draft naskah kajian

95
1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang a. Umum. Indonesia merupakan negara yang mempunyai keanekaragaman Sumber Daya Nasional tersebar di seluruh wilayah NKRI yang dapat dimanfaatkanguna mendukung pembangunan nasional termasuk pertahanan negara dan bertujuan untuk mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat bila ditangani dengan benar akan memberikan kontribusi yang positif bagi kemajuan negara hal ini sangat berpengaruh terhadap mekanisme penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia. Dalam memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan adanya suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan se!ara efisien dan mandiri tetapi tetap dibawah pengawasan dari pemerintah pusat yang tetap terikat dengan negara kesatuan. Interaksi di dalam masyarakat di sebuah negara !enderung dihadapkan pada persoalan sosialyang membutuhkan peranan negara dan masyarakat untuk salingbahu"membahu mengatasi permasalahan yang bermun!ulan. #eski begitu kemajemukan yang ada di dalam masyarakat menjadi permasalahan tersendiri keti harmonisasi justru tidak dapat ter!apai. Di sisi lain nega kurang memainkan peranannya dalam men!iptakan dan menjalankan aturan sebagai akibat dari salah satunya operasionalisasi di lapang yang !enderung memun!ulkan kompleksitas terutama pada keterlibatan berbagai aktor dengan berbagai kepentingan sehingga !enderung memi!u ter!iptanya Konflik Sosial di tengah"tengah masyarakat. b. $elaksanaan %tonomi Daerah. $ada hakikatnya %tonomi Daerah sebagaimana diatur dalam Undang"Undang Nomor &' (ahun '))* tentang $emerintahan Daerah bukan berarti untuk meme!ah daerah" daerah yang ada di Indonesia melainkan untuk lebih memajuka

Upload: boyfird

Post on 04-Oct-2015

69 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Litbang Pilkada

TRANSCRIPT

8

BAB IPENDAHULUAN1. Latar Belakang

a. Umum. Indonesia merupakan negara yang mempunyai keanekaragaman Sumber Daya Nasional tersebar di seluruh wilayah NKRI yang dapat dimanfaatkan guna mendukung pembangunan nasional termasuk pertahanan negara dan bertujuan untuk mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat, bila ditangani dengan benar akan memberikan kontribusi yang positif bagi kemajuan negara, hal ini sangat berpengaruh terhadap mekanisme penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia. Dalam memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan adanya suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap dibawah pengawasan dari pemerintah pusat yang tetap terikat dengan negara kesatuan.

Interaksi di dalam masyarakat di sebuah negara cenderung dihadapkan pada persoalan sosial yang membutuhkan peranan negara dan masyarakat untuk saling bahu-membahu mengatasi permasalahan yang bermunculan. Meski begitu, kemajemukan yang ada di dalam masyarakat menjadi permasalahan tersendiri ketika harmonisasi justru tidak dapat tercapai. Di sisi lain, negara yang kurang memainkan peranannya dalam menciptakan dan menjalankan aturan sebagai akibat dari salah satunya operasionalisasi di lapangan yang cenderung memunculkan kompleksitas, terutama pada keterlibatan berbagai aktor dengan berbagai kepentingan, sehingga cenderung memicu terciptanya Konflik Sosial di tengah-tengah masyarakat.

b. Pelaksanaan Otonomi Daerah. Pada hakikatnya Otonomi Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bukan berarti untuk memecah daerah-daerah yang ada di Indonesia melainkan untuk lebih memajukan daerah dengan melibatkan peran aktif masyarakat daerah. Peran aktif masyarakat di daerah dapat dilakukan dengan cara pemberian otonomi tersebut. Sebagai daerah otonom yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, setiap daerah memiliki kewenangan menyusun Peraturan Daerah (Perda) sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Perda sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dibahas bersama dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama.

Dalam implementasi Perda itu bisa berasal dari eksekutif atau Kepala Daerah atau inisiatif dari anggota DPRD. Otonomi sendiri diharapkan dapat mempercepat laju pertumbuhan masyarakat di daerah dalam berbagai bidang, terutama dengan adanya asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan sehingga kesejahteraan masyarakat dan kerjasama pembangunan di daerah semakin meningkat.

Sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah memberikan kewenangan penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tersebut menyebabkan masing-masing daerah harus memiliki sumber daya yang cukup, daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing.

Pelaksanaan Otonomi Daerah hingga saat ini dalam kenyataan menunjukkan menimbulkan beberapa potensi dan atau konflik yang telah terjadi antara lain, muncul gejala etno-sentrisme (menguatnya fenomena primordialisme) yakni adanya beberapa daerah yang memaksakan Putra Daerah harus menjadi Kepala Daerah walau terkadang kemampuan untuk memimpin daerah masih sangat terbatas. Hal tersebut kadang diikuti dengan kebijakan tidak tertulis terkait permasalahan rekruitmen birokrasi lokal yang juga mengandung sifat diskriminatif terhadap calon pegawai bukan Putra Daerah, permasalahan yang menyangkut pemekaran daerah, serta beberapa produk peraturan daerah/kebijakan lainnya. Hal-hal tersebut bila tidak diselesaikan dengan segera maka akan dapat meningkatkan bahaya disintegrasi bangsa.

c. Fenomena Konflik Sosial di Indonesia. Konflik itu sendiri berasal dari kata kerja latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya, tanpa menghiraukan norma dan nilai yang berlaku serta konflik tidak semata-mata menyangkut kepentingan fisik, materialistik ataupun kebendaan, tetapi juga berkaitan dengan penghargaan dan martabat, harga diri ataupun prestise. Konflik sendiri dapat dibedakan antara konflik yang bersifat horisontal dan vertikal, dimana keduanya sama-sama besarnya berpengaruh terhadap upaya pemeliharaan kedamaian di negara ini.

Terdapat beberapa contoh Konflik Sosial yang pernah terjadi di Indonesia. kasus Konflik Sosial cenderung dipengaruhi oleh perbedaan etnis dan suku yang cukup beragam di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah kasus Sampit, Etnis Samawa dengan Etnis Bali di Sumbawa, atau beberapa kasus Konflik Sosial lainnya seperti kasus Ambon dan Poso. Belum lagi ditambah dengan kasus yang belakangan ini terjadi di Sampang, Madura, dan Lampung Selatan. Permasalahan Konflik Sosial yang banyak terjadi di Indonesia menggambarkan bagiamana rawannya permasalahan mengenai SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), yang menjadi latar belakang konflik yang terjadi.

Selama periode 2010 hingga awal bulan September 2013 total keseluruhan tercatat 351 peristiwa konflik.Peristiwa konflik tersebut antara lain adalah peristiwa kekerasan atau konflik bernuansa Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). 1) Tahun 2010 terjadi 93 peristiwa konflik, 2) Tahun 2011 terjadi 77 peristiwa konflik, 3) Tahun 2012 terjadi 128 peristiwa konflik dan tahun 2013, 4) Awal bulan September 2013 tercatat 53 peristiwa konflik.

Selama periode 2010 hingga awal bulan September 2013, sebanyak 351 peristiwa konflik terjadi di tanah air. Data dari Pusat Komunikasi dan Informasi (Puskomin) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menjelaskan bahwa kondisi sosial politik nasional saat ini dihadapkan pada peningkatan eskalasi Konflik Sosial dan politik, yang ditandai dengan terjadinya benturan dari berbagai kepentingan yang dilakukan antar kelompok masyarakat. secara langsung berdampak pada terganggunya kelangsungan pembangunan nasional serta menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat di beberapa daerah.

Konflik yang terjadi di Indonesia dinilai ada kaitannya dengan akar struktural. Namun, konflik tersebut tetap bersifat kultural. Terdapat 2 faktor, yaitu faktor struktural menyangkut ketidakadilan sehingga menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan. Sedangkan faktor kultural lebih mendominasi pada mentalitas komunal dan komudifikasi identitas. Melihat dinamika konflik yang ada serta permasalahan yang tidak kunjung selesai, diperlukan peranan negara sebagai institusi politik yang memiliki peranan besar dalam penyelesaian berbagai Konflik Sosial yang terjadi. Dalam legalitasnya, negara atau pemerintah memiliki peranan penting dalam menjalankan berbagai upaya melalui kebijakan atau aturan maupun undang-undang. Dalam mengatasi permasalahan sosial seperti Konflik Sosial sering terjadi di Indonesia tidak sedikit berakar pada kebijakan Otonomi Daerah yang bersebrangan dengan kehendak rakyat.

d. Keberadaan Payung Hukum. Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial menjelaskan bahwa Konflik Sosial, yang selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.

Undang-undang tersebut sebagai sebuah legalitas menjelaskan bahwa bagaimana pada akhirnya konfik sosial yang terjadi merupakan permasalahan negara mengingat dampak dari Konflik Sosial tersebut berimbas pada stabilitas nasional. Untuk itu, peranan negara dalam pencegahan dan penanggulangan konflik menjadi sesuatu yang urgent.

Sementara Pencegahan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem peringatan dini. Sementara Penghentian Konflik adalah serangkaian kegiatan untuk mengakhiri kekerasan, menyelamatkan korban, membatasi perluasan dan eskalasi konflik, serta mencegah bertambahnya jumlah korban dan kerugian harta benda.

Untuk itu, pencegahan konflik merupakan sebuah implementasi yang memerlukan banyak keterlibatan berbagai pihak seperti berbagai kementrian dan institusi pemerintah mengingat Konflik Sosial memiliiki pengaruh yang kuat dalam menciptakan kondisi keamanan dalam negeri. Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2013 menjelaskan bahwa kelancaran pembangunan nasional perlu didukung dengan menciptakan kondisi sosial, hukum, dan keamanan dengan menyertakan berbagai stake holder, baik pada level pemerintah pusat sampai pada Pemerintah Daerah sebagai pemegang tunggal kekuasaan di daerah dalam melaksanakan pengelolaan APBD. Keterlibatan Pemerintah Pusat seperti berbagai kementerian dan Pemerintah Daerah seperti Gubernur dan Bupati memiliki signifikansi yang sangat erat dalam keterkaiatn pemahaman permasalahan Konflik Sosial dan kolaborasi antar institusi dalam berbagai perumusan kebijakan sebagai solusi menangani permasalahan Konflik Sosial.Lokus penelitian ini mengambil wilayah provinsi Maluku dan Maluku Utara, yang mempunyai potensi terjadinya Konflik Sosial di daerah. Sejauh ini sudah terjadi beberapa Konflik Sosial, antara lain masyarakat di wilayah Oba yang notabene mendukung pemekaran Sofifi, pernah melakukan aksi intimidasi terhadap pegawai yang bekerja di lingkungan Kota Tidore Kepulauan, bahkan kantor Kecamatan di wilayah Oba pernah disegel oleh masyarakat. Untuk konflik ditingkat pemerintah (politik), keputusan DPRD dan pemerintah Kota Tidore Kepulauan menolak jika Sofifi dimekarkan, keputusan ini sesuai dengan mekanisme pemekaran wilayah berdasarkan PP No. 78 tahun 2007 (syarat administrative). Sementara itu, Pemerintah Provinsi terus berjuang agar Sofifi dapat segera dimekarkan dengan alasan bahwa layaknya sebuah Ibukota Provinsi harus dikepalai oleh Walikota bukan Camat. Oleh sebab itu pelaksanaan Otonomi Daerah yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat masih jauh dari harapan karena belum optimal realisasi pelaksanaanya.

