dialog antaragama dan peran perempuan :...
TRANSCRIPT
DIALOG ANTARAGAMA DAN PERAN PEREMPUAN : ANALISIS
SEMIOTIKA PESAN FILM ‘WHERE DO WE GO NOW’.
Skripsi
Ditujukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh :
Lini Zurlia
NIM. 107051002539
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M
DIALOG ANTARAGAMA DAN PERAN PEREMPUAN : ANALISIS
SEMIOTIKA PESAN FILM ‘WHERE DO WE GO NOW’
Skripsi
Ditujukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh :
Lini Zurlia
107051002539
Pembimbing
Umi Musyarrofah, MA
197108161997032002
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H / 2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan gelar strata satu di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 Agustus 2014
Lini Zurlia
i
ABSTRAK
Dialog Antaragama dan Peran Perempuan : Analisis Semiotika Pesan Film
‘WHERE DO WE GO NOW’
Where Do We Go Now? adalah sebuah film dengan latar Lebanon yang
menggambarkan bagaimana para perempuan desa bekerja keras untuk melindungi
desa dari peperangan antaragama yang terjadi di luar desa. Film ini penting dan
menarik diteliti karena mengandung pesan dialog antaragama dengan peran
perempuan yang besar dalam membangun bina-damai.
Berdasarkan konteks diatas, penulis melakukan penelitian ini untuk
menjawab dan menjelaskan bagaimana pemaknaan pesan dialog keagamaan &
bagaimana pemaknaan peran perempuan dalam film Where Do We Go Now?.
Teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teori Komunikasi
Nirkekerasan. Sebuah teori yang dipelopori oleh Marshall Rosenberg yang
menekankan pada tiga model yaitu self emphaty, receiving emphatically &
expressing honestly. dan teori feminisme sebagai kerangka perspektif dalam melihat
peran perempuan dalam film ini. Menggunakan metode deskriptif kualitatif dan
teknik observasi film dengan model analisis semiotika Roland Barthes, peneliti
akan menganalisis pemaknaan dialog antar agama & peran perempuan dalam film
balutan sutradara aktris Lebanon ini.
Bina damai dalam situasi konflik memang tidak mudah dilakukan, apalagi
di wilayah yang sumbu konflik sangat pendek dan dapat meledak kapan saja.
Perempuan menjadi elemen yang sangat penting dalam menciptakan persamaian
dalam sebuah konflik. Komunikasi-komunikasi yang persuasif dan menekankan
pada empati & kejujuran menjadi pilihan tepat bagi perempuan untuk berperan
dalam upaya-upaya bina damai. Situasi inilah yang ingin disampaikan oleh Nadine
Labaki melalui film garapannya where do we go now yang menjadi subjek
penelitian penulis.
Nadine Labaki berhasil mengemas film ini sehingga sarat akan pesan. Pesan
ajaran Isalm yang ramah, pluralisme, toleransi, kerja keras dalam peace building
(bina damai). Tidak hanya itu, Nadine Labaki juga ingin menyampaikan bagaimana
bina damai yang terus menerus dibangun diinisiasi oleh para perempuan melalui
dialog non violent communication (komunikasi nirkekerasan). Dialog antar Agama
dan peran perempuan dalam bina damai menjadi vokal poin dalam film ini.
Key Words: Komunikasi Nirkekerasan, Dialog antaragama, Peran Perempuan,
Bina-damai, Konotasi & Denotasi.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
kemudahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa
nikmat sehat yang selalu Allah berikan kepada penulis sehingga penulis masih
bisa merasakan indahnya kehidupan. Sholawat dan salam tak akan lupa penulis
haturkan kepada Nabi Muhammad Saw kekasih setiap hamba yang telah
mengajarkan kepada kita tentang indahnya keberagaman.
Senang sekali akhirnya atas izin Allah SWT penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini dengan judul : Dialog Antaragama dan Peran Perempuan :
Analisis Semiotika Pesan Film ‘WHERE DO WE GO NOW’. Tahun ketujuh
adalah tahun yang sangat terlambat bagi seroang mahasiswa untuk menyelesaikan
proses perkualiahan jenjang strata satu seperti yang penulis alami. Namun ini
adalah pilihan sadar yang penulis pilih tentunya. Aktif dalam sebuah gerakan
sejak menjadi mahasiswa muda di kampus hingga menjadi aktifis lapangan yang
berniat untuk perjuangan membangun perdamaian atas nama kemanusiaan. Sering
meninggalkan perkuliahan karena mendapat beasiswa short course tantang peace
building for youth peace builder dan Women Issues baik di dalam maupun di luar
negeri atau bahkan melakukan pendampingan terhadap kasus-kasus kekerasan
atasnama agama dan kasus-kasus kekrasan terhadap perempuan.
Aktifitas yang ditempuh tersebut, penulis kira adalah juga pesan pada apa
yang kampus inginkan sesuai dengan Tridarama Universitas. Berangkat dari
aktifitas tesebut juga yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dan penulisan yang menjadi syarat kelulusan seorang mahasiswa strata
iii
satu.’Where Do We Go Now’ adalah sebuah film yang sarat akan pesan
perdamaian antar sesama. Semoga hasil tulisan ini dapat memberikan insipirasi
bagi mahasiswa lainnya atau para pembaca bahwa penting melakukan upaya-
upaya membangun perdamaian di tengah-tengah suasana konflik tak
berkesudahan atau bahkan di tengah suasana kondusif sekalipun perdamaian harus
terus dan tetap dibangun.
Dapat diselesaikannya skripsi ini tentunya tidak terlepas dari dukungan
semua pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sedalam –
dalamnya kepada:
1. Orang tua tercinta, Mamam & Bapak yang tak lelah memberikan do’a
tulusnya untuk penulis. Sehingga dengan kesabaran yang luar biasa dari
beliau, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
2. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah jakarta.
3. Dr. Arif Subhan, MA selaku dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi
4. Umi Musyarrofah, MA selaku dosen pembimbing yang dengan sangat
bijaksana memberi motivasi dan arahannya kepada penulis sampai
terselesaikannya penelitian ini.
5. Rachmat Baihaky, MA selaku ketua jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Fita Faturahman, M. Si selaku sekretaris jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam.
iv
7. Dr. Gun-gun Heryanto, M.Si dan Prof. Dr, Andi Faisal Bakti, M.Si dosen
pengajar yang banyak memberi inspirasi tentang pentingnya komunikasi
dan keragaman, kepada mereka saya berterimakasih atas apa yang sudah
menginspirasi saya sehingga saya menjadi pribadi yang inklusif.
8. Prof. Dr. Musdah Mulia, MA yang secara husus menjadi mentor,
karenanya saya mampu menjadi pribadi yang dapat mengabdikan diri pada
isu-isu keragaman dan isu perempuan.
9. Seluruh dosen pengajar yang telah memberikan banyak ilmu kepada
penulis selama menempuh pendidikan di jursan Komunikasi Penyiaran
Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
10. Adik–adik tercinta Siti Rahayu, Endang Rahmawati, Sofwan Tabrani,
Nayla Fitia, Momba Dona Sari Lubis, Zakiatunnisa, Adis Puji Astuti,
Fanny Fatwati Puteri, dan Sri Andriyani yang selalu memberi kasih sayang
dalam segala bentuknya kepada penulis.
11. Byan Rianzi, kekasih hati yang senantiasa memberi support.
12. Teman – teman satu himpunan yang baik suka maupun duka telah
memberikan arti dan warna tersendiri dalam kehidupan penulis.
13. Serta kepada semua pihak yang telah membatu jalannya penelitian ini,
yang tidak penulis sebutkan satu persatu. Namun, tetap tanpa mengurangi
rasa terimakasih penulis.
v
Semoga Allah SWT selalu menyayangi kalian, dan membalas semua
kebaikan yang kalian berikan untuk penulis. Penulis hanya bisa mendo’akan agar
semua yang diberikan menjadi anugerah yang indah.
Jakarta, 27 Agustus 2014
Lini Zurlia
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 6
D. Metodologi Penelitian .......................................................... 7
1. Pendekatan Penelitian Semiotika Roland Barthes
2. Subjek dan Objek Penelitian
E. Tinjauan Pustaka .................................................................. 14
F. Sistematika Penulisan .......................................................... 15
BAB II LANDASAN TEORI
A. Konseptualisasi Komunikasi ................................................ 17
B. Teori Feminisme ................................................................. 21
1. Feminisme ..................................................................... 21
2. Konseptualisasi Gender ................................................... 28
C. Tinjauan Tentang Film ......................................................... 29
1. Pengertian Film .............................................................. 29
2. Unsur – unsur dalam Film .............................................. 31
3. Jenis – jenis Film ............................................................. 32
vii
BAB III GAMBARAN UMUM FILM WHERE DO WE GO NOW
A. Sinopsis Film Where Do We Go Now ................................... 34
B. Profil Sutradara Film Where Do We Go Now ....................... 36
C. Tim Produksi Film Where Do We Go Now? ......................... 37
D. Deskripsi Karakter Tokoh dalam Film Where do We Go
Now ....................................................................................... 38
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Deskripsi Film ....................................................................... 44
B. Penyajian Data Penelitian ..................................................... 45
1. Makna Denotasi Fillm tentang Dialog Antaragama........ 53
2. Makna Konotasi Fillm tentang Dialog Antaragama ....... 74
3. Makna Denotasi Fillm tentang Peran Perempuan ........... 104
4. Makna Konotasi Fillm tentang Peran Perempuan ........... 119
C. Interpretasi Analisis Data ..................................................... 137
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 144
B. Saran ...................................................................................... 152
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 154
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunikasi merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia
sebagai makhluk sosial yang pasti memerlukan manusia lain dalam
keberlangsungan hidupnya. Pengertian tentang komunikasi sendiri telah
benyak dikemukakan oleh banyak ahli. Secara sederhana, komunikasi bisa
dimengerti sebagai proses pengiriman pesan dari komunikan kepada
komunikator. Maka David K. Berlo (1960) menyebutkan proses komunikasi
membutuhkan beberapa aspek yakni sourch, massage, chenel, dan reciver.1
Maka aspek penting dalam proses komunikasi yakni sumber atau pengirim
pesan, pesan, saluran, dan penerima pesan, sedangkan yang menjadi titik
pijaknya adalah pesan itu sendiri. Selain proses pengiriman pesan seperti yang
telah dikemukakan, komunikasi juga diartikan sebagai proses sosial dimana
individu – individu menggunakan simbol – simbol untuk menciptkan dan
mengiterpretasikan makna dalam lingkungan mereka2. Dari pengertian ini
maka dapat kita ketahui bahwa dalam proses komunikasi, yang terpenting
bukan hanya ketika seseorang menyampaikan pesan kepada seorang lain
secara langsung. Di samping itu, simbol – simbol dan interpretasi juga
merupakan hal terpenting dari proses komunikasi. Boleh jadi manusia tidak
secara langsung dan sengaja menyampaikan pesan verbalnya kepada
1Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),
h. 22 - 28 2Richard West dan Lyn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi, Analisis dan Aplikasi.
(Jakarta: Salemba Humanika, 2008), h. 5
2
seseorang agar dapat berkomunikasi, namun ketika komunikan menggunakan
sebuah simbol seperti mengerutkan dahi kemudian seseorang menangkap
simbol itu dan menginterpretasikannya sebagai tanda ketidaksukaan si
pengirim pesan, maka itu juga bisa disebut sebagai proses komunikasi.
Proses komunikasi kadang menyebabkan permusuhan sehingga
muncul konflik, akan tetapi komunikasi juga bisa digunakan untuk
membangun proses bina-damai. Komunikasi tersebut menurut Marshall
Roserberg (1960) disebut sebagai nonviolent communication (Komunikasi
nirkekerasan).3 Tujuan daripada komunikasi nirkekerasan adalah untuk
membuat hubungan manusia yang memberdayakan kasih memberi dan
menerimadan membuat struktur pemerintahan/kehidupan dan korporasi yang
mendukung penuh kasih memberi dan menerima.
Komunikasi nirkekerasan tidak berisi sesuatu yang baru. Hal ini
berdasarkan pada cerita utama dari antikekerasan yaitu keadaan alami penuh
belas kasih ketika tidak ada kekerasan hadir dalam hati. Komunikasi
nirkekerasan mengingatkan kita apa yang secara naluriah telah kita ketahui
tentang seberapa menyenangkan rasanya terhubung dengan manusia lain.
Dengan komunikasi nirkekerasan kita belajar untuk mendengar kebutuhan
terdalam diri kita sendiri dan juga orang lain. Melalui pendalaman pada
mendengarkan dengan baik untuk diri kita serta orang lain. Komunikasi
nirkekerasan membantu kita menemukan kedalaman belas kasih kita sendiri.
Bahasa ini mengungkapkan kesadaran bahwa semua manusia hanya berusaha
untuk menghormati nilai-nilai universal dan kebutuhan, setiap menit, setiap
hari.
3 Rosenberg, Marshall , Nonviolent Communication: A Language of Life. (Encinitas:
Puddledancer Press, 2003), h.7-8
3
Komunikasi nirkekerasan dapat dilihat baik sebagai praktek spiritual
yang membantu kita melihat kemanusiaan kita, menggunakan kekuatan kita
dengan cara yang menghormati kebutuhan semua orang, dan keterampilan
kongkret yang membantu kita menciptakan kehidupan melayani keluarga dan
masyarakat. Komunikasi nirkekerasan adalah komunikasi untuk menciptakan
suasana perdamaian satu sama lain.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu unsur
terpenting dalam proses komunikasi adalah channel atau saluran. Melalui apa
kita menyampaikan pesan atau menyimbolkan sesuatu kepada seseorang,
adalah juga merupakan suatu penentu dalam proses komunikasi. Film
merupakan salah satunya, saluran yang bisa dipakai dalam proses komunikasi.
Manurut UU No. 23 Tahun 2009 tentang perfilman, pasal 1 menyebutkan
bahwa film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan
media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi
dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.4 Maka film merupakan
salah satu media penyampaian pesan secara tidak langsung kepada
komunikannya. Disebutkan dalam definisi bahwa film merupakan media
komunikasi massa dengan menggunakan teknologi modern. Seperti juga apa
yang dikemukakan oleh Oey Hong Lee bahwa film sebagai alat komunikasi
massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai massa pertumbuhannya pada
akhir abad ke- 19, dengan perkataan lain pada waktu unsur – unsur yang
merintangi perkembangan surat kabar sudah dibikin lenyap.5Dengan demikian
maka dapat kita ketahui bahwa dari awal permulaannya film telah bebas dari
hal – hal yang merintangi media komunikasi massa sebelumnya, sehingga
4 Teguh Trianto, Film Sebagai Media Belajar ( Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 1
5 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 126
4
otomatis film menjadi alat komunikasi yang efektif. Dengan teknologi yang
digunakan daya jangkau film mampu merambah kepada masyarakat luas
secara bersamaan, sehingga film merupakan media komunikasi yang efektif.
Selain itu Onong Uchjana Effendi dalam Kamus Komunikasinya
menyebutkan bahwa film adalah media yang bersifat visual atau audio visual
untuk menyampaikan pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di
suatu tempat.6Selain itu kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak
segmen sosial, lantas membuat para ahli bahwa film memiliki potensi untuk
memengaruhi khalayak.7Dengan demikian, maka dapat kita mengerti
keefektifitasan film dalam menyampaikan pesan kepada komunikannya.
Menggunakan kekuatan gambar maupun suara, yang dapat disiarkan kepada
banyak orang dengan waktu yang bersamaan. Maka simbol – simbol yang
tertuang dalam gambar mapupun suara dalam film dapat dengan mudah
diinterpretasikan oleh penontonnya sebagai pesan.
Karena keefektifitasannya, tidak mengherankan jika sampai saat ini
banyak sekali para sineas membuat film dan menggunakannya sebagai alat
komunikasi, menyampaikan pesan yang ingin disampaikan lewat sebuah film.
Seperti film dengan judul Where Do We Go Now karya sutradara Nadine
Labaki yang dirilis tahun 2012. Mengambil latar di Lebanon dan
memenangkan penghargaan pada tahun 2011 pada Toronto International Film
Festival8, film ini menceritakan tentang satu desa bernama Lebanese yang
tengah berada dalam desakan konflik antar agama yang melanda Lebanon.
Desa Labanes merupakan desa terpencil di Lebanon yang didalamnya hidup
6 Onong Uchjana Effendy, Kamus Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1989),
h. 134 7 Ibid, Alex Sobur, h. 127
8http://www.tribute.ca/movies/where-do-we-go-now/28479/
5
bermacam agama dengan damai. Namun, desa ini mengalami tekanan dari luar
yang dapat memicu terjadinya konflik antar agama. Mulai dari informasi yang
masuk ke dalam desa melalui media massa mengenai konflik agama yang
terjadi di Lebanon sampai terbunuhnya sanak saudara mereka akibat konflik
tersebut. Ditengah semakin tersulutnya ego kaum pria untuk saling
menyalahkan dan berperang antar agama, sebaliknya kaum perempuan di desa
Labanes justru semakin bersatu untuk memadamkan api permusuhan di sana.
Berbagai macam cara dipikirkan dan dilakukan oleh para perempuan desa,
agar desa yang mereka cintai tetap hidup damai walaupun dengan perbedaan
agama di dalamnya. Film ini penting dan sangat menarik untuk diteliti karena
film ini mengandung dua pesan penting, setidaknya menurut penulis yaitu:
1. Mengandung dialog antaragama sebagai upaya membangun perdamaian
dimana perdamaian menjadi tujuan dari kehidupan bermasyarakat yang
hidup dalam keragaman
2. Peran perempuan sangat kental dalam membangun upaya perdamaian.
Perempuan yang acapkali didomestikasi, dalam film ini perempuan
muncul sebagai aktor utama dalam membangun perdamaian menggunakan
cara-cara nirkekerasan
Film ini sangat sarat makna dan menarik untuk diteliti. Bagaimana
kaum perempuan yang masih banyak dipandang sebagai makhluk tidak
berdaya dan tidak rasional, mampu berpikir jernih dan berani mengambil
resiko demi suatu capaian penting yakni perdamaian. Bagaimana kaum
perempuan yang masih banyak diposisikan dalam tugas domestik mampu
keluar dari zona yang dikonstruksikan untuknya dan mengambil peran besar
dalam masyarakat dengan usaha menciptakan perdamaian. Serta bagaimana
6
para kaum perempuan mampu mencegah konflik dengan menggunakan
komunikasi nir kekerasan. Dan apakah semua hal tersebut merupakan pesan
dakwah yang ingin disampaikan melalui film ini..
Maka, dari latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan
penelitian pada film tersebut, dengan mengambil judul “Dialog Antaragama
dan Peran Perempuan : Analisis Semiotika Pesan Film WHERE DO WE
GO NOW’
B. Batasan Dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti hanya berfokus pada simbol–simbol dan
dialog yang menunjukkan tentang pesan–pesan dialog antaragama dan
peran perempuan dalam film „Where Do We Go Now?‟
2. Rumusan Masalah
a. Bagaiman makna denotasi dan konotasi pesan dialog antaragama film
„Where Do We Go Now?‟
b. Bagaimana makna denotasi dan konotasi pesan peran perempuan film
„Where Do We Go Now?‟
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Agar pembaca dapat memahami makna denotasi dan konotasi pesan
film Where Do We Go Now mengenai dialog antaragama melalui
makna denotasi dan konotasi.
7
b. Agar pembaca dapat makna denotasi dan konotasi memahami pesan
film Where Do We Go Now mengenai peran perempuan melalui
makna denotasi dan konotasi
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya kajian
mengenai dialog antaragama dan peran perempuan melalui analisis
semiotika di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
a. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman
kepada masyarakat tentang pesan–pesan dialog antaragama dan peran
perempuan membangun perdamaian yang ingin disampaikan dalam
film Where Do We Go Now. Dan dapat memperkaya khasanah dakwah
Islam dengan menggunakan media film.
D. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian Semiotika Roland Barthes
Metodologi adalah proses, prinsip dari prosedur yang digunakan
untuk mendekati masalah dan mencari jawaban. Dengan ungkapan lain
metodologi adalah suatu pendekatan umum untuk mengkaji topik
penelitian.9Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode penelitian
deskriptif kualitatif, yaitu dengan melakukan penelitian yang
9Deddy Mulyana. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006) cet, ke-5, hal.145
8
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, gambar dan buku-buku,
laporan penelitian akan bersifat kutipan-kutipan atau memberi gambaran
penyajian laporan tersebut. Data tersebut berdasarkan dari naskah
wawancara, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya.10
Penelitian ini menggunakan metode analisis semiotika Roland
Barthes. Semiotik adalah ilmu tentang tanda – tanda. Semiotik
mempelajari sistem – sistem, aturan – aturan, konvensi – konvensi yang
memungkinkan tanda – tanda tersebut mempunyai arti. Tokoh – tokoh
penting dalam bidang semiotik adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli
linguistik dari Swiss, dan Charles Sanders Peirce seorang ahli filsafat dan
logika Amerika.11
Keduanya tidak bertemu sama sekali, sehingga kendati
keduanya memiliki kemiripan gagasan, penerapan konsep – konsep dari
masing – masing keduanya, namun seringkali mereka mempunyai
perbedaan. Barangkali keduanya berangkat dari tradisi yang berbeda,
Pierce adalah guru besar filsafat dan logika, sementara Saussure adalah
seorang ahli linguistik.12
Semiotik menurut pemikiran Peirce dibedakan menajdi tiga yakni
lambang (symbol), ikon (icon), dan indeks (index). Lambang adalah
adalah tanda yang dibentuk karena adanya konsensus dari pengguna tanda.
Ikon adalah dimana hubungan antara tanda dan acuannya berupa hubungan
10
Lexy J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000), cet. Ke 11, h.3 11
Rachmat Kriyanto, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), cet. 3, h. 264 12
Aart Van Zoest, Interpretasi dan Semiotika, (Terj.) oleh Okke K.S Zaimar dan Ida
Sundari Husein dalam Panuti dan Aart Van Zoest, (Ed) Serba Serbi Semiotika, (Jakarta:
Gramedia, 1991), h.1.
9
kemiripan. Dan indeks adalah suatu tanda yang mempunyai bubungan
langsung (kausalitas) dengan objeknya.
Semiotik menurut pemikiran Ferdinand Saussure, tanda terdiri dari
signifier yakni bunyi – bunyi dan gambar serta signified yakni konsep –
konsep dari bunyi dan gambar. Dalam memeahami tanda, Saussure
menjelaskan apa yang dimaksud kode yakni sistem pengirganisasian tanda.
Dalam semiotik kode dipakai untuk merujuk pada struktur prilaku
manusia. Budaya dapat kita lihat sebagai kumpulan kode. Jika kode sudah
diketahui maka makna akan bisa dimengerti. Saussure merumuskan dua
cara pengorganisasian tanda ke dalam kode, yaitu pragmatig dan
syntagmatic.
Selanjutnya adalah model semiotik Roland Barthes, yang
merupakan penerus dari pemikiran Saussure. Jika Saussure tertarik pada
cara kompleks pembentukkan kalimat dan cara bentuk – bentuk kalimat
menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat
yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda situasinya. Maka
semiotik Roland Barthes menekankan pada interaksi teks dengan
pengalaman personal kultural penggunanya, interaksi antara konvensi
dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh
penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan istilah“order of
signification”.13
Bagi Roland Barthes, “secara prospektif objek semiologi adalah
semua sistem tanda, entah apapun substansinya, apapun batasannya:
13
Rachmat Kriyanto, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), cet. 3, h. 270
10
gambar, gerak tubuh, bunyi, melodis, benda – benda, dan pelbagai
kompleks yang tersusun oleh substansi yang bisa ditemukan oleh ritus,
protokol, dan tontonan sekurangnya merupakan sistem signifikasi
(pertandaan), kalau bukan merupakan „bahasa‟ (langage).14
Pada mulanya Barthes membatasi medan riset semiologi dengan
menetapkan: medan semiologi berisi “sistem – sistem tanda‟. Bagi
Barthes, sistem itu dicirikan oleh fakta bahwa sistem tersebut memiliki
signifikasi atau beberapa signifikasi; tetapi kita juga mengurusi sistem –
sistem yang didalamnya perkara yang sudah diidentifikasi hanyalah
pelbagai kumpulan yang berisi fakta – fakta signifikasi.15
Two orders of signification (signifikasi dua tahap atau dua tahapan
pertandaan) Berthes terdiri dari first Order of signification yaitu denotasi,
dan second order of signification yaitu konotasi. Tatanan yang pertama
mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang
disebut denotasi.16
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
antara tanda dan rujukannya pada realaitas, yang menghasilkan makna
yang eksplisit, langsung dan pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang
di dalamnya berpotensi makna yang bersifat implisit dan tersembunyi.
14
Janne Martine, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h. 3 15
Janne Martine, Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara Semiologi
Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), cet. 1, h. 5 16
M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Denotasi; Teori dan Aplikasi
(Yogyakarta:Gitanyali, 2004), h. 56
11
Tabel 1. Peta tanda Roland Barthes
1. Signifier (Penanda) 2. Signified (Petanda)
3. Denotative Sign
(Tanda Denotatif)
4. conotattive Signifer
(Penanda Konotatif)
5. Conotative Signified
(Petanda Konotatif)
6. Conotative Sign
(Tanda Konotatif)
Dari peta tanda Roland Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif
(3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan,
tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal
tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “sign”
barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi
mungkin.17
Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaannya. Secara ringkas denotasi dan konotasi dapat
dijelaskan sebagai berikut:18
a. Denotasi adalah interaksi antara signifier dan signified dalam sign dan
antara sign dengan referent (objek) dalam relaitas eksternal.
b. Konotasi adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan
perasaan atau emosi pembaca atau pengguna dan nilai – nilai budaya
mereka. Maka, menjadi subjektif atau intersubjektif. Tanda lebih terbuka
dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi.
17
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. 2, h. 69 18
M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Denotasi; Teori dan Aplikasi
(Yogyakarta:Gitanyali, 2004), h. 57
12
Denotasi adalah kata yang tidak mengandung makna atau perasaan –
perasaan tambahan, maknanya disebut makna denotatif. Makna denotatif
memeiliki beberapa istilah seperti makna denotasional, refrensial, konseptual,
atau makna ideasional. Sedangkan konotasi adalah kata yang mengandung
makna tambahan, perasaan tertentu atau nilai rasa tertentu disamping makna
dasar yang umum. Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna
konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif.19
Denotasi dan konotasi tidak bisa dilihat secara terpisah atau berdiri
sendiri. Sebuah tanda yang kita lihat pasti suatu denotasi. Makna denotasi
adalah apa yang terlihat pada gambar, dengan kata lain gambar dengan
sendirinya memunculkan denotasi. Denotasi dengan sendirinya akan menjadi
konotasi dan untuk selanjutnya konotasi justru menjadi denotasi ketika
konotasi tersebut sudah umum digunakandan dipahami bersama sebagai
makna yang kaku.
2. Subjek dan Objek Penelitian
a. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah film Where Do We Go Now.
b. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah simbol – simbol dan dialog yang ada
dalam film Where Do We Go Now.20
c. Waktu
Penelitian dilakukan selama tiga bulan yakni dari bulan Maret sampai
dengan bulan Juni 2014.
19
AS. Haris Sumandiria, Bahasa Jurnalistik; Panduan Praktis Penulis dan Jurnalistik
(Bandung: SimbiosaRekatama Media, 2006)cet. 1, h. 27 - 28 20
Ibid., hal. 129
13
d. Teknik Pengumpulan Data
1) Observasi Film „Where Do We Go Now‟
Observasi atau pengamatan adalah metode pengumpulan data
yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui
pengamatan dan penginderaan.21
Maka, dalam penelitian ini peneliti
melakukan observasi atau pengamatan secara mendalam dengan
menonton film Where Do We Go Now. Kemudian menangkap dan
memahami simbol – simbol serta dialog dari film ini yang menjadi
penanda yang diteliti.
2) Dokumentasi
Metode pengumpulan data dokumentasi adalah dengan
mengumpulkan data – data penelitian atau informasi yang berbentuk
dokumentasi, yaitu seperti otobiografi, kliping, cerita roman, data yang
tersimpan di web site dan sebagainya.22
E. Tinjauan Pustaka
Setelah melakukan penelusuran terhadap skripsi-skripsi yang ada pada
beberapa perguruan tinggi penulis menemukan skripsi yang membahas
tentang semiotika sosial, yaitu:
1. Semiotika Mati Syahid dalam film Death in Gaza, yang ditulis oleh
Muhammad Dhiyaa Ulhaq NIM. 108051000111, mahasisa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Menggunakan
teori semiotika Roland Barthes peneliti ingin mengetahui bagaimana sign,
code, elemen, dan convention pada adegan tertembaknya tokoh utama
21
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial, ( Jakarta: Prenada Media Grup, 2009), h. 115 22
Ibid, Burhan Bungin, h. 122
14
dalam film Death in Gaza. Dari skripsi tersebut terdapat kesamaan dalam
penggunaan teori. Namun ada beberapa perbedaan yakni pada subjek dan
objek penelitian. Karena objek penelitian sebelumnya yakni film Death in
Gaza adalah film dokumenter, sedangkan objek skripsi ini adalah film
Where do We Go Now merupakan fiksi denga genre drama.
