draft naskah akademik - ihcs.or.id naskah akademik uu... · draft naskah akademik perubahan...

40
Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan -------------------------------------------------------------------------------- 1 DRAFT NASKAH AKADEMIK PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN PENYUSUN: M. TAUFIQUL MUJIB DIDUKUNG OLEH OXFAM MAKASAR INDONESIAN HUMAN RIGHTS COMMITTEE FOR SOCIAL JUSTICE 2009

Upload: trinhbao

Post on 08-Feb-2018

302 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

1

DRAFT

NASKAH AKADEMIK

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004

TENTANG PERIKANAN

PENYUSUN:

M. TAUFIQUL MUJIB

DIDUKUNG OLEH OXFAM MAKASAR

INDONESIAN HUMAN RIGHTS COMMITTEE FOR SOCIAL JUSTICE

2009

Page 2: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

2

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Deklarasi Djoeanda (1957) yang berisikan konsepsi Negara Nusantara (Archipelagic State) yang diterima masyarakat dunia dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention on Law

of the Sea (UNCLOS) 1982, maka wilayah laut Indonesia menjadi sangat luas, yaitu 5,8 juta kilometer, sama dengan tiga perempat dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Pada luas laut yang demikian, di dalamnya terdapat lebih 17.500 pulau besar dan kecil serta dikelilingi garis sepanjang 81.000 kilometer, yang berarti merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Oleh karena itu, Indonesia dikenal sebagai negera maritim dan kepulauan terbesar dunia.

Di konteks geo-ekonomi, laut Indonesia mengandung kekayaan alam yang sangat besar dan beragam, baik yang bersifat dapat diperbarui (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), tidak dapat diperbarui, energi kelautan (seperti pasang surut, gelombang, angin, dan OTEC/ Ocean Thermal Energy Convention), maupun jasa-jasa kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.

Potensi sumberdaya perikanan laut di Indonesia terdiri dari sumberdaya ikan pelagis besar (451.830 ton/tahun) dan pelagis kecil (2.423.000 ton/tahun), sumberdaya perikanan demersal (3.163.630 ton/tahun), udang (100.720 ton/tahun), dan ikan karang (80.082 ton/tahun).1

Dilihat dari potensi lestari total ikan laut, ada 7,5% (6,4 juta ton per tahun) dari potensi dunia berada di laut Indonesia di satu sisi, sedangkan di sisi lain, berkisar 24 juta hektar perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk usaha budidaya laut (mariculture) ikan kerapu, kakap, kakap, baronang, kerang mutiara, teripang, rumput laut dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis tinggi, dengan produksi 47 juta ton per tahun. Lahan pesisir (coastal land) yang sesuai untuk usaha budidaya tambak udang, bandeng, kerapu, kakap, kepiting, rajungan, rumput laut dan biota perairan lainnya diperkirakan 1,2 juta hektar dengan potensi produksi sebesar 5 juta ton per tahun.2

Dari kekayaan alam tersebut, sedikitnya 11 sektor ekonomi kelautan yang dapat dikembangkan, yaitu (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil ikan, (4) industri bioteknologi, (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) kehutanan, (8) perhubungan laut, (9) sumberdaya pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, (11) SDA non-konvensional. Potensi total nilai ekonomi ini kesebelas sektor kelautan itu diperkirakan mencapai $800 miliar (Rp. 7.200 trilyun) per tahun, atau lebih dari tujuh kali lipat dari APBN 2009dan satu setengah kali PDB saat ini.3

Sepanjang tahun 2000 hingga 2007, produksi perikanan tangkap mengalami kenaikan sebesar 2,74%. Pada tahun 2000 sebesar 3.807.191 ton bertambah menjadi 4.468.010 ton pada tahun 2006. Bila dibandingkan dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 5,12 juta ton, maka produksi tahun 2006 mencapai 87,27% dari JTB.

Tabel: Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap Tahun 2000-2006

Wilayah

Perairan

Tahun Kenaikan

Rata-rata

(%) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

1 Direktorat Jenderal Perikanan, Statistik Perikanan Indonesia 1996, Jakarta; Departemen Pertanian

2 Thoby Mutis, Kata Pengantar dalam Yuswar Zainul Basri, Ekonomi Kelautan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2007

3 Rokhmin Dahuri, Makna Hari Nusantara bagi Kedaulatan dan Kemakmuran Indonesia, Harian Media Indonesia,

Opini, Edisi 17 Desember 2008

Page 3: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

3

Laut 3.807.191 3.966.480 4.073.506 4.383.103 4.320.241 4.705.869 4.468.010 2,74

Perairan Umum

318.334 310.240 304.989 308.693 330.880 297.369 301.150 -0,78

Jumlah 4.125.525 4.276.720 4.378.495 4.691.797 4.651.121 4.705.869 4.769.160 2,48

Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007

Menyadari kekayaan sumber-sumber perikanan yang melimpah tersebut, maka dikeluarkanlah kebijakan nasional yang mengatur perihal perikanan, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Undang-undang Perikanan ini telah berlaku sekitar lima tahun. Namun, keberadaan undang-undang tersebut masih menyimpan suatu permasalahan yang sangat mendasar yang terkait dengan kepentingan bangsa dan negara serta kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan. Undang-undang yang ditetapkan pada era Kabinet Gotong Royong tersebut belum optimal dalam memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumberdaya ikan.

Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa substansi atau materi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 lebih banyak dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985. Namun, banyaknya materi yang diatur bukan berarti undang-undang tersebut sudah lengkap dan sesuai dengan aspirasi serta kehendak masyarakat, antara lain:

Pertama, pengertian nelayan kecil (Pasal 1 butir 11). Disebutkan bahwa nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten). Pengertian ini menimbulkan ketidakjelasan, karena batasannya tidak ada, apakah batasannya berdasarkan pada besar atau kecilnya alat tangkap yang digunakan atau berdasarkan besar atau kecilnya pendapatan dari hasil tangkapan. Lebih dari itu, apakah pengertian nelayan kecil di sini sama dengan pengertian nelayan tradisional. Dengan demikian, batasan atau definisi yang jelas mengenai nelayan kecil harus segera diperjelas.

Kedua, pengelolaan taman nasional laut (Pasal 7 ayat (5)). Sebelum adanya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), taman nasional laut dikelola oleh Departemen Kehutanan. Yang menjadi pertanyaan, apakah DKP telah menyiapkan perangkat institusi yang kuat untuk disebar ke seluruh wilayah Indonesia sebagaimana institusi PHPA mengelola taman laut selama ini. Apabila hal ini diabaikan, dikhawatirkan kerusakan ekosistem laut akan semakin meluas karena tidak adanya kejelasan lembaga yang mengelola.

Ketiga, pembentukan Dewan Pertimbangan Pembangunan Perikanan Nasional (Pasal 7 ayat (6)). Berdasarkan undang-undang ini, Dewan Pertimbangan Pembangunan Perikanan Nasional bertujuan untuk mempercepat pembangunan perikanan, yang ketuanya adalah Presiden dan anggotanya adalah menteri terkait, asosiasi perikanan, dan perorangan yang mempunyai kepedulian terhadap pembangunan perikanan. Lantas yang menjadi pertanyaan, apakah lembaga ini tidak berbenturan dengan lembaga sejenis seperti Dewan Maritim Indonesia (DMI) yang mempunyai fungsi dan peran yang sama. Oleh karena itu, pembentukan lembaga ini harus diperjelas fungsi dan perannya agar tidak menjadi lembaga mubadzir.

Keempat, pemberian akses kapal asing (Pasal 29 ayat (1) dan (2)). Pasal 29 ayat (1) menyebutkan bahwa usaha perikanan di WPP Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara RI atau badan hukum Indonesia. Namun Pasal 29 ayat (2) menafikannya, disebutkan pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara RI berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Kelima, minimnya kelengkapan persyaratan pendaftaran kapal (Pasal 36). Persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 sangat minim, yaitu: (1) bukti kepemilikan, (2) identitas pemilik,

Page 4: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

4

(3) surat ukur, dan (4) surat penghapusan dari daftar kapal yang diterbitkan oleh negara asal. Padahal persyaratan yang tertuang dalam IPOA on IUU fishing sangat banyak, yaitu: (1) nama; (2) nomor registrasi; (3) registrasi pelabuhan; (4) tanda penghubung radio; (5) dimana dan kapal dibuat; (6) tipe kapal; (7) metode dan tipe alat tangkap; (8) tonase; (9) panjang; (10) moulded depth; (11) kekuatan mesin; (12) gambar kapal ketika registrasi; (13) nama dan alamat pemilik; (14) nama dan alamat operator; (15) nama perusahaan yang menggunakan kapal; (16) sejarah kepemilikan dan kemungkinan informasi IUU fishing; dan (17) aktivitas lokasi penangkapan. Kelemahan inilah yang salah satunya menyebabkan perairan Indonesia menjadi surga bagi kapal-kapal asing untuk menjarah sumberdaya ikan. Di sisi lain, ada aturan yang sangat rumit membebani nelayan kecil.

Keenam, pemerintah harus menjelaskan masalah pengaturan daerah dan jalur penangkapan ikan (Pasal 37) secara gamblang. Hal ini dikarenakan, permasalahan daerah dan jalur tangkapan inilah yang kerap menimbulkan konflik. Apalagi ketidakjelasan mengenai batas wilayah tangkapan dihadapkan pada Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal itu disebutkan bahwa kabupaten dan kota mempunyai wewenang hingga 4 mil ke arah laut, sedangkan provinsi sejauh 12 mil.

Ketujuh, kebebasan nelayan kecil untuk melakukan penangkapan ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Republik Indonesia (Pasal 61). Pasal ini menimbulkan ketidakjelasan yang berujung pada konflik. Bahkan, hadirnya pasal ini mencerminkan ketidaktahuan DKP akan adanya kearifan lokal yang dikenal dengan hak ulayat laut, dimana boro-boro nelayan luar, nelayan lokal pun pada daerah tertentu yang dilarang tidak boleh melakukan penangkapan ikan. Dengan kata lain, hak ulayat laut tersebut mempunyai hak khusus dalam melakukan pengelolaan perikanan demi terciptanya keberlanjutan sumberdaya dan menghindari konflik. Di antara hak ulayat laut yang masih berlangsung dan mampu menciptakan perikanan yang berkelanjutan diantaranya adalah Panglima Laot (Nangroe Aceh Darussalam), Rumpon (Lampung), Kelong (Riau), Awig-awig (Bali dan Lombok), Rompong (Sulawesi Selatan), Sasi (Maluku) serta beberapa hak ulayat laut yang ada di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) seperti di Desa Para, Salurang, Ratotok dan Bentenan (Sulawesi Tenggara) serta Desa Endokisi (Papua). Oleh karenanya, dengan berdasar pada kebebasan nelayan kecil yang pengertiannya tidak jelas tersebut, secara tidak sadar pemerintah telah ”membenturkan” nelayan kepada konflik yang berkepanjangan, sungguh sangat tragis. Dengan demikian, pasal ini harus segera mendapatkan perhatian guna tidak memperpanjang angka konflik antar nelayan dikemudian hari.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka dipandang perlu untuk merumuskan Undang-Undang Perikanan baru yang lebih beroritasi pada kepentingan nasional dan melindungi hak-hak dari nelayan kecil serta masyarakat pesisir. Kebijakan tersebut harus tegas dalam menerjemahkan tanggung jawab negara dalam bentuk kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak tersebut. selain itu, aturan tersebut harus sesuai dengan dinamika pembangunan nasional serta perubahan tata pemerintahan di Indonesia saat ini dan mampu mengantisipasi perubahan dan tantangan-tantangan pembangunan pangan masa depan.

B. Identifikasi Masalah

Permasalahan yang seringkali muncul di sektor perikanan antara lain;

1. Aspek kepentingan nasional

Kebutuhan perikanan nasional terus meningkat. Sepanjang tahun 2000 sampai 2006, total konsumsi ikan dalam negeri mengalami kenaikan rata-rata 3,59 persen. Begitu pula dengan konsumsi perkapita naik 2,55 persen, yang pada tahun 2000 mencapai 21,57 Kg/Kap/Tahun menjadi 25,03 Kg/Kap/Tahun di tahun 2006.

Tabel: Penyediaan Ikan untuk Konsumsi Dalam Negeri Tahun 2000 – 2006

Uraian Tahun Kenaikan

Page 5: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

5

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata

Konsumsi Total (1.000 ton)

4.510,48 4.692,96 4.780,60 4.748,82 4.901,14 5.249,60 5.556,90 3,59%

Konsumsi per Kapita (Kg/Kap/Tahun)

21,57 22,47 22,79 22,36 22,58 23,95 25,03 2,55%

Sumber: DKP, 2007

Berdasarkan pada data tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebutuhan konsumsi ikan nasional masih sangatlah tinggi, namun sektor perikanan justru lebih diarahkan pada pasar global dengan dua hal. Pertama, liberalisasi perikanan tangkap dengan memberikan keleluasaan berlebihan terhadap kapal-kapal asing untuk melakukan ekplorasi dan eksploitasi sumber-sumber perikanan di kawasan ZEE Indonesia. Kedua, liberalisasi sektor perdagangan perikanan. Semisal, pada tanggal 22 Juni 2007 lalu, Indonesia dan Jepang berhasil menuntaskan perundingan kerja sama ekonomi dalam format Economic Partnership

Agreement (EPA) yang ditandai dengan penandatangan Record of Discussion (RoD) Indonesia-Japan

Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) di Tokyo. Dalam kerangka IJEPA tersebut, hambatan-hambatan produk perikanan dalam memasuki pasar global dan khususnya pasar Jepang yang bersifat non-tarif dapat direduksi dan atau dieliminasi melalui kerja sama ini.

Dari orientasi global tersebut, devisi negara (APBN) mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Namun, ada kecenderungan ternegasikannya kepentingan nasional. Alhasil, fenomena busung lapar dan gizi buruk yang melanda Indonesia justru berada di kawasan pesisir yang notabene merupakan daerah yang mempunyai sumberdaya melimpah.

2. Tentang Sistem Tenurial

Sistem tenurial adalah sistem penguasaan atas sumber daya agraria dalam suatu masyarakat. Istilah ini biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang mendasar dari aspek penguasaan sumber daya yaitu mengenai status hukumnya.

Lebih jauh disebutkan bahwa pada setiap sistem tenurial, masing-masing hak termaksud setidaknya mengandung tiga komponen, yakni:

1. Subyek hak, yang berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu dilekatkan. 2. Obyek hak, yang berupa persil tanah, barang-barang atau juga benda-benda yang tumbuh di atas

tanah, barang-barang tambang atau mineral yang berada di dalam tanah atau perut bumi, perairan, kandungan barang-barang atau mahluk hidup dalam suatu kawasan perairan, maupun sutau kawasan atau wilayah udara tertentu

3. Jenis hak, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut, yang membedakan dengan hak lainnya.

Peraturan perundangan yang mengatur mengenai sistem tenurial secara nasional untuk laut dapat dikatakan tidak ada, kecuali yang berhubungan dengan fungsi-fungsi perlindungan, konservasi, dan peruntukan komersial. 3. Pengaturan Zonasi Tangkap

Dalam konteks Otonomi Daerah, persoalan zonasi tangkap acapkali menimbulkan permasalahan dan berujung pada konflik horizontal sesama nelayan antar-daerah. Konflik sosial yang juga sering terjadi adalah perebutan daerah tangkapan antar nelayan. Perebutan daerah tangkap ini tidak hanya terjadi antar provinsi atau kabupaten, tapi konflik ini sudah tersegmen menjadi antar kecamatan. Permasalahan sosial akibat zonasi ini sudah mengakibatkan bentrokan fisik antar nelayan hampir merata di seluruh wilayah di Indonesia, bahkan sudah terjadi bakar membakar kapal nelayan.

Page 6: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

6

Memang, konflik primordial tersebut tidak bersifat murni, melainkan tercampur dengan konflik kelas, maupun konflik orientasi yang sebenarnya kerap terjadi sebelum diterapkannya otonomi daerah. Namun, dengan adanya otonomi daerah, konflik tersebut semakin meruncing.

Padahal, pemberian izin usaha penangkapan ikan tidak harus didaerahkan karena Indonesia tidak mengenal area perikanan daerah, kecuali wilayah perikanan Indonesia (Indonesia territorial waters). Indonesia hanya mempunyai satu teritorial laut, tidak dikavling-kavling daerah.

4. Kesejahteraan Nelayan Kecil dan Masyarakat Pesisir

Sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 210 juta jiwa. Pada saat ini setidaknya terdapat 2 juta rumah tangga yang menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan. Dengan asumsi tiap rumah tangga nelayan memiliki 6 jiwa maka sekurang-kurangnya terdapat 12 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya sehari-hari pada sumber daya laut termasuk pesisir tentunya. Jumlah penduduk yang besar ini tidak banyak mendapat perhatian dari pemerintah.

