evaluasi penanganan konflik keagamaan di … fileantaragama dan konflik intra-agama. secara umum,...

21
1 EVALUASI PENANGANAN KONFLIK KEAGAMAAN DI INDONESIA (STUDI KASUS KONFLIK AHMADIYAH DAN RUMAH IBADAT) I. PENDAHULUAN Dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan (sustainable development) difokuskan pada pemenuhan kebutuhan generasi saat ini seoptimal mungkin tidak mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Indonesia berkomitmen mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) 2015-2030 yang berupaya pula meningkatkan kualitas kehidupan sosial, kesejahteraan, menjaga kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. SDGs sendiri terdiri dari 17 tujuan utama dengan 169 target sebagai penyempurnaan Millenium Development Goals (MDGs) 2000-2015. Upaya pencapaian SDGs dalam menigkatkan kualitas kehidupan sosial dan kesejahteraan dapat terkendala bila sering terjadi gesekan atau konflik antar elemen masyararakat. Hal ini tercantum pada tujuan utama ke 16 SDGs yaitu penguatan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua, dan membangun kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan. Penguatan masyarakat yang damai disini dapat dimaknai pengurangan potensi konflik yang terjadi di masyarakat demi mendukung pembangunan berkelanjutan. Secara umum, gesekan atau konflik yang terjadi di masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar yaitu konflik antar etnis dan konflik keagamaan. Contoh konflik berlatarbelakang etnis adalah konflik Sambas dan konflik Sampit. Konflik Sampit di Kalimantan tengah terjadi pada awal tahun 2001 antara suku Dayak asli dengan warga migran Madura yang mengakibatkan 500 orang tewas dan lebih dari 100.000 warga kehilangan tempat tinggal. Konfik etnik tersebut dapat terselesaikan dengan baik melalui upaya penegakan hukum terhadap para pelaku kriminal, rekonsiliasi, dan perdamaian dengan mengedepankan dialog antar tokoh masyarakat dibantu para pemuka agama. Selanjutnya, konflik keagamaan karena sifatnya laten dan cenderung sulit untuk direkonsiliasikan, menjadi tantangan tersendiri dalam menwujudkan ketertiban umum sebagai salah satu prayarat utama dalam mencapai peningkatan kualitas kehidupan sosial dan

Upload: vodieu

Post on 06-Apr-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

EVALUASI PENANGANAN KONFLIK KEAGAMAAN DI INDONESIA

(STUDI KASUS KONFLIK AHMADIYAH DAN RUMAH IBADAT)

I. PENDAHULUAN

Dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, upaya pencapaian

pembangunan berkelanjutan (sustainable development) difokuskan pada pemenuhan

kebutuhan generasi saat ini seoptimal mungkin tidak mengorbankan pemenuhan kebutuhan

generasi yang akan datang. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Indonesia berkomitmen

mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) 2015-2030 yang berupaya pula

meningkatkan kualitas kehidupan sosial, kesejahteraan, menjaga kualitas kehidupan dari satu

generasi ke generasi berikutnya. SDGs sendiri terdiri dari 17 tujuan utama dengan 169 target

sebagai penyempurnaan Millenium Development Goals (MDGs) 2000-2015.

Upaya pencapaian SDGs dalam menigkatkan kualitas kehidupan sosial dan kesejahteraan dapat

terkendala bila sering terjadi gesekan atau konflik antar elemen masyararakat. Hal ini

tercantum pada tujuan utama ke 16 SDGs yaitu penguatan masyarakat yang inklusif dan

damai untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua, dan

membangun kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan. Penguatan

masyarakat yang damai disini dapat dimaknai pengurangan potensi konflik yang terjadi di

masyarakat demi mendukung pembangunan berkelanjutan.

Secara umum, gesekan atau konflik yang terjadi di masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam

dua kategori besar yaitu konflik antar etnis dan konflik keagamaan. Contoh konflik

berlatarbelakang etnis adalah konflik Sambas dan konflik Sampit. Konflik Sampit di

Kalimantan tengah terjadi pada awal tahun 2001 antara suku Dayak asli dengan warga migran

Madura yang mengakibatkan 500 orang tewas dan lebih dari 100.000 warga kehilangan tempat

tinggal. Konfik etnik tersebut dapat terselesaikan dengan baik melalui upaya penegakan hukum

terhadap para pelaku kriminal, rekonsiliasi, dan perdamaian dengan mengedepankan dialog

antar tokoh masyarakat dibantu para pemuka agama.

Selanjutnya, konflik keagamaan karena sifatnya laten dan cenderung sulit untuk

direkonsiliasikan, menjadi tantangan tersendiri dalam menwujudkan ketertiban umum sebagai

salah satu prayarat utama dalam mencapai peningkatan kualitas kehidupan sosial dan

2

kesejahteraan masyarakat. Konflik keagamaan tersebut didefinisikan sebagai “perseturuan

menyangkut identitas, nilai atau klaim yang dibingkai dalam ungkapan keagamaan atau

melibatkan isu-isu yang menyangkut agama” (Ali-Fauzi, Alam, dan Panggabean 2009: 9).

Konflik keagamaan ini masih rentan terjadi dan dapat dikategorikan dua jenis yaitu konflik

antaragama dan konflik intra-agama.

Secara umum, konflik antaragama seperti yang pernah terjadi antara pemeluk agama Islam dan

Kristiani di Ambon Maluku Utara dan Poso Sulawesi Tengah telah dapat terselesaikan dengan

baik. Namun, konflik antaragama yang biasanya bersifat fisik antar pemeluk agama yang

berbeda, sekarang beralih kepada konflik terkait pembangunan, penggunaan dan peruntukan

rumah ibadat antara pemeluk agama. Seperti contoh penyegelan HKBP Filadelfia, Tambun,

Kab. Bekasi pada tahun 2012, penyegelan dan pelarangan beribadat bagi Jemaah GKI Yasmin,

Bogor Barat, Kota Bogor pada tahun 2012, penolakan pembangunan Masjid Nur Musafir,

Batuplat, Kupang pada tahun 2011, dan penolakan pembangunan Masjid Abdurrahman,

Wolokoli, Ende pada tahun 2011.Walaupun pemerintah telah mengeluarkan regulasi terkait

pengaturan pendirian rumah ibadat ini melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas

Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,

Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat, namun

potensi konfik masih tetap terbuka.

Kemudian, tantangan lainnya terkait konflik keagamaan yaitu konflik intra-agama yang terjadi

di dalam agama Islam, seperti contoh konflik Jamaah Ahmadiyah dan Komunitas Syiah.

Kedua konflik ini masih terus berlangsung walaupun pemerintah secara khusus telah

mengeluarkan regulasi terkait penanganan konflik Ahmadiyah ini melalui Surat Keputusan

Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 2008; No.

