehi. Hippokrates adalah orang pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia. Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi sekumpulan gejala yang manifestasinya adalah lewat serangan epileptik yang berulang. Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar selsel otak, bersifat sinkron dan berirama. Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama penyakit akut berlangsung dan occasional provokes seizures misalnya kejang atau serangan pada hipoglikemia. Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi. Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran , disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus,kronisitas. Lumbantobing mengatakan, bahwa pelepasan aktifitas listrik abnormal dari selsel neuron diotak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa gangguan fisiologik, biokimia, anatomi dengan manifestasi baik lokal maupun general. Gangguan tidak terbatas aktifitas motor yang terlihat oleh mata, tetapi juga oleh aktifitas lain misalnya emosi, pikiran dan persepsi

PatofisiologiSerangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan daripada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, danmenguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron. Lima buah elemen fisiologi sel dari neuron neuron tertentu pada korteks serebri penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi: Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan aktivitas kejang. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bisadikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian mengajak neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi.Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu :1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang pekatidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnyadapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapatdiwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnyaepileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja samaSED dan NPF.3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsy pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar. Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah:Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.

Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat ) berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga. Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA ( gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobustemporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui mekanisme yang sama.

1. Upaya sosial luas yang mengembangkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan epilepsi.Epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan aktikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan, ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi harus dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cidera akhirnya menyebabkan kejang yang terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.2. Infeksi pada masa kanak-kanak harus dikontrol dengan vaksinasi yang benar, orang tua dengan anak yang pernah mengalami kejang demam harus diinstruksikan pada metode untuk mengkontrol demam (kompres dingin, obat anti peuretik).3. Cidera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah, tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cidera kepala.4. Untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi daya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini (Brunner, 2002).5. Untuk dewasa epilepsy dapat dicegah, misalnya menghindari minum alkohol, merokok, bila mempunyai faktor resiko penyakit serebrovaskuler harus mendapat terapi yang teratur, bila menderita suatu infeksi yang bisa sebagai fokus infeksi dari abses otak misalnya infeksi telinga tengah, ganggren gigi harus mendapat terapi yang adekuat.6. Penting untuk beristirahat secara teratur dan cukup.