Dengan uraian diatas dalam proses penyelenggaraan pemerintah yang mengacu kepada Undang-Undang Otonomi Daerah sangat riskan akan munculnya potensi Konflik Sosial yang kerap kali terjadi dalam masyarakat, untuk itu Balitbang Kemhan merasa perlu mengadakan penelitian tentang Keberhasilan Otonomi Daerah Dalam Upaya Mencegah Konflik Sosial di Daerah Maluku.2. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan uraian diatas maka peneliti mencoba mengurai kondisi yang terjadi saat ini dalam upaya merumuskan permasalahan yang harus di temukan solusinya, yaitu sebagai berikut:

a. Masih adanya kesenjangan ekonomi yang terjadi di masyarakat Maluku.

b. Diperlukan ketegasan aparat keamanan dalam bertindak.c. Lemahnya implementasi Undang-Undang tentang Otonomi Daerah.d. Belum optimalnya pengelolaan SDA yang ada untuk di gunakan sebagai peningkatan kesejahteraan rakyat.e. Tingkat pendidikan yang masih jauh dari kondisi ideal.f. Lemahnya pemahaman masyarakat dalam upaya pencegahan Konflik Sosial.g. Kurangnya partisipasi para pemuka adat, agama dan masyarakat dalam pencegahan Konflik Sosial.3. Perumusan Masalah

Dalam tulisan ini Konflik Sosial yang perlu dikaji terletak di berbagai wilayah di Indonesia, beberapa diantaranya Konflik Sosial yang terjadi di Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Konflik Sosial di wilayah tersebut telah terjadi beberapa kali dan menimbulkan permasalahan pada level provinsi dan nasional, berikut permasalahan yang di angkat dalam penelitian ini adalah :

a. Adakah korelasi antara keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah dengan terjadinya Konflik Sosial ?

b. Bagaimanakah model strategi yang tepat dalam pelaksanaan Otonomi Daerah dengan mengacu kepada undang-undang yang terkait dalam upaya mencegah konflik ?

c. Bagaimanakah pemahaman mengenai Otonomi Daerah bagi masyarakat serta aparatur Pemerintah Daerah dalam meminimalisir terjadinya konflik ?4. Tujuan dan Manfaat

a. Tujuan penelitian ini adalah:

1) Menganalisa proses terjadinya konflik dan karakter masyarakat di wilayah konflik.2) Menganalisa peranan tokoh masyarakat dalam Konflik Sosial yang terjadi di wilayah konflik.3) Menganalisa peranan stake holder dalam penyelesaian konflik.4) Mendapatkan gambaran detail mengenai konflik, karakter masyarakat, pemimpin masyarakat, dan peran stake holder dan menjadi landasan berpikir dalam membentuk model kebijakan pencegahan dan penanggulangan konflik.b. Manfaat dari penelitian ini adalah:

1) Memahami proses terjadinya konflik dan karakter masyarakat di wilayah konflik.2) Memahami peranan tokoh masyarakat dalam Konflik Sosial.3) Memahami peranana kinerja stake holder dalam proses penyelesaian konflik.5. Ruang Lingkup dan Sistematika Penulisan

Penelitian ini melingkupi beberapa wilayah yang menjadi fokus penelitian, yaitu Wilayah Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara. Sistematika penulisan akan dibagi kedalam 5 (lima) bab, yaitu:a. Bab I Pendahuluan

Bab ini akan membahas mengenai permasalahan yang diangkat serta spesifikasi permasalahan yang akan diteliti, batasan pembahasan di beberapa wilayah dan pembagian penulisan serta bab penelitian.b. Bab II Tinjauan PustakaBab ini bertujuan untuk memberikan kerangka pemikiran yang akan digunakan sebagai alat analisa dalam menjawab pertanyaan penelitian, serta menjelaskan penelitian terdahulu sebagai acuan sekaligus menggambarkan perbedaan fokus penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian terdahulu.c. Bab III Metode Penelitian

Bab ini memberikan gambaran tentang metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sekaligus menjelaskan teknik pengumpulan data dan analisa data dalam mengerjakan penelitian ini.d. Bab IV Analisa dan Pembahasan

Bab ini merupakan bab yang akan menjadi jawaban atas pertanyaan penelitian yang diajukan melalui deskripsi hasil penelitian dan pembahasan dengan menggunakan landasan teori yang digunakan.

e. Bab V Penutup

Bab ini menjadi bab yang memberikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan. Selain itu, bab ini juga akan menggambarkan model kebijakan dalam mengatasi permasalahan Konflik Sosial yang berhubungan dengan keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah.

6. Pengertiana. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas perbantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.b. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus urusan yang ada di daerah.c. Sumber Daya Nasional adalah sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan.d. Ketahanan nasional. Adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang berisikan keuletan dan ketangguhan yang mengandung unsur-unsur kemampuan dan keuletan nasional didalam menghadapi dan mengatasi tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan dalam mencapai tujuan nasional.

e. Konflik. Adalah segala bentuk interaksi yang bersifat oposisi atau suatu interaksi yang bersifat antagonistis (berlawanan, bertentangan atau berseberangan). Konflik terjadi karena perbedaan posisi sosial dan posisi sumber daya atau karena disebabkan sistem nilai dan penilaian yang berbeda secara ekstrim.BAB IITINJAUAN PUSTAKA7.Definisi Konseptual.a.Otonomi Daerah. Hakekat Otonomi Daerah adalah adanya kewenangan yang lebih besar dalam pengurusan maupun pengelolaan daerah termasuk di dalamnya pengelolaan keuangan. Mardiasmo (2002) memberikan pendapat bahwa dalam era Otonomi Daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pusat, tetapi benar-benar mempunyai keleluasaan untuk meningkatkan kreativitas dalam mengembangkan potensi yang selama era otonomi bisa dikatakan terpasung. Pemerintah Daerah diharapkan semakin mandiri, mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, bukan hanya terkait dengan pembiayaan, tetapi juga terkait dengan (kemampuan) pengelolaan daerah. Terkait dengan hal itu, Pemerintah Daerah diharapkan semakin mendekatkan diri dalam berbagai kegiatan pelayanan publik guna meningkatkan tingkat kepercayaan publik. Seiring dengan semakin tingginya tingkat kepercayaan, diharapkan tingkat partisipasi (dukungan) publik terhadap Pemerintah Daerah juga semakin tinggi.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan definisi desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pelaksanaanya, desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah dilaksanakan dengan menyerahkan urusan pemerintahan kepada daerah dengan memperhatikan kemampuan, keadaan dan kebutuhan masing-masing daerah untuk mewujudkan Otonomi Daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 84 tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan. Otonomi Daerah merupakan kekuasaan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan berpemerintah sendiri.b.Konflik Sosial. Menurut Lewis A. Coser, konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya. Lebih jauh lagi Coser menambahkan jika seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran Katolik pra-Konsili Vatican II) dan Gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan Gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun-tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.

Coser (1956: 41) kemudian melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara fihak-fihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan Konflik Sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur. Contohnya Badan Perwakilan Mahasiswa atau Panitia Kesejahteraan Dosen. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.

Coser mengungkapkan terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresi. Contohnya dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yyang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing-masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meinggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu. Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser (1956:62) mengatakan dalam buku Sosiologi Kontemporer halaman 113, yaitu:

Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan-hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relativ bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut.Coser (1956:72) juga mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.8. Definisi Operasional.a.Otonomi Daerah merupakan aturan mengikat suatu daerah dalam mengelola kepemerintahan yang di delegasikan dari pemerintah pusat dalam hal pengelolaa anggaran pendapatan asli daerah, pengelolaan sumber daya alam, peraturan daerah yang bertujuan mengangkat potensi daerahnya sendiri dengan harapan dapat mensejahterakan masyarakatb.Konflik Sosial merupakan fenomena dampak dari perbedaan atau perselisihan antar kelompok maupun individu yang mengakibatkan timbulnya korban baik itu materi maupun korban jiwa serta efek psikologis yang mendalam, sehingga merugikan bagi kedua belah pihak yang terlibat konflik, hal tersebut dapat berlangsung dalam kurun waktu yang pendek ataupun berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama.9. Hasil Penelitian yang Relevan.Dalam tulisan ini, terdapat penelitian terdahulu sebagai acuan dalam melihat penelitian-penelitian lain yang sudah dilakukan untuk menjadi referensi sekaligus melihat perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian-penelitian terdahulu yang sudah pernah dilakukan antara lain penelitian yang dilakukan oleh Balitbang Kementerian Pertahanan yang berkerjasama dengan Kemenristek yang berjudul Ragam Konflik di Indonesia, Corak Dasar dan Resolusinya, dan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama tahun 2003 dengan judul Agama Fragmentasi Politik dan Kekerasan Di Era Indonesia Kontemporer. Serta penelitian yang dilakukan oleh Universitas Sultan Ageng Tirtayasa bekerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia 2009.Penelitian pertama menekankan pada pendirian dan latar belakang budaya yang berbeda akan menggambarkan kepentingan yang berbeda pula. Perbedaan kepentingan ini yang kemudian akan memicu terjadinya konflik antar kelompok yang berbeda. Di sisi lain, konflik akibat perbedaan juga menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Salah satu Konflik Sosial yang terjadi adalah konflik premordialisme.

Konflik Sosial ini merupakan salah satu bukti bahwa komunikasi antar etnik, ras, agama, dan golongan masih potensi dan rentan mendorong terjadinya konflik-konflik. Perang antar suku di Papua bukan hanya cetusan sesaat melainkan menjadi tradisi setiap tahun. Konflik di Sambas, Maluku, Sampit, Poso, dan tempat-tempat lain pada awal masa reformasi dapat dipandang sebagai contoh-contoh pentingnya atribut etnik dan agama sebagai basis konflik-konflik. Kita dapat pula menengarai bahwa meredanya konflik-konflik pada waktu belakangan sesungguhnya menyimpan potensi meledak kembali karena batas-batas primordial, hubungan dan komunikasi antar etnik, ras, agama dan golongan belum digarap dengan maksimal.

Konflik etno-nasional atau etno-politik dapat didefinisikan sebagai konflik dimana pihak-pihak yang terlibat mendefinisikan dirinya dengan menggunakan kriteria komunal dan mengemuka tuntutan-tuntutan atas nama kepentingan kolektif kelompoknya terhadap negara, atau terhadap aktor komunal lainnya. Konflik etnis melibatkan gerakan-gerakan irredentist (pencaplokan), seccesionist (pemisahan), atau anti kolonial. Konflik etno-nasional berdasarkan tiga kriteria, yaitu; (1) konflik itu terjadi di dalam batas-batas wilayah suatu negara; (2) salah satu pihak yang berkonflik adalah pemerintah yang sedang berkuasa; dan (3) pihak oposisi mampu memberikan perlawanan yang terus menerus.Kajian ini meneliti ruang lingkup teori konflik. Bagian yang penting sekali adalah pengantar teori-teori musuh (enemy system), kebutuhan dasar manusia (human needs) dan resolusi konflik untuk menjelaskan konflik. Pembahasan teori konflik ini penting untuk memahami sifat konflik itu sendiri. Untuk menemukan pemecahannya (solusi) terhadap masalah-masalah yang nampaknya tidak kunjung hilang dari berbagai belahan dunia, wilayah teoritis ini perlu dibahas secara mendalam. Pengembangan-pengembangan dalam bidang ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi para peneliti untuk lebih memahami dan membantu mencari pemecahannya.