Kep-033/A/JA/6/2008 dan No. 199 Tahun 2008 tentang Peringantan dan Perintah kepada

Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga

Masyarakat, namun potensi konflik masih terjadi hingga saat ini.

Oleh karena itu, kajian ini akan difokuskan pada evaluasi penanganan konflik keagamaan

terutama terkait pendirian rumah ibadat (konflik antaragama) dan konflik Jamaah Ahmadiyah

(konflik sektarian atau intra-agama di kalangan muslim).

3

II. RUMUSAN MASALAH

Sebagai upaya penciptaan perdamaian mendukung pembangunan berkelanjutan dan

pencapaian tujuan SDGs, kajian ini mencoba menjawab dua pertanyaan utama yaitu:

1. Bagaimana penanganan konflik keagamaan terutama terkait pendirian rumah ibadat

(konflik antaragama) dan konflik terkait Ahmadiyah (konflik sektarian atau intra-

agama di kalangan muslim) dilihat dari sisi regulasi?

2. Bagaimana penanganan konflik keagamaan terutama terkait pendirian rumah ibadat

(konflik antaragama) dan konflik terkait Ahmadiyah (konflik sektarian atau intra-

agama di kalangan muslim) dilihat dari sisi non-regulasi?

III. METODOLOGI

Kajian ini menggunakan pedekatan literature review dan deskriptif analitis atas beberapa

laporan tahunan lembaga pemantau kebebasan beragama diantaranya dari Setara Institute,

PUSAD, dan Kontras, serta beberapa hasil riset Kementerian Agama. Kajian ini mencermati

berbagai penanganan yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan anasir masyarakat, baik yang

bersifat regulatif maupun non-regulatif. Berbagai penanganan itu ditimbang dengan cara

pandang teoritik (terutama teori kebijakan publik) dan hasil-hasil penelitian yang ada, serta

disimpulkan untuk dapat dirumuskan rekomendasi bagi penanganan yang lebih optimal.

IV. TEMUAN

IV. 1. KONFLIK ANTARAGAMA: KASUS PENDIRIAN RUMAH IBADAT

Di antara berbagai persoalan konflik antaragama di Indonesia, masalah terkait pendirian rumah

ibadat cukup mengemuka dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan kajian Badan Litbang dan

Diklat Kementerian Agama, beberapa penyebab munculnya kasus terkait rumah ibadat ini,

secara terperinci, antara lain: tidak adanya izin dari Kantor Kementerian Agama

Kabupaten/Kota, protes terhadap pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat ibadat secara

rutin, penolakan pendirian rumah ibadat, pendirian rumah ibadat tanpa rekomendasi dari

FKUB, keluhan kesulitan perdirian rumah ibadat bagi pemeluk agama minoritas, arogansi

4

minoritas atas pendirian rumah ibadat, manipulasi data dan tanda tangan persyaratan pengguna

dan dukungan pendirian rumah ibadat, administrasi pemerintah yang kurang akurat, penolakan

pendirian rumah ibadat oleh masyarakat dan pencabutan IMB oleh pemerintah daerah tertentu

dengan alasan dan pertimbangan keresahan, gangguan keagamaan dan ketertiban masyarakat

(Asry, 2011). Dengan demikian, persoalannya tidak semata kasus penolakan pendirian rumah

ibadat, namun ada ragam alasan dan penyebab.

Secara jumlah, kasus terkait rumah ibadat cenderung meningkat, sebagaimana dilaporkan

sejumlah lembaga dalam pemantauan tahunannya. CRCS (2009, 2010), misalnya, mencatat

terdapat 18 kasus rumah ibadat pada 2009 yang pada 2010 meningkat menjadi 39 kasus.

Demikian halnya, The Wahid Institute (2010) mencatat adanya peningkatan gangguan terhadap

rumah ibadat dari tahun 2009, yang pada tahun 2010 tercatat 28 kasus pelanggaran dan 34

tindakan intoleransi terhadap rumah ibadat, sehingga total 62 kasus. SETARA Institute (2010)

mencatat pada tahun 2010 lalu terdapat 59 tempat ibadat yang mengalami gangguan.

Sedangkan Moderate Muslim Society (MMS, 2010) mencatat dari 81 kasus intoleransi di

Indonesia, sebanyak 80% (63 kasus) adalah aksi penyerangan, penolakan rumah ibadat.

Mencermati kecenderungan antartahun, sejumlah kasus intoleransi beragama (dimana

sebagiannya menyangkut kasus antaragama seperti pendirian rumah ibadat), terjadi fluktuasi

sebagaimana grafik 1 berikut.

Grafik 1. Fluktuasi Kasus Konflik Keagamaan (termasuk kasus rumah ibadat) 2007-2014

Sumber: Laporan Tahunan SETARA, The Wahid Institute, dan CRCS-UGM 2007-2014

185

367

291 286299

371

292

177

135

265

200216

244264

222

134

227 228196

277 274245

158

0

100

200

300

400

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

SETARA (tindakan) SETARA (peristiwa)

CRCS (kasus rumah ibadat) The Wahid (kasus)

5

Menimbang besarnya potensi gangguan kerukunan yang disebabkan kasus-kasus terkait rumah

ibadat ini, Pemerintah memiliki peranan penting sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator.

Sebagai regulator, maksudnya, Pemerintah harus menjalankan tugas utamanya menjaga

ketentraman dan ketertiban umum yang terganggu masalah rumah ibadat, misalnya, dengan

membuat aturan-aturan. Bukan mengatur terkait substansi agamanya melainkan lalu lintas

hubungan umat beragamanya. Oleh karena itu, PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 diterbitkan sebagai

regulasi yang mengatur perihal pendirian rumah ibadat, dan bersifat mengikat secara moral

karena disusun oleh perwakilan umat beragama sendiri. Sebagai fasilitator, maksudnya,

Pemerintah harus menjalankan mandat untuk melayani dan melindungi umat beragama dalam

melaksanakan ibadat, termasuk mendirikan rumah ibadat. Sedangkan peran dinamisator,

maksudnya, Pemerintah berupaya memberdayakan umat beragama dalam kehidupan beragama,

termasuk dalam menyelesaikan masalah-masalah terkait rumah ibadat (Ahmad, 2012).

PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 pada intinya berisi 31 pasal tentang tugas kepala daerah/wakil

kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan, dalam pemberdayaan FKUB, dan dalam hal

pendirian rumah ibadat di daerah. PBM ini berlaku pada tanggal ditetapkan, yaitu tanggal 21

Maret 2006. PBM ini mencabut ketentuan mengenai pendirian rumah ibadat pada regulasi

sebelumnya, yakni Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor

01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin

Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-

Pemeluknya.