Data dari beberapa referensi menunjukkan bahwa pada (Tahun 2002) angka partisipasi sekolah anak-anak nelayan untuk pendidikan tingkat SLTP baru merncapai 60 %, dan SLTA baru mencapai 30 % (Tahun 2002). Dengan kondisi yang demikian maka dalam jangka panjang pendidikan untuk masyarakat nelayan perlu menjamin agar angka partisipasi sekolah khususnya SLTA dapat dicapai menjadi sekurang-kurangnya 80 %, hal ini berarti 50 % dari anak SLTP saat ini dan 30 % anak usia SLTP menjadi target group dalam pengembangan pelayanan pendidikan. Fenomena keseharian masyarakat nelayan yaitu anak anak lelaki maupun wanita secara lebih dini terlibat dalam proses pekerjaan nelayan dari mulai persiapan orang tua mereka untuk kelaut sampai dengan menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya berimplikasi kepada kelangsungan pendidikan anak-anak nelayan.

Di samping itu, pada aspek kesehatan, nelayan relatif lebih beresiko terhadap munculnya masalah kesehatan seperti kekurangan gizi, diare dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), yang disebabkan karena persoalan lingkunan seperti sanitasi, air bersih, indoor pollution, serta minimnya prasarana kesehatan seperti Puskesmas ataupun Posyandu yang tidak digunakan secara optimal.

Fenomena kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir ini lebih banyak disebabkan oleh ketidakberdayaan dalam proses berekonomi, baik di tahap praproduksi, produksi dan pemasaran. Lebih ironis, khusus di daerah-daerah kepulauan kecil, seringkali tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsinya ketika terjadi musim barat, sehingga wilayahnya terisolir.

C. Tujuan dan Kegunaan

C.1. Tujuan Penyusunan Naskah Akademik

Tujuan penyusunan Naskah Akademis Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah sebagai landasan ilmiah bagi penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan, yang memberikan arah, dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, dengan terbentuknya RUU, maka diharapkan tujuan untuk menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan atas hak-hak nelayan kecil dan masyarakat pesisir dalam kerangka hak atas pangan sebagai bagian dari pewujudan hak-hak asasi ekonomi, sosial, dan budaya dapat terwujud. Selain itu, Naskah Akademik ini akan diarahkan untuk menata sistem perikanan berkelanjutan yang ramah lingkungan.

Di samping itu, penegasan mengenai perangkat aturan dan mekanisme mengenai penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas pangan akan bermanfaat bagi negara dalam upaya memajukan inisiatif-inisiatif pembangunan pangan nasional sebagai bagian dari proses pembangunan nasional sesuai dengan amanah konstitusi.

Page 7: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

7

C. 2. Kegunaan Penyusunan Naskah Akademik

Kegunaan penyusunan Naskah Akademik ini selain sebagai bahan masukan bagi Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah juga untuk menjadi dokumen resmi yang menyatu dengan konsep Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang akan dibahas di DPR dalam penyusunan prioritas Prolegnas.

D. Metode Penyusunan Naskah Akademik

Teknik yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik ini antara lain:

1. Penelitian Pustaka. Pengkajian literatur yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, intrumen-instrumen hak asasi manusia, dokumen, buku-buku teori dan liputan media, guna mendapatkan kajian mendalam tentang perikanan. Pengkajian atas sumber-sumber hukum primer meliputi:

a. Pengkajian terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang dinilai mengandung kelemahan dan atau bermasalah dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak nelayan kecil dan masyarakat pesisir.

b. Pengkajian atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya untuk memperoleh rujukan mengenai mekanisme penegakan hak atas pangan sebagai bagian dari hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak asasi manusia.

c. Pengkajian atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah d. Pengkajian atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan e. United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982 f. Pengkajian atas Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional g. Pengkajian atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. h. Pengkajian atas Konvensi Mengenai Penghilangan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap

Perempuan. i. Pengkajian atas Konvensi tentang Hak-Hak Anak j. Pengkajian atas Konvensi Internasional tentang Perlindungan atas Hak-Hak Masyarakat

Asli.

2. Temu Publik. Pertemuan antar organisasi masyarakat yang difungsikan untuk memetakan persoalan perikanan, perumusan jalan pemajuan dan pembelaan hak nelayan, dan masukan bagi revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentan Perikanan. Pertemuan tersebut dilangsukan di Kepulauan Tanimbar (Maluku Tenggara Barat), Pulau Tunda (Serang-Banten), Kabupaten Buton dan Kota Bau-Bau (Sulawesi Tenggara), Makasar (Sulawesi Selatan) dan Jakarta.

3. Kelompok Diskusi Terfokus (Focused Group Discussion) membahas perihal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Kaitannya dengan Pemenuhan, Perlindungan dan Penghormatan Hak-Hak Nelayan Kecil dan Masyarakat Pesisir. Rangkaian diskusi tersebut antara lain:

a. Focus Group Discussion di Kabupaten Saumlaki, Maluku Tenggara Barat. FGD Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) diselenggarakan di Hotel Galaxy Saumlaki pada tanggal 5 Juli 2008. Peserta yang hadir dalam forum diskusi ini adalah pemerintah daerah serta instansi-instansinya seperti Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Kesehatan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas

Page 8: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

8

Pertanian, Dinas Sosial, dan Biro Hukum Pemda. Selain itu, hadir pula beberapa Kepala Desa dan masyarakat nelayan dampingan.

b. Focus Group Discussion di Kota Kota Bau-Bau FGD diselenggarakan pada tanggal 14 Juli 2008 di Hotel Rosichan Kota Bau-Bau. Peserta yang hadir dalam forum diskusi ini berjumlah sekitar 30 orang yang terdiri unsur Pemerintah Daerah baik dari Kota Bau-Bau maupun Kabupaten Buton; Dinas Kesehatan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pertanian, Dinas Sosial, dan Biro Hukum Pemda. Selain itu, hadir pula sejumlah NGO local dan beberapa kelompok masyarakat nelayan

dampingan. c. Focus Group Discussion di Pulau Tunda

FGD diselenggarakan Selasa, 22 Juli 2008 di Aula Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) kabupaten Serang. Diikuti oleh 40-an peserta yang terdiri dari undangan dari dinas-dinas instansi pemerintan kabupaten Serang dan kelompok masyarakat. Selain Dinas Kelautan dan Perikanan, dari instansi pemerintah antara lain Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian, Dewan Ketahanan Pangan, DPU Cipta Karya, Dinas Perhubungan, Badang Pertanahan Nasional, dan Dinas Pariwisata. Sedangkan unsur masyarakat datang dari komunitas pesisir desa Tenjo Ayu dan masyarakat Pulau Tunda.

d. Focus Group Discussion pra-naskah akademik (kertas posisi atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004) di Jakarta pada tanggal 7 Juli 2009 dengan dihadiri sejumlah organisasi masyarakat sipil (organisasi nelayan dan LSM)

e. Focus Group Discussion membahas draft Naskah Akademik di Jakarta pada tanggal 16 Juli 2009 dengan dihadiri sejumlah organisasi masyarakat sipil (organisasi nelayan dan LSM), akademisi dan pejabat terkait.

4. Wawancara ke sejumlah masyarakat di Kepulauan Tanimbar dan Aru (Maluku Tenggara Barat), Pulau Tunda (Serang-Banten), dan Kota Buton dan Bau-Bau (Sulawesi Tenggara). Pada saat kunjungan ini, dilakukan pula pengukuran gizi Balita di masing-masing wilayah untuk mengetahui tingkat keterpenuhan gizi.

5. Analisis Data dan Fakta. Menarik kesimpulan dari persoalan yang ada dan merumuskan solusi guna kepentingan di masa yang akan datang khusus dalam merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Alurnya adalah temuan-temuan di lapangan dikerangkakan dalam indikator hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob), lalu dianalisis apa saja yang harus diatur dan siapa yang harus diatur kemudian dipararelkan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Page 9: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

9

BAB II

Asas

A. Landasan Filosofis

Indonesia merupakan negara maritim, di mana tiga per empat berupa laut (5,8 juta km2). Panjang garis pantai tropis terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada. Bentangan wilayah Indonesia dari ujung Barat (Sabang) dan timur (Merauke) setara dengan London sampai Bagdad. Bentang ujung utara (Kep. Satal) dan selatan (P. Rote) setara dengan jarak negara Jerman sampai negara Al-Ajazair.

Laut mengandung potensi ekonomi (pembangunan) sangat besar dan beragam. Kontribusiya terhadap GDP senilai 28 milyar (1988) atau 20 %. Lebih rendah bila dibandingkan dengan Korea Selatan dengan panjang pantai 2.713 Km dengan kontribusinya 147 milyar (1992) atau 37%. Nilai ekspor perikanan sebesar US $ 1,76 milyar (1998) dengan nilai rumput laut (US $ 45 juta), lebih rendah bila dibandingkan dengan Thailand sebesar US $ 4,2 milyar dengan panjang pantai 2.600 km. Apabila optimal dalam pendayagunaan sumber daya laut, maka potensi ini akan mampu memberikan kontribusi yang besar dalam melunasi hutang-hutang luar negeri bangsa ini. Sumber kelautan sebagian besar dapat diperbarui (Ikan demersal, ikan pelagis, sea weed dan biota lainnya) sebagai basis pembangunan ekonomi secara berkelanjutan. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut di Indonesia adalah 6,18 juta ton pertahun, ikan demersal 1,78 juta ton, ikan karang konsumsi 75 ribu ton, udang penaid 74 ribu ton, lobster 4,80 ribu ton, dan cumi-cumi 28,25 ribu ton.

Berdasarkan pada hal itu, maka negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan. Dalam pada itu hukum perikanan yang berlaku sekarang ini, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur tersebut, ternyata bahkan sebaliknya.

Berhubung dengan itu, maka perlu adanya kebijakan perikanan nasional baru yang akan mengganti hukum yang berlaku sekarang ini, yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan perikanan yang baru harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksudkan di atas dan harus sesuai pula dengan kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Selain itu, kebijakan perikanan nasional harus mewujudkan cita-cita Negara-Bangsa Indonesia, yaitu Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial, Berketuhanan Yang Maha Esa, serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan garis-garis besar dari haluan negara yang tercantum di dalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan di dalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960.

B. Landasan Yuridis

Pertimbangan yuridis adalah menyangkut masalah‐masalah hukum serta peran hukum di sektor

perikanan. Hal ini dikaitkan dengan peran hukum dalam pembangunan, baik sebagai pengatur perilaku (social control), maupun instrument untuk penyelesaian masalaha (dispute resolution). Hukum sangat

diperlukan, karena hukum atau peraturan perundang‐undangan dapat menjamin adanya kepastian

(certainty) dan keadilan (fairness) dalam sektor perikanan.

Dalam kaitan dengan peran dan fungsi hukum tersebut, maka persoalan hukum yang terkait sektor perikanan di Indonesia memiliki cantolan yang tegas, yaitu Konstitusi (Undang-Undang Dasar Tahun 1945). Dalam Pasal 33 ayat (2) dinyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Dilanjutkan di ayat (3), berbunyi

Page 10: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

10

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Penerjemahan, bumi, air, dan ruang angkasa, adalah termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Sementara, konsep tentang ”Menguasai Negara”, dapat diartikan sebagai; merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (besherdaad), dan melakukan pengawasan.

Selain itu, beberapa pasal konstitusi yang dijadikan landasan yuridis adalah

• Pasal 27 (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

• Pasal 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

• Pasal 28C (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

• Pasal 28H (3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

• Pasal 28I (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Selanjutnya, sebagai muara dari landasan yuridis kebijakan perikanan nasional adalah Pembukaan Konstitusi yang menyatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial

C. Landasan Sosiologis

Berdasarkan karakteristik human system dalam tipologi fishery system, terdapat beberapa karakteristik umum dari nelayan (fishers) yaitu bahwa pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu grup) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Kedua, dalam komunitas nelayan komersial, nelayan dapat bervariasi menurut occupational commitment-nya seperti nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber pendapatan beragam, dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan dapat bervariasi menurut motivasi dan perilaku di mana dalam hal ini terdiri dari dua kelompok yaitu nelayan dengan karakteristik profit-maximizers, yaitu nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku seperti layaknya ”perusahaan”, dan kelompok nelayan satisficers atau nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup.

Selain itu, pertimbangan sosisologis menyangkut permasalahan empiris dan kebutuhan yang dialami oleh masyarakat terkait dengan sektor perikanan adalah perihal pranata sosial masyarakat nelayan. Dua pranata strategis yang dianggap penting untuk memahami kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan adalah pranata penangkapan dan pemasaran ikan. Kedua pranata tersebut, dalam perspektif etic, bersifat eksploitatif sehingga menjadi sumber potensial timbulnya kemiskinan struktural di masyarakat nelayan. Dalam perspektif kebudayaan nelayan (emic), mereka jarang mempersoalkan keberadaan pranata tersebut secara negatif. Mereka menyadari bahwa dalam sistem pembagian hasil atau pemasaran tangkapan, yang menempatkan para pemilik perahu atau pedagang perantara/ pedagang ikan memperoleh bagian atau keuntungan besar dari kegiatan tersebut, dipandang sebagai kewajaran.

Page 11: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

11

Pembagian tersebut dianggap sesuai dengan kontribusi, biaya dan resiko ekonomi yang harus ditanggung dalam proses produksi dan pemasaran hasil tangkapan. Persepsi demikian terbentuk karena faktor keterpaksaan atau karena nelayan tidak mempunyai pilihan lain.

Struktur sosial-budaya yang tercermin dalam operasional kedua pranata di atas mempunyai kontribusi besar dalam membentuk corak pelapisan sosial-ekonomi secara umum dalam kehidupan nelayan. Mereka yang menempati lapisan sosial atas adalah para pemilik perahu dan pedagang ikan yang sukses. Lapisan tengah ditempati oleh juragan laut atau pemimpin awak perahu, lapisan terbawah ditempati oleh buruh nelayan.

Mereka yang menempati lapisan atas hanya sebagian kecil masyarakat nelayan, sedangkan mayoritas masyarakat nelayan Indonesia masih menempati lapisan terbawah. Pelapisan sosial-ekonomi ini mencerminkan bahwa penguasaan alat-alat produksi perikanan, akses modal, dan akses pasar hanya menjadi milik sebagian kecil masyarakat, yaitu mereka yang berada di lapisan atas.

Hal lain yang menjadi akar kemiskinan nelayan adalah ketergantungan pada kegiatan penangkapan. Selain itu, sifat sumberdaya perikanan sebagai milik umum yang bergerak dinamis dan fluktuasi musim penangkapan akan mengganggu konsistensi perolehan pendapatan nasional.

Page 12: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

12

BAB III

Muatan Materi

A. Analisis Masalah

A. 1. Aspek Kepentingan Nasional

Globalisasi produksi perikanan muncul akibat adanya anggapan bahwa produksi perikanan negara tidak lepas dari negara lain dan dunia internasional. Ketergantungan pada dunia luar bisa dalam bentuk ketergantungan sarana produksi ataupun investasi. Sementara, globalisasi pengelolaan sumberdaya juga mengemuka karena munculnya opini global yang menyatakan bahwa perikanan dunia dalam kondisi kritis, sehingga perlu pengeloaan bersama. Selain itu, dalam globalisasi perikanan terjadi pula globalisasi perdagangan dan isu subsidi.

A. 1. 1. Liberalisasi Sektor Perikanan

Dalam konteks Indonesia, liberalisasi sektor perikanan dengan orientasi global telah terjadi sejak lama. Paling tidak, sejak tahun 1984 kebijakan nasional telah melegalkan adanya liberalisasi tersebut. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Sebagai turunan pelaksana, pada PP ini dijelaskan mengenai dasar hukum pemberian surplus ikan kepada asing. Pada Pasal 3 disebutkan, “Orang atau badan hukum asing dapat diberi kesempatan untuk melakukan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sepanjang orang atau badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang usaha perikanan Indonesia belum dapat sepenuhnya memanfaatkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini”.

Selanjutnya, sebagai respon atas lemahnya armada perikanan tangkap nasional, pemerintah mengeluarkan pelbagai kebijakan guna mempercepat industrialisasi di sektor perikanan, salah satunya adalah melalui kebijakan impor kapal ikan yang bebas dari hambatan non-tarif melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 Tahun 1988 tentang Impor Kapal Niaga dan Kapal Ikan Dalam Keadaan Baru dan Bukan Baru. Kemudian, pada tahun 1997 dikeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor 60/Kpts/IK. 120/2/97 tentang Pemberian Izin Impor Kapal Perikanan.

