evaluasi penanganan konflik keagamaan di … fileantaragama dan konflik intra-agama. secara umum,...
TRANSCRIPT
1
EVALUASI PENANGANAN KONFLIK KEAGAMAAN DI INDONESIA
(STUDI KASUS KONFLIK AHMADIYAH DAN RUMAH IBADAT)
I. PENDAHULUAN
Dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, upaya pencapaian
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) difokuskan pada pemenuhan
kebutuhan generasi saat ini seoptimal mungkin tidak mengorbankan pemenuhan kebutuhan
generasi yang akan datang. Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Indonesia berkomitmen
mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) 2015-2030 yang berupaya pula
meningkatkan kualitas kehidupan sosial, kesejahteraan, menjaga kualitas kehidupan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. SDGs sendiri terdiri dari 17 tujuan utama dengan 169 target
sebagai penyempurnaan Millenium Development Goals (MDGs) 2000-2015.
Upaya pencapaian SDGs dalam menigkatkan kualitas kehidupan sosial dan kesejahteraan dapat
terkendala bila sering terjadi gesekan atau konflik antar elemen masyararakat. Hal ini
tercantum pada tujuan utama ke 16 SDGs yaitu penguatan masyarakat yang inklusif dan
damai untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua, dan
membangun kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan. Penguatan
masyarakat yang damai disini dapat dimaknai pengurangan potensi konflik yang terjadi di
masyarakat demi mendukung pembangunan berkelanjutan.
Secara umum, gesekan atau konflik yang terjadi di masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam
dua kategori besar yaitu konflik antar etnis dan konflik keagamaan. Contoh konflik
berlatarbelakang etnis adalah konflik Sambas dan konflik Sampit. Konflik Sampit di
Kalimantan tengah terjadi pada awal tahun 2001 antara suku Dayak asli dengan warga migran
Madura yang mengakibatkan 500 orang tewas dan lebih dari 100.000 warga kehilangan tempat
tinggal. Konfik etnik tersebut dapat terselesaikan dengan baik melalui upaya penegakan hukum
terhadap para pelaku kriminal, rekonsiliasi, dan perdamaian dengan mengedepankan dialog
antar tokoh masyarakat dibantu para pemuka agama.
Selanjutnya, konflik keagamaan karena sifatnya laten dan cenderung sulit untuk
direkonsiliasikan, menjadi tantangan tersendiri dalam menwujudkan ketertiban umum sebagai
salah satu prayarat utama dalam mencapai peningkatan kualitas kehidupan sosial dan
2
kesejahteraan masyarakat. Konflik keagamaan tersebut didefinisikan sebagai “perseturuan
menyangkut identitas, nilai atau klaim yang dibingkai dalam ungkapan keagamaan atau
melibatkan isu-isu yang menyangkut agama” (Ali-Fauzi, Alam, dan Panggabean 2009: 9).
Konflik keagamaan ini masih rentan terjadi dan dapat dikategorikan dua jenis yaitu konflik
antaragama dan konflik intra-agama.
Secara umum, konflik antaragama seperti yang pernah terjadi antara pemeluk agama Islam dan
Kristiani di Ambon Maluku Utara dan Poso Sulawesi Tengah telah dapat terselesaikan dengan
baik. Namun, konflik antaragama yang biasanya bersifat fisik antar pemeluk agama yang
berbeda, sekarang beralih kepada konflik terkait pembangunan, penggunaan dan peruntukan
rumah ibadat antara pemeluk agama. Seperti contoh penyegelan HKBP Filadelfia, Tambun,
Kab. Bekasi pada tahun 2012, penyegelan dan pelarangan beribadat bagi Jemaah GKI Yasmin,
Bogor Barat, Kota Bogor pada tahun 2012, penolakan pembangunan Masjid Nur Musafir,
Batuplat, Kupang pada tahun 2011, dan penolakan pembangunan Masjid Abdurrahman,
Wolokoli, Ende pada tahun 2011.Walaupun pemerintah telah mengeluarkan regulasi terkait
pengaturan pendirian rumah ibadat ini melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat, namun
potensi konfik masih tetap terbuka.
Kemudian, tantangan lainnya terkait konflik keagamaan yaitu konflik intra-agama yang terjadi
di dalam agama Islam, seperti contoh konflik Jamaah Ahmadiyah dan Komunitas Syiah.
Kedua konflik ini masih terus berlangsung walaupun pemerintah secara khusus telah
mengeluarkan regulasi terkait penanganan konflik Ahmadiyah ini melalui Surat Keputusan
Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 2008; No.
Kep-033/A/JA/6/2008 dan No. 199 Tahun 2008 tentang Peringantan dan Perintah kepada
Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat, namun potensi konflik masih terjadi hingga saat ini.
Oleh karena itu, kajian ini akan difokuskan pada evaluasi penanganan konflik keagamaan
terutama terkait pendirian rumah ibadat (konflik antaragama) dan konflik Jamaah Ahmadiyah
(konflik sektarian atau intra-agama di kalangan muslim).
3
II. RUMUSAN MASALAH
Sebagai upaya penciptaan perdamaian mendukung pembangunan berkelanjutan dan
pencapaian tujuan SDGs, kajian ini mencoba menjawab dua pertanyaan utama yaitu:
1. Bagaimana penanganan konflik keagamaan terutama terkait pendirian rumah ibadat
(konflik antaragama) dan konflik terkait Ahmadiyah (konflik sektarian atau intra-
agama di kalangan muslim) dilihat dari sisi regulasi?
2. Bagaimana penanganan konflik keagamaan terutama terkait pendirian rumah ibadat
(konflik antaragama) dan konflik terkait Ahmadiyah (konflik sektarian atau intra-
agama di kalangan muslim) dilihat dari sisi non-regulasi?
III. METODOLOGI
Kajian ini menggunakan pedekatan literature review dan deskriptif analitis atas beberapa
laporan tahunan lembaga pemantau kebebasan beragama diantaranya dari Setara Institute,
PUSAD, dan Kontras, serta beberapa hasil riset Kementerian Agama. Kajian ini mencermati
berbagai penanganan yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan anasir masyarakat, baik yang
bersifat regulatif maupun non-regulatif. Berbagai penanganan itu ditimbang dengan cara
pandang teoritik (terutama teori kebijakan publik) dan hasil-hasil penelitian yang ada, serta
disimpulkan untuk dapat dirumuskan rekomendasi bagi penanganan yang lebih optimal.
