d0214055.doc · web viewliliweri berpendapat bahwa hubungan dan komunikasi antaragama dapat...

28
JURNAL KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI PASANGAN KEKASIH BEDA AGAMA DALAM PENGEMBANGAN HUBUNGAN SAMPAI PADA JENJANG PERNIKAHAN Disusun Oleh: Maria Fransiska Larasati D0214055 Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

Upload: others

Post on 05-Feb-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

JURNAL

KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI PASANGAN KEKASIH BEDA AGAMA DALAM PENGEMBANGAN HUBUNGAN SAMPAI PADA JENJANG PERNIKAHAN

Disusun Oleh:

Maria Fransiska Larasati

D0214055

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai

Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Program Studi Ilmu Komunikasi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2018

KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI PASANGAN KEKASIH BEDA AGAMA DALAM PENGEMBANGAN HUBUNGAN SAMPAI PADA JENJANG PERNIKAHAN

Maria Fransiska Larasati

Ign. Agung Satyawan

Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

Having a relationship as a lover of different religions is a challenge for them to continue their relationship to the marriage level. The number of contradictions in interfaith marriages such as the Law on Marriage which apply in Indonesia today and the prohibition on marriage of different religions according to religious teachings make love of different religions considered taboo in the social environment of Indonesian society. For this reason, effective interpersonal communication is needed to achieve marriage goals. By using the Social Penetration Theory and the Coordinated Management of Meaning approach on intercultural communication, this study aims to find out how the development stage of the relationship that occurs in interfaith lovers until marriage. This research is a qualitative descriptive study with data collection using interview techniques to three couples who successfully interfaith marriage. The results show that interfaith couples use stages in Social Penetration Theory, namely: orientation stage - affective exploratory exchange stage - affective exchange stage - stable exchange stage. In each stage there is a communication process carried out until finally interfaith marriage.

Keyword: interfaith lovers, interfaith marriages, developing relationship, interpersonal communication

Pendahuluan

Indonesia adalah negara majemuk dengan beragam suku, agama dan ras. Karenanya dalam kehidupan sehari-hari, kita akan menjumpai orang lain yang berbeda latar belakang tersebut. Hal ini juga dapat terjadi pada hubungan percintaan. Walaupun setiap orang pada umumnya ingin memiliki kekasih dengan orang yang memiliki latar belakang yang sama agar mudah diterima oleh keluarga, tetapi pada kenyataannya banyak ditemukan pasangan kekasih dengan perbedaan latar belakang yang masih menjalani hubungannya hingga saat ini.

    Indonesia adalah negara yang memiliki ideologi Pancasila. Tertera dalam Pancasila sila pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Indonesia adalah negara yang mengakui adanya Tuhan. Di Indonesia telah diakui 6 agama yang boleh dianut oleh rakyat Indonesia, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

    Dengan adanya 6 agama yang diakui di Indonesia, maka tidak menutup kemungkinan bahwa ada pasangan kekasih dapat menganut agama yang berbeda. Meskipun di Indonesia melarang adanya pernikahan beda agama dengan disahkannya Undang-undang Tentang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 1, tetapi pasangan kekasih yang berbeda agama masih dapat ditemukan di lingkungan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya suami istri yang menikah beda agama, yang lazimnya sebelum menikah mereka adalah pasangan kekasih. Memang tujuan dari masa penjajakan dari menjalin kasih antara pasangan adalah harapan untuk menikah dan hidup bersama selamanya, yang tentunya juga menjadi harapan bagi pasangan kekasih yang berbeda agama, walaupun akan menuai banyak pro dan kontra.

    Ahmad Nurcholish, aktivis LSM Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP) yang dikenal juga sebagai pendamping dan penasihat pasangan beda agama di dalam wawancara khusus dengan BBC Indonesia menjelaskan bahwa sejak tahun 2004 hingga 2012 tercatat sudah mencapai lebih dari seribu pasangan beda agama yang melakukan konseling. Nurcholis melalui organisasi Pusat Studi Agama dan Perdamaian juga telah membantu menikahkan sedikitnya 638 pasangan beda agama di seluruh Indonesia terhitung hingga Juni 2015 (http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/06/150629_bincang_juni2015_nurcholish; diakses tanggal 27 Juni 2018).

