tinjauan terhadap dialog antaragama di muntilan dari ...€¦ · budi purnomo selaku ketua panitia...

37
1 TINJAUAN TERHADAP DIALOG ANTARAGAMA DI MUNTILAN DARI PERSPEKTIF ETIKA DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS Oleh FANDY PILEF TINDI 712011015 TUGAS AKHIR Diajukan kepada program studi Teologi, Fakultas Teologi Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si.Teol) PROGRAM STUDI TEOLOGI FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2016

Upload: others

Post on 12-Feb-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    TINJAUAN TERHADAP DIALOG ANTARAGAMA DI MUNTILAN DARI

    PERSPEKTIF ETIKA DISKURSUS JÜRGEN HABERMAS

    Oleh

    FANDY PILEF TINDI

    712011015

    TUGAS AKHIR

    Diajukan kepada program studi Teologi, Fakultas Teologi

    Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi

    (S.Si.Teol)

    PROGRAM STUDI TEOLOGI

    FAKULTAS TEOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2016

  • 2

  • 3

  • 4

  • 5

  • 6

    MOTTO

    “LANGIT BERBINTANG DI ATASKU DAN HUKUM MORAL DI DALAMKU”

    (Tulisan di nisan Immanuel Kant 1724-1804)

  • 7

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Jurnal Tugas Akhir Mahasiswa merupakan salah satu syarat untuk lulus dari Fakultas Teologi

    Universitas Kritsten Satya Wacana. Setiap mahasiswa wajib untuk mengajukan judul proposal

    penelitian, mengikuti ujian proposal penelitian, menulis hasil penelitian dan menyerahkan hasil

    penelitian kepada Panitia Tugas Akhir. Panitia Tugas Akhir akan menyerahkan penelitian

    mahasiswa tersebut kepada dua orang dosen sebagai reviewer atau pembaca. Mereka

    kemudian akan memberikan nilai dan menyerahkannya kepada Panitia Tugas Akhir. Selain

    mereka, pembimbing juga akan menyerahkan penilaian terhadap mahasiswa yang dibimbing

    kepada Panitia Tugas Akhir. Nilai-nilai tersebut akan menjadi bahan pertimbangan Panitia Tugas

    Akhir untuk memberikan penilaian.

    Reviewer, dosen pembimbing dan Panitia Tugas Akhir telah memberikan penilaian yang

    sangat baik terhadap tugas akhir saya yang berjudul “Tinjauan Terhadap Dialog Antaragama di

    Muntilan dari Perspektif Etika Diskursus Jürgen Habermas”. Judul tersebut merupakan judul

    ketiga yang saya ajukan kepada panitia. Dua judul sebelumnya, yakni “Kebebasan Beragama

    dari Perspektif HAM” dan “Tinjauan Etika Diskursus Terhadap Dialog Antaragama” ditolak

    karena bukan level mahasiswa S1, tetapi S3, kemudian juga karena terlalu abstak, harus

    penelitian yang konkret. Oleh sebab itu, saya memutuskan untuk meneliti dialog antaragama

    yang terjadi di Muntilan, Jawa Tengah.

    Dalam penelitian tersebut saya mendapat bantuan dari banyak pihak. Pertama, dari

    panitia penyelenggara dialog antaragama di Muntilan yang bernama “Kongres Persaudaraan

    Sejati Lintas Iman dan Kepercayaan”. Saya mengucapkan terima kasih kepada Romo Aloysius

    Budi Purnomo selaku ketua panitia dan juga Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan

    Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang. Selain itu ada juga Bu Lena dan Mas Lukas sebagai

    panitia. Mereka semua sangat membantu dan terbuka dalam memberikan informasi mengenai

    penelitian ini.

    Kedua, saya berterima kasih kepada para pembimbing. Pertama, kepada pembimbing

    satu Prof. Pdt. John A. Titaley, Th.D yang sangat membantu dalam penulisan Tugas Akhir ini,

    terutama dalam hal-hal teknis. Beliau masih menyempatkan waktu untuk bimbingan ditenga-

    tengah kesibukannya sebagai Rektor UKSW. Kedua, pembimbing dua Gusti A. B. Menoh,

    M.Hum. Beliau adalah pembimbing yang paling sulit dipahami keinginannya dan perfeksionis.

    Wajar saja karena beliau adalah lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara dan penulis buku

    “Agama dalam Ruang Publik: Hubungan Antara Agama dan Negara dalam Masyarakat

    Postsekular Menurut Jürgen Habermas” sehingga saya dituntut untuk membuat sebuah tulisan

    yang berkualitas. Saya bersyukur karena diijinkan untuk dibimbing oleh kedua dosen yang

  • 8

    sudah terkenal di nusantara ini. Saya banyak belajar dan terdorong untuk terus belajar. Selamat

    untuk Pak Menoh yang sebentar lagi akan melangsungkan pertunangannya.

    Ketiga, saya berterima kasih kepada dosen-dosen Fakultas Teologi UKSW. Terima kasih

    kepada dosen-dosen yang sudah mengajar saya selama proses belajar-mengajar sejak awal

    masuk kuliah 2011 sampai tahun 2016 ini. Tanpa mereka saya tidak akan bisa membuat Tugas

    Akhir. Terima kasih kepada Panitia Tugas Akhir yang sudah menerima penelitian ini. Terima

    kasih kepada dosen-dosen karena sudah memberikan masukan yang sangat baik ketika

    mengikuti ujian proposal. Terima kasih kepada reviewer dan sekali lagi kepada pembimbing.

    Terima kasih juga kepada pegawai Tata Usaha selaku bagian dari Fakultas Teologi.

    Keempat, terima kasih kepada teman-teman mahasiswa. Terima kasih karena boleh

    berkuliah bersama sejak tahun 2011. Terima kasih buat teman-teman mahasiswa , khususnya

    angkatan 2011. Terima kasih buat grup “D’Stickless”. Terima kasih karena mau berteman

    dengan saya, mendengar curahan hati ketika stress mengerjakan Tugas Akhir ini dan terima

    kasih sudah mau meminjamkan fasilitas yang ada di kontrakan Jl. Dliko Indah No. 146 Salatiga.

    Kelima, terima kasih kepada orang tua atas segala dukungan yang diberikan, terutama

    doa dan dana.

    Terakhir, kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mempelajari teologi agama-agama dan juga

    dialog antaragama membuat pemahaman saya tentang ke-Tuhan-an semakin luas, bahkan

    menembus tembok-tembok pemisah antaragama. Hal itulah yang membuat saya menyebut

    yang transenden itu dengan kata “Tuhan” atau “Tuhan Yang Maha Esa” dan tidak menyebut

    “Tuhan Yesus Kristus”. Ini bukan berarti saya tidak beriman kepada Yesus, tetapi dalam

    keberimananku kepada Yesus, saya juga melihat bahwa ke-Tuhan-an agama lain tidak boleh

    disepelehkan.

    Mohon maaf kepada pihak-pihak yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

    Akhirnya, semoga jurnal ini dapat memberi sumbangsih bagi dialog antaragama di Indonesia

    dan dapat lebih ditingkatkan oleh peneliti yang lain. Terima kasih. Sapere Aude!

  • 9

    Abstract:

    Habermas did not develop an ethical discourse for interreligion dialogue. He was trying to

    develop the theory of communicative action and then discourse ethic. Discourse ethic come to

    solve the problems of plurality in general means; politics, socials, cultures, and laws. Habermas

    stated if religion comes to public sphere it must come into several challenges of modernity: (1)

    The plurality of religion and different views of life, (2) knowledge and science, (3) and

    Rechtsstaat. Therefore, the religion must find its “epistemic position” (rationality of faith)

    because, only rational reasons used in public sphere and not the religious reason. The writer

    wants to focus on the first challenge, the plurality of religion and different views of life.

    Discourse ethic in this study will try to observe the interreligion dialogue of “Kongres

    Persaudaraan Sejati di Muntilan.”

    Kata kunci: Habermas, etika diskursus, antaragama, dan Kongres Persaudaraan Sejati

    1. Pendahuluan

    Indonesia merupakan negara dengan tingkat pluralitas yang tinggi.1 Titaley mengatakan bahwa

    wajar dalam suatu kehidupan bersama manusia terdapat keragaman suku, ras, budaya, dan

    agama. Perbedaan itu bersifat kodrati dan tidak bisa ditolak karena akan mengingkari kodrat

    manusia itu sendiri.2 Oleh sebab itu, untuk menanggulangi keberagaman itu, khususnya dalam

    pluralitas agama, para teolog membangun apa yang disebut teologi agama-agama (Theologia

    Religionum).

    1Data jumlah dan presentase pemeluk agama di Indonesia berdasarkan Supas BPS tahun 2005 adalah

    sebagai berikut: agama Islam 189.014.015 jiwa atau 88,58%, agama Kristen Protestan 12.356.404 jiwa atau 5,79%, Katolik 6.558.541 jiwa atau 3,07%, Hindu 3.697.971 jiwa atau 1,73%, Budha 1.299.565 jiwa atau 0,61%, Konghuchu 205.757 jiwa atau 0,10%, dan lainnya sebanyak 243.034 jiwa atau 0,11% dalam Suhadi Cholil, dkk. “Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009,” Center for Religious & Cross-cultural Studies (Januari 2010): 13, diakses July 15, 2015, http://crcs.ugm.ac.id/get/Gntt.

    2 John Titaley, Religiositas di AlineaTiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-agama

    (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 169.

    http://crcs.ugm.ac.id/get/Gntt

  • 10

    Teologi agama-agama pada dasarnya menggunakan tipologi tripolar Alan Race. Ada tiga

    paham yang dipetakan dalam tipologi Race, yakni eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.3

    Upaya tipologi-tipologi tersebut kurang berhasil karena masih memiliki beberapa kelemahan,

    yakni mengeksklusikan paham lain yang berbeda dari dirinya, kurang menghargai tradisi religius

    yang lain, memandang agama lain secara sempit dan kurang mendorong dialog antaragama.4

    Kebuntuan tersebut coba diatasi oleh Harkamaputra.

    Harkamaputra mengusulkan adanya dialog antaragama.5 Memang saat ini di Indonesia

    dialog antaragama sudah terjadi di kalangan akademisi, kaum elite dan masyarakat pada level

    akar rumput,6 tetapi pada akar rumput belum seintens seperti pada kedua kelompok yang lain.

