tinjauan terhadap dialog antaragama di muntilan dari ...€¦ · budi purnomo selaku ketua panitia...
TRANSCRIPT
-
1
TINJAUAN TERHADAP DIALOG ANTARAGAMA DI MUNTILAN DARI
PERSPEKTIF ETIKA DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS
Oleh
FANDY PILEF TINDI
712011015
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada program studi Teologi, Fakultas Teologi
Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si.Teol)
PROGRAM STUDI TEOLOGI
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016
-
2
-
3
-
4
-
5
-
6
MOTTO
“LANGIT BERBINTANG DI ATASKU DAN HUKUM MORAL DI DALAMKU”
(Tulisan di nisan Immanuel Kant 1724-1804)
-
7
UCAPAN TERIMA KASIH
Jurnal Tugas Akhir Mahasiswa merupakan salah satu syarat untuk lulus dari Fakultas Teologi
Universitas Kritsten Satya Wacana. Setiap mahasiswa wajib untuk mengajukan judul proposal
penelitian, mengikuti ujian proposal penelitian, menulis hasil penelitian dan menyerahkan hasil
penelitian kepada Panitia Tugas Akhir. Panitia Tugas Akhir akan menyerahkan penelitian
mahasiswa tersebut kepada dua orang dosen sebagai reviewer atau pembaca. Mereka
kemudian akan memberikan nilai dan menyerahkannya kepada Panitia Tugas Akhir. Selain
mereka, pembimbing juga akan menyerahkan penilaian terhadap mahasiswa yang dibimbing
kepada Panitia Tugas Akhir. Nilai-nilai tersebut akan menjadi bahan pertimbangan Panitia Tugas
Akhir untuk memberikan penilaian.
Reviewer, dosen pembimbing dan Panitia Tugas Akhir telah memberikan penilaian yang
sangat baik terhadap tugas akhir saya yang berjudul “Tinjauan Terhadap Dialog Antaragama di
Muntilan dari Perspektif Etika Diskursus Jürgen Habermas”. Judul tersebut merupakan judul
ketiga yang saya ajukan kepada panitia. Dua judul sebelumnya, yakni “Kebebasan Beragama
dari Perspektif HAM” dan “Tinjauan Etika Diskursus Terhadap Dialog Antaragama” ditolak
karena bukan level mahasiswa S1, tetapi S3, kemudian juga karena terlalu abstak, harus
penelitian yang konkret. Oleh sebab itu, saya memutuskan untuk meneliti dialog antaragama
yang terjadi di Muntilan, Jawa Tengah.
Dalam penelitian tersebut saya mendapat bantuan dari banyak pihak. Pertama, dari
panitia penyelenggara dialog antaragama di Muntilan yang bernama “Kongres Persaudaraan
Sejati Lintas Iman dan Kepercayaan”. Saya mengucapkan terima kasih kepada Romo Aloysius
Budi Purnomo selaku ketua panitia dan juga Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan
Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang. Selain itu ada juga Bu Lena dan Mas Lukas sebagai
panitia. Mereka semua sangat membantu dan terbuka dalam memberikan informasi mengenai
penelitian ini.
Kedua, saya berterima kasih kepada para pembimbing. Pertama, kepada pembimbing
satu Prof. Pdt. John A. Titaley, Th.D yang sangat membantu dalam penulisan Tugas Akhir ini,
terutama dalam hal-hal teknis. Beliau masih menyempatkan waktu untuk bimbingan ditenga-
tengah kesibukannya sebagai Rektor UKSW. Kedua, pembimbing dua Gusti A. B. Menoh,
M.Hum. Beliau adalah pembimbing yang paling sulit dipahami keinginannya dan perfeksionis.
Wajar saja karena beliau adalah lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara dan penulis buku
“Agama dalam Ruang Publik: Hubungan Antara Agama dan Negara dalam Masyarakat
Postsekular Menurut Jürgen Habermas” sehingga saya dituntut untuk membuat sebuah tulisan
yang berkualitas. Saya bersyukur karena diijinkan untuk dibimbing oleh kedua dosen yang
-
8
sudah terkenal di nusantara ini. Saya banyak belajar dan terdorong untuk terus belajar. Selamat
untuk Pak Menoh yang sebentar lagi akan melangsungkan pertunangannya.
Ketiga, saya berterima kasih kepada dosen-dosen Fakultas Teologi UKSW. Terima kasih
kepada dosen-dosen yang sudah mengajar saya selama proses belajar-mengajar sejak awal
masuk kuliah 2011 sampai tahun 2016 ini. Tanpa mereka saya tidak akan bisa membuat Tugas
Akhir. Terima kasih kepada Panitia Tugas Akhir yang sudah menerima penelitian ini. Terima
kasih kepada dosen-dosen karena sudah memberikan masukan yang sangat baik ketika
mengikuti ujian proposal. Terima kasih kepada reviewer dan sekali lagi kepada pembimbing.
Terima kasih juga kepada pegawai Tata Usaha selaku bagian dari Fakultas Teologi.
Keempat, terima kasih kepada teman-teman mahasiswa. Terima kasih karena boleh
berkuliah bersama sejak tahun 2011. Terima kasih buat teman-teman mahasiswa , khususnya
angkatan 2011. Terima kasih buat grup “D’Stickless”. Terima kasih karena mau berteman
dengan saya, mendengar curahan hati ketika stress mengerjakan Tugas Akhir ini dan terima
kasih sudah mau meminjamkan fasilitas yang ada di kontrakan Jl. Dliko Indah No. 146 Salatiga.
Kelima, terima kasih kepada orang tua atas segala dukungan yang diberikan, terutama
doa dan dana.
Terakhir, kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mempelajari teologi agama-agama dan juga
dialog antaragama membuat pemahaman saya tentang ke-Tuhan-an semakin luas, bahkan
menembus tembok-tembok pemisah antaragama. Hal itulah yang membuat saya menyebut
yang transenden itu dengan kata “Tuhan” atau “Tuhan Yang Maha Esa” dan tidak menyebut
“Tuhan Yesus Kristus”. Ini bukan berarti saya tidak beriman kepada Yesus, tetapi dalam
keberimananku kepada Yesus, saya juga melihat bahwa ke-Tuhan-an agama lain tidak boleh
disepelehkan.
Mohon maaf kepada pihak-pihak yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Akhirnya, semoga jurnal ini dapat memberi sumbangsih bagi dialog antaragama di Indonesia
dan dapat lebih ditingkatkan oleh peneliti yang lain. Terima kasih. Sapere Aude!
-
9
Abstract:
Habermas did not develop an ethical discourse for interreligion dialogue. He was trying to
develop the theory of communicative action and then discourse ethic. Discourse ethic come to
solve the problems of plurality in general means; politics, socials, cultures, and laws. Habermas
stated if religion comes to public sphere it must come into several challenges of modernity: (1)
The plurality of religion and different views of life, (2) knowledge and science, (3) and
Rechtsstaat. Therefore, the religion must find its “epistemic position” (rationality of faith)
because, only rational reasons used in public sphere and not the religious reason. The writer
wants to focus on the first challenge, the plurality of religion and different views of life.
Discourse ethic in this study will try to observe the interreligion dialogue of “Kongres
Persaudaraan Sejati di Muntilan.”
Kata kunci: Habermas, etika diskursus, antaragama, dan Kongres Persaudaraan Sejati
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan tingkat pluralitas yang tinggi.1 Titaley mengatakan bahwa
wajar dalam suatu kehidupan bersama manusia terdapat keragaman suku, ras, budaya, dan
agama. Perbedaan itu bersifat kodrati dan tidak bisa ditolak karena akan mengingkari kodrat
manusia itu sendiri.2 Oleh sebab itu, untuk menanggulangi keberagaman itu, khususnya dalam
pluralitas agama, para teolog membangun apa yang disebut teologi agama-agama (Theologia
Religionum).
1Data jumlah dan presentase pemeluk agama di Indonesia berdasarkan Supas BPS tahun 2005 adalah
sebagai berikut: agama Islam 189.014.015 jiwa atau 88,58%, agama Kristen Protestan 12.356.404 jiwa atau 5,79%, Katolik 6.558.541 jiwa atau 3,07%, Hindu 3.697.971 jiwa atau 1,73%, Budha 1.299.565 jiwa atau 0,61%, Konghuchu 205.757 jiwa atau 0,10%, dan lainnya sebanyak 243.034 jiwa atau 0,11% dalam Suhadi Cholil, dkk. “Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009,” Center for Religious & Cross-cultural Studies (Januari 2010): 13, diakses July 15, 2015, http://crcs.ugm.ac.id/get/Gntt.
2 John Titaley, Religiositas di AlineaTiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-agama
(Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 169.
http://crcs.ugm.ac.id/get/Gntt
-
10
Teologi agama-agama pada dasarnya menggunakan tipologi tripolar Alan Race. Ada tiga
paham yang dipetakan dalam tipologi Race, yakni eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.3
Upaya tipologi-tipologi tersebut kurang berhasil karena masih memiliki beberapa kelemahan,
yakni mengeksklusikan paham lain yang berbeda dari dirinya, kurang menghargai tradisi religius
yang lain, memandang agama lain secara sempit dan kurang mendorong dialog antaragama.4
Kebuntuan tersebut coba diatasi oleh Harkamaputra.
Harkamaputra mengusulkan adanya dialog antaragama.5 Memang saat ini di Indonesia
dialog antaragama sudah terjadi di kalangan akademisi, kaum elite dan masyarakat pada level
akar rumput,6 tetapi pada akar rumput belum seintens seperti pada kedua kelompok yang lain.
Selain itu, konten dialog masyarakat akar rumput tidak didasarkan pada dialog teologis,
melainkan sering dilandasi motif ekonomi dan sekadar menghindari konflik. Kritik
Harkamaputra ini sudah cukup baik, tetapi belum menyentuh persoalan tentang “Yang Moral”.