2. Analisis semiotika film Balibo Five oleh Rahmat Subekti, NIM:
1060511011937, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan
Konsentrasi Jurnalistik. Penelitian ini menggunakan pisau analisis dari
Roland Barthes dengan menggunakan metode penelitian deskriptif
analisis. Peneliti ingin melihat wacana mengenai konsep tentang
jurnalisme damai dan juga konsep peliputan dalam keadaan konflik.
Memiliki kesamaan dalam teori yakni sama – sama menggunakan
semiotika Roland Barthes, namun memiliki perbedaan dalam objek dan
subjek penelitian.
3. Analisis Semiotika Film Turtles Can Fly oleh Istianah NIM.
105051102014 mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam. Dengan menggunakan teori semiotika
Roland Barthes, peneliti ingin mengetahui makna denotasi, konotasi dan
mitos mengenai konsep perang menurut Islam. Walaupun menggunakan
teori yang sama yakni teori semiotika Roland Barthes, namun objek dan
subjek dalam skripsi tersebut berbeda.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, untuk mempermudah memahami
skripsi ini, maka terbagi lima bab. Sistematika penulisan skripsi ini
berdasarkan buku panduan Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tiap bab terdiri dalam beberapa sub bab.
Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan
dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
metodologi penelitian (pendekatan penelitian, metode
penelitian, tempat dan waktu penelitian, subjek dan objek
penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data),
tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori dan Kerangka Konseptual yang menjelaskan
tentang dialog antaragama dan peran perempuan.
BAB III : Bab ini difokuskan pada gambaran umum terhadap judul skripsi
“Dialog Antaragama dan Peran Perempuan dalam Pesan Film
Where Do We Go Now: Analisis Semiotika Roland Barthes”.
BAB IV : Merupakan bagian Analisis terhadap pesan dialog antaragama
dan peran perempuan yang ingin disampaikan dalam film
Where Do We Go Now dengan menggunakan pendekatan
semiotika Roland Barthes yang meliputi makna denotasi, dan
konotasi.
BAB V : Merupakan tahap akhir dari skripsi ini yang berisi kesimpulan
dan saran-saran.
16
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konseptualisasi Komunikasi
1. Komunikasi Nirkekerasan Marshall Rosernberg
Non Violent Communication (komunikasi nirkekerasan) atau
disebut komunikasi nirkekerasan. Term Nirkekerasan dalam bahasa
indonesia dipopulerkan oleh Rizal Pangabean dan Ihsan Ali Fauzi dalam
buku yang diterjemahkannya karya Muhammad Abu-Nimer yaitu
Nirkekerasan dan Bina-damai dalam Islam; Teori dan praktik. Istilah
nirkekerasan memang sangat lekat dengan konteks bina damai dan
biasanya melelui metode komunikasi. Oleh karenanya seorang pakar
komunikasi, Dr. Marshall B. Rossenberg mengembangkan metode
komunikasi nirkekerasan. Dia mendirikan sebuah lembaga pelayanan
pendidikan The Center For Non Violant Communication (Pusat
Komunikasi Tanpa Kekerasan). Pusat Komunikasi Tanpa Kekerasan
adalah sebuah organisasi global yang mendukung pembelajaran dan
berbagi komunikasi nirkekerasan, dan membantu orang damai dan efektif
menyelesaikan konflik dalam pengaturan pribadi, organisasi, dan politik.
Komunikasi nirkekerasan mulai berkembang pada awal tahun 1960
dengan kerangka teori. Komunikasi nirkekerasan adalah penyampaian
pesan dengan mengedepankan tiga mode komunikasi yaitu self emphaty,
receiving emphatically dan expressing honestly.23
23
Rosenberg, Marshall , Nonviolent Communication: A Language of Life. (Encinitas:
Puddledancer Press, 2003), h.8
18
a. Self-emphaty adalah melibatkan perasaan kasih yang tinggi berhubungan
dengan apa yang terjadi di dalam diri kita. Mungkin saja mencakup hal-hal
seperti, tanpa menyalahkan, memperhatikan pikiran dan
mempertimbangkan perasaan ketika mengalami sesuatu, dan yang paling
kritis adalah, menghubungkan dengan kebutuhan yang mempengaruhi
kita.
b. Receiving emphatically, adalah melibatkan hubungan dengan apa hidup
orang lain dan apa yang akan membuat hidup indah bagi mereka. Ini
bukan pemahaman sendiri di mana kita hanya secara mental memahami
apa yang orang lain katakan. Koneksi empatik pemahaman tentang
perasaan di mana kita melihat keindahan pada orang lain, energi ilahi
dalam orang lain, kehidupan yang masih hidup di dalamnya, itu tidak
berarti kita harus merasakan perasaan yang sama seperti orang lain. itu
simpati, ketika kita merasa sedih bahwa orang lain marah ini tidak berarti
kita memiliki perasaan yang sama. Jika perasaan kita mencoba memahami
orang lain, kita tidak perlu dalam keadaan yang sama. Menerima dengan
empati atau empatik melibatkan, mengosongkan pikiran dan
mendengarkan dengan seluruh keberadaan kita komunikasi nirkekerasan
menunjukkan bahwa bagaimanapun orang lain mengekspresikan diri
mereka, kita fokus pada mendengarkan untuk mendasari pengamatan,
perasaan, kebutuhan, dan permintaan. Disarankan bahwa hal itu dapat
berguna untuk mencerminkan sebuah kiasan dari apa yang orang lain telah
katakan. Menyoroti komponen komunikasi nirkekerasan tersirat dalam
pesan mereka, seperti perasaan dan kebutuhan yang diekspresikan.
19
c. Expressing honestly adalah kemungkinan akan melibatkan
mengekspresikan pengamatan, perasaan, kebutuhan, dan permintaan.
Mengekspresikan kejujuran atas kebutuhan terhadap sesuatu melalui
komunikasi dapat terlihat. Sebuah observasi dapat dihilangkan jika
konteks percakapan jelas. Perasaan A mungkin dihilangkan jika ada
koneksi yang cukup. Dikatakan bahwa penamaan kebutuhan selain
perasaan membuat kecil kemungkinan bahwa orang akan berpikir anda
membuat mereka bertanggung jawab atas perasaan anda
Komunikasi nirkekerasan didasarkan pada prinsip antikekerasan, yakni
keadaan alami belas kasih ketika tidak ada kekerasan hadir dalam hati.
Komunikasi nirkekerasan mulai dengan asumsi bahwa kita semua penuh kasih
dengan alam dan bahwa strategi kekerasan baik perilaku verbal atau fisik
dipelajari, diajarkan dan didukung oleh budaya yang berlaku. Komunikasi
nirkekerasan juga mengasumsikan bahwa kita semua sama, kebutuhan dasar
manusia, dan bahwa setiap tindakan kita adalah strategi untuk memenuhi satu
atau lebih dari kebutuhan ini. Hal tersebut adalam merupakan asumsi dasar
dari apa yang dimaksud komunikasi nirkekerasan dalam kerangka teori.
Berikut penulis akan menyuguhkan asumsi dasar sebagaimana yang
dikemukan oleh Marshall Rosernbeg, Inbal Kashtan, Miki Kashtan melalui
website yaitu: 24
a. All human beings share the same needs. Bahwa semua manusia adalah
memiliki kebutuhan yang sama.
24
http://www.baynvc.org/assumptions_and_intentions.php diakses pada 5 September
2014, pukul 15.54
20
b. Our world offers sufficient resources for meeting everyone's basic needs.
Dunia ini banyak memiliki sumber untuk membuat titip poin setiap
kebutuhan dasar manusia
c. All actions are attempts to meet needs. Semua tindakan merupakan upaya
untuk memenuhi kebutuhan.
d. Feelings point to needs being met or unmet. Perasaan menunjukkan
kebutuhan terpenuhi atau tidak terpenuhi.
e. All human beings have the capacity for compassion. Semua manusia
memiliki kemampuan untuk berkasih sayang
f. Human beings enjoy giving. Manusia suka saling memberi.
g. Human beings meet needs through interdependent relationships. Manusia
berkebutuhan untuk saling bergantung satu sama lain.
h. Human beings change. Manusia itu akan berubah
i. The most direct path to peace is through self-connection. Jalan yang paling
langsung untuk sebuah perdamaian adalah melalui self-koneksi
Komunikasi nirkekerasan yang mengedepankan pola komunikasi
empati dan mengedepankan kejujuran dengan asumsi dasar sebagaimana yang
telah dikemukan diatas dianggap mampu untuk mengatasi kemungkinan
terjadinya konflik oleh Marshall Rosernberg. Pola komunikasi ini juga dapat
diterapkan dalam membangun upaya-upaya perdamaian. Pola komunikasi
inilah yang banyak diterapkan oleh banyak pendamping dalam menyelesaikan
konflik atau bahkan mencegah konflik terjadi, seperti komunikasi yang
nampak dalam film Where do We Go Now yang menjadi objek penelitian bagi
peneliti.
21
B. Teori Feminisme
1. Feminisme
Berbagai analisis tentang ketertindasan perempuan ini telah
menghasilkan teori – teori secara akademis yang dikenal dengan teori
feminisme. Feminisme yang didefinisikan sebagai semua usaha untuk
menghadapi manisfestasi sitem patriarkhal. Seperti dikutip dari Chris
Wedons dalam Feminist Practice and Postructuralist Theory bahwa
sistem patriarkhal adalah mengacu pada hubungan kekuatan di mana
kepentingan perempuan dianggap lebih rendah dari laki – laki, yang
memiliki banyak bentuk mulai dari penggolongan jenis kelamin dan
pemberdayaan dalam organisasi sosial, hingga norma feminitas yang
diinternalisasinkan dalam kehidupan kita, kekuatan patriarkhal bertumpu
pada makna sosial yang berdasar pada jenis kelamin.25
Dalam buku
Filsafat Berprespektif Feminis oleh Gadis Arivia, teori – teori feminisme
dikelompokkan menjadi tiga bagian besar dalam rangka untuk
memudahkan pemetaan teori feminisme, yaitu gelombang pertama
feminisme, gelombang kedua feminisme, dan gelombang ketiga
feminisme.26
a. Gelombang pertama feminisme
Feminisme awal dimulai sejak tahun 1800-an merupakan
representasi gelombang feminisme pertama. Landasan – landasan yang
dipakai pada masa ini adalah feminisme liberal, feminisme radikal, dan
feminisme Marxis / Sosialis.
25
Sarah Gambel, Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, (Jogjakarta:
Jalasutra, 2010), h. 1 26
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003), h. 82 – 154.
22
Feminisme liberal, Alison Jegar dalam bukunya Feminist Politics
and Human Natur mengemukakan pemikiran kaum liberal bahwa secara
naluriah manusia memiliki kemampuan yang unik yakni rasionalitas.
Rasionalitas di sini didefinisikan dalam berbagai aspek yakni moralitas
dan kebijaksanaan.27
Ketika akal didefinisikan sebagai kemampuan untuk
memahami prinsip – prinsip rasional moralitas maka, ada penekanan atas
otonomi individual di sini. Apabila akal didefinisikan sebagai kemampuan
untuk memilih cara guna mendapatkan hasil yang diinginkan maka di sini
ada nilai pemenuhan diri yang ditegaskan. Sebagai konsekuensinya aliran
liberalisme menekankan individu untuk mempraktikkan otonomi dirinya
yang mengisi serta memenuhi dirinya. “Hak” bagi kaum liberal harus
diprioritaskan. Salah satu tujuan dari feminis liberal adalah adanya
kesempatan yang adil. Marry Wollstonecraft (1759 – 1799) yang dikutip
oleh Zillah Einstein dalam bukunya The Radical Future of Liberal
Feminism, banyak menulis tentang posisi perempuan Eropa abad ke-18
yang sangat tidak menguntungkan dalam bidang ekonomi dan sosial.
Ketika kekuatan kapitalisme industrial mulai memindahkan pekerjaan
produktif dari rumah menuju pabrik, mulai dari situlah perempuan
dirumahkan. Hal ini membentuk mentalitas para perempuan menjadi pasif
karena kehilangan otoritasnya sebagai manusia yang setara dengan laki –
laki. Menurutnya jika laki – laki disiapkan menjadi manusia yang tangguh
dengan pendidikan nilai - nilai keberanian, keadilah, dan ketabahan maka
perempuan juga harus mendapatkan pendidikan yang setara dengan itu.
27
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003), h. 89
23
Karena, perempuan bukanlah seperti yang dikatakan Kant sebagai “alat”
untuk memenuhi kebahagiaan orang lain, namun perempuan adalah “hasil
akhir” itu sendiri seorang agen rasional yang mempunyai kemampuan dan
kehendak diri.28
Pada abad ke – 19 Jhon Stuart Mill dan Harriet Taylor Mill
mengkritisi lebih jauh bukan hanya kesetaraan pendidikan, namun juga
masyarakat harus memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan
dalam hal kebebasan sipil dan kesempatan ekonomi sebagaimana yang
dinikmati oleh laki – laki. Juga perjuangan mereka mengenai hak pilih
yang merupakan jalan keluar bagi perempuan untuk mencapai
kesetaraan.29
Pada abad ke – 20, pemikiran Friedan yang tertulis dalam
bukunya The Second Stage melanjutkan usahanya untuk melindungi
“ruang keluarga” dan “ruang pribadi”,30
mengajurkan perempuan untuk
tidak lagi menjadi superior dengan memadukan dunia kerja dengan
menjadi ibu rumah tangga sekaligus, karena menurutnya ini merupakan
juga bentuk penindasan. Maka seharusnya perempuan dan laki – laki
bekerjasama untuk membangun nilai – nilai sosial, gaya kepemimpinan
dan struktur – struktur institusional yang memungkinkan kedua gender
tersebut meraih kepuasan diri baik di ranah publik maupun di ranah
privat.31
Feminisme radikal, pemikiran utama dari feminis radikal dalah
bahwa dasar dari penindasan atas perempuan adalah terletak pada
28
Ibid h. 89 – 91 29
Ibid h. 92 30
Sarah Gambel, Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, (Jogjakarta:
Jalasutra, 2010), h. 43 31
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, h.98 - 99
24
seksualitas dan sistem gender. Penindasan menurut paham ini adalah
berakar dari dominasi atas seksualitas perempuan yang ditemui di ranah
privat. Oleh karena itu, kaum feminis memiliki selogan untuk pergerakan
mereka yakni the personal is political.32
Ini artinya berbagai penindasan
yang terjadi di ruang pribadi merupakan juga penindasan yang
berlangsung di ruang publik. Pekerjaan penting bagi kalangan feminis
radikal adalah memperjuangkan isue – isue kesehatan. Mereka mempunyai
keyakinan bahwa pada dasarnya persoalan kesehatan perempuan di bawah
kontrol laki – laki. Millet mempopulerkan frase “politik seksual” dan
perluasan istilah petriarki”, bagi Millet patriarki adalah institusi politik
yang menjadi sebuah penindasan terinstitusi oleh laki – laki kepada
perempuan dan seks adalah sebuah kategori status dengan implikasi
politik.33
Maka usaha yang sangat penting bagi mereka adalah memberi
keyakinan bahwa tubuh perempuan adalah milik perempuan.
Ketidakpahaman atas pemikiran ini berdampak terjadinya kekerasan
terhadap perempuan. Maka, keputusan yang berkaitan dengan ketubuhan
seperti aborsi, alat kontrasepsi dan sebagainya harus berada dalam kuasa
perempuan.
Menurut seorang feminis bernama Kate Miller dalam bukunya
Sexual Polics, berpendapat bahwa sistem gender/seks merupakan akar dari
penindasan perempuan, maka harus dihancurkan dan membentuk
masyarakat baru di mana perempuan dan laki – laki setara di dalamnya.
Kesetaraan dapat tercapai jika ada pemahaman androgini, yaitu ciri – ciri
32
Ibid., h. 101 33
Sarah Gambel, Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, (Jogjakarta:
Jalasutra, 2010), h. 43
25
baik maskulinitas maupun feminitas ditemui di dalam diri kedua kelamin
yang ada yang dapat memberikan kontribusi positif bagi laki – laki dan
perempuan.34
Seperti, kepatuhan yang sering dikatakan ciri feminitas yang
identik dengan perempuan bukanlah sesuatu yang negiatif, kenyataan
bahwa sifat tersebut dimiliki juga oleh laki – laki membuat kita tidak bisa
menyangkal.
Feminisme Marxis dan Sosialis, kedua aliran tersebut memiliki
banyak persamaan. Namun memiliki perbedaan, jika feminisme sosialis
lebih menekankan pada penindasan gender di samping penindasan kelas
sebagai salah satu sebab dari penindasan terhadap perempuan. Sedangkan
menurut feminisme Marxis persoalannya hanya terletak pada masalah
kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan status perempuan.
Kalangan feminisme Marxis mengajak kita untuk mengerti bahwa
penindasan terhadap perempuan bukan disebabkan oleh kesengajaan
individu atau institusi yang merugikan perempuan. Atas dasar itu mereka
tidak percaya akan konsep hukum dan keputusan yang sensitif gender
seperti yang selama ini diyakini oleh kelompik feminis liberal. Mereka
juga tidak setuju dengan penjelasan mengenai seksualitas seperti apa yang
diyakini oleh feminis radikal. Menurut feminisme Marxis, penindasan
perempuan terjadi melalui produk politik, sosial, dan struktur ekonomi
yang berkaitan erat dengan apa yang disebut sebagai sistem kapitalisme.
Menurut feminisme Marxis perempuan tidak akan setara dan tidak akan
membentuk dirinya sendiri jika masih bergantung dengan laki – laki.
34
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, h. 107
26
Ketertindasan yang dialami perempuan harus dilihat dari status
kerja dan citra dirinya. Perbedaan kelas yang terjadi disini akhirnya dalah
kelas laki – laki dan perempuan. dimana penindasan kelas yang dialami
oleh perempuan disebabkan karena perempuan bekerja di ranah domestik
yang dianggap noncomoditi sehingga tidak bernilai. Dewasa ini teori
feminisme Marxis sering diterapkan untuk persoalan buruh perempuan
berkaitan dengan gaji yang tidak setara, penuntutan hak cuti, dan
kesempatan yang sama. Teori ini memberikan jalan keluar bagi
penindasan perempuan adalah dengan memiliki ekonomi yang baik.35
b. Gelombang Kedua Feminisme
Teori pada gelombang kedua feminisme adalah teori feminisme
eksistensialis oleh Simone de Beauvoir. Pada feminisme gelombang dua,
titik tekan ada pada perbedaan antara laki – laki dan perempuan.
Perbedaan ini dipandang secara netral, bahwa kualitas yang ada pada
perempuan sama pentingnya dengan kualitas yang ada pada laki – laki.36
c. Gelombang Ketiga Feminisme
Gelombang ketiga feminisme ini sangat dipengaruhi oleh
pandangan postmodernisme, maka lahirlah feminisme postmoderen,
feminisme multikultural dan global, serta ekofeminisme.
Feminisme postmoderen, alienasi yang dialami oleh perempuan
disebabkan oleh cara berpikir, berada, dan berbahasa yang tidak
memungkinkan terjadinya keterbukaan, pluralitas, diversifikasi, dan
perbedaan
35
Ibid., h. 118 36
Ibid., h. 120
27
Feminisme multikultural dan global, penindasan terhadap
perempuan tidak dapat hanya dijelaskan lewat patriarki, tetapi ada
keterhubungan masalah dengan ras, etnisitas, dan sebagainya. Dalam teori
feminisme global bukan hanya ras dan etnisitas tapi juga hasiol
kolonialisme dan dikotomi “dunia pertama” dan “dunia ketiga”.
Feminisme ekofeminisme, sejalan dengan feminisme
multikulturalisme dan global, ingin memberi pemahaman adanya
keterhubungan antara segala bentuk penindasan manusia dan
nonmanusia(alam). Memperlihatkan keterlibatan perempuan dalam
seluruh ekosistem. Adanya kerangka kerja dominasi maskulin dalam
perusakan lingkungan.37
2. Konseptualisasi Gender
Untuk mengistilahkan kesetaraan laki – laki dan perempuan yang
memiliki definisi operasionalnya tersendiri, para ahli menggunakan istilah
gender.38
Gender, secara etimologis berasal dari kata gender yang berarti jenis
kelamin .39
Namun, gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan
disebabkan oleh perbedaan biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan
diciptakan baik oleh laki-laki maupun perempuan melalui proses sosial
budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara pria dan perempuan, selain
disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru terbnetuk melalu proses
37
Ibid., h. 107 38
Syafiq Hasyim, Bebas Dari Patriarkhisme Islam, (Depok: KataKita, 2010) cet ke- 1, h.
153 – 154. 39
Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia, (Jakarta Gramedia
Pustaka Utama, 1996), cet.23a
28
sosial dan kultural. Oleh karena itu gender dapat berubah dari tempat
ketempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi masyarakat40
.
Mufidah dalam Paradigma Gender41
mengungkapkan bahwa
pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk,
kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial
atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos – mitos
seolah – olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan.
Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan
posisi setara antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan
masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan
sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran)
terhadap persoalan laki – laki dan perempuan terutama yang terkait dengan
pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu
sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi
juga kepada laki – laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi
termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang
lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender
yang telah diraih oleh laki – laki beberapa tingkat dalam peran sosial,
terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah diharapkan dapat
mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan dalam
berbagai segmen kehidupan sosial.
Kerap kita jumpai ketidaksetaraan gender ini dalam kehidupan,
seperti pembedaan peran publik menjadi urusan laki – laki sedangkan
40
Mansour Faqih, Gender Sebagai Alat Analisis Sosial, Edisi 4 November 1996. 41
Mufidah Ch, Paradigma Gender, (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), hlm. 4-6.
29
perempuan hanya bertempat di domestik saja. Hal ini berdampak banyak
bagi kehidupan perempuan yang akhirnya terpinggirkan. Hak memperoleh
pendidikan bagi perempuan akhirnya tidak lebih prioritas dibandingkan
laki-laki. Dalam bidang pekerjaan, perempuan di Negara ini saja masih
dianggap sebagai pencari nafkah kelas dua, sehingga sangat merugikan bagi
mereka perempuan sebagai tulang punggung keluarga. Bahkan dalam
lingkup masyarakat yang paling kecil saja yakni keluarga, ada semacam
pelanggengan bahwa kepala keluarga adalah laki – laki, sehingga
perempuan bukanlah decision making dalam keluarga yang secara otomatis
pendapat perempuan tidak lebih penting ketimbang laki - laki. Inilah
sebabnya mengapa perempuan masih menempati posisi yang lemah.
C. Tinjauan Tentang Film
1. Pengertian Film
Film adalah karya seni dan budaya yang merupakan media
komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas
sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan
video, dan bahan – bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala
hal bentuk, jenis dan ukuran maupun proses kimiawi elektronik atau
proses lainnya dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan
atau ditayangkan dengan sistem proyeksi, mekanik, elektronik atau
lainnya.42
42
Chaidir Rahman, Festifal Film Indonesia, (Medan: Badan Pelaksana FFI, 1983), H. 8
30
Film merupakan teknologi hiburan massa yang dimanfaatkan untuk
menyebarluaskan informasi dan berbagai pesan dalam skala luas
disamping pers, radio dan televisi.43
Film dimasukkan dalam kelompok komunikasi massa yang
mengandung aspek hiburan, juga memuat aspek edukatif. Namun, aspek
kontrol sosialnya tidak sekuat pada surat kabar, majalah, serta televisi
yang menyiarkan berita berdasarkan fakta yang terjadi. Fakta film
ditampilkan secara abstrak dimana tema cerita bertolak dari fenomena
yang terjadi di tengah masyarakat. Bahkan dari itu dalam film cerita dibuat
secara imajinatif.44
Film sama dengan abstrak lainnya, yaitu memiliki sifat – sifat
dasar media lainnya yang terjalin dalam suasana yang beragam. Film
memiliki kesanggupan untuk memainkan ruang dan waktu,
mengembangkan mempersingkatnya, menggerakmajukan, dan
memundurkannya secara bebas dalam batasan – batasan wilayah yang
cukup lapang. Meski antara media film dan lainnya terdapat kesamaan –
kesamaan, film adalah sesuatu yang unik yang bergerak secara bebas dan
tetap. Penerjemahannya langsung melalui gambar – gambar visual dan
suara yang nyata dan juga memiliki kesanggupan untuk menangani
berbagai subjek yang tidak terbatas ragamnya. Berkat unsur inilah film
merupakan salah satu bentuk seni alternatif yang banyak diminati oleh
masyarakat.45
43
Sean Mac Bride, Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Masa Depan, Aneka Suara
Satu Dunia, (Jakarta: PN Balai Pustaka Unesco, 1983), h. 120. 44
William L. Rievers-Jay W. Jensen, Theodore Peterson, Media Massa dan Masyarakat
Modern, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 252. 45
Adi Pranajaya, Film dan Masyarakat; Sebuah Pengantar (Jakarta: Yayasan Pusat
Perfilman H. Usman Ismail, 1993), h. 6.
31
Salah satu kelebihan yang dimiliki film, baik yang ditayangkan lewat
tabung televisi maupun layar perak, film mampu menampilkan realitas kedua
(The second reality) dari kehidupan manusia. Kisah – kisah yang ditayangkan
lebih bagus dari kondisi nyata sehari – hari, atau sebaliknya bisa lebih buruk.46
Media perfilman kini telah mampu merebut perhatian masyarakat.
Lebih – lebih setelah berkembangnya teknologi komunikasi massa yang dapat
memberikan kontribusi bagi perkembangan dunia perfilman. Meskipun masih
banyak bentuk – bentuk media massa lainnya, film memiliki efek eksklusif
bagi para penontonnya. Puluhan bahkan ratusan penelitian berkaitan dengan
efek media massa, mengatakan bahwa betapa kuatnya media film bagi
kehidupan manusia sehingga dapat memengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan
penontonnya.47
2. Unsur – unsur Film
Terdapat beberapa unsur dalam film, yaitu:
a. Title/ judul film
b. Crident title (meliputi produser, kru, artis, dan lain – lain).
c. Tema film, sebagai inti cerita yang terdapat dalam sebuah film.
d. Intrik, adalah usaha pemeranan oleh pemain dalam menceritakan adegan
yang telah disiapkan dalam naskah untuk mencapai tujuan yang diinginkan
oleh sutradara.
e. Klimaks, puncak dari inti cerita yang disampaikan. Klimaks bisa
berbentuk konflik, atau benturan antar kepentingan para pemain.
46
William L. Rievers-Jay W. Jensen, Theodore Peterson, Media Massa dan Masyarakat
Modern, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 199. 47
KH. Miftah Farudh, Dakwah Kontemporer Pola Alternatif Dakwah Melalui Televisi,
(Bandung, : Pusdai Pres, 2000), h. 96.
32
f. Plot, adalah alur cerita yang didesain atau direkayasa untuk mencapai
tujuan tertentu. Maka itu satu topik yang sama bisa dibuat beberapa plot
sesuai dengan sudut pandang yang diambil dan tujuan yang ingin dicapai.
g. Million/setting, yaitu latar belakang kehadiran sebuah film. Latar belakang
ini bisa berbentuk waktu, tempat, perlengkapan, aksesoris, dan lain
sebagainya.
h. Sinopsis, yaitu ringkasan cerita, biasanya berbentuk naskah.
i. Trailer, yaitu bagian film yang menarik.
j. Karakter, yaitu penokohan para pemain.48
3. Jenis – jenis Film
Film – film yang beredar dan dikenal masyarakat memiliki beberapa
jenis, yaitu:
a. Film roman / drama, adalah suatu kejadian atau peristiwa hidup yang
hebat, mengandung konflik, pergolakan, clash atau benturan antara dua
orang atau lebih. Sifat drama: romance, tragedi, komedi.
b. Film misteri/ horor, mengupas terjadinya fenomena mistis yang
menimbulkan rasa heran, takjub, dan takut.
c. Film dokumenter, film yang berisi tentang dokumentasi dari kisah
kehidupan nyata, atau juga berisi tentang dokumentasi dari kehidupan di
luar itu, misalnya tentang kehidupan satwa, dokumentasi perang.
d. Film realisme, film yang mengandung relevansi dengan kehidupan sehari
– hari.
e. Film sejarah, melukiskan kehidupan tokoh tersohor dan peristiwanya.