IV. 2. KONFLIK INTRA-AGAMA: KASUS AHMADIYAH

Meskipun Ahmadiyah menganggap dirinya sebagai seorang Muslim, tetapi oleh mayoritas

Muslim di Indonesia mereka tidak dianggap sebagai Muslim. Farsight Institute menyelidiki

terdapat tiga alasan utama mengapa Ahmadiyah tidak diakui sebagai Muslim; Pertama, ajaran

Ahmadiyah meyakini bahwa pendiri Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah

Muhammad; Kedua, Ahmadiyah memiliki tempat-tempat suci lainnya selain Mekah dan

Madinah; dan terakhir, Ahmadiyah meyakini Tadzkirah sebagai kitab suci di samping Al-

Qur’an (Farsight Institute, 2017). Oleh karena itu, banyak organisasi Muslim menolak

Ahmadiyah sebagai bagian dari umat Islam.

6

Dalam rangka menjaga ketertiban umum dan mencegah terjadinya kekerasan terhadap

pengikut Ahmadiyah, pemerintah mengeluarkan Keputusan Bersama Menteri 3/2008 tanggal

9 Juni 2008 oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Kejaksanaan Agung sebagai

peringatan bagi pengikut Ahmadiyah dan kaum Muslim pada umumnya. Crouch (2012)

mengidentifikasi empat poin penting dari peraturan ini; pertama, itu membatasi orang untuk

tidak melakukan kegiatan pengajaran 'menyimpang' yang tidak sejalan dengan enam agama

yang diakui; Kedua, peringatan kepada pengikut Ahmadiyah untuk tidak menyebarkan

keyakinan 'menyimpang' bahwa ada nabi baru setelah Nabi Muhammad; Ketiga, peringatan

kepada pengikut Ahmadiyah bila mereka tidak mematuhi kedua hal tersebut, maka mereka

akan dikenakan sanksi sesuai dengan aturan yang berlakun; dan Keemat, peringatan terhadap

masyarakat umum orang untuk menghentikan perbuatan dan tindakan melawan hukum

terhadap pengikut Ahmadiyah. Mariani (2013) berpendapat peraturan ini memungkinkan

pengikut Ahmadiyah untuk melanjutkan ibadat mereka, tetapi mereka tidak dapat

mempraktekkan kepercayaannya secara terbuka.

Grafik 2. Jumlah insiden kekerasan terhadap pengikut AHmadiyah 2007-2016

Sumber: Setara Institute, 2017

7

Karena perbedaan pandangan tersebut, Setara Institute (2017) melaporkan telah terjadi 546

insiden kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah yang terjadi antara tahun 2007-2016. Gambar

1 menunjukkan jumlah insiden untuk komunitas Ahmadiyah masih berlanjut hingga sekarang

dan puncaknya terjadi pada tahun 2008 dengan 193 insiden dimana terjadi 48 kasus sebelum

penerbitan SKB (Juni 2008) dan 145 kasus terjadi setelah penerbitan SKB. Peningkatan

signifikan lainnya terjadi pada tahun 2011 dengan 114 insiden. Itu terjadi karena 11 pemerintah

daerah memberlakukan peraturan daerah yang melarang kegiatan Ahmadiyah pada tahun 2011

yang mengakibatkan terjadinya persekusi terhadap komunitas Ahmadiyah di daerah masing-

masing.

Selain kekerasan fisik, pengikut Ahmadiyah menghadapi tantangan lainnya yaitu sempat

kesulitan untuk mendapatkan kartu identitas dan surat nikah dari pihak berwenang setempat

karena 'keyakinan' mereka yang dianggap berbeda seperti di Kabupaten Kuningan dan Kota

Depok. Selain itu, ada juga 118 Ahmadiyah dan 33 keluarga telah tinggal di tempat

penampungan sementara yang disebut Wisma Transito selama lebih dari dua belas tahun.

Insiden baru-baru ini terhadap komunitas Ahmadiyah terjadi pada Mei 2016 di mana masjid

Al-Kautsar di Kendal Jawa Tengah dihancurkan oleh sekelompok orang yang tidak dikenal

dan juga pengikut Ahmadiyah di Sukabumi Jawa Barat dipaksa untuk sholat di luar masjid Al-

Furqon setelah ditutup oleh pejabat pemerintah setempat pada Juli 2016. Kekerasan ini juga

terjadi di Depok Jawa Barat, di mana otoritas lokal menyegel masjid Al-Hidayah pada Februari

2017 (Setara Institute, 2017).

Hingga November 2017, setidaknya ada 50 masjid Ahmadiyah telah dirusak, 49 masjid

Ahmadiyah telah ditutup secara paksa, dan sekitar 20 properti pribadi Ahmadiah telah

dihancurkan (Setara Institute, 2017) . Selain kerusakan harta benda, terjadi pula insiden pada

tanggal 27 Juli 2010 di Manis Lor Kabupaten Kuningan dan 6 Februari 2011 di Cikeusik

Kabupaten Pandeglang. Khusus insiden di Cikeusik ini telah yang menewaskan tiga pengikut

Ahmadiyah dan melukai lima orang (Crouch, 2012). Karenanya, kasus kekerasan terhadap

pengikut Ahmadiyah di Manislor Kuningan dan Cikesuik Pandeglang akan dijadikan unit of

analysis pada kajian ini.

8

V. ANALISIS

V. 1. EVALUASI KONFLIK KEAGAMAAN DARI SISI REGULASI

Kajian ini mengevaluasi penanganan konflik keagamaan terutama terkait konflik antaragama

(dalam hal ini terkait pendirian rumah ibadat) dan konflik intra-agama di kalangan Muslim

(dalam hal ini kasus terkait Ahmadiyah) dari sisi regulasi. Sebagaimana dimaklumi,

Pemerintah Indonesia telah menerbitkan dua kebijakan terkait kedua hal tersebut. Terkait kasus

rumah ibadat, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Dalam Negeri (PBM) No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan

Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,

Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Sementara

itu, terkait kasus Ahmadiyah, Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB)

Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 2008; No. Kep-

033/A/JA/6/2008 dan No. 199 Tahun 2008 tentang Peringantan dan Perintah kepada Penganut,

Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga

Masyarakat.