    Selain itu, konten dialog masyarakat akar rumput tidak didasarkan pada dialog teologis,

    melainkan sering dilandasi motif ekonomi dan sekadar menghindari konflik. Kritik

    Harkamaputra ini sudah cukup baik, tetapi belum menyentuh persoalan tentang “Yang Moral”.

    3 Dalam buku Alan Race Christian and Religious Pluralism (1983) dikatakan bahwa eksklusivisme

    menempatkan kekristenan sebagai satu-satunya agama yang memiliki kebenaran karena penyataan Allah melalui Yesus Kristus.Dua teolog yang menunjukkan posisi ini adalah Karl Barth dan Hendrik Kraemer.Berikutnya, inklusivisme dilihat sebagai sebuah posisi yang menerima sekaligus menolak agama-agama lain secara dialektis. Kekuatan spiritual agama-agama di luar kekristenan diakui, tetapi di sisi lain tidak diakui karena tidak cukup memiliki kebenaran yang hanya dimungkinkan lewat Yesus Kristus. Teolog pada posisi ini adalah Karl Rahner, Hans Küng dan Bede Griffiths. Pluralisme menganggap bahwa semua agama memiliki kebenaran dari satu Allah, tanpa ada satu pun yang superior, kendati tiap agama unik pada dirinya. Para teolog dan bukan teolog yang berpijak pada pandangan ini, seperti Wilfred Cantwell Smith, Ernst Troeltsch, W.E. Hocking, Arnold Toynbee, dan John Hick dalam Hans A. Harkamaputra, Melepas Bingkai (Jakarta: Grafika Kreasindo, 2014), 11-14.

    4Kriktik Harkamaputra terhadap tipologi tripolar: (1) Secara epistemologis mengeksklusi posisi yang

    berbeda dengan kriteria yang menjadi inti posisinya. (2) Kurang memberi penghargaan terhadap partikularitas tradisi religius. Pandangan terhadap tradisi religius lain dilakukan secara a priori dan diukur berdasarkan seberapa mirip tradisi religius tertentu dengan kekristenan. (3) Agama terlalu dipandang secara sempit dan seolah terpisah dari bidang-bidang kehidupan lain, padahal agama adalah suatu kategorisasi yang selalu berhubungan dengan matriks lainnya dalam kehidupan manusia. (4) Kurang mendorong terjadinya dialog antar iman. Banyak berbicara tentang tradisi religius lain tetapi secara a priori, dan bukan sebagai hasil dari proses berdialog dengan mereka. (5) Sekalipun ada wacana untuk melakukan dialog antar iman, agenda dialog ala Barat terlalu sempit, yakni di sekitar persoalan agama per se dan kurang menyentuh bidang-bidang kehidupan lain yang konkret dalam Harkamaputra, Melepas Bingkai, 123.

    5 Harkamaputra, Melepas Bingkai, 118.

    6Masyarakat dari lapisan akar rumput didefinisikan sebagai masyarakat lapisan terbawah yang mengalami

    masalah kemiskinan dan pengucilan dan tidak memiliki akses terhadap pasar tenaga kerja, tanah, distribusi produk dan hak-hak tertentu dalam Sofwan Sawandani, Mikung: Bertahan dalam Himpita; Kajian masyarakat marjinal di Tasikmalaya (Bandung: Yayasan Akagita, 2001), 1-2.

  • 11

    Persoalan konten dialog antaragama seperti di atas ternyata sudah terjadi sejak lama di

    Indonesia.

    Persoalan konten sudah terjadi sejak 1960-an.7 Persoalan tersebut diakibatkan campur

    tangan pemerintah. Pemerintah mengadakan dialog antaragama dengan tujuan untuk

    meredam isu kristenisasi dan hanya dihadiri oleh para pemimpin agama. Berikutnya pada tahun

    1979, pemerintah juga menggelar dialog dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat

    Pancasilais dan keadaan negara yang kondusif. Menarik bahwa dialog antaragama di Muntilan

    berbeda dengan semua model di atas.

    Ada dua perbedaan antara dialog antaragama di Muntilan dengan dialog di atas. Dialog

    antaragama di Muntilan diadakan oleh gereja Katolik, bukan oleh pemerintah. Pesertanya pun

    bukan hanya para pemimpin agama, tetapi sampai ke masyarakat akar rumput. Dialog

    antaragama yang berbeda ini sengaja diciptakan untuk membangun “Persaudaraan yang

    Sejati”.

    Johannes Pujasumarta, Uskup Agung Semarang, mengatakan bahwa persaudaraan sejati

    adalah absennya pertikaian, konflik, dan peperangan.8 Persaudaraan sejati mengajak

    masyarakat untuk membangun kehidupan bersama, baik kaum elite, akedemisi, negarawan,

    atau masyarakat pada level akar rumput. Kegiatan tersebut merupakan program dari Komisi

    Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang.

    Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (HAK KAS)

    melaksanakan Kongres Persaudaraan Sejati berdasarkan Arah Dasar Umat Allah Keuskupan

    Agung Semarang (Ardas KAS) 2011-2015, yakni “dialog iman dan ekumene”. Fokus pastoral

    tersebut mencita-citakan “terbukanya pandangan mengenai pluralitas iman dan terwujudnya

    7Armada Riyanto, Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah (Yogyakarta: Kanisius,

    2010),376-377. 8“Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman,” Majalah Bulanan Kristiani: Insipirasi, Lentera yang

    Membebaskan, Nomor 123 Tahun XI November 2014, 21-22.

  • 12

    persaudaraan sejati lintas iman”.9 Kongres tersebut menghasilkan sesuatu yang belum pernah

    ada di Indonesia.

    Kongres Persaudaraan Sejati menghasilkan “Deklarasi Muntilan”. Deklarasi tersebut

    berisikan aspirasi peserta pada sesi “Penegasan Bersama” yang dirangkum dan kemudian

    dirumuskan oleh Panitia. Ada empat hal pokok yang berhasil dirumuskan panitia, yaitu

    perasaan syukur, keteguhan, semangat dan keinginan peserta untuk meneruskan kabar baik

    kepada semua orang. Kongres atau dialog antaragama di Muntilan menarik apabila dilihat dari

    perspektif etika diskursus Jürgen Habermas.

    Jürgen Habermas (1929-) adalah filosof yang menggagas etika diskurus. Habermas

    menggagas dua prinsip dalam etika diskursus, yakni prinsip penguniversalisasian “U” dan

    prinsip diskursus “D”.10 Prinsip “U” berbunyi setiap norma moral yang ingin diberlakukan secara

    umum harus mendapat persetujuan dari semua orang yang terkena dampak dari pemberlakuan

    norma moral tersebut. Sedangkan, prinsip “D” merupakan cara yang etis untuk memastikan

    keberlakuan prinsip “U”. Prinsip “U” hanya mungkin terjadi dalam sebuah diskursus yang bebas

    dan adil. Berdasarkan kedua prinsip tadi, Habermas memprioritaskan “Yang Moral” atas “Yang

    Etis”.

    Dengan meminjam pemikiran Habermas tersebut, penulis coba mengatasi kekurangan

    yang dihadapi oleh teologi agama-agama dengan mengusulkan prioritas terhadap “Yang Moral”

    atas “Yang Etis”. Artinya, norma yang bersifat umum dan universal harus diprioritaskan

    pemberlakuannya atas norma yang spesifik. Hal itu hanya dapat terwujud dalam diskursus yang

    adil dan bebas. Pemikiran Habermas tersebut coba digunakan oleh penulis untuk meninjau

    dialog antaragama.

    Habermas memang tidak mengembangkan secara khusus sebuah diskursus untuk dialog

    antaragama. Ia hanya mengembangkan teori tindakan komunikatif dan kemudian etika

    diskursus. Etika diskursus hadir untuk mengatasi realitas kemajemukan dalam arti umum,

    9Aloysius Budi Purnomo, Merajut Persaudaraan Sejati Lintas Iman:Dewan Karya Pastoral Keuskupan

    Agung Semarang(Yogyakarta: Kanisius, 2014), 9. 10

    F.Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 226.

  • 13

    misalnya politik, sosial, budaya, dan hukum. Menurut Habermas, jika agama ingin tampil di

    ruang publik maka ia berhadapan dengan tiga tantangan modernitas berikut: (1) dengan

    kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup, (2) otoritas ilmu pengetahuan atau

    sains, (3) dan negara hukum. Oleh sebab itu, agama harus menemukan posisi epistemik

    (rasionalitas iman) karena yang berlaku dalam ruang publik hanyalah alasan-alasan rasional,

    bukan alasan religius partikular. Pada tulisan ini penulis akan berfokus pada tantangan nomor

    satu, yaitu agama berhadapan dengan kenyataan plural agama serta berbagai pandangan

    hidup. Etika diskursus akan digunakan untuk meninjau dialog antaragama bernama “Kongres

    Persaudaraan Sejati di Muntilan”.

    Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah

    bagaimana dialog antaragama di Muntilan ditinjau dari etika diskursus Jürgen Habermas?

    Penulis berharap penelitian ini bermanfaat bagi peserta dan panitia kongres untuk terus

    mengembangkan dialog. Selain itu, diharapkan memberi sumbangan pemikiran bagi para pegiat

    dialog antaragama tentang pentingnya etika diskursus.

    Adapun sistematika penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Pendahuluan. (2) Etika

    Diskursus, (2.1) Teori Tindakan Komunikatif yang menjadi basis epistemik dari etika diskursus,

    (2.2) Dunia Kehidupan (Jerman: Lebenswelt), (2.3) Prinsip Universalisasi “U” dan Prinsip

    Diskursus “D”, (2.4) Prioritas “Yang Moral” atas “Yang Etis”, (2.5) Syarat-syarat untuk proses

    deliberasi. Berikutnya membahas (3) dialog antaragama. (3.1) Tantangan dialog antaragama,

    (3.2) Dialog antaragama dalam Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan, (3.2.1) Persaudaraan

    sejati, (3.2.2) Kongres persaudaraan sejati di Muntilan. (4) Tinjauan terhadap praksis dialog

    antaragama di Muntilan dari perspektif etika diskursus Habermas (5) Penutup singkat.

    2. Etika Diskursus.

    2.1. Teori Tindakan Komunikatif yang menjadi basis epistemik dari etika diskursus

  • 14

    Jürgen Habermas adalah filosof Jerman paling terkenal dalam 30 tahun terakhir. Ia lahir tahun

    1929 di kota Düsseldorf, Jerman.11 Ia mentransformasikan Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt

    yang masih terjebak pada rasio “paradigma kerja” ala Karl Marx. Habermas memperbarui

    dengan mengubah paradigma “kerja” menjadi “komunikasi”.

