jurnal psikologi konflik intrapersonal dalam memeluk agama pada remaja dengan orang tua yang berbeda...

23
1 KONFLIK INTRAPERSONAL DALAM MEMELUK AGAMA PADA REMAJA DENGAN ORANG TUA YANG BERBEDA AGAMA Oleh Dessya Natascha Y [email protected] Lusy Asa Akhrani Yoyon Supriyono ABSTRACT The aim of this research is to describe intrapersonal conflict of embracing religion in adolescent with inter-religion parents. This research tries to explain factors that caused religious doubt which forced emergence of the intrapersonal conflict among their religion, type of intrapersonal conflict they were faced, and the effects of intrapersonal conflict through their life. The data collection method in this phenomenological-qualitative research was done by performing interviews, observations and documentations towards four subjects. The subjects are four adolescents with interfaith marriage parents, the age is about 19 – 23 years old, and currently having study for Bachelor Degree. The results has shown that three of four subjects are having intrapersonal conflicts embraces to their religion that were caused by factors such as religion conversion, the religion education in family, and the role of same sex parents. Subjects are having intrapersonal conflict type in different issue. Type of intrapersonal conflicts on this research consists of approach-approach conflict and approach-avoidance conflict. Keywords : Conflict, Religion, Adolescent, Intrapersonal Conflict, Inter-religion marriage ABSTRAKSI Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai konflik intrapersonal dalam memeluk agama pada remaja dengan orang tua yang berbeda agama. Penelitian ini berusaha menjelaskan mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya keraguan dalam memeluk agama yang akhirnya menimbulkan konflik intrapersonal, tipe konflik intrapersonal seperti apa yang mereka alami, serta bagaimana dampak konflik terhadap kehidupan mereka. Teknik pengambilan data dalam penelitian kualitatif-fenomenologis ini menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi dengan melibatkan empat subyek penelitian. Subyek pada penelitian ini adalah remaja dengan orang tua yang berbeda agama, berusia antara 19-23 tahun, berada dalam masa remaja akhir, serta sedang menempuh pendidikan Strata 1. Hasil penelitian menujukkan bahwa tiga diantara empat subyek mengalami konflik intrapersonal dalam memeluk agama karena dipengaruhi oleh faktor- faktor seperti adanya konversi agama, pendidikan agama yang diberikan oleh orang tua, serta peran orang tua yang berjenis kelamin sama. Konflik intrapersonal yang dialami para subyek penelitian berada dalam wilayah kehidupan yang berbeda-beda. Tipe-tipe konflik intrapersonal yang dialami ketiga subyek mencakup konflik mendekat-menjauh dan konflik mendekat-mendekat. Kata kunci : Konflik, Agama, Remaja, Konflik Intrapersonal, Pernikahan Beda Agama

Upload: dessya-natascha-yuliawan

Post on 27-Dec-2015

142 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai konflik intrapersonal dalam memeluk agama pada remaja dengan orang tua yang berbeda agama. Penelitian ini berusaha menjelaskan mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya keraguan dalam memeluk agama yang akhirnya menimbulkan konflik intrapersonal, tipe konflik intrapersonal seperti apa yang mereka alami, serta bagaimana dampak konflik terhadap kehidupan mereka. Teknik pengambilan data dalam penelitian kualitatif-fenomenologis ini menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi dengan melibatkan empat subyek penelitian

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

1

KONFLIK INTRAPERSONAL DALAM MEMELUK AGAMA PADA REMAJA DENGAN ORANG TUA YANG BERBEDA AGAMA

Oleh Dessya Natascha Y

[email protected] Lusy Asa Akhrani Yoyon Supriyono

ABSTRACT The aim of this research is to describe intrapersonal conflict of embracing religion in

adolescent with inter-religion parents. This research tries to explain factors that caused religious doubt which forced emergence of the intrapersonal conflict among their religion, type of intrapersonal conflict they were faced, and the effects of intrapersonal conflict through their life. The data collection method in this phenomenological-qualitative research was done by performing interviews, observations and documentations towards four subjects. The subjects are four adolescents with interfaith marriage parents, the age is about 19 – 23 years old, and currently having study for Bachelor Degree. The results has shown that three of four subjects are having intrapersonal conflicts embraces to their religion that were caused by factors such as religion conversion, the religion education in family, and the role of same sex parents. Subjects are having intrapersonal conflict type in different issue. Type of intrapersonal conflicts on this research consists of approach-approach conflict and approach-avoidance conflict. Keywords : Conflict, Religion, Adolescent, Intrapersonal Conflict, Inter-religion marriage