Dengan menggunakan teori kebijakan publik, kajian ini akan menganalisis tahap demi tahap

dua kebijakan tersebut. Mencermati kebijakan publik dengan pendekatan proses (policy

process model) akan melihat kelebihan atau kekurangan dalam setiap tahap urutan logis

aktivitas pengembangan kebijakan publik. Ada enam tahap yang dilalui suatu kebijakan, yakni

(1) penentuan agenda (agenda setting), yakni bagaimana masalah didefinisikan hingga masuk

ke dalam agenda politik; (2) perumusan kebijakan (policy formulation), yakni penyusunan

tujuan kebijakan dan strategi untuk mencapai tujuan tersebut; (3) legitimasi kebijakan (policy

legitimation), yakni mobilisasi dukungan politik dan pemberlakuan formal kebijakan; (4)

implementasi kebijakan (policy implementation), yakni penyediaan sumber daya kelembagaan

untuk menempatkan program yang berlaku dalam birokrasi. Serangkaian kegiatan yang

diarahkan untuk menerapkan suatu program; (5) evaluasi kebijakan (policy evaluation) yakni

penilaian kebijakan dan efek programnya, termasuk keberhasilan atau kegagalan suatu

program; serta (6) revisi kebijakan (policy change) yakni modifikasi tujuan dan sarana

kebijakan dalam suatu perubahan informasi dan kondisi politik (Kraft dan Furlong, 2010).

9

V. 1. A. PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006

Terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, penerapan teori dengan pendekatan proses kebijakan

ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Merujuk pada penjelasan dari M. Atho Mudzhar dalam

slide Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, bahwa pada akhir tahun 2004 dan awal tahun

2005, muncul pro kontra di dalam masyarakat tentang regulasi terkait pendirian rumah ibadat

(SKB No. 1 Tahun 1969), yang dipicu terjadinya sejumlah kasus terkait rumah ibadat. Sebagian

pemuka agama mengusulkan regulasi itu dicabut, sebagian lainnya mengusulkan diperta-

hankan. Kemudian, Presiden memerintahkan Menteri Agama dan Mendagri untuk meresponi

dinamika tersebut dengan melakukan kajian atas regulasi dimaksud, untuk disiapkan kebijakan

baru yang lebih menjawab persoalan aktual. Agenda setting secara teknis kemudian dilakukan

oleh Kepala Badan Litbang Kementerian Agama dan Dirjen Kesbangpol Kemendagri.

Kerjasama dua kementerian ini menyepakati untuk membuat revisi atas kebijakan lama terkait

rumah ibadat (SKB No. 1 Tahun 1969).

Policy formulation dilakukan dengan melibatkan para pimpinan majelis agama tingkat pusat,

dalam sebelas kali diskusi atas draf kebijakan baru terkait rumah ibadat. Dipandu oleh Kepala

Badan Litbang Kementerian Agama dan Dirjen Kesbangpol Kemendagri, diskusi diikuti oleh

para pimpinan majelis agama yang mewakili komunitas agamanya. Mereka berasal dari

Majelis Ulama Indonesia (Islam), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (Kristen),

Konferensi Waligereja Indonesia (Katolik), Parisadha Hindu Dharma Indonesia (Hindu), dan

Perwalian Umat Buddha Indonesia (Buddha). Setelah berdiskusi secara intensif sejak 22

Oktober 2005 hingga pertemuan kesebelas pada 21 Maret 2006, tim berhasil menyepakati draf

regulasi terkait rumah ibadat tersebut.

Untuk mendapatkan kekuatan hukum yang mengikat ke segenap kelompok agama dan berlaku

secara nasional, policy legitimation dilakukan dengan membuat draf tersebut menjadi

instrumen hukum berupa Keputusan Menteri. Maka pada akhirnya pada tanggal 21 Maret 2006

terbitlah keputusan dua menteri yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Peraturan Bersama

Menteri (PBM) tersebut. Policy implementation dilakukan dengan serangkaian proses

sosialisasi kepada para pimpinan daerah, untuk agar menggunakan PBM ini sebagai rujukan

dalam pengembangan kerukunan dan terutama menjawab problem terkait rumah ibadat yang

pada saat itu banyak terjadi di sejumlah tempat.

10

Policy evaluation dilakukan dengan melakukan serangkaian monitoring bahkan riset terhadap

implementasi regulasi ini di lapangan. Badan Litbang Kementerian Agama, misalnya,

mengadakan evaluasi tahunan bersama para pemuka agama penyusun regulasi ini. Selain itu,

pada 2012 juga melakukan riset pelaksanaan PBM, di mana salahsatu hasilnya menyebutkan

bahwa PBM telah disosialisasikan, dan mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah maupun

Majelis-majelis agama di daerah, hanya saja sosialisasinya belum sampai ke tingkat bawah.

Dalam riset itu juga terungkap bahwa tingkat pemahaman pemuka agama terhadap substansi

PBM mencapai 52 % (Nuh, 2013). Selain soal kurangnya sosialisasi, ihwal kekuatan hukum

PBM juga menjadi bahan evaluasi. Riset ini merekomendasikan ditingkatkannya PBM menjadi

Undang-undang, agar lebih berkekuatan hukum dan memberi sanksi bagi pelanggarnya.

Bagian akhir, policy change, juga dilalui PBM ini. Bahwa dalam perkembangan implementasi

regulasi ini ada kondisi-kondisi yang mendukung dan menghambatnya. Banyaknya kasus

rumah ibadat mendorong perevisian bahkan pencabutan PBM (sebagaimana tergambar dalam

evaluasi non-regulasi). Sebaliknya, kondisi itu juga justeru mendorong banyak pihak untuk

memperkuat posisi hukum PBM menjadi UU, agar lebih bergigi menjawab persoalan terkait

rumah ibadat tersebut. Banyak kalangan LSM dan bahkan akun polling mendorong pencabutan

PBM (Huang, 2015), sementara itu banyak kalangan lain seperti Ketua MUI, KH Ma’ruf Amin

(Nabilla, 2015), dan Komisionaris Komnas HAM, Manager Nasution (Siregar, 2015)

menginginkan PBM menjadi UU. Menteri Agama menjawab berbagai aspirasi dengan akan

mendiskusikannya dan mengakomodasinya dalam Rancangan Undang-undang Perlindungan

Umat Beragama (RUU PUB) yang sedang disusunnya.

V. 1. B. SKB Ahmadiyah Tahun 2008

Sementara itu, terhadap kebijakan terkait Ahmadiyah, yakni SKB Ahmadiyah Tahun 2008,

penerapan teori dengan pendekatan proses kebijakan ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

Merujuk pada penjelasan pada Buku Saku Sosialisasi SKB tersebut dan Ruhana (2009),

diketahui bahwa kasus penolakan atau gangguan terhadap kelompok Ahmadiyah kembali

terjadi di sejumlah daerah di Indonesia pada sekitar tahun 2007. Pro kontra terjadi di dalam

masyarakat Indonesia terkait perlu tidaknya kelompok Ahmadiyah dibubarkan dan dilarang di

Indonesia. Sebagian kelompok masyarakat memandang kelompok Ahmadiyah sesat dan harus

dilarang ada dan berkembang di Indonesia. Sementara sebagian lainnya membela atas nama

agama, HAM dan kemanusiaan. Untuk itu agenda setting yang dilakukan oleh Pemerintah

11

ketika itu adalah menangani kasus Ahmadiyah yang menyita perhatian publik ini dengan suatu

regulasi atau kebijakan yang tepat. Karena menyangkut agama dan keyakinan, kementerian

yang terlibat adalah Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung.