 Alasan banyaknya pertentangan dalam pernikahan beda agama di Indonesia selain UU Perkawinan adalah ajaran agama yang melarang pernikahan beda agama. Dari 6 agama yang diakui di Indonesia, semuanya menganjurkan untuk tidak menikah beda agama. Bahkan ada ajaran agama yang sangat menentang adanya pernikahan beda agama, dan jika melakukan pernikahan beda agama akan mendapatkan konsekuensi sesuai dengan ajaran agama yang dianut.

Dalam lingkungan sosial masyarakat Indonesia, menjalin hubungan cinta beda agama dianggap tabu oleh sebagian masyarakat. Jika kemudian terdapat pasangan kekasih yang berbeda agama maka dapat dikatakan hal tersebut adalah sebuah fenomena karena berada di luar kebiasaan masyarakat pada umumnya. Menjalin hubungan cinta beda agama tentunya juga disikapi dan dipandang berbeda oleh tiap lingkungan sosial masyarakat Indonesia, tergantung pandangan setiap orang terhadap agama yang dianutnya.

Komunikasi yang baik menjadi hal yang sangat penting yang harus dilakukan dalam sebuah hubungan, untuk menghindari terjadinya konflik dan kesalahpahaman antara kedua belah pihak. Semakin banyak kesalahpahaman yang terjadi tanpa ada komunikasi yang baik dapat berakibat pada makin renggangnya sebuah hubungan. Untuk itu diperlukan adanya teknik komunikasi yang efektif. Berkomunikasi efektif berarti bahwa komunikator dan komunikan sama-sama memiliki pengertian yang sama tentang suatu pesan.

Dengan adanya komunikasi yang efektif pada pasangan kekasih beda agama, maka akan tercipta saling terbuka akan persoalan dan permasalahan yang ada pada diri masing-masing, termasuk masalah perbedaan agama yang mereka hadapi. Dengan komunikasi yang terbuka, diharapkan segala persoalan dapat dicari jalan keluarnya. Adanya komunikasi yang terbuka juga kejujuran dan sikap apa adanya yang ditunjukkan pada pasangannya akan berdampak positif yaitu semakin mengenal pribadi masing-masing pasangan, mengetahui kelebihan dan kekurangan serta semakin tumbuh rasa toleransi dan komitmen antar pasangan.

Dalam hubungan percintaan, dalam setiap pasangan akan tercipta komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) yaitu komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain atau pasangan secara langsung, baik secara verbal atau non-verbal. Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi adalah komunikasi diadik (dyadic communication) yang melibatkan hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya (Mulyana, 2004: 73).

Komunikasi antar pribadi tidak hanya digunakan untuk memulai suatu hubungan baru dengan orang lain, tetapi juga untuk mempertahankan hubungan baik yang telah terjalin, serta mengatasi dan menyelesaikan konflik yang dapat mengancam suatu hubungan yang telah berjalan dengan harmonis.

Pengembangan hubungan yang terbentuk dari adanya komunikasi antar pribadi akan menghasilkan kedekatan yang mengarah pada tahapan pengembangan suatu hubungan antar pribadi pada manusia, seperti adanya interaksi kontak, keterlibatan, dan keakraban dalam suatu hubungan sehingga berada pada tahap menjadi teman, sahabat ataupun membina hubungan yang lebih intim untuk menjadi sepasang kekasih (De Vito, 1997: 234).