48
Aep Kusnawan et.al, Komunikasi Penyiaran Islam, (Bandung: Benang Merah Press,
2004), h. 101.
33
f. Film perang, menggambarkan peperangan situasi di dalamnya atau
setelahnya.
g. Film futuristik, menggambarkan masa depan secara khayali.
h. Film anak, mengupas tentang dunia anak.
i. Film kartun, cerita bergambar yang diawali dari media cetak, yang diolah
sebagai cerita bergambar, bukan saja sebagai story board melainkan
gambar yang sanggup bergerak dengan teknik animasi atau single stroke
operation.
j. Film advanture, film pertarungan, tergolong film klasik.
k. Film seks/porno, memiliki cerita utama tentang erotisme.49
49
Aep Kusnawan et.al, Komunikasi Penyiaran Islam, (Bandung: Benang Merah Press,
2004), h. 101.
34
BAB III
GAMBARAN UMUM FILM WHERE DO WE GO NOW
A. Sinopsis Film
Film dengan latar lokasi Lebanon ini hendak menceritakan sebuah
kisah yang mengandung upaya-upaya pembanguna perdamaian. Disutradarai
oleh seorang aktris perempuan Nadine Labaki. Untuk mengetahui lebih detail,
apa yang menjadi latarbelakang pembuatan film ini, Sinopsis Film Where Do
We Go Now
Film ini berlatar di sebuah desa terpencil di Lebanon, meski tidak
disebutkan dengan gamblang. Ditengah peperangan yang sedang melanda
negeri, diceritakan ada satu desa terpencil yang sangat sulit untuk ditempuh
dan dikepung oleh padang ranjau. Dengan damai, komunitas dua keagamaan
yakni Islam dan Kristen hidup bersaudara di desa tersebut, namun konflik atas
nama agama mudah saja tersulut dengan masuknya informasi perang dari luar
desa. Melihat kemungkinan yang sangat riskan itu, beberapa warga desa yang
digawangi oleh kaum perempuan mempunyai gagasan untuk menghalau
masuknya kemungkinan penyebab konflik dari sisi manapun. Bersama masing
– masing imam agama desa, para perempuan ini berkumpul dan mencari taktik
cerdik agar perang tidak terjadi di desanya.
Film dimulai dengan prosesi iring-iringan perempuan membuat jalan
menuju pemakaman desa. Takla, Amale, Yvonne, Afaf dan Saydeh dan
perempuan – perempuan lainnya dengan tenang dan raut sendu menembus
panasnya mentari, sambil mendekap erat foto laki-laki tercinta yang pergi
karna keganasan perang yang sia-sia. Beberapa dari perempuan berkerudung
35
atau mengenakan salib kayu, tetapi semua berpakaian hitam dan bersatu
dengan rasa duka bersama. Duka mendalam dan pemahaman yang sama
bahwa perang adalah malapetaka. Ketika mereka tiba di gerbang pemakaman,
prosesi terbagi menjadi dua Islam dan Kristen.50
Para perempuan berkumpul secara teratur di kafe untuk menyusun
strategi menjaga orang-orang dari peperangan. Sedangkan imam keagamaan
masing – masing menjaga perdamaian di rumah ibadahnya masing – masing,
dengan menjaga jamaahnya dari provokasi – provokasi apapun. Ketika
pengacau mengirim kambing ke masjid dan air suci di gereja diganti dengan
darah ayam, praktis menyulut terjadinya pertikaian.
Tindakan pertama perempuan adalah untuk menonaktifkan desa dari
sumber informasi melalui televisi yang baru diperbaiki, maupun dari surat
kabar. Yvonne yakni istri dari kepala desa, pada suatu malam berdoa kepada
patung Bunda Maria, dan berpura – pura menjadi wanita suci untuk
menyampaikan wahyu Ilahi kepada orang-orang bahwa perdamaian harus
dijaga. kemudian di tengah malam beberapa wanita menggali tanah tempat
disimpannya senjata perang, untuk dipindahkan dan disembunyikan agar para
kaum pria tidak menemukannya.
Dalam ancaman yang paling serius terhadap perdamaian, Roukoz
tewas dalam baku tembak saat mengendarai sepeda motornya di luar desa. Ibu
dan Saudaranya memilih untuk tidak memberitahu warga desa, karena pasti
akan menggunakan insiden itu sebagai alasan untuk perang. Akhirnya jasad
Roukoz diam-diam dimasukannya ke dalam sumur dan menyebarkan berita
bahwa ia memiliki gondok dan terlalu sakit untuk menerima pengunjung.
50
http://www.festival-cannes.fr/assets/Image/Direct/040899.pdf
36
Dalam skema yang paling rumit karena peperangan sudah di ujung tanduk.
Akhirnya para perempuan berusaha mengalihkan perhatian orang-orang
dengan mengimpor sekelompok penari Lebanon.51
B. Profil Sutradara Film Where Do We Go Now
Nadine Labaki Lahir di Beirut, Lebanon pada 18 Februari 1974. Lulus
sarjana mudanya di Beirut pada tahun 1993. Dia memperoleh gelar sarjana
dalam studi audiovisual di Saint Joseph Universitas di Beirut (IESAV),
menyutradarai film kelulusannya dengan judul “11 Rue Pasteur”, pada tahun
1997 dan berhasil memenangkan Film Pendek Terbaik Award Biennale of
Cinema Arab di Institut du Monde Arabe (Paris) dalam 1998. Dia kemudian
merambah ke dunia iklan dan banyak video musik untuk penyanyi Timur
Tengah, yang juga memenangkan beberapa penghargaan di tahun 2002 dan
2003. Pada tahun 2004, ia mengambil bagian dalam Festival de Cannes
Residence dan menyelesaikan menulis CARAMEL, fitur film pertamanya
yang dirilis pada tahun 2006. Caramel diputar di Fortnight Direksi di Cannes
pada tahun 2007 dan ini sukses secara komersil di Perancis pada musim panas
tahun itu. Film terjual di seluruh dunia. Kemudian Where Do We Go Now?
merupakan film keduanya52
, disusul dengan film ketiganya “Rock the Casbah”
pada 2013. Nadine Labaki menikah dengan Khaled Mouzannar pada Oktober
2007.53
51
http://www.nytimes.com/2012/05/11/movies/where-do-we-go-now-from-nadine-
labaki.html?_r=0 52
http://www.festival-cannes.fr/assets/Image/Direct/040899.pdf 53
http://www.nytimes.com/2012/05/11/movies/where-do-we-go-now-from-nadine-
labaki.html?_r=0
37
C. Tim Produksi Film Where Do We Go Now?
Director : Nadine Labaki
Producer : Anne-Dominique Toussaint
Screenplay : Nadine Labaki, Jihad Hojeily, Rodney Al Haddad
With the collaboration of Thomas Bidegain
Music : Khaled Mouzanar
Cinematographer : Christophe Offenstein
Editor : Véronique Lange
Set design : Cynthia Zahar
Costumes : Caroline Labaki
Sound : Michel Casang, Gwennolé Le Borgne, Dominique
Gaborieau
First assistant director : Thierry Guérinel
Production manager : Pascal Bonnet
Executive producers : Lebanon Lara Chekerdjian , Abla Khoury (Ginger
Beirut Productions)
Coproducers : Romain Le Grand , Hesham Abdelkhalek, Tarak
Ben Ammar
Coproduction : France-Liban-Italie-Egypte, Les Films des
Tournelles, Pathé, Les Films de Beyrouth, United
Artistic Group, Chaocorp, France 2 Cinéma, Prima
TVWith the participation of Canal +, Cinécinéma,
France Télévisions, With the support of Ministry of
Culture, Lebanon, Fonds Francophone, Production
38
Audiovisuelle du Sud In association with The Doha
Film Institute
Distribution : Middle East United Artistic Group 28 International
sales Pathé International54
D. Deskripsi Karakter Tokoh dalam Film Where do We Go Now
1. Amale : Nadine Labaki
Merupakan salah satu tokoh utama dalam film ini, memainkan
peran sebagai perempuan kristen dengan status janda beranak satu. Diam –
diam memiliki perasaan kepada seorang pemuda muslim. Namun,
perasaannya hanya bisa mengembara di pikiran dan angannya. Amale,
memiliki sebuah kafe yang sering digunakan sebagai tempat para
perempuan untuk menyusun strategi mencegah peperangan di desa
tersebut.
2. Takla : Claude Baz Moussawbaa
Merupakan ibu dari Nassim dan Issam, dan memiliki toko
penyedia kebutuhan sehari – hari. Takla adalah perempuan janda yang
tegar, dan berpendirian teguh. Dia berusaha keras mengorbankan
perasaannya agar konflik tidak terjadi. Ketika Nassim wafat, dia lebih
memilih untuk tidak memberitahukan kepada warga desa, agar tidak
memicu pecahnya konflik.
3. Afaf : Layla Hakim
Ibu dari Hammoudi dan Issam dan mereka merupakan keluarga
muslim. Afaf adalah ibu yang tegas dan tidak memanjakan anak – anaknya
54
http://www.festival-cannes.fr/assets/Image/Direct/040899.pdf
39
atas kesalahan yang diperbuat mereka. Juga saling membantu untuk
menjaga kedamaian desa bersama teman – teman lainnya.
4. Yvonne : Yvonne Maalouf
Seorang kristiani yang adalah istri dari kelapa desa, yang juga
bersama teman – teman perempuan yang lainnya berusaha mencegah
terjadinya konflik agama di desa tersebut. Ny. Yvonne memiliki andil
besar dalam usaha – usaha pencegahan konflik, yakni pernah berpura –
pura menjadi wanita suci yang bisa berinteraksi dengan Bunda Maria, dan
mengatakan pesan perdamaian kepada warga desa.
5. Ssaydeh : Antoinette Noufaily
Merupakan salah satu anggota dari kelompok perempuan desa
yang bersama – sama ikut berperan dalam pencegahan konflik agama di
desa. Salah satu perannya adalah ikut bersama Ny. Afaf, Nassim, dan
Roukoz ke kota untuk mengundang para penari dari Lebanon.
6. Rabih : Julien Farhat
Pemuda muslim yang bekerja mendekorasi rumah Ny. Amale.
Memiliki perasaan terpendam kepada Ny. Amale, namun juga tidak bisa
mengungkapkannya. Rabih adalah pemuda yang keras kepala, dan
merupakan penggerak kelompok pria muslim termasuk andilnya dalam
meletusnya konflik.
7. Roukoz : Ali Haidar
Merupakan keponakan Ny. Takla dan bersama dengan sepupunya
yakni Roukoz, selalu membantu bibiknya dalam menjalankan usahanya di
desa. Nassim sangat menyayangi sepupunya, selalu bersama – sama
40
menjalankan misi mereka berdua, walaupun harus mengahdapi resiko.
Roukoz adalah pemuda yang memiliki tujuan, sangat bersemangat, dan
berprinsip.
8. Nassim : Kevin Abboud
Merupakan anak dari Ny. Takla, memiliki tugas membantu ibunya
yang memiliki toko yang menyediakan kebutuhan sehari – hari. Setiap
subuh Roukoz dan sepupunya Nassim pergi ke kota untuk mendapatkan
barang – barang yang akan kembali dijualnya di desa dengan melewati
jalur berbahaya karena kerap terjadi perang dan dipenuhi ranjau.
9. Rita : Petra Saghbin
Merupakan keponakan dari Ny. Takla yang tinggal bersama
Nassim dan Ibunya di rumah. Juga memiliki tugas membantu bibiknya
menjalankan usaha tokonya.
10. Hammoudi : Mostafa AL Sakka
Putra dari Ny. Afaf, seorang pemuda desa yang jahil, keras kepala,
sehingga kerap memicu masalah dengan teman sebayanya.
11. Issam : Sasseen Kawzally
Merupakan salah satu putra Ny. Afaf dan saudara dari Hammoudi.
12. Aida : Caroline Labaki
Istri dari Issam dan anak menantu dari Ny. Takla. Aida juga ikut
membantu para perempuan desa dalam usaha menjaga kedamaian desa
tersebut.
13. Fatmeh: Anjo Rihane
Merupkakan seorang muslimah, istri dari Abou Ahmad. Adalah
seorang istri yang tegas dan tidak segan menegur suaminya yang
41
melakukan kekeliruan. Fatmeh, juga merupakan salah satu perempuan
desa yang mengusahakan terpeliharanya kedamaian di desa tersebut.
14. Abou Ahmad : Mohammad Akil
Sorang muslim, suami dari Fatmeh. Abou Ahmad adalah seorang
yang mudah tersulut emosinya, dan mudah terprovokasi.
15. Mayor Khalil : Bou Khalil
Seorang kristiani suami dari Ny. Yvonne. Mayor adalah kepala
desa yang memiliki harapan agar desanya tetap terpelihara kedamaian,
dan dua kelompok agama yakni Islam dan Kristen dapat hidup rukun
seperti sebelumnya.
16. Boutros : Fouad Yammine
Adalah pemuda kristiani, yang emosional dan mudah
terprovokasi.
17. Sassine : Mounzer Baalbaki
Merupakan ajudan dari sang mayor, seorang yang hanya
menunggu perintah dan seakan tidak perduli terhadap kejadian yang
terjadi di sekitar.
18. Abou Ali : Sami Khorjieh
Seorang pria berusia lanjut yang dengan berani memasuki
kawasan ranjau demi mengambil kambingnya yang mati terkena ranjau,
dan direlakan untuk menjadi suguhan dalam acara perdana nonton TV
bersama warga desa.
19. Istri Boutros : Cendrella Yammine
Merupakan salah seorang dari perempuan desa yang bersama –
sama berusaha untuk mencegah terjadinya konflik di desa tersebut.
42
20. Youssef : Georges Khoury
Merupakan seorang pemuda kristiani yang mudah terprovokasi
untuk ikut berperang dengan saudara muslimnya.
21. Katia : Oxana Chihane
22. Svetlana : Anneta Bousaleh
23. Anna : Olga Yerofyeyeva
24. Tatiana : Yulia Maroun
25. Olga : Oksana Beloglazova
26. Gisele : Gisèle Smeden
Katia, Svetlana, Anna, Tatiana, Gisele dan Olga merupakan para
penari baik hati yang disewa oleh para perempuan desa dalam rangka
mengalihkan perhatian agar tidak meletus peperangan di desa tersebut.
27. Bus driver : Adel Karam
Adalah seorang pria, yang menajdi supir para penari dari Lebanon
yang mengantarkan mereka menuju desa. Adalah seorang yang banyak
bicara, namun tidak konsisten dan pengecut.
28. Priest : Samir Awad
Pendeta gereja, dan pemuka agma Kristen di desa. Beliau tidak
menginginkan terjadinya konflik antar agam, karena berkeyakinan hal itu
merupakan tindakan dosa. Maka, dengan memberikan khutbah dan
meyakinkan jemaatnya agar tidak terprovokasi serta bersama Kiyai ikut
membantu para perempuan dalam usahanya pencegahan konflik di desa
tersebut.
43
29. Cheikh : Ziad Abou Absi
Imam masjid dan pemuka agama Islam di desa tersebut. Sang
Imam tidak menginginkan terjadinya perang karena beliau sadar
peperangan atas nama agama adalah menyalahi Wahyu Allah SWT.
Maka, caranya adalah dengan memberikan ceramah dan wejangan
kepada jamaahnya, serta dengan membantu kaum perempuan mencegah
konflik di desa tersebut.55
55
http://www.festival-cannes.fr/assets/Image/Direct/040899.pdf
44
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Deskripsi Film
Deskripsi film ini diambil dari hasil telaah penulis dalam hasil
wawancara dengan Nadine Labaki dalam sebuah situs internet.56
Cerita ini berlatar tempat di sebuah desa di pegunungan terpencil, di
mana perempuan Muslim dan Kristen hidup bersama, menggunakan berbagai
cara dan berkorban untuk menghentikan para laki-laki dari membunuh satu
sama lain. Hal semacam itu, kedengarannya seperti sebuah drama yang serius,
padahal sebenarnya ada banyak momen lucu. Sungguh ironis, bertahan dari
kemalangan dan menemukan strategi bertahan hidup, adalah cara menemukan
kekuatan untuk bangkit kembali. Dalam suatu kasus, bagi saya itu penting.
Saya ingin film ini menjadi sebuah drama komedi, sehingga akan
menimbulkan banyak tawa dalam emosi.
Perang antara dua agama adalah hal yang sudah biasa kita temui.
Perbedaan yang terjadi antara Sunni dan Syiah, antara kulit hitam dan putih,
antara dua partai, dua klan, dua bersaudara, dua keluarga atau dua desa.
Pengejewantahan dari setiap perang sipil adalah dimana orang di suatu negara
yang sama membunuh satu sama lain, ketika mereka bertetangga dan bahkan
berteman. Hal ini menjadi latar dari pembuatan film bertema pembangunan
perdamaian ini.
56
http://www.festival-cannes.fr/assets/Image/Direct/040899.pdf
45
Namun demikian film ini bukan cerita tentang perang, sebaliknya, ini
tentang bagaimana untuk menghindari perang. Setiap individu yang hidup di
Lebanon tidak akan bisa hidup dengan tenang tanpa ancaman perang yang
kapan pun bisa terjadi. Oleh karenanya, film ini ingin menampilkan
bagiamana menghadapi dan mencegah perang yang terjadi.
Where Do We Go Now adalah film kedua Nadine Labaki setelah
Caramel, sebuah film bertema perempuan yang juga terbilang sukses. Dalam
film ini sang sutradara sangat menyukai realitas nyata, menempatkan orang-
orang nyata dalam situasi nyata dan membiarkan mereka menciptakan realitas
mereka sendiri adalah jawaban dari mengapa aktor-aktor yang dipilih dalam
film ini adalah aktor non-profesional.
Film ini dibuat di tiga desa yang berbeda: Taybeh, Douma dan
Mechmech. Yang pertama, terletak di Lembah Bekaa, benar-benar sebuah
desa Kristen dan Muslim di mana masjid di samping gereja, seperti dalam
cerita. Sutradara ingin latar tempat sedapat mungkin dekat dengan realitas.
Sebuah desa yang menghabiskan waktu dalam kemiskinan dan terisolir
setelah mengalami perang, dan terputus dari dunia luar, tanpa televisi atau
telepon yang terhubung ke seluruh negara dengan jembatan yang dipenuhi
ranjau dan hancur oleh tembakan. Bersama Cynthia Zahar, ia mengerjakan
banyak material, tekstur dinding, kayu, kain. Nadine juga dibantu oleh
suaminya dalam membuat aransment musik dalam film ini.
B. Penyajian Temuan Data Penelitian
Nadine Labaki menyuguhkan sebuah film yang sarat akan makna.
Where Do We Go Now menjadi judul film garapannya tersebut. Makna –
46
makna yang terkandung berisi pesa – pesan dialog antaragama di tengah –
tengah kondisi desa yang terisolir akbiat perang antaragama di negara
Lebanon. Dialog antaragama yang dilakukan menggunakan nonviolent
communication (komunikasi nirkekerasan) sebagaimana Marshall Rosenberg
mengungkapkan bahwa komunikasi nirkekerasan efektif untuk menjadi alat
resolusi konflik. Dalam melakukan resolusi konflik agar konflik tidak pecah,
Nadine Labaki ingin menunjukkan bahwa peran perempuan amat penting dan
besar. Hal itulah yang menjadi data penelitian ini adalah menguji teori
komunikasi nirkekerasan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes
yaitu tanda denotatif dan konotatif.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Observasi pada film Where Do We Go Now dan dokumentasi yaitu
data – data yang diperoleh dari artikel – artikel juga catatan transkip, studi
kepustakaan seperti skripsi terdahulu juga jurnal ilmiah. Peneliti tidak
melakukan wawancara dengan pihak terkait, karena dalam semiotika
dokumen berupa hasil karya film lah yang dianalisis secara mendalam
menggunakan penafsiran dari peneliti dengan teknik analisis semiotika
Roland Barthes.
Untuk penelitian ini tidak semua shot akan diteliti, namun hanya shot
– shot tertentu yang dianggap peneliti berisi tanda – tanda dialog antaragama
dan pesan perempuan agar penelitian lebih fokus pada masalah yang ada, baik
audio ( dialog, sound effect, dan suara pendukung lainnya), visual (sudut/tata
letak kamera dalam pengambilan gambar), dan setting (waktu dan tempat).
Untuk mempermudah proses analisis dalam penelitian, dibuatlah tabel
sebagai berikut :
47
Tabel B.1
Contoh Tabel Analisis
Setting Visual Audio
1. Setting: waktu dan tempat
2. Visual: ide/gagasan yang dituangkan dalam rangkaian kata – kata menjadi
bentuk gambar atau bahan yang bersifat visual.
3. Audio: dialog, Sound effect, dan suara pendukung lainnya.
Peneliti akan menganalisis film melalui setting film, gambaran visual,
dialog serta suara pendukung lainnya. Untuk mempermudah penelitian ini,
peneliti memperoleh 10 Scene petanda dialog antaragama dan 10 Scene
petanda peran perempuan dari pesan film Where do We Go Now yang dapat
diteliti secara semiotika menggunakan pemaknaan denotasi dan sesuai dengan
semiotika Roland Barthes.
Penetapan Scene – Scene ini dilakukan berdasarkan content yang berisi
tanda – tanda terhadap kegiatan yang mengandung unsur komunikasi
nirkekerasan dengan tujuan dialog antaragama serta peran perempuan, agar
kajian penelitian lebih fokus. Adapun Scene-Scene tersebut adalah sebagai
berikut :
Tabel B.2 Tabel Data Penelitian Petanda Dialog Antaragama
No Scene Keterangan
1. Scene a
Prolog film Where do We Go Now
48
2. Scene b
Gotong royong pemuda
antaragama
3. Scene c
Saat kepala desa berpidato bahwa
Pendeta dan Kiai sangat tinggi
peranannya dalam membangun
perdamaian di desa
4. Scene d
Saat percakapan tentang mana
yang lebih baik antara Islam dan
Kristen, Yvone menenangkan
perdebatan tersebut dengan
menunjuk ke arah Sassine yang
bercakap – cakap dengan seorang
lansia.
5. Scene e
Saat Pendeta menenangkan
jemaatnya yang tengah emosional
akibat kesalahfahaman.
6. Scene f
Saat Kiai menasehati para jemaah
laki – laki yang tersulut emosi
akibat komunikasi yang buruk dan
terpengaruh dengan suasana di
luar desa.
49
7. Scene g
Saat Ny. Ta‟la meminta Fatmeh
agar tidak memberi tahu suaminya
keributan yang terjadi karena ulah
Issam anaknya, agar tidak terjadi
konflik susulan.
8. Scene h
Saat pemuka agama bekerjasama
dalam menyusun strategi agar
para jemaatnya tidak terperangkap
dalam kemarahan yang memicu
terjadinya konflik
9. Scene i
Saat Ny. Ta‟la dan para ibu – ibu
warga desa berpura – pura
berpindah agama
10. Scene j
Epilog film Where Do We Go
Now.
50
Gambar B.3 tabel data penelitian petanda peran perempuan
NO Scene Keterangan
1. 1 Scene a
Para perempuan desa sedang
berkumpul di kedai Ny. Amale
untuk mempersiapkan hari
pembaptisan. Sedangkan para laki –
laki sibuk bermain kartu.
2. Scane b
Ny. Amale mengganti channel radio,
setelah mendapatkan kode dari
teman – teman perempuannya.
3. Scene c
Saat penduduk desa sedang
menonton televisi bersama, Abou
Ahmad bersikeras untuk menonton
berita tentang kerusuhan yang
terjadi.
4. Scene d
Ny. Takla menghentikan anaknya
yang menyerang anak kecil muslim.
51
5. Scene e
Para perempuan menyelidiki apakah
ada sabotase tanda baptis.
6. Scene f
Ny. Yvone berpura – pura menjadi
santo dan mampu berdialog dengan
perawan suci, dibantu Ny.saydeh,
Amale, Takla dan Rieta
7. 7 Scene g
Para perempuan desa berkumpul
untuk menggalang dana untuk
menyewa artis.
8. .
Scene i
Salah seorang artis bersandiwara dan
menjadi mata – mata dengan
meninggalkan jaket berisi recorder
untuk menyelidiki rencana
kelompok laki – laki muslim desa.
52
9. .
Scene j
Ny. Takla dibantu Rieta dan Rukoz,
menyembunyikan jasad Nassim di
dalam sumur.
10. 1 Scene l
Para perempuan desa berkumpul
untuk membuat kudapan yang akan
disajikan pada acara pertemuan di
desa.
53
1. Makna Denotasi Fillm tentang Dialog Antaragama
a. Scene a
Gambar 1. Scene a
Tabel B.4.1 tabel analisis Scene a
Setting Visual Audio
Outdoor
Menit ke
00.00-01.29
Sebuah desa yang hidup di dalamnya
dua kelompok, yaitu Islam dan Kristen.
Desa yang terisolir dari informasi paska
perang antar agama di negara Lebanon.
Di desa tersebut hidup rukun diantara
dua kelompok, karena upaya – upaya
bina damai yang dilakukan, sebelumnya
peperangan terjadi, para perempuan
kehilangan anak laki – laki atau suami
Prolog film:
Cerita ini dikisahkan untuk semua
orang yang ingin mendengar.
Kisah tentang mereka yang
berpuasa, kisah tentang mereka
yang berdoa. Kisah tentang kota
kecil yang dikelilingi ladang
ranjau. Terperangkap
peperangan yang jaraknya begitu
54
akibat konflik yang pecah. Di desa
tersebut terdapat pemakaman dimana
termakam adalah para laki – laki,
sementara perempuan selalu terus
berkabung karena laki – laki yang gugur
satu persatu.
dekat. Dua kelompok yang patah
hati terserang panas matahri.
Tangan mereka bernoda darah
atas nama salib dan bulan
bintang. Dari tempat terpencil
ini ada sebuah kedamaian yang
bisa dipilih. Dari siapa sejarah
bergulir diatanra kawat berduri
dan desingan peluru.
Kisah panjang tentang wanita
bergaun hitam. Tanpa bintang-
bintang berkilau, tanpa bunga-
bunga yang segar. Mata mereka
dikeliligi lingkaran gelap. Wanita
yang dipermainkan takdir. Untuk
menunjukkan keberanian mereka.
Pemaknaan Denotasi
Pada Scene diatas, sutradara menunjukkan latar tempat pembuata film.
Sebuah desa yang hidup dua kelompok yaitu Islam dan Kristen ditandai
dengan berdirinya rumah ibadah, gereja dan masjid yang berdekatan.
Sutradara juga menunjukkan adegan para perempuan yang berkabung berjalan
menyusuri jalanan menuju pemakaman yang di dalamnya adalah para anak
lelaki dan suami mereka, terkubur akibat konflik yang terjadi. Sutradara juga
memperdengarkan prolog film ini.
55
b. Scene b
Gambar 2. Scene b
Tabel B.4.2 tabel analisis Scene a
Setting Visual Audio
Out door
Menit ke
07.43-8.28
Pemuda, perempuan, pemuka agama
bekerjasama dalam menyelenggarakan
acara nonton bersama untuk warga
desa. Acara ini dilakukan untuk
memperingati hari kebahagiaan desa
karena sudah bertahun – tahun hidup
dalam kerukunan meski perang tetap
terjadi di luar desa.
Roukoz : Ayo kita mencari signal agar
kita dapat menonton bersama semua
warga desa untuk mengenang
kebahagiaan desa kita yang sudah
hidup damai.
Pendeta: dimana orang – orang akan
duduk kalau tidak dengan kursi – kursi
ini.
Ny. Ta’la: Lihat, semangkanya segar-
segar, pasti akan nikmat disajikan nanti
malam
Pemaknaan denotasi
Pada adegan terlihat diatas, bahwa pemuda, pemuka agama,
perempuan sangat antusis bekerjasama untuk mewujudkan keharmonisan
bersama. Mereka bergotong royong untuk melakukan acara nonton bersama
56
c. Scene c
Gambar 3. Scene c
Tabel B.4.3 tabel analisis Scene a
Setting Visual Audio
Outdoor
Menit ke:
10.33-12.40
Kepala desa meyampaikan sambutan
dalam acara nonton bersama dalam
rangka memperingati kebahagiaan
desa karena telah berhasil hidup
rukun bertahun – tahun paska perang
meskipun perang tetap terjadi di luar
desa. Kepala desa menunjuk pada
Kiai dan Pendeta, bahwa peran
mereka sangat tinggi dalam
membangun perdamaian, mereka
menjadi simbol persatuan di desa
tersebut.