Pengaruh Terhadap Kehamilan dan janinKehamilan pada wanita penyandang epilepsi tergolong mempunyai faktor risiko tinggi. Banyak penelitian mengatakan terdapat peningkatan risiko komplikasi obstetrik pada wanita penyandang epilepsi dibandingkan dengan kehamilan normal. Hal ini disebabkan adanya pengaruh kehamilan terhadap epilepsi dan sebaliknya, pengaruh epilepsi terhadap janin dan pengaruh obat anti epilepsi terhadap perkembangan janin. Pengaruh kehamilan terhadap epilepsi didapatkan sepertiga wanita akan mengalami peningkatan serangan epilepsi, sepertiga wanita akan mengalami perubahan serangan dan sepertiga wanita lagi akan mengalami penurunan frekwensi seranganBeberapa peneliti lain mendapatkan pengaruh kehamilan terhadap epilepsi seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Pengaruh kehamilan terhadap frekwensi serangan epilepsi Studi (tahun) Kehamilan Peningkatan(%) Tidak ada perubahan Penurunan (%) _________________________________________________________________Burnett (1946) 19 42 52 6 Mc Clure (1955) 20 55 25 20 Sabin & Ozorn (1956) 55 33 53 15 Klingman (1957) 120 61 33 6 Knight & Rhind (1975) 84 45 50 5 Total kehamilan 298 Berat rata-rata (%) 50 42 8 Peningkatan frekwensi serangan epilepsi ini tidak ada hubungan dengan jenis serangan, usia wanita penyandang epilepsi, lama menderita epilepsi, obat anti epilepsi atau frekwensi serangan pada kehamilan yang lalu.25 Wanita penyandang epilepsi yang makin sering mengalami serangan kejang setiap bulannya sebelum hamil, frekwensi serangannya akan meningkat selama kehamilan, sedangkan wanita penyandang epilepsi yang dalam waktu sembilan bulan tidak pernah kejang atau hanya satu kali, tidak akan mengalami peningkatan serangan kejang selama hamil.26 Penderita lebih dari dua tahun bebas serangan maka risiko timbulnya serangan epilepsi selama hamil menurun atau tidak timbul.27 Wanita penyandang epilepsi yang sering mengalami serangan kejang umum atau fokal sebelum konsepsi akan lebih sering mengalami serangan selama kehamilan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa frekwensi serangan epilepsi meningkat pada waktu mengandung bayi laki-laki (64%) sedangkan waktu mengandung bayi perempuan (30%) tetapi beberapa peneliti lain tidak berpendapat demikian.28 Beberapa peneliti mengatakan bahwa bangkitan epilepsi lebih sering terjadi pada kehamilan, terutama pada trimester I dan hanya sedikit meningkat trimester III. Meningkatnya frekwensi serangan kejang pada wanita penyandang epilepsi selama kehamilan ini disebabkan oleh6: A. Perubahan hormonal Kadar estrogen dan progesteron dalam plasma darah akan meningkat secara bertahap selama kehamilan dan mencapai puncaknya pada trimester ketiga. Sedangkan kadar hormon khorionik gonadotropin mencapai puncak pada kehamilan trimester pertama yang kemudian menurun terus sampai akhir kehamilan. Seperti diketahui bahwa serangan kejang pada epilepsi berkaitan erat dengan rasio estrogen-progesteron, sehingga wanita penyandang epilepsi dengan rasio estrogen-progesteron yang meningkat akan lebih sering mengalami kejang dibandingkan dengan yang rasionya menurun. Kerja hormon estrogen adalah menghambat transmisi GABA (dengan merusak enzim glutamat dekarboksilase). Sedangkan kita ketahui bahwa GABA merupakan neurotransmiter inhibitorik, sehingga nilai ambang kejang makin rendah dengan akibat peningkatan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi. Sebaliknya 9 kerja hormon progesteron adalah menekan pengaruh glutamat sehingga menurunkan kepekaan untuk terjadinya serangan epilepsi. B. Perubahan metabolik Adanya kenaikan berat badan pada wanita hamil yang disebabkan retensi air dan garam serta perubahan metabolik seperti terjadinya perubahan metabolisme di hepar yang dapat mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (terutama proses eliminasi), terjadinya alkalosis respiratorik dan hipomagnesemia. Keadaan ini dapat menimbulkan kejang, meskipun masih selalu diperdebatkan. C. Deprivasi tidur Wanita hamil sering mengalami kurang tidur yang disebabkan beberapa keadaan seperti