Tidak mudah bagi pasangan kekasih yang berbeda agama untuk memelihara komunikasi interpersonal mereka karena agama yang dianut oleh setiap orang akan memengaruhi pandangan, tingkah laku dan kebiasaan seseorang. Dalam menjalani hubungan dengan pasangan yang berbeda agama, akan terjadi culture shock atau adaptasi budaya. Terdapat pandangan dan kebiasaan-kebiasaan tidak biasa yang dilakukan oleh pasangannya dan umumnya pasangan yang berbeda agama masih belum paham dengan pandangan dan kebiasaan tersebut. Oleh karena itu, adanya komunikasi yang efektif akan sangat membantu para pasangan untuk  saling memahami sehingga hubungan akan menjadi langgeng.

Selain hubungan antarpribadi yang harus dijaga oleh pasangan kekasih beda agama, komunikasi dengan orang lain yang terlibat juga dibutuhkan untuk dapat membawa hubungan ini pada jenjang yang lebih serius yakni pernikahan. Pernikahan bukan hanya menyatukan dua individu saja, tetapi juga menyatukan dua keluarga yang berbeda. Tentunya dari pihak masing-masing keluarga akan banyak pertimbangan untuk merestui hubungan tersebut ke dalam ikatan pernikahan. Dibutuhkan toleransi yang amat besar bagi masing-masing keluarga pasangan untuk menerima pernikahan beda agama.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah :

Bagaimana proses komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh pasangan kekasih beda agama dalam pengembangan hubungan hingga sampai ke jenjang pernikahan?

Landasan Teori

1. Komunikasi Interpersonal

Apabila prediksi mengenai hasil komunikasi terutama didasarkan pada tingkat analisis kultural dan sosiologis, maka komunikator terlibat dalam komunikasi non-antarpribadi. Apabila prediksi terutama didasarkan pada tingkat analisis psikologis, maka komunikator terlibat dalam komunikasi antarpribadi.  Pada tingkatan antarpribadi, prediksi dengan dasar psikologis tentang hasil komunikasi dapat disamakan dengan pembedaan rangsangan atau stimulus discrimination. Seseorang melakukan prediksi dengan mencari perbedaan-perbedaan yang relevan pada komunikator lainnya. Komunikasi antarpribadi sering dilakukan pada orang terdekat yang memiliki ikatan secara psikologis.

Pada hubungan komunikasi antarpribadi, para komunikator membuat prediksi terhadap satu sama lain atas dasar data psikologis. Masing-masing mencoba mengerti bagaimana pihak lainnya bertindak sebagai individu, tidak seperti pada hubungan kultural dan sosiologis. Rentangan perilaku komunikasi yang dibolehkan menjadi sangat berbeda dibandingkan dengan rentangan perilaku komunikasi yang dibolehkan pada situasi non-antarpribadi. Pilihan pribadi dapat secara bebas dilaksanakan dalam pengembangan hubungan. Contoh mengenai hubungan komunikasi antarpribadi meliputi sahabat dan kebanyakan suami istri. Dalam situasi seperti ini, para komunikator memiliki banyak informasi mengenai keinginan, kebutuhan, dan nilai-nilai pribadi satu sama lain serta dapat mengembangkan gaya komunikasi yang cocok bagi kedua belah pihak (Budyatna & Ganiem, 2011: 10).

Richard L. Weaver II (1993) menyebutkan karakteristik-karakteristik komunikasi antarpribadi. Menurutnya terdapat delapan karakteristik dalam komunikasi antarpribadi, yaitu (Budyatna & Ganiem, 2011: 16) :

. Melibatkan paling sedikit dua orang.

a. Adanya umpan balik atau feedback.

b. Tidak harus tatap muka (dapat melalui media).

c. Tidak harus bertujuan. Komunikasi antarpribadi tidak harus selalu disengaja atau dengan kesadaran.

d. Menghasilkan beberapa pengaruh atau efek.

e. Tidak harus melibatkan atau menggunakan kata-kata, dapat menggunakan komunikasi nonverbal.

f. Dipengaruhi oleh konteks

Konteks merupakan tempat di mana pertemuan komunikasi terjadi termasuk apa yang mendahului dan mengikuti apa yang dikatakan (Verderber et al., 2007). Konteks memengaruhi harapan-harapan para partisipan, makna yang diperoleh para partisipan, dan perilaku mereka selanjutnya. Konteks meliputi jasmaniah, sosial, historis, psikologis, dan keadaan.

h. Dipengaruhi oleh kegaduhan atau noise

Kegaduhan atau noise ialah setiap rangsangan atau stimulus yang mengganggu dalam proses pembuatan pesan. Kegaduhan/kebisingan atau noise dapat bersifat eksternal, internal atau sematik.