Dialog Pidato Kepala Desa:
Di hari yang bahagia ini dan
bersejarah bagi kampung kita.
Terimakasih untuk pak pendeta dan
pak Kiyai atas kedatangannya.
Simbol perastuan dan perdamaian
kita, kami minta maaf untuk rute
yang jauh dan susah ditempuh,
tetapi seperti yang anda tahu, ini
adalah ssatu-satunya tempat yang
layak. Bapak ibu yang terhormat,
saya senang dan gembira
berkumpul bersama anda disini. Di
bawah langit berbintang pada hari
yang penuh kemenangan, dimana
57
sebagai satu kesatuan kita semua
bergerak dari abad ke-20 menuju
abad ke-21. Dan bersama persatuan
ini, terimakasih kepada Abou Ali,
dan kita ucapkan Brigitte (domba)
tidak mati sia – sia. Dia
mengorbankan dirinya untuk kita.
Mengorbankan tubuhnya. Setiap
kita disini bisa berjumpa dnegan
takdir yang sama. Ingatlah, hanya
kambing sehatlah yang baik
dikonsumsi. Tuhan memberkatimu
Abou Ali.
Dengan cara yang sama kita
mengatasi konflik dan pertumpahan
darah sesama saudara yang
memisahkan kita. Dan saya harap
semoga sesegera mungkin kita bisa
terjembatani dan hidup damai
seperti kebanyakan orang.
Kita juga ucapkan terimakasih
kepada Ny. Yvone, isteriku tercinta
yang menyumbangkan TV
warisannya.
58
Pemaknaan denotasi
Dalam Scene ini terlihat adegan Pendeta dan Kiai saling menatap
penuh senyum saat mendengar pidato kepala desa. Kepala desa berterimakasih
atas kehadiran mereka, yang menjadi simbol persatuan di desa yang hidup
berdampingan dua kelompok, Islam dan Kristen.
d. Scene d
Gambar 4. Scene d
Tabel B.4.4 tabel analisis Scene d
Setting Visual Audio
Indoor
Menit ke:
20.15-20.40
Para ibu – ibu baik muslim maupun
non muslim menyiapkan makanan di
kedai Ny. Amal untuk persiapan acara
pembaptisan. Dalam proses
pembungkusan makanan terjadi
percakapan yang adalah gosip
mengenai relasi antara Ny. Amal
seorang nasrani dan Rabi seorang
muslim, kemudian terjadi sedikit
perdebatan kecil.
Dialog yang terjadi di kedai Ny.
Amal saat ibu-ibu menyiapkan
persiapan acara pembaptisan
sambil bergosip.
Dialog:
Perempuan 1 : „kenapa Rabi
tidak dibaptis saja‟?
Perempuan 2 : banyak loh
keuntungan menjadi kristen.
59
Fatmeh (muslim) : „memang
kalian lebih baik dari kami?
Yvone : (mendamaikan adu
argumen diantara perempuan
„Lihatlah Sassine (sambil
menunjuk ke pemuda yang
menghibur seorang lansia), dia
bahkan tidak tahu kristen apa
muslim.
Perempuan 1 : tentu saja dia
tidak peduli
Pemaknaan Denotasi
Terlihat dalam adegan pada Scene d ini, sedang bekerjasama
menyiapkan acara pembaptisan. Meskipun acara tersebut adalah untuk ummat
nasrani, namun perempuan-perempuan muslim juga turut membantu
menyiapkan. Dalam percakapan di meja para perempuan, terjadi perdebatan
antara Fatmeh dengan perempuan lain soal kepercayaan yang mereka peluk,
masing-masing orang meyakini bahwa agamanya yang paling benar. Ny.
Yvone kemudian terlihat menenangkan, dia tidak mau terjadi perdebatan yang
memicu pertengkaran, sebagaimana dia menunjuk pada Sassine seorang pria
muslim yang sedang menghibur seorang lansia nasrani. Nampak dalam dialog
Yvone sebagai berikut, „Lihatlah Sassine (sambil menunjuk ke pemuda yang
menghibur seorang lansia), dia bahkan tidak tahu kristen apa muslim
60
e. Scene d
Gambar 5. Scene e
Tabel B.4.5 tabel analisis Scene d
Setting Visual Audio
Indoor
Menit ke:
26.35-27.11
Roukoz terjatuh dari kayu salib sebab
ingin mengambil speaker masjid
untuk digunakan dalam acara nonton
bersama. Salib patah dan membuat
kemarahan para jemaat. Para jemaat
berprasangka kalau patahnya salib
karena ulah sabotase kelompok
muslim. Pendeta menenangkan para
jemaat, bahwa patahnya salib bukan
karena ulah sabotase kelompok
muslim.
Dalam adegan ini, pendeta
menenangkan para jemaat yang
tengah berprasangka buruk akibat
patahnya salib. Berikut adalah
dialog:
Dialog:
„Aku membiarkan jendelanya
terbuka, tidak tertutup sama
sekali, angin bertiup dan
membuat salibnya patah. Kenapa
harus ribut?
61
„sekarang ada salib patah, dan
kalian bertingkah seolah-olah ada
orang jahat? Kau bilang ada yang
merusak itu. Mereka yang
menyebabkan kekacauan di
kampung ini. Jangan biarkan
situasi di luar mempengaruhimu.
Semuanya Cuma gosip, semuanya
baik-baik saja, semunya
terkendali.‟
Pemaknaan Denotasi
Dalam adegan ini, Roukoz yang mematahkan kayu salib tidak mau
mengaku. Sehingga jemaat lainnya berprasangka bahwa yang mematahkan
kayu salib adalah kelompok muslim. Pendeta sempat bertanya pada jemaat
Adakah yang mau mengangkat tangan? Ia bertanya apakah diantara jemaat
ada yang mematahkan kayu salib tersebut? Dan tidak ada yang menjawab.
Maka pendeta mengatakan bahwa “Aku membiarkan jendelanya terbuka, tidak
tertutup sama sekali, angin bertiup dan membuat salibnya patah. Kenapa
harus ribut?.”
62
f. Scene f
Gambar 6. Scene f
Tabel B.4.6 tabel analisis Scene d
Setting Visual Audio
Outdoor-
indoor
Menit ke:
27.49-30.36
„suara domba dan ayam keluar dari
pengeras suara masjid‟.
Kiai kemudian mendatangi masjid
yang ramai oleh suara domba, dan
mengeluarkan domba-domba tersebut.
Semua warga desa akhirnya keluar
dari rumah dan melihat keramian
yang terjadi di masjid. Kiai mendapati
ruangan masjid yang penuh dengan
kotoran kambing dan ayam.
Abu Ahmad keluar dari masjid
Dialog:
Aboe Ahmad : „satu-satunya
tempat suci yang kita miliki, kau
cari gara – gara. Kau menghina
kami! (sambil menunjuk ke
kelompok pemuda nasrani)
Issam : kau menuduh kami? Kau
menghina kami?
Kiai akhirnya mengumpulkan
para pemuda dan laki-laki muslim
63
dengan penuh emosi dan menuduh
umat nasrani yang melakukan hal
tersebut Aboe Ahmad kemudian
mengambil sebilah kayu dan merusak
patung Bunda Maria yang terletak di
halaman gereja. Sementara kiai tetap
menenangkan para jemaah yang ikut
tersulut emosi.
Keributanpun terjadi, pertikaian kecil
antara kelompok muslim dan nasrani
pecah karena salah faham.
ke dalam masjid.
Dialog:
Kiai : „kau harus mengabaikan
apa yang terjadi di luar sana. Di
sana ya, di sana. Bertahun-tahun
kita hidup damai dengan saudara
nasrani kita.
Aboe Ahmad : Dan ternak di
dalam masjid?
Kiai : Siapa yang bilang mereka
melakukannya?
Aboe Ahmad : Lalu siapa lagi?
Aku mau membahasnya lagi?
Kiai : Masjidnya memang dibuka,
kambing yang masuk sendiri. Dia
mengagumi karpetnya.
Pemaknaan Denotasi
Dalam adegan pada scene berikut ini adalah, terdengarnya suara
domba dari pengeras suara masjid. Tak lama kemudian terlihat semua warga
desa keluar dari rumah dan mendekat ke sumber suara. Aboe Ahmad dan Kiai
adalah orang pertama yang sampai ke dalam masjid, setelah itu nampak
64
adegan yang sangat emosional, penuh kemarahan sehingga terjadi kekacauan
karena Aboe Ahmad menuduh pihak nasrani yang memasukan domba –
domba ke dalam masjid. Sementara kiai menenangkan kemarahan para jemaat
yang ikut tersulut kemarahan karena ulah Aboe Ahmad.
g. Scene g
Gambar 7. Scene g
Tabel B.4.7 tabel analisis Scene g
Setting Visual Audio
Outdoor
Menit ke:
31.43-32.53
Seorang jemaat menyaksikan tanda
baptis di kening anaknya bercampur
dengan darah. Terjadi sedikit
keributan karena adanya darah dalam
tinta baptis tersebut.
Issam melampiaskan kemarahan
akibat adanya darah tersebut kepada
Dialog :
Issam: „kemari kau berandal
cilik. Sambil mengejar anak-anak
muslim di depan gereja, dan
kemudian anak-anak lari
berhamburan.
65
anak-anak muslim yang sedang
menonton di jendela gereja. Anak
Aboe Ahmad dan Fatmeh menjadi
sasaran kemarahan Issam.
Ny. Ta‟la menghampiri sambil
mengatakan „Sudahlah jangan kau
lakukan itu, mereka anak-anak‟. Para
perempuan jemaat pun ikut berteriak
meminta Issam agar berhenti sambil
mengatakan bahwa itu adalah anak-
anak.
Pendeta keluar dan menghentikan aksi
Issam yang kasar sampai anak
tersebut jatuh, Ny. Ta‟la menarik
Issam agar ia berhenti.
Saat Fatmeh mengajak anaknya
pulang, Ny. Ta‟la mengahampiri
sambil meminta agar Fatmeh tidak
melaporkan kejadian tersebut pada
Aboe Ahmad
„keluar kau dari sini, kupathkan
kakimu‟
Fatmeh : „Kau sebut dirimu laki-
laki? Tapi kau hajar anak-anak?
Seharusnya kamu malu‟.
Ny. Ta’la : „Jangan Bilang pada
suamimu Abou Ahmad wahai
Fatmeh‟
Fatmeh : „Jangan khawatir, aku
masih waras‟. Sambil melepaskan
tangan Ny. Ta‟la dan menarik
anaknya pergi dari halaman gereja
sambil berkata pada anaknya
„Jangan bilang Ayah ya
sayang...!‟.
66
Pemaknaan Denotasi
Dalam adegan ini, seusai ritual pembaptisan di gereja, terjadi sedikit
kekacauan. Issam mendapati tanda baptis yang menempel di kening anaknya
bercampur dengan darah. Semua menjadi terperangah karena hal tersebut.
Issam langsung meninggalkan anaknya dan menuju ke kerumunan anak –
anak muslim yang menonton prosesi ritual bapstis melalui pintu jendela.
Semua anak – anak berlarian, Issam mendapatkan anak Abu Ahmad yang tak
mampu berlari kencang karena menggunakan alat bantu jalan. Issam
menghajar anak tersebut, para ibu – ibu berteriak meminta agar Issam
menghentikan aksinya, kiai pun datang melerai, Ibu Issam, Ny. Takla menarik
tangan Issam.
Ketika kekacauan berhenti, datanglah ibu anak tersebut, Ny. Fatmeh
yang kecewa melihat laku Issam yang menghajar seorang anak. Ny. Takla
menenangkan Ny. Fatmeh sekaligus meminta agar ia tidak mengadu pada
suaminya.
h. Scene g
Gambar 8. Scene h
67
Tabel B.4.8 tabel analisis Scene h
Setting Visual Audio
Indoor
1.25.16-1.26.02
Pendeta dan Kiai melancarkan
aksinya dalam membangun proses
bina damai dengan mengundang
semua warga desa. Caranya adalah
dengan menyampaikan pengumuman
melalui pengeras suara masjid.
Dialog:
Kiai: Bismilahirrohmanirrohim.
Bapak ibu sekalian, kami
mengundang kalian untuk
berkumpul membicarakan tentang
kekacauan yang kalian lakukan
baru – baru ini. Dan kita
menginginkan untuk berhenti.
Kami mengundang kalian pada
hari kamis jam 6 sore. Di Kedai
Ny. Amal.
Pendeta : untuk semua anak-anak
kristus, diwajibkan kehadirannya.
Biarkan kita bersihkan nurani dan
hati kita dari kekejian kita masing
– masing dan mungkin nanti
ketika tamu kita pergi, mereka
mungkin memiliki pesan – pesan
terakhir untuk disampaikan.
Setelah berhasil mempermalukan
kalian. Menyeret kami ke dalam
68
lumpur. Seharusnya dirimu malu.
Kiai : Wajib hadir. Sangat
diwajibkan. Wassalamualikum wr
wb.
Pemaknaan Denotasi
Dalam adegan pada Scene ini dapat kita lihat bahwa, dua pemuka
agama bekerjasama dalam menjalankan strategi-strategi bina-damai. Mereka
menggunakan pengeras suara masjid mengundang para warga desa untuk
berkumpul di kedai Ny. Amal. Undangan ini dilakukan demi saling membantu
proses bina-damai yang dibangun oleh elemen perempuan dalam desa
tersebut.
i. Scene i
Gambar 9. Scene i
69
Tabel B.4.9 tabel analisis Scene i
Setting Visual Audio
Indoor-outdoor
Menit ke:
1.29.48-1.32.31
Para perempuan berpura-pura
berpindah agama ketika mereka
merasa bahwa semua strategi untuk
melakukan resolusi konflik sudah
dalam batas maksimal. Hal ini
dilakukan agar kematian Nassim tidak
mengakibatkan terjadinya konflik.
Dialog:
Kepala desa terbangun dari tidur
pulas akibat obat tidur yang
dikonsumsi melalui makanan dan
mendapati isterinya, Ny. Yvone
dalam keadaan sujud menjalankan
ibadah sholat. Ia melihat hiasan di
dinding bertuliskan kaligrafi Allah
dan kalimat syahadat.
Kepala desa : „Apa kau sedang
Yoga? Itu dia, kita telah
kehilangannya sekarang.
(Sementara Yvone tetap
melanjutkan adegan solatnya).
Ny. Afaf melepaskan pakaian
sehari-harinya yang identik
dengan pakaian muslim, yaitu
jilbabnya dan menggunakan
kalung salib, kemudian
membangunkan Hamoaudi dan
melakukan pemberkatan dengan
70
menyiram air ke muka Hamoudi
dan mengucapkan salam Maria.
Hamoudi terbangun dan terkaget
mendapati ibunya.
Hamoudi : „Apa yang salah
dengan ibu? Apa ibu baik – baik
saja?
Ny. Afaf : „Sudah jangan berisik,
waktunya misa‟
Fatmeh berteriak pada suaminya
Aboe Ahmad karena suaminya
menegur pakaian Fatmeh yang
berganti layaknya seperti
perempuan non muslim
Fatmeh : Aku memakai ini
sekarang untuk berjalan – jalan di
desa (sambil menunjuk ke daster
berlengan pendek yang ia
kenakan). Ayo semua. lihatlah
aku.
Aboe Ahmad : Apa ini gara-gara
kamus yang kau simpan di bawah
71
bantal ku (sambil menunjukkan
Injil di tangannya)
Fatmeh : Itu injil, wahyu Tuhan
bodoh. Itu kitab suciku sekarang,
kitab injil.
Aboe Ahmad : Buka pintunya
sekarang atau aku dobrak? Buka
sebelum kudobrak.
Fatmeh : coba saja kalau berani,
seperti tetanggamu, George. Baru
kemarin kau makan humus
bersamanya ha? panggil dia
„George, sobatku, saudaraku.
Dan sekarang kau ingin
membunuhnya? Karena di luar
sana mereka saling baku hantam?
Kau mau melumatkan mereka?
Jadi sekarang aku salah satu
diantara mereka, Aku Georgette.
Mulailah denganku, kemari,
bunuhlah aku.
72
Pemaknaan Denotasi
Dalam adegan ini, para perempuan yang juga mengambil peran dalam
membangun proses bina-damai melakukan aksinya yaitu berpura-pura
berpindah agama, agar anak laki-laki mereka, suami-suami mereka tidak
tersulut emosi karena mengetahui Nassim, anak Ny. Takla mati terbunuh
sepulang dari membeli dagangan di kota. Nassim terbunuh karena Roukoz
salah mengambil jalan dan masuk ke jalanan yang terjadi peperangan
antaragama. Nassim harus dimakamkan, dan setelah pemakaman diharapkan
tidak terjadi peperangan.
j. Scene j
Gambar 10. Scene j
Tabel B.4.10 tabel analisis Scene j
Setting Visual Audio
Outdoor
Menit ke-
1.36.23-1.37.34
Epilog Film.
Saat para warga kampung mengantar
jenazah Nassim ke pemakaman. Di
langkah terakhir, ketika mereka tiba
di pemakaman, orang-orang yang
memikul jenazah Nassim
Kisahku kini berakhir bagi
siapapun yang mendengarnya. Dari
desa yang tumbuhkan kedamaian,
walau pertikaian berlanjut di
sekitar. Dari seorang anak laki-laki
yang „tidur‟ begitu lelap, dan
73
kebingungan, apakah dimakamkan di
pemakaman Islam atau di Pemakaman
Nasrani. Where do we go now?
terbangun untuk menemukan
kedamaian abadi. Dari wanita
yang masih mengenakan gaun
hitam. Yang berjuang dengan doa
dan bunga-bunga. Alih-alih
senapan dan api menyala, untuk
melindungi putra putri mereka.
Takdir kemudian menggiring
mereka ke jalan yang belum pernah
mereka lalui.
Pemaknaan Denotasi
Dalam adegan mengahkiri film ini, sang sutradara ingin
menyampaikan bahwa, para warga desa mampu menerima kenyataan Nassim
saudara mereka telah tewas tertembak saat kembali dari kota saat membeli
dagangan untuk dijual di warung mereka. Para warga desa memakamkan
Nassim tanpa diiringi dengan konflik antar saudara meski telah diketahui
Nassim tewas karena perang saudara yang terjadi di luar desa. Namun dalam
adegan terakhir, orang-rang yang memikul jenazah Nassim pada saat tiba di
pemakaman, berbalik arah karena kebingungan mau dimakamkan di
pemakaman Nasrani atau Islam
74
2. Makna Konotasi Film tentang Dialog Antaragama
a. Scene a
Gambar 1. Scene a
Tabel B.5.1 tabel analisis Scene a
Setting Visual Audio
Outdoor
Menit ke
00.00-01.29
Sebuah desa yang hidup di dalamnya
dua kelompok, yaitu Islam dan Kristen.
Desa yang terisolir dari informasi paska
perang antaragama di negara Lebanon.
Di desa tersebut hidup rukun diantara
dua kelompok, karena upaya-upaya bina
damai yang dilakukan, sebelumnya
peperangan terjadi, para perempuan
kehilangan anak laki-laki atau suami
akibat konflik yang pecah. Di desa
Prolog film:
Cerita ini dikisahkan untuk semua
orang yang ingin mendengar.
Kisah tentang mereka yang
berpuasa, kisah tentang mereka
yang berdoa. Kisah tentang kota
kecil yang dikelilingi ladang
ranjau. Terperangkap
peperangan yang jaraknya begitu
dekat. Dua kelompok yang patah
75
tersebut terdapat pemakaman dimana
termakam adalah para laki-laki,
sementara perempuan selalu terus
berkabung karena laki-laki yang gugur
satu persatu.
hati terserang panas matahari.
Tangan mereka bernoda darah
atas nama salib dan bulan
bintang. Dari tempat terpencil
ini ada sebuah kedamaian yang
bisa dipilih. Dari siapa sejarah
bergulir diantara kawat berduri
dan desingan peluru.
Kisah panjang tentang wanita
bergaun hitam. Tanpa bintang-
bintang berkilau, tanpa bunga-
bunga yang segar. Mata mereka
dikeliligi lingkaran gelap. Wanita
yang dipermainkan takdir. Untuk
menunjukkan keberanian mereka.
Pemaknaan Konotasi
Pemaknaan konotasi dari prolog ini adalah ingin menyampaikan
kepada penonton bahwa terdapat sebuah desa yang terisolir. Desa yang lepas
dari informasi terjadinya perang di luar desa mereka membuat antar warga
yang dalam perbedaan dapat hidup berdampingan. Dialog yang dilakukan
melalui komunikasi-komunikasi nirkekerasan dapat menjadi salah satu jalan
untuk membangun perdamaian. Gereja dan masjid dapat menjadi sumber
kasih bagi sesama untuk hidup berdampingan.
76
Para perempuan adalah korban yang berlapis jika terjadi konflik,
mereka harus menanggung beban hidup dalam trauma yang berkepanjangan.
Perempuan-perempuan lelah dengan kondisi konflik yang terus menerus
terjadi, yang memaksa mereka untuk terus berkabung karena kehilangan
anggota keluarga. Perempuan dari dua kelompok tersebut akhirnya
membangun bina-damai antar sesama dan melakukan pencegahan konflik
dengan komunikasi nirkekerasan. Model komunikasi nirkekrasan yang
dibangun adalah self emphaty, receiving emphatically dan expressing honest.
b. Scene b
Gambar 2. Scene b
Tabel B.5.2 tabel analisis Scene a
Setting Visual Audio
Out door
Menit ke
07.43-8.28
Pemuda, perempuan, pemuka agama
bekerjasama dalam menyelenggarakan
acara nonton bersama untuk warga
desa. Acara ini dilakukan untuk
Roukoz : Ayo kita mencari signal
agar kita dapat menonton bersama
semua warga desa untuk
mengenang kebahagiaan desa kita
77
memeringati hari kebahagiaan desa
karena sudah bertahun-tahun hidup
dalam kerukunan meski perang tetap
terjadi di luar desa.
yang sudah hidup damai.
Pendeta: dimana orang-orang
akan duduk kalau tidak dengan
kursi-kursi ini.
Ny. Ta’la: Lihat, semangkanya
segar-segar, pasti akan nikmat
disajikan nanti malam
Pemaknaan konotasi
Dalam proses bina-damai antaragama, gotong royong merupakan salah
satu cara yang efektif. Setiap agama mengajarkan untuk saling mengasihi satu
sama lain. Marshall Rosernberg mengatakan „Making requests in clear,
positive, concrete action language reveals what we really want‟, 57
bahwa
dalam proses komunikasi nirkekerasan diperlukan aksi-aksi bersama untuk
mengekspresikan perasaan empati agar tujuan hidup harmoni dapat dicapai.
Sebagai sesama makhluk kita memang diberi tanggung jawab untuk
saling menolong. Apalagi kepada sesama manusia yang pada dasarnya
bersaudara meski berbeda, ada tuntutan moral untuk meringankan beban
sesama. Islam juga menyampaikan bahwa manusia hendaknya berlomba-
lomba untuk melakukan kebaikan, sebagaimana dalam al-Qur‟an sebagai
berikut:
57
Rosenberg, Marshall , Nonviolent Communication: A Language of Life. (Encinitas:
Puddledancer Press, 2003), h.69
78
“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap
kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di
mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian
(pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu”.
Pesan damai dan saling tolong menolong menurut agama tersebut
dengan jelas dalam adegan film ini, bagaimana kita harus saling tolong
menolong, bekerjasama dan menghormati satu sama lain.
c. Scene c
Gambar 3. Scene c
Tabel B.5.3 tabel analisis Scene a
Setting Visual Audio
Outdoor
Menit ke:
10.33-12.40
Kepala desa meyampaikan sambutan
dalam acara nonton bersama dalam
rangka memeringati kebahagiaan desa
karena telah berhasil hidup rukun
bertahun-tahun paska perang
meskipun perang tetap terjadi di luar
desa. Kepala desa menunjuk pada
Dialog Pidato Kepala Desa:
Di hari yang bahagia ini dan
bersejarah bagi kampung kita,
Terimakasih untuk pak pendeta dan
pak Kiyai atas kedatangannya.
Simbol peratuan dan perdamaian
kita, kami minta maaf untuk rute
79
Kiai dan Pendeta, bahwa peran
mereka sangat tinggi dalam
membangun perdamaian, mereka
menjadi simbol persatuan di desa
tersebut.
yang jauh dan susah ditempuh,
tetapi seperti yang anda tahu, ini
adalah ssatu-satunya tempat yang
layak. Bapak ibu yang terhormat,
saa senang dan gembira berkumpul
bersama anda disini. Di bawah
langit berbintang pada hari yang
penuh kemenangan, dimana sebagai
satu kesatuan kita semua bergerak
dari abad ke-20 menuju abad ke-21.
Dan bersama persatuan ini,
terimakasih kepada Abou Ali, dan
kita ucapkan Brigitte (domba) tidak
mati sia-sia. Dia mengorbankan
dirinya untuk kita. Mengorban
tubuhnya. Setiap kita disini bisa
berjumpa dengan takdir yang sama.
Ingatlah, hanya kambing yang
sehatlah yang baik dikonsumsi.
Tuhan memberkatimu Abou Ali.
Dengan cara yang sama kita
mengatasi konflik dan pertumpahan
darah sesama saudara yang
80
memisahkan kita. Dan saya harap
semoga sesegera mungkin kita bisa
terjembatani dan hidup damai
seperti kebanyakan orang.
Kita juga ucapkan terimakasih
kepada Ny. Yvone, isteriku tercinta
yang menyumbangkan TV
warisannya.
Pemaknaan Konotasi
Pemaknaan konotasi dari scene ini adalah, dalam tradisi theisme
pemuka agama memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Jika
dalam tradisi masyarakat adat, kepala suku yang memegang peranan penting
dalam melakukan proses resolusi konflik, maka dalam masyarakat beragama,
pemuka agamalah yang memegang peranan tersebut.
Kepala desa menyampaikan bahwa kedua pemuka agama di desa
tersebut merupakan simbol persatuan di desa tersebut. Masing – masing, yang
memiliki pengaruh yang besar untuk masing – masing jamaahnya. Kepala
desa menyampaikan bahwa meski perang saudara terus terjadi di luar desa,
tetapi perdamaian terus menerus diupayakan untuk terwujud di desa tersebut.
Desa kecil yang terletak di negara Lebanon itu, terisolir akibat pecahnya
perang antarsaudara. Sebelum Perang Saudara Lebanon (1975-1990), negara
ini menikmati ketenangan dan kemakmuran yang relatif, didorong oleh sektor
pariwisata, pertanian, dan perbankan dalam ekonominya. Lebanon dianggap
81
sebagai ibukota perbankan di dunia Arab dan umumnya dianggap sebagai
"Swiss di Timur Tengah” karena kekuatan finansialnya, Lebanon juga
menarik banyak sekali wisatawan, hingga ibukotanya, Beirut, dirujuk oleh
banyak orang sebagai "Parisnya Timur Tengah.
Segera setelah perang, ada banyak upaya untuk menghidupkan
kembali ekonominya dan membangun kembali infrastruktur nasionalnya. Pada
awal 2006, stabilitas yang cukup besar telah tercapai di hampir seluruh negeri,
rekonstruksi Beirut hampir selesai, dan semakin banyak wisatawan asing yang
datang ke resort-resort Lebanon. Namun, Perang Lebanon 2006 menimbulkan
korban sipil dan militer, kerusakan hebat pada infrastruktur sipil, dan
pengungsian besar-besaran dari 12 Juli 2006 hingga gencatan senjata
diberlakukan pada 14 Agustus 2006. Pada September 2006, pemerintah
Lebanon telah memberlakukan rencana pemulihan awal yang ditujukan untuk
membangun kembali properti yang dihancurkan oleh serangan-serangan Israel
di Beirut, Tirus, dan desa-desa lainnya di Lebanon selatan. 58
Melalui film ini, Nadine Labaki ingin menyuguhkan bagaimana
sekelompok masyarakat dapat bertahan dalam suasana konflik tersebut yang
kapan saja dapat pecah kembali. Pemuka agama mendapat porsi tinggi dalam
menyampaikan pesa damai melalui komunikasi nirkekerasan. Sehingga, pesan
damai harus selalu diberikan kepada masing – masing jamaahnya sebagai
mau‟idzotunhasanah agar kerukunan agama bisa terus terjaga di desa tersebut.