IV. TEMUAN
IV. 1. KONFLIK ANTARAGAMA: KASUS PENDIRIAN RUMAH IBADAT
Di antara berbagai persoalan konflik antaragama di Indonesia, masalah terkait pendirian rumah
ibadat cukup mengemuka dalam satu dekade terakhir. Berdasarkan kajian Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama, beberapa penyebab munculnya kasus terkait rumah ibadat ini,
secara terperinci, antara lain: tidak adanya izin dari Kantor Kementerian Agama
Kabupaten/Kota, protes terhadap pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat ibadat secara
rutin, penolakan pendirian rumah ibadat, pendirian rumah ibadat tanpa rekomendasi dari
FKUB, keluhan kesulitan perdirian rumah ibadat bagi pemeluk agama minoritas, arogansi
4
minoritas atas pendirian rumah ibadat, manipulasi data dan tanda tangan persyaratan pengguna
dan dukungan pendirian rumah ibadat, administrasi pemerintah yang kurang akurat, penolakan
pendirian rumah ibadat oleh masyarakat dan pencabutan IMB oleh pemerintah daerah tertentu
dengan alasan dan pertimbangan keresahan, gangguan keagamaan dan ketertiban masyarakat
(Asry, 2011). Dengan demikian, persoalannya tidak semata kasus penolakan pendirian rumah
ibadat, namun ada ragam alasan dan penyebab.
Secara jumlah, kasus terkait rumah ibadat cenderung meningkat, sebagaimana dilaporkan
sejumlah lembaga dalam pemantauan tahunannya. CRCS (2009, 2010), misalnya, mencatat
terdapat 18 kasus rumah ibadat pada 2009 yang pada 2010 meningkat menjadi 39 kasus.
Demikian halnya, The Wahid Institute (2010) mencatat adanya peningkatan gangguan terhadap
rumah ibadat dari tahun 2009, yang pada tahun 2010 tercatat 28 kasus pelanggaran dan 34
tindakan intoleransi terhadap rumah ibadat, sehingga total 62 kasus. SETARA Institute (2010)
mencatat pada tahun 2010 lalu terdapat 59 tempat ibadat yang mengalami gangguan.
Sedangkan Moderate Muslim Society (MMS, 2010) mencatat dari 81 kasus intoleransi di
Indonesia, sebanyak 80% (63 kasus) adalah aksi penyerangan, penolakan rumah ibadat.
Mencermati kecenderungan antartahun, sejumlah kasus intoleransi beragama (dimana
sebagiannya menyangkut kasus antaragama seperti pendirian rumah ibadat), terjadi fluktuasi
sebagaimana grafik 1 berikut.
Grafik 1. Fluktuasi Kasus Konflik Keagamaan (termasuk kasus rumah ibadat) 2007-2014
Sumber: Laporan Tahunan SETARA, The Wahid Institute, dan CRCS-UGM 2007-2014
185
367
291 286299
371
292
177
135
265
200216
244264
222
134
227 228196
277 274245
158
0
100
200
300
400
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
SETARA (tindakan) SETARA (peristiwa)
CRCS (kasus rumah ibadat) The Wahid (kasus)
5
Menimbang besarnya potensi gangguan kerukunan yang disebabkan kasus-kasus terkait rumah
ibadat ini, Pemerintah memiliki peranan penting sebagai regulator, fasilitator, dan dinamisator.
Sebagai regulator, maksudnya, Pemerintah harus menjalankan tugas utamanya menjaga
ketentraman dan ketertiban umum yang terganggu masalah rumah ibadat, misalnya, dengan
membuat aturan-aturan. Bukan mengatur terkait substansi agamanya melainkan lalu lintas
hubungan umat beragamanya. Oleh karena itu, PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 diterbitkan sebagai
regulasi yang mengatur perihal pendirian rumah ibadat, dan bersifat mengikat secara moral
karena disusun oleh perwakilan umat beragama sendiri. Sebagai fasilitator, maksudnya,
Pemerintah harus menjalankan mandat untuk melayani dan melindungi umat beragama dalam
melaksanakan ibadat, termasuk mendirikan rumah ibadat. Sedangkan peran dinamisator,
maksudnya, Pemerintah berupaya memberdayakan umat beragama dalam kehidupan beragama,
termasuk dalam menyelesaikan masalah-masalah terkait rumah ibadat (Ahmad, 2012).
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 pada intinya berisi 31 pasal tentang tugas kepala daerah/wakil
kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan, dalam pemberdayaan FKUB, dan dalam hal
pendirian rumah ibadat di daerah. PBM ini berlaku pada tanggal ditetapkan, yaitu tanggal 21
Maret 2006. PBM ini mencabut ketentuan mengenai pendirian rumah ibadat pada regulasi
sebelumnya, yakni Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin
Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-
Pemeluknya.
IV. 2. KONFLIK INTRA-AGAMA: KASUS AHMADIYAH
Meskipun Ahmadiyah menganggap dirinya sebagai seorang Muslim, tetapi oleh mayoritas
Muslim di Indonesia mereka tidak dianggap sebagai Muslim. Farsight Institute menyelidiki
terdapat tiga alasan utama mengapa Ahmadiyah tidak diakui sebagai Muslim; Pertama, ajaran
Ahmadiyah meyakini bahwa pendiri Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah
Muhammad; Kedua, Ahmadiyah memiliki tempat-tempat suci lainnya selain Mekah dan
Madinah; dan terakhir, Ahmadiyah meyakini Tadzkirah sebagai kitab suci di samping Al-
Qur’an (Farsight Institute, 2017). Oleh karena itu, banyak organisasi Muslim menolak
Ahmadiyah sebagai bagian dari umat Islam.
6
Dalam rangka menjaga ketertiban umum dan mencegah terjadinya kekerasan terhadap
pengikut Ahmadiyah, pemerintah mengeluarkan Keputusan Bersama Menteri 3/2008 tanggal
9 Juni 2008 oleh Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Kejaksanaan Agung sebagai
peringatan bagi pengikut Ahmadiyah dan kaum Muslim pada umumnya. Crouch (2012)
mengidentifikasi empat poin penting dari peraturan ini; pertama, itu membatasi orang untuk
tidak melakukan kegiatan pengajaran 'menyimpang' yang tidak sejalan dengan enam agama
yang diakui; Kedua, peringatan kepada pengikut Ahmadiyah untuk tidak menyebarkan
keyakinan 'menyimpang' bahwa ada nabi baru setelah Nabi Muhammad; Ketiga, peringatan
kepada pengikut Ahmadiyah bila mereka tidak mematuhi kedua hal tersebut, maka mereka
akan dikenakan sanksi sesuai dengan aturan yang berlakun; dan Keemat, peringatan terhadap
masyarakat umum orang untuk menghentikan perbuatan dan tindakan melawan hukum
terhadap pengikut Ahmadiyah. Mariani (2013) berpendapat peraturan ini memungkinkan
pengikut Ahmadiyah untuk melanjutkan ibadat mereka, tetapi mereka tidak dapat
mempraktekkan kepercayaannya secara terbuka.