Tak berhenti di situ. Kebijakan pemerintah di Era Orde Baru terus diarahkan untuk mendukung investasi penanaman modal asing (PMA) di bidang perikanan tangkap. Setelah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan disahkan, pemerintah mengeluarkan SK Menteri Pertanian Nomor 475/Kpts.IK.120/7/1985 tentang Perizinan Bagi Orang atau Badan Hukum Asing untuk Menangkap Ikan di ZEE Indonesia. Melalui SK tersebut, kapal ikan asing dari negeri tetangga mulai memasuki ZEE Indonesia. Dengan kata lain, tahun 1985 merupakan babak baru legalisasi kapal ikan asing beroperasi di wilayah ZEE Indonesia dengan menggunakan lisensi dan charter. Sepanjang tahun 1986 hingga 1991 tercatat peningkatan kapal ikan mencapai 50,9 persen. Angka tersebut melampaui pertumbuhan angka kapal Indonesia yang hanya mencapai 31,3 persen.

Hari ini, liberaliasi sektor perikanan dijalankan dalam tiga bentuk, yaitu liberalisasi produksi, pengelolaan sumberdaya, dan perdagangan. Sebagai perwujudan liberalisasi sektor perikanan tangkap adalah dengan izin pengoperasian kapal asing.

Dalam konteks Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pemberian akses kapal asing tercantum dalam Pasal 29 ayat (2). Sebelumnya, di Pasal 29 ayat (1), undang-undang ini menyebutkan bahwa usaha perikanan di WPP Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara RI atau badan hukum Indonesia. Namun, Pasal 29 ayat (2) menafikannya, dengan menyebutkan pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara RI berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.

Page 13: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

13

Kalau kita perhatikan dari ayat (2) terlihat bahwa pemerintah sangat tergesa-gesa dalam memberikan kesempatan kepada nelayan asing untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI, tanpa terlebih dahulu melakukan berbagai kajian seperti yang telah disyaratkan dalam hukum Internasional. Terlebih disisipkan kalimat ”sepanjang menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku”.

United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982 selalu dijadikan alasan oleh pemerintah nasional Indonesia ketika tunduk pada konsesi internasional/ asing dan membuka peluang investasi asing. Beberapa kebijakan perikanan nasional seolah-olah mendasarkan pada UNCLOS 1982. Akan tetapi, sesungguhnya berbeda.

Semisal, dalam Pasal 62 ayat (2) UNCLOS 1982 disebutkan, The coastal state shall determine its

capacity to harvest the living resources of the exclusive economic zone. Where the coastal state does not

have the capacity to harvest the entire allowable catch, it shall, through agreements or other

arrangements and pursuant to the terms, conditions, laws and regulations referred to in paragraph 4,

give other state acces to the surplus of the allowable catch, having particular regard to the provisions of

article 69 and 70, especially in relation to the developing state mentioned therein.

Dalam kamus Oxford, kata “Shall” diterangkan sebagai (modal verb): 1. (in the first person) expressing the future tense; 2. Expressing a strong assertion; 3. Expressing an instruction or command; 4. Used in

questions indicating offers or suggestion. Dari penjelasan tersebut, salah satu poin yang harus dilihat adalah tentang adanya used in questions indicating offers or suggestion, di mana karakter anjuran juga menjadi unsur makna.

Di sisi lain, dalam sebuah bangunan kebijakan/ produk hukum nasional, ada beberapa susunan yang bisa dimasukkan, yaitu mengatur tentang kedaulatan negara, hubungan negara dengan pihak lain, dan aplikasi atas kedaulatan negara. Artinya, pemerintah mempunyai otoritas untuk menentukan kedaulatannya. Sehingga, traktat/ perjanjian internasional semacam UNCLOS 1982 sesungguhnya tidak menghalangi arah pemerintah dalam memutuskan perihal arah kebijakannya.

Kebijakan sektor perikanan Indonesia yang berorientasi ke asing juga tampak dari pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa semua negara memiliki kesempatan yang sama untuk turut serta mengeploitasi sumberdaya ikan di ZEEI. Padahal, jika menurut UNCLOS 1982, tidak semua negara memiliki hak untuk dapat turut serta mengeksploitasi sumberdaya ikan di ZEEI. Menurut Pasal 69 ayat (1) dan Pasal 70 ayat (1) UNCLOS 1982 yang berhak untuk turut serta mengekspolitasi sumberdaya ikan di ZEEI adalah negara tidak berpantai (land-locked states) dan negara yang secara geografis tidak beruntung (geographically disadvantaged states). Yang dimaksud negara yang secara geografis tidak beruntung adalah negara pantai, termasuk negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup yang letak geografisnya membuatnya tergantung pada eksploitasi sumberdaya ikan di ZEEI.

Namun demikian, bukan berarti negara tidak berpantai dan negara yang secara geografis kurang beruntung dapat secara mudah begitu saja untuk dapat mengeksploitasi sumberdaya ikan di ZEEI. Dalam Pasal 69 ayat (2) dan 70 ayat (3) telah diatur persyaratan dan cara peran serta negara-negara tersebut dalam pemanfaatan sumberdaya hayati di ZEEI. Secara ringkas, persyaratan dan tata cara peran serta tersebut harus memperhatikan: (a) kebutuhan untuk menghindari akibat yang merugikan bagi masyarakat nelayan atau industri penangkapan ikan negara pantai—dalam hal ini Indonesia, (b) sampai sejauh mana negara yang secara geografis tak beruntung dan negara tidak berpantai, berperan serta atau berhak untuk berperan serta berdasarkan persetujuan bilateral, sub regional atau regional yang ada dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif negara pantai, (c) sampai sejauh mana negara yang secara geografis tak beruntung lainnya dan negara tak berpantai berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati zona ekonomi eksklusif negara pantai dan kebutuhan yang timbul karenanya untuk menghindari suatu beban khusus bagi suatu negara pantai tertentu atau satu bagian daripadanya, (d)

Page 14: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

14

kebutuhan gizi penduduk masing-masing negara. Dengan demikian, pemberian akses atau izin kapal asing di perairan ZEEI dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 harus ditinjau kembali.

Wajah liberaliasi sektor perikanan juga tampak melalui beberapa perjanjian bilateral. Semisal, pada tanggal 20 Agustus 2007 telah ditandatangani kesepakatan kemitraan ekonomi Indonesia-Jepang (Indonesia Japan Economic Partnership Agreement/ IJEPA) oleh kedua negara, yaitu antara Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, yang datang secara khusus ke Indonesia, dengan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam rangka menuju perjanjian ini, telah dilakukan 18 kali perundingan sejak tahun 2005, yang meliputi 6 kali putaran perundingan dan 12 pertemuan intersession. Hasilnya, Indonesia - Japan Economic

Partnership Agreement yang merupakan kerja sama ekonomi bilateral antara Indonesia dengan Jepang ini mencakup 11 bidang atau kelompok perundingan, yaitu: (1) Trade in Goods, (2) Rules of Origin (RoO); (3) Customs Procedures, (4) Trade in Services, (5) Investment, (6) Movement of Natural Persons, (7) Government Procurement, (8) Intellectual Property Rights, (9) Competition Policy, (10) Energy and

Mineral Resources, dan (11) Cooperation.

Sesuai dengan pilar yang disepakati dalam IJEPA yaitu fasilitasi perdagangan, liberalisasi dan kerjasama, IJEPA memberikan kepastian akses pasar yang lebih besar bagi produk perikanan Indonesia ke Jepang, dan hal ini akan menempatkan produk perikanan Indonesia pada tingkat yang sama atau bahkan lebih baik dari negara-negara yang telah menyelesaikan agreement dengan Jepang seperti negara Malaysia, Filipina, Singapura dan Meksiko.

Selain itu, dalam bidang perikanan, melalui IJEPA juga diharapkan akan memberikan peluang bisnis yang lebih luas, penarikan investasi maupun pembangunan infrastruktur di bidang perikanan. Pun, komponen yang penting dalam IJEPA adalah penyediaan peningkatan kapasitas di bidang perikanan yang akan meningkatkan dan penjagaan kualitas produk perikanan Indonesia dalam menembus pasar global.

Dalam rangka peningkatan akses pasar produk perikanan Indonesia ke pasar global, melalui IJEPA sebanyak 51 produk perikanan akan memperoleh pembebasan bea-masuk (0%) ke Jepang, pada saat kesepakatan ditandatangani.

Sisanya akan dibebaskan bea-masuk ke Jepang dalam kurun waktu 3 sampai dengan 5 tahun. Khusus untuk produk primer udang dan olahannya yang mempunyai nilai ekspor terbesar ke Jepang akan mendapatkan pembebasan bea-masuk ke Jepang mulai saat penandatanganan kesepakatan tersebut atau melalui jalur cepat (fast track).

Hal itu berarti, sektor perikanan nasional akan lebih diprioritaskan pada kepentingan ekspor dengan alasan meningkatkan devisi negara. Padahal, pemerintah seharusnya lebih memperioritaskan kebutuhan nasional.

Pada tahun 2003 produksi perikanan nasional mencapai 6 juta ton pertahun yang bersumber dari perikanan tangkap (4,6 juta ton) dan budidaya (1,4 juta ton). Sementara, permintaan konsumsi ikan pada masyarakat Indonesia mencapai 5,31 juta ton per tahun. Artinya, ditinjau dari produksi perikanan total nasional produksi perikanan Indonesia masih mengalami surplus produksi. Tetapi kalau ditinjau dari kontribusi antara produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya permintaan ikan nasional tersebut masih berada di atas kedua sumber produksi perikanan tersebut. Jadi, produksi perikanan nasional sangat tergantung terhadap kedua sumber produksi tersebut.

Dengan demikian, apabila ada salah satu sumber produksi tersebut mengalami penurunan yang sangat drastis maka akan berdampak terhadap menurunnya produksi perikanan nasional. Bahkan bisa jadi akan memicu terjadinya krisis ikan nasional. Krisis ikan nasional tersebut akan terjadi apabila jumlah permintaan ikan masyarakat melebihi jumlah produksi perikanan nasional. Oleh sebab itu pemerintaahan Indonesia Bersatu hendaknya dapat merumuskan kebijakan yang komprehensif dalam upaya menjaga dan meningkatkan produksi perikanan nasional.

Gambar: Kondisi Produksi Perikanan dan Konsumsi Ikan Nasional

Page 15: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2004

A. 1. 2. Solusi Masalah Aspek Kepentingan Nasional

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan mempunyai kekayaan alam, khususnya sumberperikanan yang melimpah. Di sisi lain, Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar berimplikasi pula terhadap besarnya kebutuhan konsumsi perikanan nasional. maka, seharusnya pemerintah bisa mempertimbangkan arti penting sumberdaya perikanan bagi perekonomian nasional dan memprioritaskan kebutuhan ikan dalam negeri dalam menyusun kebijakan perikanan nasional.

Khusus dalam konteks perubahan Undangdengan memprioritaskan kepentingan nasional, maka yang perlu dilakukan adalah:

Pertama, pemerintah Indonesia harus memahami secara detail kaidahsetiap traktat/ perjanjian internasional, untuk selanjutnya bisa memperjuangkan kepentingan nasional dalam setiap diplomasi-negosiasi di tingkat regional dan internasional, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Kepentingan nasional ini harus mdilakukan oleh dan digunakan untuk

Kedua, menegaskan kembali kedaulatan nasional dalam kaitannya dengan perjanjian/traktat internasional.

Ketiga, mensyaratkan hanya warga negara Indonesia boleh beroperasi di kawasan ZEEI.

Keempat, memberikan izin ekspor perikanan hanya untuk produk olahan. Pembatasan ekspor ini dilakukan sebagai sebuah upaya untuk menjamin kebutuhan konsum

A. 2. Sistem Tenurial

A. 2. 1. Tentang Sistem Tenurial

Sistem tenurial adalah sistem penguasaan atas sumber daya agraria dalam suatu masyarakat. pakar agraria, Gunawan Wiradi, istilah ini biasanya dipakai dalam uraianyang mendasar dari aspek penguasaan sumber daya yaitu mengenai status hukumnya. Sistem tenurial juga diartikan sebagai sekumpulan atau serangkaian hak

Lebih jauh disebutkan bahwa pada setiap sistem tenurial, masingmengandung tiga komponen, yakni:

1. Subyek hak, yang berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu dilekatkan.2. Obyek hak, yang berupa persil tanah, barang

tanah, barang-barang tambang atau mineral yang berada di dalam tanah atau perut bumi, perairan,

0

1000000

2000000

3000000

4000000

5000000

6000000

Ton

Produksi Perikanan Tangkap Produksi Perikanan Budidaya

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

Kelautan dan Perikanan RI, 2004

A. 1. 2. Solusi Masalah Aspek Kepentingan Nasional

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan mempunyai kekayaan alam, khususnya sumberperikanan yang melimpah. Di sisi lain, Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar berimplikasi pula terhadap besarnya kebutuhan konsumsi perikanan nasional. Melihat kondisi tersebut maka, seharusnya pemerintah bisa mempertimbangkan arti penting sumberdaya perikanan bagi perekonomian nasional dan memprioritaskan kebutuhan ikan dalam negeri dalam menyusun kebijakan

ahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, terkait dengan memprioritaskan kepentingan nasional, maka yang perlu dilakukan adalah:

emerintah Indonesia harus memahami secara detail kaidah-kaidah yang termaktub dalam erjanjian internasional, untuk selanjutnya bisa memperjuangkan kepentingan nasional

negosiasi di tingkat regional dan internasional, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Kepentingan nasional ini harus memprioritaskan produksi perikanan

digunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia dengan berasaskan kekeluargaan.

menegaskan kembali kedaulatan nasional dalam kaitannya dengan perjanjian/traktat internasional.

warga negara Indonesia atau organisasi berbadan hukum Indonesia yang

memberikan izin ekspor perikanan hanya untuk produk olahan. Pembatasan ekspor ini dilakukan sebagai sebuah upaya untuk menjamin kebutuhan konsumsi ikan dalam negeri.

Sistem tenurial adalah sistem penguasaan atas sumber daya agraria dalam suatu masyarakat. stilah ini biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah

yang mendasar dari aspek penguasaan sumber daya yaitu mengenai status hukumnya. Sistem tenurial juga diartikan sebagai sekumpulan atau serangkaian hak-hak.

Lebih jauh disebutkan bahwa pada setiap sistem tenurial, masing-masing hak termaksud setidaknya mengandung tiga komponen, yakni:

Subyek hak, yang berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu dilekatkan.Obyek hak, yang berupa persil tanah, barang-barang atau juga benda-benda yang tumbuh di atas

ng tambang atau mineral yang berada di dalam tanah atau perut bumi, perairan,

2003

Tahun

Produksi Perikanan Budidaya Produksi Perikanan Nasional Konsumsi Ikan Nasional

Draft Naskah Akademik

Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

15

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan mempunyai kekayaan alam, khususnya sumber-sumber perikanan yang melimpah. Di sisi lain, Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar

Melihat kondisi tersebut maka, seharusnya pemerintah bisa mempertimbangkan arti penting sumberdaya perikanan bagi perekonomian nasional dan memprioritaskan kebutuhan ikan dalam negeri dalam menyusun kebijakan

Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, terkait

kaidah yang termaktub dalam erjanjian internasional, untuk selanjutnya bisa memperjuangkan kepentingan nasional

negosiasi di tingkat regional dan internasional, baik yang bersifat bilateral oduksi perikanan nasional agar

dengan berasaskan kekeluargaan.

menegaskan kembali kedaulatan nasional dalam kaitannya dengan perjanjian/traktat internasional.

atau organisasi berbadan hukum Indonesia yang

memberikan izin ekspor perikanan hanya untuk produk olahan. Pembatasan ekspor ini si ikan dalam negeri.

Sistem tenurial adalah sistem penguasaan atas sumber daya agraria dalam suatu masyarakat. Menurut uraian yang membahas masalah

yang mendasar dari aspek penguasaan sumber daya yaitu mengenai status hukumnya. Sistem tenurial juga

g hak termaksud setidaknya

Subyek hak, yang berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu dilekatkan. benda yang tumbuh di atas

ng tambang atau mineral yang berada di dalam tanah atau perut bumi, perairan,

Page 16: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

16

kandungan barang-barang atau mahluk hidup dalam suatu kawasan perairan, maupun sutau kawasan atau wilayah udara tertentu.