Sebagaimana yang Allah firmankan dalam Q.S. 3: 104
58
http://id.wikipedia.org/wiki/Lebanon#Demografi diakses pada 5 September 2014,
pukul 20.53
82
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung”.
d. Scene d
Gambar 4. Scene d
Tabel B.5.4 tabel analisis Scene d
Setting Visual Audio
Indoor
Menit ke:
20.15-20.40
Para ibu baik muslim maupun non
muslim menyiapkan makanan di
kedai Ny. Amal untuk persiapan acara
pembaptisan. Dalam proses
pembungkusan makanan terjadi
percakapan yang adalah gosip tentang
relasi antara Ny. Amal seorang
nasrani dan Rabi seorang muslim,
kemudian terjadi sedikit perdebatan
kecil.
Dialog yang terjadi di kedai Ny.
Amal saat ibu-ibu menyiapkan
persiapan acara pembaptisan
sambil bergosip.
Dialog:
Perempuan 1 : „kenapa Rabi
tidak dibaptis saja‟?
Perempuan 2 : banyak loh
keuntungan menjadi kristen.
Fatmeh (muslim) : „memang
kalian lebih baik dari kami?
83
Yvone : (mendamaikan adu
argumen diantara perempuan
„Lihatlah Sassine (sambil
menunjuk ke pemuda yang
menghibur seorang lansia), dia
bahkan tidak tahu kristen apa
muslim.
Perempuan 1 : tentu saja dia
tidak peduli
Pemaknaan Konotasi
Melalui makna konotasi, kita dapat melihat pesan yang ingin
disampaikan dalam film ini, pesan inklusifitas terhadap keragaman. Boleh saja
setiap pemeluk keyakinan merasa paling benar, tetapi tidak tepat memaksakan
kebenaran yang kita yakini pada orang lain. Allah SWT menciptakan
perbedaan untuk kita saling menghargai dan mengasihi, karena kalau Allah
menginginkan semua menjadi sama, tak sulit bagi-Nya. Hal ini sebagaimana
yang dituliskan dalam QS. Q.S. Huud :118 – 119
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, - kecuali orang-orang
yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan
mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya
aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang
durhaka) semuanya.
84
Bahwa jika Allah menghendaki maka dijadikannya satu umat saja.
Namun, Allah lebih menginginkan adanya perbedaan agar kita sebagai hamba-
Nya dapat mengambil pelajaran. Namun, terkadang sikap etnosentrisme59
selalu menggoda manusia, bahwa merasa golongannya paling benar sendiri
adalah pemikiran yang masih sering dimiliki oleh sebagian kita. Padahal
sudah jelas bahwa perbedaan adalah keniscayaan, begitupun dengan
keyakinan. Allah dengan tegas menjamin kebebasan hamba-Nya menentukan
keyakinan, yang termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah: 256
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama ; Sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
Percakapan bahwa apakah menjadi kristen lebih terpuji, adalah
percakapan yang memiliki kesan negatif yaitu mengolok-olok. Ny. Sayyideh
kemudian menegur percakapan tersebut dengan komunikasi yang tanpa
menyinggung satu sama lain. Dia menunjuk pada Sassine yang sedang
menghibur lansia nasrani, sambil mengatakan „Lihatlah Sassine (sambil
menunjuk ke pemuda yang menghibur seorang lansia), dia bahkan tidak tahu
kristen apa muslim‟.
Sayyideh ingin menyampaikan bahwa agama tak perlu menjadi bahan
untuk saling mengolok, tetapi saling mengasihi. Lebih lanjut Allah
59
Jacky Manuputty Dkk, Carita Orang Basudara : Kisah – Kisah Perdamaian dari
Maluku, (Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku, 2014), h. 229.
85
menerangkan bahwa jangan pernah mengolok – olok golongan lain, karena
mungkin yang direndahkan itu lebih baik. Dalam Q.S. AL-Hujrat: 11
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu suku mengolok – olok suku
yang lain, boleh Jadi yang diolok – olok itu lebih baik dari mereka (yang
mengolok – olok). dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah
suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah yang buruk sesudah
iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang
yang zalim”.
Maka, sebagai hamba-Nya kita harus mengikuti perintah Allah untuk
menghargai keyakinan setiap insan tanpa memaksa, tanpa merasa paling benar
sendiri.
e. Scene d
Gambar 5. Scene e
86
Tabel B.5.5 tabel analisis Scene d
Setting Visual Audio
Indoor
Menit ke:
26.35-27.11
Roukoz terjatuh dari kayu salib sebab
ingin mengambil speaker masjid
untuk digunakan dalam acara nonton
bersama. Salib patah dan membuat
kemarahan para jemaat. Para jemaat
berprasangka kalau patahnya salib
karena ulah sabotase kelompok
muslim. Pendeta menenangkan para
jemaat, bahwa patahnya salib bukan
karena ulah sabotase kelompok
muslim.
Dalam adegan ini, pendeta
menenangkan para jemaat yang
tengah berprasangka buruk akibat
patahnya salib. Berikut adalah
dialog:
„Aku membiarkan jendelanya
terbuka, tidak tertutup sama
sekali, angin bertiup dan
membuat salibnya patah. Kenapa
harus ribut?
„sekarang ada salib patah, dan
kalian bertingkah seolah-olah ada
orang jahat? Kau bilang ada yang
merusak itu. Mereka yang
menyebabkan kekacauan di
kampung ini. Jangan biarkan
situasi di luar memengaruhimu.
Semuanya cuma gosip, semuanya
baik-baik saja, semunya
terkendali.‟
87
Pemaknaan Konotasi
Makna konotasi dari scene e ini adalah, bahwa mengekspresikan
kejujuran dalam komunikasi sangatlah penting. Dalam komunikasi
nirkekerasan, expressing honestly merupakan komponen penting agar sebuah
tujuan dan kebutuhan dapat tercapai.60
Karena Roukoz yang tidak berkata
jujur, bahwa dialah yang mematahkan kayu salib, maka komunikasi yang
salah terjadi. Ketidakjujuran memicu terjadinya missing communication yang
bisa berdampak pada pecahnya konflik. Kecurigaan para jemaat dan sikap
emosional menuduh kelompok muslim melakukan sabotase pematahan kayu
salib adalah akibat dari ketidakjujuran.
Ketidakjujuran dari Rukoz akhirnya menimbulkan fitnah yang dapat
memercikkan api kesalahpahaman, sehingga sebagai upaya balas dendam
sengaja membuat kerusuhan di masjid. Hal tersebut akan berdampak pada
kemudhrotan seperti ditunjukkan dalam firman-Nya Q.S. Al-Baqoroh: 191
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah
mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih
besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka
di Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika
mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka. Demikanlah
Balasan bagi orang-orang kafir”.
Pendeta dalam hal ini mengambil peranan penting, bisa saja pendeta
mengikuti kecurigaan para jemaat dan menambah suasana semakin kacau.
60
c Rosenberg, Marshall B. Speak Peace in a World of Conflict: What You Say Next Will
Change Your World. (Puddledancer Press, 2005),hal. 240
88
Namun dalam film ini, pendeta malah melakukan upaya-upaya meredam
kemarahan dengan menggunkan komunikasi nirkekerasan. Self emphaty
menjadi pilihan dalam berkomunikasi menyampaikan pesan kedamaian. Ini
terlihat dalam nasehatnya, dalam dialog „Aku membiarkan jendelanya terbuka,
tidak tertutup sama sekali, angin bertiup dan membuat salibnya patah.
Kenapa harus ribut? „sekarang ada salib patah, dan kalian bertingkah seolah-
olah ada orang jahat? Kau bilang ada yang merusak itu. Mereka yang
menyebabkan kekacauan di kampung ini. Jangan biarkan situasi di luar
memengaruhimu. Semuanya Cuma gosip, semuanya baik-baik saja, semunya
terkendali.‟
Pendeta menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan mereka
menyebabkan kekacauan adalah mereka yang masih melakukan perang
saudara di luar desa, merekalah yang berpotensi menyebarkan konflik.
Hendakanya mereka tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi di luar sana.
f. Scene f
Gambar 6. Scene f
89
Tabel B.5.6 tabel analisis Scene f
Setting Visual Audio
Outdoor-
indoor
Menit ke:
27.49-30.36
„suara domba dan ayam keluar dari
pengeras suara masjid‟.
Kiai kemudian mendatangi masjid
yang ramai oleh suara domba, dan
mengeluarkan domba-domba tersebut.
Semua warga desa akhirnya keluar
dari rumah dan melihat keramian
yang terjadi di masjid. Kiai mendapati
ruangan masjid yang penuh dengan
kotoran kambing dan ayam.
Abu Ahmad keluar dari masjid
dengan penuh emosi dan menuduh
umat nasrani yang melakukan hal
tersebut Aboe Ahmad kemudian
mengambil sebilah kayu dan merusak
patung Bunda Maria yang terletak di
halaman gereja. Sementara kiai tetap
menenangkan para jemaah yang ikut
tersulut emosi.
Keributanpun terjadi, pertikaian kecil
antarakelompok muslim dan nasrani
Dialog:
Aboe Ahmad : „satu-satunya
tempat suci yang kita miliki, kau
cari gara-gara. Kau menghina
kami! (sambil menunjuk ke
kelompok pemuda nasrani)
Issam : kau menuduh kami? Kau
menghina kami?
Kiai akhirnya mengumpulkan
para pemuda dan laki-laki muslim
ke dalam masjid.
Dialog:
Kiai : „kau harus mengabaikan
apa yang terjadi di luar sana. Di
sana ya, di sana. Bertahun-tahun
kita hidup damai dengan saudara
nasrani kita.
Aboe Ahmad : Dan ternak di
dalam masjid?
90
pecah karena salah faham. Kiai : Siapa yang bilang mereka
melakukannya?
Aboe Ahmad : Lalu siapa lagi?
Aku mau membahasnya lagi?
Kiai : Masjidnya memang dibuka,
kambing yang masuk sendiri. Dia
mengagumi karpetnya.
Pemaknaan Konotasi
Dikutip dari Djohan Efendi dalam buku Merayakan Kebebasan
Beragama (Elza Peldi Taher, 2009-177) bahwa ahli Islam Timur Tengah,
Mark Juergensmeyer dalam salah satu karyanya dalam satu karyanya, Terror
in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence telah
mendokumentasikan dengan baik data-data kekerasan agama kontemporer
yang diwarnai, diinspirasi, dan dilegitimasi oleh „agama-agama dunia‟, untuk
meminjam istilah Max Weber, mulai Islam, Protestan, Katolik, Yahudi,
Budha, Hindu, Sikh, dll. Agama bisa menjadi mesin pembunuh dan perusakan
yang sadis, kata Jurgenmensyer, karena ia memuat teks, ajaran, doktrin,
slogan, jargon, simbol, adat-istiadat, dan lain sebagainya mampu mengilhami,
mendorong dan menggerakkan para pelaku agama untuk melakukan bahkan
kejahatan kemanusiaan yang kejam dan brutal, meskipun ironisnya, para
pelaku kriminalitas itu sendiri menganggapnya sebagai „perbuatan mulia‟
yang berpahala dan berganjar surga. 61
61
Peldi Taher, Elza, Merayakan Kebebasan Beragama; Bunga Rampai 70 Tahun Djohan
Effendi, (Jakarta: ICRP dan Kompas, 2009), hal. 117
91
Kasus komunikasi penuh kekerasan dengan membentak penuh curiga,
mengancam serta memcahkan simbol agama orang lain adalah salah satu
contoh nyata bagiamana wacana dan ajaran keagamaan serta simbol-simbol
keislaman dirusak. Aboe Ahmad sanggup mengahajar dan menyalahkan orang
lain, sanggup menghancurkan patung bunda Maria yang menjadi simbol
agama Khatolik yang lama hidup berdampingan di desanya untuk
melegitimasi bahwa keyakinannya lah yang benar sehingga menyalahkan
orang lain ketika terjadi satu peristiwa.
Tetapi juga harus dicatat bahwa selain agama memliki “sisi buruk”
atau “dimensi negatif” yang bisa menginspirasi tindakan kejahatan dan
kekerasan, agama juga memuat aspek-aspek baik dan positif yang bisa
dijadikan sebagai pondasi teologis untuk membangun hubungan antaragama
yang lebih sehat, dinamis, berkualitas dan manusiawi yang penuh dengan
semangat toleransi dan pluraslime seperti yang dapat kita lihat apa yang
dilakukan oleh Kiai dalam meredam emosi kemarahan Aboe Ahmad dan
jemaat lainnya. Sang Kiai mengumpulkan para jemaah laki-laki yang tersulut
emosi karena ulah Aboe Ahmad yang menuduh kesalahan sepihak pada
kelompok keyakinan lain atas masuknya domba-domba ke dalam masjid.
Kiai menegur pada jemaah meski para jemaah tetap bersikeras bahwa
yang melakukan tindakan tersebut adalah kelompok nasrani. Kiai
menyampaikan pesan damai dengan komunikasi nirkekerasan, ini terlihat
dalam dialog terakhir kiai yaitu Masjidnya memang dibuka, domba yang
masuk sendiri. Dia mengagumi karpetnya. Kalau kita cerna dengan baik, tidak
mungkin rasanya domba tersebut masuk karena mengagumi karpet masjid,
92
tetapi demi meredam kemarahan hal itu dilakukan oleh kiai. Tindakan-
tindakan meredam kemarahan untuk bina-damai sebagaimana yang dilakukan
oleh seorang pemuka agama dalam adegan film ini adalah hal yang harus
dilakukan dalam dialog antaragama untuk mencapai tujuan bersama yaitu
hidup berdampaingan dengan perbedaan dalam keadaan harmoni.
g. Scene g
Gambar 7. Scene g
Tabel B.5.7 tabel analisis Scene g
Setting Visual Audio
Outdoor
Menit ke:
31.43-32.53
Seorang jemaat menyaksikan tanda
baptis di kening anaknya bercampur
dengan darah. Terjadi sedikit
keributan karena adanya darah dalam
tinta baptis tersebut.
Issam melampiaskan kemarahan
Dialog :
Issam: „kemari kau berandal
cilik. Sambil mengejar anak-anak
muslim di depan gereja, dan
kemudian anak-anak lari
93
akibat adanya darah tersebut kepada
anak-anak muslim yang sedang
menonton di jendela gereja. Anak
Aboe Ahmad dan Fatmeh menjadi
sasaran kemarahan Issam.
Ny. Ta‟la menghampiri sambil
mengatakan „Sudahlah jangan kau
lakukan itu, mereka anak-anak‟. Para
perempuan jemaat pun ikut berteriak
meminta Issam agar berhenti sambil
mengatakan bahwa itu adalah anak-
anak.
Pendeta keluar dan menghentikan aksi
Issam yang kasar sampai anak
tersebut jatuh, Ny. Ta‟la menarik
Issam agar ia berhenti.
Saat Fatmeh mengajak anaknya
pulang, Ny. Ta‟la mengahampiri
sambil meminta agar Fatmeh tidak
melaporkan kejadian tersebut pada
Aboe Ahmad
berhamburan.
„keluar kau dari sini, kupathkan
kakimu‟
Fatmeh : „Kau sebut dirimu laki-
laki? Tapi kau hajar anak-anak?
Seharusnya kamu malu‟.
Ny. Ta’la : „Jangan Bilang pada
suamimu Abou Ahmad wahai
Fatmeh‟
Fatmeh : „Jangan khawatir, aku
masih waras‟. Sambil melepaskan
tangan Ny. Ta‟la dan menarik
anaknya pergi dari halaman gereja
sambil berkata pada anaknya
„Jangan bilang Ayah ya
sayang...!‟.
94
Pemaknaan Konotasi
Sebagaimana yang telah penulis sampaikan diatas pada scene
sebelumnya, bahwa fanatisme agama mendorong pada laku yang kasar dan
mendorong pada kekerasan. Hal itu nampak terlihat dalam adegan kemarahan
Issam yang dilampiaskan pada kelompok lain dan yang lebih parahnya adalah
Issam sanggup menghajar seorang anak. Sikap seperti ini harus diatasi dengan
tindakan-tindakan nirkekerasan, agar tiak mendorong pada pecahnya konflik.
Komunikasi nirkekerasan dilakukan oleh Ny. Takla, dengan
mengedepankan self emphaty dia menyampaikan kepada Fatmeh agar ia tidak
menyampaikan kejadian yang baru saja terjadi pada suaminya. Fatmeh dan
anaknya pun memiliki sikap tersebut, receiving emphaticaaly sikap yang dia
pilih, dia mengajak anaknya agar tidak mengadu pada ayahnya agar tidak
terjadi kekacauan-kekacauan susulan. Sikap ini nampak pada dialog berikut
„Jangan khawatir, aku masih waras‟. (Sambil melepaskan tangan Ny. Ta‟la
dan menarik anaknya pergi dari halaman gereja sambil berkata pada anaknya)
„Jangan bilang Ayah ya sayang...!‟.
Dengan kesabaran yang sangat Ny. Fatmeh menahan rasa sakit
hatinya, dan memilih tidak menceritakan kejadian ini kepada suaminya demi
tidak terjadi kemudhorotan yang lebih besar yakni konflik. Dalam kaidah
ushul fiqh dijelaskan bahwa درء المفاسد أولي من جلب المصالح “ mencegah bahaya
lebih utama dari menarik datangnya kebaikan”. Jika mafsadah dan mashlahah
berkumpul maka yang diutamakan adalah mencegah mafsadah62
. Mungkin
Ny. Fatmeh akan lebih baik untuk menenangkan perasaan sakit hatinya ketika
62
Abdul Haq, ahmad Mubarok dan Agus Ro‟uf, Kaidah Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh
Konseptual, (Surabaya: Khalista Surabaya, 2005), cet. Ke V, h. 237.
95
melihat buah hatinya mengalami kekerasan dengan menceritakan kepada
orang terdekat yang dicintai yakni suaminya. Namun, jika itu dilakukan maka
hal yang lebih buruk akan terjadi yakni konflik. Maka yang lebih dianjurkan
adalah mengindari konflik.
h. Scene g
Gambar 8. Scene h
Tabel B.5.8 tabel analisis Scene h
Setting Visual Audio
Indoor
1.25.16-1.26.02
Pendeta dan Kiai melancarkan
aksinya dalam membangun proses
bina damai dengan mengundang
semua warga desa. Caranya adalah
dengan menyampaikan pengumuman
melalui pengeras suara masjid.
Dialog:
Kiai: Bismilahirrohmanirrohim.
Bapak ibu sekalian, kami
mengundang kalian untuk
berkumpul membicarakan tentang
kekacauan yang kalian lakukan
baru-baru ini. Dan kita
96
menginginkan untuk berhenti.
Kami mengundang kalian pada
hari kamis jam 6 sore. Di Kedai
Ny. Amal.
Pendeta : untuk semua anak-anak
kristus, diwajibkan kehadirannya.
Biarkan kita bersihkan nurani dan
hati kita dari kekejian kita
masing-masing dan mungkin nanti
ketika tamu kita pergi, mereka
mungkin memiliki pesan-pesan
terakhir untuk disampaikan.
Setelah berhasil mempermalukan
kalian. Menyeret kami ke dalam
lumpur. Seharusnya dirimu malu.
Kiai : Wajib hadir. Sangat
diwajibkan. Wassalamualikum wr
wb.
Pemaknaan Konotasi
Sejumlah strategi dilakukan dalam melakukan upaya-upaya bina-
damai antaragama. Musdah Mulia dalam buku 11 Tahun ICRP Melawan
Kekerasan Atas Nama Agama (ICRP, 2011-275) menyebutkan sejumlah
solusi ditawarkan dalam membangun bina-damai. Pertama melakukan upaya-
97
upaya rekonstruksi budaya, mengubah budaya kekerasan menjadi budaya
damai (culture of peace). Kedua, melakukan upaya advokasi-advokasi untuk
reformasi hukum dan peraturan perundang-undangan terkait bidang agama.
Ketiga, melakukan upaya-upaya reinterprtasi ajaran agama, sehingga yang
tersosialisasi adalah sungguh-sungguh ajaran yang ramah terhadap semua
kelompok, kelompok beda agama termasuk kelompok perempuan dan
kelompok marginal lainnya. 63
Sebagaimna strategi yang dipakai oleh dua pemuka agama ini adalah
untuk mengubah budaya kekerasan menjadi budaya yang damai, ramah dan
saling mencintai. Komunikasi nirkekerasan terus menerus dibangun agar
jemaahnya yang mereka bimbing juga meneruskan pesan damai melalui
komunikasi yang baik tanpa kekerasan
i. Scene i
Gambar 9. Scene i
63
Nurcholish, Ahmad dkk, 11 Tahun ICRP Melawan Kekerasan Atas Nama Agama,
(Jakarta:ICRP, 2011), hal. 273
98
Tabel B.5.9 tabel analisis Scene i
Setting Visual Audio
Indoor-outdoor
Menit ke:
1.29.48-1.32.31
Para perempuan berpura-pura
berpindah agama ketika mereka
merasa bahwa semua strategi untuk
melakukan resolusi konflik sudah
dalam batas maksimal. Hal ini
dilakukan agar kematian Nassim tidak
mengakibatkan terjadinya konflik.
Dialog:
Kepala desa terbangun dari tidur
pulas akibat obat tidur yang
dikonsumsi melalui makanan dan
mendapati isterinya, Ny. Yvone
dalam keadaan sujud menjalankan
ibadah sholat. Ia melihat hiasan di
dinding bertuliskan kaligrafi Allah
dan kalimat syahadat.
Kepala desa : „Apa kau sedang
Yoga? Itu dia, kita telah
kehilangannya sekarang.
(Sementara Yvone tetap
melanjutkan adegan solatnya).
Ny. Afaf melepaskan pakaian
sehari-harinya yang identik
dengan pakain muslim, yaitu
jilbabnya dan menggunakan
kalung salib, kemudian
membangunkan Hamoaudi dan
melakukan pemberkatan dengan
99
menyiram air ke muka Hamoudi
dan mengucapkan salam Maria.
Hamoudi terbangun dan terkaget
mendapati ibunya,
Hamoudi : „Apa yang salah
dengan ibu? Apa ibu baik-baik
saja?
Ny. Afaf : „Sudah jangan berisik,
waktunya misa‟
Fatmeh berteriak pada suaminya
Aboe Ahmad karena suaminya
menegur pakaian Fatmeh yang
berganti layaknya seperti
perempuan non muslim
Fatmeh : Aku memakai ini
sekarang untuk berjalan-jalan di
desa (sambil menunjuk ke daster
berlengan pendek yang ia
kenakan). Ayo semua. lihatlah
aku.
Aboe Ahmad : Apa ini gara-gara
kamus yang kau simpan di bawah
100
bantal ku (sambil menunjukkan
Injil di tangannya)
Fatmeh : Itu injil, wahyu Tuhan
bodoh. Itu kitab suciku sekarang,
kitab injil.
Aboe Ahmad : Buka pintunya
sekarang atau aku dobrak? Buka
sebelum kudobrak.
Fatmeh : coba saja kalau berani,
seperti tetanggamu, George. Baru
kemarin kau makan humus
bersamanya ha? panggil dia
„George, sobatku, saudaraku.
Dan sekarang kau ingin
membunuhnya? Karena di luar
sana mereka saling baku hantam?
Kau mau melumatkan mereka?
Jadi sekarang aku salah satu
diantara mereka, Aku Georgette.
Mulailah denganku, kemari,
bunuhlah aku.
101
Pemaknaan Konotasi
Seluruh agama mengajarkan agar umatnya menyembah kepada Tuhan.
Perjanjian lama menuturkan firman Allah kepada Musa: „Akulah Tuhan, Aku
telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah
Yang Maha Kuasa. 64
Dalam perjanjian baru, dikisahkan bahwa Yesus atau Isa
al-Mmasih pernah ditanya: „Hukum manakah yang paling utama?‟ Yesus
menjawab: „Hukum yang terutama adalah, dengarlah hai orang Israel, Tuhan
Allah kita, Tuhan itu esa‟. Kasihanilah Tuhan, Allahmu dengan, segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan
dengan segenap kekuatanmu‟. 65
Allah berfirman dalam QS al-Anbiya „Telah
kuwahyukan kepada seluruh rasul sebelum kamu (Muhammad) bahwa tidak
ada tuhan selain Allah, karena itu sembahlah aku‟. 66
Berdasarkan wahyu Tuhan tersebut di atas, para perempuan melakukan
aksi-aksi agar tidak terjadi permusuhan hanya karena perbedaan agama,
karena pada hakikatnya setiap agama mengajarkan kebenaran dan menyembah
pada Ke-Esaan Tuhan yang satu. Atas ide yang dilaksanakan agar para
pemuda dan laki-laki berdamai dan tidak berseteru dalam perbedaan agama,
para perempuan muslim berubah menjadi nasrani dan perempuan nasrani
berubah menjadi muslim. Ny. Ta‟la dengan menggunakan pakaian muslim
mendatangi putranya Issam yang dalam beberapa hari disembunyikan di
dalam kamar dengan tangan terikat dan mulut terikat. (Issam adalah salah
seorang yang emosional yang sensitif terhadap pecahnya konflik dari kalangan
nasrani)
64
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Perjanjian Lama, Keluaran 6:12 65
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Perjanjian Baru, Markus 12:29-30 66
QS al-Anbiya (21):46
102
Komunikasi nirkekerasan digunakan menjadi pilihan agar tidak terjadi
konflik yang berkepanjangan. Oleh para perempuan strategi berpura-pura
berpindah agama adalah merupakan cara komunikasi nirkekerasan tersebut.
Hal ini terlihat dalam komunikasi antara Ny. Takla dengan Nissam anaknya
agar ia mau memakamkan adiknya yang terbunuh akibat bentrok yang terjadi
di luar desa. Ny. Ta‟la mengatakan pada anaknya „Sekarang kau hidup dengan
musuhmu.‟ Aku salah satu diantara mereka sekarang. Apalagi yang akan kau
lakukan sekarang? Bangun anakku, kita harus mengubur adikmu. Dialog
tersebut berisi pesan bahwa jika ibumu adalah menjadi bagian dari kelompok
muslim, apakah lantas seorang ibu menjelma menjadi seorang musuh juga.
j. Scene j
Gambar 10. Scene j
Tabel B. B.5.10 tabel analisis Scene j
Setting Visual Audio
Outdoor
Menit ke-
1.36.23-1.37.34
Epilog Film.
Saat para warga kampung mengantar
jenazah Nassim ke pemakaman. Di
langkah terakhir, ketika mereka tiba
di pemakaman, orang-orang yang
Kisahku kini berakhir bagi
siapapun yang mendengarnya. Dari
desa yang tumbuhkan kedamaian,
walau pertikaian berlanjut di
sekitar. Dari seorang anak laki-laki
103
memikul jenazah Nassim
kebingungan, apakah dimakamkan di
pemakaman Islam atau di emakaman
Nasrani. Where do we go now?
yang „tidur‟ begitu lelap, dan
terbangun untuk menemukan
kedamaian abadi. Dari wanita
yang masih mengenakan gaun
hitam. Yang berjuang dengan doa
dan bunga-bunga. Alih-alih
senapan dan api menyala, untuk
melindungi putra putri mereka.
Takdir kemudian menggiring
mereka ke jalan yang belum pernah
mereka lalui.
Pemaknaan Konotasi
Ada berbagai macam hambatan, politik, budaya, agama dan profesi
dalam penerapan strategi-strategi bina-damai yang lebih luas di masyarakat
muslim. Hambatan-hambatan tersebut tentunya harus terus dihadapi oleh
setiap individu maupun kelompok untuk mengatasi terjadinya konflik
kembali. Dalam epilog film ini Nadine Labaki menyampaikan bahwa dari
seorang laki-laki yang tidur lelap dalam sebuah peti menjadi bahan pelajaran
agar konflik tak lagi terulang. Cara-cara yang anti kekerasan menggunkan
komunikasi nirkekerasan harus terus menerus ditempuh. Hal itu nampak
dalam kalimat terkahir dari epilog film ini yaitu: Dari wanita yang masih
mengenakan gaun hitam. Yang berjuang dengan doa dan bunga-bunga. Alih-
alih senapan dan api menyala, untuk melindungi putra putri mereka.
104
3. Makna Denotasi Fillm tentang Peran Perempuan
a. Scene a
Gambar 1 scene a
Tabel A.3.1 Tabel Analisis Scene a
Setting Visual Audio
Indoor
Menit ke:
00:21:00
Para perempuan desa sedang
berkumpul sibuk
mempersiapkan acara
pembaptisan. Sementara itu
beberapa laki – laki terlihat
sibuk bermain kartu.