3 Dalam buku Alan Race Christian and Religious Pluralism (1983) dikatakan bahwa eksklusivisme
menempatkan kekristenan sebagai satu-satunya agama yang memiliki kebenaran karena penyataan Allah melalui Yesus Kristus.Dua teolog yang menunjukkan posisi ini adalah Karl Barth dan Hendrik Kraemer.Berikutnya, inklusivisme dilihat sebagai sebuah posisi yang menerima sekaligus menolak agama-agama lain secara dialektis. Kekuatan spiritual agama-agama di luar kekristenan diakui, tetapi di sisi lain tidak diakui karena tidak cukup memiliki kebenaran yang hanya dimungkinkan lewat Yesus Kristus. Teolog pada posisi ini adalah Karl Rahner, Hans Küng dan Bede Griffiths. Pluralisme menganggap bahwa semua agama memiliki kebenaran dari satu Allah, tanpa ada satu pun yang superior, kendati tiap agama unik pada dirinya. Para teolog dan bukan teolog yang berpijak pada pandangan ini, seperti Wilfred Cantwell Smith, Ernst Troeltsch, W.E. Hocking, Arnold Toynbee, dan John Hick dalam Hans A. Harkamaputra, Melepas Bingkai (Jakarta: Grafika Kreasindo, 2014), 11-14.
4Kriktik Harkamaputra terhadap tipologi tripolar: (1) Secara epistemologis mengeksklusi posisi yang
berbeda dengan kriteria yang menjadi inti posisinya. (2) Kurang memberi penghargaan terhadap partikularitas tradisi religius. Pandangan terhadap tradisi religius lain dilakukan secara a priori dan diukur berdasarkan seberapa mirip tradisi religius tertentu dengan kekristenan. (3) Agama terlalu dipandang secara sempit dan seolah terpisah dari bidang-bidang kehidupan lain, padahal agama adalah suatu kategorisasi yang selalu berhubungan dengan matriks lainnya dalam kehidupan manusia. (4) Kurang mendorong terjadinya dialog antar iman. Banyak berbicara tentang tradisi religius lain tetapi secara a priori, dan bukan sebagai hasil dari proses berdialog dengan mereka. (5) Sekalipun ada wacana untuk melakukan dialog antar iman, agenda dialog ala Barat terlalu sempit, yakni di sekitar persoalan agama per se dan kurang menyentuh bidang-bidang kehidupan lain yang konkret dalam Harkamaputra, Melepas Bingkai, 123.
5 Harkamaputra, Melepas Bingkai, 118.
6Masyarakat dari lapisan akar rumput didefinisikan sebagai masyarakat lapisan terbawah yang mengalami
masalah kemiskinan dan pengucilan dan tidak memiliki akses terhadap pasar tenaga kerja, tanah, distribusi produk dan hak-hak tertentu dalam Sofwan Sawandani, Mikung: Bertahan dalam Himpita; Kajian masyarakat marjinal di Tasikmalaya (Bandung: Yayasan Akagita, 2001), 1-2.
-
11
Persoalan konten dialog antaragama seperti di atas ternyata sudah terjadi sejak lama di
Indonesia.
Persoalan konten sudah terjadi sejak 1960-an.7 Persoalan tersebut diakibatkan campur
tangan pemerintah. Pemerintah mengadakan dialog antaragama dengan tujuan untuk
meredam isu kristenisasi dan hanya dihadiri oleh para pemimpin agama. Berikutnya pada tahun
1979, pemerintah juga menggelar dialog dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat
Pancasilais dan keadaan negara yang kondusif. Menarik bahwa dialog antaragama di Muntilan
berbeda dengan semua model di atas.
Ada dua perbedaan antara dialog antaragama di Muntilan dengan dialog di atas. Dialog
antaragama di Muntilan diadakan oleh gereja Katolik, bukan oleh pemerintah. Pesertanya pun
bukan hanya para pemimpin agama, tetapi sampai ke masyarakat akar rumput. Dialog
antaragama yang berbeda ini sengaja diciptakan untuk membangun “Persaudaraan yang
Sejati”.
Johannes Pujasumarta, Uskup Agung Semarang, mengatakan bahwa persaudaraan sejati
adalah absennya pertikaian, konflik, dan peperangan.8 Persaudaraan sejati mengajak
masyarakat untuk membangun kehidupan bersama, baik kaum elite, akedemisi, negarawan,
atau masyarakat pada level akar rumput. Kegiatan tersebut merupakan program dari Komisi
Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang.
Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (HAK KAS)
melaksanakan Kongres Persaudaraan Sejati berdasarkan Arah Dasar Umat Allah Keuskupan
Agung Semarang (Ardas KAS) 2011-2015, yakni “dialog iman dan ekumene”. Fokus pastoral
tersebut mencita-citakan “terbukanya pandangan mengenai pluralitas iman dan terwujudnya
7Armada Riyanto, Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah (Yogyakarta: Kanisius,
2010),376-377. 8“Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman,” Majalah Bulanan Kristiani: Insipirasi, Lentera yang
Membebaskan, Nomor 123 Tahun XI November 2014, 21-22.
-
12
persaudaraan sejati lintas iman”.9 Kongres tersebut menghasilkan sesuatu yang belum pernah
ada di Indonesia.
Kongres Persaudaraan Sejati menghasilkan “Deklarasi Muntilan”. Deklarasi tersebut
berisikan aspirasi peserta pada sesi “Penegasan Bersama” yang dirangkum dan kemudian
dirumuskan oleh Panitia. Ada empat hal pokok yang berhasil dirumuskan panitia, yaitu
perasaan syukur, keteguhan, semangat dan keinginan peserta untuk meneruskan kabar baik
kepada semua orang. Kongres atau dialog antaragama di Muntilan menarik apabila dilihat dari
perspektif etika diskursus Jürgen Habermas.
Jürgen Habermas (1929-) adalah filosof yang menggagas etika diskurus. Habermas
menggagas dua prinsip dalam etika diskursus, yakni prinsip penguniversalisasian “U” dan
prinsip diskursus “D”.10 Prinsip “U” berbunyi setiap norma moral yang ingin diberlakukan secara
umum harus mendapat persetujuan dari semua orang yang terkena dampak dari pemberlakuan
norma moral tersebut. Sedangkan, prinsip “D” merupakan cara yang etis untuk memastikan
keberlakuan prinsip “U”. Prinsip “U” hanya mungkin terjadi dalam sebuah diskursus yang bebas
dan adil. Berdasarkan kedua prinsip tadi, Habermas memprioritaskan “Yang Moral” atas “Yang
Etis”.
Dengan meminjam pemikiran Habermas tersebut, penulis coba mengatasi kekurangan
yang dihadapi oleh teologi agama-agama dengan mengusulkan prioritas terhadap “Yang Moral”
atas “Yang Etis”. Artinya, norma yang bersifat umum dan universal harus diprioritaskan
pemberlakuannya atas norma yang spesifik. Hal itu hanya dapat terwujud dalam diskursus yang
adil dan bebas. Pemikiran Habermas tersebut coba digunakan oleh penulis untuk meninjau
dialog antaragama.
Habermas memang tidak mengembangkan secara khusus sebuah diskursus untuk dialog
antaragama. Ia hanya mengembangkan teori tindakan komunikatif dan kemudian etika
diskursus. Etika diskursus hadir untuk mengatasi realitas kemajemukan dalam arti umum,
9Aloysius Budi Purnomo, Merajut Persaudaraan Sejati Lintas Iman:Dewan Karya Pastoral Keuskupan
Agung Semarang(Yogyakarta: Kanisius, 2014), 9. 10
F.Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 226.
-
13
misalnya politik, sosial, budaya, dan hukum. Menurut Habermas, jika agama ingin tampil di
ruang publik maka ia berhadapan dengan tiga tantangan modernitas berikut: (1) dengan
kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup, (2) otoritas ilmu pengetahuan atau
sains, (3) dan negara hukum. Oleh sebab itu, agama harus menemukan posisi epistemik
(rasionalitas iman) karena yang berlaku dalam ruang publik hanyalah alasan-alasan rasional,
bukan alasan religius partikular. Pada tulisan ini penulis akan berfokus pada tantangan nomor
satu, yaitu agama berhadapan dengan kenyataan plural agama serta berbagai pandangan
hidup. Etika diskursus akan digunakan untuk meninjau dialog antaragama bernama “Kongres
Persaudaraan Sejati di Muntilan”.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah
bagaimana dialog antaragama di Muntilan ditinjau dari etika diskursus Jürgen Habermas?
Penulis berharap penelitian ini bermanfaat bagi peserta dan panitia kongres untuk terus
mengembangkan dialog. Selain itu, diharapkan memberi sumbangan pemikiran bagi para pegiat
dialog antaragama tentang pentingnya etika diskursus.
Adapun sistematika penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Pendahuluan. (2) Etika
Diskursus, (2.1) Teori Tindakan Komunikatif yang menjadi basis epistemik dari etika diskursus,
(2.2) Dunia Kehidupan (Jerman: Lebenswelt), (2.3) Prinsip Universalisasi “U” dan Prinsip
Diskursus “D”, (2.4) Prioritas “Yang Moral” atas “Yang Etis”, (2.5) Syarat-syarat untuk proses
deliberasi. Berikutnya membahas (3) dialog antaragama. (3.1) Tantangan dialog antaragama,
(3.2) Dialog antaragama dalam Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan, (3.2.1) Persaudaraan
sejati, (3.2.2) Kongres persaudaraan sejati di Muntilan. (4) Tinjauan terhadap praksis dialog
antaragama di Muntilan dari perspektif etika diskursus Habermas (5) Penutup singkat.
2. Etika Diskursus.
2.1. Teori Tindakan Komunikatif yang menjadi basis epistemik dari etika diskursus
-
14
Jürgen Habermas adalah filosof Jerman paling terkenal dalam 30 tahun terakhir. Ia lahir tahun
1929 di kota Düsseldorf, Jerman.11 Ia mentransformasikan Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt
yang masih terjebak pada rasio “paradigma kerja” ala Karl Marx. Habermas memperbarui
dengan mengubah paradigma “kerja” menjadi “komunikasi”.