ABSTRAKSI Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai konflik intrapersonal

dalam memeluk agama pada remaja dengan orang tua yang berbeda agama. Penelitian ini berusaha menjelaskan mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya keraguan dalam memeluk agama yang akhirnya menimbulkan konflik intrapersonal, tipe konflik intrapersonal seperti apa yang mereka alami, serta bagaimana dampak konflik terhadap kehidupan mereka. Teknik pengambilan data dalam penelitian kualitatif-fenomenologis ini menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi dengan melibatkan empat subyek penelitian. Subyek pada penelitian ini adalah remaja dengan orang tua yang berbeda agama, berusia antara 19-23 tahun, berada dalam masa remaja akhir, serta sedang menempuh pendidikan Strata 1. Hasil penelitian menujukkan bahwa tiga diantara empat subyek mengalami konflik intrapersonal dalam memeluk agama karena dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti adanya konversi agama, pendidikan agama yang diberikan oleh orang tua, serta peran orang tua yang berjenis kelamin sama. Konflik intrapersonal yang dialami para subyek penelitian berada dalam wilayah kehidupan yang berbeda-beda. Tipe-tipe konflik intrapersonal yang dialami ketiga subyek mencakup konflik mendekat-menjauh dan konflik mendekat-mendekat. Kata kunci : Konflik, Agama, Remaja, Konflik Intrapersonal, Pernikahan Beda Agama

Page 2: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

2

LATAR BELAKANG

Seiring berkembangnya zaman dan kemajuan di bidang teknologi modern telah

mendatangkan kemajuan pada berbagai bidang kehidupan, salah satunya kemajuan dalam

bidang komunikasi. Majunya komunikasi berarti pula telah membuka kesempatan yang lebih

besar kepada anggota-anggota dari golongan masyarakat, baik yang namanya suku, ras,

maupun agama untuk berinteraksi dari anggota-anggota masyarakat dari luar golongannya.

Interaksi tersebut bukanlah hal yang mustahil bila terlahir perkawinan antar suku, ras, bahkan

antar agama (Surbakti, 2009).

Sebuah pernikahan tidaklah lepas dari kehadiran seorang anak di dalamnya, maka

persoalan lain yang akan timbul di dalam sebuah pernikahan beda agama adalah setelah anak-

anak mereka lahir. Menerapkan pendidikan agama pada anak diantara dua keyakinan yang

berbeda juga dapat memicu timbulnya konflik dalam keluarga, dimana mungkin masing-

masing menginginkan sang anak mengikuti agama dari satu pihak saja dan semuanya itu

tergantung kepada kesepakatan masing-masing pasangan sebelum atau setelah memutuskan

menikah beda agama.

Ketika anak masih kecil, mereka hanya mengalami kebingungan-kebingungan dalam

kebiasaan ataupun tata cara ibadah kedua orang tuanya yang berbeda. Karena anak dalam

usia yang lebih muda belum memikirkan mengenai perbedaan agama yang ayah dan ibunya

anut. Tapi ketika mereka semakin tumbuh menjadi seorang remaja, pola pikirnya juga akan

semakin berkembang, maka akan banyak muncul pertanyaan yang diajukan seorang remaja

mengenai kondisi keagamaan di dalam keluarganya. Mengapa agama kedua orang tuanya

berbeda, mengapa agamanya tidak sama dengan salah satu agama orang tuanya, apakah

agama yang ia peluk ini sudah benar, mengapa ada berbagai macam perbedaan nilai dan

aturan dari kedua agama yang ada di dalam keluarga yang membingungkan, hingga

pertanyaan mengapa ada perbedaan tata cara dalam meyakini keEsaan Tuhan (Jalaluddin,

2010).