Policy formulation dilakukan dengan melalui serangkaian dialog dengan pimpinan kelompok

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dialog intensif dilakukan sebanyak 7 sesi di kantor Badan

Litbang dan Diklat Kementerian Agama, yang pertama pada 7 September 2007 dan yang

terakhir pada 14 Januari 2008. Diskusi membahas draf Surat Pernyataan JAI yang akhirnya

disepakati dan ditandatangani pada 9 Juni 2008 tersebut. Pada intinya, Ahmadiyah ingin

menjadi bagian dari umat Islam dengan menyatakan 12 butir pernyataannya tentang posisi

keyakinan dan kemasyarakatannya. Setelah diumumkan dan mendapat respon publik, Tim

Pemantau melakukan monitoring pelaksanaan 12 butir tersebut yang pada akhirnya

disimpulkan bahwa apa yang dinyatakan dengan kenyataannya berbeda. Tim kemudian

melakukan serangkaian diskusi yang pada akhirnya menerbitkan Surat Peringatan atas

Ahmadiyah, yang di kemudian hari lebih dikenal dengan SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah.

SKB 3 Menteri ini, sebagaimana dijelaskan di dalam Buku Sosialisasinya, berisi 6 butir yang

intinya terbagi atas dua bagian. Pertama, memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau

anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam,

untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok

ajaran Agama Islam, yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala

ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Bagi pelanggarnya dapat dikenai sanksi hukum

termasuk badan hukum dan organisasinya. Sanksi hukum yang dimaksud disini ialah Pasal

156a KUHP tentang Penodaan Agama. Kedua, memerintahkan kepada warga masyarakat

untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban

kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan

hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia

(JAI). Ini berarti Pemerintah melindungi warga JAI sebagai warga negara yang selama ini

menjadi target tindak kekerasan sebagian warga masyarakat. Bagi pelanggarnya dapat

dikenakan sanksi, yakni Pasal 156 KUHP yang berisi larangan untuk menyatakan perasaan

permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan masyarakat

Indonesia, dan Pasal 170 KUHP tentang tindakan kekerasan kepada orang atau barang.

12

Karena telah berupa Surat Keputusan Menteri, SKB ini telah cukup berkekuatan hukum,

sehingga policy legitimation terpenuhi. Adapun policy implementation dilakukan melalui

serangkaian sosialisasi keputusan ini, dan juga penanganan beberapa kasus bentrokan yang

terjadi antara warga masyarakat dengan pengikut kelompok Ahmadiyah, seperti terjadi di

Cikeusik Banten, Cisalada Bogor, dan lainnya.

Untuk melihat efektivitas pelaksanaan SKB ini, Pemerintah melakukan policy evaluation

dengan melakukan monitoring dan riset terencana. Seperti riset yang dilakukan Litbang

Kementerian Agama, yang menemukan bahwa pelaksanaan sosialisasi SKB belum maksimal,

sehingga hal ini berdampak pada masih terjadinya kasus-kasus yang menyangkut Ahmadiyah

di beberapa tempat. Tingkat pemahaman pemuka agama terhadap SKB pun hanya mencapai

33% (Nuh, 2013). Hingga kajian ini dilakukan, tampaknya belum ada niat Pemerintah

melakukan perubahan kebiakan (policy change), selain mengalamatkan ihwal penanganan

aliran keagamaan yang dipandang menyimpang serupa ini dalam RUU Perlindungan Umat

Beragama—yang sedang dirumuskan.

V. 1. C. Menimbang Penguatan Regulasi

Kedua paparan tentang tahapan proses kebijakan PBM dan SKB di atas menunjukkan bahwa

secara regulatif persoalan terkait perselisihan rumah ibadat maupun kasus aliran Ahmadiyah

telah memiliki landasan regulasi. Semua pihak, baik yang berselisih maupun masyarakat pada

umumnya serta Pemerintah, telah memiliki rujukan dalam menghadapi dan menangani kasus-

kasus yang masih terjadi. Persoalan dilapangan adalah belum cukup diketahuinya,

dipahaminya, dan dilaksanakannya aturan-aturan tersebut—sehingga kasus demi kasus masih

terjadi.

Pandangan yang melihat kurang kuatnya regulasi-regulasi itu di dalam tatanan hukum, dapat

dipahami karena kedua regulasi intra dan antaragama itu tidak memiliki sanksi hukum secara

langsung—mengingat keduanya bukanlah Undang-undang atau aturan dibawahnya yang

dibolehkan mengandung sanksi-sanksi. Meski demikian, PBM dan SKB sejatinya merupakan

suatu “Peraturan Menteri” yang juga memiliki daya dorong bagi audiensnya untuk ditaati,

sebagaimana Peraturan Menteri Keuangan yang memiliki daya-ikat bagi proses-proses

penganggaran, pajak, dan sebagainya. Selain itu, ada sanksi-sanksi pidana tak langsung dari

regulasi ini, misalnya, bagi pelanggar diktum ketiga dan kelima SKB akan dikenai ketentuan

13

hukum dalam KUHP, Pasal 156a tentang penodaan agama, Pasal 156 tentang penyebaran

kebencian dan permusuhan, Pasal 170 tentang tindakan kekerasan terhadap orang atau barang,

Pasal 187 tentang pembakaran, Pasal 351 tentang penganiayaan, Pasal 335 tentang perbuatan

tidak menyenangkan, Pasal 406 tentang perusakan barang, dan peraturan lainnya.

Namun demikian, berbagai hasil monitoring dan riset serta rekomendasi berbagai forum

pemuka agama, banyak aspirasi untuk meningkatkan kekuatan hukum kedua regulasi tersebut.

Yang terakhir, rekomendasi dari Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa

yang diselenggarakan oleh Utusan Khusus Presiden untuk Dialog Antar Agama dan Peradaban

(UKP-DKAAP) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, 8-11 Februari 2018. Mubes yang dihadiri

sekitar 450 tokoh agama dari enam agama ini membahas tujuh isu keagamaan. Diantaranya

menekankan, “Musyawarah Besar Pemuka Agama memandang bahwa selama belum menjadi

UU maka PBM perlu terus menerus disosialisasikan kepada kepala daerah dan penerapannya

dimaksimalkan.” (PHDI, 2018)

Aspirasi meningkatkan sejumlah kebijakan keagamaan menjadi Undang-undang sesung-

guhnya telah lama disadari Pemerintah. Maka sejak beberapa tahun silam, misalnya,

Kementerian Agama menyusun draf RUU Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB), dan kini

RUU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB). Dalam RUU ini diharapkan substansi

beberapa kebijakan non-UU tersebut akan direformulasi dan masuk menjadi pasal-pasal yang

relevan dan menjawab persoalan kekuatan hukum yang selama ini dialami.