Habermas membuat distingsih tegas antara kerja dan komunikasi sebagai dua dimensi
dari praksis.12 Konsep kerja dipahami sebagai tindakan rasional instrumental yang bersifat
kalkulatif dan kemudian terwujud dalam ilmu-ilmu alam serta teknologi. Kegiatan kerja tersebut
menyangkut hubungan instrumental penguasaan atas dunia obyek dan penerapan aturan-
aturan teknis pada realitas eksternal. Sedangkan, interaksi (tindakan komunikatif) adalah
domain pragmatik dari relasi antarmanusia dan dipahami dalam term-term komunikasi atau
saling pengertian diantara para subyek. Jadi, tindakan rasional instrumental menjadikan
manusia dan alam sebagai objek tindakan, sedangkan tindakan komunikatif menjadikan
manusia sebagai subjek tindakan itu sendiri. Dari komunikasi intersubjektif itulah lahir saling
pengertian dan barangkali kesepakatan. Namun, ada juga tindakan instrumental yang bersifat
sosial.
Tindakan instrumental yang bersifat sosial itu adalah tindakan strategis.Tindakan ini
dirancang untuk mempengaruhi keputusan lawan bicara agar mengikuti kemauan sesorang.13
Tindakan strategis yang monologis ini dianggap tidak rasional karena hanya mementingkan
sukses atau efek dari tindakan mempengaruhi tersebut tanpa terjadi intersubjektivitas karena
orang lain masih dianggap sebagai objek, bukan subjek yang bertindak. Tindakan tersebut
sangat bertentangan dengan pemikiran Habermas yang menekankan alasan rasional.
Habermas berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau tindakan seseorang bersifat
rasional sejauh alasannya dapat dijelaskan atau diakui secara intersubjektif.14 Memang tidak
11
Franz Magnis-Suseno,Etika Abad Kedua Puluh: 12 Teks Kunci(Yogyakarta: Kanisius, 2006), 233. 12
Gusti A. B. Menoh, Agama dalam Ruang Publik: Hubungan antaragama dan Negara dalam Masyarakat Postsekular Menurut Jürgen Habermas (Yogyakarta: Kanisius, 2015), 52.
13
Ibid., 54.
14F. Budi Hardiman,Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori
Diskursus Jürgen Habermas (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 43.
-
15
semua bentuk komunikasi memiliki ciri tersebut, hanya komunikasi “reflektif”. Lawannya,
komunikasi “naif” yang tidak mempersoalkan secara khusus alasan-alasan maupun kejelasan-
kejelasan dari pernyataan-pernyataan karena kebenarannya sudah diandaikan begitu saja. Akan
tetapi, kebenaran tersebut bisa menjadi problematis dan berujung pada ketidaksepahaman.
Oleh sebab itu, Habermas menekankan pentingnya komunikasi “reflektif”.
Komunikasi reflektif oleh masyarakat digunakan untuk mencapai sebuah konsensus.
Dalam komunikasi itu, para partisipan membuat lawan bicaranya memahami maksudnya
dengan berusaha mencapai “klaim-klaim kesahihan” (validity claims).15 Klaim-klaim inilah yang
dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus serta mampu
menciptakan komunikasi yang reflektif dan efektif. Berdasarkan klaim-klaim tersebut,
Habermas ingin memperlihatkan komunikasi sebagai sifat hakiki manusia dan sekaligus
menunjukkan kelemahan Teori Kritis dengan filsafat kesadarannya.
Habermas menyebut paradigma yang lama (Teori Kritis) sebagai filsafat kesadaran atau
filsafat subyek yang berpusat pada individu dan kesadarannya.16 Habermas mengatakan
kekurangan utama dari filsafat kesadaran terletak pada kegagalannya memberi tempat bagi
peran bahasa. Paradigma tersebut dianggap usang dan tidak cocok dengan kondisi masyarakat
dewasa ini yang ditandai oleh pluralitas budaya dan orientasi nilai. Habermas membuat
perubahan secara epistemologis atas subjektivitas yang monologis dari filsafat kesadaran
dengan memperkenalkan paradigma teori komunikasi intersubjektif sebagai proses-proses
komunikasi untuk saling memahami subjektivitas dan mencari pengetahuan.
15
Habermas menyebut empat klaim dalam klaim kesahihan: (1) “Klaim kebenaran” (truth) kalau kita sepakat tentang dunia alamiah dan objektif. (2) “Klaim ketepatan” (rightness) kalau sepakat tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial. (3) “Klaim kejujuran“ (sincerity) kalau sepakat tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang. (4) “Klaim komprehensibilitas” (comprehensibility) kalau kita bisa menjelaskan macam-macam klaim itu dan mencapai kesepakatan atasnya dalam F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jürgen Habermas(Yogyakarta: Kanisius, 2009), 18.
16
Rene Descartes (1596-1650) melalui semboyannnya cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada) telah memberi pendasaran pada filsafat subyek. Sejak saat itu filsafat sangat bergantung pada subyek soliter dalam Menoh, Agama…., 49-50.
-
16
Habermas menaruh perhatian pada komunikasi dalam bahasa karena dengan demikian
ia dapat menunjukkan kemungkinan rasionalitas yang nyata, yang tidak dapat ditiadakan oleh
dinamika rasionalitas sasaran (tindakan instrumental dan tindakan strategis).17 Itu karena klaim-
klaim kesahihan yang disampaikan melalui tindakan bicara hanya dapat ditagih secara diskursif
melalui argumentasi dalam diskursus-diskursus teoritis dan praksis. Jadi, selama manusia dapat
berkomunikasi melalui bahasa, rasionalitas dan kebebasan tidak dapat sama sekali ditindas.
Lalu bagaimana mengukur komunikasi yang rasional?
Menurut Habermas, rasionalitas komunikatif sebuah masyarakat dapat diukur dari
universalitas acuan legitimasi tatanannya. Dalam bahasa Habermas: “prosedur-prosedur dan
prasyarat-prasyarat pencapaian kesepakatan rasional sendiri menjadi prinsip (legitimasi norma-
norma yang disepakati)”.18 Maksudnya, suatu norma hanya dapat dianggap legitim dan berlaku
umum apabila disepakati dalam sebuah diskursus yang bebas dan adil oleh semua pihak yang
terkena dampak dari pemberlakuan norma tersebut, termasuk terhadap pemberlakuan norma-
norma yang bernuansa agamis. Di dalam setiap budaya masyarakat sudah ada norma yang
menjadi latar belakang pemikiran para warganya, dalam istilah Habermas disebut “dunia
kehidupan”.
2.2. Dunia kehidupan (Jerman: Lebenswelt)
Dunia kehidupan, mengikuti Edmund Husserl, adalah “tandon anggapan-anggapan latar
belakang yang diorganisasikan dalam bahasa, yang mereproduksikan diri dalam bentuk tradisi
kultural”.19 Dunia kehidupan ini masih bersifat partikular sehingga norma-norma sosio-kultural,
termasuk norma moral, suatu masyarakat tidak memadai untuk kebutuhan hidup bersama.
Immanuel Kant mencoba melampuai keterbatasan tersebut dengan etika proseduralismenya.
17
F. Magnis-Suseno, Pijar-pijarFilsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Müller ke Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 168.
18
Ibid., 172-173.
19 F. Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 223.
-
17
Menurut Kant (1724-1804), moralitas harus murni formal dan dicek melalui prosedur
universalisasi. Sebuah norma memiliki daya ikat moral dan berhak menuntut ketaatan moral,
apabila dapat dikehendaki menjadi hukum yang berlaku umum.20 Itulah imperatif kategoris
Kant. Ia merumuskan sebuah etika berdasarkan prinsip penguniversalisasian dan menolak
paham moralitas substansial. Kant membuat etika menjadi murni formal dan prosedural. Bagi
Kant, universalitas keberlakuan sendiri menjadi prinsip legitimatif moralitas. Prinsip
universalisasi inilah yang dikembangkan oleh Habermas menjadi prinsip “U” dan “D”.
2.3. Prinsip “U” dan Prinsip “D”
Bertolak dari anggapan Kant bahwa norma moral hanya berlaku apabila dapat
diuniversalisasikan, Habermas mengembangkan sebuah etika diskursus. Tetapi, Habermas
menolak cara Kant yang masih memastikan keberlakuan universal secara monologis, sama
seperti Habermas menolak Teori Kritis. Menurutnya sebuah norma dikehendaki umum
ditentukan dari apa yang dapat disepakati sebagai normatif dalam sebuah pembicaraan
bersama oleh manusia sebagai makhluk sosial dan berbahasa. Magnis-suseno mengatakan
bahwa dengan demikian Habermas melakukan suatu perubahan paradigma radikal dari “filsafat
subyek” ke “filsafat komunikasi”, dari “filsafat kesadaran” yang khas bagi seluruh filsafat
modern sejak Descartes ke “filsafat bahasa”, dari pemusatan perhatian pada subjek beralih ke
komunikasi.21 Habermas kemudian mengubah imperatif kategoris etika deontologis Kant yang
masih monologis itu menjadi etika diskursus yang dialogis.
Imperatif kategoris Kant diubah menjadi “peraturan argumentasi” yang dapat dicek
persetujuannya oleh semua pihak yang bersangkutan. Peraturan argumentasi ini menjadi
kriteria kesepakatan yang dikenal dengan prinsip penguniversalisasi atau prinsip “U” yang
berbunyi:
20
Ibid., 224.
21 Ibid., 225.
-
18
Sebuah norma moral hanya boleh dianggap sah kalau akibat-akibat dan efek-efek sampingan yang diperkirakan akan mempengaruhi pemuasan kepentingan siapa saja andaikata norma itu ditaati secara umum, dapat disetujui tanpa paksaan oleh semua
Dan hanya ada satu cara yang wajar untuk mengecek apakah semua yang bersangkutan
memang menyetujui akibat dan efek-efek norma itu kalau diberlakukan secara universal, yakni
melalui diskursus atau pembicaraan argumentatif bersama. Hal itu dirumuskan Habermas
dalam prinsip “D”:
Hanya norma-norma yang disetujui (atau dapat disetujui) oleh semua orang yang bersangkutan sebagai peserta sebuah diskursus praktis boleh dianggap sah.22
Jadi, untuk memastikan apakah sebuah norma moral memang berlaku umum harus diadakan
diskursus yang bebas dari tekanan dan paksaan serta kesediaan semua peserta untuk
menyetujui akibat positif dan negatif dari norma tersebut. Habermas juga memberikan syarat
supaya kedua prinsip tersebut dapat berlaku.