Pemaknaan Denotasi:
Terlihat para perempuan desa sedang bekerja sama membungkus
coklat, rangkaian bunga, dan gaun untuk persiapan acara pembaptisan di
kedai nyonya Amale. Sedangkan para pria sibuk bermain kartu. Dari gambar
tersebut menunjukkan bahwa acara pembaptisan merupakan salah satu acara
besar yang penting bagi umat kristiani. Maka perlu banyak persiapan agar
acara bisa berjalan sesuai harapan. Maka, para peremuan desa saling
membantu memersiapkan acara pembaptisan tersebut. Namun, para laki –
105
laki terlihat tidak peduli dengan kesibukan tersebut, mereka justru asik
bermain dan tidak membantu para perempuan desa.
b. Scene b
Gambar 2 scene b
Tabel A.3.2 Tabel Analisis Scene b
Setting Visual Audio
Indoor & outdoor
Menit ke
00:20:57-
00:25:53
Para perempuan desa
sedang berkumpul
mempersiapkan acara
pembaptisan. Kemudian
siaran berita radio
mengabarkan tentang
konflik antaragama yang
telah terjadi dan menelan
korban jiwa. Maka
setelah memastikan para
Siaran berita radio:
“penurunan kerukunan antara
kristen dan muslim, dan
kerusakan fisik diperkirakan
karena baku tembak antara
kedua kubu.”
Head line di surat kabar:
“Pertikaian kecil di Wardeh
meletuskah kerusuhan”
Ny. Afaf:
106
laki – kali tidak
mendengarkan siaran
tersebut, Ny. Amale
mengganti channel radio
tersebut.
Setelah itu Ny. Amale,
Ny. Afaf dan Ny. Saydeh
berusaha memutuskan
kabel radio.
Setelah kejadian itu
seluruh informasi tentang
perang dari semua media
dihadang masuk oleh para
perempuan desa, mulai
dari radio, surat kabar,
hingga televisi.
“kita pecahkan saja layarnya”
Pemaknaan Denotasi:
Dalam bagian tersebut diperlihatkan para perempuan desa sangat
sensitif terhadap hal – hal yang mungkin saja dapat memicu pecahnya konflik.
Sedikit saja berita mengenai konflik membuat para perempuan ini khawatir
akan diterima oleh para laki – laki sebagai pemicu emosi mereka untuk saling
bertikai atas nama agama. Sehingga yang paling memungkinkan untuk
mencegahnya adalah dengan menutup segala bentuk saluran informasi yang
107
mungkin saja memuat berita tentang konflik antaragama yang terjadi. Maka
Nadine Labaki menggambarkan dalam film ini bahwa semua media tidak
boleh menyentuh desa. Terlihat dalam beberapa bagian para perempuan desa
memutus saluran radio, televisi, dan membakar surat kabar.
c. scene c
Gambar 3 scene c
Tabel A.3.3 Tabel Analisis Scene c
Setting Visual Audio
Outdor
Menit ke:
00:22:12-00:23:10
Saat para warga desa sedang
menonton televisi bersama – sama,
tiba – tiba siaran berita
mengabarkan tentang perang
antaragama yang meletus di luar
desa. Ny. Afaf meminta untuk
mengganti siaran berita, namun
Abou Ahmad tidak setuju. Dan
akhirnya tayangan televisi tetap di
Ny. Afaf:
“kami tidak ingin nonton berita”
Abou Ahmad:
“berita saja”
Ny. Afaf:
“Hammoudi kau mengupil di
depanku”
Ny. Fatmeh:
“Jangan sampai ayam – ayammu
108
tayangan berita. Maka, satu persatu
para perempuan membuat keributan
di sana.
buang kotoran di halamanku lagi.”
Ny. Syadeh:
“Memangnya mulutmu tidak
besar?”
Pemaknaan Denotasi:
Dalam bagian ini digambarkan perdebatan yang terjadi antara Ny. Afaf
dan Abou Ahmad dalam memilih siaran televisi. Diawali dari tayangan berita
tentang pecahnya konflik Abou ahmad terlihat sangat tertarik dan penasaran
untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di luar desa. Sebaliknya para
perempuan terlihat menjadi cemas raut wajah mereka tiba – tiba berubah
panik, karena takut berita tentang konflik tersebut akan memancing emosi
rasial para laki – laki. Ny. Afaf meminta untuk mengganti saluran televisinya,
namun tidak dihiraukan. Maka secara spontan Ny. Afaf mengambil sikap
untuk mengalihkan perhatian warga desa dari berita tentang pecahnya konflik
tersebut. Diawali dari Ny. Afaf, para perempuan desa membuat keributan.
Berteriak – teriak mencari masalah sehingga membuat suasana menjadi kacau
tak terkendali. Ternyata terbukti cara tersebut berhasil mengalihkan perhatian
warga desa, mereka lantas menjadi sibuk untuk menenangkan para
perempuan.
109
d. Scene d
Gambar 4 scene d
Tabel A.3.4 Tabel Analisis Scene d
Setting Visual Audio
Outdor
Menit ke:
00:31:49-00:32:36
Issam meluapkan kemarahan atas
kecurigaannya kepada muslim
terkait tanda salib di kening yang
meleleh seperti darah. Muslim
yang terlihat disekitar gereja
adalah ketiga anak kecil. Maka,
praktis Issam meluapkan
amarahnya kepada mereka.
Tidak lama Ny. Takla mencoba
menghalangi putranya, kemudian
Ny. Fatmeh datang menolong
anaknya dan marah kepada Issam.
Issam:
“Keluar dari sini, kupatahkan
kakimu!”
Ny. Takla:
“hentikan, dia masih bocah”
Ny. Fatmeh:
“yang kau hajar ini masih
bocah”
“seharusnya kau malu.”
110
Pemaknaan Denotasi:
Terlihat Issam sangat marah karena tanda salib di kening meleleh
seperti darah. Dia lantas mencurigai ini adalah sabotase yang dilakukan oleh
kelompok muslim. Merasa agamanya terhina dia segera melampiaskan
kemarahannya kepada anak – anak muslim yang kebetulan sedang melihat
acara pembaptisan. Tidak menghiraukan bahwa mereka masih anak – anak,
kemarahan terlanjur menguasai Issam pada waktu itu. Ny. Takla tidak tinggal
diam, dia mencegah Issam, dan menjauhkannya dari anak kecil tersebut.
Dengan berlari – lari Ny. Fatmeh menolong anaknya dan menasihati Issam.
Dia terlihat sangat kecewa, sedih, dan marah melihat anaknya yang cacat
diperlakukan tidak layak oleh seorang laki – laki dewasa. Dengan berusaha
menahan emosinya, Ny. Fatmeh menegur Issam tanpa suara keras atau jeritan.
e. Scene e
Gambar 5 scene e
Tabel A.3.5 Tabel Analisis Scene e
Setting Visual Audio
Indoor
Menit ke:
00:33:15-
Para perempuan desa
menyelidiki apakah benar
tanda salib di kening saat
Ny. Saydeh:
“Ini darah ayam, bodoh!”
111
00:33:31
acara pembaptisa itu adalah
darah. Untuk itu Ny. Amale
menyicipinya, dan setelah
Ny. Saydeh menemukan
bulu ayam, mereka
menyimpulkan itu adalah
benar darah ayam.
Pemaknaan Denotasi:
Para perempuan desa melakukan penyelidikan atas tanda baptis yang
meleleh seperti darah pasca acara pembaptisan di gereja. Para perempuan ini
tidak mudah terpancing dengan runyam dan panasnya keadaan. Mereka tetap
berpikir rasional untuk menemukan penyebab yang sebenarnya dari kejadian
tersebut. Setelah mereka mendapatkan kejelasan yang sebenarnya, lantas
mereka tidak termakan emosi. Mereka lalu berpikir kembali untuk melakukan
solusi tepat agar permasalahan ini bisa diselesaikan dengan damai.
f. Scene f
Gambar 6 Scene f
112
Tabel B.5.6 Tabel Analisis Scene f
Setting Visual Audio
Indoor
Menit ke:
00:34:53-
00:35:56
Ny. Yvone berpura – pura
menjadi Santo, yang bisa
berbicara dengan perawan
suci. Dibantu oleh teman –
teman perempuannya.
Mereka menjalankan misi
ini, dan menyampaikan
pesan kepada para warga
desa.
Ny. Amale:
“Dia berbicara kepada
perawan suci”
Ny. Yvone:
“darah yang menempel di
kening kita adalah karena
Tuhan marah, dia melihat para
pria saling membunuh
kampung ini ribut, para pria
membungkuk di loteng menarik
keluar senjata mereka, dan
merangkak ke tempat tidur”
Pemaknaan Denotasi:
Para perempuan dengan segala cara mengusahakan untuk
mendinginkan kondisi yang memanas di desa akhir – akhir ini. Akhirnya
setelah memikirkan rencana, mereka memutuskan untuk memberanikan diri
berpura – pura menjadi santo yang bisa berkomunikasi dengan perawan suci
(bunda maria). Mereka melakukan hal tersebut dengan tujuan agar para warga
desa percaya bahwa apa yang dikatakan oleh Ny. Yvone merupakan pesan
yang ingin disampaikan oleh sang perawan susci. Maka, ny. Yvone mulai
memberikan pesan – pesan kedamaian.
113
g. Scene g
Gambar 7 Scene g
Tabel B.5.7 Tabel Analisis Scene g
Setting Visual Audio
Indoor
Menit ke:
00:39:26
Outdoor:
00:42:12-00:48:04
Ny. Afaf mengumpulkan para
perempuan desa untuk
menggalang dana. Dana tersebut
dipergunakan untuk
mendatangkan artis ke desa.
Agar perhatian masyarakat desa
bisa teralih kepada para artis.
Ny. Afaf:
“Ayo keluarkan”
Pemaknaan Denotasi:
Dalam bagian ini terlihat Ny. Afaf menggalang dana dari para
perempuan desa. Uang yang terkumpul tersebut akan dipergunakan untuk
mengundang artis datang ke desa mereka. Meskipun beberapa diantara mereka
114
tidak menyetujui rencana tersebut, namun Ny. Afaf memaksa dan mencoba
meyakinkan mereka bahwa cara ini akan berhasil untuk mencegah terjadinya
konflik di desa mereka. Hal tersebut terihat dari perkataan Ny. Afaf yang
sedikit memaksa dengan nada suara yang keras, meminta agar para perempuan
ikut membantu memberikan sedikit uang mereka. Para artis diundang untuk
bisa mengalihkan perhatian para laki – laki desa dari pikiran tentang konflik.
Dan ternyata berhasil, seluruh warga desa menjadi terfokus kepada para artis
cantik dan menjadi sibuk untuk menyambut mereka. Konflikpun terabaikan
dan terlupakan sejenak, sehingga suasana desa bisa sedikit dikondisikan.
h. Scene h
Gambar 8 Scene h
115
Tabel B.5.8 Tabel Analisis Scene h
Setting Visual Audio
Indoor
01:01:15-01:02:53
Seorang artis terlihat
menghampiri para laki – laki
yang sedang berkumpul di
rumah Rabih. Artis tersebut
menjadi mata – mata dengan
meninggalkan jaketnya yang
terdapat recorder, di ruangan
tempat para laki – laki itu
berkumpul.
Artis:
“Halo semua, selamat sore,
permisi”
Abou Ahmad:
“kita harus menjemput senjata
kita, tidak lama lagi, kita tidak
punya pilihan.”
Pemaknaan Denotasi:
Salah seorang artis tengah menghampiri sekumpulan laki – laki yang
sedang berbicara serius. Artis tersebut sedang menjankan misi memata – matai
kelompok laki – laki muslim, di rumah Rabih. Ini dilakukan atas kecurigaan
Ny. Amale yang melihat para pria sepertinya mulai merencenakan sesuatu.
Maka, dengan pesona yang dimiliki artis tersebut, Ny. Amale dan Ny. Afaf
memintanya menajdi mata – mata. Terlihat sedikit canggung, karena artis
tersebut adalah perempuan seorang diri di tengah kumpulan laki – laki.
Namun, dia tetap memberanikan diri hadir di antara para laki – laki, mencoba
mengajak bicara dan kemudian dengan sangat halus dan hati – hati dia
melepaskan jaket yang didalamnya sudah disiapkan recorder yang menyala.
Daya tarik artis tersebut ternyata bisa membuat para laki – laki menjadi
ternganga, dan tidak menyadari sedang dimata – matai.
116
i. Scene i
Gambar 9 Scene i
Tabel B.5.9 Tabel Analisis Scene i
Setting Visual Audio
Outdoor:
Menit ke: 01:06:06
Indoor:
Menit ke:
01:18:32-01:18:58
Ny. Takla menyembunyikan
jasad Nassim di dalam
sumur.
Kemudian Ny. Takla
menembakkan senjata api ke
arah Issam, anaknya.
Ny. Takla:
“aku mohon, mereka bukan berasal
dari desa kita”
Issam:
“apa yang ibu lakukan, apa ibu
sudah gila?.”
Ny. Takla:
“aku juga tidak akan membiarkanmu
mati.”
Pemaknaan Denotasi:
Pada suatu subuh, Ny. Takla sangat shock melihat Rukoz membawa
tubuh Nassim yang sudah tidak bernyawa. Dia terkena tembakan saat
117
melintasi wilayah meletusnya konflik. Kesedihan yang sangat dalam terlihat
sangat dirasakan Ny. Takla. Namun, langkah yang sangat mengejutkan dia
putuskan, menyembunyikan jasad putranya di dalam sumur agar masyarakat
desa tidak mengetahui. Namun, pada akhirnya Issam, putra pertamanya
mengetahui kematian Nassim. Dengan sangat marah dan curiga dia mencari
senjata api dan akan membalas kematiannya kepada kelompok muslim desa.
Ny. Takla melihat dampak besar yang akan membawa desa pada konflik, jika
hal tersebut terjadi. Maka, Ny. Takla menembakkan senjata api ke kaki Issam
agar anaknya tidak bisa ke mana – mana. Bisa dipastikan suasana yang begitu
memanas dan tidak terduga di dalam desa. Konflik kapan saja bisa meletus di
desa tersebut, apalagi dengan kejadian kematian Nassim. Sehingga, seorang
ibu bisa mengambil langkah ekstrim menembak anaknya sendiri.
j. Scene j
Gambar 10 Scene j
118
Tabel B.5.10 Tabel Analisis Scene j
Setting Visual Audio
Indoor:
01:20:56-01:21:33
Outdoor:
01:28:14-01:28:46
Para perempuan desa
berkumpul untuk
membuat kudapan yang
akan disajikan pada acara
pertemuan. Namun,
mereka memiliki missi
tersendiri dibalik itu.
Kemudian setelah acara
pertemuan itu
berlangsung, para
perempuan desa mencari
senjata api milik para laki
– laki dan dipindahkan
penyimpanannya ke
tempat yang tidak
diketahui.
Ny. Yvone:
“Dengan sedikit hash, bisa
menidurkan seekor unta”
Ny. Afaf:
“Kita berhasil
menemukannya.”
Pemaknaan Denotasi:
Situasi konflik yang semakin tidak terelakkan membuat para
perempuan desa bekerja sama dengan pemuka agama untuk mencegahnya.
Maka disusunlah pertemuan antara dua kelompok agama di desa tersebut,
yang diikuti oleh para laki – laki. Mengambil kesempatan itu, para perempuan
desa merencanakan cara cerdik. Yakni dengan mencampurkan obat tidur
119
dalam makanan dan minuman yang akan disajikan. Tujuannya, setelah para
laki – laki desa dari kedua kelompok agama berhasil tertidur, maka para
perempuan bisa mencari tempat senjata yang disembunyikan, dan
memindahkannya. Sehingga jika senjata tidak ada, konsekuensi logisnya
adalah konflik tidak akan bisa terjadi. Dalam scene ini, diperlihatkan perlu
adanya kerjasama dari beberapa pihak agar sebuah missi besar bisa berhasil.
4. Makna Konotasi Fillm tentang Peran Perempuan
a. Scene a
Gambar 1 Scene a
Tabel B.6.1 Tabel Analisis Scene a
Setting Visual Audio
Indoor
Menit ke:
00:21:00
Para perempuan desa sedang berkumpul sibuk
memersiapkan acara pembaptisan. Sementara
itu beberapa laki – laki terlihat sibuk bermain
kartu.
Pemaknaan Konotasi:
Dalam film ini terlihat dikotomi antara tugas domestik dan publik
antara laki – laki dan perempuan. Bahwa tugas perempuan yang diidentikan
dengan tugas domestik seperti membuat makanan, menjahit, dan membuat
rangkaian bunga seperti yang digambarkan dalam adegan di atas bukanlah
120
domain pekerjaan laki – laki. Inilah pemahaman yang membudaya disekitar
kita, sehingga laki – laki tidak akan menyentuh apa yang dianggapnya menjadi
tugas perempuan. Nadine Labaki dalam adegan ini ingin menunjukkan bahwa
para perempuan juga memiliki kesetaraan dengan laki – laki dalam hal peran
mereka tidak bisa dipinggirkan dengan pendapat yang mengacu pada peran
perempuan yang kodratiah dan esensial. Konsep gender disini menjadi penting
bahwa peran laki – laki dan perempuan adalah konstruksi sosial budaya dan
bukan berasal dari yang kodratiah.67
Karena pembaptisan adalah acara besar
yang akan diikuti oleh seluruh warga yang beragama kristen baik laki – laki
maupun perempuan. Sehingga kerja untuk mempersiapkan acara ini adalah
kerja publik, dan perempuan mampu untuk melakukannya. Dengan tidak
terpengaruh oleh fanatisme agama, para perempuan ini berbaur untuk
menghasilkan karya besar bagi desanya.
b. Scene b
Gambar 2 Scene b
67
Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
2006), h. 96
121
Tabel A.3.2 Tabel Analisis Scene b
Setting Visual Audio
Indoor dan
outdoor
Menit ke
00:20:57-
00:25:53
Para perempuan desa sedang
berkumpul memersiapkan acara
pembaptisan. Kemudian siaran
berita radio mengabarkan tentang
konflik antaragama yang telah
terjadi dan menelan korban jiwa.
Maka setelah memastikan para
laki – kali tidak mendengarkan
siaran tersebut, Ny. Amale
mengganti channel radio tersebut.
Setelah itu Ny. Amale, Ny. Afaf
dan Ny. Saydeh berusaha
memutuskan kabel radio.
Setelah kejadian itu seluruh
informasi tentang perang dari
semua media dihadang masuk
oleh para perempuan desa, mulai
dari radio, surat kabar, hingga
televisi.
Siaran berita radio:
“penurunan kerukunan
antara kristen dan
muslim, dan kerusakan
fisik diperkirakan karena
baku tembak antara
kedua kubu.”
Head line di surat kabar:
“Pertikaian kecil di
Wardeh meletuskan
kerusuhan”
Ny. Afaf:
“kita pecahkan saja
layarnya”
Pemaknaan Konotasi:
Dalam film ini digambarkan bahwa perempuan sangat tertekan dengan
keadaan yang dialaminya. Selalu merasa khawatir dan was – was dengan
122
aturan – aturan patriarkhal yang memandang perang adalah satu – satunya
jalan untuk membela agamanya. Selalu mengasosiasikan maskulinitas sebagai
sesuatu yang kuat dan bermartabat. Sehingga Dengan aturan – aturan
demikian, para perempuan seperti tidak memiliki banyak pilihan. Mereka
diposisikan sebagai manusia yang seakan tidak memiliki andil untuk ikut
mencari sebuah penyelesaian masalah. Apapun yang terjadi para perempuan
harus mengikuti aturan – aturan tersebut. Inilah yang dimaksud oleh salah
seorang feminis postmoderen yakni Jacques Lacan bahwa pada titik itulah
perempuan akan sangat kesulitan karena atura – aturan tersebut diekspresikan
dalam bahasa – bahasa cara berpikir maskulin.68
Keadaan yang semacam ini menuntut para perempuan untuk berpikir
cerdas bagaimana para laki – laki tidak terpancing emosinya. Maka memutus
aliran informasi yang masuk ke desa adalah cara yang paling aman, agar para
laki – laki terhindar dari informasi yang berkaitan dengan konflik agama. Arus
informasi terebut bisa dari media televisi, radio, surat kabar ataupun
sebagainya. Karena media massa adalah alat penyampaian pesan, dan
memiliki fungsi untuk memengaruhi khalayak (to infuence). Bahkan dalam
teori kultifasi disebutkan, khalayak yang mendapatkan informasi secara
kontinu dari media dalam beberapa waktu, bisa memengaruhi kognitif dan
sikapnya.
68
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003), hal. 129
123
c. Scene c
Gambar 3 Scene c
Tabel B.6.3 Tabel Analisis Scene c
Setting Visual Audio
Outdor
Menit ke:
00:22:12-00:23:10
Saat para warga desa sedang
menonton televisi bersama – sama,
tiba – tiba siaran berita
mengabarkan tentang perang
antaragama yang meletus di luar
desa. Ny. Afaf meminta untuk
mengganti siaran berita, namun
Abou Ahmad tidak setuju. Dan
akhirnya tayangan televisi tetap di
tayangan berita. Maka, satu persatu
para perempuan membuat keributan
di sana.
Ny. Afaf:
“kami tidak ingin nonton berita”
Abou Ahmad:
“berita saja”
Ny. Afaf:
“Hammoudi kau mengupil di
depanku”
Ny. Fatmeh:
“Jangan sampai ayam – ayammu
buang kotoran di halamanku lagi.”
Ny. Syadeh:
“Memangnya mulutmu tidak
besar?”
124
Pemaknaan Konotasi:
Dalam Scene ini kita dapat melihat representasi ketidakadilan gender,
bahwa perempuan dianggap dan diposisikan layaknya makhluk kelas dua,
atau dengan kata lain perempuan dijadikan sebagai “the other”69
meminjam
istilah dari Simone de Beauvoir, dan bukan sebagai subjek. Inilah yang
disebut sebagai ideologi patriarkhi, bahwa laki – laki akan selalu dominan dan
perempuan akan selalu mendapatkan peranan yang lebih rendah. Begitupun
dengan pendapat dan suara perempuan menjadi kurang didengar. Ini yang
diperjuangkan oleh para feminis liberal abad ke- 19 dalam memerjuangkan
hak suara kaum perempuan.70
Namun manusia adalah makhluk yang berakal,
secara naluriah mereka akan menggunakan pikirannya, juga dalam hal
menemukan solusi sebuah masalah. Bahkan secara spontan perempuan
mampu berpikir cerdas, cepat dan tepat. Bahkan mereka mampu berpikir
melampaui laki – laki yang ternyata banyak juga yang hanya mementingkan
egonya. Dengan demikian konflik dapat terhindarkan.
69
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003), hal hal. 130 70
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003), hal h. 92
125
d. Scene d
Gambar 4 Scene d
Tabel B.6.4 Tabel Analisis Scene d
Setting Visual Audio
Outdor
Menit ke:
00:31:49-00:32:36
Issam meluapkan kemarahan atas
kecurigaannya kepada muslim
terkait tanda salib di kening yang
meleleh seperti darah. Muslim yang
terlihat disekitar gereja adalah
ketiga anak kecil. Maka, praktis
Issam meluapkan amarahnya
kepada mereka.
Tidak lama Ny. Takla mencoba
menghalangi putranya, kemudian
Ny. Fatmeh datang menolong
anaknya dan marah kepada Issam.
Issam:
“Keluar dari sini,
kupatahkan kakimu!”
Ny. Takla:
“hentikan, dia masih bocah”
Ny. Fatmeh:
“yang kau hajar ini masih
bocah”
“seharusnya kau malu.”
126
Pemaknaan Konotasi:
Tidak bisa disangkal bahwa sifat feminin memang ada pada diri
perempuan. Dalam Scene ini ditampilkan bahawa perempuan menampilkan
kefeminimannya. Melihat arogansi yang sangat berlebihan dan tidak pada
tempatnya dari laki – laki, Ny. Takla menghentikan dan memperingatkan
untuk tidak melakukan itu, demikian juga diperlihatkan oleh Ny. Fatmeh.
Tidak ada ibu yang tidak marah dan sedih melihat anaknya diperlakukan
dengan tidak layak. Maka rasa kasih sayang membuatnya menanggalkan rasa
takut dan malu untuk menasihati seorang laki – laki atas sikap buruknya. Ny.
Takla dan Ny. Fatmeh mampu untuk bebas berbuat antara sifat feminin dan
maskulin yang dimilikinya. Dan memanfaatkan sifat tersebut untuk menyikapi
keburukan dan mencegah terjadinya dampak buruk yang mungkin akan lebih
besar lagi. Dengan demikian para perempuan tersebut sudah menjadi manusia
yang bebas dari keterkungkungan budaya patriarkhi.71
e. Scene e
Gambar 5 Scene e
71
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003), hal hal. 131
127
Tabel B.6.5 Tabel Analisis Scene e
Setting Visual Audio
Indoor
Menit ke:
00:33:15-
00:33:31
Para perempuan desa menyelidiki
apakah benar tanda salib di kening
saat acara pembaptisan itu adalah
darah untuk itu Ny. Amale
menyicipinya, dan setelah Ny.
Saydeh menemukan bulu ayam,
mereka menyimpulkan itu adalah
benar darah ayam.
Ny. Saydeh:
“Ini darah ayam,
bodoh!”
Pemaknaan Konotasi:
Karena menyangkut resistensi agama, maka sabotase tanda salib
menggunakan darah menjadi hal besar yang dapat memicu terjadinya konflik
antaragama. Tidak mengherankan, sebab pada dasarnya manusia memiliki
sikap etnosentrisme menganggap budayanya termasuk agamanya adalah yang
paling benar72
. Maka sedikit saja menyinggung resistensi agama, akan
memicu emosi sehingga akhirnya konflik rentan terjadi.
Diperlukan pikiran dingin untuk bisa mencari solusi terbaik, agar
konflik dapat terselesaikan. Dalam Scene ini para perempuan memerlihatkan
kepamampuan berpikirnya. Dengan tidak hanya mengandalkan perasaannya
yang sangat emosional seperti apa yang diidentikkan oleh masyarakat kepada
72
Jacky Manuputty Dkk, Carita Orang Basudara : Kisah – Kisah Perdamaian dari
Maluku, (Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku, 2014), h. 229.
128
perempuan,73
para perempuan ini mampu menganalisis secara jernih sebuah
permasalahan sebelum bertindak. Akhirnya dapat menghasilkan solusi konflik
yang tepat guna karena berdasarkan penyelidikan.
f. Scene f
Gambar 6 Scene f
Tabel B.6.6 Tabel Analisis Scene f
Setting Visual Audio
Indoor
Menit ke:
00:34:53-00:35:56
Ny. Yvone berpura – pura
menjadi Santo, yang bisa
berbicara dengan perawan
suci. Dibantu oleh teman –
teman perempuannya.
Mereka menjalankan misi
ini, dan menyampaikan
pesan kepada para warga
desa.
Ny. Amale:
“Dia berbicara kepada perawan
suci”
Ny. Yvone:
“darah yang menempel di kening
kita adalah karena Tuhan marah, dia
melihat para pria saling membunuh
kampung ini ribut, para pria
membungkuk di loteng menarik
keluar senjata mereka, dan
merangkak ke tempat tidur”
73
Jean – Jacques Rousseau, Emile, diedit oleh Allan Boom (New York: Basic Books,
1979), h. 56. Dalam Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan, 2003), hal h. 91
129
Pemaknaan Konotasi:
Berpura – pura menjadi Santo dan dapat berkomunikasi dengan
perawan suci, dianggap cara yang efektif untuk menyampaikan pesan agar
dapat diterima. Bunda maria adalah sosok yang sangat penting yang sangat
diyakini bagi umat kristiani. Maka, ucapannya adalah suatu keajaiban yang
sudah pasti kebenarannya. Maka, dengan berpura – pura menjadi santo dan
menyampaikan pesan dari bunda Maria dinilai paling tepat agar pesan damai
dapat diterima. Penipuan memang bukan hal yang baik, namun ini menjadi
lebih baik ketika para laki – laki masih menggunakan metode berpikir
patriarkhi. Yakni seperti yang dikatakan oleh seorang ekofeminis Karen J.
Warren, mengenai cara berpikir hirarkis menganggap dirinya lebih kuasa dari
perempuan dan menekankan pada logika yang membenarkan subordinasi74
.
Subordinasi perempuan membuat mereka tidak mempunyai banyak
kesempatan untuk berpendapat. Bahkan terkadang ruang – ruang yang
menghargai pendapat perempuan harus diusahakan. Seperti apa yang
dilakukan oleh para feminis pada Konvensi Hak – Hak Perempuan di Seneca
Falls tahun 1848. Dalam deklarasi itu ditekankan hak perempuan untuk
berbicara dan berpendapat di dunia publik.75
Sehingga, butuh power lain yang
dapat digunakan perempuan agar suaranya dapat didengar, ditengah budaya
patriarkhi.