V. 2. EVALUASI KONFLIK KEAGAMAAN DARI SISI NON REGULASI

Kajian ini berupaya melihat keberhasilan atau kegagalan penanganan konflik keagamaan

terutama terkait pendirian ibadat (konflik antaragama) dan konflik Jamaah Ahmadiyah (konflik

intra-agama di kalangan Muslim) dari sisi non-regulasi adalah dengan mengevaluasi

‘pemolisian konflik agama’. Pemolisian konflik agama itu adalah tindakan yang dilakukan

aparat kepolisian dalam menangani suatu peristiwa atau insiden konflik agama (Fauzi dkk,

2012). Pemolisian konflik agama dianggap efektif dan efisien manakala berhasil menekan

sengketa (dispute) keagamaan tidak berkembang menjadi kekerasan (violent) keagamaan

(Fauzi dkk, 2012). Kajian ini menggunakan dua sumber hasil penelitian yang telah dilakukan

oleh Kontras (2012) dan PUSAD (2014) sebagai sumber analisis terkait bagaimana keefektifan

peran Polri dalam menyikapi konflik keagamaan.

14

Kontras (2012) melakukan pemantauan terhadap peran polri dalam perlindungan berkeyakinan

kelompok minoritas di Jakarta, Jawa Barat dan Banten dengan fokus pada kasus Kebayoran

Lama, Ahmadiyah di Manis Lor Kuningan, Ahmadiyah di Cikeusik, Jemaat Kristen HKBP

Ciketing, GKI Taman Yasmin. Dalam kesimpulannya, Kontras (2012) berpandangan bahwa

Polri sering kali kurang memprioritaskan kegiatan pencegahan dini atau preventif, kurang

punya strategi dalam menangani ujaran kebencian (hate speech) dan kurang bisa bertindak

tegas dalam pengawal nilai-nilai konstitusi terutama bila menghadapi tekanan dari kelompok

mayoritas dan kebijakan hukum yang ambigu.

Selain itu, Kontras (2012) pun mencatat bahwa sebetulnya Polri memiliki landasan kuat bagi

perlindungan kelompok- kelompok minoritas, seperti Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009

tentang Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian

Republik Indonesia atau Peratu- ran Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar

Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat. Namun, pelaksanaan dilapangan masih

kurang optimal dan banyaknya personel Polri yang kurang dalam melaksankanan perintah

aturan ini.

Laporan Kontras ini menyimpulkan bahwa Polri berhasil meredam gejolak penolakan seperti

yang terlihat di kasus Ahmadiyah di Manis Lor Kuningan Jawa Barat dan kasus Kebayoran

Lama, tapi dianggap kurang efektif dalam penanganan atas kasus Ahmadiyah di Cikeusik,

HKBP Ciketing dan GKI Taman Yasmin.

Hal senada dikemukakan oleh PUSAD (2014) dalam laporannya bahwa pemolisian konflik

keagamaan terkait penanganan konflik Ahmadiyah di Manis Lor Kuningan, penanganan

Jemaah GKI Yasmin, Bogor, penanganan penolakan pembangunan Masjid Nur Musafir,

Kupang, dan penanganan penolakan pembangunan Masjid Abdurrahman, Wolokoli, Ende

menunjukkan keberhasilan dalam mencegah ketegangan sehingga tidak menjadi kekerasan

terbuka. Akan tetapi, konflik sektarian Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang menunjukkan

kegagalan pemolisian sehingga menimbulkan kekerasan yang meluas dan menimbulkan

korban jiwa dan kerusakan yang besar.

Untuk lebih jelasnya pemolisian konflik antaragama (tempat ibadat) dan konfik intra-agama

(Ahmadiyah) dijelaskan sebagai berikut.

15

V. 2. A. Pemolisian Konflik Antaragama (Tempat Ibadat)

Konflik tempat ibadah tidak hanya terjadi pada pembangunan gereja pada komunitas mayoritas

masyarakat beragama Islam, namun juga terjadi pada komunitas mayoritas masyarakat

beragama Protestan atau Katholik terkait pembangunan masjid.

Kontras (2012) menilai bahwa Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006 terkait Pendirian

Rumah Ibadat sering dijadikan justifikasi untuk menghambat pembangunan tempat ibadat oleh

komunitas masyarakat pemeluk agama mayoritas terhadap minoritas. Seperti contoh

pembangunan gereja oleh jemaat GKI Yasmin di Bogor atau pembangunan Masjid

Abdurrahman di Ende yang masih menyisakan permasalahan hingga saat ini. Selain itu,

PUSAD (2014) melalui penelitiannya mengungapkan bahwa PBM 2006 secara signifikan

melemahkan kebiasaan atau local wisdom gotong royong dan kerjasama masyarakat dalam

membangun rumah ibadat. Hal ini terlihat di daerah Ende, saat ini kebiasaan gotong royong

membangun rumah ibadat terhenti dan berubah menjadi sengketa setelah PBM 2006

diundangkan.

Upaya penyelesaian kasus tempat ibadat ini berada pada tahapan yang berbeda-beda. Seperti

contoh, sengekta pembangunan Masjid Abdurahman di Ende saat ini masih dalam proses

negosiasi. Namun, berbeda dengan kasus pembangunan GKI Yasmin di Bogor yang saat ini

pada status quo penyelesaian jalur hukum, dimana Mahkamah Agung telah memutuskan IMB

gereja sah dan berlaku, namun Pemerintah Kota Bogor membatalkan IMB tersebut dengan

pertimbangan ketertiban dan dugaan pemalsuan tanda tangan pada proses perizinannya

(PUSAD, 2014). Selain itu, perlu dipahami pula bahwa adanya indikasi hubungan antara

pemberitaan penolakan mayoritas Muslim atas pendirian gereja GKI Yasmin di Bogor dengan

meningkatnya penolakan mayoritas Protestan ataupun Katholik atas pembangunan masjid di

Ende NTT.

Dalam konteks konflik tempat ibadah seperti ini, kehadiran polri sebagai pemelihara keamanan

dan ketertiban sangatlah diperlukan dan disesuaikan dengan tingkat kerawanannya. Kehadiran

personel polri di Gereja GKI Yasmin setiap hari Minggu memberikan kenyamanan dan

ketenangan kepada jemaat yang sedang melaksanakan ibadahnya. Sementara itu, dalam

16

sengketa pembangunan masjid Abdurrahman di Ende NTT keterlibatan polri hanya memediasi

pihak-pihak yang bertikai (PUSAD, 2014).