Hasil penelitian Starbuck (Jalaluddin, 2010) terhadap mahasiswa Middleburg College,

disimpulkan bahwa dari remaja berusia 11-26 tahun terdapat 53% dari 142 mahasiswa yang

mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima, cara penerapan,

keadaaan lembaga keagamaan, dan para pemuka agama. Hal yang serupa ditemukan ketika ia

meneliti hal yang sama terhadap 95 mahasiswa, dimana 75% diantaranya mengalami konflik

dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima.

Remaja yang kehidupan lingkungan dengan orang tua yang menganut agama yang

sama, maka kebimbangan pada masa remaja itu akan berkurang. Remaja akan merasa gelisah

Page 3: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

3

dan kurang aman apabila agama atau keyakinannya berlainan dari agama atau keyakinan

orang tuanya. Keyakinan dan keteguhannya menjalankan ibadah serta memelihara nilai-nilai

agama dalam hidupnya sehari-hari menolong remaja dari kebimbangan (Daradjat, 2003).

Akan menjadi lebih mudah ketika remaja tersebut hidup dalam keluarga dengan satu agama,

karena prinsip-prinsip dan berbagai ajaran agama yang diajarkan oleh orang tuanya akan

berada dalam satu atap sehingga mampu meminimalisir kebingungan tentang agama mereka.

Sedangkan pada remaja dengan orang tua yang berbeda agama akan muncul apa yang

disebut dengan konflik intrapersonal, dimana seorang remaja dihadapkan pada dua pilihan

yang sama kuatnya. Konflik intrapersonal akan terjadi ketika individu harus memilih diantara

beberapa pilihan kemudian merasa bimbang mana yang harus dipilih untuk dilakukan, namun

juga tetap harus menerima konsekuensi dari pilihannya tersebut. Dalam hal ini adalah,

konflik intrapersonal dalam memeluk agama pada remaja dengan orang tua yang berbeda

agama. Pada masa ini akan terjadi berbagai macam kebingungan, pertimbangan, keraguan

hingga konflik diri yang bisa terjadi dan berpengaruh kepada bagaimana ia menjalani

hidupnya ke depan nanti. Perlu banyak pertimbangan-pertimbangan matang, keyakinan diri

mengenai agama dirasa paling cocok dengan seorang individu tanpa ada pengaruh ataupun

paksaan dari pihak lain.

Hal ini yang menjadi alasan mengapa sebenarnya remaja yang tengah berada dalam

konflik intrapersonal dalam memeluk agama dengan orang tua yang berbeda agama perlu

mendapat perhatian lebih untuk menghindari munculnya berbagai macam kebingungan yang

berakhir pada stress ataupun perilaku negatif lainnya. Karena jika ada suatu peristiwa yang

bisa mengganggu tahap perkembangan seseorang di masa remaja, nantinya juga akan

menghambat tahap perkembangan yang selanjutnya. Menurut Hunt & Metcalf (Novelita,

2011) konflik intrapersonal bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi dengan baik

dapat menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental hygiene) individu

yang bersangkutan.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dari penelitian

ini adalah bagaimanakah gambaran konflik intrapersonal dalam memeluk agama pada remaja

dengan orang tua yang berbeda agama?

C. Tujuan

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah gambaran konflik

intrapersonal dalam memeluk agama pada remaja dengan orang tua yang berbeda agama

Page 4: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

4

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konflik Intrapersonal

Menurut Lewin (Collone dan Eliana, 2005) situasi konflik dapat dijelaskan sebagai

suatu keadaan dimana ada daya-daya yang saling bertentangan arah dan dalam kekuatan yang

kira-kira sama. Ada beberapa jenis kekuatan menurut Lewin (Sarwono, 2002) yang bertindak

seperti vektor, yakni:

1. Kekuatan pendorong (driving force): menggerakkan, memicu terjadinya lokomosi /

tingkah laku ke arah yang ditunjuk oleh kekuatan itu.

2. Kekuatan penghambat (restraining force): halangan fisik atau sosial menahan

terjadinya lokomosi / tingkah laku, mempengaruhi dampak dari kekuatan pendorong

3. Kekuatan kebutuhan pribadi (forces corresponding to a persons needs):

menggambarkan keinginan pribadi untuk mengerjakan sesuatu.