Syarat-syarat Habermas supaya prinsip “U” dan prinsip “D” dapat berlaku dalam sebuah
diskursus yang rasional, yaitu sebagai berikut:
1. Setiap subyek yang bisa bicara dan bertindak boleh ikut dalam diskursus-diskursus. 2. A. Setiap peserta boleh mempersoalkan setiap pernyataan.
B. Setiap peserta boleh memasukkan setiap pernyataan ke dalam diskursus. C. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap, keinginan-keinginan dan
kebutuhan-kebutuhannya. 3. Tidak boleh ada seorang pembicara dihalangi dengan paksaan baik dalam, maupun di
luar diskursus untuk melaksanakan hak-haknya yang dirumuskan sub nomor 1 dan 2.23
Penting untuk diketahui bahwa Habermas tidak memproduksi norma baru seperti yang
dilakukan kebanyakan filosof moral lainnya, tetapi ia hanya memberikan syarat-syarat untuk
norma-norma yang ingin berlaku umum. Norma yang dapat menampung kepentingan umum
hanyalah norma moral, bukan norma etis, sehingga perlu dipriortaskan pemberlakuannya.
22
Ibid., 226. 23
Ibid., 229.
-
19
2.4. Prioritas “Yang Moral” atas “Yang Etis” dalam etika diskursus
Perlu diperhatikan bahwa klaim Habermas terbatas dari dua sudut.24 Pertama, etika diskursus
tidak mengklaim dapat memproduksikan norma-norma moral baru. Tujuan etika diskursus
hanya memeriksa klaim norma-norma moral yang dipersoalkan. Etika diskursus hanyalah
metode untuk memastikan norma-norma moral yang diragukan keberlakuannya. Habermas
mengklaim bahwa inilah satu-satunya cara etis untuk memecahkan konflik.
Kedua, kita harus membedakan antara masalah-masalah “hidup yang baik” (Yang Etis)
dan masalah-masalah “hidup yang adil” (Yang Moral). “Hidup yang baik” berkutat pada masalah
pandangan tentang hidup mana yang bermutu, apa yang dianggap baik dan apa tujuan hidup
kita. Pandangan tersebut sangat erat kaitannya dengan identitas dan gaya hidup tertentu serta
langsung berkaitan dengan dunia kehidupan sehingga tidak dapat diuniversalisasikan dan tentu
tidak masuk ke dalam diskursus, kecuali sebagai latar belakang pandangan-pandangan
normatif.
Bahan etika diskursus adalah pertanyaan-pertanyaan normatif, khususnya tentang
keadilan. Masalah keadilan tidak dapat diselesaikan atas dasar nilai-nilai dan pandangan hidup
salah satu penghuni saja karena dalam ruang sosial, apa yang adil adalah apa yang dapat
disetujui oleh semua penghuninya melalui diskursus. Magnis-suseno mengatakan, “pada
sebuah kasus konkret, penerapan norma moral yang telah disepakati dalam diskursus selalu
memerlukan kebijaksanaan (phronesis) yang juga diandaikan pada waktu kita masuk ke dalam
diskursus itu”.25 Pengandaian terhadap kebijaksanaaan para peserta diskursus dilakukan untuk
menjamin keadlian dalam ruang sosial yang dimaksud.
Etika diskursus menjamin bahwa semua anggota masyarakat, semua golongan dan
kelompok sosial, budaya, agama dapat hidup menurut keyakinan, cita-cita, nilai-nilai dan
pandangan dunia masing-masing.26 Ia menjamin kekhususan dan kekhasan masing-masing
komunitas yang ada dalam masyarakat. Dalam keadaan di mana terjadi konflik tentang sebuah
24
Ibid., 230. 25
Ibid., 231. 26
Ibid., 234.
-
20
norma moral, etika diskursus memungkinkan untuk memecahkannya secara adil, artinya
sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh semua tanpa paksaan dan ancaman terhadap
identitas masing-masing. Habermas kemudian memberikan syarat untuk proses deliberasi bagi
negara, kelompok agama maupun kelompok sekular.
2.5. Syarat-syarat untuk proses deliberasi
Habermas memberikan batasan normatif sebagai syarat untuk mewujudkan fairness di
antara para warganegara dalam proses deliberasi (Latin Deberatio, artinya menimbang-
nimbang).27 Batasan normatif yang diberikan kepada pihak kelompok agama, pihak kelompok
sekular, pihak negara maupun pihak mayoritas agama adalah sebagai berikut:
1. Menuntut ‘penerjemahan’ kontribusi kelompok-kelompok agama dari bahasa religius
partikular ke dalam bahasa umum. Keyakinan religius harus dijelaskan secara rasional
sehingga memiliki ‘status epistemis’ yang dapat diterima oleh para warga lainnya, entah
itu orang beragama atau yang sekular.
2. Demokrasi deliberatif menghargai sikap saling belajar untuk mengerti dari posisi partner
diskursus. Dalam masyarakat pasca-sekular agama dan sekularitas merupakan
komponen-komponen nilai yang setara dan harus dikomunikasikan secara intersubjektif
untuk mencapai saling pengertian.
3. Dalam deliberasi, negara harus seperti neraca seimbang supaya tidak memihak kepada
agama ataupun kepada sekularisme.
4. Dalam konteks sebuah negara dengan mayoritas agama tertentu, bukan hanya
argumen-argumen minoritas agama lain, tetapi juga kontribusi-kontribusi kelompok
sekular tidak boleh dibendung begitu saja.
Dalam realpolitik memang keempat batasan normatif di atas tidak akan segera
menyelesaikan persoalan agama dalam ruang publik karena “orang-orang saleh” sulit menarik
konsep keadilan ke luar dari keyakinan religius partikularnya. Selain itu, politisasi agama akan
27
Lih. Hardiman, Demokrasi Deliberatif…., 158-162
-
21
merugikan bukan hanya pluralisme, melainkan juga akan mencederai otonomi agama itu
sendiri. Dialog antaragama pun menghadapi banyak tantangan.
3. Dialog Antaragama28
3.1. Tantangan dialog antaragama
Tantangan dialog antaragama pada dasarnya datang dari fanatisme agama. Fanatisme
adalah sikap “orang-orang saleh” untuk mempertahankan klaim kebenaran spesifiknya. Tetapi
secara positif, fanatisme bisa hadir sebagai respon terhadap krisis solidaritas dan marjinalisasi
yang dihadirkan oleh pasar kapitalis. Bagi mereka yang terancam secara politis, ekonomis dan
sosial, agama justru memberi peran positif terhadap identitas. Huntington mengatakan bahwa
agama bukanlah “candu masyarakat, tetapi vitamin bagi mereka yang lemah.”29 Fanatisme
agama memang dapat memberikan keteguhan identitas, tetapi dapat juga membuat umat
mengeksklusikan diri. Fanatisme agama tidak cocok dalam kehidupan plural dewasa ini karena
tidak sesuai dengan asas-asas demokrasi.
Habermas mengatakan ada tiga tantangan modernitas yang harus dijawab oleh kaum
beragama untuk turut mengembangkan demokrasi dalam masyarakat yang kompleks dan
plural.30 Ia mengatakan perlunya umat beragama belajar menemukan “posisi epistemis”
(rasionalitas iman) yang tepat berhadapan dengan tantangan modernitas berikut:
28
Dialog adalah percakapan dua orang atau lebih yang menggunkan bahasa sebagai media untuk bertukar pikiran dan bahkan untuk mencapai sebuah kesepakatan. Sedangkan, dialog antaragama adalah perjumpaan dan kerja sama yang terjadi antara orang-orang yang berbeda agama dan iman. Dialog ini paling sering diadakan di Indonesia. Secara formal dialog ini diadakan oleh pemerintah, sedangkan secara informal diadakan oleh tokoh-tokoh masyarakat.Sutrisnaatmaka mengatakan dialog antaragama diadakan karena Indonesia memiliki sejarah kelam konflik antaragama dan selain itu untuk menghalau upaya penyeragaman praktik keagamaan, mengusahakan toleransi antarumat dan menentang fanatisme agama dalam Aloysius M. Sutrisnaatmaka, “Dialog: Tantangan Melawan Penyeragaman dan Pemaksaan Kehendak,” dalam Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia,ed. E. Kristiyantodan William Chang (Jakarta: Obor, 2014), 55-57.
29
Dikutip dari Adrianus Sunarko, “Rasionalitas Iman dan Masyarakat Demokratis Kultural,” dalam Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia,ed. E. Kristiyantodan William Chang (Jakarta: Obor, 2014), 33.
30
Ibid., 35.
-
22
1. Mampu menentukan posisi epistemis yang tepat berhadapan dengan kenyataan plural
agama serta berbagai pandangan hidup. Artinya, mampu melihat keterkaitan agamanya
sendiri dengan agama lain tanpa mengorbankan klaim kebenaran masing-masing
agama.
2. Mampu menentukan posisi epistemis yang tepat berhadapan dengan otoritas ilmu
pengetahuan. Artinya, mampu melihat hubungan antara isi dogma dengan pengetahuan
sekular sehingga tidak terjadi pertentangan.
3. Memiliki sikap yang tepat terhadap prinsip bahwa yang berlaku dalam dunia politik
adalah “argumen-argumen yang sekular”, berdasarkan akal budi dan dapat dimengerti
oleh semua pihak. Proses belajar dalam hal ini berhasil bila mereka mampu
“mengintegrasikan prinsip egaliter masing-masing individu serta prinsip moral universal
ke dalam konteks doktrin agamanya yang menyeluruh”.