V. 2. B. Pemolisian Konfik Intra-agama (Ahmadiyah)

Salah satu penyebab konflik Ahmadiyah di Manislor Kuningan dan Cikeusik Pandeglang

adalah perbedaan pandangan dan praktek keagamaan sehari-hari diantara mayoritas muslim

dan Ahmadiyah (PUSAD, 2014). Oleh karena perbedaan pandangan ini yang mendorong

timbulnya agresi dan melahirkan mobilisasi penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah oleh

sekelompok massa tertentu.

Kehadiran personel Polri diperlukan untuk mencegah anarkis pada aksi mobilisasi tersebut.

Seperti yang terjadi di Manis Lor Kuningan tahun 2010 mobilisasi massa terhadap pengikut

Ahamdiyah dapat di kelola dengan baik sehingga konflik terbuka dapat dihindari dan ditekan.

Namun, hal ini berebeda pada mobilisasi massa terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik

Pandeglang dimana personil Polri tidak dapat mengantisiapsi kekerasan yang mengakibatkan

3 pengikut Ahmadiyah tewas.

V. 2. C. Tindakan Pemolisian Konflik Agama

Terdapat tiga pendekatan yang dapat dilakukan personil Polri dalam menangani konflik

keagamaan seperti ini. Ketiga pendekatan dimaksud adalah Preemtif, Preventif dan Represif.

Preemtif yaitu mendeteksi secara awal berbagai faktor yang memungkinkan terjadinya

mobilisasi massa yang mengarah terjadinya konflik. Fungsi Intelijen Polri memegang peranan

penting dalam proses Peemtif ini, dimana informasi yang diperoleh langsung di lapangan

ataupun melalui jaringan informan di kalangan masyarakat diolah menjadi informasi detail

penanganan gejala konflik. Berdasarkan laporan PUSAD (2014) menunjukan bahwa intelijen

Polri kurang berhasil memperoleh informasi yang akurat terkait kejadian konfik Ahmadiyah di

Cikeusik Pandeglang, dimana jumlah massa anti-Ahmadiyah yang akan mendatangi rumah-

rumah pengikut Ahmadiyah tidak terdeteksi sebelumnya sehingga menyebabkan antisipasi

pengamanan tidak optimal. Hal ini berakibat bentrokan antara puluhan Jemaah Ahmadiyah

dengan ratusan massa anti-Ahmadiyah tidak terhindari yang menyebabkan 3 orang pengikut

Ahmadiyah meninggal dunia (PUSAD, 2014).

17

Kemudian, pendekatan preventif dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan konflik

keagamaan setelah dilakukannya upaya preemtif. Pendekatan Binmas (Pembinaan

Masyarakat) yang saat ini dilakukan Polri dapat membatu memetakan potensi konflik,

meredam ketegangan dengan cara menatangani pihak-pihak yang bersengketa dan melakukan

mediasi bila diperlukan. Pendekatan Binmas termasuk pula community policing atau

pemolisian masyarakat dengan penempatan satu desa satu Babinkamtibmas yang diharapkan

membantu tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban di wilayah terkecil yaitu desa. Lebih

lanjut, pendekatan represif merupakan upaya terakhir bila konflik keagamaan tetap terjadi

dengan pengerahan satuan dalmas (pengendalian massa), raimas (pengurai massa dana tau

brimob (brigade mobil) sebagai upaya pemulihan keamanan dan ketertiban. Hal ini diikuti

dengan proses penegakan hukum yang diawali penyelidikan dan penyidikan atas konflik

keagamaan, seperti contoh pada kasus Ahmadiyah di Cikeusik yang telah memvonis para

pelaku kekerasan yang menyebabkan meninggalnya 3 orang pengikut Ahmadiyah.

Selain ketiga pendekatan tersebut, terdapat faktor lain yang turut mempermudah atau bahkan

menghambat proses pemolisian konfik keagamaan. Faktor tersebut diantaranya (1) Posisi atau

sikap pemerintah daerah. Berdasarkan laporan PUSAD (2014) terindikasi bahwa beberapa

pemerintah daerah mempersulit proses pemolisian dan cenderung memperuncing konflik

seperti kasus Ahmadiyah di Manis Lor Kuningan dan Cikeusik Pandeglang. Pemerintah daerah

di kedua wilayah tersebut cenderung berpihak kepada mayoritas anti-Ahmadiyah. Begitu pula

terjadi pada kasus rumah ibadah sengketa GKI Yasmin di Bogor, dimana pemerintah daerah

juga berpihak pada mayoritas Muslim di daerah tersebut yang menghambat proses rekonsiliasi

dan pemolisian. Namun, berbeda sikap pemerintah daerah Ende terkait sengketa pembangunan

Masjid Abdurrahman yang cenderung netral (PUSAD, 2014); dan (2) Politik lokal dan Pilkada.

Penyelesaian konflik keagamaan bukan merupakan isu yang krusial untuk segera ditangani,

bahkan pada saat pilkada calon kepala daerah baik itu pertahana maupun non-pertahanan

cenderung memihak kepada mayoritas (non-Ahmadiyah) yang tentunya mempersulit

penyelesaian dan pemolisian (PUSAD, 2014).

18

VI. KESIMPULAN

Dari paparan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan:

1. Dari sisi regulasi, penanganan konflik keagamaan terutama terkait pendirian ibadat (konflik

antaragama) dan kasus Ahmadiyah (konflik intra-agama) telah cukup memiliki landasan.

Untuk kasus rumah ibadat, telah terbit PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 yang mulai berlaku

pada 21 Maret 2006. Sedangkan untuk kasus Ahmadiyah telah diterbitkan SKB Ahmadiyah

Tahun 2008 yang mulai berlaku pada 9 Juni 2008. Hanya saja, selain kurangnya sosialisasi

atas kedua peraturan tersebut bagi kalangan aparat dan masyarakat, kekuatan hukumnya

masih ada yang mempermasalahkan karena tak cukup kuat berdaya-paksa dengan sanksi-

sanksi. Hal ini menyebabkan implementasi kedua regulasi ini di lapangan masih belum

optimal, terbukti dengan masih terjadinya kasus-kasus terkait rumah ibadat maupun terkait

kelompok Ahmadiyah.