Penelitian kedua menggambarkan perbedaan agama dan aliran keagamaan yang ada mengandung potensi terjadinya konflik dalam kaitannya dengan hubungan antar pemeluk agama. Perbedaan agama ini menjadi penyebab timbulnya kerawanan hubungan antar umat beragama itu bersumber dari berbagai aspek antara lain :

1) Sifat dari masing-masing agama yang mengandung tugas dakwah/misi seperti Islam, Kristen dan Budha.

2) Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan pihak lain.3) Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam kehidupan masyarakat.4) Kecurigaan masing-masing pihak akan kejujuran pihak lain baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah.5) perbedaan yang cukup mencolok dalam status sosial, ekonomi dan pendidikan antara berbagai golongan agama.

6) Kurang adanya komunikasi antar pemimpin masing-masing umat beragama dan.

7) Kecenderungan fanatisme yang berlebihan yang mendorong munculnya sikap kurang menghormati bahkan memandang rendah pihak lain (Depag RI, 1980). Untuk mengatasi persoalan hubungan antar umat beragama tersebut maka dapat dikemukakan beberapa solusi, yaitu:

Pertama menumbuhkan sikap pluralis, sikap humanis dan sikap insklusif yang disertai dengan dialog-dialog antar umat beragama yang dilakukan secara terus menerus tidak saja di tingkat elit tetapi juga perlu dikembangkan di tingkat akar rumput.

Kedua pengembangan sikap setuju dalam perbedaan (agree in disagreement) yang disertai penggalian nilai-nilai universal dari masing-masing kelompok yang memiliki kesamaan sebagai titik awal melakukan kerja sama antar umat beragama.

Ketiga masing-masing kelompok umat agama hendaknya bisa menerima perbedaan, keragaman, kemajemukan dalam segala manifestasi dan bentuknya, termasuk keragaman dalam kepenganutan agama dan kemajemukan etnis.

Keempat masing-masing umat beragama hendaknya saling menghormati dan menghargai keyakinan dan kepercayaan agama yang berbeda dengan agama yang dipeluknya. Karena penghormatan dan penghargaan terhadap kepercayaan agama lain merupakan salah satu asas atau fondasi bagi terciptanya kerukunan dan toleransi antar umat beragama.

Fokus penelitian pertama yang melibatkan unsur adat dan keagamaan dan proses penyelesaian yang lebih mengarah pada kekentalan nilai adat istiadat, serta penelitian kedua yang melibatkan pemahaman nilai-nilai premordialisme sebagai dasar konflik yag berkembang, dan penelitian ketiga yang menekankan pada perbedaan agama sebagai salah satu pemicu terjadinya konflik, menjadi poin yang membedakan dengan penelitian yang akan dilakukan dimana unsur stakeholder dan proses konflik menjadi fokus dari penelitian ini.

Penelitian yang ketiga yang di laksanakan oleh Universitas Sultan Ageng Tirtayasa bekerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia 2009 yang merumuskan tentang Otonomi Daerah, Kesejahteraan Masyarakat, dan Kerjasama Pembangunan Antar Daerah. Otonomi Daerah dapat menjadi salah satu instrumen peningkatan laju pertumbuhan kesejahteraan masyarakat di Indonesia apabila pembangunan di daerah mengacu pada potensi daerah atau geografis, tata pemerintahan, terutama yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan itu sendiri, dengan melaksanakan prinsip standar pelayanan minimal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah yang menjamin peningkatan mutu pelayanan masyarakat secara merata sehingga kesejahteraan masyarakat menjadi semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antara daerah dengan daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Format ideal kerjasama pembangunan antar daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan, dalam bentuk badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusanbersama tanpa membebani masyarakat dan harus mendapatkan persetujuan DPRD. Setiap daerah berani bertukar pengalaman dengan daerah lain tanpa memandang rasa primodial yang berlebihan. Sehingga, aturan yang ideal haruslah mengacu pada nilai-nilai budaya, dengan tidak menghilangkan ruh kebangsaan. 10. Landasan Teori

a.Otonomi DaerahSyafrudin (1991:23) mengatakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Secara implisit definisi otonomi tersebut mengandung dua unsur, yaitu: adanya pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya; dan adanya pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri berbagai penyelesaian tugas itu.

Dalam kaitannya dengan kewajiban untuk memikirkan dan menetapkan sendiri bagaimana penyelesaian tugas penyelenggaraan pemerintahan, Sinindhia dalam Suryawikarta (1995:35), mengemukakan batasan otonomi sebagai kebebasan bergerak yang diberikan kepada daerah otomom dan memberikan kesempatan kepadanya untuk mempergunakan prakarsanya sendiri dari segala macam keputusannya, untuk mengurus kepentingan-kepentingan umum.

Dari berbagai batasan tentang Otonomi Daerah tersebut diatas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya otonomi merupakan realisasi dari pengakuan pemerintah bahwa kepentingan dan kehendak rakyatlah yang menjadi satu-satunya sumber untuk menentukan pemerintahan negara. Dengan kata lain otonomi menurut Magnar (1991: 22), memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi rakyat untuk turut serta dalam mengambil bagian dan tanggung jawab dalam proses pemerintahan. Manan (dalam Magnar, 1991:23) menjelaskan bahwa otonomi mengandung tujuan-tujuan, yaitu:

1) Pembagian dan pembatasan kekuasaan. Salah satu persoalan pokok dalam negara hukum yang demokratik, adalah bagaimana disatu pihak menjamin dan melindungi hak-hak pribadi rakyat dari kemungkinan terjadinya hal-hal yang sewenang-wenang. Dengan memberi wewenang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, berarti pemerintah pusat membagi kekuasaan yang dimiliki dan sekaligus membatasi kekuasaanya terhadap urusan-urusan yang dilimpahkan kepada kepala daerah.

2) Efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Adalah terlalu sulit bahkan tidak mungkin untuk meletakkan dan mengharapkan Pemerintah Pusat dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya terhadap segala persoalan apabila hal tersebut bersifat kedaerahan yang beraneka ragam coraknya. Oleh sebab itu untuk menjamin efisiensi dan efektivitas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, kepada daerah perlu diberi wewenang untuk turut serta mengatur dan mengurus pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dalam lingkungan rumah tangganya, diharapkan masalah-masalah yang bersifat lokal akan mendapat perhatian dan pelayanan yang wajar dan baik.

3) Pembangunan-pembangunan adalah suatu proses mobilisasi faktor-faktor sosial, ekonomi, politik maupun budaya untuk mencapai dan menciptakan perikehidupan sejahtera.

4) Dengan adanya pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus urusan dan kepentingan rumah tangga daerahnya, partisipasi rakyat dapat dibangkitkan dan pembangunan benar-benar diarahkan kepada kepentingan nyata daerah yang bersangkutan, karena merekalah yang paling mengetahui kepentingan dan kebutuhannya.

Dengan penetapan UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dan menghasilkan UU No. 32/2004, menunjukkan bahwa Indonesia telah memasuki babak baru menuju ke arah proses desentralisasi & Otonomi Daerah. Dalam perkembangannya, muncul dinamika di mana setiap daerah berlomba-lomba membangun daerahnya. Koordinasi dengan pemerintah propinsi tidak jalan, demikian pula halnya dengan daerah tetangga. Dinamika tersebut mengakibatkan ego sektoral dari setiap daerah muncul. Pemerintah Daerah disibukkan proyek pembangunan daerahnya masing-masing. Daerah yang sumber daya alamnya melimpah dengan mudahnya melakukan kegiatan pembangunan, sementara daerah yang miskin sumber daya alam hanya menggantungkan harapan pada Dana Alokasi Umum (DAU) dari pusat dan memperbanyak sumber pendapatan melalui pungutan-pungutan yang diberi label pajak.

Beberapa daerah mengakui bahwasannya daerah mereka memiliki keterbatasan kapasitas dalam berbagai hal, kondisi ini didasari berdampak pada lambatnya pembangunan bahkan tidak tercapainya tujuan mensejahterakan masyarakat. Berdasarkan kondisi tersebut mau tidak mau daerah harus berpikir strategis untuk meningkatkan nilai keunggulan daerahnya dengan mengandalkan keterbatasan sumber daya yang dimilikinya, baik itu dari segi pendanaan, infrastruktur, teknologi, maupun sumber daya manusianya. Belum lagi permasalahan internal wilayah, berupa primordialisme alih-alih dapat bersaing justru memperburuk kondisi pembangunan wilayah dikarenakan daerah satu dengan daerah lain tidak mampu bersinergis secara positif di dalam membangun keunggulan bersama yang pada akhirnya dapat mensejahterakan masyarakat. Fenomena tersebut bisa mengakibatkan kesatuan wilayah kita bisa terpecah-pecah dan mengarah ke disintegrasi (Thres Sanctyeka, 2009).

Lebih lanjut Budiman menguraikan bahwa kekhawatiran terhadap melemahnya kohesitas serta kesatuan wilayah akibat munculnya ego sektoral setiap daerah menjadikan pemerintah membuat sebuah mekanisme penyeimbang atau penyaluran agar dampak negatif yang ditimbulkan tidak berakibat kontra produktif terhadap cita-cita dari Otonomi Daerah. Kesadaran terhadap berkembangnya dampak negatif ini kemudian direspon oleh pemerintah dengan mengamanatkan pengaturan tentang networking melalui sebuah kerjasama antar daerah, yaitu UU No 32 tahun 2004 dan tiga tahun kemudian lahirlah aturan dibawahnya setingkat PP No 50 thn 2007 tentang tata cara pelaksanaan kerjasama daerah. Dan pada tahun 2009 mendagri mengeluarkan petunjuk teknisnya yang merupakan deviasi dari PP No 50 thn 2007, yaitu permendagri 22/2009 tentang petunjuk teknis kerjasama daerah serta Permendagri 23/2009 tentang Pembinaan dan Pengawasan Kerjasama Antar Daerah. Semua regulasi tersebut bertujuan sebagai payung hukum sebagai dasar gerak Pemerintah Daerah di dalam melakukan kerjasama dengan daerah lain.Akhir masa persidangan II DPR RI tahun sidang 2012-2013 berakhir dengan disahkannya tujuh Daerah Otonom Baru (DOB) baru. Tujuh DOB itu adalah Mahakam Ulu (Kaltim), Malaka (NTT), Mamaju Tengah (Sulbar), Banggai Laut (Sulteng), Pulau Taliabu (Malut), Penukal Abab Lematang Ilir (Sumsel), dan Kolaka Timur (Sultra). Tujuh DOB ini menambah lima DOB yang sudah disahkan terlebih dulu pasca masa persidangan I tahun sidang 2012-2013, yaitu Provinsi Kalimantan Utara, Pesisir Timur Barat (Lampung), Pangandaran (Jabar), serta Pengunungan Arfak dan Manokwari Selatan (Papua Barat) .Demokrasimensyaratkan partisipasi masyarakat.Aspirasi politik harusnya dihidupkan sejak awal, yaitu muncul dari daerah-daerah,sertatidak hanya dikooptasi oleh kepentingan-kepentingan elit atau masyarakat urban saja. Untuk itu, kelangsungan Otonomi Daerah menjadi sangat esensial bagi transisi demokrasi bangsa ini pasca rezim otoritarian. Sayangnya, pelaksanaan Otonomi Daerah yang ditandai dengan lahirnya 205 DOB (sampai 2009) dianggap gagal.Presiden SBY mengatakan 80 persen dari DOB selama 10 tahun terakhir kurang berhasil dan justru menimbulkan masalah baru. Mendagri pun dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa 70 persen DOB belum berhasil mencapai tujuan.