4. Kekuatan pengaruh (induced force): menggambarkan keinginan dari orang lain

(misalnya orang tua atau teman) yang masuk menjadi region lingkungan psikologis.

5. Kekuatan non manusia (impersonal force): bukan keinginan pribadi tetapi juga

bukan keinginan orang lain. Ini adalah kekuatan atau tuntutan dan fakta atau objek.

Lewin (Sarwono, 2002) mendefinisikan konflik sebagai situasi di mana seseorang

menerima kekuatan-kekuatan yang sama besar tetapi arahnya berlawanan. Konflik

intrapersonal terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak

mungkin dipenuhi sekaligus dan bimbang mana yang harus dipilih. Kedua pilihan yang ada

sama-sama memiliki akibat yang seimbang. Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri

seseorang itu biasanya terdapat hal-hal sebagai berikut:

1. Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan peranan-peranan yang bersaing

2. Beraneka macam cara yang berbeda yang mendorong peranan-peranan dan

kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.

3. Banyaknya bentuk halangan-halangan yang bila terjadi di antara dorongan dan

tujuan

4. Terdapatnya aspek yang positif maupun negatif yang menghalangi tujuan-tujuan

yang diinginkan.

Menurut Hunt & Metcalf (Novelita, 2011) konflik intrapersonal adalah konflik yang

terjadi dalam diri individu sendiri, misalnya ketika keyakinan yang dipegang individu

bertentangan dengan nilai budaya masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai dengan

kemampuannya. Konflik intrapersonal ini bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi

Page 5: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

5

dengan baik dapat menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental (mental

hygiene) individu yang bersangkutan.

Bentuk dari konflik intrapersonal menurut Lewin (Sarwono, 2002) antara lain sebagai

berikut:

1. Konflik mendekat-mendekat (approach to approach conflict). Merupakan konflik

yang terjadi karena harus memilih dua alternatif yang berbeda tapi sama-sama

menarik atau sama baik kualitasnya. Dalam tipe konflik ini, yaitu apabila dua

kebutuhan (atau lebih) yang muncul bersamaan, keduanya mempunyai nilai positif

bagi seseorang (P). Konflik terjadi jika daya menuju ke G1+ sama kuatnya dengan

daya menuju ke G2+. Kekuatan salah satu daya akan meningkat jika valensi wilayah

yang dituju menguat dan jarak psikologis menuju wilayah itu berkurang. Jika hal

tersebut terjadi, maka konflik ini terselesaikan.

Gambar 1.

Konflik intrapersonal mendekat-mendekat (approach to approach conflict)

2. Konflik mendekat-menghindar (approach to avoidance conflict).

Dalam konflik ini jika P menghadapi nilai positif dan nilai negatif pada kebutuhan

yang muncul secara bersamaan. Sebagian daya mengarahkan P pada G1+, namun

sebagian daya lain menghambat P sehingga mengarah G2-. Adanya keadaan

keseimbangan (equlibrium), dan menyebabakan konflik mendekat-menjauh menjadi

konflik yang stabil.

Gambar 2.

Konflik intrapersonal mendekat-menghindar (approach to avoidance conflict)

3. Konflik menghindar-menghindar (avoidance to avoidance conflict). Konflik yang

terjadi karena sesorang mempunyai perasaan dan kebutuhan di antara dua valensi

negative yang sama-sama dihindari. Dalam tipe konflik ini, kedua kebutuhan P

berada di antara dua valensi negatif yang sama kuat dan muncul dalam kondisi yang

bersamaan. Konflik terjadi bila daya menjauh dari GI- sama kuatnya dengan daya

menjauh dari G2-.

G1 + G2 + P

G1 + G2 - P

Page 6: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

6

Gambar 3.