Grafik 2. Jumlah insiden kekerasan terhadap pengikut AHmadiyah 2007-2016
Sumber: Setara Institute, 2017
7
Karena perbedaan pandangan tersebut, Setara Institute (2017) melaporkan telah terjadi 546
insiden kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah yang terjadi antara tahun 2007-2016. Gambar
1 menunjukkan jumlah insiden untuk komunitas Ahmadiyah masih berlanjut hingga sekarang
dan puncaknya terjadi pada tahun 2008 dengan 193 insiden dimana terjadi 48 kasus sebelum
penerbitan SKB (Juni 2008) dan 145 kasus terjadi setelah penerbitan SKB. Peningkatan
signifikan lainnya terjadi pada tahun 2011 dengan 114 insiden. Itu terjadi karena 11 pemerintah
daerah memberlakukan peraturan daerah yang melarang kegiatan Ahmadiyah pada tahun 2011
yang mengakibatkan terjadinya persekusi terhadap komunitas Ahmadiyah di daerah masing-
masing.
Selain kekerasan fisik, pengikut Ahmadiyah menghadapi tantangan lainnya yaitu sempat
kesulitan untuk mendapatkan kartu identitas dan surat nikah dari pihak berwenang setempat
karena 'keyakinan' mereka yang dianggap berbeda seperti di Kabupaten Kuningan dan Kota
Depok. Selain itu, ada juga 118 Ahmadiyah dan 33 keluarga telah tinggal di tempat
penampungan sementara yang disebut Wisma Transito selama lebih dari dua belas tahun.
Insiden baru-baru ini terhadap komunitas Ahmadiyah terjadi pada Mei 2016 di mana masjid
Al-Kautsar di Kendal Jawa Tengah dihancurkan oleh sekelompok orang yang tidak dikenal
dan juga pengikut Ahmadiyah di Sukabumi Jawa Barat dipaksa untuk sholat di luar masjid Al-
Furqon setelah ditutup oleh pejabat pemerintah setempat pada Juli 2016. Kekerasan ini juga
terjadi di Depok Jawa Barat, di mana otoritas lokal menyegel masjid Al-Hidayah pada Februari
2017 (Setara Institute, 2017).
Hingga November 2017, setidaknya ada 50 masjid Ahmadiyah telah dirusak, 49 masjid
Ahmadiyah telah ditutup secara paksa, dan sekitar 20 properti pribadi Ahmadiah telah
dihancurkan (Setara Institute, 2017) . Selain kerusakan harta benda, terjadi pula insiden pada
tanggal 27 Juli 2010 di Manis Lor Kabupaten Kuningan dan 6 Februari 2011 di Cikeusik
Kabupaten Pandeglang. Khusus insiden di Cikeusik ini telah yang menewaskan tiga pengikut
Ahmadiyah dan melukai lima orang (Crouch, 2012). Karenanya, kasus kekerasan terhadap
pengikut Ahmadiyah di Manislor Kuningan dan Cikesuik Pandeglang akan dijadikan unit of
analysis pada kajian ini.
8
V. ANALISIS
V. 1. EVALUASI KONFLIK KEAGAMAAN DARI SISI REGULASI
Kajian ini mengevaluasi penanganan konflik keagamaan terutama terkait konflik antaragama
(dalam hal ini terkait pendirian rumah ibadat) dan konflik intra-agama di kalangan Muslim
(dalam hal ini kasus terkait Ahmadiyah) dari sisi regulasi. Sebagaimana dimaklumi,
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan dua kebijakan terkait kedua hal tersebut. Terkait kasus
rumah ibadat, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri (PBM) No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat. Sementara
itu, terkait kasus Ahmadiyah, Pemerintah telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB)
Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 2008; No. Kep-
033/A/JA/6/2008 dan No. 199 Tahun 2008 tentang Peringantan dan Perintah kepada Penganut,
Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat.
Dengan menggunakan teori kebijakan publik, kajian ini akan menganalisis tahap demi tahap
dua kebijakan tersebut. Mencermati kebijakan publik dengan pendekatan proses (policy
process model) akan melihat kelebihan atau kekurangan dalam setiap tahap urutan logis
aktivitas pengembangan kebijakan publik. Ada enam tahap yang dilalui suatu kebijakan, yakni
(1) penentuan agenda (agenda setting), yakni bagaimana masalah didefinisikan hingga masuk
ke dalam agenda politik; (2) perumusan kebijakan (policy formulation), yakni penyusunan
tujuan kebijakan dan strategi untuk mencapai tujuan tersebut; (3) legitimasi kebijakan (policy
legitimation), yakni mobilisasi dukungan politik dan pemberlakuan formal kebijakan; (4)
implementasi kebijakan (policy implementation), yakni penyediaan sumber daya kelembagaan
untuk menempatkan program yang berlaku dalam birokrasi. Serangkaian kegiatan yang
diarahkan untuk menerapkan suatu program; (5) evaluasi kebijakan (policy evaluation) yakni
penilaian kebijakan dan efek programnya, termasuk keberhasilan atau kegagalan suatu
program; serta (6) revisi kebijakan (policy change) yakni modifikasi tujuan dan sarana
kebijakan dalam suatu perubahan informasi dan kondisi politik (Kraft dan Furlong, 2010).
9
V. 1. A. PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006
Terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, penerapan teori dengan pendekatan proses kebijakan
ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Merujuk pada penjelasan dari M. Atho Mudzhar dalam
slide Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, bahwa pada akhir tahun 2004 dan awal tahun
2005, muncul pro kontra di dalam masyarakat tentang regulasi terkait pendirian rumah ibadat
(SKB No. 1 Tahun 1969), yang dipicu terjadinya sejumlah kasus terkait rumah ibadat. Sebagian
pemuka agama mengusulkan regulasi itu dicabut, sebagian lainnya mengusulkan diperta-
hankan. Kemudian, Presiden memerintahkan Menteri Agama dan Mendagri untuk meresponi
dinamika tersebut dengan melakukan kajian atas regulasi dimaksud, untuk disiapkan kebijakan
baru yang lebih menjawab persoalan aktual. Agenda setting secara teknis kemudian dilakukan
oleh Kepala Badan Litbang Kementerian Agama dan Dirjen Kesbangpol Kemendagri.