Tidak hanya itu, lahirnya DOB kerap menyisakan sengketa di daerah, salah satunya terkait batas wilayah. Dari 57 DOB yang dibentuk pada 2007-2009, misalnya, muncul 187 sengketa batas wilayah, yang terkadang mengakibatkan munculnya konflik horizontal. Sengketa lainnya yang berpotensi melahirkan konflik adalah terkait pemilihan kepala daerah. Sudah tidak terhitung berapa banyaknya konflik antarwarga yang terjadi karena Pemilukada. Padahal, pemilihan pemimpin daerah secara langsung merupakan salah satu indikator dari keberhasilan demokrasi dari bawah. Daerah harusnya menjadi awalan baik bagi keseluruhan proses demokrasi bangsa ini, sampai ke tingkat paling atas.

Pertanyaan besarnya adalah, apakah masyarakat kita mampu berdemokrasi dengan baik? Bukankah budaya gotong royong,tepo seliro, dan musyawarah, serta kearifian lokal selalu jadi panutan bangsa dalam bertindak? Mengapa sekarang malah konflik yang dijadikan solusi bagi rakyat dalam menyalurkan aspirasinya? Subordinasi yang berlangsung lama menjadi penyebab ketergantungan daerah sangat tinggi. Maka, pada saat terjadi perubahan sistem yang sentralistik menjadi desentralisasi, daerah kurang memiliki kesiapan terutama dalam hal mengambil inisiatif dalam menentukan kebijakan. Tentu saja desentralisasi dan Otonomi Daerah mengandung berbagai konsekuensi, diantaranya adalah mentalitas dan kapasitas Pemerintah Daerah yang harus memadai sehingga dapat menjamin pelaksanaan desentralisasi secara maksimal. Dengan kewenangan yang cukup besar berada di tangan Pemerintah Daerah, berarti Pemerintah Daerah memiliki keleluasaan sekaligus tanggung jawab yang lebih besar daripada sistem yang berlangsung sebelumnya.Menurut Pheni kendala sumber daya manusia hingga saat ini masih membayang-bayangi kinerja aparat Pemerintah Daerah. Maka, tidak mengherankan jika pada saat ini, muncul persoalan-persoalan seperti batas wilayah, ketidakharmonisan hubungan antar institusi pusat- daerah, berbagai konflik horizontal yang dipengaruhi oleh konfigurasi etnis atau sentimen primordial dan berbagai kebijakan untuk meningkatkan pendapatan daerah yang cenderung memberatkan rakyat. Dalam situasi yang serba terkungkung selama lebih dari tiga puluh tahun, tiba-tiba daerah memiliki kewenangan yang sedemikian besar. Implikasi dari pelimpahan wewenang tersebut di sebagian daerah menimbulkan munculnya kembali chauvinisme kedaerahan seperti munculnya kekuatan-kekuatan kelompok aristokrasi dalam politik lokal, kekuatan yang di masa Orde Baru ditekan.

Kepentingan yang berorientasi pada kekuasaan politis dan penguasaan aset daerah menjadi persoalan yang kerap mencuat dalam masa transisi pelaksanaan desentralisasi dan Otonomi Daerah. Konflik kepentingan berupa penguasaan aset seringkali menjadi kerikil dalam perjalanan proses desentralisasi. Gejala etno-sentrisme mulai muncul pada saat meledaknya kerusuhan berlatar belakang etnis di beberapa wilayah seperti Sampit, Poso, Ambon dan di beberapa daerah pemekaran. Bahkan pada saat dipilihnya Kepala Daerah berdasarkan UU No. 22/1999 di tahun 2000, isu PAD (Putra Asli Daerah) merebak. Tuntutan dipilihnya Gubernur, Bupati serta Walikota Putra Asli Daerah bahkan masuk ke dalam tata tertib DPRD. Ini menunjukkan bahwa isu Putra Daerah merupakan isu yang paling sentisitf dan berpotensi mengganggu hubungan baik antara pendatang tetapi telah lama berdomisili di tempat tersebut dan mengenal secara baik daerah tersebut. Orang-orang yang potensial dan berkualitas tetapi bukan Putra Daerah akan cenderung tersingkir dalam proses politik di daerah dan hanya akan mendapat peran pinggiran saja. Proses ini selanjutnya akan mengarah pada penurunan kualitas Kepala Daerah jika persyaratan utama menjadi Kepala Daerah bertumpu pada kriteria putra asli daerah.Salah satu fakta yang kemudian merebak pasca kebijakan otonomi daerah di Indonesia adalah fenomena pemekaran daerah. Dengan alasan memanfaatkan peluang untuk mengelola daerah secara mandiri, maka hal ini memicu terjadinya pemekaran di berbagai wilayah di Indonesia, sehingga fenomena yang menyertai pelaksanaan Otonomi Daerah sejak tahun 2000 adalah munculnya daerah-daerah baru hasil pemekaran. Menurut penelitian Decetralization Support Facility (2007) ada dua klasifikasi faktor yang memunculkan pemekaran daerah, yaitu faktor pendorong dan faktor penarik. Berbagai faktor penyebab yang mendorong munculnya pemekaran yaitu: faktor kesejarahan, ketimpangan pembangunan, luasnya rentang kendali pelayanan publik dan tidak terakomodasinya representasi politik. Sedangkan faktor penyebab pemekaran yang berupa penarik adalah limpahan fiskal yang berasal dari APBN berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) .Dari penelitian Zuly dan Tanjung bahwa Provinsi Maluku Utara merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi konflik yang sangat besar yang berkaitan dengan daerah pemekaran. Paling tidak menurut mereka ada dua titik konflik yang hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Titik konflik pertama adalah yang terjadi antara Kabupaten Halmahera Barat dan Kabupaten Halmahera Utara yang melibatkan wilayah enam desa sengketa, yaitu Desa Pasir Putih, Desa Bobane Igo, Desa Tetewang, Desa Akelamo Kao, Desa Akusahu, dan Desa Dum-Dum.Konflik ini sifatnya menahun karena semenjak terbentuknya Kabupaten Halmahera Utara pada tahun 2003 hingga saat ini, persoalan tidak kunjung usai. Masing-masing pemerintah kabupaten berupaya agar masyarakat di enam desa sengketa tadi mau menjadi bagian dari wilayah kabupaten masing-masing yang saling bersengketa. Meskipun sudah turun Surat Keputusan Mendagri pada tahun 2010 yang menegaskan bahwa enam desa masuk menjadi wilayah Halmahera Utara, belum juga ada tanda-tanda bahwa Kabupaten Halmahera Barat akan menyerahkan wilayah enam desa sengketa tadi kepada Kabupaten Halmahera Utara dengan sukarela.Titik konflik kedua terjadi di Sofifi, yaitu daerah yang saat ini secara administratif merupakan wilayah Kota Tidore Kepulauan. Sofifi adalah wilayah yang dalam UU No. 46 Tahun 2011 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat disebutkan sebagai Ibukota Provinsi Maluku Utara. Bahkan bulan Agustus 2010 lalu Presiden telah meresmikan Sofifi sebagai Ibukota Provinsi Maluku Utara.

Dua spot konflik terkait pemekaran daerah di Provinsi Maluku Utara itulah yang sampai hari ini belum mampu terselesaikan meskipun berbagai pihak telah berupaya memfasilitasi. Jelas ini memancing banyak pertanyaan untuk bisa dijawab. Ada banyak faktor, aktor dan kepentingan yang bermain sehingga upaya penyelesaian konflik tidak sesederhana yang dibayangkan banyak pihak. Berangkat dari permasalahan itulah maka penelitian ini dilakukan.

Terlepas dari permasalahan yang dialami banyak daerah otonom baru hasil pemekaran, juga terlepas dari semakin ketatnya persyaratan untuk memekarkan daerah, pada kasus pemekaran provinsi dan kabupaten/kota, peraturan perundang-undangan yang berlaku paling tidak telah menyediakan struktur dan mekanisme yang akan memandu, memfasilitasi, serta mengevaluasi kinerja daerah baru hasil pemekaran secara lengkap dan runtut. Artinya, ada peraturan perundangan yang tingkat kepastiannya tinggi yang akan menjadi aturan main, baik dalam pemekaran provinsi maupun kabupaten/kota. Jika aturan main tersebut diikuti, maka dapat dipastikan bahwa pemekaran daerah tidak akan membawa persoalan yang berarti.Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zuly Qodir & Tunjung Sulaksono, Politik Rente dan Konflik di Daerah Pemekaran : Kasus Maluku Utara penulis menyimpulkan bahwa tujuan dari Pemekaran di Daerah Maluku Utara sebenarnya bertujuan meningkatkan taraf hidup dan pembangunan daerah setempat, ternyata banyak kelemahan yang terjadi di lapangan, di mana pemerintah lemah dalam memperketat pemekaran, contohnya banyak daerah yang dimekarkan, tapi gagal mempercepat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemerintah selain memperketat aturan main diatas, juga perlu mengevaluasi pemekaran wilayah yang sudah berjalan. Hal ini penting untuk melihat pemekaran yang bisa dikembangkan dan pemekaran yang harus didegradasiSelanjutnya, kriteria pemekaran mesti dirumuskan kembali secara detail guna menghindari pemekaran wilayah yang tidak selaras dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, pertimbangan menyeluruh melalui rangkaian kajian/penelitian lebih lanjut harus secara sungguh-sungguh untuk menemukan jawaban bahwa sesungguhnya pemekaran wilayah dengan jalan pembentukan wilayah baru (hasil penggabungan, pemekaran, atau penghapusan) adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar, dengan pertimbangan utama lebih terjaminnya kemaslahatan penduduk di masa depan.b.Konflik SosialKonflik Sosial merupakan sebuah kejadian yang tidak terjadi begitu saja, namun lebih disebabkan oleh proses sosial antar individu dan kelompok atau grup. Konflik dapat dipahami sebagai hasil dari keinginan manusia untuk mempertahankan diri dan mencapai kekuasaan.Sebagai sebuah hasil dari proses sosial, konflik menjadi salah satu proses interaksi yang seringkali terjadi di setiap level dan lingkup masyarakat. Namun bukan berarti konflik terjadi begitu saja dan tidak memiliki proses penyelesaian.

Secara spesifik, konflik melahirkan bentuk kekerasan di dalam lingkup sosial, baik konflik etnis, agama, jender dan konflik-konflik lainnya. Begitu banyak jenis konflik yang terjadi dan berkembang di dalam masyarakat, namun tetap saja faktor kepentingan memainkan peranan sentral dan bahkan terkadang menjadi dasar munculnya konflik. Konflik kepentingan menjadi sebuah istilah yang seringkali menjadi alasan utama mengapa konflik di masyarakat bermunculan.