Kalau ketiga pengandaian posisi epistemis di atas berhasil dipelajari, maka mereka dapat
memenuhi tuntutan deliberatif dalam komunikasi. Kleden mengatakan:
Tiap kelompok agama memproduksi nilai-nilai dan sistem epistemisnya sendiri, yang dipahami dengan baik oleh para anggota kelompok agama melalui bahasa komunal mereka … Persoalannya: apakah masing-masing kelompok agama bersedia menyumbangkan nilai-nilai dan sistem epistemis mereka untuk menjadi bahan wacana dalam ruang publik yang dipahami bersama oleh para warga negara yang berasal dari kelompok agama berlainan?31
Sunarko mengatakan, Gereja Katolik sudah belajar dan membuat sikap terhadap modernitas,
terutama terhadap ketiga tuntutan posisi epistemis tersebut di atas.32 Perlu diingat bahwa
Gereja Katolik tidak belajar secara langsung kepada Habermas, tetapi proses belajar yang
dilakukan dapat dikaitkan dengan pemikirannya. Proses dan sikap yang diambil sebagai berikut.
Pertama, terhadap kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup lain. Proses
belajar dikatakan berhasil apabila umat mampu menunjukkan integrasi antara doktrin
partikular agamanya dengan doktrin partikular agama yang lain tanpa mengorbankan klaim
kebenaran doktrinnya sendiri. Hasil belajar tersebut dapat ditemukan dalam dua dokumen
31
Ibid., 37. 32
Dikutip dari Veli-Matti Karkkainen, Trinity and Religious Pluralism: The Doctrine of The Trinity in Christian Theology (Aldershot: Ashgate Publishing Company) dalam Sunarko, Rasionalitas Iman…., 38.
-
23
penting yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II. Nostra Aetate dan Ad Gentes yang dihasilkan
dalam konsili tersebut menghasilkan tiga tesis berikut:
1. Kemungkinan keselamatan bagi semua orang yang berkehendak baik dan hidup sesuai
dengan tuntutan yang diberikan pada mereka.
2. Gereja Katolik menghormati adanya kebenaran dan kesucian dalam tiap agama tetapi
tidak berhenti mewartakan Kristus sebagai jalan kebenaran dan hidup.
3. Apa yang baik dan benar dalam berbagai agama dilihat sebagai preparatio evangelica
atau sebagai persiapan akan pemenuhan Injil. Oleh karena itu, misi tetap perlu tetapi
harus dilakukan dengan rendah hati dan penuh penghargaan terhadap budaya dan
agama lain.
Posisi kedua berkaitan dengan otoritas ilmu pengetahuan. Proses belajar dikatakan
berhasil apabila umat mampu merumuskan hubungan antara doktrin partikular agamanya
dengan sains sehingga tidak terjadi pertentangan. Posisi ini terdapat dalam beberapa artikel
dari dokumen ‘Gaudium et Spes’ dan dokumen ‘Dei Verbum’. 33
Posisi ketiga, berkaitan dengan bahasa sekular dalam sistem demokrasi. Proses belajar
dikatakan berhasil apabila umat mampu mengintegrasikan prinsip egaliter masing-masing
individu serta prinsip moral universal ke dalam konteks doktrin agamanya yang menyeluruh.34
Gereja Katolik sudah tidak lagi menolak demokrasi. Perubahan ini dapat dilihat dari sikap Paus
Pius XII pada tahun 1944 yang memuji nilai-nilai demokrasi, kemudian Paus Yohanes XXIII yang
memberi penghormatan terhadap HAM, Konsili Vatikan II yang menekankan perlunya tatanan
politik yang memungkinkan kebebasan partisipasi politik (GS 75), menjunjung kebebasan
beragama, dan lain-lain.
33
Dokumen ‘Gaudium et Spes’ berisi hal-hal yang profan dan pokok-pokok iman berasal dari Allah yang sama dan Gereja pun mengakui bahwa ia menerima banyak manfaat dari ilmu pengetahuan. Sedangkan, dokumen ‘Dei Verbum’ ditegaskan tentang perbedaan kebenaran ilmu pengetahuan dan Kitab Suci. Kebenaran Kitab Suci berkaitan dengan keselamatan dan tidak dapat diukur dengan ilmu pasti. Dokumen tersebut juga menolak penafsiran secara harafiah supaya tidak terjatuh pada penafsiran yang sempit dan memicu konflik. Harus disadari bahwa konteks penulisan Kitab Suci dan jenis-jenis sastra yang digunakan berbeda-beda dalam Sunarko, Rasionalitas Iman…., 40-41.
34
Ibid.,44.
-
24
Menurut penulis, hasil proses belajar dan sikap Gereja Katolik di atas masih bersifat etis,
belum moral, karena masih menyangkut doktrin partikular Gereja Katolik. Lalu bagaimana hasil
belajar dan sikap Gereja Katolik di Indonesia, khususnya terhadap posisi yang pertama? Adakah
yang berbeda? Kita akan coba melihatnya pada Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan,
namun sebelum itu kita akan melihat maksud “Persaudaraan Sejati”.
3.2. Dialog antaragama dalam Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan
3.2.1. Persaudaraan sejati
Persaudaran sejati menurut Riyanto adalah pembangunan iman yang merangkul melalui
konsepsi agama anti kekerasan.35 Hal tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab umat
beragama, termasuk untuk merangkul dan menggagas persaudaraan sejati atau aktivitas
persahabatan. Hanya para sahabat yang dapat melakukan dialog yang sejati. Konsepsi ini
sejalan dengan pandangan Aristoteles mengenai persahabatan.
Dalam filsafat moral, Aristoteles menegaskan bahwa persahabatan itu amat perlu
dalam setiap keadaan hidup manusia siapa pun dan kapan saja.36 Persahabatan itu amat
mempesonakan karena dalam persahabatan biasanya orang saling menjaga, peduli satu sama
lain, berbagi kegembiraan dan kesulitan bersama. Konteks dunia kehidupan manusia
(Lebenswelt) sangat memungkinkan persahabatan karena kepenuhan manusia ada justru dalam
hubungannya dengan yang lain.37 Kesadaran mengenai alteritas aku ini diperlukan justru agar
35
Riyanto, Dialog Interreligius…., 443. 36
Friendship is a virtue, or involves virtue, and besides is most necessary for our life. For no one would choos to live without friends even if he had all the other goods. For in fact rich people and holders of powerful positions, even more than other people, seem to need friends … In poverty also, and in the other misfortunes, people think friends are only refuge. Moreover, the young need it to keep them from error. The old need to care for them and support the actions that fail because of weakness. And those in their prime need it, to do fine actions; for when two go together they are more capable of understanding and acting (Aristotle, Nicomachean Ethics, 115a1-15) disadur oleh Riyanto, Dialog Interreligius…., 448.
37
The realm of self is not only the privotal point of spatial and temporal orientation, but also in regards to which other subjects are recognized. This is testified ti by presence of pronouns in language: the pronouns point to necessary condition of symbolic communication. An ‘other’ person is not only a ‘him’ pf whom I speak but also a ‘you’ to whom I speak and, in turn, and ‘I’ who speak to me. (Marcelo Manimtim, C.M., The Concept of Lifeworld in Jürgen Habermas, Rome 1993, 2) disadur oleh Riyanto, Dialog Interreligius…., 449-450.
-
25
aku semakin menjadi aku sejati yang merupakan subjek, bukan aku egois. Persahabatan itu erat
kaitannya dengan agama.
Dalam persahabatan ada keyakinan bahwa semua orang dicintai oleh Allah.
Persahabatan atau persaudaraan sejati akan membangun penghayatan hidup beragama
menjadi relasi-personal-Allah sentris. Artinya, penghayatan iman itu berpusat pada Allah sendiri
yang mencintai segala manusia. Dengan demikian, agama anti-kekerasan mengedepankan
orientasi kemanusiaan dalam beriman kepada Tuhan, bukan pembelaan atas apa yang
nampaknya benar menurut pandangan sendiri, tetapi dibungkus sebagai yang berasal dari
Tuhan. Hubungan antara ketuhanan dan kemanusian ini dapat kita lihat dalam pandangan
David Hume.
Hume memberi sumbangan reorientasi kemanusiaan untuk penghayatan hidup
beragama.38 Hume tidak mempertentangkan antara pembelaan terhadap manusia atau
terhadap Tuhan, melainkan setiap tindakan kekerasan yang dimotivasikan untuk membela
Tuhan, tetapi pada saat yang sama berarti penyengsaraan terhadap sesama manusia adalah
contradiction in terminis ipsis (kontradiksi dalam dirinya sendiri). Membela ke-Tuhan-an tidak
bisa dan tidak mungkin dijalankan dengan cara menindas ke-manusia-an. Justru sebaliknya,
pembelaan kemanusiaan sama artinya dengan memuliakan Tuhan. Akhirnya, reorientasi
kemanusiaan tidak lain adalah tindakan-tindakan promotif perdamaian dengan sesama
manusia itu sendiri, di sini dan saat ini. Penghayatan iman yang merangkul ini benar-benar
merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak, sebab hanya dengan upaya konkret
demikian, agama adalah anti kekerasan. Apakah penghayatan keagamaan seperti itu ada dalam
Kongres Persaudaraan Sejati? Namun, sebelum itu kita akan melihat bagaimana kongres
tersebut diadakan.
3.2.2. Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan
38
Reorientasi kemanusiaan berarti keterbukaan, bukan ketertutupan, dan bukan eksklusivisme. Juga berarti upaya untuk mengedepankan pembelaan manusia-nya, bukan Tuhan atau apa saja yang di-Tuhan-kan dalam Riyanto, Dialog Interreligius…., 451.
-
26
Kongres Persaudaraan Sejati dilaksanakan di Muntilan, Jawa Tengah. Kongres yang
dilaksanakan selama tiga hari (24-26 Oktober 2014) ini dihadiri 1.062 orang dan kebanyakan
berasal dari masyarakat akar rumput. Jumlah tersebut belum termasuk ratusan orang yang
terlibat dalam pentas seni budaya lintas iman. Kongres tersebut dilaksanakan sebagai tindak
lanjut dari kongres yang dilaksanakan beberapa waktu sebelumnya dalam internal Gereja
Katolik Keuskupan Agung Semarang (KAS) untuk mengadakan dialog antaragama.39 Dialog ini
sesuai dengan fokus pastoral KAS.