2. Komunikasi Antarbudaya

Setiap terjadi tindak komunikasi dimana para partisipan berbeda latar belakang budayanya disebut sebagai komunikasi antarbudaya. Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi bagaimana menjajagi makna, pola-pola tindakan, juga tentang bagaimana makna dan pola-pola itu diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi antarmanusia (Liliweri, 2009: 10).

Asumsi sebuah teori komunikasi antarbudaya merupakan seperangkat pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang valid tempat di mana teori-teori komunikasi antarbudaya itu dapat diterapkan. Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu (Liliweri, 2009: 15) :

a. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan

b. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi

c. Gaya personal memengaruhi komunikasi antarpribadi

d. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian

e. Komunikasi berpusat pada kebudayaan

f. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya

3. Hubungan Antaragama Sebagai Komunikasi Antarbudaya

Menurut Liliweri, agama adalah sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat yang menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Berdasarkan pengertian itu, agama sebagai suatu keyakinan yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat menjadi norma dan nilai yang diyakini, dipercayai, diimani sebagai suatu referensi, karena norma dan nilai itu mempunyai fungsi-fungsi tertentu (Liliweri, 2011: 254).

Terdapat dua fungsi agama yang dipaparkan oleh Liliweri, yakni (Liliweri, 2011: 255) :

a. Fungsi Manifes

    Fungsi manifes agama mencakup tiga aspek, yaitu: (1) menanamkan pola keyakinan yang disebut doktrin, yang menentukan sifat hubungan antarmanusia, dan manusia dengan Tuhan; (2) ritual yang melambangkan doktrin dan mengingatkan manusia pada doktrin tersebut, dan (3) seperangkat norma perilaku yang konsisten dengan doktrin tersebut.

b. Fungsi Laten

    Fungsi laten adalah fungsi-fungsi yang tersembunyi dan bersifat tertutup. Fungsi ini dapat menciptakan konflik hubungan antarpribadi, baik dengan sesama anggota kelompok agama maupun dengan kelompok lain. Fungsi laten mempunyai kekuatan untuk menciptakan perasaan etnosentrisme dan superioritas yang pada gilirannya melahirkan fanatisme. Fungsi ini pun tetap diajarkan kepada anggota agama dan kelompok keagamaaan untuk membantu mereka mempertahankan dan menunjukkan ciri agama, bahkan menetapkan status sosial.

E.2.3. Hubungan Antaragama

Liliweri berpendapat bahwa hubungan dan komunikasi antaragama dapat ditinjau dari dua dimensi, yakni (Liliweri, 2011: 257) :

1. Pemahaman bersama antara semua pihak yang berhubungan dan berkomunikasi tentang tema tugas dan fungsi universal dari internal agama.

. Fungsi Edukatif. Setiap agama berfungsi mengajarkan nilai dan norma religious yang abstrak dan membimbing para pemeluknya untuk melaksanakan praktik-praktik kehidupan yang sesuai dengan ajaran tersebut.

a. Fungsi Penyelamatan. Setiap agama mengajarkan kepada semua umat manusia tentang keselamatan di dunia dan di akhirat.

b. Fungsi Pengawasan Sosial. Bentuk pengawasan sosial seperti mengajarkan cara untuk mentaati nilai dan norma dan kritik terhadap golongan sosial atau pemerintah yang sedang berkuasa.

c. Fungsi Memupuk Persaudaraan.

d. Fungsi Transformatif, yaitu agama mewariskan nilai-nilai baru kepada masyarakat misalnya melalui inkulturasi yang proses penerapannya melalui pemanfaatan mimbar atau uraian perikop kitab suci sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lain-lain.