Dalam beberapa sumber, dijelaskan bahwa konflik kepentingan memiliki pengertian yang berbeda-beda, dan bahkan kepentingan itu sendiri dapat diterjemahkan dalam bentuk yang sangat berbeda-beda. Secara umum, konflik yang berkembang di masyarakat disebabkan oleh distribusi kelangkaan sumber daya, menetapkan dan memaksakan aturan yang tidak sesuai, mengejar nilai-nilai yang tidak sesuai. Distribusi kelangkaan sumber daya lebih menekankan nilai ekonomis dan kebutuhan hidup yang menjadi kebutuhan dasar di dalam masyarakat. Sedangkan aturan yang dipaksakan lebih menekankan pada bentuk dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lainnya sehingga terjadi disparitas dominasi yang cenderung mengarah pada bentuk perimbangan atau justru sebaliknya akan mengalami ketimpangan. Terakhir, nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat melahirkan perbedaan nilai-nilai yang dianut dan memicu terjadi perbedaan yang mengarah pada pengkotak-kotakan identitas.

Pembahasan mengenai Konflik Sosial juga tidak terlepas dari bentuk solidaritas dari grup atau group solidarity yang menghasilkan perilaku konflik atau conflict behaviour. Rasa solidaritas antar individu di dalam suatu kelompok atau antar kelompok akan sangat mempengaruhi perilaku konflik. Secara spesifik dan simultan, jika level solidaritas konflik meningkat maka kesempatan memunculkan perilaku konflik juga berjalan selaras.

Struktur konflik meliputi 3 (tiga) bagian, yaitu sikap, tabiat/tingkah laku, dan situasi yang berinteraksi dan menciptakan konflik antar aktor. Struktur ini yang kemudian menjelaskan bagaimana proses konflik muncul dan berkembang di dalam masyarakat atau individu dan kelompok yang saling menyerang satu sama lain.Gambar 1. Struktur Konflik

Adanya perilaku konflik yang berkembang di masyarakat lebih disebabkan oleh 6 alasan utama, yaitu:

1) Tidak mendapatkan tujuan yang sesuai2) Peningkatan rasa solidaritas yang tinggi satu sama lain atas kesamaan nasib

3) Pengorganisasian pergerakan untuk berkonflik4) Memobilisasi segala sumber daya 5) Munculnya rasa permusuhan terhadap lawan-lawannya6) Terdapatnya sumber daya materi yang cukupSelain itu, peran serta pemimpin di dalam kelompok memiliki pengaruh besar dalam menyepakati sikap provokatif dari beberapa individu dan jika mendapatkan dukungan maka proses pengumpulan atau pengorganisasian massa akan tak terbendung.

Di sisi lain, munculnya Konflik Sosial lebih didasari oleh ketakutan akan keamanan yang diakibatkan oleh sulitnya menghadapi kekerasan sehingga individu atau kelompok masyarakat menjadi gelisah, peran negara melemah, dan konflik menjadi sering terjadi. Bentuk kekerasan yang menjadi karakter utama di dalam konflik menjadi akan sangat menakutkan jika bentuk kegelisahan semakin berkembang dan dirasakan beberapa pihak, sementara di sisi lain, peranan pihak yang dianggap memiliki kemampuan dan kewenangan dalam menyelesaikan permasalahan konflik justru tidak berperan. Hal ini yang kemudian menambah semakin sulitnya penyelesaian konflik dijalankan. Dengan memahami konflik secara mendalam, akan sangat membantu bagi pihak-pihak yang berupaya mencari solusi dan memediasi penyelesaian konflik. Dalam penyelesaian konflik, diperlukan berbagai upaya seperti:

1) Pentingnya me-manage pihak yang lebih dominan

2) Menambah peluang ekonomi

3) Menanggulangi ketidakmampuan pemerintah dalam memproteksi pihak minoritas

Dalam optimalisasi Otonomi Daerah, kebijkan diperlukan guna mengembangkan kekuatan melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang serasi, seimbang dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh, menyeluruh dan terpadu berlandaskan Pancasila, UUD RI tahun 1945, dan Wawasan Nusantara. Sebagai suatu pedoman, konsepsi ketahanan nasional Indonesia dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan pembangunan daerah mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi. Sebagai pola dasar pembangunan nasional, konsepsi ketahanan nasional pada hakikatnya merupakan arah dan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang meliputi segenap bidang dan sektor pembangunan secara terpadu, yang dilakukan melalui rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).

11. Kerangka Pemikiran.Pemekaran daerah merupakan bagian dari konsep yang lazim dalam pemerintahan daerah. Apalagi pemerintahan daerah yang berpijak pada Otonomi Daerah, sehingga pemekaran seakan-akan identik dengan desentralisasi dan Otonomi Daerah. Konsep desentralisasi dan Otonomi Daerah sendiri sebenarnya masih menyisakan banyak perdebatan, khususnya dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan yang diharapkan memiliki ciri-ciri pelayanan publik (masyarakat) yang lebih efisien, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, pemerintahan yang kredibilitasnya dapat dipertanggungjawabkan, pemerintahan yang memiliki sensitivitas atas sosial, budaya dan etnisitas, serta pemerintahan yang melibatkan partisipasi masyarakat secara luas, khususnya dalam pembuatan kebijakan publik.Pemekaran dengan demikian secara konseptual tidak boleh meninggalkan tiga aspek penting, yakni: aspek sosial budaya, yang diharapkan dapat menjembatani adanya identitas-identitas lokal (etnis), dan akan berpengaruh pada kebijakan-kebijakan yang hendak diambil dalam menentukan pembangunan; aspek sosial politik, yang diharapkan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan karena rentang jarak kendalinya yang lebih pendek; dan aspek sosial ekonomi, yang diharapkan akan mampu menciptakan efisiensi dan efektivitas dalam proses pembangunan daerah, karena itu kebijakan yang diambil dapat merespons kebutuhan- kebutuhan masyarakat secara cepat dan tepat.Kata kunci pemekaran dengan begitu adalah rentang kendali pemerintahan yang lebih pendek (terdesentralisasi), partisipasi masyarakat yang lebih luas, dan daerah dengan mandiri dapat menentukan kebijakan pembangunan wilayahnya. Di sini letak pemerintahan sebagai pengelola merupakan sesuatu yang sangat penting maknanya. Pemekaran dengan demikian diharapkan mampu makin menambah partisipasi masyarakat, pertanggung jawaban Pemerintah Daerah semakin nyata, pembangunan sesuai dengan kebijakan daerah dan kesejahteraan masyarakat semakin nyata adanya.Di sisi lain pengelolaan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah secara yuridis memerlukan batasan ruang wilayah yang jelas dan tegas di lapangan sehingga ada kejelasan dan ketegasan untuk pengelolaan berbagai sumberdaya yang berada di suatu wilayah seperti sumber daya alam, penduduk, dan pertanahan. Dari beberapa pengalaman empirik yang ada ketidak tegasan batas wilayah di lapangan menjadi salah satu penyebab konflik antar daerah seperti konflik pengelolaan sumberdaya alam.Namun dalam praktiknya pemekaran di Indonesia seringkali memunculkan kesenjangan yang kuat antara tujuan positif pemekaran di satu pihak dengan kondisi lapangan di lain pihak dengan berbagai alasan, sehingga menimbulkan persoalan konflik kekerasan di daerah pemekaran. Persoalan pemekaran juga seringkali muncul karena adanya konflik yang menyebabkan kurang berjalannya pelayanan publik dengan efektif dan efisien. Inilah hal yang perlu mendapatkan perhatian, dimanakah sebenarnya terletak persoalan tersebut.BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN12.Metode Penelitian.Dalam penelitian ini memakai metode kuantitatif dan metode kualitatif. Untuk mengetahui adanya korelasi/hubungan antara dua variabel yaitu variabel Otonomi Daerah dengan variabel pertahanan negara menggunakan metode regresi korelasi, dengan tujuan untuk menjelaskan tingkat hubungan antar variabel yang satu dengan variabel lainnya, dengan demikian tidak menunjukkan hubungan sebab akibat dari variabel yang ada.

Selanjutnya untuk mendapatkan strategi dalam menganalisa pengaruh variabel yang ada dengan menggunakan analisa deskriptif kualitatif dengan analisis SWOT, dimana analisis ini dilakukan untuk dapat melakukan identifikasi terhadap kekuatan dan kelemahan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan internal serta peluang dan ancaman yang berasal dari lingkungan eksternal. Manfaat analisis ini sebagai bahan acuan untuk memperkuat kekuatan dan memanfaatkan peluang serta meminimalkan kelemahan dan menetralkan ancaman yang ada.

Maksud dari penelitian deskriptif kualitatif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek dan obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, angka ataupun bukan angka-angka yang berasal dari naskah wawancara, catatan-lapangan, foto, video, dokumen pribadi, catatan, hingga dokumen resmi, dan lainnya (Moeleong, 1998:6). Keunggulan dari penggunaan metode deskriptif kualitatif adalah masalah yang dikaji tidak sekedar berdasarkan laporan pada suatu kejadian atau fenomena saja, melainkan juga dikonfirmasi dengan sumber-sumber lain yang relevan.

a.Jadwal Penelitian. Pelaksanaan waktu penelitian ini selama 10 bulan, dimulai bulan Februari hingga Nopember 2014. Berikut jadwal yang disusun :

Table 1Jadwal Penelitian Kajian Keberhasilan Otda Dalam Upaya Mencegah Konflik SosialNOKEGIATANBULAN KE

234567891011

1.Studi Literatur

2.Identifikasi Masalah

3.Pengumpulan Data

4.Analisis Data

5.Penyusunan Naskah Kajian

6.Penyusunan Laporan

7.Presentasi Hasil Penelitian

b.Pengukuran Variabel

1)Instrumen penelitian Otda (X) dan Konflik Sosial (Y) berupa kuisioner dengan scoring model Likert yang diisi oleh responden pada angket/kuesioner yang dibagikan. Skala Likert terdiri dari lima skala yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Ragu-Ragu (R), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS) dengan bobot nilai untuk pernyataan positif maupun negatif seperti pada tabel di bawah ini :

Tabel 2. Pembobotan NilaiUntuk Jawaban Responden Terhadap Kuesioner

Pilihan JawabanPernyataan PositifPernyataan Negatif

Sangat Setuju (SS)51

Setuju (S)42

Ragu-Ragu (R)33

Tidak Setuju (TS)24

Sangat Tidak Setuju (STS)15

2)Penyusunan instrumen penelitian dari tiap-tiap variabel bebas dan terikat dengan kisi-kisi sebagai berikut :

Tabel 3.Kisi-Kisi Instrumen PenelitianVariabelDimensiIndikatorButir Pernyataan Jumlah Pernyataan

( + )( - )Total

Otonomi Daerah (X)HakPengelolaan sumber daya daerah6,3,4164

Pengelolaan pemerintahan1,2,5,1314,156

KewenanganApirasi daerah7,844

Peraturan daerah7,9,10194

KewajibanTingkat pemahaman masyarakat18,17-2

Kesejahteraan masyarakat20,11-2

Jumlah161420

Konflik Sosial (Y)Konflik HorizontalFanatisme1,17-2

Antar kelompok7,11-2

Konflik VertikalKebijakan2,94,6,125

Politik dan elit10,14,168,13,186

Konflik KomunalSara5151

Sosial19,2032

Jumlah12820

13.Teknik Pengumpulan Data.a.Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilakukan di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara.

b.Jenis Data Jenis data yang dipergunakaan adalah data kualitatif dan kuantitatif, dan data yang akan diperoleh diklasifikasikan berdasarkan sumbernya, sumber tersebut adalah :

1)Data Primer. Menurut S. Nasution data primer adalah data yang dapat diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian menurut Lofland bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan merupakan sumber data yang diperoleh dari lapangan dengan mengamati atau mewawancarai. Peneliti menggunakan data primer ini dengan cara terjun langsung ke lokus penelitian yang menjadi sasaran pengumpulan data yaitu wilayah Provinsi Maluku Utara, serta melibatkan informan sebagai objek yang di wawancara yaitu masyarakat yang terlibat langsung dalam permasalahan Otonomi Daerah dan konflik sosial yang terjadi diwilayah penelitian ini. Untuk melengkapi data yang bersifat deskriftif, tim juga mengumpulkan data berupa kuisioner yang di sebar ke berbagai instansi.