Fokus pastoral KAS tahun 2014 sesuai dengan Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung
Semarang (Ardas KAS) 2011-2015 adalah “dialog iman dan ekumene”. Fokus pastoral tersebut
mencita-citakan “terbukanya pandangan mengenai pluralitas iman dan terwujudnya
persaudaraan sejati lintas iman”. Untuk mencapai sasaran tersebut, salah satu faktor suksesnya
adalah tersedianya bahan pembelajaran mengenai persaudaraan sejati seturut pandangan
Gereja Katolik. Bahan pembelajaran itu terdiri dari 5 bab sebagai berikut.40
Bab 1 berisikan dasar-dasar merajut persaudaraan sejati lintas iman. Ada dua dasar
pokoknya, yakni alkitab dan dokumen gereja. Dasar alkitabiah maksudnya dasar-dasar yang
diambil dari alkitab, sedangkan dokumen gerejawi adalah dokumen-dokumen hasil konsili
vatikan II.
Secara alkitabiah ada tiga dasar untuk merajut persaudaraan sejati antaragama.
Pertama, pemahaman akan Allah yang menyelamatkan semua orang (Mat 5:45, 6:9-13; Luk
11:2-4; 1Tim 2:4). Kedua, penghayatan terhadap “Hukum Kasih” untuk mengasihi Allah dan
sesama manusia (Mat 5:44-45, 22:37-39; Mrk 12:28-33; Luk 10:25-27). Ketiga, mau berdamai
dengan lawan, musuh atau siapa pun yang bermasalah dengan kita (Mat 5:25; Rm 12:18). Selain
itu, ada juga dasar untuk membangun persaudaraan sejati secara ekumenis. Pertama,
persatuan semua orang percaya (Yoh 17:21). Kedua, memahami Kristus sebagai “Yang Satu”
dan tidak terbagai-bagi (1Kor 1:13, 12:12-14).
39
Lukas Awi Tristanto (redaktur),“Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman,” Majalah Bulanan Kristiani: Insipirasi, Lentera yang Membebaskan, Nomor 123 Tahun XI November 2014, 15.
40
Lih. Purnomo, Merajut Persaudaraan…., 9-17.
-
27
Dasar dokumenter bagi persaudaraan sejati antaragama dan ekumenis dapat ditemukan
dalam beberapa dokumen. Pertama dalam Nostra Aetate yang berisikan pernyataan tentang
hubungan gereja (katolik) dengan agama non-kristiani. Kedua, Lumen Gentium yang merupakan
konstitusi dogmatis tentang gereja. Sedangkan, dasar dokumenter bagi persaudaraan sejati
ekumenis adalah Lumen Gentium dan Orientalium Ecclesssiarum yang berisi dekrit tentang
gereja-gereja timur katolik serta Unitatis Redintegratio tentang ekumenisme. Selain itu, juga
ada Dignitatis Humanae (DH) yang berisi tentang kebebasan beragama dan menjunjung anti-
diskriminasi agama. Bahkan menurut DH, persaudaraan sejati dan kebebasan bergama tidak
bertentangan (DH 14).
Bab 2 berbicara tentang dialog antariman atau dialog antaragama. Mengenai hal ini
sudah sedikit dibahas pada bab 3 tulisan ini. Dialog antaragama dilakukan dengan agama lain
yang non-kristiani, misalnya dengan orang yang beragama Islam, Hindu, Budha, Konghuchu,
dan bahkan dengan orang yang tidak beragama sekalipun. Berbeda dengan itu, dialog ekumene
dilakukan dengan agama yang percaya Yesus sebagai Kristus (ortodoks, protestan dan anglikan).
Pembahasannya terdapat dalam bab 3. Dua bab terakhir, bab 4 dan bab 5 berturut-turut
membahas hal ihwal tentang dialog antaragama dan merajut persaudaraan sejati di KAS.
Hubungan antara Gereja Katolik KAS dengan gereja lain dan agama lain ditangani secara khusus
oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan.
Adapun HAK KAS memiliki visi untuk menjamin terlaksananya penyadaran umat agar
siap membangun dialog dan kerja sama dalam hidup masyarakat yang majemuk dan
meningkatkan proses dialog antaragama serta kepercayaan, entah itu dalam bentuk dialog
hidup, karya, antarpakar, maupun berbagi pengalaman religius. Sedangkan, misinya adalah
menjadi inspirator, animator, komunikator, motivator, dan mediator.41
Perealisasian visi dan misi dilakukan melalui program tahunan. Program itu bisa dalam
bentuk praksis dialog, kerja sama dan persaudaraan sejati melalui dialog hidup, karya, teologis,
dan silahturahmi. Program HAK KAS juga dilaksanakan dalam rangka formatio iman, katekese,
dan pencerdasan umat katolik dan masyarakat dalam rangka melek agama lain atau perpaduan
41 Ibid., 71-72.
-
28
di antara keduanya. Beberapa program HAK KAS yang sudah terealisasikan, pertama, dalam
rangka dialog, hidup, karya, teologis dan silahturahmi, adalah kunjungan personal maupun
komunal tokoh-tokoh lintas agama. Kedua, dalam rangka formatio iman dan katekese, HAK KAS
menyelenggarakan bebarapa kegiatan rutin, misalnya Temu Kebatinan (Tebat). Terakhir, dalam
rangka ekumene, sejak 2009 mengadakan acara tahunan yang bernama Pekan Doa Sedunia
(PDS) pada tanggal 18-25 Januari.42 Akhirnya berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut,
Gereja Katolik KAS memberanikan diri untuk mengadakan dialog antaragama yang unik di
Indonesia, bahkan di dunia, karena bukan saja menghadirkan perwakilan dari berbagai agama,
tetapi juga dari kalangan penganut aliran kepercayaan (agama suku).43 Hal ini dapat dilihat dari
narasumber yang diundang.
Ada 10 orang narasumber yang diundang dalam kongres yang dipusatkan di Kompleks
SMA PL van Lith dan Lapangan Pemda Muntilan itu, yakni sebagai berikut: Johannes
Pujasumarta (Katolik), Abdis Martha E. Driscoll (Katolik), Buya Syafii Maarif (Islam), Ibu Shinta
Nuriyah Wahid (Islam), KH Abu Hapsin (Islam), Bikkhu Sri Pannyavaro Mahathera (Budha), Elga
Sarapung (Kristen Protestan), I Wayan Sumerta (Hindu), Indriani Hadi Sumarto (Konghuchu),
dan Gunretno (Sedulur Sikep atau ‘Agama Adam’).
Materi yang dipresentasikan oleh para pembicara adalah pandangan agamanya masing -
masing tentang bagaimana “membangun persaudaraan sejati di atas dasar pengalaman
religius”. Berikut intisari pandangan mereka masing-masing: Johannes Pujasumarta
mengatakan untuk membangun persaudaraan sejati kita harus mampu menerima perbedaaan,
tidak ingin berkonflik, berperang ataupun bertikai. Toleransi dibangun dengan sikap kasih dan
hormat. Narasumber lain dari katolik, Abdis Martha E. Driscoll, menekankan perlunya saling
memperhatikan dan menghargai, damai, rukun, harmonis dengan sesama, alam dan dengan
Allah. Dari Kristen Protestan, Elga Sarapung menekankan kerja sama untuk membela bangsa
kita secara utuh dan non-primordial dengan cara bergaul, berdialog dan saling menghormati.
Dari Islam, Shinta Nuriyah Wahid (Nahdatul Ulama) mengatakan perlunya saling menghormati,
42
Ibid., 72-77. 43
Lukas A. Kristanto (red.), “Kongres Persaudaraan….,” 15.
-
29
menghargai konstitusi negara, dan berempati kepada orang lain. Sedangkan, Buya Syafii Maarif
(Muhammadiyah) mengatakan persatuan umat manusia dan prinsip keadilan universal harus
ditegakkan. Selain itu, Abu Hapsin (PWNU Jateng) memberi perhatian pada dorongan hati
nurani dan penanaman nilai persaudaraan. Berikutnya dari Hindu, I Wayan Sumerta
menekankan cinta kasih yang tulus. Indriani Hadi Sumarto dari Konghuchu mengatakan
“tegakkan iman dahulu, kemudian tata penampilan, tutur kata dan bersikap jujur.” Bikkhu Sri
Pannyavaro Mahathera dari Budha menekankan perlunya cinta kasih, penciptaan kebahagiaan
bersama dan tigak egois. Terakhir, Gunretno dari Sedulur Sikep atau “Agama Adam”
menegaskan adanya tujuan bersama manusia untuk hidup rukun.Intisari di atas tidak
disediakan begitu saja oleh ajaran dogma agama partikular masing-masing, tetapi harus melalui
penafsiran dan pemahaman yang mendalam untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
umum yang dapat dipahami oleh semua orang.
Penerjemahan bahasa partikular keagamaan ke dalam bahasa umum dapat dilihat pada
tulisan Pujasumarta, Shinta Wahid dan Sumarto. Pujasumarta mengutip perkataan Yesus,
“Siapa yang melakukan kehendak Allah, dialah ibu-Ku, dialah saudari-Ku, dialah saudara-Ku”.
Teks tersebut diterjemahkan menjadi persaudaraan tanpa ikatan “darah”.44 Shinta Nuriyah
Wahid mengutip etika persaudaraan Islam Nusantara yakni, ukhuwah Islamiyah, ukhuwah
wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah/ insaniyah. Ketiga konsep tersebut diterjemahkan
berturut-turut menjadi persaudaraan antarsesama umat Islam, persaudaraan sesama warga
negara dan persaudaraan antarsesama manusia. Indriani Hadi Sumarto mengutip konsep
tepaselira yang diterjemahkan menjadi jangan melakukan apa yang kita tidak ingin orang lain
lakukan kepada kita, tetapi lakukan apa yang kita harapkan orang lain lakukan juga terhadap
kita. Setelah menerima berbagai materi yang dibawakan para narasumber, peserta diajak untuk
melakukan “penegasan bersama”.