74
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003), hal. 143 75
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003), hal. 93
130
g. Scene g
Gambar 7 Scene g
Tabel B.6.7 Tabel Analisis Scene g
Setting Visual Audio
Indoor
Menit ke:
00:39:26
Outdoor:
00:42:12-
00:48:04
Ny. Afaf mengumpulkan para
perempuan desa untuk menggalang
dana. Dana tersebut dipergunakan
untuk mendatangkan artis ke desa.
Agar perhatian masyarakat desa bisa
teralih kepada para artis.
Ny. Afaf:
“Ayo keluarkan”
Pemaknaan Konotasi:
Pengumpulan dana dan memaksa para perempuan desa untuk setuju
rencana mendatangkan para artis ke desa, merupakan solusi yang terbilang
berani untuk mencegah konflik. Dalam Scene ini Ny. Afaf, Takla, dan Saydeh
terlihat sangat yakin bahwa rencana ini akan berhasil mengalihkan perhatian
para laki – laki. Keyakinan tersebut beralasan karena sudah sangat lama
131
konstruksi budaya menjadikan perempuan sebagai objek. Bahkan menurut
asumsi ekofeminisme, perempuan disamakan dengan alam yakni tanah yang
digarap, bumi yang dikuasai , atau hutan yang dijamah.76
Sehingga perempuan
dalam benak laki – laki hanya menjadi objek belaka.
Meskipun demikian, Nadine labaki berhasil menggambarkan kekuatan
perempuan dalam Scene ini. Menunjukkan perempuan mampu menjadi
“subjek – subjek feminin”, yang mengambil peranan dalam kebudayaan untuk
mengambil isue mencapai perdamaian. 77
Para perempuan ini sangat
menyadari kecantikan dan daya tarik yang dimiliki oleh dirinya. Mereka
mampu memaksimalkan feminitas yang dimilikinya, untuk misi yang lebih
besar demi kepentingan bersama. Tidak membiarkan para pria mengambil
kuasa atas tubuhnya, para perempuan ini berhasil memenuhi ekspektasi kaum
feminisme radikal. Di mana kaum feminisme radikal memerjuangkan hak atas
tubuh perempuan yang paling pribadi adalah mutlak milik dirinya sendiri, the
personal is political.78
Maka perempuan harus terbebas dari kuasa laki – laki
atas tubuhnya, dan berhak memanfaatkannya demi kepentingan dirinya. Pada
akhirnya, para artis mampu mendapatkan perhatian laki – laki dan sejenak
melupakan konflik yang terjadi. Maka, dengan kuasa penuh yang dimiliki
perempuan atas bagian pribadi dalam dirinya, mereka mampu menghadirkan
kemaslahatan bagi orang banyak.
76
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003), hal h. 144 77
Sue Thornmham, Teori Feminis dan Cultural Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010),
h.90. 78
Gadis arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003), hal h. 101
132
h. Scene h
Gambar 8 Scene h
Tabel B.6.8 Tabel Analisis Scene h
Setting Visual Audio
Indoor
01:01:15-01:02:53
Seorang artis terlihat
menghampiri para laki – laki
yang sedang berkumpul di
rumah Rabih. Artis tersebut
menjadi mata – mata dengan
meninggalkan jaketnya yang
terdapat recorder, di ruangan
tempat para laki – laki itu
berkumpul.
Artis:
“Halo semua, selamat sore,
permisi”
Abou Ahmad:
“kita harus menjemput senjata
kita, tidak lama lagi, kita tidak
punya pilihan.”
Pemaknaan Konotasi:
Dalam strategi konflik mengetahui informasi dari masing – masing
kelompok itu sangat penting. Dalam Scene ini para perempuan menjalankan
strategi tersebut. Ditengah suasana yang semakin mendesak mereka
133
memerlukan informasi, maka harus ada orang yang tidak dicurigai untuk
mencari infomasi tersebut. Maka, memilih orang yang tidak memiliki kaitan
sama sekali dengan masing – masing kelompok adalah yang paling tepat
untuk menjadi mata – mata.
Memberanikan diri untuk keluar dari zona nyaman, yakni memasuki
wilayah paling privat dari seseorang yakni rumah yang didalamnya tempat
sekelompok laki – laki berkumpul. Perempuan tersebut mampu menangkis
asumsi yang mengatakan bahwa laki – laki adalah subjek sedangkan
perempuan adalah “other”79
atau dengan kata lain perempuan adalah objek
alat pemenuh kebahagiaan. Selain itu juga menagkis asumsi bahwa perempuan
secara kodrati bersifat pasif, lemah, dan tidak agresif.80
Dengan membuktikan
bahwa perempuan adalah subjek dengan keberaniannya ikut pula
berkontribusi dalam menciptakan damai.
i. Scene i
Gambar 9 Scene i
79
Gadis Arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003), hal. 130 80
Gadis arivia, Filsafat Berprespektif Feminis, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan,
2003), h. 130
134
Tabel B.6.9 Tabel Analisis Scene i
Setting Visual Audio
Outdoor:
Menit ke: 01:06:06
Indoor:
Menit ke:
01:18:32-01:18:58
Ny. Takla menyembunyikan
jasad Nassim di dalam
sumur.
Kemudian Ny. Takla
menembakkan senjata api ke
arah Issam, anaknya.
Ny. Takla:
“aku mohon, mereka bukan berasal
dari desa kita”
Issam:
“apa yang ibu lakukan, apa ibu
sudah gila?.”
Ny. Takla:
“aku juga tidak akan membiarkanmu
mati.”
Pemaknaan Konotasi:
Dalam Scene ini digambarkan betapa gentingnya suasana desa yang
dikelilingi dengan konflik agama disekitarnya. Meskipun upaya pengalihan
telah dilakukan untuk meredam konflik, namun genjatan dari pihak luar yang
terus menerus mempunyai pengaruh yang besar. Padahal kekerasan apalagi
dalam konteks luas berupa perang adalah sesuatu yang hanya menimbulkan
kesengsaraan. Farida Benani mendefinisikan bahwa perlakuan atau tindakan
yang muncul dengan sifat permusuhan, yang terjadi pada tingkat individual
atau pada tingkat masyarakat atau negara, dengan tujuan mengalahkan atau
menundukkan sudut yang lain dalam bingkai relasi kuasa yang tidak seimbang
baik secara ekonomi, sosial maupun politik, menyebabkan munculnya
kerugian material, spiritual dan kejiwaan secara individual, masyarakat atau
135
negara.81
Konflik antaragama telah meninggalkan luka psikologi, tekanan,
trauma dan rasa takut. Pihak yang paling muka terkena dampaknya adalah
perempuan, dimana mereka berada di bawah hegemoni maskulin seperti
konsep hegemoni dari Antonio Gramsci.82
Dalam kondisi ini perempuan
terbungkam dan tidak bisa melakukan perlawanan secara terbuka. Kondisi
yang membuat mereka harus mencari cara alternatif untuk mencegah
terjadinya perang. Termasuk mengambil cara yang paling ekstrim, seperti
contohnya yang dilakukan dalam adegan ini seorang ibu yang menembak anak
kandungnya sendiri.
j. Scene 9
Gambar 10 Scene j
81
Farida Benani dalam Muqoraba lil „Anfi al-Muwajjah Dlidda Al-Mar‟ati al-Tiflati wa
Madda Syar‟antuhu wa Atsarihi „ala al-Huquq al-Syihiyyahwa al-Huquq al-Injabiyah, dalam
Jabir Usfuri (editor) Mi‟ata Ammin „ala Tahrori al-Mar‟ah, Vol. II, h. 135 dalam Syafiq Hasyim,
Bebas dari Patriarkhisme Islam, (Depok: KataKita, 2010), h. 154. 82
Sue Thornham, Tubuh Sosial: Simbolis, Diri, dan masyarakat, (Yogyakarta: Jalasutra,
2003),h. 88
136
Tabel B.6.10 Tabel Analisis Scene j
Setting Visual Audio
Indoor:
01:20:56-01:21:33
Outdoor:
01:28:14-01:28:46
Para perempuan desa berkumpul
untuk membuat kudapan yang
akan disajikan pada acara
pertemuan. Namun, mereka
memiliki missi tersendiri dibalik
itu.
Kemudian setelah acara
pertemuan itu berlangsung, para
perempuan desa mencari senjata
api milik para laki – laki dan
dipindahkan penyimpanannya ke
tempat yang tidak diketahui.
Ny. Yvone:
“Dengan sedikit hash, bisa
menidurkan seekor unta”
Ny. Afaf:
“Kita berhasil
menemukannya.”
Pemaknaan Konotasi:
Kerjasama yang dilakukan oleh para perempuan desa dengan pemuka
agama untuk mencegah konflik, adalah sebuah bukti. Mengenai konsep
Dualisme Freud yang dikembangkan oleh muridnya yakni Carl Jung
berasumsi bahwa “tingkah laku perempuan yang terlihat umumnya jauh lebih
personal daripada laki – laki. Dunianya dibuat oleh ayah, ibu, saudara laki –
laki, saudara perempuan, suami, anak – anak.... Dunia laki – laki adalah
bangsa, negara, bisnis, dan sebagainya. Keluarganya adalah caranya untuk
menggapai cita – cita, salah satu fondasi negara.... Bagi pria makna ini lebih
umum dari personal, dunia pria terdiri dari banyak faktor yang berkordinasi,
137
sementara dunia perempuan, di luar suaminya, hancur dalam sekumpulan
kabut kosmik.83
Dengan kata lain, konsep ini menjelaskan bahwa perempuan
hanya menerima apa yang diberikan tanpa memiliki kemampuan untuk berdiri
sendiri. Kehidupan perempuan yang diasosiasikan kepada ranah domestik
itupun masih tergantung pada sosok lain yakni laki – laki. Dalam Scene ini
pendikotomian peran perempuan yang hanya ada di wilayah domestik, bisa
mereka manfaatkan dengan sangat maksimal. Memanfaatkan “hegemoni
maskulin”, untuk melemahkan para laki – laki. Membuktikan bahwa
perempuan bisa menjadi agen sosial dalam menciptakan capaian besar dalam
kehidupan bermasyrakat.
C. Interpretasi Analisis Data
1. Nirkekerasan dan Dialog Bina-damai dalam Islam
Dialog bina-damai adalah upaya yang dilakukan sebagai jalan
untuk resolusi konflik. Upaya ini menggunakan pendekatan nirkekerasan.
Nirkekerasan dalam pendekatan dialog bina-damai adalah sekumpulan
sikap, pandangan, dan aksi yang ditujukan untuk mengajak orang di pihak
lain agar mengubah pandangan, pendapat dan aksi mereka.84
Nirkekerasan
menggunakan cara-cara damai untuk mencapai hasil yang damai.
Nirkekerasan berarti menyampaikan pesan atau berkomunikasi dengan
tidak menggunakan kekerasan, para aktor tidak membalas tindakan musuh
dengan kekerasan. Sebaliknya, mereka menyerap kemarahan dan
83
Antonny Synnott, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri dan Masyarakat, (yogyakarta:
Jalasutra,2003), h. 105. 84
Abu-Nimer, Mohammed, Nirkekerasan Dan Bina-damai Dalam Islam; Teori dan
Praktik. Edisi Bahasa Indonesia (Jakarta : Pustaka Alvabet 2010), h. 12
138
kerusakan sambil menyampaikan pesan ketabahan dan desakan untuk
mengatasi ketidakadilan.
Ciri utama aksi nirkekerasan adalah sebagai berikut, nirkekerasan
berupaya untuk menghindari bukan hanya kekerasan lahiriah, tapi juga
kekerasan batiniah. Tidak berusaha untuk menistakan musuh, tapi
mengajak musuh untuk berubah lewat pemahaman dan kesadaran baru
tentang aib moral untuk kemudian membangun kembali komunitas-
komunitas terkasih. Nirkekerasan didasarkan atas pendirian bahwa alam
semesta berpihak pada keadailan. Ciri-ciri ini diusulkan oleh Reinold
Neibuhr pada 1960. 85
Definisi dan ciri-ciri dari nirkekerasan dalam perspektik bina-
damai antar agama ini sangat dekat dengan ajaran-ajaran Islam. Ajaran
Islam yang mengarahkan pada cinta kasih dan menghargai antarsesama
manusia tanpa membedakan sebagaimana pesan Allah SWT dalam Q.S.
An-Nahl: 90
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Islam tidak melarang kekerasan dalam situasi-situasi tertentu, tapi
kekerasan ini bersifat defensif. Akan tetapi tetap harus berfokus pada nilai-
nilai yang relevan dengan bina-damai dan nirkekerasan. Dari perspektif ini
85
Ibid., h. 122
139
Islam menekankan pada keadilan sosial, persaudaraan, dan kesetaraan
manusia. Nilai-nilai pemaafan dan kemurahan hati, toleransi dan
ketundukkan kepada Tuhan, cara-cara yang benar, dan pengakuan atas hak
orang lain berulangkali ditekankan di dalam kitab suci maupun hadis.
Terlebih lagi Nabi Muhammad SAW meruntuhkan semua sekat dan ras.
Islam mendambakan tatanan sosial yang adil dan damai.
Dalam mengajukan paradigma nirkekerasan Islam, bersandar pada
beberapa justifikasi sebagai berikut:
a. Konteks historis wahyu Al-Qur‟an sudah berubah dan penggunaan
kekerasan sebagai sarana untuk merukunkan perbedaan seharusnya
berubah juga. Cara-cara untuk menyebarkan keyakinan, membentuk
kemandirian iman 1400 tahun lalu tak bisa lagi diterapkan atau cocok
dengan konteks sekarang. Jika kelompok muslim ingin kembali
berjaya maka cara-cara dengan pendekatan nirkekerasan dalam
merukunkan perbedaan baik internal maupun eksternal harus
digunakan.
b. Kesalingtergantungan blobal secara sosial, ekonomi dan politik
membuat penggunaan kekerasan tak bisa dilakukan terutama dalam
bentuk penggunaan senjata pemusnah massal, untuk menyelesaikan
pertikaian.
c. Hadis dan tradisi keislaman merupakan sumber yang kaya untuk nilai-
nilai bina-damai dan jika ditetapkan dalam kehidupan sehari-hari, ia
akan mengarah pada nirkekerasan dan perdamaian.
140
Dari hal tersebut diatas, komunikasi nirkekerasan dengan tiga
modelnya self emphaty, receiving emphatically dan expressing honestly
dengan asumsinya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan yang sama
untuk perdamaian adalah salah satu bentuk yang efektif untuk membangun
bina-damai dalam kehidupan bersama antarsesama manusia dengan perbedaan
yang begitu beragam.
Islam ternyata juga mengajarkan untuk hidup berdampingan dalam
perdamaian. Empati, empatik dan kejujuran menjadi dasar utama dalam
melakukan komunikasi nirkekerasan untuk mengahasilkan sebuah kebutuhan
yaitu kebutuhan untuk hidup harmoni.
Film yang menjadi objek penelitian penulis adalah film yang sarat
akan pesan nirkekerasan dengan mengedepankan komunikasi nirkekerasan.
Membangun perdamaian di tengah-tengah konflik negara yang tak kunjung
berkesudahan adalah menjadi kebutuhan bagi setiap manusia yang hidup
dalam wilyah konflik. Film ini menyuguhkan apa yang oleh penulis paparkan
diatas sebagai kerangka teoritis.
2. Peran Perempuan dalam Pembangunan Perdamaian
Anggapan bahwa perempuan adalah sosok yang irrasional, lemah
mempunyai dampak pada anggapan bahwa perempuan tidak layak menjadi
pemimpin. Perempuan juga sering disisihkan dalam sisi ekonomi, pendidikan
dan kerja-kerja wilayah publik lainnya. Sebaliknya, persepsi laki-laki sebagai
pribadi yang kuat, jantan, penanggungjawab ekonomi keluarga, rasional.
Persepsi ini menempatkan laki-laki mudah untuk mendapatkan apa yang ia
inginkan. Persepsi ini didukung oleh tafsir agama-agama.
141
Kondisi tersebut diatas, adalah kondisi yang tercipta akibat
ketimpangan gender. Ketimpangan gender adalah ketidaksetaraan peran antara
laki-laki dan perempuan yang disebabkan oleh konstruksi sosial. Bentuk-
bentuk ketimpangan gender tersebut adalah sebagai berikut: 86
a. Gender dan marginalisasi perempuan
Marginalisasi perempuan adalah proses penyisihan yang
mengakibatkan kemiskinan secara ekonomi bagi perempuan. Ada
beberapa mekanisme proses marginalisasi perempuan, bisa melalui
kebijakan pemerintah, keyakinan, tradisi, tafsir agama bahkan asumsi ilmu
pengetahuan.
b. Gender dan subordinasi
Subordinasi adalah proses penomorduaan atau tindakan masyarakat
yang menempatkan perempuan pada posisi perempuan yang lebih rendah.
Dalam relasi sosial, kaum perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor
yang dikonstruksikan secara sosial yang kemudian termasnifestasikan
dalam bentuk diskriminasi seperti dalam pekerjaan.
c. Gender dan Sterotipe
Dalam ketimpangan ini, perempuan mendapatkan pelabelan atau
stigma yang buruk. Dalam persepsi sosial perempuan ditempatkan pada
kelompok kelas kedua. Dalam kehidupan baik wilayah domestik maupun
publik perempuan senantiasa ditempatkan pada posisi level kedua karena
dianggap tidak memiliki kemampuan.
86
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Yogyakarta : Fajar Pustaka, 2006), h.26-31
142
d. Gender dan kekerasan
Violence (kekerasan) adalah satu serangan fisik maupun integritas
mental psikologis seseorang. Dalam hampir semua kelompok masyrakat
terdapat pembedaan tugas dan peran antara kaum laki-laki dan perempuan
yang kadang-kadang mengebiri dan menghambat potensi dasar baik laki-
laki maupun perempuan yang berujung pada tindak kekerasan pada jenis
kelamin tertentu. Praktek kekerasan tersebut lahir akibat adanya konstruksi
gender dan biasanya perempuan yang paling banyak menerima akibat dari
prkaterk tersebut
e. Gender dan Beban Ganda
Anggapan bahwa perempuan mempunyai sifat memelihara, rajin
serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, berakibat pada semua
pekerjaan domestik dilakukan oleh perempuan. Semua beban kerja rumah
tangga menjadi tugas perempuan meskipun perempuan yang juga memiliki
pekerjaan di luar ruang lingkup domestik. Doble burden atau beban ganda
paling banyak adalah menimpa perempuan.
Ketimpangan-ketimpangan gender yang kerap menimpa perempuan
tersebut diatas, masih nampak dalam film Where Do We Go Now.
Sebagaimana dalam analisis, penulis menjelaskan bagaimana peran
perempuan dalam melakukan strategi-strategi perdamaian. Hal ini terlihat
dalam beberapa adegan, seperti tugas domestik perempuan dalam mengurus
anak, menyiapkan makanan sementara laki-laki berkumpul dan bermain kartu,
adalah salah satu contoh dari terlihat dan nampaknya ketimpangan antara laki-
laki dan perempuan.
143
Di luar daripada itu, Nadine Labaki ingin menunjukkan juga, bahwa
perempuan ternyata juga memiliki peran yang sangat tinggi dalam
membangun proses perdamaian. Strategi-strategi yang dilakukan yang
mengedepankan komunikasi nirkekerasan dengan menggunakan model
komunikasi empati, empatik dan pengungkapan kejujuran, digunakan oleh
para perempuan, berbanding terbalik dengan para laki-laki yang tidak mampu
dengan baik mengelola emosi sehingga potensi konflik datang dari mereka.
Resolusi konflik dibangun dengan baik oleh para perempuan. Persepsi
masyarakat bahwa perempuan adalah mahkuk irrasional, dalam film ini
persepsi tersebut diputarbalik. Perempuan menggunakan rasio yang baik dan
mengatur strategi demi membangun perdamaian sebagai tujuan mereka dari
hidup harmoni.
Semestinya, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki tugas dan
tanggungjawab yang sama di hadapan Tuhan. Memliki tugas untuk saling
tolong menolong, saling mengasihi, saling meringankan beban satu sama lain,
Sebagaiamna firman Allah SWT dalam QS at-Taubah 71.
“dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian emreka
adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
mengerjakan yang ma‟ruf. Mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 71)
144
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan.
Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa tanda-tanda yang terdapat
pada adegan-adegan film yang diteliti oleh penulis menunjukkan bahwa film
tersebut sarat akan pesan dialog antaragama dengan peran perempuan dalam
membangun perdamaian. Tanda yang ada pada film sekaligus maknanya
tergambar jelas pada film. Dapat dilihat dari setiap hasil analisis pada tiap
scene bahwa muncul pesan dialog antaragma dengan komunikasi
nirkekerasan. Dari hasil analisa menggunakan pemaknaan denotasi-konotasi
maka didapat kesimpulan bahwa film ini mengandung unsur bina-damai
anataragama.
Dalam menganalisa secara semiotik memudahkan peneliti untuk
mengetahui tanda-tanda dibalik adegan-adegan yang ditunjukkan dari film ini.
Kemampuan Sutradara dalam menggarap film tidak dipertanyakan lagi.
Sutradara dan penulis naskah memiliki kemampuan, integritas dan daya
imajinasi yang tinggi sehingga dapat menghasilkan film yang berkualitas.
Film ini memang terbukti merupakan film yang memiliki banyak
makna dan memang tidak mudah dipahami jika ditonton hanya sekali.
Diperlukan pengetahuan yang kritis untuk dapat menerima pesan dalam film
ini, karena jika tidak dibarengi dengan pola fikir yang kritis pasti film ini
dianggap sebagai film yang menyesatkan. Secara keseluruhan film ini
tergolong bagus terbukti film ini masuk nominasi Sundance Film Festival
2012 dan memenangkan Toronto Fiolm Festival dan San Seabstian Film
Festival.
145
Penulis kemudian menyimpulkan penelitian ini dalam dua hal yaitu: pesan
dialog antaragama dan peran perempuan dalam film Where Do We Go Now
sebagai berikut ini:
1. Pesan Dialog Antaragama
a. Pemaknaan Denotasi
Makna denotasi terkait pesan dialog antaragama dapat kita
temukan di setiap bagian dalam film Where Do We Go Now.
Memerlihatkan ketegangan yang terjadi dalam sebuah desa karena tekanan
peperangan dari luar desa. Kebersamaan yang telah lama dibangun oleh
setiap warga desa dalam perbedaan agama, tampaknya dengan sangat
mudah tergoyahkan. Ketegangan yang muncul menjadikan sekecil apapun
rangsangan yang diterima, bisa menjadi sangat sensitif untuk memicu
pecahnya konflik. Diawali dengan kesalahpahaman dari salah satu
kelompok agama, akhirnya saling balas menghina agama masing – masing
membuat konflik dalam desa berlarut – larut.
Dari apa yang tergambar dalam film, maka langsung dapat kita
ketahui pesan dialog antaragama yang ingin disampaikan melalui film ini.
Perintah untuk percaya dan bergantung hanya kepada Allah, beribadah
kepada Allah, sabar; memaafkan; jujur, muammalah ma‟annas:
huznudzon; saling menghargai; memberi nasihat – nasihat yang baik;
saling tolong – menolong; tidak menjelek – jelekkan sesama; menghormati
orang tua; bersungguh – sungguh; serta menyelesaikan konflik dengan
jalan damai.
146
b. Pemaknaan Konotasi
Marshall Rosernberg menyebutkan bahwa komunikasi
nirkekerasan membutuhkan tiga hal terpenting yaitu self emphaty,
receiving ephatically dan expressing honestly. Tiga komponen tersebut
disebut empati. Empathy is a respectful understanding of what others are
experiencing.87
Marshall juga mengatakan bahwa komunikasi
nirkekerasan mampu mencegah dan mengatasi konflik. Bersandar pada
teori yang dipopulerkan oleh Marshall Rosernberg ini, penulis menelaah
pemaknaan konotasi dalam film ini. Terdapat banyak pesan-pesan dialog
antaragama menggunakan komunikasi nirkekerasan.
Where Do We Go Now sebuah film berlatar desa di pegunungan
Lebanon yang terisolir paska perang saudara, bercerita tentang upaya-
upaya yang terus dibangun oleh komunitas dalam menciptakan
perdamaian. Film Where Do We Go Now memberikan semangat baru
dalam rangka menghadapi peperangan, yakni menghadapinya dengan jalan
tanpa kekerasan. Perang yang muncul akibat kepentingan satu golongan
dan agama menjadi alat untuk terus melancarkan peperangan. Padahal,
Allah telah memberikan peringatan keras bahwa saling membangga –
banggakan dan bersiteru atas nama golongan atau yang kita sebut dengan
sikap etnosentrisme, adalah bukan termasuk hamba-Nya. Maka, tidak ada
hak bagi kita sebagai hamba yang selalu terbalut salah untuk melakukan
kekerasan kepada sesama manusia.
87
Rosenberg, Marshall , Nonviolent Communication: A Language of Life. (Encinitas:
Puddledancer Press, 2003), h.109
147
Nilai-nilai budaya dan agama merupakan sarana sangat penting
untuk mengerahkan massa dalam gerakan-gerakan sosial politik. Tak
terkecuali nilai-nilai budaya dan agama terkait nirkekerasan dan bina-
damai dalam Islam. Intifada Palestina menggambarkan bagaimana simbol,
ritual dan keyakinan keagamaan menggamabrkan dalam memajukan
strategi-strategi nirkekerasan dalam konteks pembebasan nasioal yang
sekuler. Gerakan Pashtun menggambarkan bagaimana gerakan keagamaan
Islam dapat menggunakan strategi nirkekerasan secara ketat, Intifada
memberikan bukti kuat terkait membangun nilai-nilai agama dan budaya
Islam dalam memajukan gerakan politik nirkekerasan. 88
Strategi serupa yang dipakai dalam gerakan Intifada muncul
dengan sangat kental dalam setiap adegan film ini. Hidup dalam
ketegangan akibat perang saudara yang tak berkesudahan membuat
masyarakat tak mampu hidup tenang. Konflik bisa kapan saja pecah,
dipicu dengan satu kesalahan kecil saja perang bisa pecah. Mengelola
perbedaan memang tidak mudah. Bina-damai dalam perbedaan terus
menerus ingin diperlihatkan dalam pesan film ini. Pesan dialog
antaragama dengan peran perempuan dalam mewujudkan kedamaian nyata
tampil dalam setiap adegan.
Pluralitas agama dan umat beragama adalah kenyataan. Sebelum
Islam datang, di tanah Arab sudah muncul berbagai jenis agama seperti
Yahudi, Nasrani, Majusi, Zoroaster dan Shabi‟ah. Al-Qur‟an memliki
pandangan sendiri dalam menyikapi pluralitas umat beragama tersebut.
88
Abu-Nimer, Mohammed, Nirkekerasan Dan Bina-damai Dalam Islam; Teori dan
Praktik. Edisi Bahasa Indonesia (Jakarta : Pustaka Alvabet 2010), h. 181
148
Terhadap Ahli Kitab (meliputi Yahudi, Nasrani, Majusi dan Shabia‟ah),
umat Islam diperintahkan untuk mencari titik temu (kalimat us sawa‟).
Kalau terjadi perselisihan antara umat beragama lain, umat Islam
dianjurkan untuk melakukan dialog (wa jadilhum billati hiya ahsan).89
.
Manusia yang penuh dengan kealpaan sangat mudah terpengaruh,
dan mengambil keputusan tanpa perhitungan matang karena emosi
kemarahan yang tak dapat dikendalikan. Karena, tidak bisa mengolah
emosi, permusuhan akan terjadi dan mengakibatkan pecahnya konflik.
Padahal, konflik dan permusuhan akan menimbulkan dampak buruk. Pada
umumnya, yang banyak menjadi korban dari konflik adalah anak – anak
dan perempuan. Maka secara tegas Allah Swt melarang hamba-Nya saling
bermusuhan dalam Q.S. An-Nahl: 90
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Menjadi semakin parah, ketika konflik yang mengorbankan banyak
hal dengan sangat lancang mengatasnamakan kesucian agama untuk
melegalkan sebuah kejahatan kemanusiaan. Padahal dengan sangat jelas
Islam sangat menghargai hak setiap manusia seperti yang termaktub dalam
konsep al- kulliyah al- khamsah yakni lima prinsip universal yang
meliputi:
89
Moqsith-Ghazali, Abdul, Argumen Pluralisme Agama ; Membangun Toleransi
Berbasis al-Qur‟an. (Jakarta ; KataKita 2009), hal. 391.