rasa mual muntah, nyeri pinggang, gerakan janin dalam kandungan, nokturia akibat tekanan pada kandung kencing dan stress psikis. Semuanya ini dapat meningkatkan serangan kejang. Mual muntah yang sering pada kehamilan trimester pertama dapat mengganggu pencernaan dan absorbsi obat anti epilepsi. Dimethicone merupakan salah satu obat yang sering digunakan untuk hiperasiditas, gastritis, dyspepsia, ulkus duodenal dan abdominal distention dapat menurunkan absorbsi phenytoin sebanyak 71%. Kaolin menurunkan absorbsi sebanyak 60% dan magnesium trisilikat efeknya tidak nyata. Tonus lambung dan pergerakannya menurun pada kehamilan sehingga menghambat pengosongan lambung. D. Perubahan farmakokinetik pada obat anti epilepsi Penurunan kadar obat anti epilepsi ini disebabkan oleh beberapa keadaan antara lain berkurangnya absorbsi (jarang), meningkatnya volume distribusi, penurunan protein binding plasma, berkurangnya kadar albumin dan meningkatnya kecepatan drug clearance pada trimester terakhir. Penurunan serum albumin sesuai dengan bertambahnya usia gestasi mempengaruhi kadar plasma obat anti epilepsi, sehingga obat anti epilepsi yang terikat dengan protein berkurang dan menyebabkan peningkatan obat anti epilepsi bebas. Namun obat anti epilepsi ini akan cepat dikeluarkan sesuai dengan meningkatnya drug clearance yang disebabkan oleh induksi enzim mikrosom hati akibat peningkatan hormon steroid (estrogen dan progesteron). Pada umumnya dalam beberapa hari-minggu setelah partus kadar obat anti epilepsi akan kembali normal.E. Suplementasi asam folat Penurunan asam folat (37%) dalam serum darah dapat ditemukan pada penderita yang telah lama mendapat obat anti epilepsi, pada kehamilan trimester ketiga menjelang partus dan pada masa puerperium bagi ibu hamil yang sebelumnya tidak pernah mendapat suplemen asam folat. Wanita hamil dengan epilepsi lebih mungkin menjadi anemia 11% (anemia mikrositer), karena sebagian besar obat anti epilepsi yang dikonsumsi berperan sebagai antagonis terhadap asam folat dan juga didapatkan thrombositopenia.Suplementasi asam folat dapat mengganggu metabolisme obat anti epilepsi (phenytoin dan phenobarbital) sehingga mempengaruhi kadarnya dalam plasma. Namun dapat dikatakan tidak sampai meningkatkan jumlah serangan kejang.Rendahnya asam folat selama kehamilan mempunyai risiko terjadinya insiden abortus spontan dan anomali neonatal, gangguan perkembangan pada bayi yang dilahirkan. Jadi walaupun terdapat sedikit kekhawatiran terhadap pemberian asam folat namun dosis rendah minimal 0,4 mg/hari tiap hari secara teratur masih dianggap aman dan dapat dilanjutkan selama kehamilan pada wanita penyandang epilepsi. Dosis tinggi (4 mg/hari) diberikan pada wanita hamil yang sebelumnya melahirkan anak dengan kelainan neural tube defect, terutama wanita yang mendapat obat anti epilepsi asam valproat dan karbamazepin.F. Psikologik (stres dan ansietas) Stres dan ansietas sering berhubungan dengan peningkatan jumlah terjadinya serangan kejang. Keadaan ini sering disertai dengan gangguan tidur, hiperventilasi, gangguan nutrisi dan gangguan psikologik sekunder. G. Penggunaan alkohol dan zat Penggunaan alkohol yang berlebihan akan menginduksi enzim hati dan menurunkan kadar plasma obat anti epilepsi (phenobarbital, phenytoin dan karbamazepin) sehingga timbul kejang. Disamping itu intoksikasi alkohol mapun obat-obatan terlarang akan menyebabkan gangguan siklus tidur normal sehingga meningkatkan frekwensi kejang.Hal lain yang meningkatkan frekwensi serangan kejang pada wanita penyandang epilepsi selama kehamilan adalah faktor kesengajaan menghentikan makan obat karena takut efek obat terhadap janin yang dikandungnya. Dari penelitian terhadap 125 wanita hamil dengan epilepsi, 27% tidak meneruskan penggunaan obatnya dengan alasan ketakutan akan efek samping (termasuk teratogenik) dan kekhawatiran pengaruhnya pada bayi yang diberi ASI. Sebenarnya obat anti epilepsi di ASI jumlahnya relatif sedikit. Jadi pada wanita penyandang epilepsi, obat anti epilepsi bukanlah kontraindikasi untuk pemberian ASI.