Kerjasama dua kementerian ini menyepakati untuk membuat revisi atas kebijakan lama terkait
rumah ibadat (SKB No. 1 Tahun 1969).
Policy formulation dilakukan dengan melibatkan para pimpinan majelis agama tingkat pusat,
dalam sebelas kali diskusi atas draf kebijakan baru terkait rumah ibadat. Dipandu oleh Kepala
Badan Litbang Kementerian Agama dan Dirjen Kesbangpol Kemendagri, diskusi diikuti oleh
para pimpinan majelis agama yang mewakili komunitas agamanya. Mereka berasal dari
Majelis Ulama Indonesia (Islam), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (Kristen),
Konferensi Waligereja Indonesia (Katolik), Parisadha Hindu Dharma Indonesia (Hindu), dan
Perwalian Umat Buddha Indonesia (Buddha). Setelah berdiskusi secara intensif sejak 22
Oktober 2005 hingga pertemuan kesebelas pada 21 Maret 2006, tim berhasil menyepakati draf
regulasi terkait rumah ibadat tersebut.
Untuk mendapatkan kekuatan hukum yang mengikat ke segenap kelompok agama dan berlaku
secara nasional, policy legitimation dilakukan dengan membuat draf tersebut menjadi
instrumen hukum berupa Keputusan Menteri. Maka pada akhirnya pada tanggal 21 Maret 2006
terbitlah keputusan dua menteri yang selanjutnya lebih dikenal sebagai Peraturan Bersama
Menteri (PBM) tersebut. Policy implementation dilakukan dengan serangkaian proses
sosialisasi kepada para pimpinan daerah, untuk agar menggunakan PBM ini sebagai rujukan
dalam pengembangan kerukunan dan terutama menjawab problem terkait rumah ibadat yang
pada saat itu banyak terjadi di sejumlah tempat.
10
Policy evaluation dilakukan dengan melakukan serangkaian monitoring bahkan riset terhadap
implementasi regulasi ini di lapangan. Badan Litbang Kementerian Agama, misalnya,
mengadakan evaluasi tahunan bersama para pemuka agama penyusun regulasi ini. Selain itu,
pada 2012 juga melakukan riset pelaksanaan PBM, di mana salahsatu hasilnya menyebutkan
bahwa PBM telah disosialisasikan, dan mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah maupun
Majelis-majelis agama di daerah, hanya saja sosialisasinya belum sampai ke tingkat bawah.
Dalam riset itu juga terungkap bahwa tingkat pemahaman pemuka agama terhadap substansi
PBM mencapai 52 % (Nuh, 2013). Selain soal kurangnya sosialisasi, ihwal kekuatan hukum
PBM juga menjadi bahan evaluasi. Riset ini merekomendasikan ditingkatkannya PBM menjadi
Undang-undang, agar lebih berkekuatan hukum dan memberi sanksi bagi pelanggarnya.
Bagian akhir, policy change, juga dilalui PBM ini. Bahwa dalam perkembangan implementasi
regulasi ini ada kondisi-kondisi yang mendukung dan menghambatnya. Banyaknya kasus
rumah ibadat mendorong perevisian bahkan pencabutan PBM (sebagaimana tergambar dalam
evaluasi non-regulasi). Sebaliknya, kondisi itu juga justeru mendorong banyak pihak untuk
memperkuat posisi hukum PBM menjadi UU, agar lebih bergigi menjawab persoalan terkait
rumah ibadat tersebut. Banyak kalangan LSM dan bahkan akun polling mendorong pencabutan
PBM (Huang, 2015), sementara itu banyak kalangan lain seperti Ketua MUI, KH Ma’ruf Amin
(Nabilla, 2015), dan Komisionaris Komnas HAM, Manager Nasution (Siregar, 2015)
menginginkan PBM menjadi UU. Menteri Agama menjawab berbagai aspirasi dengan akan
mendiskusikannya dan mengakomodasinya dalam Rancangan Undang-undang Perlindungan
Umat Beragama (RUU PUB) yang sedang disusunnya.
V. 1. B. SKB Ahmadiyah Tahun 2008
Sementara itu, terhadap kebijakan terkait Ahmadiyah, yakni SKB Ahmadiyah Tahun 2008,
penerapan teori dengan pendekatan proses kebijakan ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Merujuk pada penjelasan pada Buku Saku Sosialisasi SKB tersebut dan Ruhana (2009),
diketahui bahwa kasus penolakan atau gangguan terhadap kelompok Ahmadiyah kembali
terjadi di sejumlah daerah di Indonesia pada sekitar tahun 2007. Pro kontra terjadi di dalam
masyarakat Indonesia terkait perlu tidaknya kelompok Ahmadiyah dibubarkan dan dilarang di
Indonesia. Sebagian kelompok masyarakat memandang kelompok Ahmadiyah sesat dan harus
dilarang ada dan berkembang di Indonesia. Sementara sebagian lainnya membela atas nama
agama, HAM dan kemanusiaan. Untuk itu agenda setting yang dilakukan oleh Pemerintah
11
ketika itu adalah menangani kasus Ahmadiyah yang menyita perhatian publik ini dengan suatu
regulasi atau kebijakan yang tepat. Karena menyangkut agama dan keyakinan, kementerian
yang terlibat adalah Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung.
Policy formulation dilakukan dengan melalui serangkaian dialog dengan pimpinan kelompok
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Dialog intensif dilakukan sebanyak 7 sesi di kantor Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama, yang pertama pada 7 September 2007 dan yang
terakhir pada 14 Januari 2008. Diskusi membahas draf Surat Pernyataan JAI yang akhirnya
disepakati dan ditandatangani pada 9 Juni 2008 tersebut. Pada intinya, Ahmadiyah ingin
menjadi bagian dari umat Islam dengan menyatakan 12 butir pernyataannya tentang posisi
keyakinan dan kemasyarakatannya. Setelah diumumkan dan mendapat respon publik, Tim
Pemantau melakukan monitoring pelaksanaan 12 butir tersebut yang pada akhirnya
disimpulkan bahwa apa yang dinyatakan dengan kenyataannya berbeda. Tim kemudian
melakukan serangkaian diskusi yang pada akhirnya menerbitkan Surat Peringatan atas
Ahmadiyah, yang di kemudian hari lebih dikenal dengan SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah.