    Habermas membuat distingsih tegas antara kerja dan komunikasi sebagai dua dimensi

    dari praksis.12 Konsep kerja dipahami sebagai tindakan rasional instrumental yang bersifat

    kalkulatif dan kemudian terwujud dalam ilmu-ilmu alam serta teknologi. Kegiatan kerja tersebut

    menyangkut hubungan instrumental penguasaan atas dunia obyek dan penerapan aturan-

    aturan teknis pada realitas eksternal. Sedangkan, interaksi (tindakan komunikatif) adalah

    domain pragmatik dari relasi antarmanusia dan dipahami dalam term-term komunikasi atau

    saling pengertian diantara para subyek. Jadi, tindakan rasional instrumental menjadikan

    manusia dan alam sebagai objek tindakan, sedangkan tindakan komunikatif menjadikan

    manusia sebagai subjek tindakan itu sendiri. Dari komunikasi intersubjektif itulah lahir saling

    pengertian dan barangkali kesepakatan. Namun, ada juga tindakan instrumental yang bersifat

    sosial.

    Tindakan instrumental yang bersifat sosial itu adalah tindakan strategis.Tindakan ini

    dirancang untuk mempengaruhi keputusan lawan bicara agar mengikuti kemauan sesorang.13

    Tindakan strategis yang monologis ini dianggap tidak rasional karena hanya mementingkan

    sukses atau efek dari tindakan mempengaruhi tersebut tanpa terjadi intersubjektivitas karena

    orang lain masih dianggap sebagai objek, bukan subjek yang bertindak. Tindakan tersebut

    sangat bertentangan dengan pemikiran Habermas yang menekankan alasan rasional.

    Habermas berpendapat bahwa sebuah pernyataan atau tindakan seseorang bersifat

    rasional sejauh alasannya dapat dijelaskan atau diakui secara intersubjektif.14 Memang tidak

    11

    Franz Magnis-Suseno,Etika Abad Kedua Puluh: 12 Teks Kunci(Yogyakarta: Kanisius, 2006), 233. 12

    Gusti A. B. Menoh, Agama dalam Ruang Publik: Hubungan antaragama dan Negara dalam Masyarakat Postsekular Menurut Jürgen Habermas (Yogyakarta: Kanisius, 2015), 52.

    13

    Ibid., 54.

    14F. Budi Hardiman,Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori

    Diskursus Jürgen Habermas (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 43.

  • 15

    semua bentuk komunikasi memiliki ciri tersebut, hanya komunikasi “reflektif”. Lawannya,

    komunikasi “naif” yang tidak mempersoalkan secara khusus alasan-alasan maupun kejelasan-

    kejelasan dari pernyataan-pernyataan karena kebenarannya sudah diandaikan begitu saja. Akan

    tetapi, kebenaran tersebut bisa menjadi problematis dan berujung pada ketidaksepahaman.

    Oleh sebab itu, Habermas menekankan pentingnya komunikasi “reflektif”.

    Komunikasi reflektif oleh masyarakat digunakan untuk mencapai sebuah konsensus.

    Dalam komunikasi itu, para partisipan membuat lawan bicaranya memahami maksudnya

    dengan berusaha mencapai “klaim-klaim kesahihan” (validity claims).15 Klaim-klaim inilah yang

    dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus serta mampu

    menciptakan komunikasi yang reflektif dan efektif. Berdasarkan klaim-klaim tersebut,

    Habermas ingin memperlihatkan komunikasi sebagai sifat hakiki manusia dan sekaligus

    menunjukkan kelemahan Teori Kritis dengan filsafat kesadarannya.

    Habermas menyebut paradigma yang lama (Teori Kritis) sebagai filsafat kesadaran atau

    filsafat subyek yang berpusat pada individu dan kesadarannya.16 Habermas mengatakan

    kekurangan utama dari filsafat kesadaran terletak pada kegagalannya memberi tempat bagi

    peran bahasa. Paradigma tersebut dianggap usang dan tidak cocok dengan kondisi masyarakat

    dewasa ini yang ditandai oleh pluralitas budaya dan orientasi nilai. Habermas membuat

    perubahan secara epistemologis atas subjektivitas yang monologis dari filsafat kesadaran

    dengan memperkenalkan paradigma teori komunikasi intersubjektif sebagai proses-proses

    komunikasi untuk saling memahami subjektivitas dan mencari pengetahuan.

    15

    Habermas menyebut empat klaim dalam klaim kesahihan: (1) “Klaim kebenaran” (truth) kalau kita sepakat tentang dunia alamiah dan objektif. (2) “Klaim ketepatan” (rightness) kalau sepakat tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial. (3) “Klaim kejujuran“ (sincerity) kalau sepakat tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang. (4) “Klaim komprehensibilitas” (comprehensibility) kalau kita bisa menjelaskan macam-macam klaim itu dan mencapai kesepakatan atasnya dalam F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jürgen Habermas(Yogyakarta: Kanisius, 2009), 18.

    16

    Rene Descartes (1596-1650) melalui semboyannnya cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada) telah memberi pendasaran pada filsafat subyek. Sejak saat itu filsafat sangat bergantung pada subyek soliter dalam Menoh, Agama…., 49-50.

  • 16

    Habermas menaruh perhatian pada komunikasi dalam bahasa karena dengan demikian

    ia dapat menunjukkan kemungkinan rasionalitas yang nyata, yang tidak dapat ditiadakan oleh

    dinamika rasionalitas sasaran (tindakan instrumental dan tindakan strategis).17 Itu karena klaim-

    klaim kesahihan yang disampaikan melalui tindakan bicara hanya dapat ditagih secara diskursif

    melalui argumentasi dalam diskursus-diskursus teoritis dan praksis. Jadi, selama manusia dapat

    berkomunikasi melalui bahasa, rasionalitas dan kebebasan tidak dapat sama sekali ditindas.

    Lalu bagaimana mengukur komunikasi yang rasional?

    Menurut Habermas, rasionalitas komunikatif sebuah masyarakat dapat diukur dari

    universalitas acuan legitimasi tatanannya. Dalam bahasa Habermas: “prosedur-prosedur dan

    prasyarat-prasyarat pencapaian kesepakatan rasional sendiri menjadi prinsip (legitimasi norma-

    norma yang disepakati)”.18 Maksudnya, suatu norma hanya dapat dianggap legitim dan berlaku

    umum apabila disepakati dalam sebuah diskursus yang bebas dan adil oleh semua pihak yang

    terkena dampak dari pemberlakuan norma tersebut, termasuk terhadap pemberlakuan norma-

    norma yang bernuansa agamis. Di dalam setiap budaya masyarakat sudah ada norma yang

    menjadi latar belakang pemikiran para warganya, dalam istilah Habermas disebut “dunia

    kehidupan”.

    2.2. Dunia kehidupan (Jerman: Lebenswelt)

    Dunia kehidupan, mengikuti Edmund Husserl, adalah “tandon anggapan-anggapan latar

    belakang yang diorganisasikan dalam bahasa, yang mereproduksikan diri dalam bentuk tradisi

    kultural”.19 Dunia kehidupan ini masih bersifat partikular sehingga norma-norma sosio-kultural,

    termasuk norma moral, suatu masyarakat tidak memadai untuk kebutuhan hidup bersama.

    Immanuel Kant mencoba melampuai keterbatasan tersebut dengan etika proseduralismenya.

    17

    F. Magnis-Suseno, Pijar-pijarFilsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Müller ke Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 168.

    18

    Ibid., 172-173.

    19 F. Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 223.

  • 17

    Menurut Kant (1724-1804), moralitas harus murni formal dan dicek melalui prosedur

    universalisasi. Sebuah norma memiliki daya ikat moral dan berhak menuntut ketaatan moral,

    apabila dapat dikehendaki menjadi hukum yang berlaku umum.20 Itulah imperatif kategoris

    Kant. Ia merumuskan sebuah etika berdasarkan prinsip penguniversalisasian dan menolak

    paham moralitas substansial. Kant membuat etika menjadi murni formal dan prosedural. Bagi

    Kant, universalitas keberlakuan sendiri menjadi prinsip legitimatif moralitas. Prinsip

    universalisasi inilah yang dikembangkan oleh Habermas menjadi prinsip “U” dan “D”.

    2.3. Prinsip “U” dan Prinsip “D”

    Bertolak dari anggapan Kant bahwa norma moral hanya berlaku apabila dapat

    diuniversalisasikan, Habermas mengembangkan sebuah etika diskursus. Tetapi, Habermas

    menolak cara Kant yang masih memastikan keberlakuan universal secara monologis, sama

    seperti Habermas menolak Teori Kritis. Menurutnya sebuah norma dikehendaki umum

    ditentukan dari apa yang dapat disepakati sebagai normatif dalam sebuah pembicaraan

    bersama oleh manusia sebagai makhluk sosial dan berbahasa. Magnis-suseno mengatakan

    bahwa dengan demikian Habermas melakukan suatu perubahan paradigma radikal dari “filsafat

    subyek” ke “filsafat komunikasi”, dari “filsafat kesadaran” yang khas bagi seluruh filsafat

    modern sejak Descartes ke “filsafat bahasa”, dari pemusatan perhatian pada subjek beralih ke

    komunikasi.21 Habermas kemudian mengubah imperatif kategoris etika deontologis Kant yang

    masih monologis itu menjadi etika diskursus yang dialogis.

    Imperatif kategoris Kant diubah menjadi “peraturan argumentasi” yang dapat dicek

    persetujuannya oleh semua pihak yang bersangkutan. Peraturan argumentasi ini menjadi

    kriteria kesepakatan yang dikenal dengan prinsip penguniversalisasi atau prinsip “U” yang

    berbunyi:

    20

    Ibid., 224.