149
1) Menjaga kebebasan beragama (al-hifdz al-din)
2) Memelihara kelangsungan hidup (hifdz al-nafs)
3) Menjamin kelangsungan keturunan (hifdz al-nasl)
4) Melindungi kepemilikan harta benda (hifdz al-mal)
5) Menjamin kreativitas berpikir, kebebasan berekspresi, dan
mengeluarkan pendapat (hifdz al-„aql)90
Kemudian dalam khutbah Rasul ketika haji wada‟ (perpisahan),
pesan utama yang ingin disampaikan beliau adalah tentang tiga hal yang
saat ini kita kenal dengan hak asasi manusia. Yakni keharusan menjaga
dan menghormati rangkaian hak asasi manusia yang dengan bahasa Rasul
dikatakan “Damm-an, amawl, dan ar-radl” (darah atau kehidupan, harta,
dan kehormatan). (H.R. Bukhori)91
Maka sangat tidak logis dan mengada–ada jika dikatakan
peperangan yang mengedepankan amarah dan kebencian didukung oleh
agama. Karena ternyata agama adalah ramah kepada pemeluknya dan
mengajarkan untuk menghargai hak yang diberikan oleh Allah kepada
manusia.
2. Pesan Peran Perempuan Perempuan dalam Film Where Do We Go Now
Dalam analisis yang dilakukan peneliti untuk memaknai pesan
mengenai peran perempuan dalam film Where Do We Go Now? menggunakan
metode semiotik Roland Barthes. Dengan metode tersebut, peneliti dapat
memaknai pesan peran perempuan melalui makna denotasi dan konotasi.
90
Jacky Manuputty Dkk, Carita Orang Basudara : Kisah – Kisah Perdamaian dari
Maluku, (Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku, 2014), h.201. 91
Nurcholish Madjid, Pesan – pesan takwa Nurcholish Madjid : Kumpulan Khutbah
Paramadina, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2005), cet. Ke-IV, h. 160 - 161
150
Setelah melakukan analisis, peneliti menemukan ada 10 scene dalam film
yang menunjukkan tentang peran perempuan untuk mencegah konflik
antaragama di desa. Dalam masing – masing scene tersebut dianalisis
maknanya dengan denotasi dan konotasi.
a. Pemaknaan Denotasi
Temuan makna denotasi tentang peran perempuan dalam sepuluh
scene film Where Do We Go Now? untuk mencegah konflik adalah bahwa
didasari oleh penderitaan yang dirasakan para perempuan desa dalam
konflik antaragama. Menjadikan mereka bersatu untuk bisa mencegah
konflik tersebut terjadi di desa mereka. Maka, para perempuan ini harus
mencari cara yang tepat sehingga kekerasan dalam sebuah konflik tidak
akan terjadi. Di tengah ancaman konflik yang semakin mendesak, para
perempuan desa dituntut untuk bisa keluar dari cara – cara kekerasan yang
selalu dilakukan para laki – laki. Maka, perempuan desa ini ikut ambil
bagian dalam masyarakat untuk menciptakan damai. Cara – cara yang
mereka lakukan antara lain selalu membangun dialog antaragama yang
dilakukan dengan melakukan kegiatan bersama, saling membantu, atau
sekedar berkumpul mengobrol bersama. Selain itu juga dengan memutus
seluruh saluran informasi yang masuk ke desa, agar berita tentang konflik
yang terjadi tidak memancing emosi para laki – laki. Kemudian,
melakukan penyelidikan atas kekacauan yang terjadi di desa mereka.
Setelah menemukan penyebabnya, mereka mecari solusi yang jauh dari
tindak kekerasan. Yakni berpura – pura menjadi santo yang bisa
berkomunikasi dengan perawan suci, agar pesan damai dari para
151
perempuan ini dipertimbangkan oleh para laki – laki, karena beranggapan
ini adalah pesan langsung dari Bunda Maria. Selain itu, para perempuan
desa juga bersama – sama mengumpulkan dana untuk mengundang artis –
artis cantik, guna mengalihkan perhatian warga desa khususnya para laki –
laki dari konflik. Mereka juga mencari informasi tentang strategi dan
rencana yang dibuat oleh para laki – laki desa dari masing – masing
kelompok agama, dengan menjadikan salah satu artis sebagai mata – mata.
Ketika konflik sepertinya sudah semakin mengancam, akhirnya para
perempuan desa ini bekerjasama dengan pemuka agama untuk menyusun
strategi. Dengan mengelabuhi para laki – laki desa mereka mengambil
kesempatan untuk menghilangkan senjata yang akan digunakan untuk
berperang. Dan akhirnya para perempuan desa memiliki andil besar dalam
menjalankan bermacam cara pencegahan konflik tanpa kekerasan.
b. Pemaknaan Konotasi
Temuan makna konotasi tentang peran perempuan dalam sepuluh
Scene film Where Do We Go Now? untuk mencegah konflik adalah bahwa
perempuan masih mengalami subordinasi dari hegemoni maskulin di
lingkungannya. Seperti pelbagai paradigma cultural studies yang ada bawa
perempuan bagaimanapun berada di luar budaya baik yang bersifat sentral
maupun bersifat absen.92
Dengan demikian, sangat sulit bagi perempuan
untuk bisa bergerak dengan bebas di luar dunia domestik. Membutuhkan
keberanian untuk bisa melawan arus konstruksi sosial budaya yang telah
sangat lama diberikan kepada perempuan. Dalam kaitannya dengan
92
Sue Thornham, Teori Feminis dan Cutural Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 88
152
membangun bina damai dalam sebuah masyarakat, para perempuan harus
bisa mengeluarkan diri dari sistem – sistem patriarkhi yang maskulin.
Yakni bukan dengan menganggap rendah feminitas yang dimilikinya,
namun justru harus memaksimalkannya dengan menjauhkan dari cara –
cara kekerasan. Untuk bisa melakukan hal tersebut awal mula yang harus
dilakukan oleh perempuan adalah dengan bisa berperan diranah publik.
Meski dengan tidak menafikkan feminitas mereka, justru mereka harus
memanfaatkannya dengan semaksimal mungkin sehingga dampak
positifnya bisa dirasakan secara luas. Termasuk juga pada bagian paling
privat dari dirinya. Perempuan harus sadar bahwa mereka memiliki
otoritas penuh atas tubuhnya, dan tidak boleh berada di bawah kuasa laki –
laki. Dengan demikian perempuan dapat menawarkan suatu budaya yang
lebih baik, lembut, penuh kepedulian yang terkandung secara inheren di
dalam diri perempuan.93
B. Saran
1. Untuk para sineas film diharapkan mampu membuat karya yang di
dalamnya sarat akan nilai–nilai. Sehingga akan menghasilkan sebuah film
yang bukan hanya memiliki makna hiburan tetapi juga mendidik dan
mengandung pesan moral yang baik. Seperti film Where do We Go Now
yang berhasil mengemas nilai–nilai dialog antaragama dan peran
perempuan dalam membangun perdamian, bukan hanya tentang semangat
toleransi namun juga banyak pesan Islam lain dengan sangat apik dan
93
Carol Giligan, In a Different Voice, Harvard University Press, 1982 dalam Gadis
Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati, (Jakarta: PT KompasMedia Nusantara, 2006), h. 205.
153
tidak terkesan memaksa. Sehingga penonton dapat menikmati setiap
adegan dari film dan menangkap pesan yang ingin disampaikan.
2. Untuk para penonton, diharap dapat memaknai sebuah film dengan
analsisis yang kritis. Bukan hanya pemaknaan di permukaan sesuai apa
yang terlihat di layar, namun juga mengaitkannya dengan nilai–nilai lain
sesuai konteks yang berlaku. Sehingga makna yang akan didapat dari
sebuah film adalah makna yang luas dan komperhensif.
3. Untuk para mahasiswa yang tertarik melakukan penelitian mengenai
semiotika film, diharap mampu memahami konsep, teori dan pisau analisis
yang dipakai saat melakukan penelitian, sehingga penelitian yang
dilakukan akan menghasilkan analisis yang berkualitas.
154
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Nimer, Mohammed. 2010. Nirkekerasan dan Bina Damai Dalam Islam,
Teori dan Praktik. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Agus, Bustanuddin. AL- Islam cet. Ke-1, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1993.
Anshari, Endang Saifuddin. Wawasan Islam, Jakarta: Rajawali, 1996.
Arivia, Gadis. Filasafat Berprespektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan, 2003.
Arivia,Gadis. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2006.
Birowo, M. Antonius. Metode Penelitian Denotasi; Teori dan Aplikasi,
Yogyakarta: Gitanyali. 2004.
Bride, Sean Mac. Komunikasi dan Masyarakat Sekarang dan Masa Depan, Aneka
Suara Satu Dunia, Jakarta: PN Balai Pustaka Unesco, 1983.
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial, Jakarta: Prenada Media Grup. 2009.
Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2007.
Effendi, Djohan. 2009. Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70
Tahun Djohan Effendi. Editor Elza Peldi Taher. Jakarta: ICRP dan
Kompas.
Effendy, Onong Uchana. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, cet. Ke-3
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003.
Ghazali, Abd. Moqsith. 2009. Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi
Berbasis Al-Qur‟an. Depok: KataKita.
Hasyim, Syafiq. 2010. Bebas Dari Patriarkhisme Islam. Depok: KataKita.
Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia, (Jakarta
Gramedia Pustaka Utama, 1996), cet.23a
Kusnawan, Aep. et.al, Komunikasi Penyiaran Islam, Bandung: Benang Merah
Press, 2004.
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Perjanjian Baru, Markus 12:29-30
155
Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Perjanjian Lama, Keluaran 6:12
Liliwery, Alo. 2003. Dasar – dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Madjid, Nurcholish. Pesan – Pesan Takwa Nurcholish Madjid: Kumpulan
Khutbah di Paramadina, Jakarta: Paramadina, 2005
Mansour Faqih, Gender Sebagai Alat Analisis Sosial, Edisi 4 November 1996.
Manuputty, Jacky Dkk, Carita Orang Basudara : Kisah – Kisah Perdamaian dari
Maluku, Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku, 2014.
Manuputty, Jacky Dkk. 2014. Carita Orang Basudara : Kisah – Kisah
Perdamaian dari Maluku. Ambon: Lembaga Antar Iman Maluku.
Martine, Janne. 2010. Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran; Antara
Semiologi Komunikasi dan Semiologi Signifikasi, cet. 1, Yogyakarta:
Jalasutra.
Moeloeng, Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. Ke 11, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Mufidah Ch. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing, 2003.
Mulyana, Deddy. 2006. Metode Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, cet. Ke – 5, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nurcholish, Ahmad. 2011. 11 Tahun ICRP Melawan Kekerasan Atas Nama
Agama. Jakarta: ICRP.
Onong Uchjana Effendy. 1989. Kamus Komunikasi, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Pranajaya, Adi. Film dan Masyarakat; Sebuah Pengantar, Jakarta: Yayasan Pusat
Perfilman H. Usman Ismail, 1993.
Rahman, Chaidir. Festifal Film Indonesia, Medan: Badan Pelaksana FFI, 1983.
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender : Rekonstruksi Teologis, Yuridis, dan
Sosiologis, Purwokerto, Pusat Study Gender bekerjasama dengan Jakarta:
Fajar Pustaka, 2006.
Ridwan. 2006. Kekerasan Berbasis Gender, Yogyakarta : Fajar Pustaka
156
Rosenberg, Marshall. 2003. Nonviolent Communication: A Language of Life.
(Encinitas: Puddledancer Press.
Sarah Gambel. 2010. Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme,
Yogjakarta: Jalasutra.
Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sue, Thhornham. 2010. Teori Feminis dan Cultural Studies. Yogyakarta:
Jalasutra.
Sumandiria, Haris. 2006. Bahasa Jurnalistik; Panduan Praktis Penulis dan
Jurnalistik cet. 1, Bandung: SimbiosaRekatama Media.
Sundari Husein dalam Panuti dan Aart Van Zoest, (Ed). 1991. Serba Serbi
Semiotika. Jakarta: Gramedia.
Synnot, Anthony. 2003. Tubuh Sosial, Simbolisme, Diri, dan Masyarakat.
Yogyakarta: Jalasutra.
Syukir, Asmuni. Dasar - dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas,
1983.
Trianto, Teguh. 2013. Film Sebagai Media Belajar. Yogyakarta: Graha Ilmu.
West, Richard dkk. 2008. Pengantar Teori Komunikasi, Analisis dan Aplikasi,
Jakarta: Salemba Humanika.
William L. Rievers-Jay W. Jensen, Media Massa dan Masyarakat Modern,
Jakarta: Kencana, 2004.
Zoest, Aart Van. 1991. Interpretasi dan Semiotika, (Terj.) oleh Okke K.S Zaimar
dan Ida Sundari Husein dalam Panuti dan Aart Van Zoest, (Ed) Serba
Serbi Semiotika, Jakarta: Gramedia.
Daftar pustaka lain
http://www.tributehttp://www.festival-cannes.fr/assets/Image/Direct/040899.pdf
http://www.nytimes.com/2012/05/11/movies/where-do-we-go-now-from-nadine-
labaki.html?_r=0
.ca/movies/where-do-we-go-now/28479/
http://www.baynvc.org/assumptions_and_intentions.php
http://id.wikipedia.org/wiki/Lebanon#Demografi
phot
os ©
Rud
y B
ou C
hebe
l
Anne-Dominique Toussaint Presents
A film byNADINE LABAKI
WHEREDO WE GO
NOW?(ET MAINTENANT ON VA OÙ ?)
Paris Office2, rue Lamennais75008 ParisTel: +33 1 71 72 33 05
London Office6 Ramillies StreetLondon W1F 7TY
UKTel: +44 207 462 4429
Run time: 100 mins
www.patheinternational.com - [email protected]
International Press: Premier PR Ginger Corbet - [email protected] - Tel: +44 7802 498 549Phil Cairns - [email protected] - Tel: +44 7912 578 883
Stills and pressbook can be downloaded from www.pathedistribution.com / espace presse
International Sales:
SynopsisOn the edge of a cratered road, a cortège-like procession of women solemnly makes its way towards the village cemetery.Takla, Amale, Yvonne, Afaf and Saydeh stoically brave the oppressive midday heat, clutching photographic effigies of their beloved menfolk, lost to a futile, protracted and distant war. Some of the women are veiled, others bear wooden crosses, but all are clad in black and united by a sense of shared grief.As they arrive at the cemetery gates, the procession divides into two congregations; one Muslim, the other Christian. Set against the backdrop of a war-torn country, WHERE DO WE GO NOW? tells the heart-warming tale of a group of women’s determination to protect their isolated, mine-encircled community from the pervasive and divisive outside forces that threaten to destroy it from within.United by a common cause, the women’s unwavering friendship transcends, against all the odds, the religious fault lines which crisscross their society and they hatch some extraordinarily inventive and often comical plans, in order to distract the village’s menfolk and defuse any sign of inter-religious tension.A series of chaotic incidents tests the women’s ingenuity as they manage, with sass, to successfully stave off the fall-out from the distant war. But when events take a tragic turn, just how far will the women go in order to prevent bloodshed and turmoil?
1
_What is the subject of your film?The story takes place in an isolated mountain village, where Muslim and Christian women join forces, employ various ruses and make certain sacrifices to stop their men folk from killing one another.
_ Put like that, it sounds like a serious drama, when in fact there are lots of funny moments. Using irony to deal with life’s misfortunes is a survival strategy, a way of finding the strength to bounce back. In any case, for me it’s a necessity. I wanted the film to be as much comedy as drama, so it would inspire as much laughter as emotion.
_ Whilst we understand that the country where this war is unfolding is Lebanon, at no point is the name mentioned. Why’s that?For me, this war between two faiths is a universal theme. It could just as easily be happening between Sunnis and Shiites, between black and white, between two parties, two clans, two brothers, two families or two villages. It’s an embodiment of any civil war in which people in the same country kill each other, when they are neighbors and even friends.
Interview NADINE LABAKI
5
_ Were you inspired by a true story?Not at all. The basis for the film is very personal. I found out that I was expecting a baby on 7 May 2008. On that day, Beirut once again slipped into war mode, with road blocks, the airport closed, fires and so on. Violence broke out all around. I was working at the time with Jihad Hojeily, my co-writer and friend, and we were thinking about my next film. In the city there was full-blown street-to-street fighting. People who had lived for years in the same building, who’d grown up together and attended the same schools, were suddenly fighting each other because they didn’t belong to the same religious community.And I said to myself, if I had a son, what would I do to prevent him from picking up a gun and going out into the street? How far would I go to stop my child from going to see what’s happening outside and thinking he had to defend his building, his family or his beliefs? The idea for the film grew out of that.
_ So, is it impossible for a Lebanese artist to hope to tackle anything else but war?It’s not a story about war; on the contrary, it’s about how to avoid war. You can’t live in Lebanon without feeling this threat, which ends up coloring what we do and our ways of expression. If you’re vaguely sensitive to what’s going on around you, you can’t avoid it.
_ The notion that peace can be achieved through women – beyond their attachment to a religious community – is that a dream or a conviction?A fantasy, no doubt. War is utter absurdity, an evil that we inflict upon ourselves for nothing, or at least for things that are not worth killing ourselves over. And it was because I became a mother that I felt this absurdity more strongly than before, and that I wanted to deal with a mother’s obsession to protect her children.
_ WHERE DO WE GO NOW? and CARAMEL are both centered around female characters. Would you define yourself as a women’s filmmaker? I’m interested in human nature in general. But perhaps I feel more authentic talking about women because I know their feelings. It’s more of a concern about authenticity than a mission.
_ Your two co-writers are men. Is that to stick closer to reality when you write about men?I chose those two male co-writers simply because they are two very sensitive, very gifted and talented people, with whom I get along very well. I think I’ll continue to make films with them; that is, if they want to work with me, of course.
87
_ There is a lot of singing and dancing in the film. Why’s that?That comes from my childhood dreams when I used to watch musical films like GREASE and animated movies like SNOW WHITE and CINDERELLA. The film is not a musical comedy in the strict sense, but since I didn’t want to make a political film, the songs and dancing allow me to inject a mood of fairytale and fable. What’s more, the film starts with a narrator announcing that she’s going to tell a story. A little like one says: “Once upon a time.” Some people may object to the film because the events that occur are perhaps too unlikely for my country. Christians becoming Muslims and vice-versa is absolutely unthinkable. But it’s precisely to have the freedom to recount this situation that I didn’t set the story in Lebanon, and that I wanted a sort of imaginary tale.
_ The character you play is in love with a man who belongs to the other religious community. The feelings are reciprocal but they never own up to it, except through a song that each of them sings in their heads. Is that a way for you to show that such a relationship is impossible in reality? Even inside their heads, they only voice it in a very restrained way. Even though we like to think that today all that stuff is behind us, a marriage between two young people from two different communities is still very problematic in Lebanon. As much for the family and wider society as for the couple involved. In the film, it is never stated that it’s forbidden, but the two lovers only dare express themselves through a song. 10
_ As in CARAMEL, you both act and direct. Is that complicated? The film overall was complicated, not being actress and director at the same time. The main character being the village itself, we had to handle around 100 people all at once, most of whom were not professional actors. _ Why did you use non-professional actors? Because I like playing with reality, putting real people in real situations and letting them create their own reality. I like experimenting with using their mannerisms, their voices, their way of being. The casting process was intensive. For weeks, a dozen people scoured the streets. But I also chose several professional actors like, for example, the village mayor. His wife in the film is in real life the wife of a man from one of the villages where we shot. During location scouting, she came up just to say “Welcome to our village” and I persuaded her to take a role. She’s fantastic!
_ Is asking non-professionals to dance a high-risk gamble?And what’s more, they are women of very different ages and profiles. We had to do a lot of rehearsal, but in the end, it’s not only a fabulous but an unforgettable moment. We shot that scene on the first day, starting the shoot off on a very impressive note. Seeing these women in that landscape with that magnificent light gives you goose bumps.
_ Did you use only natural sets? We filmed in three different villages: Taybeh, Douma and Mechmech. The first, located in the Beqaa valley, is really a Christian and Muslim village in which the mosque is next to the church, just like in the narrative. For the sets, again I wanted to stick as close to reality as possible. Together with Cynthia Zahar, we worked a lot on the materials; the texture of the walls, wood, fabrics. You had to feel the passage of time, the poverty, the isolation. The village in the film has endured war, and found itself cut off from the outside world, with neither television nor telephone, connected to the rest of the country by a bridge dotted with landmines and shattered by shelling. 11
_ The choice of clothing must have been a complicated exercise since you had to portray each community without caricaturing it.Once again with the aim of authenticity, my sister Caroline, who is the costume designer, did a huge amount of research. It was all the more difficult because I didn’t want to set the story in a precise period. And we had to bring a whole village to life. The walls of the office in which we were preparing the film were plastered with photos of actors wearing their costumes, divided up into color palettes, according to role, to categories, age, order of importance in the film, and so on. It was a real puzzle. A few days before the start of the shoot, there wasn’t a single square inch of that wall uncovered.
_ Khaled Mouzanar did the music for this film, as he did for CARAMEL. Did you have a clear idea of what you wanted? Khaled and I are married, he’s the father of my child. I like his sensitivity and I’m continually surprised by his ability to visualize the images of the film and to translate them into music just from reading the script – sometimes even before the ideas or the scenes are even written down. During the writing period, he picks up on scraps of the story or certain scenes during discussions with my co-writers and sometimes, when I’m in my son’s bedroom reading him a story or else in the kitchen, I’m surprised to overhear a tune that Khaled is playing on the piano which goes perfectly with one of the scenes I’ve imagined. So that’s how the film’s music gradually takes
shape. We never sit down and say: “Now let’s discuss the music.” It comes naturally. In the case of this film in particular, that was a good thing because the songs needed to be ready before the start of the shoot. The song lyrics are by Tania Saleh, a very good friend and an extremely gifted artist.
_ Between CARAMEL and WHERE DO WE GO NOW?, has Lebanese society changed?The importance of community and family are such that, even if we’d like to think that people are more emancipated and free in the Arab world, there’s still this sort of fear of “what are they going to think?” The specter of what people are going to say. In Lebanon, the facades of the buildings are often very beautiful with balconies brimming with pretty flowers. But on the other side, the rear courtyard, it’s a garbage tip. The same goes for the people: They pretend to be free and that everything is fine, but in fact, there are many taboos that have yet to be challenged. The reason for this is that we haven’t yet found our own identity. You can see it, for example, in our language. A whole section of our society, educated and cultivated people, no longer speaks Arabic but English or French. Yet it is those people who could speak it the best.
13 14
_ Is that why your film is made in Arabic? Of course. It’s very tempting to go and make films abroad, and I had some offers to do this. But I turned them down. I’m afraid I wouldn’t be so authentic in a culture other than my own. What’s more, I want to bring life back to this old language which, when it is well spoken, is very beautiful. I’m grateful to my producer Anne-Dominique Toussaint for not having imposed anything on me in this sense. She’s very instinctive and respects what the director wants to say and why they want to say it, without ever trying to exert any pressure, whether commercial or artistic.
_ Where does the title of the film come from?From the last line in the film. Just when you think they have achieved something, resolved a situation and found a solution, suddenly, it all seems to fall apart again. The women in the village came up with the ultimate stratagem to make the men understand that war is absurd. They succeeded; but what’s going to happen next? “Where do we go now?” I don’t have the answer to that.
16
Born in Lebanon, Nadine Labaki passed her baccalaureate in Beirut in 1993.She obtained a degree in audiovisual studies at Saint Joseph University in Beirut (IESAV), directing her graduation film, 11 RUE PASTEUR, in 1997, which won the Best Short Film Award at the Biennale of Arab Cinema at the Institut du Monde Arabe (Paris) in 1998.She then directed adverts and many music videos for celebrated Middle Eastern singers, for which she won several awards in 2002 and 2003.In 2004, she took part in the Festival de Cannes Residence to finish writing CARAMEL, her first feature film which she shot in 2006.CARAMEL screened in Directors’ Fortnight in Cannes in 2007 and was a commercial success in France in the summer of that year. The film sold worldwide.
WHERE DO WE GO NOW? is her second feature film.
Biography NADINE LABAKI
19
ANNE-DOMINIQUE TOUSSAINTLES FILMS DES TOURNELLESLES FILMS DE BEYROUTH
PRODUCTIONS
2010 WHERE DO WE GO NOW? by Nadine Labaki Un Certain Regard - Festival de Cannes 20112009 THE HEDGEHOG by Mona ACHACHE (freely inspired by the novel by Muriel Barbery - Editions Gallimard) THE FRENCH KISSERS by Riad SATTOUF Directors’ Fortnight, César 2010 for Best First Film Festival de Cannes 20092007 CARAMEL by Nadine LABAKI Directors’ Fortnight - Festival de Cannes 2007 I’M WAITING FOR SOMEONE by Jérôme BONNELL2005 THE MOUSTACHE by Emmanuel CARRERE` Directors’ Fortnight - Festival de Cannes 20052003 RETURN TO KOTELNITCH by Emmanuel CARRERE 60th Venice Film Festival 2003 COST OF LIVING by Philippe LE GUAY 2001 SLOGANS by Gjergj XHUVANI Directors’ Fortnight, Youth Award, Best Foreign Film Festival de Cannes 2001
2000 THE BEATING OF BUTTERFLY WINGS by Laurent FIRODE Grand Prix - Festival de Namur1999 MY FATHER, MY MOTHER, MY BROTHERS & MY SISTERS by Charlotte de TURCKHEIM1998 THE SKATING RINK by Jean-Philippe TOUSSAINT1994 THE CHESS GAME by Yves HANCHAR1992 LA SEVILLANE by Jean-Philippe TOUSSAINT1989 MONSIEUR by Jean-Philippe TOUSSAINT
23 24
COPRODUCTIONS
2010 THE SOLITUDE OF PRIME NUMBERS by Saverio COSTANZO (coproduced with Offside Films and Bavaria Pictures) 67th Venice Film Festival 20102006 ODETTE TOULEMONDE by Eric-Emmanuel SCHMITT (coproduced with Pathé and Bel Ombre Films)2004 GESPENSTER (GHOSTS) by Christian PETZOLD (coproduced with Schramm Films) Official Selection – Berlin Film Festival 20052003 WORK HARD, PLAY HARD by Jean-Marc MOUTOUT (coproduced with TS Productions)
2002 RESPIRO by Emanuele CRIALESE (coproduced with Fandango) Grand Prix - International Critics Week Festival de Cannes 20021998 TOREROS by Eric BARBIER (coproduced with Vertigo Production)1993 MINA TANNENBAUM by Martine DUGOWSON (coproduced with IMA Films)
CAST TAKLA Claude BAZ MOUSSAWBAA AFAF Layla HAKIM AMALE Nadine LABAKI YVONNE Yvonne MAALOUF SAYDEH Antoinette NOUFAILY RABIH Julien FARHAT ROUKOZ Ali HAIDAR NASSIM Kevin ABBOUD RITA Petra SAGHBINI HAMMOUDI Mostafa AL SAKKA ISSAM Sasseen KAWZALLY AIDA Caroline LABAKI FATMEH Anjo RIHANE ABOU AHMAD Mohammad AKIL GISELE Gisèle SMEDEN MAYOR Khalil BOU KHALIL PRIEST Samir AWAD CHEIKH Ziad ABOU ABSI BUS DRIVER Adel KARAM KATIA Oxana CHIHANE SVETLANA Anneta BOUSALEH ANNA Olga YEROFYEYEVA TATIANA Yulia MAROUN OLGA Oksana BELOGLAZOVA BOUTROS Fouad YAMMINE BOUTROS WIFE Cendrella YAMMINE ABOU ALI Sami KHORJIEH YOUSSEF Georges KHOURY SASSINE Mounzer BAALBAKI 27
CREW Director Nadine LABAKI Producer Anne-Dominique TOUSSAINT
Screenplay Nadine LABAKI, Jihad HOJEILY, Rodney AL HADDAD With the collaboration of Thomas BIDEGAIN Music Khaled MOUZANAR Cinematographer Christophe OFFENSTEIN Editor Véronique LANGE Set design Cynthia ZAHAR Costumes Caroline LABAKI Sound Michel CASANG Gwennolé LE BORGNE Dominique GABORIEAU First assistant director Thierry GUéRINEL Production manager Pascal BONNET Executive producers Lebanon Lara CHEKERDJIAN, Abla KHOURY (Ginger Beirut Productions) Coproducers Romain LE GRAND, Hesham ABDELKHALEK, Tarak BEN AMMAR Coproduction France-Liban-Italie-Egypte Les Films des Tournelles, Pathé Les Films de Beyrouth, United Artistic Group, Chaocorp, France 2 Cinéma, Prima TV With the participation of Canal +, Cinécinéma, France Télévisions With the support of Ministry of Culture, Lebanon Fonds Francophone de Production Audiovisuelle du Sud
In association with The Doha Film Institute Distribution Middle East United Artistic Group International sales Pathé International28