SKB 3 Menteri ini, sebagaimana dijelaskan di dalam Buku Sosialisasinya, berisi 6 butir yang
intinya terbagi atas dua bagian. Pertama, memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam,
untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok
ajaran Agama Islam, yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala
ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Bagi pelanggarnya dapat dikenai sanksi hukum
termasuk badan hukum dan organisasinya. Sanksi hukum yang dimaksud disini ialah Pasal
156a KUHP tentang Penodaan Agama. Kedua, memerintahkan kepada warga masyarakat
untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban
kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan
hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI). Ini berarti Pemerintah melindungi warga JAI sebagai warga negara yang selama ini
menjadi target tindak kekerasan sebagian warga masyarakat. Bagi pelanggarnya dapat
dikenakan sanksi, yakni Pasal 156 KUHP yang berisi larangan untuk menyatakan perasaan
permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan masyarakat
Indonesia, dan Pasal 170 KUHP tentang tindakan kekerasan kepada orang atau barang.
12
Karena telah berupa Surat Keputusan Menteri, SKB ini telah cukup berkekuatan hukum,
sehingga policy legitimation terpenuhi. Adapun policy implementation dilakukan melalui
serangkaian sosialisasi keputusan ini, dan juga penanganan beberapa kasus bentrokan yang
terjadi antara warga masyarakat dengan pengikut kelompok Ahmadiyah, seperti terjadi di
Cikeusik Banten, Cisalada Bogor, dan lainnya.
Untuk melihat efektivitas pelaksanaan SKB ini, Pemerintah melakukan policy evaluation
dengan melakukan monitoring dan riset terencana. Seperti riset yang dilakukan Litbang
Kementerian Agama, yang menemukan bahwa pelaksanaan sosialisasi SKB belum maksimal,
sehingga hal ini berdampak pada masih terjadinya kasus-kasus yang menyangkut Ahmadiyah
di beberapa tempat. Tingkat pemahaman pemuka agama terhadap SKB pun hanya mencapai
33% (Nuh, 2013). Hingga kajian ini dilakukan, tampaknya belum ada niat Pemerintah
melakukan perubahan kebiakan (policy change), selain mengalamatkan ihwal penanganan
aliran keagamaan yang dipandang menyimpang serupa ini dalam RUU Perlindungan Umat
Beragama—yang sedang dirumuskan.
V. 1. C. Menimbang Penguatan Regulasi
Kedua paparan tentang tahapan proses kebijakan PBM dan SKB di atas menunjukkan bahwa
secara regulatif persoalan terkait perselisihan rumah ibadat maupun kasus aliran Ahmadiyah
telah memiliki landasan regulasi. Semua pihak, baik yang berselisih maupun masyarakat pada
umumnya serta Pemerintah, telah memiliki rujukan dalam menghadapi dan menangani kasus-
kasus yang masih terjadi. Persoalan dilapangan adalah belum cukup diketahuinya,
dipahaminya, dan dilaksanakannya aturan-aturan tersebut—sehingga kasus demi kasus masih
terjadi.
Pandangan yang melihat kurang kuatnya regulasi-regulasi itu di dalam tatanan hukum, dapat
dipahami karena kedua regulasi intra dan antaragama itu tidak memiliki sanksi hukum secara
langsung—mengingat keduanya bukanlah Undang-undang atau aturan dibawahnya yang
dibolehkan mengandung sanksi-sanksi. Meski demikian, PBM dan SKB sejatinya merupakan
suatu “Peraturan Menteri” yang juga memiliki daya dorong bagi audiensnya untuk ditaati,
sebagaimana Peraturan Menteri Keuangan yang memiliki daya-ikat bagi proses-proses
penganggaran, pajak, dan sebagainya. Selain itu, ada sanksi-sanksi pidana tak langsung dari
regulasi ini, misalnya, bagi pelanggar diktum ketiga dan kelima SKB akan dikenai ketentuan
13
hukum dalam KUHP, Pasal 156a tentang penodaan agama, Pasal 156 tentang penyebaran
kebencian dan permusuhan, Pasal 170 tentang tindakan kekerasan terhadap orang atau barang,
Pasal 187 tentang pembakaran, Pasal 351 tentang penganiayaan, Pasal 335 tentang perbuatan
tidak menyenangkan, Pasal 406 tentang perusakan barang, dan peraturan lainnya.
Namun demikian, berbagai hasil monitoring dan riset serta rekomendasi berbagai forum
pemuka agama, banyak aspirasi untuk meningkatkan kekuatan hukum kedua regulasi tersebut.
Yang terakhir, rekomendasi dari Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa
yang diselenggarakan oleh Utusan Khusus Presiden untuk Dialog Antar Agama dan Peradaban
(UKP-DKAAP) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, 8-11 Februari 2018. Mubes yang dihadiri
sekitar 450 tokoh agama dari enam agama ini membahas tujuh isu keagamaan. Diantaranya
menekankan, “Musyawarah Besar Pemuka Agama memandang bahwa selama belum menjadi
UU maka PBM perlu terus menerus disosialisasikan kepada kepala daerah dan penerapannya
dimaksimalkan.” (PHDI, 2018)
Aspirasi meningkatkan sejumlah kebijakan keagamaan menjadi Undang-undang sesung-
guhnya telah lama disadari Pemerintah. Maka sejak beberapa tahun silam, misalnya,
Kementerian Agama menyusun draf RUU Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB), dan kini
RUU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB). Dalam RUU ini diharapkan substansi
beberapa kebijakan non-UU tersebut akan direformulasi dan masuk menjadi pasal-pasal yang
relevan dan menjawab persoalan kekuatan hukum yang selama ini dialami.
V. 2. EVALUASI KONFLIK KEAGAMAAN DARI SISI NON REGULASI
Kajian ini berupaya melihat keberhasilan atau kegagalan penanganan konflik keagamaan
terutama terkait pendirian ibadat (konflik antaragama) dan konflik Jamaah Ahmadiyah (konflik
intra-agama di kalangan Muslim) dari sisi non-regulasi adalah dengan mengevaluasi
‘pemolisian konflik agama’. Pemolisian konflik agama itu adalah tindakan yang dilakukan
aparat kepolisian dalam menangani suatu peristiwa atau insiden konflik agama (Fauzi dkk,
2012). Pemolisian konflik agama dianggap efektif dan efisien manakala berhasil menekan
sengketa (dispute) keagamaan tidak berkembang menjadi kekerasan (violent) keagamaan
(Fauzi dkk, 2012). Kajian ini menggunakan dua sumber hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh Kontras (2012) dan PUSAD (2014) sebagai sumber analisis terkait bagaimana keefektifan
peran Polri dalam menyikapi konflik keagamaan.