    21 Ibid., 225.

  • 18

    Sebuah norma moral hanya boleh dianggap sah kalau akibat-akibat dan efek-efek sampingan yang diperkirakan akan mempengaruhi pemuasan kepentingan siapa saja andaikata norma itu ditaati secara umum, dapat disetujui tanpa paksaan oleh semua

    Dan hanya ada satu cara yang wajar untuk mengecek apakah semua yang bersangkutan

    memang menyetujui akibat dan efek-efek norma itu kalau diberlakukan secara universal, yakni

    melalui diskursus atau pembicaraan argumentatif bersama. Hal itu dirumuskan Habermas

    dalam prinsip “D”:

    Hanya norma-norma yang disetujui (atau dapat disetujui) oleh semua orang yang bersangkutan sebagai peserta sebuah diskursus praktis boleh dianggap sah.22

    Jadi, untuk memastikan apakah sebuah norma moral memang berlaku umum harus diadakan

    diskursus yang bebas dari tekanan dan paksaan serta kesediaan semua peserta untuk

    menyetujui akibat positif dan negatif dari norma tersebut. Habermas juga memberikan syarat

    supaya kedua prinsip tersebut dapat berlaku.

    Syarat-syarat Habermas supaya prinsip “U” dan prinsip “D” dapat berlaku dalam sebuah

    diskursus yang rasional, yaitu sebagai berikut:

    1. Setiap subyek yang bisa bicara dan bertindak boleh ikut dalam diskursus-diskursus. 2. A. Setiap peserta boleh mempersoalkan setiap pernyataan.

    B. Setiap peserta boleh memasukkan setiap pernyataan ke dalam diskursus. C. Setiap peserta boleh mengungkapkan sikap-sikap, keinginan-keinginan dan

    kebutuhan-kebutuhannya. 3. Tidak boleh ada seorang pembicara dihalangi dengan paksaan baik dalam, maupun di

    luar diskursus untuk melaksanakan hak-haknya yang dirumuskan sub nomor 1 dan 2.23

    Penting untuk diketahui bahwa Habermas tidak memproduksi norma baru seperti yang

    dilakukan kebanyakan filosof moral lainnya, tetapi ia hanya memberikan syarat-syarat untuk

    norma-norma yang ingin berlaku umum. Norma yang dapat menampung kepentingan umum

    hanyalah norma moral, bukan norma etis, sehingga perlu dipriortaskan pemberlakuannya.

    22

    Ibid., 226. 23

    Ibid., 229.

  • 19

    2.4. Prioritas “Yang Moral” atas “Yang Etis” dalam etika diskursus

    Perlu diperhatikan bahwa klaim Habermas terbatas dari dua sudut.24 Pertama, etika diskursus

    tidak mengklaim dapat memproduksikan norma-norma moral baru. Tujuan etika diskursus

    hanya memeriksa klaim norma-norma moral yang dipersoalkan. Etika diskursus hanyalah

    metode untuk memastikan norma-norma moral yang diragukan keberlakuannya. Habermas

    mengklaim bahwa inilah satu-satunya cara etis untuk memecahkan konflik.

    Kedua, kita harus membedakan antara masalah-masalah “hidup yang baik” (Yang Etis)

    dan masalah-masalah “hidup yang adil” (Yang Moral). “Hidup yang baik” berkutat pada masalah

    pandangan tentang hidup mana yang bermutu, apa yang dianggap baik dan apa tujuan hidup

    kita. Pandangan tersebut sangat erat kaitannya dengan identitas dan gaya hidup tertentu serta

    langsung berkaitan dengan dunia kehidupan sehingga tidak dapat diuniversalisasikan dan tentu

    tidak masuk ke dalam diskursus, kecuali sebagai latar belakang pandangan-pandangan

    normatif.

    Bahan etika diskursus adalah pertanyaan-pertanyaan normatif, khususnya tentang

    keadilan. Masalah keadilan tidak dapat diselesaikan atas dasar nilai-nilai dan pandangan hidup

    salah satu penghuni saja karena dalam ruang sosial, apa yang adil adalah apa yang dapat

    disetujui oleh semua penghuninya melalui diskursus. Magnis-suseno mengatakan, “pada

    sebuah kasus konkret, penerapan norma moral yang telah disepakati dalam diskursus selalu

    memerlukan kebijaksanaan (phronesis) yang juga diandaikan pada waktu kita masuk ke dalam

    diskursus itu”.25 Pengandaian terhadap kebijaksanaaan para peserta diskursus dilakukan untuk

    menjamin keadlian dalam ruang sosial yang dimaksud.

    Etika diskursus menjamin bahwa semua anggota masyarakat, semua golongan dan

    kelompok sosial, budaya, agama dapat hidup menurut keyakinan, cita-cita, nilai-nilai dan

    pandangan dunia masing-masing.26 Ia menjamin kekhususan dan kekhasan masing-masing

    komunitas yang ada dalam masyarakat. Dalam keadaan di mana terjadi konflik tentang sebuah

    24

    Ibid., 230. 25

    Ibid., 231. 26

    Ibid., 234.

  • 20

    norma moral, etika diskursus memungkinkan untuk memecahkannya secara adil, artinya

    sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh semua tanpa paksaan dan ancaman terhadap

    identitas masing-masing. Habermas kemudian memberikan syarat untuk proses deliberasi bagi

    negara, kelompok agama maupun kelompok sekular.

    2.5. Syarat-syarat untuk proses deliberasi

    Habermas memberikan batasan normatif sebagai syarat untuk mewujudkan fairness di

    antara para warganegara dalam proses deliberasi (Latin Deberatio, artinya menimbang-

    nimbang).27 Batasan normatif yang diberikan kepada pihak kelompok agama, pihak kelompok

    sekular, pihak negara maupun pihak mayoritas agama adalah sebagai berikut:

    1. Menuntut ‘penerjemahan’ kontribusi kelompok-kelompok agama dari bahasa religius

    partikular ke dalam bahasa umum. Keyakinan religius harus dijelaskan secara rasional

    sehingga memiliki ‘status epistemis’ yang dapat diterima oleh para warga lainnya, entah

    itu orang beragama atau yang sekular.

    2. Demokrasi deliberatif menghargai sikap saling belajar untuk mengerti dari posisi partner

    diskursus. Dalam masyarakat pasca-sekular agama dan sekularitas merupakan

    komponen-komponen nilai yang setara dan harus dikomunikasikan secara intersubjektif

    untuk mencapai saling pengertian.

    3. Dalam deliberasi, negara harus seperti neraca seimbang supaya tidak memihak kepada

    agama ataupun kepada sekularisme.

    4. Dalam konteks sebuah negara dengan mayoritas agama tertentu, bukan hanya

    argumen-argumen minoritas agama lain, tetapi juga kontribusi-kontribusi kelompok

    sekular tidak boleh dibendung begitu saja.

    Dalam realpolitik memang keempat batasan normatif di atas tidak akan segera

    menyelesaikan persoalan agama dalam ruang publik karena “orang-orang saleh” sulit menarik

    konsep keadilan ke luar dari keyakinan religius partikularnya. Selain itu, politisasi agama akan

    27

    Lih. Hardiman, Demokrasi Deliberatif…., 158-162

  • 21

    merugikan bukan hanya pluralisme, melainkan juga akan mencederai otonomi agama itu

    sendiri. Dialog antaragama pun menghadapi banyak tantangan.

    3. Dialog Antaragama28

    3.1. Tantangan dialog antaragama

    Tantangan dialog antaragama pada dasarnya datang dari fanatisme agama. Fanatisme

    adalah sikap “orang-orang saleh” untuk mempertahankan klaim kebenaran spesifiknya. Tetapi

    secara positif, fanatisme bisa hadir sebagai respon terhadap krisis solidaritas dan marjinalisasi

    yang dihadirkan oleh pasar kapitalis. Bagi mereka yang terancam secara politis, ekonomis dan

    sosial, agama justru memberi peran positif terhadap identitas. Huntington mengatakan bahwa

    agama bukanlah “candu masyarakat, tetapi vitamin bagi mereka yang lemah.”29 Fanatisme

    agama memang dapat memberikan keteguhan identitas, tetapi dapat juga membuat umat

    mengeksklusikan diri. Fanatisme agama tidak cocok dalam kehidupan plural dewasa ini karena

    tidak sesuai dengan asas-asas demokrasi.

    Habermas mengatakan ada tiga tantangan modernitas yang harus dijawab oleh kaum

    beragama untuk turut mengembangkan demokrasi dalam masyarakat yang kompleks dan

    plural.30 Ia mengatakan perlunya umat beragama belajar menemukan “posisi epistemis”

    (rasionalitas iman) yang tepat berhadapan dengan tantangan modernitas berikut:

    28

    Dialog adalah percakapan dua orang atau lebih yang menggunkan bahasa sebagai media untuk bertukar pikiran dan bahkan untuk mencapai sebuah kesepakatan. Sedangkan, dialog antaragama adalah perjumpaan dan kerja sama yang terjadi antara orang-orang yang berbeda agama dan iman. Dialog ini paling sering diadakan di Indonesia. Secara formal dialog ini diadakan oleh pemerintah, sedangkan secara informal diadakan oleh tokoh-tokoh masyarakat.Sutrisnaatmaka mengatakan dialog antaragama diadakan karena Indonesia memiliki sejarah kelam konflik antaragama dan selain itu untuk menghalau upaya penyeragaman praktik keagamaan, mengusahakan toleransi antarumat dan menentang fanatisme agama dalam Aloysius M. Sutrisnaatmaka, “Dialog: Tantangan Melawan Penyeragaman dan Pemaksaan Kehendak,” dalam Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia,ed. E. Kristiyantodan William Chang (Jakarta: Obor, 2014), 55-57.

    29

    Dikutip dari Adrianus Sunarko, “Rasionalitas Iman dan Masyarakat Demokratis Kultural,” dalam Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia,ed. E. Kristiyantodan William Chang (Jakarta: Obor, 2014), 33.

    30

    Ibid., 35.

  • 22

    1. Mampu menentukan posisi epistemis yang tepat berhadapan dengan kenyataan plural

    agama serta berbagai pandangan hidup. Artinya, mampu melihat keterkaitan agamanya

    sendiri dengan agama lain tanpa mengorbankan klaim kebenaran masing-masing

    agama.

    2. Mampu menentukan posisi epistemis yang tepat berhadapan dengan otoritas ilmu

    pengetahuan. Artinya, mampu melihat hubungan antara isi dogma dengan pengetahuan

    sekular sehingga tidak terjadi pertentangan.

    3. Memiliki sikap yang tepat terhadap prinsip bahwa yang berlaku dalam dunia politik

    adalah “argumen-argumen yang sekular”, berdasarkan akal budi dan dapat dimengerti

    oleh semua pihak. Proses belajar dalam hal ini berhasil bila mereka mampu

    “mengintegrasikan prinsip egaliter masing-masing individu serta prinsip moral universal

    ke dalam konteks doktrin agamanya yang menyeluruh”.