3. Jenis hak, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut, yang membedakan dengan hak lainnya.

Pengaturan penguasaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus mempertimbangkan fungsi-fungsi ekologi, sosial dan ekonomi yang terkait dengan masyarakat lokal. Oleh karena itu identifikasi akan subyek hak, obyek hak dan jenis hak harus dilakukan melalui pemahaman mendalam atas ketiga fungsi tadi yang melekat di wilayah tersebut.

Subyek hak dalam sistem tenurial wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang merujuk pada pemanfaat sumberdaya komunal adalah:

1. Nelayan 2. Petani budidaya hasil laut (ikan, udang) 3. Petani sawah 4. Pemanen hasil bakau 5. Pemerintah daerah dengan fasilitas publik seperti pelabuhan (kapal maupun

pendaratan ikan) 6. Pemilik perahu/ kapal 7. Pengusaha wisata 8. Pemilik bangunan-bangunan fungsional lainnya (seperti pabrik, dermaga terbatas

untuk usaha komersial, dll) 9. Individu (yang mempunyai kepemilikan atas lahan di pesisir maupun pulau kecil)

Untuk obyek hak yang berupa komoditi, dapat sangat beragam mulai dari yang menetap sampai dengan obyek bergerak seperti ikan pelagis. Maksud bergerak di sini adalah apabila obyek tersebut dapat melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam jarak yang relatif jauh (migratory species seperti tuna dan berbagai ikan pelagis lainnya).

Obyek hak berupa komoditi pasti berkorelasi dengan ruang dengan fungsi tertentu, seperti:

1. Ikan, bisa yang dikategorikan ikan karang dengan wilayah jelajah tetap atau ikan pelagis dengan wilayah jelajah berpindah (migrasi)

2. Kerang-kerangan 3. Udang (bisa hasil tangkapan dan budidaya) 4. Produk dari mangrove (kayu, madu, kepiting, kerang, aren) 5. Garam 6. Hasil hutan dan pohon seperti kelapa, cengkeh dan pohon produktif lainnya

Sistem tenurial di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia biasanya berlaku atas kesepakatan-kesepakatan adat maupun lokal karena secara kebijakan, pemerintah belum memiliki aturan yang jelas. Meskipun demikian, penerbitan ijin usaha oleh pemerintah di wilayah tersebut tidak pernah putus diberikan. Hal ini menyebabkan konflik terjadi baik antar masyarakat maupun antar masyarakat dan pemerintah maupun pengusaha luar. Konflik ini tampaknya juga sekaligus menyebabkan tingginya percepatan degradasi sumberdaya pesisir.

Sejarah mencatat bahwa masyarakat yang hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di manapun, di dunia biasanya menganut paham sumberdaya komunal (common resources) dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan bersama pihak-pihak lainnya. Miskinnya infrastruktur di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil membuat sulitnya akses menuju dan keluar dari wilayah tersebut. Oleh karena itu, pengaturan berbasis kesepakatan lokal merupakan basis pengaturan yang paling banyak ditemui di wilayah ini. Namun, intervensi pemerintah dengan kebijakan yang tidak lengkap, ditambah pengawasan yang lemah, maka pengaturan yang sudah berjalan di masyarakat semakin lama menjadi melemah dan pada akhirnya

Page 17: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

17

di beberapa tempat sudah hilang sama sekali. Apabila ini terjadi, biasanya pengaturan sumberdaya di wilayah yang bersangkutan menjadi kembali ke rejim open access.

Dalam hal pengaturan sistem tenurial di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mengatur tentang Hak Menguasai dari Negara sebagai perwujudan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3), yaitu dicantumkan pada Pasal 2 dengan 4 ayat.

- Ayat 1: ”Atas dasar ketentuan dalam, pasal 33 ayat 3 Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.”

- Ayat 2: “Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: (a) mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan riang angkasa.”

- Ayat 3: “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakanuntuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.”

- Ayat 4: “Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swastantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.”

Selanjutnya disusul dengan Pasal 3 yang berisi tentang pelaksanaan hak-hak ulayat dan serupa dari masyarakat yang harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, Pasal 4 mengenai hak atas tanah, air, tubuh bumi serta ruang angkasa. Yang menarik adalah Pasal 5 ketika dikatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasionnal dan negara. Pengaturan mengenai pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa terdapat pada Pasal 8, di mana seharusnya ada aturan turunan yang dapat menjadi acuan sistem tenurial di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang secara karakter berbeda dengan tanah dan air yang dimaksud dalam pasal-pasal sebelumnya.

Masih dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pada bab II, tentang Hak-Hak Atas Tanah, Air dan Ruang Angkasa serta Pendaftaran Tanah, sedikit sekali (hampir tidak ada, karena karakter tanah darat sangat berbeda dengan wilayah P3K) disebutkan pengaturan untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Meskipun disebut bahwa hak-hak atas tanah berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lainnya yanga akan diatur kemudian juga berlaku pada setiap telapak tanah di wilayah ini, namun secara fungsi-fungsi khasnya tidak dipertimbangkan. Pada Pasal 16 ayat (2) disebutkan sedikit mengenai hak-hak atas air, yaitu: hak guna air, hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, yang lebih merujuk terhadap pengaturan penggunaan air tanah dan perikanan darat.

Peraturan perundangan yang mengatur mengenai sistem tenurial secara nasional untuk laut dapat dikatakan tidak ada, kecuali yang berhubungan dengan fungsi-fungsi perlindungan, konservasi, dan peruntukan komersial.

A. 2. 2. Kewajiban Negara

Sebagai konsekuensi dari adanya serangkaian hak (tenurial) seperti tercantum di atas, maka muncul pihak yang harus terbebani kewajiban untuk menjaga hak-hak tersebut, khususnya hak atas pangan nelayan dan masyarakat pesisir, yaitu negara. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain; kewajiban memenuhi (to fulfill), kewajiban melindungi (to protect), dan kewajiban menghormati (to respect).

Pemenuhan (to fullfill) Perlindungan (to protect) Penghormatan (to respect

Page 18: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

18

Negara haruslah mengeluarkan instrumen-instrumen hukum (seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain-lain) yang berkaitan dengan pemenuhan hak warganegaranya yang berwawasan pada kepentingan masyarakat secara umum, bukan hanya menguntungkan pihak-pihak lain (baik secara individu maupun kelompok) dan melaksanakannya secara konsisten.

Negara haruslah berperan secara aktif dalam hal memenuhi hak, dan memastikan setiap individu dalam wilayah hukumnya untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemenuhan hak.

Mensyaratkan Negara, termasuk organ dan badan-badannya untuk sejauh mungkin tidak melakukan intervensi dalam upaya masyarakat memenuhi hak mereka. Jika Negara ikut campur tangan, justru akan melanggar integritas perorangan atau melanggar kebebasan individu untuk memilih dan menggunakan sumber daya yang tersedia atau dimiliki dalam upaya mereka memenuhi keperluan dasar mereka.

Kewajiban melindungi berarti negara harus mengeluarkan peraturan-peraturan atau instrumen-instrumen hukum berkaitan pemenuhan hak atas pangan warganya yang berwawasan pada kepentingan masyarakat secara umum, bukan hanya menguntungkan individu atau kelompok tertentu, serta melaksanakannya dengan konsisten.

Kewajiban untuk memenuhi, secara singkat berarti negara harus berperan aktif membantu warganya dalam upaya memenuhi hak atas pangannya, dengan tidak mengurangi hak atas pangan warganya yang lain. Negara harus memastikan setiap individu dalam wilayah hukumnya mendapatkan kesempatan yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, jika hal tersebut tidak dapat dilakukan mereka sendiri.

Secara umum, sebagaimana yang diuraikan dalam Kovenan Internasional Hak-hak Ekosob, terdapat empat kategori utama pemegang kewajiban pemenuhan hak atas pangan yang layak, yaitu (a) negara-negara dalam kaitannya dengan kewajiban domestik mereka; (b) negara-negara dalam kaitannya dengan kewajiban eksternal mereka; (c) individu, dan (d) komunitas internasional. Bila mengikuti kategori kewajiban tersebut, maka dapat dikategorikan jenis kewajiban dalam konteks hak atas pangan ini. Pertama, kewajiban untuk tidak meniadakan satu-satunya sarana penghidupan yang tersedia bagi seseorang, atau kewajiban untuk menghindari perampasan hak. Kedua, kewajiban untuk melindungi orang-orang dari perampasan oleh orang lain atas satu-satunya sarana penghidupan yang ada, atau kewajiban untuk melindungi dari perampasan hak. Ketiga, kewajiban untuk menyediakan sarana bagi penghidupan mereka yang tidak mampu menyediakan untuk diri sendiri, atau kewajiban membantu yang terampas haknya.4

Selanjutnya, bila dielaborasi, menurut Philip Alton,5 dapat diperoleh rincian berikut ini. Pertama,

kewajiban menghindari perampasan hak meliputi tiga hal, yaitu (i) kewajiban untuk menghindari kebijakan dan praktek internasional yang merampas sarana penghidupan negara-negara lain, atau yang mencanangkan distribusi pangan dunia yang tidak adil; (ii) kewajiban untuk mengurangi kebijakan-kebijakan nasional yang berpengaruh mencanangkan distribusi suplai pangan yang tidak adil; (iii) kewajiban untuk tidak memanfaatkan pangan sebagai sanksi internasional. Kedua, kewajiban untuk mencegah perampasan hak, yaitu (a) kewajiban menjamin bahwa kebijakan dan praktek perdagangan, serta bantuan internasional menyumbang sejauh mungkin pada distribusi pangan yang adil; (b) kewajiban mengatur aktifitas entitas yang berbasis domestik (termasuk perusahaan transnasional dan perusahaan dagang negara) yang aktivitasnya memiliki, atau mungkin dampak yang penting terhadap distribusi suplai pangan dunia.

Ketiga, kewajiban membantu yang terampas haknya yaitu (1) kewajiban negara-negara surplus pangan untuk membantu rencana penyangga darurat dan untuk membantu pada kasus-kasus keadaan darurat internasional, dan (2) kewajiban bekerjasama sejauh mungkin dengan program-program multilateral yang ditujukan guna menjamin distribusi suplai pangan yang adil.

4 Amidhan, Tinjauan Empiris Pemenuhan Hak Atas Pangan: Perspektif Hak Asasi Manusia, Makalah Seminar

Nasional Hak Atas Kecukupan Pangan, Jakarta, 13 Juli 2005, hlm. 6.

5 Philip Alston, Hukum Internasional dan Hak atas Pangan dalam T. Mulya Lubis, Hak-hak Asasi Manusia dalam

Masyarakat Dunia, Isu dan Tindakan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 135-156.

Page 19: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

19

Selain itu, secara sifat, kewajiban negara atas hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, sebagaimana bunyi pasal 2 Kovenan Internasional Hak Ekonom, Sosial dan Budaya, sebagaimana diatur dalam Komentar Umum Nomor 3 Sifat-sifat Kewajiban Negara Anggota, meliputi dua kewajiban, yaitu kewajiban berperilaku dan kewajiban atas hasil. Upaya menjalan kewajiban tersebut atau pewujudan hak asasi manusia ada yang bersifat realisasi progresif untuk mencapai secara progresif pewujudan penuh hak-hak yang diakui, namun ada juga yang harus secepatnya.

Adapun Prinsip-prinsip Limburg tentang Pelaksanaan Kovenan International Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, menjelaskan Pasal 2 (1) Kovenan International Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, adalah, ”semua Negara Peserta berkewajiban mengambil langkah-langkah ke arah realisasi sepenuhnya hak-hak yang tercantum dalam kovenan.” Pun demikian dengan pemaknaan realisasi progresif, Prinsip-Prinsip Limburg menyebutnya,

Kewajiban untuk secara bertahap mencapai realisasi sepenuhnya hak-hak tersebut

mengharusnya Negara Peserta bergerak secepat mungkin ke arah terwujudnya hak-hak

tersebut. Dalam keadaan apa pun hal ini tidak dapat ditafsirkan sebagai mengandung arti

bahwa Negara berhak untuk mengulur usaha secara tidak terbatas untuk memastikan realisasi

sepenuhnya. Sebaliknya semua Negara Peserta mempunyai kewajiban untuk dengan segera

mulai mengambil langkah-langkah untuk memenuhi kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan

Kovenan.

Kewajiban terhadap pencapaian secara bertahap ada dan tidak tergantung pada peningkatan

sumberdaya, kewajiban ini membutuhkan pengunaan sumber-sumber yang tersedia secara

efektif.

Kemudian tentang cara-cara yang digunakan memenuhi kewajiban negara mengambil langkah-langkah, semua cara yang layak, dan pengambilan langkah-langkah legislatif sebagaimana mandat Pasal 2 Kovenan Internasional Hak Ekosob, bagi Komite PBB Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, peraturan perundangan sangat dibutuhkan, dan bahkan dalam beberapa hal tidak bisa ditinggal, sebagaimana dikemukakan dalam Komentar Umum Nomor 03. Meski demikian peraturan perundangan bukannlah tindakan paling akhir yang dibutuhkan, namun peraturan perundangan adalah sarana untuk melihat landasan dari tindakan-tindakan negara.

Konteks Perikanan

Sebagai sebuah sistem, perikanan mempunyai peran penting dalam penyediaan bahan pangan, kesempatan kerja, dan kesejahteraan ekonomi bagi sebagain penduduk. Oleh karenanya, sektor perikanan jelas merupakan bagian integral dari hak atas pangan. Hal ini diakui secara eksplisit dalam Voluntary

Guidelines dari FAO bahwa harus ada akses kepada sumberdaya dan aset bagi masyarakat. Disebutkan bahwa negara harus memfasilitasi akses dan penggunaan yang berkelanjutan, tanpa diskriminasi dan aman dari sumberdaya yang konsisten dengan hukum nasional dan internasional serta melindungi aset uang penting bagi kehidupan penduduk. Negara harus menghargai dan melindungi hak-hak individu yang berhubungan dengan sumberdaya seperti tanah, air, hutan, perikanan, dan peternakan tanpa satupun diskriminasi.6

Di sisi lain, konstitusi Indonesia juga mengamanatkan penghormatan negara terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 pada hakekatnya telah mengamanatkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan diwilayah Indonesia dikuasai oleh negara dan ditujukan kepada terwujudnya manfaat yang sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa Indonesia.

6 Panduan 8, Panduan Sukarela untuk Mendukung Realisasi Progresif Hak Atas Pangan, Food and Agriculture

Organization

Page 20: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

20

Untuk mencapai tujuan tersebut di atas maka pengelolaan dan pemanfaatannya mutlak dilakukan oleh pemerintah secara terpadu dan terarah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang bertanggung jawab sehingga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya tetap terjaga.

Pengelolaan sumberdaya Ikan di laut Indonesia ditujukan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Pemanfaatan sumberdaya ikan laut dilakukan melalui kegiatan penangkapan ikan laut secara terpadu dan terarah dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang bertanggung jawab (responsible fisheries) demi tetap terjaganya kelestarian sumberdaya ikan beserta lingkungannya.

Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 menyatakan: “Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan”. Hal ini diperkuat dengan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, bahwa Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Pengertian “kelompok masyarakat rentan” di sini ialah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.7

A. 2. 3. Tanggung gugat

Sebagai konsekuensi dari adanya hak dan kewajiban, maka akan muncul pula mekanisme komplain atas terlanggarnya hal-hal tersebut. Oleh karenanya, dalam penggantian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, harus dibangun (ditetapkan secara tertulis) ketentuan yang dapat menimbulkan konsekuensi hukum, khususnya pidana. Sehingga, perlindungan atas korban menjadi lebih jelas.

Sebab, di Indonesia, kesejahteraan rakyat tidak saja kewajiban HAM negara, tetapi juga kewajiban konstitusional dan kewajiban legal. Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada penyelenggara negara (pemerintah) untuk wajib memenuhi hak-hak warga negaranya terkait dengan pemenuhan hak atas pangan. Amanat tersebut dapat dilihat di dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 menyatakan: Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 menyatakan: Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara; Pasal 28I ayat 4 menyatakan: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,

terutama pemerintah.