Penegasan bersama berupa refleksi terhadap kongres dan komitmen yang akan
dilakukan pasca kongres. Peserta dibagi ke dalam empat kelompok besar berdasarkan wilayah
kavikepan Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang. Ada tiga butir aspirasi peserta yang
44
Ibid., 24-26.
-
30
diserap oleh panitia. Pertama, peserta merasa bersyukur, bahagia, dan boleh ikut serta aktif di
dalamnya. Kedua, sebagian peserta ingin dan rindu kongres seperti ini bisa dilaksanakan setiap
tahun, syukur bila secara nasional. Ketiga, mereka pun ingin terus mengembangkan diri dalam
proses dialog dan mewartakannya sebagai bagian dari iman. Menurut penulis, aspirasi tersebut
di atas masih terlalu dangkal dan belum menjawab persoalan kehidupan beragama yang lebih
luas, misalnya membuat kesepakatan untuk memelihara toleransi, solidaritas, membangun
kerja sama dalam berbagai bidang, menghargai perbedaan, memberi sumbangan pemikiran
kepada pemerintah dalam membuat undang-undang tentang kehidupan beragama, termasuk
tentang agama kepercayaan (misalnya Sedulur Sikep), dan lain-lain. Aspirasi-aspirasi tersebut
kemudian dirumuskan dalam sebuah deklarasi yang dikenal dengan “Deklarasi Muntilan”.
Isi Deklarasi Muntilan adalah sebagai berikut: (1) Kami peserta Kongres Persaudaraan
Sejati Lintas Iman di Muntilan sungguh bersyukur karena kami boleh mengalami perjumpaan
yang indah, pembelajaran lintas iman, sharing lintas iman dalam persaudaraan yang penuh
semangat berbagi kebahagiaan dan damai. (2) Para narasumber meneguhkan kami bahwa
persaudaraan sejati adalah mimpi dan cita-cita yang menjadi kerinduan hidup setiap orang
beriman. Karena itu kami sadar bahwa beragama dan menganut kepercayaan saja belum
cukup. Kami harus menjadi semakin beriman yang melampaui perbedaan dan bersatu dalam
semangat kebangsaan, membangun Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika. (3) Untuk
membulatkan semangat kebangsaan tersebut, kami akan terus belajar memahami dan
mengamalkan ajaran agama dan kepercayaan kami masing-masing. Kami juga akan melengkapi
diri dengan menggiatkan dialog, baik dialog karya, dialog ajaran, maupun dialog iman dengan
saudara-saudari lintas iman agar kehidupan ini menjadi semakin genap dan lengkap. (4) Kami
akan meneruskan kabar baik ini dikeluarga, lingkungan tempat asal, tempat karya, komunitas
agama dan kepercayaan kami masing-masing dan akan terus melanjutkan jejaring relasi lintas
iman yang telah terbentuk dalam Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman ini.45
Ternyata semangat agama anti-kekerasan yang terwujud dalam aktivitas persahabatan
seperti yang diandaikan oleh Aristoteles dan Hume terealisasi dalam kongres di Muntilan.
45
Ibid., 17.
-
31
Setiap doktrin religius partikular yang dibicarakan menuntut untuk saling peduli dan
menghormati diantara agama, termasuk diantara para peserta kongres atau diskursus tersebut.
Tetapi, apakah dengan demikian kongres tersebut sudah sejalan dengan etika diskursus
Habermas?
4. Tinjauan terhadap praksis dialog antaragama di Muntilan dari perspektif etika diskursus
Habermas.
Pada bagian awal tulisan ini (bab 1) kita telah melihat bagaimana kebuntuan yang dihadapi oleh
teologi agama-agama dalam menanggulangi pluralitas. Ada dua kelemahan yang dikutip
penulis, yaitu eksklusi yang dilakukan salah satu paham terhadap paham lain dan kurangnya
dorongan terhadap dialog antaragama. Pemecahan masalah pluralitas, khususnya pluralitas
keagamaan, juga coba diselesaikan oleh pemerintah (negara).
Pada tahun 1960-an dan 1979 pemerintah Indonesia mengadakan dialog antaragama.
Akan tetapi, dialog itu hanya bertujuan untuk menciptakan situasi negara yang kondusif.
Lagipula yang hadir dalam dialog tersebut hanya tokoh-tokoh agama. Dapat dikatakan bahwa
dialog-dialog tersebut belum sejalan dengan etika diskursus karena masih merupakan tindakan
instrumental pemerintah. Dialog yang sesuai dengan cita-cita etika diskursus kemudian coba
diakomodir oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang
(HAK KAS) dengan mengadakan Kongres Persaudaraan Sejati.
Kongres Persaudaraan Sejati dilaksanakan di Muntilan. Sebagian besar peserta kongres
berasal dari masyarakat akar rumput dan dilakukan tanpa mengekslusi pihak lain. Buktinya
dapat dilihat pada aspirasi peserta yang dikumpulkan dalam sesi “Penegasan Bersama” dan
kemudian dirumuskan oleh panitia menjadi “Deklarasi Muntilan”. Apakah kongres tersebut
sudah sejalan dengan etika diskursus? Menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita
harus mencari tahu adakah perbedaan dan kesamaan diantara keduanya.
Sedikitnya, ada dua perbedaan antara etika diskursus dengan dengan Kongres
Persaudaraan Sejati di Muntilan. Pertama, konsensus di Muntilan belum memberi sumbangan
-
32
bagi pemerintah melalui demokrasi deliberatif. Konsensus yang dihasilkan hanya oleh dan
untuk peserta diskursus tersebut saja, tidak kemudian secara vertikal menjadi masukkan bagi
pemerintah untuk membuat undang-undang yang mengatur kehidupan beragama di Indonesia.
Padahal menurut penulis, hal itu penting mengingat pembuatan undang-undang masih
dilakukan secara monologis oleh pemerintah.
Kedua, panitia merangkum opini-opini dari sesi “Penegasan Bersama” sebagai apa yang
dikehendaki umum. Pada sesi tersebut peserta dibagi ke dalam empat kelompok besar
berdasarkan wilayah kavikepan dari Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang dengan tujuan
dapat menampung aspirasi dan kontribusi sesuai dengan konteks masing-masing wilayah
kavikepan tersebut. Namun, panitia kemudian langsung merumuskan dan membacakan
“Deklarasi Muntilan” tanpa dicek kembali persetujuannya oleh para peserta kongres. Disini
terjadi pelanggaran terhadap etika diskursus karena yang partikular, yaitu aspirasi tiap
kavikepan, dianggap sebagai yang umum tanpa ada pengecekan kembali. Jika pada akhirnya
semua aspirasi tersebut dirangkum menjadi satu, pada sesi “Penegasan Bersama” tidak usah
dibagi ke dalam empat kelompok. Justru panitia sudah melenceng dari tujuan sesi “Penegasan
Bersama”, yaitu untuk menyediakan deklarasi” yang kontekstual. Selain perbedaan, ada juga
kesamaan antara Kongres di Muntilan dengan etika diskursus Habermas.
Kesamaan pertama, secara substantif diskursus di Muntilan memprioritaskan “Yang
Moral” daripada “Yang Etis”. Meskipun narasumber membicarakan apa “Yang Etis” dari masing-
masing agamanya, tetapi pembicaraan tersebut dalam rangka untuk ditransformasi ke “Yang
Moral”. Doktrin religius partikular masing-masing agama yang diterjemahkan ke dalam bahasa
yang lebih umum mampu menjadi “Yang Moral” karena semua agama berbicara mengenai
cinta kasih dan penghargaan terhadap agama lain.
Kedua, etika diskursus dengan Kongres di Muntilan, yaitu diskursus yang berjalan
dengan adil dan bebas. Adil artinya setiap peserta tanpa terkecuali mempunyai kesempatan
yang sama dengan peserta lain untuk menyampaikan aspirasi atau opininya, sedangkan bebas
berarti di dalam maupun di luar diskursus setiap peserta tidak mendapatkan intervensi dari
pihak lain. Cita-cita Habermas ini terwujud dalam kongres yang dilakukan dengan suasana
-
33
kekeluargaan tersebut. Semua peserta dapat berbicara dan diperlakukan dengan adil dan bebas
tanpa mendapat perlakuan diskriminatif di dalam dan di luar diskursus.
Ketiga, konsep persaudaraan sejati mirip dengan konsep persahabatan menurut
Habermas. Riyanto mengatakan, “persaudaran sejati adalah pembangunan iman yang
merangkul melalui konsepsi agama anti kekerasan. Selain itu, konsep persaudaraan sejati
memiliki imperatif konsekuensi bahwa subjek-subjek manusia yang beragama harus pula berani
menggagas persaudaraan sejati atau aktivitas persahabatan. Dialog yang sejati adalah dialog
pada dataran diantara para sahabat”.46 Sedangkan, Habermas mengatakan persahabatan itu
amat mempesonakan karena dalam persahabatan biasanya orang saling menjaga, peduli satu
sama lain, berbagi kegembiraan dan kesulitan bersama. Konteks dunia kehidupan (Lebenswelt)
sangat memungkinkan persahabatan karena kepenuhan manusia ada justru dalam
hubungannya dengan yang lain.47 Jadi, konsep “persahabatan” dan “persaudaraan sejati” saling
bersinergi satu dengan yang lain. Kesamaan antara etika diskursus dan Kongres di Muntilan
dapat dilihat juga dari syarat-syarat untuk proses deliberasi.
Habermas memberikan syarat-syarat untuk proses deliberasi, yakni penerjemahan,
saling belajar, ketidakberpihakan, dan tidak membendung aspirasi minoritas. Syarat-syarat
tersebut memang tidak ditujukan bagi dialog antaragama, tetapi menurut hemat penulis,
syarat-syarat tersebut dapat diintegrasikan bagi dialog antaragama. Jika diintegrasikan dengan
dialog antaragama di Muntilan, maka hasilnya seperti berikut.