Konflik intrapersonal menghindar-menghindar(avoidance to avoidance conflict)

B. Agama

Secara terminologi definisi agama menurut Departemen Agama (Khotimah, 2006)

adalah jalan hidup dengan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa berpedoman kitab suci

dan dipimpin oleh seorang nabi. Sedangkan menurut Mukti Ali (Khotimah, 2006)

mengatakan bahwa agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang Maha Esa dan

hukum yang diwahyukan kepada utusan-utusanNya untuk kebahagiaan hidup dunia dan

akhirat. Menurutnya ciri-ciri agama itu adalah:

a. Mempercayai adanya Tuhan yang Maha Esa

b. Mempunyai kitab suci dari Tuhan yang Maha Esa

c. Mempunyai rasul/utusan dari Tuhan yang Maha Esa

d. Mempunyai hukum sendiri bagi kehidupan penganutnya berupa perintah dan

petunjuk

Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang

Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, pemerintah Indonesia saat

ini secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu,

Buddha dan Khong Hu Cu atau Confusius (Hosen, 2005).

C. Remaja

Masa remaja adalah masa transisi / peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa

dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial

(Papalia, Olds & Feldman, 2001). Hall mengemukakan bahwa usia masa remaja berkisar

antara 12 sampai dengan 23 tahun (Santrock, 2007). Sedangkan definisi masa remaja menurut

Sri Rumini & Siti Sundari (Rahmantyo, 2012) mengatakan bahwa masa remaja berlangsung

antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22

tahun bagi pria. Desmita (Rahmantyo, 2012) juga menyampaikan gagasannya mengenai

batasan usia remaja yaitu, batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah

antara 12 hingga 21 tahun. Rentang waktu usia remaja ini biasanyadibedakan atas tiga, yaitu:

12-15 tahun = masa remaja awal, 16-18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 19-21 tahun =

masa remaja akhir.

G1 - G2 - P

Page 7: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

7

Pada masa ini, ciri perubahan perkembangan remaja ditandai dengan :

1. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak

menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.

2. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi

Pikunas (Yusuf, 2001) menyebutkan bahwa munculnya tugas-tugas perkembangan

pada remaja bersumber pada faktor-faktor berikut :

1. Kematangan fisik

2. Tuntutan masyarakat secara kultural

3. Tuntutan dari dorongan dan cita-cita individu sendiri

4. Tuntutan norma / agama

D. Perkembangan Jiwa Keagamaan Remaja

James Fowler (Santrock, 2007) mengatakan bahwa perkembangan religius berfokus

pada motivasi untuk menemukan makna hidup, baik di dalam maupun di luar konteks agama.

Fowler (Santrock, 2007) mengajukan enam tahap perkembangan religius yang berkaitan

dengan teori perkembangan Erikson, Piaget dan Kohlber :

1. Tahap 1. Iman Intuitif-proyektif atau intuitive-projective faith (masa kanak-kanak

awal). Usia 3-7 tahun. Setelah bayi belajar mempercayai pengasuhnya (perumusan

Erikson) mereka menemukan gambaran intuitifnya sendiri mengenai apa yang baik

dan jahat. Ketika anak-anak mulai memasuki tahap praoperasional seperti dalam

teori Piaget, dunia kognitif mereka mulai terbuka terhadap berbagai kemungkinan

baru. Benar dan salah dilihat menurut konsekuensi bagi dirinya sendiri. Anak-anak

mulai percaya akan adanya malaikat dan hal-hal gaib.

2. Tahap 2. Iman mistis-literal atau mythical-literal faith (masa kanan-kanak

pertengahan dan akhir). Usia 7-12 tahun. Ketika anak-anak mulai memasuki tahap

praoperasional konkret menurut Piaget, mereka mulai bernalar secara lebih logis,

konkret namun tidak abstrak. Mereka memandang dunia secara lebih teratur. Anak-

anak usia sekolah mengintepretasikan kisah-kisah religius secara literalis, dan

pandangan mereka mengenai orang tua yang memberikan hadiah untuk kebaikan

yang dilakukan dan memberikan hukuman untuk keburukan yang dilakukan.