Menurut Prinsip-prinsip Limburg, sebuah negara akan melanggar kovenan, inter alia (antara lain):

1. Gagal mengambil langkah-langkah yang harus diambil menurut Kovenan; 2. Gagal menghilangkan hambatan secepatnya di mana negara tersebut bertugas untuk

menghilangkannya dalam rangka pelaksanaan suatu hak dengan segera; 3. Gagal melaksanakan tanpa menunda lagi suatu hak yang diwajibkan oleh Kovenan untuk

memenuhinya dengan segera; 4. Sengaja gagal meraih standar pencapaian minimum yang diterima internasional, yang berada di

dalam kekuasaan untuk mencapainya; 5. Menerapkan pembatasan hak-hak yang diakui dalam Kovenan lebih dari yang sesuai dengan

Kovenan; 6. Sengaja memperlambat atau menghentikan realisasi suatu hak secara progresif, meniadakannya

dengan cara melakukan pembatasan yang diperbolehkan oleh Kovenan atau dilakukan selain karena ketiadaan sumberdaya yang tersedia atau karena keterpaksaan (di luar kendali);

7 Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

Page 21: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

21

7. Gagal mengajukan laporan yang diisyaratkan Kovenan

Komentar Umum 12 memberikan unsur-unsur pelanggaran hak atas pangan. Pertama. Ketika negara gagal untuk menjamin pemenuhan, setidaknya, tingkat pokok minimum yang dibutuhkan untuk bebas dari rasa lapar; Kedua. Semua diskriminasi dalam akses kepada bahan pangan, termasuk cara dan wewenang pengadaanya, dengan dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, umur, agama, opini politik atau lainnya, asal negara atau sosial, kepemilikan, status lahir atau lainnya, dengan tujuan untuk meniadakan atau mengurangi pemenuhan atau pelaksanaan yang sama dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan pelanggaran kovenan.

Di dalam Komentar Umum Nomor 03, yang dimaksud negara mengambil langkah-langkah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, selain tindakan legislatif, ada dua hal. Pertama. Adalah ketentuan mengenai ganti rugi yudisial yang berkaiitan dengan pelanggaran hak-hak yang diakui. Kedua. Adalah menciptakan hak bertindak atas nama perseorangan atau kelompok yang merasa hak-hanya belum terpenuhi dan terlindungi. Ketiga. Adalah sejauhmana hak-hak yang diakui dapat diterima secara hukum, misalnya bisa digugat atau dituntut di muka pengadilan.

Pedoman Maastricht tentang Pelanggaran Hak-hak Ekosob, memperjelas upaya pemulihan dan respon lainnya terhadap pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, yaitu:

1. Akses kepada Upaya Hukum

Setiap orang atau kelompok yang menjadi korban pelanggaran terhadap hak-hak ekononomi, sosial, dan budaya harus memiliki akses kepada badan pengadilan yang efektif atau upaya pemulihan lain yang tepat baik di tingkat nasional maupun internasional

2. Reparasi yang Memadai

Semua korban pelanggaran hak-hak ekonomi sosial dan budaya berhak atas reparasi yang memadai, yang dapat berupa restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi dan kepuasaan serta jaminan bahwa tidak ada pengulangan pelanggaran lagi

3. Institusi Nasional

Badan-badan pemajuan dan pemantauan seperti komisi ombudsman, komisi nasional hak asasi manusia, harus menegur pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sama tegasnya seperti menegur hak-hak sipil politik

4. Impunitas

Negara arus mengembangkan tindakan efektif untuk meniadakan kemungkinan impunitas terhadap setiap pelanggaran hak-hak ekosob dan untuk menjamin bahwa tidak seorangpun yang mungkin bertanggungjawab terhadap pelanggaran hak tersebut memiliki kekebalan terhadap tanggungjawan perbuatannya.

5. Peranan Profesi Hukum

Untuk mencapai pengadilan yang efektif dan upaya perbaikan lain bagi korban pelanggaran terhadap hak-hak ekosob, advokat, hakim, pengambilan keputusan di pengadlan, organisasi pengacara, dan masyarakat hukum pada umumnya harus memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pelanggaran ini dalam melaksanakan profesi mereka, seperti yang direkomendasika International Commission of Jurists dalam Deklarasi Banglore dan Rencana Aksi Tahun 1995.

Perlindungan dan Pemenuhan atas Akses Sumber Daya Produktif

Page 22: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

22

Bahwasannya Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya mengakui kemerdekaan setiap bangsa serta haknya atas kekayaan alam yang di wilayah serta merdeka pula dalam pengelolaannya, sebagaimana bagaimana bunyi Pasal 1:

(1) Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka dapat secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka.

(2) Semua bangsa uuntuk tujuan-tujuan mereka sendiri, dapat secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional berdasarkan asas saling menguntungkan dan hukum internasional. Dalam hal apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu bangsa atas sumber-sumber penghidupannya sendiri.

Kemudian terkait dengan Pasal 2 (1) Kovenan Internasional Hak Ekosob tentang “memaksimalkan penggunaan sumberdaya yang tersedia untuk mencapai pewujudan hak secara progresif, menimbulkan beberapa persoalan.8 Pertama. Sumberdaya apa saja yang tersedia dalam suatu negara; Kedua. Cara-cara sehingga sumber daya yang dimiliki secara pribadi dapat didistribusikan kepada masyarakat secara merata; Ketiga. Strategi-strategi untuk memperbaiki kondisi masyarakat miskin harus dalam rangka menjamin mereka memiliki kesempatan untuk bertanggungjawab atas nasibnya sendiri, yang sering terhalangi oleh anggota-anggota masyarakat yang berkuasa dan represifitas.

Menurut Asbjorn Eide,9 dalam kasus seperti itu, hak ekosob akan lebih dapat diupayakan melalui kebijakan land reform atau cara-cara lain untuk mendistribusikan kembali sumberdaya utama, ketimbang melalui kebijakan anggaran publik yang tinggi. Akan tetapi di masyarakat industri maju dan pasca industri, di mana pertanian merupakan bagian yang tidak penting bagi hak ekosob, maka diperlukan adanya suatu negara yang relatif kuat yang bertugas baik untuk memfasilitasi tempat tinggal bagi mereka yang akan termarginalisasi dalam proses tersebut, sehingga mereka memiliki kesempatan yang sama, maupun untuk memberikan jaminan sosial bagi mereka yang tidak mampu mengupayakannya untuk dirinya sendiri.

A. 2. 4. Solusi Masalah Sistem Tenurial

Berdasarkan atas uraian di atas, maka perlu penegasan tentang hak-hak yang melekat pada nelayan kecil, untuk dipenuhi oleh negara. Menurut Ostrom dan Schlager (1996), paling tidak ada dua tipe hak yang penting dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya perikanan, yaitu: (1) use (operational-level) rights, dan (2) collective-choice rights. Tipe hak yang pertama mengacu pada hak yang melekat pada operasionalisasi perikanan atau dalam konteks perikanan tangkap adalah yang terkait dengan proses dan dinamika penangkapan ikan. Dalam tipe ini, beberapa hak penting antara lain adalah hak akses (access rights) yaitu hak untuk masuk (entry) ke dalam usaha perikanan tangkap baik dalam konteks daerah penangkapan (fishing ground) atau dalam salah satu struktur usaha perikanan seperti penyediaan bahan baku, pengolahan perikanan, dan lain sebagainya. Masih dalam tipe hak yang pertama (use rights), hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu (harvest rights) juga merupakan jenis hak yang penting. Kendati secara kontekstual berbeda, kepemilikan kedua hak (access and harvest rights) secara bersama-sama merupakan unsur penting dalam keberlanjutan komunitas perikanan.

Lebih spesifik, hak-hak nelayan kecil tersebut antara lain:

8 Asbjorn Eide, Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Sebagai Hak Asasi Manusia, dalam Asbjorn Eide et al (Ed), Hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya, Buku Teks Revisi Edisi kedua, h: 28-29

9 Ibid, h: 29

Page 23: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

23

a. Hak untuk menikmati secara penuh, secara kolektif atau individual, seluruh hak asasi manusia

dan kebebasan fundamental sebagaimana yang diakui dalam Piagam PBB, yaitu DUHAM dan

hukum HAM internasional , serta Undang-Undang HAM RI

b. Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak

c. Hak atas integritas fisik dan hak untuk tidak dilecehkan, diusir, dianiaya, ditahan dengan

sewenang-wenang dan dibunuh karena mempertahankan hak mereka.

d. Hak atas pangan yang layak, sehat, bergizi, dan terjangkau, serta untuk mempertahankan budaya-

budaya pangan tradisionalnya.

e. Hak atas standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai. Selanjutnya, mereka

juga memiliki hak atas akses terhadap pelayanan kesehatan dan obat-obatan, bahkan ketika

mereka tinggal di pulau terisolir. Mereka juga memiliki hak untuk menggunakan dan

mengembangkan obat-obatan tradisional.

f. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan.

g. Hak atas pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dan keluarganya.

h. Hak atas sandang dan papan yang layak.

i. Hak untuk menangkap ikan dan membudidayakan ikan dalam standar keberlanjutan.

j. Hak atas air bersih dan sanitasi yang layak.

k. Hak atas dukungan, dengan cara fasilitasi, teknologi dan pendanaan dari negara untuk

pemberdayaan.

l. Hak untuk menolak segala jenis pengambilalihan dan pengalihfungsian lahan (baik darat maupun

laut), khususnya untuk tujuan ekonomi.

m. Hak keamanan untuk hak milik atas lahan dan teritori mereka dan untuk tidak diusir secara paksa

dari lahan dan teritori tersebut.

n. Hak untuk melestarikan dan mengembangkan pengetahuan lokal mereka dalam perikanan.

o. Hak untuk menggunakan teknologi mereka sendiri ataupun teknologi lain yang mereka pilih

berdasarkan prinsip perlindungan atas kesehatan manusia dan pelestarian lingkungan.

p. Hak atas permodalan dan sarana produksi perikanan.

q. Hak untuk memprioritaskan produksi perikanan mereka untuk keluarga mereka dan kebutuhan

masyarakat.

r. Hak untuk mendapatkan pembayaran yang setimpal dari pekerjaan mereka, dalam rangka

memenuhi kebutuhan dasar mereka dan keluarga mereka.

s. Hak untuk menolak segala bentuk eksploitasi yang menyebabkan kerusakan lingkungan.

t. Hak untuk menuntut dan mengklaim kompensasi untuk kerusakan lingkungan.

u. Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan

v. Hak atas rehabilitasi dan tindak lanjut (remedy) yang efektif jika hak-hak mereka dilanggar.

Nelayan kecil memiliki hak terhadap suatu sistem peradilan yang adil, untuk dapat mendapatkan

akses yang efektif dan tidak diskriminatif terhadap peradilan serta untuk mendapatkan bantuan

hukum.

w. Hak mendapatkan informasi yang menyeluruh dan imparsial mengenai permodalan, pasar,

kebijakan, harga, teknologi, dan lain-lain, yang berkaitan dengan kebutuhan nelayan.

Page 24: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

24

x. Hak mendapatkan bantuan teknis, alat-alat produsi dan teknologi lain yang sesuai dalam rangka

meningkatkan produktivitas mereka, dengan cara yang menghormati nilai-nilai sosial,

kebudayaan dan etis mereka.

Sementara, tipe hak kedua (collective-choice rights) lebih menitikberatkan pada hak pengelolaan perikanan (fisheries governance) yang biasanya diberikan kepada otoritas tertentu di luar masyarakat nelayan (supra-community). Otoritas ini biasanya adalah pemerintah lokal yang dalam konteks otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam konteks perikanan, tipe hak kedua ini menjadi sangat penting karena hak ini terkait dengan unsur ”siapa yang mengatur” sebagai pelengkap dari konsep hak yang terkait dengan ”siapa yang diatur” seperti yang telah dijelaskan dalam tipe hak pertama (use rights).

A. 3. Pengaturan Zonasi

Kehidupan nelayan kecil dan masyarakat pesisir yang kompleks, melahirkan kompleks pula. Khusus konflik antar-nelayan tentang zonasi tangkap, hal ini kian mencuat ketika diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sebelum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sejak adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, muncul penilaian bahwa otonomi daerah telah membuka ruang bagi nelayan untuk mengkaveling wilayahnya, dan diikuti dengan tindakan mengusir nelayan lain.

Di sisi lain, kendati dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyebut soal hukum adat dan kearifan lokal, namun dalam Pasal 61 ini menyebutkan nelayan kecil bebas untuk melakukan penangkapan ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Republik Indonesia. Pasal ini menimbulkan ketidakjelasan yang berujung pada konflik. Bahkan, hadirnya pasal ini mencerminkan ketidaktahuan DKP akan adanya kearifan lokal yang dikenal dengan hak ulayat laut, di mana jangankan nelayan luar, nelayan lokal pun pada daerah tertentu yang dilarang tidak boleh melakukan penangkapan ikan. Dengan kata lain, hak ulayat laut tersebut mempunyai hak khusus dalam melakukan pengelolaan perikanan demi terciptanya keberlanjutan sumberdaya dan menghindari konflik.

Di antara hak ulayat laut yang masih berlangsung dan mampu menciptakan perikanan yang berkelanjutan di antaranya adalah Panglima Laot (Nangroe Aceh Darussalam), Rumpon (Lampung), Kelong (Riau), Awig-awig (Bali dan Lombok), Rompong (Sulawesi Selatan), Sasi (Maluku) serta beberapa hak ulayat laut yang ada di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) seperti di Desa Para, Salurang, Ratotok dan Bentenan (Sulawesi Tenggara) serta Desa Endokisi (Papua).

A. 3. 1. Akar Konflik Antar Nelayan

Berdasarkan gambaran tersebut, maka muncul pertanyaan mendasar, benarkah konflik antar nelayan dipicu oleh adanya kebijakan otonomi daerah? Untuk menjawab itu, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pertimbangan.

Pertama, fenomena “pengkavelingan laut” yang sering disebut akar konflik antar-nelayan pasca otonomi daerah sebenarnya merupakan fenomena lama. Sejak sebelum diberlakukan kebijakan otonomi daerah hingga saat ini, secara de facto nelayan pesisir menguasai atau “mengkaveling” suatu wilayah perairan tertentu. Ini merupakan konsekuensi ciri kepemilikan sumberdaya laut yang bersifat common property. Pada masa lalu, institusi kepemilikan tersebut sangat kuat pada tingkat komunitas dan sangat dihargai oleh nelayan kecil, tapi tidak oleh para nelayan pendatang yang bermodal. Namun, pada masa kejayaan trawl (pra 1980-an), banyak aparat angkatan laut yang secara konsisten mendukung masuknya kapal trawl ke wilayah perikanan tradisional.

Page 25: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

25

Pada masa reformasi yang ditandai dengan runtuhnya kewajiban negara dan aparatnya, para nelayan ingin menunjukkan eksistensi institusi kepemilikan laut yang sebenarnya mereka miliki sejak dulu, yang runtuh akibat kekuatan luar yang didukung aparat negara. Jadi, kalau pun pasca otonomi daerah muncul gejala “pengkavelingan” laut, sebenarnya hanya merupakan unjuk identitas yang selama ini terasa samar. Konflik terbuka ini terjadi karena nelayan hanya ingin menunjukkan bahwa mereka berdaya dan dihargai identitasnya selaku nelayan yang merasa berhak atas suatu wilayah tertentu.

Kedua, konflik nelayan pasca otonomi daerah merupakan kombinasi pelbagai tipe konflik. Akan tetapi, tetap ada tipe yang dominan, yaitu konflik kelas dan konflik lingkungan. Konflik kelas adalah konflik yang terjadi akibat perbedaan kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan, yang digambarkan dengan kesenjangan teknologi penangkap ikan. Sementara, konflik lingkungan ialah konflik yang terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh praktik salah satu pihak yang merugikan nelayan. Konflik ini terjadi antara nelayan yang ramah lingkungan dengan nelayan yang tidak ramah lingkungan, seperti pengguna alat tangkap terlarang.

Nelayan suatu daerah yang menolak kehadiran nelayan luar banyak disebabkan karena perbedaan kelas dan atau orientasi. Alhasil, para nelayan dengan alat tangkap yang lebih modern atau yang terlarang akan langsung menghadapi resistensi kelompok nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional.

Berdasarkan gambaran tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik nelayan pasca otonomi daerah yang sesungguhnya bukan disebabkan oleh otonomi daerah, melainkan karena persoalan konflik sosial dan konflik orientasi.10

A. 3. 2. Solusi Masalah Konflik Zonasi Tangkap

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan guna mencegah atau meminimalisir konflik antar nelayan tersebut. Pertama, pengukuhan model pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Pada masa lalu, sebenarnya banyak nelayan tradisional telah memiliki model pengeloaan tersebut. Hanya saja, pada masa lalukonsep ini memudar akibat faktor eksternal, seperti hadir kekuatan modal dari luar. Oleh karena itu, perlu dikembangkan model pengelolaan ini dalam bentuk institusi yang solid yang memiliki daya resiliensi terhadap serangan-serangan eksternal.

Kedua, penguatan organisasi nelayan. Kehadiran organisasi nelayan yang solid dengan jaringan sosial yang kokoh akan memudahkan membangun komunikasi dan koordinasi sesama nelayan lintas daerah, yang pada gilirannya nanti memudahkan mengantisipasi terjadinya konflik serta merumuskan mekanisme resolusi konflik. Eksistensi organisasi nelayan juga sangat berarti dalma mengatasi konflik jenis external allocation. Pasalnya, banyak kepentingan nelayan terkalahkan oleh kepentingan non-nelayan hanya karena nelayan tidak memiliki organisasi dengan posisi tawar yang kuat.