    Kalau ketiga pengandaian posisi epistemis di atas berhasil dipelajari, maka mereka dapat

    memenuhi tuntutan deliberatif dalam komunikasi. Kleden mengatakan:

    Tiap kelompok agama memproduksi nilai-nilai dan sistem epistemisnya sendiri, yang dipahami dengan baik oleh para anggota kelompok agama melalui bahasa komunal mereka … Persoalannya: apakah masing-masing kelompok agama bersedia menyumbangkan nilai-nilai dan sistem epistemis mereka untuk menjadi bahan wacana dalam ruang publik yang dipahami bersama oleh para warga negara yang berasal dari kelompok agama berlainan?31

    Sunarko mengatakan, Gereja Katolik sudah belajar dan membuat sikap terhadap modernitas,

    terutama terhadap ketiga tuntutan posisi epistemis tersebut di atas.32 Perlu diingat bahwa

    Gereja Katolik tidak belajar secara langsung kepada Habermas, tetapi proses belajar yang

    dilakukan dapat dikaitkan dengan pemikirannya. Proses dan sikap yang diambil sebagai berikut.

    Pertama, terhadap kenyataan plural agama serta berbagai pandangan hidup lain. Proses

    belajar dikatakan berhasil apabila umat mampu menunjukkan integrasi antara doktrin

    partikular agamanya dengan doktrin partikular agama yang lain tanpa mengorbankan klaim

    kebenaran doktrinnya sendiri. Hasil belajar tersebut dapat ditemukan dalam dua dokumen

    31

    Ibid., 37. 32

    Dikutip dari Veli-Matti Karkkainen, Trinity and Religious Pluralism: The Doctrine of The Trinity in Christian Theology (Aldershot: Ashgate Publishing Company) dalam Sunarko, Rasionalitas Iman…., 38.

  • 23

    penting yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II. Nostra Aetate dan Ad Gentes yang dihasilkan

    dalam konsili tersebut menghasilkan tiga tesis berikut:

    1. Kemungkinan keselamatan bagi semua orang yang berkehendak baik dan hidup sesuai

    dengan tuntutan yang diberikan pada mereka.

    2. Gereja Katolik menghormati adanya kebenaran dan kesucian dalam tiap agama tetapi

    tidak berhenti mewartakan Kristus sebagai jalan kebenaran dan hidup.

    3. Apa yang baik dan benar dalam berbagai agama dilihat sebagai preparatio evangelica

    atau sebagai persiapan akan pemenuhan Injil. Oleh karena itu, misi tetap perlu tetapi

    harus dilakukan dengan rendah hati dan penuh penghargaan terhadap budaya dan

    agama lain.

    Posisi kedua berkaitan dengan otoritas ilmu pengetahuan. Proses belajar dikatakan

    berhasil apabila umat mampu merumuskan hubungan antara doktrin partikular agamanya

    dengan sains sehingga tidak terjadi pertentangan. Posisi ini terdapat dalam beberapa artikel

    dari dokumen ‘Gaudium et Spes’ dan dokumen ‘Dei Verbum’. 33

    Posisi ketiga, berkaitan dengan bahasa sekular dalam sistem demokrasi. Proses belajar

    dikatakan berhasil apabila umat mampu mengintegrasikan prinsip egaliter masing-masing

    individu serta prinsip moral universal ke dalam konteks doktrin agamanya yang menyeluruh.34

    Gereja Katolik sudah tidak lagi menolak demokrasi. Perubahan ini dapat dilihat dari sikap Paus

    Pius XII pada tahun 1944 yang memuji nilai-nilai demokrasi, kemudian Paus Yohanes XXIII yang

    memberi penghormatan terhadap HAM, Konsili Vatikan II yang menekankan perlunya tatanan

    politik yang memungkinkan kebebasan partisipasi politik (GS 75), menjunjung kebebasan

    beragama, dan lain-lain.

    33

    Dokumen ‘Gaudium et Spes’ berisi hal-hal yang profan dan pokok-pokok iman berasal dari Allah yang sama dan Gereja pun mengakui bahwa ia menerima banyak manfaat dari ilmu pengetahuan. Sedangkan, dokumen ‘Dei Verbum’ ditegaskan tentang perbedaan kebenaran ilmu pengetahuan dan Kitab Suci. Kebenaran Kitab Suci berkaitan dengan keselamatan dan tidak dapat diukur dengan ilmu pasti. Dokumen tersebut juga menolak penafsiran secara harafiah supaya tidak terjatuh pada penafsiran yang sempit dan memicu konflik. Harus disadari bahwa konteks penulisan Kitab Suci dan jenis-jenis sastra yang digunakan berbeda-beda dalam Sunarko, Rasionalitas Iman…., 40-41.

    34

    Ibid.,44.

  • 24

    Menurut penulis, hasil proses belajar dan sikap Gereja Katolik di atas masih bersifat etis,

    belum moral, karena masih menyangkut doktrin partikular Gereja Katolik. Lalu bagaimana hasil

    belajar dan sikap Gereja Katolik di Indonesia, khususnya terhadap posisi yang pertama? Adakah

    yang berbeda? Kita akan coba melihatnya pada Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan,

    namun sebelum itu kita akan melihat maksud “Persaudaraan Sejati”.

    3.2. Dialog antaragama dalam Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan

    3.2.1. Persaudaraan sejati

    Persaudaran sejati menurut Riyanto adalah pembangunan iman yang merangkul melalui

    konsepsi agama anti kekerasan.35 Hal tersebut menjadi tugas dan tanggung jawab umat

    beragama, termasuk untuk merangkul dan menggagas persaudaraan sejati atau aktivitas

    persahabatan. Hanya para sahabat yang dapat melakukan dialog yang sejati. Konsepsi ini

    sejalan dengan pandangan Aristoteles mengenai persahabatan.

    Dalam filsafat moral, Aristoteles menegaskan bahwa persahabatan itu amat perlu

    dalam setiap keadaan hidup manusia siapa pun dan kapan saja.36 Persahabatan itu amat

    mempesonakan karena dalam persahabatan biasanya orang saling menjaga, peduli satu sama

    lain, berbagi kegembiraan dan kesulitan bersama. Konteks dunia kehidupan manusia

    (Lebenswelt) sangat memungkinkan persahabatan karena kepenuhan manusia ada justru dalam

    hubungannya dengan yang lain.37 Kesadaran mengenai alteritas aku ini diperlukan justru agar

    35

    Riyanto, Dialog Interreligius…., 443. 36

    Friendship is a virtue, or involves virtue, and besides is most necessary for our life. For no one would choos to live without friends even if he had all the other goods. For in fact rich people and holders of powerful positions, even more than other people, seem to need friends … In poverty also, and in the other misfortunes, people think friends are only refuge. Moreover, the young need it to keep them from error. The old need to care for them and support the actions that fail because of weakness. And those in their prime need it, to do fine actions; for when two go together they are more capable of understanding and acting (Aristotle, Nicomachean Ethics, 115a1-15) disadur oleh Riyanto, Dialog Interreligius…., 448.

    37

    The realm of self is not only the privotal point of spatial and temporal orientation, but also in regards to which other subjects are recognized. This is testified ti by presence of pronouns in language: the pronouns point to necessary condition of symbolic communication. An ‘other’ person is not only a ‘him’ pf whom I speak but also a ‘you’ to whom I speak and, in turn, and ‘I’ who speak to me. (Marcelo Manimtim, C.M., The Concept of Lifeworld in Jürgen Habermas, Rome 1993, 2) disadur oleh Riyanto, Dialog Interreligius…., 449-450.

  • 25

    aku semakin menjadi aku sejati yang merupakan subjek, bukan aku egois. Persahabatan itu erat

    kaitannya dengan agama.

    Dalam persahabatan ada keyakinan bahwa semua orang dicintai oleh Allah.

    Persahabatan atau persaudaraan sejati akan membangun penghayatan hidup beragama

    menjadi relasi-personal-Allah sentris. Artinya, penghayatan iman itu berpusat pada Allah sendiri

    yang mencintai segala manusia. Dengan demikian, agama anti-kekerasan mengedepankan

    orientasi kemanusiaan dalam beriman kepada Tuhan, bukan pembelaan atas apa yang

    nampaknya benar menurut pandangan sendiri, tetapi dibungkus sebagai yang berasal dari

    Tuhan. Hubungan antara ketuhanan dan kemanusian ini dapat kita lihat dalam pandangan

    David Hume.

    Hume memberi sumbangan reorientasi kemanusiaan untuk penghayatan hidup

    beragama.38 Hume tidak mempertentangkan antara pembelaan terhadap manusia atau

    terhadap Tuhan, melainkan setiap tindakan kekerasan yang dimotivasikan untuk membela

    Tuhan, tetapi pada saat yang sama berarti penyengsaraan terhadap sesama manusia adalah

    contradiction in terminis ipsis (kontradiksi dalam dirinya sendiri). Membela ke-Tuhan-an tidak

    bisa dan tidak mungkin dijalankan dengan cara menindas ke-manusia-an. Justru sebaliknya,

    pembelaan kemanusiaan sama artinya dengan memuliakan Tuhan. Akhirnya, reorientasi

    kemanusiaan tidak lain adalah tindakan-tindakan promotif perdamaian dengan sesama

    manusia itu sendiri, di sini dan saat ini. Penghayatan iman yang merangkul ini benar-benar

    merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak, sebab hanya dengan upaya konkret

    demikian, agama adalah anti kekerasan. Apakah penghayatan keagamaan seperti itu ada dalam

    Kongres Persaudaraan Sejati? Namun, sebelum itu kita akan melihat bagaimana kongres

    tersebut diadakan.

    3.2.2. Kongres Persaudaraan Sejati di Muntilan

    38

    Reorientasi kemanusiaan berarti keterbukaan, bukan ketertutupan, dan bukan eksklusivisme. Juga berarti upaya untuk mengedepankan pembelaan manusia-nya, bukan Tuhan atau apa saja yang di-Tuhan-kan dalam Riyanto, Dialog Interreligius…., 451.