2)Data Sekunder.Sedangkan data sekunder adalah data-data yang didapat dari sumber bacaan dan berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari media cetak ataupun media elektronik, media cetak itu sendiri dari berbagai literature buku, majalah, makalah atau bulletin. Sedangkan media elektronik berupa internet baik itu website, blogs ataupun alat telekomunikasi.

c.Unit Analisis. Dalam penyusunan penelitian ini, penulis menggunakan unit analisis Instansi-intansi yang terkait dengan pencegahan dan penanggulangan konflik komunal dalam hal ini yang menjadi unit analisis penulis adalah instansi diwilayah pengumpulan data yang telah ditetapkan yaitu terdiri dari dua lokus yaitu Provinsi Maluku serta Maluku Utara di wilayah pengumpulan data:

Table 4. Unit Analisis

NOINSTANSIJENIS DATA

1.a. Intel Kodam

b. Tokoh Masyarakat

c. Bag ops PoldaData mengenai pencegahan konflik komunal di wilayah Provinsi Maluku Utara

2.a. Aster Kodam

b. Bagian Operasi Polres

c. Tokoh MasyarakatData mengenai penanggulangan konflik komunal di wilayah Bali dan Nusa Tenggara

3.Badan Kesbangpol Linmas wilayah Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku UtaraData geografis, kependudukan dan tingkat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara

4.a. Tokoh Masyarakat

b. Tokoh Agama

c. Satuan Keamanan AdatData mengenai Permasalahan konflik yang pernah terjadi di wilayah Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara

5.a. Pemda wilayah Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara

b. BPS di wilayah Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku UtaraData mengenai batas demarkasi daerah kabupaten di wilayah Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara

b.Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang di pergunakan dalam penelitian Keberhasilan Otonomi Daerah Dalam Upaya Mencegah Konflik Sosial di Daerah Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara adalah : 1)Wawancara. Merupakan proses untuk memperoleh keterangan untuk mencapai tujuan penelitian dengan cara melakukan tanya jawab responden atau pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.

2)Observasi. Merupakan pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung pada objek penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam hal ini, peneliti mengamati secara langsung keadaan lokasi penelitian. 3)

Kuesioner. Pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menyebarkan daftar pertanyaan kepada responden yang berkaitan dengan tujuan penelitian. 4)Studi Pustaka. Studi pustaka yaitu pengumpulan data atau informasi dengan menggunakan buku-buku yang berhubungan dengan penelitian dan bertujuan untuk menemukan teori, konsep, dan variabel lain yang dapat mendukung penelitian. Di dalam metode studi pustaka ini, peneliti mencari data melalui referensi-referensi, jurnal dan artikel di internet.

c.Penentuan Sampel. Sampel penelitian ini adalah Aparat Pemda, Aparat TNI, Aparat Kepolisian, Tokoh Masyarakat dan Agama di Provinsi Maluku serta Maluku Utara.

Teknik pengambilan sampel yang dipilih melalui purposive sampel dengan mempertimbangkan alasan keterbatasan waktu, tenaga dan dana sehingga tidak mengambil sampel yang besar dan jauh. Namun tetap mematuhi syarat, antara lain:

1) Pengambilan sampel didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu, yang merupakan ciri-ciri pokok populasi;

2) Subyek yang diambil merupakan sampel yang benar-benar merupakan subyek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi (key subyectis);

3) Penentuan karakteristik populasi dengan cermat didalam studi pendahuluan. (Prof. Dr. Suharsini Arikunto Prosedur Penelitian studi Pendekatan Praktek, hal 183, Jakarta, 2010).

Adapun rincian sampel terpilih ditetapkan dari dua wilayah provinsi di Maluku masing-masing 50 responden sebagai berikut :

Tabel 5. Jumlah Sampel Penelitian (orang)

NoKota/ProvinsiRespondenJML

PemdaTNIPolisiTomasToga

1Provinsi Maluku101010101050

2Provinsi Maluku Utara101010101050

Jumlah5050505050100

14.Teknik Analisa Data.

a.Analisa Korelasi. Analisis data dilaksanakan dengan korelasi. Korelasi tidak menunjukkan hubungan sebab akibat, namun korelasi menjelaskan tingkat hubungan antar variabel yang satu dengan lain dengan rumus :

N XY ( X )( Y)

r (XY)= -----------------------------------------

V{N(X2 (( X )2} {N y2-( y2 }

Sumber : Sugiyono (2004,242)

Keterangan :

r : koefisien Korelasi antara X dan Y

X : Variabel Bebas ( indenpendent variabel)

Y : Variabel Terikat (dependent variabel)

n : Jumlah sampel

Setelah diketahui korelasinya, maka sebagai panduan dalam menganalisa seberapa besar hubungan antar variabel yang diuji, maka dapat digunakan pedoman pada tabel sebagai berikut :Tabel 6. Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi

Interval KoefisienTingkat Hubungan

0,00 0,19

0,20 0,39

0,40 0,59

0,60 0,79

0,80 1,00Sangat Lemah

Lemah

Sedang

Kuat

Sangat Kuat

Sumber : Sugiyono, 2004 : 214

b.Analisa SWOT. Menurut Freddy Rangkuti, 2005, Analisis SWOT digunakan untuk mejnganalisa permasalahan. SWOT adalah analisis yang di gunakan untuk membandingkan antara faktor eksternal (peluang, ancaman) dan faktor internal (kekuatan, kelemahan) yang tergambar dalam bagan SWOT sebagai berikut:

1)Kuadran I Atau Kuadran Ekspansi/Agresif. Merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Organisasi memiliki keunggulan baik dalam kekuatan internal maupun peluang eksternal, sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada, strategi atau kebijakan yang harus diambil organisasi adalah yang bersifat mendukung pertumbuhan agresif (Growth Oriented Strategy) atau melakukan ekspansi.

2)Kuadran II Atau Kuadran Diversifikasi. Meskipun menghadapi berbagai ancaman dari luar, namun organisasi masih memiliki kekuatan internal yang lebih besar, untuk keadaan seperti ini mempertimbangkan kembali strategi atau kebijakan yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan internal untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan strategi diversifikasi.

3)Kuadran III Atau Kuadran Konsolidasi/Turn Around. Organisasi memiliki peluang yang sangat besar, tapi di lain pihak menghadapi beberapa kendala yang berasal dari kelemahan internal, maka fokus strategi/kebijakan diprioritaskan untuk meminimalkan kendala intern organisasi agar dapat merebut peluang eksternal yang lebih baik, dengan cara melakukan konsolidasi internal organisasi.

4)Kuadran IV Atau Kuadran Survival/Defensif. Merupakan kondisi organisasi yang sangat tidak menguntungkan karena menghadapi berbagai macam ancaman eksternal dan kelemahan internal yang jauh lebih besar dibandingkan dengan peluang yang ada maupun kekuatan internal yang dimilikinya, sehingga satu-satunya strategi/kebijakan yang dianjurkan adalah bertahan atau Defensif.

Proses perencanaan strategis melalui tiga tahap analisis, yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis dan tahap pengambilan keputusan. Pada tahap pengumpulan data termasuk didalamnya adalah kegiatan pengklasifikasian dan pra analisis. Pada tahap ini data dibagi dua menjadi data internal dan data eksternal yang diwujudkan dalam dua model matrik yakni; Matrik Faktor Strategi Internal dan Matrik Faktor Strategi Eksternal

Tabel 7. Matrix StrategiFaktor

InternalFaktor Eksternal

(S)

Strengths

(Kekuatan)(W)

Weaknes

(Kelemahan)

(O)Oppoturnities(Kesempatan)Strategi SO :Strategi yang memanfaatkan kekuatan, dengan memanfaatkan peluang.Strategi WO:Strategi pemanfaatan peluang dengan meminimalkan kelemahan.

(T)

Threatss

(Ancaman)Strategi ST:Strategi berdasarkan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman.Strategi TW :Strategi kegiatan defensif dengan meminimalkan kelemahan serta menghindari ancaman.

c.Uji Validitas dan Reliabilitas Angket

1)Validitas.Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur mampu mengukur sesuai dengan apa yang ingin diukur. Ketepatan pengujian suatu hipotesis tentang hubungan variabel penelitian sangat tergantung pada kualitas data yang dipakai dalam pengujian tersebut. Bila seseorang ingin mengukur berat suatu benda, maka ia harus menggunakan timbangan. Alat itu merupakan pengukur yang valid bila dipakai untuk mengukur berat, tetapi timbangan bukanlah alat pengukur yang valid bilamana digunakan untuk mengukur panjang.

Dalam penelitian ini menggunakan validitas konstruk yaitu suatu konsep yang dapat dijabarkan oleh peneliti berdasarkan konsep teoritik, tetapi tidak dapat diukur langsung dan sangat sulit menghindari kesalahan pengukuran. Validitas konstruk merupakan metode pengujian validitas untuk dapat melihat hubungan dari hasil pengukuran suatu alat ukur dengan konsep teoritik yang melatar belakanginya.

Jadi dapat dikatakan bahwa validitas konstruk merupakan proses yang berlanjut sejalan perkembangan pengetahuan konsep atau sifat dimensi yang diukur. Menurut Kaplan dan Saccuzi, validitas konstruk ditetapkan melalui suatu deretan dimensi tentang konsep yang diukur, yang didefenisikan oleh peneliti. Rumus yang digunakan dalam validitas konstruk adalah: [ n ( XY ((X) ((Y) ]2

r = -----------------------------------------------------

([ n (X2 ((X)2 ] [n (Y2 ((Y)2

dimana :

r = koefisien korelasi

n = jumlah responden

X = nilai untuk tiap variabel

Y = nilai dari seluruh variabel

2)Reliabilitas. Analisis reliabilitas digunakan untuk mengukur tingkat kepercayaan dari suatu alat pengukuran. Pengukuran yang memiliki nilai reliabilitas yang tinggi merupakan pengukuran yang mampu memberikan hasil ukur yang terpercaya (reliabel). Analisis reliabilitas digunakan untuk mengukur kestabilan dan konsistensi alat ukur dalam mengukur suatu konsep yang sama. Bila suatu alat ukur digunakan dua kali dalam mengukur hasilnya relatif konsisten, maka alat ukur tersebut dapat dikatakan handal.