Ketiga, kerja sama lintas daerah. Ketika pada level masyarakat tengah dijalin jaringan kerja sama antarnelayan, maka di tingkat pemerintah pun sudah saatnya diikat suatu kerja sama, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, baik dalam hal perencanaan, implementasi maupun pengawasan. Kerja sama lintas daerah semakin mendesak di era otonomi daerah guna mengantisipasi terjadinya konflik, baik pada tingkat masyarakat maupun pemerintah.

Keempat, pemberdayaan nelayan merupakan langkah pokok dalam mengantisipasi konflik, baik konflik kelas maupun konflik orientasi. Pemberdayaan tentu utamanya diarahkan pada peningkatan kapasitas

10 Arif Satria, Ekologi Politik Nelayan, LKiS, Yogyakarta, 2009, hlm. 316

Page 26: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

26

usaha dan ketahanan ekonomi rumah tangga nelayan. Kelima, perlu ada peraturan pelaksana yang lebih detail meyangkut bagaimana desentralisasi kelautan dilaksanakan.11

A. 4. Kesejahteraan Nelayan Kecil dan Masyarakat Pesisir

Potensi laut Indonesia yang begitu kaya-melimpah, ternyata tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan mayarakatnya. Indonesia yang sebagai negara kepulauan, mayoritas kehidupan penduduknya menggantungkan dari laut. Sayangnya, para penduduk tersebut identik dengan kemiskinan dan segudang masalah yang melekatinya.

Definisi nelayan menjadi faktor penting karena pemerintah (baik pusat maupun daerah) masih memegang hak pengelolaan di mana salah satu implementasinya adalah menentukan persyaratan bagi pihak-pihak yang akan mendapatkan hak akses dan hak pemanfaatan sumberdaya perikanan. Seperti yang kita ketahui, rejim perikanan di Indonesia masih bersifat quasi open access sehingga membuat profesi nelayan dianggap sebagai the last resort for employment. Dengan pendefinisian nelayan yang tegas, maka profesi nelayan dapat terjaga kemurniannya dengan tentu saja harus disesuaikan dengan karakteristik nelayan Indonesia.

Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Namun untuk konteks Indonesia dikarenakan mayoritas nelayannya tergolong tradisional, maka mereka sangat tergantung pada musim, sehingga harus menyandarkan kebutuhan ekonominya pada sektor lain pula. Mereka umumnya tinggal di pinggir, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya.12

Nelayan Indonesia masih identik dengan keterbatasan aset, lemahnya kemampuan modal, posisi tawar dan akses pasar. Usaha perikanan tangkap hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar dan bahkan seringkali kurang. Situasi lingkungan seiring dengan dinamika dan perubahan nasional serta global yang tidak menentu, tidak memihak pada kaum nelayan miskin atau bahkan meminggirkan secara ekonomi dan politik.

Nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi pemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelopok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. Sebaliknya, nelayan juragan adalah nelayan yang alat tangkapnya dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dan dalam pengoperasikannya tidak melibatkan orang lain.13 Namun, di Indonesia banyak pula nelayan yang bekerja secara komunal dengan menyandarkan aturan pada norma atau hukum adatnya.

Di tengah serba keterbatasan, berkembang karakteristik individual dan sosial positif yang terkait dengan moral ekonomi nelayan, seperti bekerja keras, semangat pantang menyerah, berani mengambil resiko, saling menjaga kepercayaan, jujur pada rekan-rekan kerjanya dan lain-lain yang menunjang kemampuan bertahan hidup. Dalam pandangan nelayan, jika suatu keputusan telah diambil, maka konsekuensi yang menyertai adalah keniscayaan. Sifat positif lain adalah nelayan umumnya jujur kepada rekan kerjanya dalam satu kapal, tapi tidak pada juragan.

Di sisi lain, secara sosiologis, masyarakat pesisir/ nelayan juga senantiasa berkonflik. Konflik tersebut terdiri dari empat macam konflik. Pertama, konflik kelas, yaitu antarkelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan, seperti konflik nelayan skala besar di sekitar perairan pesisir yang

11 Ibid, hlm. 318

12 Masyuri Imron (ed)., Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, Media Pressindo, Yogyakarta, 2001

13 Yuswar Zainul Basri, Ekonomi Kelautan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 7

Page 27: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

27

sebenarnya diperuntukan bagi nelayan tradisional. Kedua, konflik orientasi yang terjadi antarnelayan yang memiliki perbedaan orientasi (jangka pendek dan panjang) dalam pemanfaatan sumber daya, seperti konflik horizontal antara nelayan yang menggunakan bom dengan nelayan lain yang alat tangkapnya ramah lingkungan. Ketiga, konflik agraria akibat perebutan fishing ground. Konflik ini dapat terjadi pada nelayan antarkelas maupun nelayan dalam kelas sosial yang sama. Bahkan dapat juga terjadi antara nelayan dengan pihak bukan nelayan, seperti konflik dengan para penambang pasir dan industri pariwisata.

Keempat, konflik primordial, yang menyudutkan sistem pemerintahan otonomi dan desentralisasi kelautan. Konflik identitas tersebut tidak bersifat murni, melainkan tercampur dengan konflik kelas maupun konflik orientasi yang sebenarnya kerap terjadi sebelum diterapkannya otonomi daerah.

Berdasarkan laporan dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pada tahun 2007, jumlah nelayan Indonesia berfluktuasi, dengan kenaikan rata-rata bernilai minus, yaitu -1,52 persen. Menurut data tersebut, pada tahun 2000, jumlah nelayan Indonesia mencapai 2.486.456 jiwa. Pada tahun 2006, jumlah tersebut berkurang menjadi 2.060.620 jiwa.

Tabel: Perkembangan Jumlah Nelayan Tahun 2000-2006

Rincian

Tahun Kenaikan

Rata-rata

(%) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Perikanan Laut

2.486.456 2.562.945 2.572.042 3.311.821 2.346.782 2.057.986 2.060.620 -1,52

Perairan Umum

618.405 723.555 474.431 545,776 588.507 532.378 541.280 -0,40

Jumlah 3.104.861 3.286.500 3.046.473 3.857.597 2.9935.289 2.590.364 2.601.900 -1,67

Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006

Secara teknologi, mayoritas nelayan Indonesia masih merupakan nelayan tradisional. Hal ini dikarenakan, dari 555.950 unit armada perikanan tangkap Indonesia masih didominasi oleh perahu tanpa motor sebanyak 244.190 unit (43,92 persen), motor tempel 165.430 unit (29,76 persen), dan kapal motor 146,330 unit (26,32 persen). Artinya, apabila perahu tanpa motor disatukan dengan perahu bermotor tempel sebagai kelompok armada perikanan tangkap skala kecil, maka terdapat sekitar 409.620 unit atau 73,68 persen armada perikanan Indonesia yang hanya beroperasi di sekitar pesisir pntai atau hanya beberapa mil saja dari pantai. Begitupula dengan kapal motor, masih didominasi oleh kapal dengan GT kecil, yaitu: KM 5 GT sebanyak 102.880 unit (70,31), dan KM 5-10 GT sebanyak 26.880 unit (18,37).

Tabel: Perkembangan Jumlah Kapal Perikanan Tahun 1999 – 2004

Ketegori

dan

Ukuran

Perahu/

Kapal

Tahun Kenaikan

Rata-rata

(%) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Perahu tanpa motor

230.867 241.714 219.079 250.469 256.830 244.471 244.190 1,21

Motor tempel

121.022 120.054 130.185 158.411 165.337 165.314 165.430 5,62

Kapal motor

97.669 106.753 111.034 119.837 126.933 145.796 146.330 7,06

-KM <5 GT

65.897 70.925 74.292 79.218 90.148 102.456 102.880 7,81

Page 28: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

28

-KM 5-10 GT

19.460 22.641 20.208 24.358 22.917 26.841 26.880 6,25

-KM 10-20 GT

5.599 6.006 5.866 5.764 5.952 6.968 6.970 3,93

-KM 20-30 GT

2.974 3.008 3.382 3.131 3.598 4.553 4.570 8,00

-KM 30-50 GT

1.543 781 2.685 2.338 800 1.092 1.120 25,79

-KM 50-100 GT

1.129 1.602 2.430 2.698 1.740 2.160 2.170 15,612

-KM 100-200 GT

741 1.295 1.612 1.731 1.342 1.403 1,410 14,87

-KM >200 GT

326 495 559 599 436 323 330 3,49

Jumlah 449.558 468.521 460.298 528.717 549.100 555.581 555.950 3,74

Sumber: Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006

Implikasi dari struktur armada sebagaimana di atas, maka sebagian besar kapal hanya akan bisa beroperasi di sekitar pantai. Akibatnya, selain memiliki produktivitas yang rendah, juga menyebabkan ancaman over eksploitasi sumberdaya perikanan pada beberapa kawasan perairan,14 serta ketidakmampuan mengangkat tingkat kesejahteraan nelayan.

A. 4. 1. Kemiskinan Nelayan

Kemiskinan adalah konsep yang cair, serba tidak pasti dan bersifat multidimensional. Disebut cair karena kemiskinan bisa bermakna subyektif, tetapi sekaligus juga bermakna obyektif. Secara obyektif bisa saja masyarakat tidak dapat dikatakan miskin karena pendapatannya sudah berada di atas batas garis kemiskinan, yang oleh sementara ahli diukur menurut standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi. Akan tetapi, apa yang tampak secara obyektif tidak miskin itu, bisa saja dirasakan sebagai kemiskinan karena adanya perasaan tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya, atau bahkan membandingkan dengan kondisi yang dialami oleh orang lain, yang pendapatannya lebih tinggi darinya.15

Kemiskinan juga merupakan masalah yang bersifat kompleks dan multidimensional, baik dilihat dari aspek kultural maupun aspek struktural. Paling tidak, ada empat masalah pokok yang menjadi penyebab dari kemiskinan, yaitu kurangnya kesempatan (lack of opportunity), keterbatasan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta politik sehingga menyebabkan kerentanan (vulnerability), kurangnya jaminan (low luvel

– security), rendahnya kemampuan (low of capability), dan ketidakberdayaan (powerless) dalam segala bidang.16

Keterbatasan kepemilikan aset adalah ciri umum masyarakat miskin, termasuk para nelayan. Selain itu, untuk aspek modal, telah diketahui bahwa aspek ini menjadi kendala penting bagi pengembangan usaha dan kinerja. Karena persoalan modal inilah, banyak nelayan yang kemudian terjerat utang pada rentenir.

14 Untuk potensi ancaman semacam ini, bisa diatasi di beberapa daerah dengan menggunakan hukum adat yang

ditaati seluruh warga. Contoh: hukum ulayat sasi di beberapa kawasan Indonesia Timur.

15 Masyuri Imron, Kemiskinan dalam Masyarakat Nelayan dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya, PMB – LIPI,

Jakarta 2003

16 Thoby Mutis, Kata Pengantar dalam Yuswar Zainul Basri, Ekonomi Kelautan, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2007

Page 29: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

29

Sumber diolah dari Yayasan SMERU dan BPS, 2002

•Jumlah Desa Pesisir 8.090 desa

•Jumlah Pddk 16,42 Juta

•Jumlah KK 3,91 Juta

•Poverty Headcount Index 0,3214

Peta Kemiskinan Masyarakat Pesisir��

Keterbatasan yang dihadapi nelayan adalah rendahnya posisi tawar dan terbatasnya akses ke pasar. Rendahnya posisi tawar tampak jelas pada saat penjualan ikan atau hasil laut lainnya ke pedagang. Pedagang sebagai pembeli justru yang mematok harga, bukan nelayan sebagai penjual. Pedagang yang minoritas bersatu mempermainkan harga. Sementara nelayan tidak memiliki daya tawar yang kuat juga karena ikan yang cepat rusak, karena para nelayan tidak mempunyai cold box, apalagi cold storage. Alhasil, mau tidak mau, nelayan harus menjual ikannya, berapapun harganya, daripada busuk atau menerima harga yang lebih rendah dari pabrik tepung ikan, atau malah tidak mendapat apa-apa. Dari gambaran ini, tampak ada rekayasa kemiskinan nelayan secara sistematis.

A. 4. 2. Aspek Kemiskinan Nelayan

A. 4. 2. 1. Aspek Sumberdaya Manusia

Dalam Human Development Report 2003 yang dipublikasikan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP), terungkap bahwa indeks pembangunan manusia (Human Development Index/ HDI) Indonesia mengalami penurunan, yaitu dari 0,684 (pada HDR 2002) menjadi 0,682 (pada HDR 2003). Tak pelak, akibat penurunan ini, peringkat HDI Indonesia dari 175 negara yang diperingkat, turun dari peringkat 110 (pada HDR 2002) menjadi 112 (pada HDR 2003). Posisi HDI Indonesia ini jauh di bawah posisi negara-negara ASEAN lainnya Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnem. Posisi HDI Indonesia ini hanya lebih baik dari Kamboja dan Myanmar.17

Harapan hidup orang Indonesia pada waktu lahir sekitar 66 tahun. Harapan hidup orang Singapura Malaysia dan Thailand berturut-turut lebih tinggi 11, 6 dan 4 tahun. Hampir 50 dari 1000 anak Indonesia yang baru lahir tidak akan bertahan sampai umur 5 tahun; tingkat kematian di bawah usia lima tahun di Malaysia dan Thailand berturut-turut 9 dan 29. Tingkat kematian ibu Indonesia 380 setiap 100 ribu kelahiran hidup, sangat tinggi dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang hanya sekitar 40-an; angka untuk Singapura hanya 6.

Data dari beberapa referensi menunjukkan bahwa pada (Tahun 2002) angka partisipasi sekolah anak-anak nelayan untuk pendidikan tingkat SLTP baru merncapai 60%, dan SLTA baru mencapai 30% (Tahun

17 Dikutip dari Makalah Didik Akhmadi, M Com berjudul Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat Pasca Pemilu

2004; yang disampaikan pada acara Seminar Prospek Pembangunan Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu 2004 di

Balairung UI

Page 30: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

30

2002).18 Dengan kondisi yang demikian maka dalam jangka panjang pendidikan untuk masyarakat nelayan perlu menjamin agar angka partisipasi sekolah khususnya SLTA dapat dicapai menjadi sekurang-kurangnya 80%, hal ini berarti 50% dari anak SLTP saat ini dan 30% anak usia SLTP menjadi target kelompok dalam pengembangan pelayanan pendidikan. Fenomena keseharian masyarakat nelayan yaitu anak anak lelaki maupun wanita secara lebih dini terlibat dalam proses pekerjaan nelayan dari mulai persiapan orang tua mereka untuk kelaut sampai dengan menjual hasil tangkapan. Hal ini tentunya berimplikasi kepada kelangsungan pendidikan anak-anak nelayan.

Di samping itu, pada aspek kesehatan, nelayan relatif lebih beresiko terhadap munculnya masalah kesehatan seperti kekurangan gizi, diare dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), yang disebabkan karena persoalan lingkunan seperti sanitasi, air bersih, indoor pollution, serta minimnya prasaran kesehatan seperti Puskesmas ataupun Posyandu yang tidak digunakan secara optimal.

Di sisi lain kualitas sumberdaya manusia dari birokrasi yang mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan masih memiliki persoalan dalam moral hazard. Tingginya angka korupsi kolusi dan nepotisme dalam praktek pemerintahan semakin memperlambat jalannya pembagunan mensejahterakan kaum nelayan.

A. 4. 2. 2. Aspek Permodalan, Industri, dan Pasar

Selama ini, banyak masalah dan kendala yang menghadang para petani dan nelayan sebagai pelaku agrobisnis. Masalah paling strategis yang dihadapi oleh nelayan kita adalah akses terhadap modal. Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan, dengan adanya modal kerja maka usaha agroindustri rumahan di pedesaan dapat berkembang dengan baik. Ribuan atau bahkan jutaan usaha agrobisnis akan dapat berkembang dan menyerap banyak tenaga kerja manakala tersedia modal yang mudah diakses disertai sedikit pelatihan manajemen.

Permasalahan klasik para nelayan di seluruh wilayah Indonesia sebagian besar nelayan masih terjebak kepada para tengkulak. Kurang berfungsinya pelabuhan pendaratan ikan, Tempat Pelelangan Ikan (TPI), dan SPBU khusus nelayan, dikarenakan nelayan masih terikat kontrak perjanjian untuk menjual hasil tangkapannya dan mendapatkan sarana dan prasarana produksi perikanan dengan para tengkulak. Utang nelayan kepada tengkulak berjalan hampir seumur hidup dan diwariskan kepada anak serta penerus mereka.