3. Tahap 3. Iman sintesis-konvensional atau synthetic-conventional faith (transisi

antara masa kanak-kanak dan remaja, remaja awal). Usia 12-20 tahun. Pada tahap ini

remaja mulai mengembangkan pemikiran operasional formal dan mulai

mengintegrasikan hal-hal yang pernah dipelajari mengenai agama ke dalam suatu

sistem keyakinan yang koheren. Meskipun iman sintesis konvensional lebih abstrak

Page 8: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

8

dibandingkan dua tahap sebelumnya, remaja muda masih cenderung patuh terhadap

keyakinan religius orang lain (sebagaimana dinyatakan dalam tahap moralitas

konvensional menurut Kohlber) dan belum mampu menganalisis ideologi alternatif

secara memadai. Benar salahnya perilaku seseorang ditinjau menurut apakah

perilaku itu membahayakan relasi atau mengenai apa yang akan dikatakan orang

lain.

4. Tahap 4. Iman individuatif-reflektif atau individuative-reflective faith (transisi masa

remaja dan masa dewasa, dewasa awal). Usia 20-35 tahun. Menurut Fowler ditahap

ini untuk pertama kalinya individu mampu sepenuhnya bertanggung jawab terhadap

kondisi religiusnya. Tahap ini seringkali didahului oleh pengalaman dimana orang

muda mulai bertanggung jawab akan kehidupannya sendiri dan mereka harus

memperluas usahanya untuk mengikuti rangkaian kehidupan tertentu. Individu mulai

dihadapkan pada keputusan-keputusan seperti: “Apakah saya sebaiknya mendahulukan

kepentingan saya sendiri atau mempertimbangkan kesejahteraan orang lain terlebih

dahulu?” atau “Apakah doktrin agama yang diajarkan kepada saya itu bersifat mutlak atau

relatif sesuai dengan keyakinan saya?”

Menurut Fowler, pemikiran dan intelektual operasional formal yang menantang

nilai-nilai dan ideologi religius individu yang sering kali muncul di lingkungan

sekolah atau kampus merupakan hal yang penting untuk mengembangkan iman

individuatif-reflektif.

5. Tahap 5. Iman konjungtif atau conjunctive faith (masa dewasa pertengahan). Usia

35-45 tahun. Menurut Fowler, jumlah orang dewasa yang memasuki tahap ini hanya

sedikit. Tahap ini lebih terbuka terhadap paradoks dan mengandung berbagai sudut

pandang yang saling bertolak belakang. Keterbukaan ini beranjak dari kesadaran

seseorang mengenai keterbatasan mereka.

6. Tahap 6. Iman universal atau universal faith (masa dewasa pertengahan atau dewasa

akhir). Usia > 45 tahun. Menurut Fowler, tahap tertinggi dari perkembangan religius

yang melibatkan transendensi dari system keyakinan tertentu untuk mencapai

penghayatan kesatuan dengan semua keberadaan dan komitmen untuk mengatasi

berbagai rintangan yang memecah belah kesatuan dengan orang lain. Fowler

menganggap hanya sangat sedikit orang yang bisa mencapai tahap perkembangan

religius yang tertinggi ini. Tiga orang yang menurut Fowler bisa mencapai tahap ini

adalah Mahatma Gandhi, Bunda Theresa dan Martin Luther King, Jr.

Peneliti mengemukakan bahwa agama memiliki sejumlah dampak positif bagi remaja

(Santrock, 2007). Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja

Page 9: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

9

menduduki masa progresif. Perkembangan agama pada masa remaja ditandai oleh beberapa

faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut Starbuck

(Jalaluddin, 2010) adalah:

1. Pertumbuhan pikiran dan mental

Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya

sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama pada

masa ini mulai timbul, selain masalah kebudayaan, social, ekonomi dan norma

kehidupan lainnya. Hasil penelitian Allport, Gillesphy dan Young menujukkan 85%

remaja Katolik Romawi tetap taat menganut ajaran agamanya sedangkan 40%

remaja Protestan tetap taat pada ajaran agamanya.

Dari hasil ini dinyatakan bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif

lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya.

Sebaliknya agama yang ajarannya kurang koservatif, dogmatis dan agak liberal akan

mudah merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja, sehingga mereka

banyak menginggalkan ajaran agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa

perkambangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap keagamaan mereka.

2. Perkembangan perasaan

Perasaan sosial, etis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan

yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong

dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya remaja yang kurang

mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi

dorongan seksual yang mana pada masa ini merupakan masa kematangan seksual. s

3. Pertimbangan sosial

Corak keagamaan pada remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial.