Dalam penelitian ini digunakan reliabilitas internal yaitu reliabilitas yang diperoleh dengan menganalisis data dari satu kali pengujian kuesioner. Tinggi rendahnya reliabilitas secara empiris ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut dengan koefisien reliabilitas (Alpha Cronbach). Meskipun secara teoritis besarnya koefisien reliabilitas berkisar antara 0.00-1.00 akan tetapi kenyataannya koefisien 1.00 tidak akan pernah tercapai dalam pengukuran sosial yang mengukur aspek perilaku atau psikologis. Dalam hal reliabilitas koefisien bertanda negatif tidak memiliki arti karena interpretasi reliabilitas selalu mengacu pada koefisien yang positif. Koefisien Alpha Cronbach merupakan koefisien reliabilitas yang paling umum digunakan, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

Kr

( = -----------------

1 + (K r) rdimana : (= Koefisien Reliabilitas Alpha Cronbach

K = Jumlah Item

r = Korelasi Item Sugiyono (2004, 137 154) menjelaskan bahwa uji validitas dan reliabilitas dilakukan untuk mengetahui apakah butir-butir pernyataan dalam kuisioner sudah valid dan reliabel, sehingga bisa mengukur faktor-faktornya. Butir-butir pernyataan dikatakan valid bila rhitung> rtabel dan reliabel bila ralpha> 0,6.Pada penelitian ini pengolahan data dan analisis statistic dilakukan dengan menggunakan piranti lunak (software) SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 19.00. dalam rangka menjaga validitas dan reabilitas pada angket yang disebarkan kepada responden.BAB IVANALISA DAN PEMBAHASAN15. Deskripsi Obyek Penelitian

a.Provinsi Maluku utara.

1)Geografis. Secara geografis, wilayah Provinsi Maluku terletak antara, 2 030'- 90 Lintang Selatan/Southern Latitude, 1240-1360 Bujur Timur/Eastern Longitude. Sedangkan batas Wilayah Provinsi Maluku, sebelah utara berbatasan dengan Laut Seram, sebelah selatan berbatasan dengan Lautan Indonesia dan Laut Arafuru, sebelah timur berbatasan dengan Pulau Papua dan sebelah barat berbatasan dengan Pulau Sulawesi. Iklim Daerah Maluku mengenal 2 musim yakni : musim barat atau utara dan tenggara atau timur yang di selingi oleh dua macam pancaroba yang merupakan transisi kedua musim tersebut. Musim barat di Maluku berlangsung dari bulan Desember sampai bulan Maret, sedangkan bulan April adalah masa transisi ke musim tenggara. Musim tenggara berlaku rata-rata 6 bulan berawal dari bulan Mei dan berakhir pada bulan Oktober. Masa transisi ke musim barat adalah pada bulan November. Luas wilayah Provinsi Maluku Utara tercatat 145.801,10 km2. Ibukota Provinsi adalah Sofifi. Secara administratif, provinsi ini terbagi menjadi 8 kabupaten dan 1 kota. Kabupaten/kota tersebut terdiri dari 112 kecamatan dan 1.104 desa/ kelurahan, secara administratif mengingat terbatasnya luas wilayah Ternate untuk pusat kepemerintahan provinsi Maluku Utara di pindahkan di Sofifi yang masuk dalam Kepulauan Halmahera yang sementara masih menggunakan transportasi laut untuk menuju ibukota provinsi tersebut dengan jarak tempuh kurang lebih 45 menit menggunakan kapal cepat dan 3 Jam menggunakan kapal ferry. Secara topografis Provinsi Maluku Utara mempunyai lebih dari 50 sungai mengaliri wilayah Maluku Utara. Gunung Sibela merupakan gunung tertinggi di Maluku Utara, dengan ketinggian sekitar 2.110 m di atas permukaan air laut yang terletak di Halmahera Selatan. Danau di Provinsi Maluku Utara tercatat sekitar 12 danau yang tersebar di beberapa kabupaten/kota.

Tabel 8. Geografis Provinsi Maluku Utara Menurut Kabupaten/Kota

2)Demografi.Penduduk Maluku Utara pada tahun 2012 sebesar 1.086.655 jiwa yang tersebar di 10 kabupaten/ kota. Jumlah penduduk terbesar 211.682 jiwa mendiami Kabupaten Halmahera Selatan. Secara keseluruhan, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk perempuan. Hal ini tercermin dari angka rasio jenis kelamin sebesar 104,33 yang berarti terdapat 104 laki-laki pada setiap 100 perempuan. Pemerintah Provinsi Maluku Utara membawahi 8 kabupaten dan 2 kota, yakni Kabupaten Halmahera Barat, Halmahera Tengah, Kepulauan Sula, Halmahera Selatan, Halmahera Utara, Halmahera Timur, Pulau Morotai, Pulau Taliabu serta Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan. Tabel 9. Jumlah Penduduk Provinsi Utara menurut Kabupaten/Kota

Berdasarkan data tahun 2013, di Provinsi Maluku Utara terdapat 112 Kecamatan dan 1.104 Desa/Kelurahan. Sedagkan Keadaan musim tidak homogen dalam arti setiap musim berlaku di daerah ini memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada daratan maupun lautannya. Temperatur rata-rata 26,2 C (di Maluku Tenggara terutama pada musim hujan).3)Kondisi Sosial. Kehidupan masyarakat di provinsi Maluku Utara setelah Otonomi Daerah mengalami perubahan yang cukup baik, akan tetapi menjadi permasalahan baru ketika SDM yang tersedia jauh dari ideal utamanya yang berhubungan dengan pendidikan.Menyadari lemahnya pendidikan di wilayah Provinsi Maluku Pemerintah Daerah berusaha keras meningkatkan dunia pendidikan untuk masyarakatnya agar dapat memenuhi SDM manusia yang berkualitas, hal ini membutuhkan kerja keras utamanya SKPD terkait dengan pendidikan, dari tahun ke tahun partisipasi seluruh masyarakat dalam dunia pendidikan semakin meningkat sejalan dengan berbagai program pendidikan yang dicanangkan pemerintah untuk lebih meningkatkan kesempatan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Peningkatan partisipasi pendidikan ini harus diikuti dengan berbagai peningkatan penyediaan sarana fisik pendidikan dan tenaga pendidik yang memadai.

Pembangunan bidang pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) suatu negara akan menentukan karakter dari pembangunan ekonomi dan sosial, karena manusia adalah pelaku aktif dari seluruh kegiatan tersebut.Dilihat dari segi lapangan usaha, sebagian besar penduduk Maluku Utara bekerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan yang berjumlah 249.429 orang atau 54,82 persen dari jumlah penduduk yang bekerja. Sektor lainnya yang juga menyerap tenaga kerja cukup besar adalah sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi dengan persentase sebesar 36,03 persen.Sedangkan untuk tingkat pengangguran terbuka di Maluku Utara pada tahun 2013 sebesar 3,80 persen, angka ini turun dibanding tahun sebelumnya ini artinya jumlah pengangguran menurun. Dilihat dari segi lapangan usaha, sebagian besar penduduk Maluku Utara bekerja di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan yang berjumlah 249.429 orang atau 54,82 persen dari jumlah penduduk yang bekerja. Sedangkan Sektor lainnya yang juga menyerap tenaga kerja cukup besar adalah sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi dengan persentase sebesar 36,03 persen. Sedangkan jumlah keseluruhan tenaga kerja dari berbagai bidang pada tahun 2012 adalah sejumlah 702.529 dengan besaran presentase sejumlah 66,35 persen.

Tabel 10. Ketenagakerjaan dan Pengangguran di Wilayah

Provinsi Maluku Utara

b.Provinsi Maluku. 1)Geografis.Maluku atau yang dikenal secara internasional sebagai Moluccas adalah salah satu provinsi tertua di Indonesia. Propinsi Maluku terdiri dari ribuan pulau-pulau kecil. Ibukotanya adalah Ambon. Propinsi ini disebut juga dengan "Kepulauan rempah-rempah" karena propinsi ini merupakan penghasil cengkeh dan pala. Penduduk asli Propinsi Maluku adalah orang Ambon. Banyak pula orang-orang dari daerah lainnya yang menetap di Maluku, misalnya orang Jawa dan orang Bugis yang datang ke sana sebagai pedagang.Ibukotanya adalah Ambon. Pada tahun 1999, sebagian wilayah Provinsi Maluku dimekarkan menjadi Provinsi Maluku Utara, dengan ibukota di Sofifi. Provinsi Maluku terdiri atas gugusan kepulauan yang dikenal dengan Kepulauan Maluku. Secara geografis, Provinsi Maluku berbatasan dengan Provinsi Maluku Utara di bagian utara, di bagian timur dengan Papua Barat, di bagian barat dengan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah, serta dengan Negara Timor Leste dan Australia di bagian selatan. Provinsi Maluku terletak antara 2o30 8o30 Lintang Selatan dan 124o 135o30 Bujur Timur. Provinsi Maluku adalah Provinsi Kepulauan dengan luas wilayah 712.479,65 km, terdiri dari 93,5 % luas perairan (666.139,85 km) dan 6,5 % luas daratan (46.339,8 km). Kecamatan; Kabupaten Kepulauan Aru 119 Desa/Kelurahan dari 3 Kecamatan; Kabupaten Maluku Tenggara 116 Desa/Kelurahan terdiri dari 112 Desa dan 4 Kelurahan dari 10 Kecamatan; Kabupaten Buru 94 Desa/ Kelurahan dari 10 Kecamatan; Kabupaten Seram Bagian Barat 87 Desa/Kelurahan dari 4 Kecamatan; Kabupaten Seram Bagian Timur 56 Desa/Kelurahan dari 4 Kecamatan dan Kota Ambon 50 Desa/Kelurahan terdiri dari 30 Desa dan 20 Kelurahan dari 3 KecamatanTabel 11. Luas Wilayah menurut Kabupaten dan Pulau

di Provinsi Maluku

Total jumlah pulau yang teridentifikasi di Maluku mencapai 1.340. Pulau-pulau besar hanya empat yaitu Seram dengan luas 18.625 km2, Buru dengan luas 9.000 km2, Yamdena dengan luas 5.085 km2, dan Wetar dengan luas 3.624 km2. Hal ini membuktikan bahwa sekitar 21,59 % luas daratan disumbang oleh total luasan 1.336 pulau kecil yang ada di Provinsi ini. Sedangkan potensi panjang garis pantai di provinsi ini mencapai 10.630,1 km.

2)Demografi.Penduduk asli Propinsi Maluku adalah orang Ambon. Banyak pula orang-orang dari daerah lainnya yang menetap di Maluku, misalnya orang Jawa dan orang Bugis yang datang ke sana sebagai pedagang. Beberapa tahun yang lalu Propinsi Maluku dibagi menjadi dua, yaitu Propinsi Maluku Utara dan Propinsi Maluku Selatan. Hasil Sensus tahun 2012 jumlah penduduk Propinsi Maluku sebanyak 1.608.786 jiwa .Tabel 12. Jumlah penduduk Provinsi Maluku Menurut Kabupaten

Sebagian besar penduduk daerah ini berdiam di wilayah pedesaan pada tahun 1995 : 75,43 %, umumnya terletak di pesisir pantai sedangkan yang berdiam di daerah perkotaan sekitar 24,57 %. Penyebaran penduduk tidak merata, dimana konsentrasi penduduk pada umumnya di pulau-pulau kecil seperti Ambon, Kepulauan Lease, Kei Kecil dan sebagian pulau sedang dan besar dapat dikatakan jarang penduduknya.3)Kondisi Sosial. Kondisi sosial di wilayah Provinsi Maluku utamanya sektor pendidikan selalu menjadi perhatian pemerintah karena melalui pendidikan, kualitas sumberdaya manusia dapat ditingkatkan dan itu menjadi modal utama dalam pembangunan nasional.