2. Penampilan atau atraksi nilai dan norma serta ajaran agama-agama yang dapat dilihat melalui perilaku para pemeluknya. Hal tersebut pun tergantung atas dua hal, yakni tampilan ajaran agama melalui perilaku para pemeluknya dan faktor mereka yang mempersepsi hubungan tersebut.

Faktor Pribadi

( Faktor Agama

Yang mempersepsi ( Yang dipersepsi

Faktor yang Berpersepsi (Statis dan Dinamis)

  Disebut statis apabila persepsi terhadap suatu agama atau kelompok keagamaan itu relatif tidak berubah meskipun kondisi orang yang mempersepsi (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan) dan lingkungan yang mengelilingi agama (mayoritas / minoritas, heterogen / homogen) berubah-ubah.

    Sedangkan sifat dinamis kalau persepsi itu dikaitkan dengan perubahan situasi dan kondisi yang melingkupi orang yang mempersepsi, juga perubahan lingkungan yang mengelilingi agama atau kelompok agama tertentu.

Faktor Agama / Tampilan Para Pemeluk yang Dipersepsi

    Hubungan antaragama pun sangat tergantung dari agama yang dipersepsi, jadi faktor “atraksi” agama yang bersangkutan yang ditunjukkan melalui perilaku para pemeluknya. Ada beberapa faktor yang membentuk atraksi agama lain, yaitu faktor tampilan, kedekatan, peneguhan, kesamaan, komplementer. Manakala agama atau para pemeluk agama lain tampil secara memikat, ada tinngkat dan perasaan dekat dengan para pemeluk agama lain, ada suasana dan perasaan semangat peneguhan, menampilkan kesamaan pandangan terhadap suatu objek atau peristiwa, serta menampilkan perilaku psikomotorik yang bersifat komplementer, akan memengaruhi tingkat dinamika orang yang mempersepsi.

4. Teori Penetrasi Sosial dalam Hubungan Antarpribadi

Teori penetrasi sosial hadir untuk dapat mengidentifikasikan proses peningkatan keintiman dan pengungkapan diri dalam pengembangan suatu hubungan (Budyatna & Ganiem, 2011: 225). West dan Turner menyebutkan bahwa teori penetrasi sosial dibangun dari beberapa asumsi, diantaranya: hubungan-hubungan mengalami kemajuan dari tidak intim menjadi intim, perkembangan hubungan sistematis dan dapat diprediksi, perkembangan hubungan mencakup depenetrasi (penarikan diri) dan disolusi, self-disclosure (pengungkapan diri) adalah inti dari perkembangan hubungan (West & Turner, 2011: 197).

Altman & Taylor (1973) menjelaskan tahap-tahap dari penetrasi sosial, yaitu: tahap orientasi (membuka sedikit demi sedikit), tahap pertukaran penjajakan afektif (memunculkan diri), pertukaran afektif (komitmen dan kenyamanan), dan tahap pertukaran stabil (kejujuran dan keintiman) (Morissan, 2010: 192).

5. Pendekatan Coordinated Management of Meaning / CMM Approach dalam Teori Analisis Interaksi Antarbudaya

Teori Pendekatan Manajemen Koordinasi Makna diperkenalkan oleh Pearce dan Cronen dalam Gundykunst (1983). Pendekatan CMM mengemukakan beberapa argumentasi bahwa (Liliweri, 2011: 65) :

1. Teori CMM mengkhususkan perhatian pada “metapora pesan”. Inti teori CMM mengemukakan bahwa hubungan antara pola-pola komunikasi akan dinilai berkualitas tinggi kalau hubungan itu dilakukan pada konteks hubungan antarpribadi yang dilandasi konsep diri (self concept) atau konsep kebudayaan sendiri (self culture). Asumsinya, semua tindakan menghasilkan konteks dan konteks menghasilkan tindakan. Interaksi harus memuaskan dua pihak dan dampak interaksi harus menghasilkan pemahaman bersama atas makna.