14
Kontras (2012) melakukan pemantauan terhadap peran polri dalam perlindungan berkeyakinan
kelompok minoritas di Jakarta, Jawa Barat dan Banten dengan fokus pada kasus Kebayoran
Lama, Ahmadiyah di Manis Lor Kuningan, Ahmadiyah di Cikeusik, Jemaat Kristen HKBP
Ciketing, GKI Taman Yasmin. Dalam kesimpulannya, Kontras (2012) berpandangan bahwa
Polri sering kali kurang memprioritaskan kegiatan pencegahan dini atau preventif, kurang
punya strategi dalam menangani ujaran kebencian (hate speech) dan kurang bisa bertindak
tegas dalam pengawal nilai-nilai konstitusi terutama bila menghadapi tekanan dari kelompok
mayoritas dan kebijakan hukum yang ambigu.
Selain itu, Kontras (2012) pun mencatat bahwa sebetulnya Polri memiliki landasan kuat bagi
perlindungan kelompok- kelompok minoritas, seperti Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009
tentang Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian
Republik Indonesia atau Peratu- ran Kapolri Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar
Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat. Namun, pelaksanaan dilapangan masih
kurang optimal dan banyaknya personel Polri yang kurang dalam melaksankanan perintah
aturan ini.
Laporan Kontras ini menyimpulkan bahwa Polri berhasil meredam gejolak penolakan seperti
yang terlihat di kasus Ahmadiyah di Manis Lor Kuningan Jawa Barat dan kasus Kebayoran
Lama, tapi dianggap kurang efektif dalam penanganan atas kasus Ahmadiyah di Cikeusik,
HKBP Ciketing dan GKI Taman Yasmin.
Hal senada dikemukakan oleh PUSAD (2014) dalam laporannya bahwa pemolisian konflik
keagamaan terkait penanganan konflik Ahmadiyah di Manis Lor Kuningan, penanganan
Jemaah GKI Yasmin, Bogor, penanganan penolakan pembangunan Masjid Nur Musafir,
Kupang, dan penanganan penolakan pembangunan Masjid Abdurrahman, Wolokoli, Ende
menunjukkan keberhasilan dalam mencegah ketegangan sehingga tidak menjadi kekerasan
terbuka. Akan tetapi, konflik sektarian Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang menunjukkan
kegagalan pemolisian sehingga menimbulkan kekerasan yang meluas dan menimbulkan
korban jiwa dan kerusakan yang besar.
Untuk lebih jelasnya pemolisian konflik antaragama (tempat ibadat) dan konfik intra-agama
(Ahmadiyah) dijelaskan sebagai berikut.
15
V. 2. A. Pemolisian Konflik Antaragama (Tempat Ibadat)
Konflik tempat ibadah tidak hanya terjadi pada pembangunan gereja pada komunitas mayoritas
masyarakat beragama Islam, namun juga terjadi pada komunitas mayoritas masyarakat
beragama Protestan atau Katholik terkait pembangunan masjid.
Kontras (2012) menilai bahwa Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006 terkait Pendirian
Rumah Ibadat sering dijadikan justifikasi untuk menghambat pembangunan tempat ibadat oleh
komunitas masyarakat pemeluk agama mayoritas terhadap minoritas. Seperti contoh
pembangunan gereja oleh jemaat GKI Yasmin di Bogor atau pembangunan Masjid
Abdurrahman di Ende yang masih menyisakan permasalahan hingga saat ini. Selain itu,
PUSAD (2014) melalui penelitiannya mengungapkan bahwa PBM 2006 secara signifikan
melemahkan kebiasaan atau local wisdom gotong royong dan kerjasama masyarakat dalam
membangun rumah ibadat. Hal ini terlihat di daerah Ende, saat ini kebiasaan gotong royong
membangun rumah ibadat terhenti dan berubah menjadi sengketa setelah PBM 2006
diundangkan.
Upaya penyelesaian kasus tempat ibadat ini berada pada tahapan yang berbeda-beda. Seperti
contoh, sengekta pembangunan Masjid Abdurahman di Ende saat ini masih dalam proses
negosiasi. Namun, berbeda dengan kasus pembangunan GKI Yasmin di Bogor yang saat ini
pada status quo penyelesaian jalur hukum, dimana Mahkamah Agung telah memutuskan IMB
gereja sah dan berlaku, namun Pemerintah Kota Bogor membatalkan IMB tersebut dengan
pertimbangan ketertiban dan dugaan pemalsuan tanda tangan pada proses perizinannya
(PUSAD, 2014). Selain itu, perlu dipahami pula bahwa adanya indikasi hubungan antara
pemberitaan penolakan mayoritas Muslim atas pendirian gereja GKI Yasmin di Bogor dengan
meningkatnya penolakan mayoritas Protestan ataupun Katholik atas pembangunan masjid di
Ende NTT.
Dalam konteks konflik tempat ibadah seperti ini, kehadiran polri sebagai pemelihara keamanan
dan ketertiban sangatlah diperlukan dan disesuaikan dengan tingkat kerawanannya. Kehadiran
personel polri di Gereja GKI Yasmin setiap hari Minggu memberikan kenyamanan dan
ketenangan kepada jemaat yang sedang melaksanakan ibadahnya. Sementara itu, dalam
16
sengketa pembangunan masjid Abdurrahman di Ende NTT keterlibatan polri hanya memediasi
pihak-pihak yang bertikai (PUSAD, 2014).
V. 2. B. Pemolisian Konfik Intra-agama (Ahmadiyah)
Salah satu penyebab konflik Ahmadiyah di Manislor Kuningan dan Cikeusik Pandeglang
adalah perbedaan pandangan dan praktek keagamaan sehari-hari diantara mayoritas muslim
dan Ahmadiyah (PUSAD, 2014). Oleh karena perbedaan pandangan ini yang mendorong
timbulnya agresi dan melahirkan mobilisasi penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah oleh
sekelompok massa tertentu.