Selain itu, kondisi dan stuktur keberadaan sektor industri Indonesia saat ini masih memiliki sejumlah kelemahan struktural yang sangat penting sejak sebelum krisis ekonomi. Pertama, struktur industri yang dangkal sehingga industri manufakturing tidak lebih dari sekedar industri asembling dan foot-loose industries.

Kedua, struktur industri yang sangat timpang, di mana sebagian besar industri dikuasai oleh konglomerasi tanpa fokus dan rendahnya backward dan forward lingkages antara usaha skala menengah dan kecil.

Bercermin dari fenomena tersebut, bukan tidak mungkin untuk diinisiasi terbentuknya bank petani dan nelayan. Tujuan dari pendirian Bank Petani dan Nelayan ini adalah untuk melayani para petani dan nelayan kita dalam memudahkan akses modal. Pasalnya, kalangan perbankan beranggapan untuk menanamkan investasi ke sektor perikanan memiliki faktor resiko yang tinggi. Kalangan perbankan konvensional belum dapat memahami pola-pola yang selama ini dijalankan oleh para nelayan, sehingga pola-pola yang dilakukan nelayan tidak masuk dalam lima standar yang biasanya diterapkan oleh perbankan. Sebagai perbandingan, beberapa negara yang telah memiliki bank petani dan nelayan di antaranya: Malaysia mempunyai Bank Pertanian Malaysia (BPM), Thailand memiliki Bank of Agriculture

and Agriculture Cooperative (BAAC), Eropa punya Rabo Bank yang dimiliki oleh koperasi, Amerika

18 Dikutip dari Makalah Elfindri berjudul Pendidikan dan Kesejahteraan Sosial di Kalangan Nelayan

Page 31: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

31

Serikat dan Filipina punya Land Bank. Adanya bank petani dan nelayan ini juga perlu untuk menghindari penyalahgunaan penyaluran kredit pemerintah untuk kepentingan lain.

A. 4. 2. 3. Aspek Sarana dan Prasarana

Naiknya harga sarana dan prasarana produksi perikanan sehingga meningkatkan biaya operasional melaut. Kenaikan harga BBM (solar) mengakibatkan sebagian besar nelayan mengeluhkan mahalnya operasional melaut, bahkan banyak nelayan yang berhenti melaut karena tidak mampu lagi membiayai operasional ke laut. Nelayan Demak, Jepara, dan Rembang sudah menjadi hal keseharian mengisi mesin motor perahunya dengan minyak tanah tanpa perlu mencampurnya dengan solar. Nelayan di daerah-daerah tersebut mendapatkan minyak pelumas mesin perahu motornya dengan harga Rp 1.500 - Rp 2.000 per liter pelumas bekas dari bengkel motor di sekitarnya.

Menyempitnya areal tangkap dan hak pencarian kehidupan nelayan karena tergusur kepentingan pembangunan sektor lain guna mengejar pertumbuhan pembangunan ekonomi atau kepentingan fihak-fihak tertentu. Seperti rencana relokasi nelayan Jepara karena pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di perairan laut daerah Jepara yang pendiriannya tanpa dilakukan musyawarah dan pemberitahuan terlebih dahulu kepada nelayan dan penduduk setempat.

Belum lagi kasus-kasus penggusuran kampung nelayan seperti penggusuran 206 keluarga Nelayan Ancol Timur pada tahun 2001. Tanah timbul (tanah hasil sedimentasi), yang sudah ditempati nelayan selama 51 tahun, sejak tahun 1950. Untuk olah raga air Yacht Club milik PT. Bahtera Sejahtera, Nelayan sudah mengalami 5 kali penggusuran tanpa ganti rugi.

Penggusuran 90 keluarga di Kampung Catering, Jl. Pipa, Sunter Jaya, Tanjung Priok, Jakarta Utara tahun 2003. Warga membeli tanah yg ditempati seharga Rp 9 juta per 36 m2 pada pihak pengelola dan lurah setempat. Ketika membeli tanah, warga diminta pihak pengelola tanah dan lurah untuk membangun secara permanen. Sedangkan status dan kondisi warga yang menempati daerah tersebut telah memiliki fasilitas Listrik dan PDAM masuk secara resmi, 70% warga ber-KTP DKI, tetapi penggusuran tetap dilakukan tanpa ganti rugi.

Penggusuran 1.780 KK di Kelurahan Marunda, Jakarta Utara. Warga mendiami lahan tidur seluas 75 hektar atas ijin walikota dengan membayar Rp 400.000 - Rp 6 juta. Lahan akan digunakan untuk kepentingan industri di Kawasan Berikat Nusantara. Warga diusir paksa oleh aparat terpadu atas permintaan pihak KBN.

Belum lagi beberapa waktu lalu di akhir tahun 2003 ratusan nelayan Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara yang terusir dari tempat tinggalnya oleh Pemerintah DKI. Secuil tanah timbul di Ancol Timur puluhan tahun lamanya menjadi tempat bermukim bagi ratusan nelayan miskin. Secuil tanah hasil sedimentasi itu ibarat nyawa bagi ratusan nelayan.

Namun nyawa itu direnggut begitu saja oleh pemerintah untuk diserahkan kepada pengusaha demi kepentingan bisnis olah raga air.19

A. 4. 2. 4. Aspek Sosial

Permasalahan yang berkembang mengenai nelayan, yang berdampak pada pencapaian tingkat keberhasilan pembangunan sektor pertanian serta perikanan dan kelautan di Indonesia bermuara pada belum berpihaknya pembangunan yang dilakukan kepada nelayan. Belum ada undang-undang yang melindungi hak-hak para petani dan nelayan yang jumlahnya lebih dari setengah warga negara Indonesia. Sehingga kaum nelayan selalu menjadi kaum yang tertindas dan dieksploitir dalam pencapaian target pembangunan ekonomi Indonesia.

19 Dikutip dari Advokasi Pesisir dan Laut; WALHI.

Page 32: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

32

Dua pranata strategis yang dianggap penting untuk memahami kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan adalah pranata penangkapan dan pemasaran ikan. Kedua pranata tersebut, dalam perspektif etic, bersifat eksploitatif sehingga menjadi sumber potensial timbulnya kemiskinan struktural di masyarakat nelayan. Dalam perspektif kebudayaan nelayan (emic), mereka jarang mempersoalkan keberadaan pranata tersebut secara negatif. Mereka menyadari bahwa dalam sistem pembagian hasil atau pemasaran tangkapan, yang menempatkan para pemilik perahu atau pedagang perantara/ pedagang ikan memperoleh bagian atau keuntungan besar dari kegiatan tersebut, dipandang sebagai kewajaran.

Pembagian tersebut dianggap sesuai dengan kontribusi, biaya dan resiko ekonomi yang harus ditanggung dalam proses produksi dan pemasaran hasil tangkapan. Persepsi demikian terbentuk karena faktor keterpaksaan atau karena nelayan tidak mempunyai pilihan lain. Oleh karenanya, perlu dibuat aturan yang tegas tentang sistem bagi hasil yang berkeadilan.

A. 4. 2. 5. Aspek Sumberdaya Alam

Indonesia memasuki periode baru liberalisasi dan privatisasi di seluruh sektor kekayaan alamnya. Sumber-sumber agraria yang menguasai hajat hidup orang banyak, termasuk perairan, telah diprivatisasi. Semisal, dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) meniru pola pemberian HGU dan HPH tersebut, yakni Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Harus dikatakan bahwa cara yang seperti ini telah melanggar konsititusi, yakni Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa pemanfaatan sumberdaya alam bertujuan untuk sebesar-besarnya mewujudkan kemakmuran rakyat. Lebih dari itu, kebijakan ini telah melahirkan konflik agraria dan kekerasan yang berkepanjangan.

Selain itu, pemanfaatan sumberdaya laut baik hayati dan non hayati harus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan sehingga senantiasa terjamin keberlanjutannya. Pencemaran, degradasi fisik habitat, over eksploitasi sumberdaya alam, abrasi pantai, penyusutan hutan magrove, kerusakan padang lamun dan terumbu karang, pendangkalan dan sediemtasi yang tak terkontrol merupakan fenonema lingkungan di sektor perikanan dan kelautan.

Permasalahan lain yang timbul di antaranya adalah penambangan pasir laut yang isunya telah mengangkat ke permukaan secara nasional yang permasalahan tersebut terjadi di beberapa provinsi seperti Provinsi Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Kegiatan penambangan pasir dilakukan baik secara legal maupun illegal. Sebagian besar permintaan pasir laut berasal dari Singapura dan Malaysia juga membutuhkan pasir laut dalam jumlah besar. Tambang pasir di Karimun dan kepulauan dibatasi oleh pemerintah pusat dan upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh pemerintah Provinsi. Sehingga pengelolaan sumberdaya berupa pasir laut yang dulunya dikelola oleh daerah sementara ini diambil alih oleh tingkat provinsi, bahkan dihentikan sementara oleh pemerintah secara nasional.

Beberapa tahun terakhir kegiatan penambangan pasir ini telah menimbulkan permasalahan lingkungan kelautan yang nyaris tidak membawa manfaat pada masyarakat setempat atau keuntungan tertentu bagi keuangan publik lokal. Tidak semua tambang pasir illegal. Sebagian konsesi besar telah dikeluarkan, secara tidak jelas -sangat mirip dengan penerbitan konsesi kehutanan. Di samping itu, untuk kabupaten kecil seperti Karimun, tambang pasir memberikan kontribusi penting bagi pendapatan pemerintah setempat. Perusakan lingkungan laut telah mendapatkan kecaman luas sebelum Pemerintah Pusat turun tangan. Namun insentif, baik secara formal maupun kriminal, akan tetap ada karena permintaan pasir tinggi dalam beberapa tahun mendatang.

A. 4. 3. Solusi Masalah Kesejahteraan Nelayan Kecil Masyarakat Pesisir

Ada beberapa strategi yang bisa digunakan untuk menjawab masalah kesejahteraan nelayan kecil dan masyarakat pesisir. Pertama, mengembangkan strategi nafkah ganda. Strategi ini dilakukan agar nelayan tidak hanya bergantung pada hasil penangkapan (misalnya tanpa olahan). Strategi ini biasanya dilakukan

Page 33: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

33

kaum nelayan di pelbagai lapisan dengan tujuan yang berbeda. Lapisan atas umumnya mengembangkan strategi ini untuk akumulasi kapital. Sementara, lapisan bawah melakukan hal ini hanya untuk bertahan hidup (subsisten). Oleh karenanya, yang perlu dilakukan adalah penguatan dan pengembangan strategi nafkah ganda nelayan lapis bawah, semisal dengan mengolah hasil tangkapan.

Kedua, mendorong ke arah laut lepas. Masalahnya tidak semata teknologi, melainkan juga modal dan budaya. Banyak program bantuan pemerintah untuk ini gagal karena variabel yang dipertimbangkan hany teknologi. Seolah dengan memberi kapal besar, masalah nelayan akan terselesaikan. Padahal, menangkap ikan di laut lepas merupakan hal yang kompleks, mencakup manajemen usaha, organisasi produksi, perbekalan, ketahanan fisik, pemahaman perilaku ikan, pengoperasian kapal, jaring, dan lainnya. Perubahan nelayan seperti itu bukan tidak mungkin. Oleh karenanya, para nelayan membutuhkan “magang” di usaha penangkapan berskala menengah dan besar untuk menggali pengalaman dan pengetahuan.20 Dan tentu saja tetap dalam kerangka ramah lingkungan.

Ketiga, untuk persoalan permodalan nelayan saat ini adalah karena tidak adanya institusi yang sanggup bersifat fleksibel sesuai dengan karakteristik usaha nelayan kecil. Oleh karenanya, yang memungkinkan menjawab kendala ini adalah dengan kembali membentuk Lembaga Keuangan Mikro. Selain itu, perlu juga ditambah dengan program bantuan bagi nelayan kecil.

Keempat, belum adanya kebijakan pemerintah yang tegas menyatakan perlindungan terhadap nelayan kecil merupakan faktor utama ketidaksejahteraan nelayan. Oleh karenanya, perlu dicantumkan dengan tegas tentang hak-hak yang melekat pada nelayan kecil, baik hak-hak nelayan kecil sebagai produsen pangan, maupun jaminan sosial bagi nelayan kecil sebagai kelompok rentan, khususnya yang berada di daerah terisolir.

Kelima, memberlakukan sistem bagi hasil nelayan yang berkeadilan. Seperti yang digambarkan di atas, dalam dunia nelayan senantiasa berlangsung relasi sosial yang tidak sehat dikarenakan relasi ekonomi yang timpang antara nelayan kecil dengan nelayan yang bermodal besar atau tengkulak. Dikarenakan sulitnya mengakses kredit ke bank-bank konvensional, maka para nelayan kecil lebih memilih berutang ke tengkulak. Dari proses utang-piutang inilah, kemudian muncul relasi yang tidak sehat, semisal, sistem bagi yang tidak adil. Oleh karenanya, perlu dibuat kebijakan yang jelas untuk mengatur sistem bagi hasil yang adil.

B. Cakupan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan

1. Ketentuan Umum

Dalam Ketentuan Umum Naskah Akademik ini menjelaskan tentang komponen-komponen apa saja yang akan diatur dalam perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Khusus untuk komponen yang ditambahkan atau dirubah dalam pendefinisiannya di sini adalah:

1. Hak atas pangan adalah hak untuk mendapatkan akses yang teratur, tetap, dan bebas, baik secara langsung atau dengan membeli, atas pangan yang memadai dan cukup baik secara kualitatif dan kuantitatif, yang berhubungan secara langsung pada tradisi masyarakat di mana suatu konsumsi itu berasal, dan dengan itu memastikan bahwa kehidupan fisik maupun mental, individu maupun kolektif, yang penuh serta bermartabat, yang bebas dari ketakutan;

2. Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tugas Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

3. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.

20 Arif Satria, Pesisir dan Laut untuk Rakyat, IPB Press, Bogor, 2009, hlm. 42

Page 34: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

34

4. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya menangkap ikan untuk kebutuhan sehari-hari dengan menggunakan alat tangkap tradisional, baik milik sendiri maupun bukan milik sendiri.

5. Buruh Nelayan ialah semua orang yang sebagai kesatuan dengan menyediakan tenaganya turut serta dalam usaha penangkapan ikan laut.

6. Nelayan Pemilik ialah orang atau badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas sesuatu kapal/ perahu yang dipergunakan dalam usaha penangkapan ikan dan alat-alat penangkapan ikan.

7. Pemilik Tambak ialah orang atau badan hukum yang dengan hak apapun berkuasa atas suatu tambak.

8. Penggarap Tambak ialah orang yang secara nyata, aktif menyediakan tenaganya dalam usaha pemeliharaan ikan darat atas dasar perjanjian bagi-hasil yang diadakan dengan pemilik tambak.

9. Perjanjian bagi-hasil ialah perjanjian yang diadakan dalam usaha penangkapan atau pemeliharaan ikan antara nelayan pemilik dan buruh nelayan atau pemilik tambak dan penggarap tambak, menurut perjanjian mana mereka masing-masing menerima bagian dari hasil usaha tersebut menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya

10. Tambak ialah genangan air yang dibuat oleh orang sepanjang pantai untuk pemeliharaan ikan dengan mendapat pengairan yang teratur.

11. Sungai adalah bagian permukaan bumi yang letaknya lebih rendah dari tanah di sekitarnya dan menjadi tempat mengalirnya air tawar menuju ke laut, danau,rawa, atau ke sungai yang lain.

12. Danau adalah suatu cekungan besar pada permukaan bumi yang berisi air. 13. Rawa adalah area yang didominasi oleh air dimana kondisi tanahnya jenuh dan merupakan

habitat dari flora – fauna khusus. 14. Waduk adalah kolam besar tempat menyimpan air sediaan untuk berbagai kebutuhan atau

mengatur pembagian air dan lain sebagainya.

2. Ketentuan Asas

Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas nasionalitas, ekonomi kerakyatan, mandiri, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, keterbukaan, efisiensi, kekeluargaan dan kelestarian yang berkelanjutan.