2. Pendekatan CMM mengajukan argumentasi bahwa perilaku relasi manusia ditentukan secara serempak oleh rata-rata tiga faktor: kepraktisan, berdasarkan logika dan alasan “ekonomis”.

Metodologi

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, dengan informan adalah tiga pasangan suami istri beda agama yang sebelum menikah mereka menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih. Mereka menikah pasca diberlakukannya UU Tentang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Masing-masing dari setiap pasangan menganut agama yang berbeda-beda. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis yang digunakan adalah model analisa interaktif. Dalam model analisa interaktif, tiga komponen yakni reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan dilakukan berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus.

Sajian dan Analisis Data

Dalam penelitian ini, peneliti meneliti tiga pasangan suami istri beda agama yang sebelum menikah mereka menjalani masa penjajakan sebagai sepasang kekasih. Tiga pasangan ini memiliki agama yang beragam, seperti pasangan pertama adalah pasangan yang beragama Kristen – Katolik, pasangan kedua adalah pasangan yang beragama Hindu – Kristen dan pasangan ketiga adalah pasangan yang beragama Islam – Katolik.

Proses pengembangan hubungan antar pribadi pada pasangan kekasih beda agama terbentuk dari adanya proses komunikasi antar pribadi yang dilakukan. Komunikasi yang dilakukan terjadi secara alami dan tanpa paksaan yang diawali dari lingkungan yang sama serta munculnya rasa ketertarikan. Komunikasi antar pribadi menjadi jembatan penghubung bagi mereka untuk melakukan proses pengembangan hubungan dari masa pengenalan sampai akhirnya memutuskan menikah beda agama.

Pada proses pengembangan hubungan antar pribadi ini penggunaan teori penetrasi sosial digunakan sebagai analisis peneliti untuk mengetahui bagaimana proses peningkatan keterbukaan dan keintiman yang terjadi antarpasangan. Adapun dalam proses pengembangan hubungan dari tahap pengenalan hingga akhirnya menikah beda agama menggunakan komunikasi antar pribadi.

1. Tahap Orientasi

Tahap pengenalan merupakan tahap pertama dalam proses saling berhubungan dengan orang lain. Proses saling berhubungan ini merupakan proses pertama kali pasangan saling bertemu dan mengenal satu sama lain. Dalam tahap ini, pasangan akan memiliki kesan pertama yang membekas di hati, yang membuatnya ingin terus dekat dan mengetahui lebih dalam mengenai orang tersebut. Mereka akan mencari waktu untuk menghabiskan waktu bersama sebagai sarana untuk saling berinteraksi dan makin mengenal satu dengan lainnya.

Dalam masa pengenalan, mereka akan membahas topik-topik seperti berasal dari mana, apa yang membuatnya bisa berada di tempat ini, menceritakan mengenai garis besar kehidupan mereka dulu, sampai akhirnya mulai membahas tentang kehidupan personal. Di tahap ini, kehidupan personal yang dibahas masih seputar apa yang menjadi favoritnya dan saling berkeluh kesah tentang situasi yang terjadi di sekitar mereka. Dalam tahap ini mereka masih belum berani untuk memulai, biasanya mereka lebih banyak mengamati, dan memulai komunikasi secara perlahan. Mereka akan memanfaatkan setiap pertemuan mereka di tempat mereka bekerja untuk sekedar berbincang.

2. Tahap Pertukaran Penjajakan Afektif

Setelah melalui tahap pengenalan dan mereka merasa cocok satu dengan yang lain, mereka akan masuk pada tahap komitmen. Tahap komitmen ini merupakan tahap setelah mereka sama-sama mengetahui perihal perasaan dari masing-masing pasangan dan bersedia untuk menjalani hubungan sebagai pasangan kekasih. Di dalam interaksi mereka sebagai pasangan kekasih tentu saja mengalami proses untuk saling menyesuaikan dan memahami sifat dan pribadi masing-masing. Di sini akan timbul konflik dan rasa cemburu yang mewarnai hubungan. Ini merupakan tantangan bagi mereka untuk tetap mempertahankan cinta dan menjaga komitmen antar pasangan agar hubungan dapat terus berlanjut.