  • 26

    Kongres Persaudaraan Sejati dilaksanakan di Muntilan, Jawa Tengah. Kongres yang

    dilaksanakan selama tiga hari (24-26 Oktober 2014) ini dihadiri 1.062 orang dan kebanyakan

    berasal dari masyarakat akar rumput. Jumlah tersebut belum termasuk ratusan orang yang

    terlibat dalam pentas seni budaya lintas iman. Kongres tersebut dilaksanakan sebagai tindak

    lanjut dari kongres yang dilaksanakan beberapa waktu sebelumnya dalam internal Gereja

    Katolik Keuskupan Agung Semarang (KAS) untuk mengadakan dialog antaragama.39 Dialog ini

    sesuai dengan fokus pastoral KAS.

    Fokus pastoral KAS tahun 2014 sesuai dengan Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung

    Semarang (Ardas KAS) 2011-2015 adalah “dialog iman dan ekumene”. Fokus pastoral tersebut

    mencita-citakan “terbukanya pandangan mengenai pluralitas iman dan terwujudnya

    persaudaraan sejati lintas iman”. Untuk mencapai sasaran tersebut, salah satu faktor suksesnya

    adalah tersedianya bahan pembelajaran mengenai persaudaraan sejati seturut pandangan

    Gereja Katolik. Bahan pembelajaran itu terdiri dari 5 bab sebagai berikut.40

    Bab 1 berisikan dasar-dasar merajut persaudaraan sejati lintas iman. Ada dua dasar

    pokoknya, yakni alkitab dan dokumen gereja. Dasar alkitabiah maksudnya dasar-dasar yang

    diambil dari alkitab, sedangkan dokumen gerejawi adalah dokumen-dokumen hasil konsili

    vatikan II.

    Secara alkitabiah ada tiga dasar untuk merajut persaudaraan sejati antaragama.

    Pertama, pemahaman akan Allah yang menyelamatkan semua orang (Mat 5:45, 6:9-13; Luk

    11:2-4; 1Tim 2:4). Kedua, penghayatan terhadap “Hukum Kasih” untuk mengasihi Allah dan

    sesama manusia (Mat 5:44-45, 22:37-39; Mrk 12:28-33; Luk 10:25-27). Ketiga, mau berdamai

    dengan lawan, musuh atau siapa pun yang bermasalah dengan kita (Mat 5:25; Rm 12:18). Selain

    itu, ada juga dasar untuk membangun persaudaraan sejati secara ekumenis. Pertama,

    persatuan semua orang percaya (Yoh 17:21). Kedua, memahami Kristus sebagai “Yang Satu”

    dan tidak terbagai-bagi (1Kor 1:13, 12:12-14).

    39

    Lukas Awi Tristanto (redaktur),“Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman,” Majalah Bulanan Kristiani: Insipirasi, Lentera yang Membebaskan, Nomor 123 Tahun XI November 2014, 15.

    40

    Lih. Purnomo, Merajut Persaudaraan…., 9-17.

  • 27

    Dasar dokumenter bagi persaudaraan sejati antaragama dan ekumenis dapat ditemukan

    dalam beberapa dokumen. Pertama dalam Nostra Aetate yang berisikan pernyataan tentang

    hubungan gereja (katolik) dengan agama non-kristiani. Kedua, Lumen Gentium yang merupakan

    konstitusi dogmatis tentang gereja. Sedangkan, dasar dokumenter bagi persaudaraan sejati

    ekumenis adalah Lumen Gentium dan Orientalium Ecclesssiarum yang berisi dekrit tentang

    gereja-gereja timur katolik serta Unitatis Redintegratio tentang ekumenisme. Selain itu, juga

    ada Dignitatis Humanae (DH) yang berisi tentang kebebasan beragama dan menjunjung anti-

    diskriminasi agama. Bahkan menurut DH, persaudaraan sejati dan kebebasan bergama tidak

    bertentangan (DH 14).

    Bab 2 berbicara tentang dialog antariman atau dialog antaragama. Mengenai hal ini

    sudah sedikit dibahas pada bab 3 tulisan ini. Dialog antaragama dilakukan dengan agama lain

    yang non-kristiani, misalnya dengan orang yang beragama Islam, Hindu, Budha, Konghuchu,

    dan bahkan dengan orang yang tidak beragama sekalipun. Berbeda dengan itu, dialog ekumene

    dilakukan dengan agama yang percaya Yesus sebagai Kristus (ortodoks, protestan dan anglikan).

    Pembahasannya terdapat dalam bab 3. Dua bab terakhir, bab 4 dan bab 5 berturut-turut

    membahas hal ihwal tentang dialog antaragama dan merajut persaudaraan sejati di KAS.

    Hubungan antara Gereja Katolik KAS dengan gereja lain dan agama lain ditangani secara khusus

    oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan.

    Adapun HAK KAS memiliki visi untuk menjamin terlaksananya penyadaran umat agar

    siap membangun dialog dan kerja sama dalam hidup masyarakat yang majemuk dan

    meningkatkan proses dialog antaragama serta kepercayaan, entah itu dalam bentuk dialog

    hidup, karya, antarpakar, maupun berbagi pengalaman religius. Sedangkan, misinya adalah

    menjadi inspirator, animator, komunikator, motivator, dan mediator.41

    Perealisasian visi dan misi dilakukan melalui program tahunan. Program itu bisa dalam

    bentuk praksis dialog, kerja sama dan persaudaraan sejati melalui dialog hidup, karya, teologis,

    dan silahturahmi. Program HAK KAS juga dilaksanakan dalam rangka formatio iman, katekese,

    dan pencerdasan umat katolik dan masyarakat dalam rangka melek agama lain atau perpaduan

    41 Ibid., 71-72.

  • 28

    di antara keduanya. Beberapa program HAK KAS yang sudah terealisasikan, pertama, dalam

    rangka dialog, hidup, karya, teologis dan silahturahmi, adalah kunjungan personal maupun

    komunal tokoh-tokoh lintas agama. Kedua, dalam rangka formatio iman dan katekese, HAK KAS

    menyelenggarakan bebarapa kegiatan rutin, misalnya Temu Kebatinan (Tebat). Terakhir, dalam

    rangka ekumene, sejak 2009 mengadakan acara tahunan yang bernama Pekan Doa Sedunia

    (PDS) pada tanggal 18-25 Januari.42 Akhirnya berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut,

    Gereja Katolik KAS memberanikan diri untuk mengadakan dialog antaragama yang unik di

    Indonesia, bahkan di dunia, karena bukan saja menghadirkan perwakilan dari berbagai agama,

    tetapi juga dari kalangan penganut aliran kepercayaan (agama suku).43 Hal ini dapat dilihat dari

    narasumber yang diundang.

    Ada 10 orang narasumber yang diundang dalam kongres yang dipusatkan di Kompleks

    SMA PL van Lith dan Lapangan Pemda Muntilan itu, yakni sebagai berikut: Johannes

    Pujasumarta (Katolik), Abdis Martha E. Driscoll (Katolik), Buya Syafii Maarif (Islam), Ibu Shinta

    Nuriyah Wahid (Islam), KH Abu Hapsin (Islam), Bikkhu Sri Pannyavaro Mahathera (Budha), Elga

    Sarapung (Kristen Protestan), I Wayan Sumerta (Hindu), Indriani Hadi Sumarto (Konghuchu),

    dan Gunretno (Sedulur Sikep atau ‘Agama Adam’).

    Materi yang dipresentasikan oleh para pembicara adalah pandangan agamanya masing -

    masing tentang bagaimana “membangun persaudaraan sejati di atas dasar pengalaman

    religius”. Berikut intisari pandangan mereka masing-masing: Johannes Pujasumarta

    mengatakan untuk membangun persaudaraan sejati kita harus mampu menerima perbedaaan,

    tidak ingin berkonflik, berperang ataupun bertikai. Toleransi dibangun dengan sikap kasih dan

    hormat. Narasumber lain dari katolik, Abdis Martha E. Driscoll, menekankan perlunya saling

    memperhatikan dan menghargai, damai, rukun, harmonis dengan sesama, alam dan dengan

    Allah. Dari Kristen Protestan, Elga Sarapung menekankan kerja sama untuk membela bangsa

    kita secara utuh dan non-primordial dengan cara bergaul, berdialog dan saling menghormati.

    Dari Islam, Shinta Nuriyah Wahid (Nahdatul Ulama) mengatakan perlunya saling menghormati,

    42

    Ibid., 72-77. 43

    Lukas A. Kristanto (red.), “Kongres Persaudaraan….,” 15.

  • 29

    menghargai konstitusi negara, dan berempati kepada orang lain. Sedangkan, Buya Syafii Maarif

    (Muhammadiyah) mengatakan persatuan umat manusia dan prinsip keadilan universal harus

    ditegakkan. Selain itu, Abu Hapsin (PWNU Jateng) memberi perhatian pada dorongan hati

    nurani dan penanaman nilai persaudaraan. Berikutnya dari Hindu, I Wayan Sumerta

    menekankan cinta kasih yang tulus. Indriani Hadi Sumarto dari Konghuchu mengatakan

    “tegakkan iman dahulu, kemudian tata penampilan, tutur kata dan bersikap jujur.” Bikkhu Sri

    Pannyavaro Mahathera dari Budha menekankan perlunya cinta kasih, penciptaan kebahagiaan

    bersama dan tigak egois. Terakhir, Gunretno dari Sedulur Sikep atau “Agama Adam”

    menegaskan adanya tujuan bersama manusia untuk hidup rukun.Intisari di atas tidak

    disediakan begitu saja oleh ajaran dogma agama partikular masing-masing, tetapi harus melalui

    penafsiran dan pemahaman yang mendalam untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa

    umum yang dapat dipahami oleh semua orang.

    Penerjemahan bahasa partikular keagamaan ke dalam bahasa umum dapat dilihat pada

    tulisan Pujasumarta, Shinta Wahid dan Sumarto. Pujasumarta mengutip perkataan Yesus,

    “Siapa yang melakukan kehendak Allah, dialah ibu-Ku, dialah saudari-Ku, dialah saudara-Ku”.

    Teks tersebut diterjemahkan menjadi persaudaraan tanpa ikatan “darah”.44 Shinta Nuriyah

    Wahid mengutip etika persaudaraan Islam Nusantara yakni, ukhuwah Islamiyah, ukhuwah

    wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah/ insaniyah. Ketiga konsep tersebut diterjemahkan

    berturut-turut menjadi persaudaraan antarsesama umat Islam, persaudaraan sesama warga

    negara dan persaudaraan antarsesama manusia. Indriani Hadi Sumarto mengutip konsep

    tepaselira yang diterjemahkan menjadi jangan melakukan apa yang kita tidak ingin orang lain

    lakukan kepada kita, tetapi lakukan apa yang kita harapkan orang lain lakukan juga terhadap

    kita. Setelah menerima berbagai materi yang dibawakan para narasumber, peserta diajak untuk

    melakukan “penegasan bersama”.