3. Materi yang diatur

Materi yang akan diatur dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ini adalah sebagai berikut:

I. Ketentuan Umum II. Ruang Lingkup III. Wilayah Pengelolaan Perikanan IV. Pengelolaan Perikanan V. Usaha Perikanan VI. Sistem Informasi dan Data Statistik Perikanan VII. Pungutan Perikanan VIII. Penelitian dan Pengembangan Perikanan IX. Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Perikanan X. Pembedayaan Nelayan Kecil dan Pembudidaya-Ikan Kecil XI. Hak Asasi Nelayan Kecil XII. Tanggung Jawab Korporasi XIII. Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah XIV. Penyerahan Urusan dan Tugas Pembantuan XV. Pengawasan Perikanan

Page 35: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

35

XVI. Pengadilan Perikanan XVII. Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Perikanan XVIII. Ketentuan Pidana XIX. Ketentuan Peralihan XX. Ketentuan Penutup

Dari keseluruhan materi tersebut, akan terangkai dalam kerangka besar hak asasi manusia, khususnya hak atas pangan.

Page 36: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

36

BAB IV

Penutup

A. Kesimpulan

Bahwa berdasarkan analisis masalah seperti yang tertuang di atas, maka diperoleh kesimpulan antara lain:

1. Sebagai sebuah sistem, perikanan memiliki peran penting sebagai media bagi bangsa Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karenanya diperlukan kebijakan yang mengatur perihal perikanan dengan tetap memprioritaskan kepentingan nasional, sesuai amanat konstitusi.

2. Nelayan kecil sebagai salah satu subyek hak dalam sistem tenurail, seharusnya memperoleh perhatian yang lebih dari pemerintah. Dan sebagai konsekuensinya, negara mempunyai tiga beban kewajiban, yaitu untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati.

3. Sosial masyarakat pesisir di Indonesia masih banyak yang mempunyai hukum ulayat masing-masing. Oleh karenanya, pemerintah dituntut mampu mengatur sistem kelola yang adil demi meminimalisir konflik antar nelayan dan sebagai upaya untuk menjaga keberlanjutan ekosistem perikanan.

4. Nelayan kecil dan masyarakat pesisir merupakan kelompok sosial utama yang menyangga keberlangsungan sistem perikanan Indonesia ke depan. Sayangnya, mereka justru merupakan kelas masyarakat yang paling bawah dalam struktur sosial-ekonomi di Indonesia. Oleh karenanya, pemerintah harus mulai merubah orientasi pembangunan nasional dengan mempertimbangkan pemerataan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan, khususnya bagi nelayan kecil dan masyarakat pesisir.

B. Rekomendasi

Berdasarkan atas paparan di atas, maka lahirlah beberapa rekomendasi sebagai jawaban terhadap masalah-masalah di atas, yaitu:

Solusi Masalah Aspek Kepentingan Nasional

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan mempunyai kekayaan alam, khususnya sumber-sumber perikanan yang melimpah. Di sisi lain, Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar berimplikasi pula terhadap besarnya kebutuhan konsumsi perikanan nasional. Melihat kondisi tersebut maka, seharusnya pemerintah bisa mempertimbangkan arti penting sumberdaya perikanan bagi perekonomian nasional dan memprioritaskan kebutuhan ikan dalam negeri dalam menyusun kebijakan perikanan nasional.

Khusus dalam konteks perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, terkait dengan memprioritaskan kepentingan nasional, maka yang perlu dilakukan adalah:

Pertama, pemerintah Indonesia harus memahami secara detail kaidah-kaidah yang termaktub dalam setiap traktat/ perjanjian internasional, untuk selanjutnya bisa memperjuangkan kepentingan nasional dalam setiap diplomasi-negosiasi di tingkat regional dan internasional, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Kepentingan nasional ini harus memprioritaskan produksi perikanan nasional agar dilakukan oleh dan digunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia dengan berasaskan kekeluargaan.

Kedua, menegaskan kembali kedaulatan dan kemandirian nasional dalam kaitannya dengan perjanjian/traktat internasional.

Ketiga, mensyaratkan hanya warga negara Indonesia atau organisasi berbadan hukum Indonesia yang boleh beroperasi di kawasan ZEEI.

Keempat, memberikan izin ekspor perikanan hanya untuk produk olahan. Pembatasan ekspor ini dilakukan sebagai sebuah upaya untuk menjamin kebutuhan konsumsi ikan dalam negeri.

Page 37: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

37

Solusi Masalah Sistem Tenurial

Berdasarkan atas uraian di atas, maka perlu penegasan tentang hak-hak yang melekat pada nelayan kecil, untuk dipenuhi oleh negara. Menurut Ostrom dan Schlager (1996), paling tidak ada dua tipe hak yang penting dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya perikanan, yaitu: (1) use (operational-level) rights, dan (2) collective-choice rights. Tipe hak yang pertama mengacu pada hak yang melekat pada operasionalisasi perikanan atau dalam konteks perikanan tangkap adalah yang terkait dengan proses dan dinamika penangkapan ikan. Dalam tipe ini, beberapa hak penting antara lain adalah hak akses (access rights) yaitu hak untuk masuk (entry) ke dalam usaha perikanan tangkap baik dalam konteks daerah penangkapan (fishing ground) atau dalam salah satu struktur usaha perikanan seperti penyediaan bahan baku, pengolahan perikanan, dan lain sebagainya. Masih dalam tipe hak yang pertama (use rights), hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu (harvest rights) juga merupakan jenis hak yang penting. Kendati secara kontekstual berbeda, kepemilikan kedua hak (access and harvest rights) secara bersama-sama merupakan unsur penting dalam keberlanjutan komunitas perikanan.

Lebih spesifik, hak-hak nelayan kecil tersebut antara lain:

a. Hak untuk menikmati secara penuh, secara kolektif atau individual, seluruh hak asasi manusia dan kebebasan fundamental sebagaimana yang diakui dalam Piagam PBB, yaitu DUHAM dan hukum HAM internasional , serta Undang-Undang HAM RI

b. Hak atas kehidupan dan atas standar kehidupan yang layak

c. Hak atas integritas fisik dan hak untuk tidak dilecehkan, diusir, dianiaya, ditahan dengan sewenang-wenang dan dibunuh karena mempertahankan hak mereka.

d. Hak atas pangan yang layak, sehat, bergizi, dan terjangkau, serta untuk mempertahankan budaya-budaya pangan tradisionalnya.

e. Hak atas standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai. Selanjutnya, mereka juga memiliki hak atas akses terhadap pelayanan kesehatan dan obat-obatan, bahkan ketika mereka tinggal di pulau terisolir. Mereka juga memiliki hak untuk menggunakan dan mengembangkan obat-obatan tradisional.

f. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan.

g. Hak atas pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dan keluarganya.

h. Hak atas sandang dan papan yang layak.

i. Hak untuk menangkap ikan dan membudidayakan ikan dalam standar keberlanjutan.

j. Hak atas air bersih dan sanitasi yang layak.

k. Hak atas dukungan, dengan cara fasilitasi, teknologi dan pendanaan dari negara untuk pemberdayaan.

l. Hak untuk menolak segala jenis pengambilalihan dan pengalihfungsian lahan (baik darat maupun laut), khususnya untuk tujuan ekonomi.

m. Hak keamanan untuk hak milik atas lahan dan teritori mereka dan untuk tidak diusir secara paksa dari lahan dan teritori tersebut.

n. Hak untuk melestarikan dan mengembangkan pengetahuan lokal mereka dalam perikanan.

o. Hak untuk menggunakan teknologi mereka sendiri ataupun teknologi lain yang mereka pilih berdasarkan prinsip perlindungan atas kesehatan manusia dan pelestarian lingkungan.

p. Hak atas permodalan dan sarana produksi perikanan.

q. Hak untuk memprioritaskan produksi perikanan mereka untuk keluarga mereka dan kebutuhan masyarakat.

Page 38: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

38

r. Hak untuk mendapatkan pembayaran yang setimpal dari pekerjaan mereka, dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar mereka dan keluarga mereka.

s. Hak untuk menolak segala bentuk eksploitasi yang menyebabkan kerusakan lingkungan.

t. Hak untuk menuntut dan mengklaim kompensasi untuk kerusakan lingkungan.

u. Hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan

v. Hak atas rehabilitasi dan tindak lanjut (remedy) yang efektif jika hak-hak mereka dilanggar. Nelayan kecil memiliki hak terhadap suatu sistem peradilan yang adil, untuk dapat mendapatkan akses yang efektif dan tidak diskriminatif terhadap peradilan serta untuk mendapatkan bantuan hukum.

w. Hak mendapatkan informasi yang menyeluruh dan imparsial mengenai permodalan, pasar, kebijakan, harga, teknologi, dan lain-lain, yang berkaitan dengan kebutuhan nelayan.

x. Hak mendapatkan bantuan teknis, alat-alat produsi dan teknologi lain yang sesuai dalam rangka meningkatkan produktivitas mereka, dengan cara yang menghormati nilai-nilai sosial, kebudayaan dan etis mereka.

Sementara, tipe hak kedua (collective-choice rights) lebih menitikberatkan pada hak pengelolaan perikanan (fisheries governance) yang biasanya diberikan kepada otoritas tertentu di luar masyarakat nelayan (supra-community). Otoritas ini biasanya adalah pemerintah lokal yang dalam konteks otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam konteks perikanan, tipe hak kedua ini menjadi sangat penting karena hak ini terkait dengan unsur ”siapa yang mengatur” sebagai pelengkap dari konsep hak yang terkait dengan ”siapa yang diatur” seperti yang telah dijelaskan dalam tipe hak pertama (use rights).

Solusi Masalah Konflik Zonasi Tangkap

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan guna mencegah atau meminimalisir konflik antar nelayan tersebut. Pertama, pengukuhan model pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Pada masa lalu, sebenarnya banyak nelayan tradisional telah memiliki model pengeloaan tersebut. Hanya saja, pada masa lalukonsep ini memudar akibat faktor eksternal, seperti hadir kekuatan modal dari luar. Oleh karena itu, perlu dikembangkan model pengelolaan ini dalam bentuk institusi yang solid yang memiliki daya resiliensi terhadap serangan-serangan eksternal.

Kedua, penguatan organisasi nelayan. Kehadiran organisasi nelayan yang solid dengan jaringan sosial yang kokoh akan memudahkan membangun komunikasi dan koordinasi sesama nelayan lintas daerah, yang pada gilirannya nanti memudahkan mengantisipasi terjadinya konflik serta merumuskan mekanisme resolusi konflik. Eksistensi organisasi nelayan juga sangat berarti dalma mengatasi konflik jenis external allocation. Pasalnya, banyak kepentingan nelayan terkalahkan oleh kepentingan non-nelayan hanya karena nelayan tidak memiliki organisasi dengan posisi tawar yang kuat.

Ketiga, kerja sama lintas daerah. Ketika pada level masyarakat tengah dijalin jaringan kerja sama antarnelayan, maka di tingkat pemerintah pun sudah saatnya diikat suatu kerja sama, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, baik dalam hal perencanaan, implementasi maupun pengawasan. Kerja sama lintas daerah semakin mendesak di era otonomi daerah guna mengantisipasi terjadinya konflik, baik pada tingkat masyarakat maupun pemerintah.

Keempat, pemberdayaan nelayan merupakan langkah pokok dalam mengantisipasi konflik, baik konflik kelas maupun konflik orientasi. Pemberdayaan tentu utamanya diarahkan pada peningkatan kapasitas usaha dan ketahanan ekonomi rumah tangga nelayan. Kelima, perlu ada peraturan pelaksana yang lebih detail meyangkut bagaimana desentralisasi kelautan dilaksanakan.

Page 39: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

39

Solusi Masalah Kesejahteraan Nelayan Kecil Masyarakat Pesisir

Ada beberapa strategi yang bisa digunakan untuk menjawab masalah kesejahteraan nelayan kecil dan masyarakat pesisir. Pertama, mengembangkan strategi nafkah ganda. Strategi ini dilakukan agar nelayan tidak hanya bergantung pada hasil penangkapan (misalnya tanpa olahan). Strategi ini biasanya dilakukan kaum nelayan di pelbagai lapisan dengan tujuan yang berbeda. Lapisan atas umumnya mengembangkan strategi ini untuk akumulasi kapital. Sementara, lapisan bawah melakukan hal ini hanya untuk bertahan hidup (subsisten). Oleh karenanya, yang perlu dilakukan adalah penguatan dan pengembangan strategi nafkah ganda nelayan lapis bawah, semisal dengan mengolah hasil tangkapan.

Kedua, mendorong ke arah laut lepas. Masalahnya tidak semata teknologi, melainkan juga modal dan budaya. Banyak program bantuan pemerintah untuk ini gagal karena variabel yang dipertimbangkan hany teknologi. Seolah dengan memberi kapal besar, masalah nelayan akan terselesaikan. Padahal, menangkap ikan di laut lepas merupakan hal yang kompleks, mencakup manajemen usaha, organisasi produksi, perbekalan, ketahanan fisik, pemahaman perilaku ikan, pengoperasian kapal, jaring, dan lainnya. Perubahan nelayan seperti itu bukan tidak mungkin. Oleh karenanya, para nelayan membutuhkan “magang” di usaha penangkapan berskala menengah dan besar untuk menggali pengalaman dan pengetahuan. Dan tentu saja tetap dalam kerangka ramah lingkungan.

Ketiga, untuk persoalan permodalan nelayan saat ini adalah karena tidak adanya institusi yang sanggup bersifat fleksibel sesuai dengan karakteristik usaha nelayan kecil. Oleh karenanya, yang memungkinkan menjawab kendala ini adalah dengan kembali membentuk Lembaga Keuangan Mikro. Selain itu, perlu juga ditambah dengan program bantuan bagi nelayan kecil.

Keempat, belum adanya kebijakan pemerintah yang tegas menyatakan perlindungan terhadap nelayan kecil merupakan faktor utama ketidaksejahteraan nelayan. Oleh karenanya, perlu dicantumkan dengan tegas tentang hak-hak yang melekat pada nelayan kecil, baik hak-hak nelayan kecil sebagai produsen pangan, maupun jaminan sosial bagi nelayan kecil sebagai kelompok rentan, khususnya yang berada di daerah terisolir.

Kelima, memberlakukan sistem bagi hasil nelayan yang berkeadilan. Seperti yang digambarkan di atas, dalam dunia nelayan senantiasa berlangsung relasi sosial yang tidak sehat dikarenakan relasi ekonomi yang timpang antara nelayan kecil dengan nelayan yang bermodal besar atau tengkulak. Dikarenakan sulitnya mengakses kredit ke bank-bank konvensional, maka para nelayan kecil lebih memilih berutang ke tengkulak. Dari proses utang-piutang inilah, kemudian muncul relasi yang tidak sehat, semisal, sistem bagi yang tidak adil. Oleh karenanya, perlu dibuat kebijakan yang jelas untuk mengatur sistem bagi hasil yang adil.

Page 40: DRAFT NASKAH AKADEMIK - ihcs.or.id naskah akademik uu... · Draft Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ----- 2

Draft Naskah Akademik

Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

--------------------------------------------------------------------------------

40

Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan

United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982

Panduan Sukarela untuk Mendukung Realisasi Progresif Hak Atas Pangan, FAO

Panduan “The Right to Adequate Food and to be Free from Hunger: Updated Study on the Right to

Food” (Dokumen PBB nomor E/CN.4/sub.2/1999/12), disusun oleh Asbjorn Eide.

Buku

Alston, Philip, Hukum Internasional dan Hak atas Pangan dalam T. Mulya Lubis, Hak-hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Dunia, Isu dan Tindakan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993.

Basri, Yuswar Zainul, Ekonomi Kelautan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Imron, Masyuri, Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, Media Pressindo, Yogyakarta, 2001.

Satria, Arif, Ekologi Politik Nelayan, LKiS, Yogyakarta, 2009.

Satria, Arif, et. al, Globalisasi Perikanan: Reposisi Indonesia, IPB Press, Bogor, 2009.

Satria, Arif, Pesisir dan Laut untuk Rakyat, IPB Press, Bogor, 2009.

Siswanto, Budi, Kemiskinan dan Perlawanan Kaum Nelayan, Laksbang Mediatama, Surabaya, 2008.

Makalah dan Media Massa

Amidhan, Tinjauan Empiris Pemenuhan Hak Atas Pangan: Perspektif Hak Asasi Manusia, Makalah

Seminar Nasional Hak Atas Kecukupan Pangan, Jakarta, 13 Juli 2005.

Dahuri, Rokhmin, Makna Hari Nusantara bagi Kedaulatan dan Kemakmuran Indonesia, Opini, Harian Media Indonesia, Edisi 17 Desember 2008.

Direktorat Jenderal Perikanan, Statistik Perikanan Indonesia 1996, Jakarta; Departemen Pertanian.

Kusumastanto, Tridoyo et. al, Pembangunan Perikanan Pasca Undang-Undang Perikanan, Makalah pada “Diskusi UU Perikanan” yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan (HIMASEPA) pada tanggal 18 Maret 2006 di Auditorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Siaran Pers Memperingati Hari HAM, 10 Desember 2008.