Dalam prosesnya, mereka akan semakin intens untuk bertemu dan saling berinteraksi. Mereka akan mulai mengisi kegiatan bersama, seperti misalnya menonton film atau sekedar jajan bersama. Kegiatan dan pertemuan dengan pasangan akan semakin rutin dilakukan. Topik yang dibahas pun menjadi lebih beragam dan lebih personal, walaupun mereka masih tetap memiliki privasi masing-masing yang tidak bisa dibagi dengan pasangan.

Untuk menunjukkan rasa perhatian, cinta serta komitmen, mereka akan saling memperhatikan dan menjaga satu dengan yang lain. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku seperti membelikan makanan secara rutin, mengantar jemput pasangan ke tempat tujuan, mengetahui aktivitas sehari-hari pasangan, menjaga perasaan pasangan dengan tidak mendekati lawan jenis lain, membantu pasangan ketika berada dalam kesulitan dan membuat pasangan senang dengan ungkapan yang menunjukkan rasa sayang seperti sering mengajak bercanda atau memuji pasangan.

Dalam mengatasi konflik dan rasa cemburu dalam hubungan, mereka akan mengkomunikasikannya secara terbuka dan jujur. Mereka akan membicarakannya langsung secara tatap muka dengan pasangan, memberi pengertian dan mengungkapkan pemikirannya. Rasa cinta dan saling pengertian akan membuat pasangan untuk mau mendengarkan penjelasan dan mencari penyelesaian yang terbaik demi keberlangsungan hubungan.

3. Tahap Pertukaran Afektif

Setelah mereka semakin yakin dengan hubungan yang mereka jalani, mereka akan masuk pada tahap serius. Di tahap ini, pasangan mulai terbuka mengenai perbedaan agama yang mereka alami serta mulai membahasnya. Mereka akan mempertimbangkan apakah mereka akan memutuskan untuk tetap menjalani hubungan ini atau tidak. Mereka juga akan saling terbuka terhadap perbedaan agama masing-masing dan mulai mengkomunikasikannya kepada pasangan.

Komunikasi yang dilakukan dalam tahap ini adalah mengenalkan kepada masing-masing pasangan dengan pemahaman agama yang dianut satu sama lain. Mereka akan memahami dan mengetahui seberapa besar tingkat keimanan yang dimiliki oleh pasangan mereka, dan mulai saling berkompromi mengenai keyakinan yang akan dianut nantinya setelah menikah. Pasangan juga menjadi semakin paham mengenai kegiatan keagamaan yang dilakukan pasangannya dan akan muncul pemahaman bahwa semua agama mengajarkan kebaikan.

Selanjutnya, pasangan akan saling menyatukan pemahaman mengenai perbedaan agama dari masing-masing pasangan. Mereka akan mengatasi segala bentuk perbedaan yang terjadi karena masalah agama, serta menjaga toleransi dan menekan fanatisme pada agama yang dianut oleh pribadi. Mereka mulai menemukan cara bagaimana membangun interaksi di tengah perbedaan agama agar tercipta kepuasan antara kedua belah pihak. Dalam tahap ini akan ada dialog serta tindakan-tindakan yang dapat memuaskan dan tidak memojokkan agama pasangannya. Contoh dari tindakan itu adalah tidak membatasi ibadah pasangan yang berbeda agama bahkan mendukungnya dengan cara mengingatkan atau mengantarkan ke tempat ibadah. Pada akhirnya, pasangan ini menyepakati untuk tetap menjalin hubungan tanpa mengubah agama masing-masing bahkan sampai pada tahap pernikahannya.