Dalam kehidupan keagamaan mereka akan timbul konflik antara pertimbangan

moral dan material, dimana remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena

kehidupan duniawi dipengaruhi oleh kepentingan akan materi, maka para remaja

jiwanya cenderung bersifat materialistis.

4. Perkembangan Moral

Perkembangan moral pada remaja berititik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk

mencari proteksi. Tipe moral yang terlihat pada remaja biasanya meliputi :

1. Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan

pribadi

2. Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik

Page 10: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

10

3. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama

4. Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral

5. Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral masyarakat

5. Sikap & minat

Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagmaaan boleh dikatakan sangat kecil

dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang

mempengaruhi mereka.

6. Ibadah

Berdasarkan kesimpulan Ross dan Oskar Kupky (Jalaluddin, 2010) didapatkan

bahwa hanya sekitar 17% remaja yang mengatakan bahwa ibadah bermanfaat untuk

berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% diantaranya menganggap bahwa

ibadah hanyalah media untuk bermeditasi.

E. Faktor Peneyebab Keraguan Beragama pada Remaja

Hasil penelitian Starbuck (Jalaluddin, 2010) terhadap mahasiswa Middleburg College,

disimpulkan bahwa dari remaja berusia 11-26 tahun terdapat 53% dari 142 mahasiswa yang

mengalami konflik dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima, cara penerapan,

keadaaan lembaga keagamaan, dan para pemuka agama. Hal yang serupa ditemukan ketika ia

meneliti hal yang sama terhadap 95 mahasiswa, dimana 75% diantaranya mengalami konflik

dan keraguan tentang ajaran agama yang mereka terima.

Analisis penelitian Starbuck (Jalaluddin, 2010) menjelaskan bahwa penyebab

timbulnya konflik dan keraguan itu antara lain adalah faktor :

1. Kepribadian yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin

a. Kepribadian mempengaruhi penafsiran seseorang mengenai kondisi

keagamaannya akan sifat Tuhan dan agamanya itu sendiri.

b. Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan

dalam keraguan agama. Wanita yang lebih cepat matang dalam perkembangannya

lebih cepat menunjukkan keraguan daripada remaja pria. Tapi sebaliknya, dalam

kualitas dan kuatintas keraguan remaja putri lebih kecil jumlahnya. Disamping

itu, keraguan wanita lebih bersifat alami, sedangkan pria bersifat intelek.

2. Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama

Ada berbagai lembaga keagamaan, organisasi, aliran kepercayaan yang kadang-

kadang menimbulkan kesan adanya pertentangan dalam ajarannya. Pengaruh ini

dapat menjadi penyebab timbulnya keraguan pada remaja. Demikian pula tindak-

tanduk pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti tuntutan agama.

Page 11: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

11

3. Pernyataan kebutuhan manusia

Manusia memiliki sifat senang dengan yang sudah ada, namun memiliki

dorongan rasa keingintahuan. Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan

memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan pernyataan dari

kebutuhan manusia normal. Ia terdorong untuk mempelajari ajaran agama dan kalau

ada perbedaan-perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yangtelah dimilikinya

akan timbul keraguan.

4. Kebiasaan

Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu

menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya.

5. Pendidikan

Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang

dimilikinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. Remaja yang

terpelajar akan lebih kritis terhadap agamanya, terutama yang banyak mengandung

ajaran yang berisfat dogamatis.

6. Percampuran antara agama dan mistis

Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan mistik.

Sejalan dengan perkembangan masyarakat kadang-kadang secara tak disadari tindak

keagamaan yang mereka lakukan ditopang oleh praktik kebatinan dan mistik.

Penyatuan unsur ini merupakan suatu dilemma yang kabur bagi para remaja.