Klasifikasi dan sindrom epilepsi

Klasifikasi ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi.1. Berkaitan dengan letak fokus1.1. Idiopatik (primer)1.1.1 Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal(Rolandik benigna )1.1.2 Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital1.1.3 Primary reading epilepsy1.2. Simtomatik (sekunder)1.2.1 Lobus temporalis1.2.2 Lobus frontalis1.2.3 Lobus parietalis1.2.4 Lobus oksipitalis1.2.5 Kronik progresif parsialis kontinua1.3. Kriptogenik2. Umum2.1. Idiopatik (primer)2.1.1 Kejang neonatus familial benigna2.1.2 Kejang neonatus benigna2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi2.1.4 Epilepsi absans pada anak2.1.5 Epilepsi absans pada remaja2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja2.1.7 Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga2.1.8 Epilepsi tonik kionik dengan serangan acak2.2. Kriptogenik atau simtomatik2.2.1 Sindroma West (spasmus infantil dan hipsaritmia)2.2.2 Sindroma Lennox Gastaut2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik2.2.4 Epilepsi absans miokionik2.3. Simtomatik2.3.1 Etiologi non spesifik- Ensefalopati miokionik neonatal- Sindrom Ohtahara2.3.2 Etiologi / sindrom spesifik- Malformasi serebral- Gangguan metabolisme3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum3.1. Serangan umum dan fokal- Serangan neonatal- Epilepsi miokionik berat pada bayi- Sindroma Taissinare- Sindroma Landau Kleffner3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum4. Epilepsi berkaitan dengan situasi4.1 Kejang demarn4.2 Berkaitan dengan alkohol4.3 Berkaitan dengan obat-obatan4.4 Eklamsi4.5 Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)Epilepsi pada bayi dan anak dianggap sebagai suatu sindrom. Yang dimaksud sindrom epilepsi adalah epilepsi yang ditandai dengan adanya sekumpulan gejala dan klinis yang terjadi bersama-sama meliputi jenis serangan, etiologi, anatomi, faktor pencetus, umur onset, dan berat penyakit . Dikenal 4 kelompok usia yang masing-masing mempunyai korelasi dengan sindrom epilepsi dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Kelompok neonatus sampai umur 3 bulanSerangan epilepsi pada anak berumur kurang dari 3 bulan bersifat fragmentaris, yaitu sebagian dari manifestasi serangan epileptik seperti muscular twitching : mata berkedip sejenak biasanya asimetris dan mata berbalik keatas sejenak, lengan berkedut-kedut, badan melengkung / menekuk sejenak. Serangan epilepsi disebabkan oleh lesi organik struktural dan prognosis jangka panjangnya buruk. Kejang demam sederhana tidak dijumpai pada kelompok ini.2. Kelompok umur 3 bulan sampai 4 tahunPada kelompok ini sering terjadi kejang demam, karena kelompok ini sangat pekaterhadap infeksi dan demam. Kejang demam bukan termasuk epilepsi, tetapimerupakan faktor risiko utama terjadinya epilepsi. Sindrom epilepsi yang seringterjadi pada kelompok ini adalah sindrom Spasme Infantile atau Sindrom West dan sindrom Lennox-Gestaut atau epilepsi mioklonik.3 Kelompok umur 4 - 9 tahunPada kelompok ini mulai timbul manifestasi klinis dari epilepsi umum primerterutama manifestasi dari epilepsi kriptogenik atau epilepsi karena focus epileptogenik heriditer. Jenis epilepsi pada kelompok ini adalah Petitmal, grand mal dan Benign epilepsy of childhood with Rolandic spikes (BECRS). Setelah usia 17 tahun anak dengan BECRS dapat bebas serangan tanpa menggunakan obat.4. Kelompok umur lebih dari 9 tahun.a. Kelompok epilepsi heriditer : BERCS, kelompok epilepsi fokal atau epilepsiumum lesionik.b. Kelompok epilepsi simtomatik : epilepsi lobus temporalis atau epilepsi psikomotor.

DiagnosisDiagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihatserangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.331. AnamnesisAnamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksaan hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu. Anamnesa (auto dan aloanamnesis), meliputi:- Pola / bentuk serangan- Lama serangan- Gejala sebelum, selama dan paska serangan- Frekwensi serangan- Faktor pencetus- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang- Usia saat serangan terjadinya pertama- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologisMelihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksaan harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.3. Pemeriksaan penunjanga. Elektro ensefalografi (EEG)Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk penegakkan diagnosisepilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkankemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakanabnormal :1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisferotak.2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnyamisal gelombang delta.3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnyagelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.

Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasmeinfantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nyagelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyaigambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).b. Rekaman video EEGRekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedangmengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumberserangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi. c. Pemeriksaan RadiologisPemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihatstruktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan makaMRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaatuntuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.