4. Tahap Pertukaran Stabil

Tahap terakhir adalah memutuskan untuk menikah beda agama. Tahap ini merupakan tahap sampai pada keputusan akhir untuk menikah dan mengkomunikasikannya kepada keluarga. Dalam tahap ini akan muncul proses komunikasi dengan keluarga dari kedua belah pihak, memberi pemahaman dan meyakinkan keluarga agar dapat menikahkan mereka. Dalam proses komunikasi yang terjadi, pihak keluarga dan pasangan akan mencari solusi terbaik yang disepakati bersama. Setelah itu, mereka akan membahas mengenai tata cara keagamaan yang akan mereka lakukan dalam pernikahan. Mereka juga sudah mulai menyepakati akan ikut agama siapa ketika nanti memiliki keturunan.

Kesimpulan

Melaksanakan pernikahan beda agama di Indonesia bukanlah suatu hal yang mudah. Butuh pengorbanan dan toleransi yang besar yang harus dilakukan oleh pasangan beda agama untuk mencapai tujuan menuju pernikahan. Selain menyesuaikan diri dengan agama pasangan, para pasangan juga harus menghadapi keluarga mereka agar mendapat persetujuan untuk menikah. Selain itu, hukum yang berlaku saat ini di Indonesia juga melarang pernikahan beda agama.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pengaplikasian teori penetrasi sosial berlaku dalam proses pengembangan hubungan antar pribadi pada pasangan beda agama. Ditemukan hasil bahwa pasangan beda agama menggunakan tahap-tahap dalam teori penetrasi sosial yaitu : tahap orientasi – tahap pertukaran penjajakan afektif – tahap pertukaran afektif – tahap pertukaran stabil. Di dalam setiap tahap terdapat proses komunikasi yang dilakukan sampai akhirnya berhasil menikah beda agama.

Daftar Pustaka

BBC News Indonesia. “Ahmad Nurcholish dan Pernikahan Beda Agama”. http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/06/150629_bincang_juni2015 nurcholish (diakses tanggal 27 Juni 2018).

Budyatna, Muhammad & Ganiem, Leila Mona. (2011). Teori Komunikasi Antar Pribadi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Budyatna, Muhammad. (2015). Teori-Teori Mengenai Komunikasi Antar Pribadi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Bungin, Burhan. (2012). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Cools, Carine. (2009). “Relational Communication in Intercultural Couples” Language and Intercultural Communication. Vol 6, No 3.

Damin, Sudarman. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: CV Pustaka Setia.

DeVito, Joseph A. (2001). The interpersonal communication book (9th edition). Eddison Wesley Longman, Inc.

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar. (2001). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Indahyani. (2013). “Memahami Komunikasi Antarpribadi dalam Pernikahan Beda Agama dalam Upaya Mempertahankan Hubungan yang Harmonis” Jurnal The Messenger. Vol V, No 2.

Liliweri, Alo. (2009). Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Liliweri, Alo. (2011). Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Moleong, Lexy J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Moriizumi, Satoshi. (2011). “Exploring Identity Negotiations: An Analysis of Intercultural     Japanese – U.S. American Families Living in the United States” Family Communication Journal. Vol 11, No     2.

Mulyana, Deddy. (2004). Komunikasi Efektif. Bandung: PT. Rosda Karya.

Mustaqimmah, Nurul. (2015). “Fenomena Komunikasi dalam Pernikahan Beda Agama di Kota Pekanbaru” Jurnal Jom FISIP. Vol 2, No 2.

Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT Lkis.

Purwasito, Andrik. (2015). Komunikasi Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suprapto, Tommy. (2005). Pengantar Teori Komunikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Syam, Nia Kurniati. (2015). “Simbol-simbol dalam Komunikasi Keluarga Beda Agama” Jurnal Mimbar. Vol 31, No 2.

Tili, Tiffany. (2015). “Communication in Intercultural Marriages: Managing Cultural Differences and Conflicts” Southern Communication Journal. Vol 80, No 3.

Vice. “Kata Siapa di Indonesia Tak Bisa Menikah Beda Agama?”. https://www.vice.com/id_id/article/wjpb4q/kata-siapa-di-indonesia-tak-bisa menikah-beda-agama (diakses tanggal 6 Agustus 2018).

19