    Penegasan bersama berupa refleksi terhadap kongres dan komitmen yang akan

    dilakukan pasca kongres. Peserta dibagi ke dalam empat kelompok besar berdasarkan wilayah

    kavikepan Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang. Ada tiga butir aspirasi peserta yang

    44

    Ibid., 24-26.

  • 30

    diserap oleh panitia. Pertama, peserta merasa bersyukur, bahagia, dan boleh ikut serta aktif di

    dalamnya. Kedua, sebagian peserta ingin dan rindu kongres seperti ini bisa dilaksanakan setiap

    tahun, syukur bila secara nasional. Ketiga, mereka pun ingin terus mengembangkan diri dalam

    proses dialog dan mewartakannya sebagai bagian dari iman. Menurut penulis, aspirasi tersebut

    di atas masih terlalu dangkal dan belum menjawab persoalan kehidupan beragama yang lebih

    luas, misalnya membuat kesepakatan untuk memelihara toleransi, solidaritas, membangun

    kerja sama dalam berbagai bidang, menghargai perbedaan, memberi sumbangan pemikiran

    kepada pemerintah dalam membuat undang-undang tentang kehidupan beragama, termasuk

    tentang agama kepercayaan (misalnya Sedulur Sikep), dan lain-lain. Aspirasi-aspirasi tersebut

    kemudian dirumuskan dalam sebuah deklarasi yang dikenal dengan “Deklarasi Muntilan”.

    Isi Deklarasi Muntilan adalah sebagai berikut: (1) Kami peserta Kongres Persaudaraan

    Sejati Lintas Iman di Muntilan sungguh bersyukur karena kami boleh mengalami perjumpaan

    yang indah, pembelajaran lintas iman, sharing lintas iman dalam persaudaraan yang penuh

    semangat berbagi kebahagiaan dan damai. (2) Para narasumber meneguhkan kami bahwa

    persaudaraan sejati adalah mimpi dan cita-cita yang menjadi kerinduan hidup setiap orang

    beriman. Karena itu kami sadar bahwa beragama dan menganut kepercayaan saja belum

    cukup. Kami harus menjadi semakin beriman yang melampaui perbedaan dan bersatu dalam

    semangat kebangsaan, membangun Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika. (3) Untuk

    membulatkan semangat kebangsaan tersebut, kami akan terus belajar memahami dan

    mengamalkan ajaran agama dan kepercayaan kami masing-masing. Kami juga akan melengkapi

    diri dengan menggiatkan dialog, baik dialog karya, dialog ajaran, maupun dialog iman dengan

    saudara-saudari lintas iman agar kehidupan ini menjadi semakin genap dan lengkap. (4) Kami

    akan meneruskan kabar baik ini dikeluarga, lingkungan tempat asal, tempat karya, komunitas

    agama dan kepercayaan kami masing-masing dan akan terus melanjutkan jejaring relasi lintas

    iman yang telah terbentuk dalam Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman ini.45

    Ternyata semangat agama anti-kekerasan yang terwujud dalam aktivitas persahabatan

    seperti yang diandaikan oleh Aristoteles dan Hume terealisasi dalam kongres di Muntilan.

    45

    Ibid., 17.

  • 31

    Setiap doktrin religius partikular yang dibicarakan menuntut untuk saling peduli dan

    menghormati diantara agama, termasuk diantara para peserta kongres atau diskursus tersebut.

    Tetapi, apakah dengan demikian kongres tersebut sudah sejalan dengan etika diskursus

    Habermas?

    4. Tinjauan terhadap praksis dialog antaragama di Muntilan dari perspektif etika diskursus

    Habermas.

    Pada bagian awal tulisan ini (bab 1) kita telah melihat bagaimana kebuntuan yang dihadapi oleh

    teologi agama-agama dalam menanggulangi pluralitas. Ada dua kelemahan yang dikutip

    penulis, yaitu eksklusi yang dilakukan salah satu paham terhadap paham lain dan kurangnya

    dorongan terhadap dialog antaragama. Pemecahan masalah pluralitas, khususnya pluralitas

    keagamaan, juga coba diselesaikan oleh pemerintah (negara).

    Pada tahun 1960-an dan 1979 pemerintah Indonesia mengadakan dialog antaragama.

    Akan tetapi, dialog itu hanya bertujuan untuk menciptakan situasi negara yang kondusif.

    Lagipula yang hadir dalam dialog tersebut hanya tokoh-tokoh agama. Dapat dikatakan bahwa

    dialog-dialog tersebut belum sejalan dengan etika diskursus karena masih merupakan tindakan

    instrumental pemerintah. Dialog yang sesuai dengan cita-cita etika diskursus kemudian coba

    diakomodir oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang

    (HAK KAS) dengan mengadakan Kongres Persaudaraan Sejati.

    Kongres Persaudaraan Sejati dilaksanakan di Muntilan. Sebagian besar peserta kongres

    berasal dari masyarakat akar rumput dan dilakukan tanpa mengekslusi pihak lain. Buktinya

    dapat dilihat pada aspirasi peserta yang dikumpulkan dalam sesi “Penegasan Bersama” dan

    kemudian dirumuskan oleh panitia menjadi “Deklarasi Muntilan”. Apakah kongres tersebut

    sudah sejalan dengan etika diskursus? Menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita

    harus mencari tahu adakah perbedaan dan kesamaan diantara keduanya.

    Sedikitnya, ada dua perbedaan antara etika diskursus dengan dengan Kongres

    Persaudaraan Sejati di Muntilan. Pertama, konsensus di Muntilan belum memberi sumbangan

  • 32

    bagi pemerintah melalui demokrasi deliberatif. Konsensus yang dihasilkan hanya oleh dan

    untuk peserta diskursus tersebut saja, tidak kemudian secara vertikal menjadi masukkan bagi

    pemerintah untuk membuat undang-undang yang mengatur kehidupan beragama di Indonesia.

    Padahal menurut penulis, hal itu penting mengingat pembuatan undang-undang masih

    dilakukan secara monologis oleh pemerintah.

    Kedua, panitia merangkum opini-opini dari sesi “Penegasan Bersama” sebagai apa yang

    dikehendaki umum. Pada sesi tersebut peserta dibagi ke dalam empat kelompok besar

    berdasarkan wilayah kavikepan dari Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang dengan tujuan

    dapat menampung aspirasi dan kontribusi sesuai dengan konteks masing-masing wilayah

    kavikepan tersebut. Namun, panitia kemudian langsung merumuskan dan membacakan

    “Deklarasi Muntilan” tanpa dicek kembali persetujuannya oleh para peserta kongres. Disini

    terjadi pelanggaran terhadap etika diskursus karena yang partikular, yaitu aspirasi tiap

    kavikepan, dianggap sebagai yang umum tanpa ada pengecekan kembali. Jika pada akhirnya

    semua aspirasi tersebut dirangkum menjadi satu, pada sesi “Penegasan Bersama” tidak usah

    dibagi ke dalam empat kelompok. Justru panitia sudah melenceng dari tujuan sesi “Penegasan

    Bersama”, yaitu untuk menyediakan deklarasi” yang kontekstual. Selain perbedaan, ada juga

    kesamaan antara Kongres di Muntilan dengan etika diskursus Habermas.

    Kesamaan pertama, secara substantif diskursus di Muntilan memprioritaskan “Yang

    Moral” daripada “Yang Etis”. Meskipun narasumber membicarakan apa “Yang Etis” dari masing-

    masing agamanya, tetapi pembicaraan tersebut dalam rangka untuk ditransformasi ke “Yang

    Moral”. Doktrin religius partikular masing-masing agama yang diterjemahkan ke dalam bahasa

    yang lebih umum mampu menjadi “Yang Moral” karena semua agama berbicara mengenai

    cinta kasih dan penghargaan terhadap agama lain.

    Kedua, etika diskursus dengan Kongres di Muntilan, yaitu diskursus yang berjalan

    dengan adil dan bebas. Adil artinya setiap peserta tanpa terkecuali mempunyai kesempatan

    yang sama dengan peserta lain untuk menyampaikan aspirasi atau opininya, sedangkan bebas

    berarti di dalam maupun di luar diskursus setiap peserta tidak mendapatkan intervensi dari

    pihak lain. Cita-cita Habermas ini terwujud dalam kongres yang dilakukan dengan suasana

  • 33

    kekeluargaan tersebut. Semua peserta dapat berbicara dan diperlakukan dengan adil dan bebas

    tanpa mendapat perlakuan diskriminatif di dalam dan di luar diskursus.

    Ketiga, konsep persaudaraan sejati mirip dengan konsep persahabatan menurut

    Habermas. Riyanto mengatakan, “persaudaran sejati adalah pembangunan iman yang

    merangkul melalui konsepsi agama anti kekerasan. Selain itu, konsep persaudaraan sejati

    memiliki imperatif konsekuensi bahwa subjek-subjek manusia yang beragama harus pula berani

    menggagas persaudaraan sejati atau aktivitas persahabatan. Dialog yang sejati adalah dialog

    pada dataran diantara para sahabat”.46 Sedangkan, Habermas mengatakan persahabatan itu

    amat mempesonakan karena dalam persahabatan biasanya orang saling menjaga, peduli satu

    sama lain, berbagi kegembiraan dan kesulitan bersama. Konteks dunia kehidupan (Lebenswelt)

    sangat memungkinkan persahabatan karena kepenuhan manusia ada justru dalam

    hubungannya dengan yang lain.47 Jadi, konsep “persahabatan” dan “persaudaraan sejati” saling

    bersinergi satu dengan yang lain. Kesamaan antara etika diskursus dan Kongres di Muntilan

    dapat dilihat juga dari syarat-syarat untuk proses deliberasi.

    Habermas memberikan syarat-syarat untuk proses deliberasi, yakni penerjemahan,

    saling belajar, ketidakberpihakan, dan tidak membendung aspirasi minoritas. Syarat-syarat

    tersebut memang tidak ditujukan bagi dialog antaragama, tetapi menurut hemat penulis,

    syarat-syarat tersebut dapat diintegrasikan bagi dialog antaragama. Jika diintegrasikan dengan

    dialog antaragama di Muntilan, maka hasilnya seperti berikut.