Kehadiran personel Polri diperlukan untuk mencegah anarkis pada aksi mobilisasi tersebut.
Seperti yang terjadi di Manis Lor Kuningan tahun 2010 mobilisasi massa terhadap pengikut
Ahamdiyah dapat di kelola dengan baik sehingga konflik terbuka dapat dihindari dan ditekan.
Namun, hal ini berebeda pada mobilisasi massa terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik
Pandeglang dimana personil Polri tidak dapat mengantisiapsi kekerasan yang mengakibatkan
3 pengikut Ahmadiyah tewas.
V. 2. C. Tindakan Pemolisian Konflik Agama
Terdapat tiga pendekatan yang dapat dilakukan personil Polri dalam menangani konflik
keagamaan seperti ini. Ketiga pendekatan dimaksud adalah Preemtif, Preventif dan Represif.
Preemtif yaitu mendeteksi secara awal berbagai faktor yang memungkinkan terjadinya
mobilisasi massa yang mengarah terjadinya konflik. Fungsi Intelijen Polri memegang peranan
penting dalam proses Peemtif ini, dimana informasi yang diperoleh langsung di lapangan
ataupun melalui jaringan informan di kalangan masyarakat diolah menjadi informasi detail
penanganan gejala konflik. Berdasarkan laporan PUSAD (2014) menunjukan bahwa intelijen
Polri kurang berhasil memperoleh informasi yang akurat terkait kejadian konfik Ahmadiyah di
Cikeusik Pandeglang, dimana jumlah massa anti-Ahmadiyah yang akan mendatangi rumah-
rumah pengikut Ahmadiyah tidak terdeteksi sebelumnya sehingga menyebabkan antisipasi
pengamanan tidak optimal. Hal ini berakibat bentrokan antara puluhan Jemaah Ahmadiyah
dengan ratusan massa anti-Ahmadiyah tidak terhindari yang menyebabkan 3 orang pengikut
Ahmadiyah meninggal dunia (PUSAD, 2014).
17
Kemudian, pendekatan preventif dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan konflik
keagamaan setelah dilakukannya upaya preemtif. Pendekatan Binmas (Pembinaan
Masyarakat) yang saat ini dilakukan Polri dapat membatu memetakan potensi konflik,
meredam ketegangan dengan cara menatangani pihak-pihak yang bersengketa dan melakukan
mediasi bila diperlukan. Pendekatan Binmas termasuk pula community policing atau
pemolisian masyarakat dengan penempatan satu desa satu Babinkamtibmas yang diharapkan
membantu tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban di wilayah terkecil yaitu desa. Lebih
lanjut, pendekatan represif merupakan upaya terakhir bila konflik keagamaan tetap terjadi
dengan pengerahan satuan dalmas (pengendalian massa), raimas (pengurai massa dana tau
brimob (brigade mobil) sebagai upaya pemulihan keamanan dan ketertiban. Hal ini diikuti
dengan proses penegakan hukum yang diawali penyelidikan dan penyidikan atas konflik
keagamaan, seperti contoh pada kasus Ahmadiyah di Cikeusik yang telah memvonis para
pelaku kekerasan yang menyebabkan meninggalnya 3 orang pengikut Ahmadiyah.
Selain ketiga pendekatan tersebut, terdapat faktor lain yang turut mempermudah atau bahkan
menghambat proses pemolisian konfik keagamaan. Faktor tersebut diantaranya (1) Posisi atau
sikap pemerintah daerah. Berdasarkan laporan PUSAD (2014) terindikasi bahwa beberapa
pemerintah daerah mempersulit proses pemolisian dan cenderung memperuncing konflik
seperti kasus Ahmadiyah di Manis Lor Kuningan dan Cikeusik Pandeglang. Pemerintah daerah
di kedua wilayah tersebut cenderung berpihak kepada mayoritas anti-Ahmadiyah. Begitu pula
terjadi pada kasus rumah ibadah sengketa GKI Yasmin di Bogor, dimana pemerintah daerah
juga berpihak pada mayoritas Muslim di daerah tersebut yang menghambat proses rekonsiliasi
dan pemolisian. Namun, berbeda sikap pemerintah daerah Ende terkait sengketa pembangunan
Masjid Abdurrahman yang cenderung netral (PUSAD, 2014); dan (2) Politik lokal dan Pilkada.
Penyelesaian konflik keagamaan bukan merupakan isu yang krusial untuk segera ditangani,
bahkan pada saat pilkada calon kepala daerah baik itu pertahana maupun non-pertahanan
cenderung memihak kepada mayoritas (non-Ahmadiyah) yang tentunya mempersulit
penyelesaian dan pemolisian (PUSAD, 2014).
18
VI. KESIMPULAN
Dari paparan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Dari sisi regulasi, penanganan konflik keagamaan terutama terkait pendirian ibadat (konflik
antaragama) dan kasus Ahmadiyah (konflik intra-agama) telah cukup memiliki landasan.
Untuk kasus rumah ibadat, telah terbit PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 yang mulai berlaku
pada 21 Maret 2006. Sedangkan untuk kasus Ahmadiyah telah diterbitkan SKB Ahmadiyah
Tahun 2008 yang mulai berlaku pada 9 Juni 2008. Hanya saja, selain kurangnya sosialisasi
atas kedua peraturan tersebut bagi kalangan aparat dan masyarakat, kekuatan hukumnya
masih ada yang mempermasalahkan karena tak cukup kuat berdaya-paksa dengan sanksi-
sanksi. Hal ini menyebabkan implementasi kedua regulasi ini di lapangan masih belum
optimal, terbukti dengan masih terjadinya kasus-kasus terkait rumah ibadat maupun terkait
kelompok Ahmadiyah.
2. Jika dilihat dari sisi non-regulasi, penanganan konflik keagamaan terutama terkait pendirian
rumah ibadat (konflik antaragama) dan konflik Ahmadiyah (intra-agama) dapat dikatakan
berhasil dalam menekan sengketa (dispute) keagamaan tidak berkembang menjadi
kekerasan (violent) keagamaan. Hal ini terlihat pada upaya pemolisian melalui pendekatan
preemtif, preventif dan represif telah dijalankan dengan cukup baik, terutama pada konflik
terkait pembangunan rumah ibadat. Dimana personil polri dapat mencegah terjadinya
kekerasan ketika menangani kasus konflik pendirian rumah ibadat, seperti kasus HKBP
Filadelfia di Bekasi, GKI Yasmin di Bogor, Masjid Nur Musafir di Kupang dan Masjid
Abdurrahman di Ende. Namun, terkait pemolisian konflik sektarian perlu mendapat
perhatian khusus dimana sering terjadinya mobilisasi dari pihak-pihak yang bertikai dalam
rangka mencapai tujuannya masing-masing. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas personel
polri terkait peemtif dan preventif perlu ditingkatkan sehingga kejadian bentrokan yang
menyebabkan 3 orang pengikut Ahmadiyah meninggal dunia di Cikeusik beberapa tahun
lalu, tidak terulang kembali.