Syarat yang pertama menuntut ‘penerjemahan’ kontribusi kelompok-kelompok agama
dari bahasa religius partikular ke dalam bahasa universal. Keyakinan religius harus dijelaskan
secara rasional sehingga memiliki ‘status epistemis’ yang dapat diterima oleh para warga
lainnya. Syarat tersebut terpenuhi ketika para pemateri mempresentasikan materi mereka.
Intisari setiap materi sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa religius partikular ke
dalam bahasa yang umum. Materi-materi tersebut diantaranya konsep tepaselira, ukhuwah,
dan persaudaraan tanpa ikatan darah (bab 3.2.2). Tepaselira diterjemahkan, tindakan kita
46
Riyanto, Dialog Interreligius…., 443-447. 47
Ibid.,449-450.
-
34
terhadap orang lain sesuai dengan apa yang kita harapkan dari mereka. Dalam agama Islam,
ukhuwah Islamiyah diterjemahkan persaudaraan antarsesama umat Islam, ukhuwah
wathoniyah diterjemahkan persaudaraan sesama warga negara dan ukhuwah basyariyah/
insaniyah diterjemahkan persaudaraan antarsesama manusia. Dari agama Kristen dan Katolik,
perkataan Yesus, “Siapa yang melakukan kehendak Allah, dialah ibu-Ku, dialah saudari-Ku,
dialah saudara-Ku”, diterjemahkan menjadi persaudaraan tanpa ikatan ‘darah’ diantara sesama
manusia.
Kedua, menghargai sikap saling belajar supaya terjadi saling pengertian. Menghargai
disini berarti mau mendengarkan atau bahkan mau menerima argumentasi dari umat beragama
lainyang dianggap baik. Dalam bahasa Habermas: “paksaan tak memaksa dari argumen yang
lebih baik”. Hal ini sekaligus menjawab salah satu kelemahan dari teologi agama-agama yang
mengeklusikan paham atau pihak yang lain. Dalam dialog di Muntilan, sikap saling belajar
tercipta dalam proses tanya-jawab antara peserta dan narasumber, bahkan di luar forum
tersebut penulis kira saling belajar masih terjadi. Sikap saling belajar di Muntilan membuahkan
saling pengertian yang kemudian diamandemenkan dalam “Deklarasi Muntilan.”
Ketiga, ketidakberpihakkan. Penyelenggara kongres tidak memihak kepada umat
beragama tertentu, terutama kepada umat Katolik. Aspirasi umat beragama lain tetap
didengarkan. Selain itu, materi-materi yang dibawakan oleh para narasumber tidak
memperlihatkan keberpihakan mereka terhadap agamanya sendiri atau terhadap agama lain.
Mereka berbicara tentang saling mencintai dan menghormati antarumat beragama.
Keempat, kontribusi–kontribusi kelompok minoritas tidak boleh dibendung. Dalam
kongres tersebut, bisa dibilang yang mayoritas adalah agama Katolik dan agama Islam karena
agama Katolik-lah yang mengadakan kongres dan Islam merupakan agama mayoritas di
Indonesia. Tetapi agama minoritas, seperti agama “Adam” misalnya, tetap didengarkan
meskipun mereka belum diakui oleh pemerintah sebagai agama yang resmi.
Berdasarkan perbedaan dan kesamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa kongres
tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan etika diskursus. Kongres di Muntilan tidak
seluruhnya sejalan dengan etika diskursus karena tidak memberi sumbangan pada sistem
-
35
pemerintahan, deklarasinya kurang menjawab persoalan yang kontekstual dan aspirasinya pun
terlalu dangkal dan belum menjawab persoalan keagamaan yang umum di Indonesia. Namun,
setidaknya dialog antaragama di Muntilan sudah lebih baik dari dialog antaragama yang lain
karena cukup banyak syarat Habermas yang terpenuhi.
Syarat dari Habermas yang terpenuhi, yaitu secara substantif memprioritaskan “Yang
Moral” atas “Yang Etis”, berjalan dengan adil dan bebas, konsep persaudaraan sejati mirip
dengan konsep persahabatan menurut Habermas, dan pemenuhan terhadap syarat proses
deliberasi, seperti: penerjemahan bahasa religius particular ke bahasa yang umum, sikap saling
belajar supaya terjadi saling pengertian, tidak berpihak pada siapa pun, dan tidak membendung
kontribusi kelompok minoritas. Berdasarkan hal tersebut, kongres di Muntilan bisa menjadi
acuan bagi dialog-dialog antaragama pada kemudian hari dengan terus mengingat bahwa
kekurangan dari kongres tersebut harus diperbaiki.
Penutup
Dalam pluralitas kehidupan sekarang ini kita dituntut untuk memiliki kesadaran hidup bersama
dengan agama lain. Kita harus beriman cerdas, tangguh dan missioner. 48 Cerdas dalam arti
mengetahui, mengenal, dan bisa mempertanggungjawabkan iman kita. Tangguh artinya
mampu memposisikan diri di tengah pluralitas yang ada. Misioner maksudnya mampu bersaksi
tentang agamanya tetapi tidak untuk menarik orang lain masuk ke dalam agamanya. Kita harus
menghormati sikap iman orang yang beragama lain.
Penghormatan terhadap agama lain sangat penting. Sebagaimana yang telah
disampaikan para narasumber (bab 3.2.2), kita dipanggil untuk saling menghormati,
menghargai dan bekerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik, bahkan dengan
orang yang tidak berkehendak baik sekalipun agar mereka semua mengenal kebaikan. Dalam
rangka itulah, maka persaudaraan sejati dengan semua orang dari berbagai kelompok, agama,
48
Purnomo, Merajut Persaudaraan…., 79.
-
36
iman, suku, bangsa, dan bahasa menjadi tugas kita bersama. Kita juga melihat kontribusi
Habermas yang besar terhadap interaksi kehidupan beragama.
Etika diskursus berupaya untuk membangun suatu keyakinan akan manfaat komunikasi
dengan menerobos dan melampaui tembok-tembok eksklusivisme agama bukan untuk
merelatifkan nilai-nilai religius, melainkan untuk mentransformasikan nilai-nilai itu ke dalam
konteks solidaritas kemanusiaan dalam masyarakat kompleks. Bagaimanapun kelompok-
kelompok yang berbeda-beda keyakinan ataupun tak berkeyakinan memiliki kepentingan
rasional yang sama untuk hidup secara damai dalam masyarakat majemuk, maka perlulah suatu
platform bersama untuk itu. Dalam pendirian Habermas, platform bersama itu adalah konsepsi
moral tentang keadilan.49 Pandangan Habermas ini mendapat kritik dari postmodernisme.
Postmodernisme mengkritik universalisasi yang dilakukan oleh Habermas dan filsafat
modern. Filosof dalam aliran ini di dominasi oleh filosof dari Prancis, mereka diantaranya Jean-
Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michael Foucault dan lain-lain. Lyotard mengatakan bahwa
tujuan diskursus bukanlah konsensus, melainkan paralogie (Lyotard, 1979),50 yaitu tidak
tercapainya kesatuan pemikiran. Hal ini juga yang menjadi tantangan dialog antaragama di
Indonesia.
Dissensus bisa selalu menjadi hasil dari dialog antaragama. Apabila kita cermati, para
narasumber dalam dialog di Muntilan adalah orang-orang yang nasionalis dan berpandangan
terbuka, barangkali akan lain ceritanya apabila yang hadir kebanyakan dari kalangan radikal dan
fanatik. Ketidakbijaksanaan dari orang-orang seperti itu akan mempersulit tercapainya
konsensus, tetapi lebih mudah menghasilkan dissensus. Tantangan ini menjadi pekerjaan
rumah bersama bagi para pegiat dialog antaragama.
49 Hardiman, Demokrasi Deliberatif…., 162.
50
Magnis-Suseno, Pijar-pijar…., 222.
-
37
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Hardiman, F. Budi.Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
______________. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan
Postmodernisme Menurut Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2009. Harkamaputra, Hans A. Melepas Bingkai. Jakarta: Grafika Kreasindo 2014.
Magnis-Suseno, Franz. Etika Abad Kedua Puluh: 12 Teks Kunci. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
______________. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
______________. Pijar-pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Müller
ke Postmodernisme.Yogyakarta: Kanisius, 2005. Menoh, Gusti A. B. Agama dalam Ruang Publik: Hubungan antaragama dan Negara dalam
Masyarakat Postsekular Menurut Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2015. Purnomo, Aloysius Budi. Merajut Persaudaraan Sejati Lintas Iman:Dewan Karya Pastoral
Keuskupan Agung Semarang. Yogyakarta: Kanisius, 2014. Riyanto, E Armada. Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah. Yogyakarta:
Kanisius, 2010. Sawandani, Sofwan. Mikung: Bertahan dalam Himpita; Kajian masyarakat marjinal di
Tasikmalaya. Bandung: Akagita, 2001. Sunarko, Adrianus. “Rasionalitas Iman dan Masyarakat Demokratis Kultural,” dalam
Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia,diedit oleh E. Kristiyantodan William Chang,23-36.Jakarta: Obor, 2014.
Sutrisnaatmaka, Aloysius M. “Dialog: Tantangan Melawan Penyeragaman dan Pemaksaan
Kehendak.” dalam Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia,diedit oleh E. Kristiyantodan William Chang,47-72.Jakarta: Obor, 2014.
Titaley, John A. Religiositas di AlineaTiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-
agama. Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013. Majalah:
Tristanto, Awi Lukas (redaktur).“Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman.”Majalah Bulanan Kristiani: Insipirasi, Lentera yang Membebaskan. Nomor 123 Tahun XI November 2014
Website:
Cholil,Suhadi dkk. “Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009,” Center for Religious & Cross-cultural Studies (Januari 2010): 13, diakses July 15, 2015, http://crcs.ugm.ac.id/get/Gntt
http://crcs.ugm.ac.id/get/Gntt