    Syarat yang pertama menuntut ‘penerjemahan’ kontribusi kelompok-kelompok agama

    dari bahasa religius partikular ke dalam bahasa universal. Keyakinan religius harus dijelaskan

    secara rasional sehingga memiliki ‘status epistemis’ yang dapat diterima oleh para warga

    lainnya. Syarat tersebut terpenuhi ketika para pemateri mempresentasikan materi mereka.

    Intisari setiap materi sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa religius partikular ke

    dalam bahasa yang umum. Materi-materi tersebut diantaranya konsep tepaselira, ukhuwah,

    dan persaudaraan tanpa ikatan darah (bab 3.2.2). Tepaselira diterjemahkan, tindakan kita

    46

    Riyanto, Dialog Interreligius…., 443-447. 47

    Ibid.,449-450.

  • 34

    terhadap orang lain sesuai dengan apa yang kita harapkan dari mereka. Dalam agama Islam,

    ukhuwah Islamiyah diterjemahkan persaudaraan antarsesama umat Islam, ukhuwah

    wathoniyah diterjemahkan persaudaraan sesama warga negara dan ukhuwah basyariyah/

    insaniyah diterjemahkan persaudaraan antarsesama manusia. Dari agama Kristen dan Katolik,

    perkataan Yesus, “Siapa yang melakukan kehendak Allah, dialah ibu-Ku, dialah saudari-Ku,

    dialah saudara-Ku”, diterjemahkan menjadi persaudaraan tanpa ikatan ‘darah’ diantara sesama

    manusia.

    Kedua, menghargai sikap saling belajar supaya terjadi saling pengertian. Menghargai

    disini berarti mau mendengarkan atau bahkan mau menerima argumentasi dari umat beragama

    lainyang dianggap baik. Dalam bahasa Habermas: “paksaan tak memaksa dari argumen yang

    lebih baik”. Hal ini sekaligus menjawab salah satu kelemahan dari teologi agama-agama yang

    mengeklusikan paham atau pihak yang lain. Dalam dialog di Muntilan, sikap saling belajar

    tercipta dalam proses tanya-jawab antara peserta dan narasumber, bahkan di luar forum

    tersebut penulis kira saling belajar masih terjadi. Sikap saling belajar di Muntilan membuahkan

    saling pengertian yang kemudian diamandemenkan dalam “Deklarasi Muntilan.”

    Ketiga, ketidakberpihakkan. Penyelenggara kongres tidak memihak kepada umat

    beragama tertentu, terutama kepada umat Katolik. Aspirasi umat beragama lain tetap

    didengarkan. Selain itu, materi-materi yang dibawakan oleh para narasumber tidak

    memperlihatkan keberpihakan mereka terhadap agamanya sendiri atau terhadap agama lain.

    Mereka berbicara tentang saling mencintai dan menghormati antarumat beragama.

    Keempat, kontribusi–kontribusi kelompok minoritas tidak boleh dibendung. Dalam

    kongres tersebut, bisa dibilang yang mayoritas adalah agama Katolik dan agama Islam karena

    agama Katolik-lah yang mengadakan kongres dan Islam merupakan agama mayoritas di

    Indonesia. Tetapi agama minoritas, seperti agama “Adam” misalnya, tetap didengarkan

    meskipun mereka belum diakui oleh pemerintah sebagai agama yang resmi.

    Berdasarkan perbedaan dan kesamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa kongres

    tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan etika diskursus. Kongres di Muntilan tidak

    seluruhnya sejalan dengan etika diskursus karena tidak memberi sumbangan pada sistem

  • 35

    pemerintahan, deklarasinya kurang menjawab persoalan yang kontekstual dan aspirasinya pun

    terlalu dangkal dan belum menjawab persoalan keagamaan yang umum di Indonesia. Namun,

    setidaknya dialog antaragama di Muntilan sudah lebih baik dari dialog antaragama yang lain

    karena cukup banyak syarat Habermas yang terpenuhi.

    Syarat dari Habermas yang terpenuhi, yaitu secara substantif memprioritaskan “Yang

    Moral” atas “Yang Etis”, berjalan dengan adil dan bebas, konsep persaudaraan sejati mirip

    dengan konsep persahabatan menurut Habermas, dan pemenuhan terhadap syarat proses

    deliberasi, seperti: penerjemahan bahasa religius particular ke bahasa yang umum, sikap saling

    belajar supaya terjadi saling pengertian, tidak berpihak pada siapa pun, dan tidak membendung

    kontribusi kelompok minoritas. Berdasarkan hal tersebut, kongres di Muntilan bisa menjadi

    acuan bagi dialog-dialog antaragama pada kemudian hari dengan terus mengingat bahwa

    kekurangan dari kongres tersebut harus diperbaiki.

    Penutup

    Dalam pluralitas kehidupan sekarang ini kita dituntut untuk memiliki kesadaran hidup bersama

    dengan agama lain. Kita harus beriman cerdas, tangguh dan missioner. 48 Cerdas dalam arti

    mengetahui, mengenal, dan bisa mempertanggungjawabkan iman kita. Tangguh artinya

    mampu memposisikan diri di tengah pluralitas yang ada. Misioner maksudnya mampu bersaksi

    tentang agamanya tetapi tidak untuk menarik orang lain masuk ke dalam agamanya. Kita harus

    menghormati sikap iman orang yang beragama lain.

    Penghormatan terhadap agama lain sangat penting. Sebagaimana yang telah

    disampaikan para narasumber (bab 3.2.2), kita dipanggil untuk saling menghormati,

    menghargai dan bekerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik, bahkan dengan

    orang yang tidak berkehendak baik sekalipun agar mereka semua mengenal kebaikan. Dalam

    rangka itulah, maka persaudaraan sejati dengan semua orang dari berbagai kelompok, agama,

    48

    Purnomo, Merajut Persaudaraan…., 79.

  • 36

    iman, suku, bangsa, dan bahasa menjadi tugas kita bersama. Kita juga melihat kontribusi

    Habermas yang besar terhadap interaksi kehidupan beragama.

    Etika diskursus berupaya untuk membangun suatu keyakinan akan manfaat komunikasi

    dengan menerobos dan melampaui tembok-tembok eksklusivisme agama bukan untuk

    merelatifkan nilai-nilai religius, melainkan untuk mentransformasikan nilai-nilai itu ke dalam

    konteks solidaritas kemanusiaan dalam masyarakat kompleks. Bagaimanapun kelompok-

    kelompok yang berbeda-beda keyakinan ataupun tak berkeyakinan memiliki kepentingan

    rasional yang sama untuk hidup secara damai dalam masyarakat majemuk, maka perlulah suatu

    platform bersama untuk itu. Dalam pendirian Habermas, platform bersama itu adalah konsepsi

    moral tentang keadilan.49 Pandangan Habermas ini mendapat kritik dari postmodernisme.

    Postmodernisme mengkritik universalisasi yang dilakukan oleh Habermas dan filsafat

    modern. Filosof dalam aliran ini di dominasi oleh filosof dari Prancis, mereka diantaranya Jean-

    Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michael Foucault dan lain-lain. Lyotard mengatakan bahwa

    tujuan diskursus bukanlah konsensus, melainkan paralogie (Lyotard, 1979),50 yaitu tidak

    tercapainya kesatuan pemikiran. Hal ini juga yang menjadi tantangan dialog antaragama di

    Indonesia.

    Dissensus bisa selalu menjadi hasil dari dialog antaragama. Apabila kita cermati, para

    narasumber dalam dialog di Muntilan adalah orang-orang yang nasionalis dan berpandangan

    terbuka, barangkali akan lain ceritanya apabila yang hadir kebanyakan dari kalangan radikal dan

    fanatik. Ketidakbijaksanaan dari orang-orang seperti itu akan mempersulit tercapainya

    konsensus, tetapi lebih mudah menghasilkan dissensus. Tantangan ini menjadi pekerjaan

    rumah bersama bagi para pegiat dialog antaragama.

    49 Hardiman, Demokrasi Deliberatif…., 162.

    50

    Magnis-Suseno, Pijar-pijar…., 222.

  • 37

    DAFTAR PUSTAKA

    Buku:

    Hardiman, F. Budi.Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

    ______________. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan

    Postmodernisme Menurut Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2009. Harkamaputra, Hans A. Melepas Bingkai. Jakarta: Grafika Kreasindo 2014.

    Magnis-Suseno, Franz. Etika Abad Kedua Puluh: 12 Teks Kunci. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

    ______________. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

    ______________. Pijar-pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Müller

    ke Postmodernisme.Yogyakarta: Kanisius, 2005. Menoh, Gusti A. B. Agama dalam Ruang Publik: Hubungan antaragama dan Negara dalam

    Masyarakat Postsekular Menurut Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 2015. Purnomo, Aloysius Budi. Merajut Persaudaraan Sejati Lintas Iman:Dewan Karya Pastoral

    Keuskupan Agung Semarang. Yogyakarta: Kanisius, 2014. Riyanto, E Armada. Dialog Interreligius: Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah. Yogyakarta:

    Kanisius, 2010. Sawandani, Sofwan. Mikung: Bertahan dalam Himpita; Kajian masyarakat marjinal di

    Tasikmalaya. Bandung: Akagita, 2001. Sunarko, Adrianus. “Rasionalitas Iman dan Masyarakat Demokratis Kultural,” dalam

    Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia,diedit oleh E. Kristiyantodan William Chang,23-36.Jakarta: Obor, 2014.

    Sutrisnaatmaka, Aloysius M. “Dialog: Tantangan Melawan Penyeragaman dan Pemaksaan

    Kehendak.” dalam Multikulturalisme: Kekayaan dan Tantangannya di Indonesia,diedit oleh E. Kristiyantodan William Chang,47-72.Jakarta: Obor, 2014.

    Titaley, John A. Religiositas di AlineaTiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-

    agama. Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013. Majalah:

    Tristanto, Awi Lukas (redaktur).“Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman.”Majalah Bulanan Kristiani: Insipirasi, Lentera yang Membebaskan. Nomor 123 Tahun XI November 2014

    Website:

    Cholil,Suhadi dkk. “Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009,” Center for Religious & Cross-cultural Studies (Januari 2010): 13, diakses July 15, 2015, http://crcs.ugm.ac.id/get/Gntt

    http://crcs.ugm.ac.id/get/Gntt