Different Diagnosa pada EpilepsiDifferent diagnose dari Epilepsi serta penjelasannya, antara lain :1. Syncope (Pingsan) : berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata syn dan koptein yang artinya memutuskan. Sehingga definisi sinkop (menurut European Society of Cardiology : ESC), adalah suatu gejala dengan karakteristik klinik kehilangan kesadaran yang tiba-tiba dan bersifat sementara, dan biasanya menyebabkan jatuh. Onsetnya relatif cepat dan terjadi pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran tersebut terjadi akibat hipoperfusi serebral.

2. Kejang Demam (febrile seizure) : kejang umum dengan demam tanpa infeksi pada Central Nerves System, yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (rectal >> 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Pada saat infeksi terjadi proses inflamasi yang menyebabkan terjadinya peningkatan suhu, dan pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membrane sel neuron dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion kalium maupun natrium melalui membrane tadi,dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.

3. Acute seizure (acute provoked seizure/acute symptoms seizure) : seizure disebabkan perubahan akut struktur otak, metabolisme otak/sistemik, terjadi dalam kurang dari 1-2 minggu gangguan otak/metabolic akut

4. Shock anaphylactic : suatu gangguan sistemik atau reaksi local, sering kali hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein atau obat secara sistemik menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa ment setelh pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria(bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti oleh kesulitan bernapas berat yang disebabkan oleh bronkokontriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mucus.

5. Psikologik (stres dan ansietas) : Stres dan ansietas sering berhubungan dengan peningkatan jumlah terjadinya serangan kejang. Keadaan ini sering disertai dengan gangguan tidur, hiperventilasi, gangguan nutrisi dan gangguan psikologik sekunder.

6. Epilepsy (recurrent unprovoked seizure) : Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-neuron secara paroksismal dengan berbagai macam etiologi.Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara paroksismal. yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).

TerapiAdapun terapi penatalaksanaan dari epilepsi ini adalah : Non farmakologi: Amati faktor pemicu Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya : stress, OR, konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll. Farmakologi : menggunakan obat-obat antiepilepsi : Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+:Inaktivasi kanal Na menurunkan kemampuan syaraf untuk menghantarkan muatan listrik Contoh: fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, valproat Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik: agonis reseptor GABA meningkatkan transmisi inhibitori dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA contoh: benzodiazepine barbiturate menghambat GABA transaminase konsentrasi GABA meningkat contoh: Vigabatrin menghambat GABA transporter memperlama aksi GABA contoh: Tiagabin meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal pasien mungkin dg menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikular pool. Contoh: Gabapentin

berikut adalah mekanisme dari interaksi obat :

BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanEpilepsi sangat dapat menganggu janin dan ibu yang sedang mengandung. Faktor resiko yang sangat tinggi juga dapat terjadi pada anak. Namun dengan penanangan yang baik. Kita bisa mengantisipasinyaB. SaranAdanya penyakit epilepsi ini tidak bisa kita hindari. Atau jika ada orang terdekat yang menderita penyakit ini, hendaknya jangan dijauhi, namun ditangani dengan tepat. Prognosa dari penyakit ini tidaklah buruk jika kita mampu melaksanakan penatalaksanaannya dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA1.Djoenaidi, Benyamin. Diagnosis of Seizure and Epilepsy Syndromes.Epilepsia. 2000; 5(1):1-17 .2.Pal DK. Methodotogic Issues ln Assessing Risk Factors for Epilepsy in an Epidemiologic Study in India. Neurology. 1999; 53(9): 2058 63.3. Baker GA, Brooks J, Buck D, Jacoby A. The Stigma of Epilepsy a European Perspective. Epilepsia 1999; 41(1): 98-104.4. Soetomenggolo TS, lsmael S. Buku Ajar Neurologi Anak Ed. Pertama. Jakarta, BP IDAI. 19995. World Health Organization. Epidemiology, Prevalence, Incidence, Mortality of Epilepsy. 2001. Fact Sheet. URL http : // www. who.in/ inf-fs/ en/ fact 165. html.6. Lamsudin R. Prognosis Epilepsi. Dalam : Lamsudin, dkk. Simposium Penatalaksanaan Mutakhir Epilepsi.Yogyakarta. FK UGM.19997. Harsono. Epilepsi. Edisi pertama. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 2001

30 | kelompok 6-epilepsi-blok neuropsikiatri