Jumlah sekolah yang ada tidak sebanding dengan jumlah gedung sekolah, yang berarti 1 (satu) gedung dipakai bersama untuk lebih dari 1 (satu) sekolah. Ini terjadi untuk semua jenjang pendidikan. Selama tahun ajaran 2011/2012, untuk tingkat sekolah TK jumlah sekolah 316 terdiri dari 316 gedung, SD sebanyak 1.569 sekolah dengan 2.214 gedung, SMP sebanyak 559 sekolah dengan 740 gedung dan SMA sebanyak 341 sekolah dengan gedung sebanyak 971 buah. Penyerapan tenaga kerja sektoral menurut lapangan usaha, memperlihatkan sektor Pertanian masih dominan yaitu 48,99 persen dan tertinggi kedua adalah sektor Jasa Kemasyarakatan sebesar 17,19 persen.Gambar 3.Diagram Presentase Penduuduk yang Berkerja Menurut Lapangan Usaha

Dalam masyarakatMalukudikenal suatu sistem hubungan sosial yang disebutPeladanGandong. Pela Gandong merupakan suatu sebutan yang di berikan kepada dua atau lebih negeri yang saling mengangkat saudara satu sama lain. Pela Gandong sendiri merupakan intisari dari kata "Pela" dan "Gandong". Pela adalah suatu ikatan persatuan sedangkan gandong mempunyai arti saudara. Jadi pela gandong merupakan suatu ikatan persatuan dengan saling mengangkat saudara.

Pela Gandong sendiri sudah lama ada di Maluku, dan biasanya pela gandong itu terdiri dari dua negeri yang berlainan Agama (Islam dan Kristen). Hal itu tercipta dengan sendirinya karena suatu hal. Seperti halnya Negeri Kailolo dan Tihulale yang berada di Kabupaten Maluku Tengah yang pada tanggal 2 Oktober 2009 dihadapan Gubernur Maluku saling mengangkat pela sebagai ikat saudara, konon ceritanya pada zaman pemerintahan Kolonial Belanda sudah terciptanya hubungan yang saling menguntungkan antara kedua negeri tersebut pada tahun 1921 M ketika ada lomba perahu belang yang diadakan oleh Pemerintah Belanda di daerah Maluku Tengah kedua negeri tersebut berada dalam satu tim. Dalam satu tim itu kedua negeri berhasil memenangkan perlombaan sehingga timbulah suatu hubungan antara kedua negeri itu dengan akrab, dalam keakraban itu diperlihatkan pada saat Negeri Kailolo sedang melakukan pembangunan Mesjid Nan Datu setahun kemudian, kemudian Negeri Kailolo mengundang Negeri Tihulale dan Negeri Tihulale datang tanpa tangan kosong. Mereka membawa sejumlah kayu dan papan yang akan dipergunakan dalam pembangunan mesjid. Sebaliknya beberapa tahun kemudian Negeri Tihulale melakukan pembangunan Gereja Beth Eden, warga negeri Kailolo pun menyumbang banyak keramik. Kejadian barter ini terjadi pada sekitar tahun 1922 dan baru pada tahun2009 kira-kira mencapai 87 tahun kedua negeri ini baru melakukan ikrar sebagai ikatan orang basudara.

16. Deskripsi Hasil Penelitian

a.Data Responden. Obyek penelitian ini adalah Otonomi Daerah serta pencegahan Konflik Sosial di dua provinsi yaitu Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara yang menjadi responden dalam penelitian ini berjumlah 100 orang terdiri dari TNI, Kepolisian, Pemda, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adar, Tokoh Agama, dan Tokoh Pemuda dengan rincian yang di tabulasikan sebagai berikut :Tabel 13. Jumlah Responden Per Lokasi Penelitian Berdasarkan Instansi yang menjadi Lokasi PultaNoInstansi/KelompokLokasiJmlProsentase

Prov. MalutProv. Maluku

1Aparat Pemda10102020%

2Aparat TNI10102020%

3Aparat Polisi10102020%

4Tokoh Masyarakat 10102020%

5Tokoh Agama10102020%

Jumlah5050100100%

Sumber : hasil data lapangan yang telah diolah.

Seperti yang digambarkan dalam tabel diatas bahwa data responden menurut jenis instansi dan wilayah penelitian yaitu Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara adalah aparat Pemda adalah 20%, Aparat TNI 20%, Aparat Kepolisian 20%, Tokoh Masyarakat 20% dan Tokoh Agama 20%, sehingga total keseluruhan mencapai 100% dengan jumlah penyebaran angket berjumlah 100 orang responden dari dua lokus yang berbeda.Tabel 14. Umur Responden Per Lokasi Penelitian

NoUmurLokasiJmlProsentase

Prov. MalutProv. Maluku

126 < 30 Th871515%

231 < 35 Th11122323%

336 < 40 Th11102121%

441 < 45 Th10112121%

546 < 50 Th10102020%

Jumlah5050100100%

Sumber : hasil data lapangan yang telah diolah.

Seperti yang digambarkan dalam tabel di atas dapat dijelaskan bahwa data responden menurut umur responden dimana umur responden paling sedikit usia 26< tahun keatas sejumlah 7 (3%), dan usia responden terbanyak adalah usia 36 r semuanya diatas 0.843 sehingga dapat disimpulkan bahwa semua item pernyataan pada Konflik Sosial kerja adalah valid dan layak untuk di uji.

Berdasarkan tabel tersebut diatas dapat dilihat bahwa variabel Otonomi Daerah di kedua wilayah penelitian mempunya nilai yaitu alpha cronbach 0,986 di Provinsi Maluku serta alpha cronbach 0,989 diProvinsi Maluku utara, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua variabel memiliki nilai alpha cronbach diatas 0,6 sehingga dapat disimpulkan bahwa semua variabel reliable dan layak untuk diuji tahap selanjutnya.c.Analisis Deskriptif dan Uji Korelasi.

Selanjut penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yang berguna untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Melalui uji korelasi. Hasil uji korelasi dilakukan untuk memperoleh sejauhmana kekuatan hubungan antara Otonomi Daerah Dengan Konflik Sosial. Hasil output didapatkan dengan bantuan program SPSS versi 19 melalui perhitungan Korelasi Pearson (Pearson Correlation).Tabel 20.Hasil Analisis Deskriptif melalui Pernyataan 1 s.d. 20 Variabel Otda (X) dari 50 Responden di Provinsi Maluku

Descriptive Statistics

NMinimumMaximumMeanStd. Deviation

P1501.005.003.82001.36561

P2501.005.003.64001.36666

P3502.005.003.76001.23817

P4501.005.003.54001.32803

P5501.005.003.48001.43200

P6501.005.003.82001.32002

P7501.005.003.46001.37336

P8501.005.003.58001.37158

P9501.005.003.84001.31491

P10501.005.003.82001.32002

P11501.005.003.82001.32002

P12501.005.003.86001.34027

P13501.005.003.64001.33646

P14501.005.003.54001.35842

P15501.005.003.60001.30931

P16501.005.003.82001.22374

P17501.005.003.84001.26749

P18501.005.003.72001.29426

P19501.005.003.78001.20017

P20501.005.003.56001.34255

Valid N (listwise)50

Sumber: Hasil data lapangan yang telah diolah.

Dari hasil pengolahan secara deskriptif melalui program SPSS diatas menerangkan bahwa hasil angket yang disebarkan di wilayah Provinsi maluku untuk variable Otonomi Daerah sangat valid dengan nilai standar deviasi terkecil adalah 1.20017.Tabel 21. Hasil Analisis Deskriptif melalui Pernyataan 1 s.d. 20 Variabel Konflik Sosial (Y) dari 50 Responden di Provinsi Maluku Descriptive Statistics

NMinimumMaximumMeanStd. Deviation

P1501.005.002.24001.57221

P2501.005.002.72001.22957

P3501.005.002.74001.15723

P4502.005.002.68001.11465

P5501.005.002.74001.30634

P6501.005.002.28001.45742

P7501.005.002.40001.16058

P8501.005.002.48001.23288

P9501.005.002.64001.33646

P10501.005.002.74001.33722

P11501.005.002.60001.32480

P12501.005.002.60001.37024

P13501.005.002.58001.37158

P14501.005.002.52001.29741

P15501.005.002.50001.24949

P16501.005.002.68001.39152

P17501.005.002.50001.32865

P18501.005.002.68001.33156

P19501.005.002.56001.34255

P20501.005.002.38001.35360

Valid N (listwise)50

Sumber: Hasil data lapangan yang telah diolah.

Dari hasil pengolahan secara deskriptif melalui program SPSS diatas menerangkan bahwa hasil angket yang disebarkan di wilayah Provinsi Maluku untuk variable Konflik Sosial sangat valid dengan nilai standar deviasi terkecil adalah 1.22957.Tabel 22.Hasil Analisis Deskriptif melalui Pernyataan 1 s.d. 20 Variabel Otonomi Daerah (X) dari 50 Responden di Provinsi Maluku Utara

Descriptive Statistics

NMinimumMaximumMeanStd. Deviation

P1501.005.003.92001.25909

P2501.005.004.02001.11557

P3502.005.003.94001.20221

P4501.005.003.88001.20611

P5502.005.003.86001.24556

P6501.005.003.90001.26572

P7501.005.003.92001.20949

P8501.005.004.04001.27711

P9501.005.003.80001.21218

P10501.005.003.98001.23701

P11501.005.003.88001.25584

P12501.005.004.10001.24949

P13501.005.004.10001.28174

P14501.005.003.88001.40901

P15501.005.003.68001.34680

P16501.005.003.74001.24228

P17501.005.003.84001.33034

P18501.005.003.94001.33110

P19501.005.004.02001.23701

P20501.005.003.84001.34559

Valid N (listwise)50

Sumber: Hasil data lapangan yang telah diolah.

Dari hasil pengolahan secara deskriptif melalui program SPSS diatas menerangkan bahwa hasil angket yang disebarkan di wilayah Provinsi Maluku Utara untuk variable Otonomi Daerah sangat valid dengan nilai standar deviasi terkecil adalah 1.11557.Tabel 23.Hasil Analisis Deskriptif melalui Pernyataan 1 s.d. 20 Variabel Konflik Sosial (Y) dari 50 Responden di Provinsi Maluku Utara

Descriptive Statistics

NMinimumMaximumMeanStd. Deviation

P1501.005.002.26001.58835

P2501.005.002.74001.24228

P3501.005.002.80001.22890

P4502.005.002.78001.23371

P5501.005.002.78001.34453

P6501.005.002.42001.55301

P7501.005.002.58001.35662

P8501.005.002.58001.32619

P9501.005.002.80001.37024

P10501.005.002.80001.35526

P11501.005.002.62001.35360

P12501.005.002.64001.38151

P13501.005.002.60001.39971

P14501.005.002.56001.34255

P15501.005.002.52001.28158

P16501.005.002.70001.40335

P17501.005.002.50001.32865

P18501.005.002.68001.33156

P19501.005.002.56001.34255

P20501.005.002.40001.34012

Valid N (listwise)50

Sumber: Hasil data lapangan yang telah diolah.

Dari hasil pengolahan secara deskriptif melalui program SPSS diatas menerangkan bahwa hasil angket yang disebarkan di wilayah Provinsi Maluku Utara untuk variable Konflik Sosial sangat valid dengan nilai standar deviasi terkecil adalah 1.24228.

Tabel 24. Rekapitulasi Korelasi Variabel Otda (X) dengan Varibel Konflik Sosial (Y) di Dua Lokasi Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku

NoWilayahKo