2. Jika dilihat dari sisi non-regulasi, penanganan konflik keagamaan terutama terkait pendirian

rumah ibadat (konflik antaragama) dan konflik Ahmadiyah (intra-agama) dapat dikatakan

berhasil dalam menekan sengketa (dispute) keagamaan tidak berkembang menjadi

kekerasan (violent) keagamaan. Hal ini terlihat pada upaya pemolisian melalui pendekatan

preemtif, preventif dan represif telah dijalankan dengan cukup baik, terutama pada konflik

terkait pembangunan rumah ibadat. Dimana personil polri dapat mencegah terjadinya

kekerasan ketika menangani kasus konflik pendirian rumah ibadat, seperti kasus HKBP

Filadelfia di Bekasi, GKI Yasmin di Bogor, Masjid Nur Musafir di Kupang dan Masjid

Abdurrahman di Ende. Namun, terkait pemolisian konflik sektarian perlu mendapat

perhatian khusus dimana sering terjadinya mobilisasi dari pihak-pihak yang bertikai dalam

rangka mencapai tujuannya masing-masing. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas personel

polri terkait peemtif dan preventif perlu ditingkatkan sehingga kejadian bentrokan yang

menyebabkan 3 orang pengikut Ahmadiyah meninggal dunia di Cikeusik beberapa tahun

lalu, tidak terulang kembali.

19

VII. REKOMENDASI

Dari kajian ini dapat direkomendasikan beberapa hal:

1. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi PBM dan SKB yang lebih massif kepada aparatnya

di pusat dan daerah, serta kepada masyarakat luas. Sosialisasi perlu menyasar stakeholders

yang lebih luas dan merata di berbagai daerah di Indonesia, dengan memperhatikan

segmentasi peserta dan teknologi yang lebih mutakhir. Pemuka agama dan masyarakat umat

beragama agar membantu upaya pemeliharaan kerukunan dengan mengetahui, memahami,

dan melaksanakan regulasi yang ada. Senyampang itu, Pemerintah perlu menyiapkan draf

RUU dan naskah akademiknya yang cukup kuat untuk bergerak ke upaya penguatan

regulasi-regulasi ini menjadi peraturan perundang-undangan yang lebih kokoh. Rencana

penyusunan RUU Perlindungan Umat Beragama dapat menjadi wahana yang strategis untuk

memasukkan substansi regulasi-regulasi ini dalam UU tersebut.

2. Pendekatan pemolisian tidak dapat berjalan maksimal bila tidak mendapatkan dukungan

yang sejalan dari para pihak (stakeholder) lainnya. Kegiatan preventif personil Polri melalui

program pemolisian masyarakat (polmas) dapat menjadi ujung tombak dalam memberikan

bantuan melalui penyuluhan, bimbingan masyarakat dan sosialisasi pendirian rumah ibadat

pada masyarakat yang majemuk. Melalui progam ini diharapkan pihak-pihak yang bertikai

dapat diberikan pemahaman dan membangun empati juga relasi antar-iman terkait

kebutuhan terhadap rumah ibadat masing-masing. Terkait konflik sektarian, Polri

diharapkan dapat memitigasi konflik dengan meningkatkan pendekatan peemtif melalui

deteksi dini gejala dan sumber ketegangan antar sekte, teknik berhubungan dengan

kelompok masyarakat yang majemuk, dan teknik mengendalikan ketegangan di masyarakat.

20

REFERENSI

Ahmad, Haidlor Ali (editor), Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/

Perselisihan Rumah Ibadat, Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat,

Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012.

Asry, M. Yusuf (editor), Pendirian Rumah Ibadat di Indonesia: Pelaksanaan Peraturan

Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dam 8 Tahun 2006, Jakarta:

Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan,

2011.

Ali-Fauzi, I., R.H. Alam, dan S.R. Panggabean (2009), Pola-pola Konflik Keagamaan di

Indonesia (1990-2008), Jakarta: Graha Paramadina

Buku Saku Sosialisasi Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam

Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: Kep-033/A/JA/6/2008,

Nomor: 199 Tahun 2008, tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota,

dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.

Crouch, M 2012, ‘Judicial review and religious freedom: The case of Indonesian Ahmadis’,

Sydney Law Review, vol. 34, no. 545, pp. 545-572.

Farsight Institute, 2017, Security and Protection of Ahmadiyah in Indonesia: Policy Tools to

Reduce Radicalization against Ahmadiyah, Jakarta: Farsight Institute.

Fauzi, Ali, Samsu Rizal Pangabean, Husni Mubarok, Titik Firawati, 2012, Mengelola

Keragamana: Pemolisian Kebebasan Beragama di Indonesia, PUSAD Universitas

Paramadina, Jakarta

Huang, Yanto, “Cabut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor

9 dan Nomor 8 Tahun 2006 ttg Pendirian Rumah Ibadah”, change.com, Juni 2015,

<https://www.change.org/p/presiden-jokowi-cabut-peraturan-bersama-menag-dan-

mendagri-no-9-dan-no-8-tahun-2006-ttg-pendirian-rumah-ibadah>

Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, 2012, Laporan

Pemantauan Pemolisian dan Hak Berkeyakinan, Beragama dan Beribadah, Kontras,

Jakarta

Kraft, Michael dan Furlong, Scott, Public Policy: Politics, Analysis and Alternatives,

Washington DC: CQ Press, 2010.

Mariani, N 2013, ‘Ahmadiyah, conflict, and violence in contemporary Indonesia’, Indonesian

Journal of Islam and Muslim Societies, vol. 3, no. 1, pp. 1-30.

21

Nabilla, Tashandra, "MUI Desak Peraturan Pendirian Rumah Ibadah Dijadikan Undang-

undang", Kompas.com, 11 November 2015,

<https://nasional.kompas.com/read/2015/11/11/04110201/.MUI.Desak.Peraturan.Pend

irian.Rumah.Ibadah.Dijadikan.Undang-undang.>

Nuh, Nuhrison M., Pandangan Pemuka Agama terhadap Kebijakan Pemerintah Bidang

Keagamaan, Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang

Kehidupan Keagamaan, 2013.

Parisadha Hindu Dharma Indonesia, “Musyawarah Besar Tokoh Agama Hasilkan Tujuh

Kesepakatan, phdi.or.id, 12 Februari 2018,

<http://phdi.or.id/berita/musyawarah-besar-tokoh-agama-hasilkan-tujuh-

kesepakatan>

PUSAD (Pusat Studi Agama dan Demokrasi), 2014, Pemolisian Konflik Keagamaan di

Indonesia, PUSAD Universitas Paramadina, Jakarta

Setara Institute 2017, Intolerance Supremacy, Setara Institute, Jakarta.

Siregar, Zulhidayat, “SKB/PBM soal Pendirian Rumah Ibadah harus Jadi UU, bukan Dicabut”,

rmol.com, 23 Juni 2015, <http://www.rmol.co/read/2015/06/23/207305/SKB/PBM-soal-

Pendirian-Rumah-Ibadah-harus-Jadi-UU,-bukan-Dicabut->

Slide Naskah Sosialisasi “Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri

(PBM) No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas

Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,

Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat”,

Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, 2006.

Ruhana, Akmal Salim, Menguji Penanganan Ahmadiyah, Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.