19
VII. REKOMENDASI
Dari kajian ini dapat direkomendasikan beberapa hal:
1. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi PBM dan SKB yang lebih massif kepada aparatnya
di pusat dan daerah, serta kepada masyarakat luas. Sosialisasi perlu menyasar stakeholders
yang lebih luas dan merata di berbagai daerah di Indonesia, dengan memperhatikan
segmentasi peserta dan teknologi yang lebih mutakhir. Pemuka agama dan masyarakat umat
beragama agar membantu upaya pemeliharaan kerukunan dengan mengetahui, memahami,
dan melaksanakan regulasi yang ada. Senyampang itu, Pemerintah perlu menyiapkan draf
RUU dan naskah akademiknya yang cukup kuat untuk bergerak ke upaya penguatan
regulasi-regulasi ini menjadi peraturan perundang-undangan yang lebih kokoh. Rencana
penyusunan RUU Perlindungan Umat Beragama dapat menjadi wahana yang strategis untuk
memasukkan substansi regulasi-regulasi ini dalam UU tersebut.
2. Pendekatan pemolisian tidak dapat berjalan maksimal bila tidak mendapatkan dukungan
yang sejalan dari para pihak (stakeholder) lainnya. Kegiatan preventif personil Polri melalui
program pemolisian masyarakat (polmas) dapat menjadi ujung tombak dalam memberikan
bantuan melalui penyuluhan, bimbingan masyarakat dan sosialisasi pendirian rumah ibadat
pada masyarakat yang majemuk. Melalui progam ini diharapkan pihak-pihak yang bertikai
dapat diberikan pemahaman dan membangun empati juga relasi antar-iman terkait
kebutuhan terhadap rumah ibadat masing-masing. Terkait konflik sektarian, Polri
diharapkan dapat memitigasi konflik dengan meningkatkan pendekatan peemtif melalui
deteksi dini gejala dan sumber ketegangan antar sekte, teknik berhubungan dengan
kelompok masyarakat yang majemuk, dan teknik mengendalikan ketegangan di masyarakat.
20
REFERENSI
Ahmad, Haidlor Ali (editor), Hubungan Umat Beragama: Studi Kasus Penutupan/
Perselisihan Rumah Ibadat, Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat,
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012.
Asry, M. Yusuf (editor), Pendirian Rumah Ibadat di Indonesia: Pelaksanaan Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dam 8 Tahun 2006, Jakarta:
Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
2011.
Ali-Fauzi, I., R.H. Alam, dan S.R. Panggabean (2009), Pola-pola Konflik Keagamaan di
Indonesia (1990-2008), Jakarta: Graha Paramadina
Buku Saku Sosialisasi Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: Kep-033/A/JA/6/2008,
Nomor: 199 Tahun 2008, tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota,
dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
Crouch, M 2012, ‘Judicial review and religious freedom: The case of Indonesian Ahmadis’,
Sydney Law Review, vol. 34, no. 545, pp. 545-572.
Farsight Institute, 2017, Security and Protection of Ahmadiyah in Indonesia: Policy Tools to
Reduce Radicalization against Ahmadiyah, Jakarta: Farsight Institute.
Fauzi, Ali, Samsu Rizal Pangabean, Husni Mubarok, Titik Firawati, 2012, Mengelola
Keragamana: Pemolisian Kebebasan Beragama di Indonesia, PUSAD Universitas
Paramadina, Jakarta
Huang, Yanto, “Cabut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
9 dan Nomor 8 Tahun 2006 ttg Pendirian Rumah Ibadah”, change.com, Juni 2015,
<https://www.change.org/p/presiden-jokowi-cabut-peraturan-bersama-menag-dan-
mendagri-no-9-dan-no-8-tahun-2006-ttg-pendirian-rumah-ibadah>
Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, 2012, Laporan
Pemantauan Pemolisian dan Hak Berkeyakinan, Beragama dan Beribadah, Kontras,
Jakarta
Kraft, Michael dan Furlong, Scott, Public Policy: Politics, Analysis and Alternatives,
Washington DC: CQ Press, 2010.
Mariani, N 2013, ‘Ahmadiyah, conflict, and violence in contemporary Indonesia’, Indonesian
Journal of Islam and Muslim Societies, vol. 3, no. 1, pp. 1-30.
21
Nabilla, Tashandra, "MUI Desak Peraturan Pendirian Rumah Ibadah Dijadikan Undang-
undang", Kompas.com, 11 November 2015,
<https://nasional.kompas.com/read/2015/11/11/04110201/.MUI.Desak.Peraturan.Pend
irian.Rumah.Ibadah.Dijadikan.Undang-undang.>
Nuh, Nuhrison M., Pandangan Pemuka Agama terhadap Kebijakan Pemerintah Bidang
Keagamaan, Jakarta: Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, 2013.
Parisadha Hindu Dharma Indonesia, “Musyawarah Besar Tokoh Agama Hasilkan Tujuh
Kesepakatan, phdi.or.id, 12 Februari 2018,
<http://phdi.or.id/berita/musyawarah-besar-tokoh-agama-hasilkan-tujuh-
kesepakatan>
PUSAD (Pusat Studi Agama dan Demokrasi), 2014, Pemolisian Konflik Keagamaan di
Indonesia, PUSAD Universitas Paramadina, Jakarta
Setara Institute 2017, Intolerance Supremacy, Setara Institute, Jakarta.
Siregar, Zulhidayat, “SKB/PBM soal Pendirian Rumah Ibadah harus Jadi UU, bukan Dicabut”,
rmol.com, 23 Juni 2015, <http://www.rmol.co/read/2015/06/23/207305/SKB/PBM-soal-
Pendirian-Rumah-Ibadah-harus-Jadi-UU,-bukan-Dicabut->
Slide Naskah Sosialisasi “Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
(PBM) No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,
Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat”,
Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, 2006.
Ruhana, Akmal Salim, Menguji Penanganan Ahmadiyah, Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.