Selanjutnya, menurut Jalaluddin (2010) secara individu sering pula terjadi keraguan

yang disebabkan beberapa hal antara lain mengenai : (1) Kepercayaan, menyangkut masalah

ke-Tuhanan dan implikasinya terutama (dalam agama Kristen) status ke-Tuhanan sebagai

Trinitas. (2) Tempat suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat-tempat

suci agama. (3) Alat perlengkapan keagaamaan, seperti fungsi salib dan rosario dalam

Kristen. (4) Fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan. (5) Pemuka agama, biarawan &

biarawati. (6) Perbedaab aliran dalam keagamaan, sekte (dalam agama Kristen) atau mazhab

(Islam)

Keragu-raguan yang demikian akan menjurus ke arah munculnya konflik keagamaan

dalam diri para remaja, sehingga mereka dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang

baik dan yang buruk, serta antara yang benar dan salah. Konflik keagamaan ini ada beberapa

macam, diantaranya : (1) Konflik keagamaan yang terjadi antara percaya dan ragu. (2)

Konflik keagamaan yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide

keagamaan serta lembaga keagamaan. (3) Konflik keagamaan yang terjadi oleh pemilihan

Page 12: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

12

antara ketaatan beragama atau sekularisme. (4) Konflik keagamaan yang terjadi antara

melepaskan kebiasaan masa lalau dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas

petunjuk Ilahi

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif. Model pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

fenomenologi.

Adapun subjek penelitian yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak empat orang.

Yaitu remaja dengan orang tua yang berbeda agama, berusia antara 19-23 tahun, berada

dalam masa remaja akhir, serta sedang menempuh pendidikan Strata 1. Teknik pengumpulan

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan sumber data primer dan

sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada

peneliti, seperti data hasil wawancara yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan

dijadikan subyek dalam penelitian dan dengan melakukan observasi langsung. Sedangkan

sumber data sekunder di sini bisa diperoleh dari wawancara dengan narasumber pendukung

yang dapat berasal dari orang terdekat subjek penelitian seperti orang tua, saudara atau teman

dekat. Selain itu sumber data sekunder juga bisa berupa dokumentasi yang diperoleh ketika

melakukan penelitian.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis

data kualitatif menurut Moustakas yang terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan dalam anlisis

data penelitian ini adalah : (1) Transkrip, (2) Horisonalisasi, (3) Thematic Portrayal, (4)

Mentranskripkan data secara individual, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu Individual

textural description dan individual structural description. (5) Composite, penggabungan

deskripsi dari masing-masing subjek menjadi satu, yang terdiri dari dua bagian composite

textural description dan composite structural description. (6) Sintesis, menganalisis data hasil

deskripsi dikaitkan dengan teori.

ANALISIS & HASIL

Tabel 1. Perbandingan hasil penelitian keempat subyek Dimensi Hasil

MG IG IE RA

Agama orang tua (A/I)

Islam / Katolik Kristen / Islam Islam / Katolik Katolik / Islam

Agama subyek (dulu / saat ini)

Katolik --> Islam Islam Katolik --> Islam Katolik --> Islam

Page 13: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

13

Keluarga demokratis, modern, orang tua memiliki

latar belakang pendidikan yang

baik, cukup terbuka

Ibu sangat dominan, modern

Ayah lebih dominan, sering

terjadi pertengkaran

Ibu dominan, ayah kaku & agak kolot karena pendidikan

yang rendah

Pengaruh agama orang tua di

dalam keluarga

Ayah = Ibu Ayah < Ibu Ayah > Ibu Ayah < Ibu

Pendidikan agama dari orang tua

Ibu (Katolik), tapi dulu saat memeluk Katolik.

Sekarang setelah memeluk islam Ayah

tetap pasif

Ibu (Islam) Tidak pernah Ibu, baik Katolik / Islam, Ibu selalu

berperan lebih besar

Intensitas ibadah Jarang Kadang-kadang Jarang Sering

Toleransi Tinggi Tinggi Tinggi Biasa

Kepribadian Terbuka, keras kepala

Terbuka, santai / cuek

Terbuka, ceplas-ceplos

Agak tertutup, lebih berhati2

Religiusitas subyek

Rendah Sedang Rendah Tinggi

Kenyamanan dengan agama

Katolik Islam Tidak yakin Islam

Faktor yang membuat ragu

dalam memeluk agama

kesalahan pemuka agama, ajaran,

budaya

- Kurangnya pendidikan agama,

aturan ibadah, perbedaan aliran

agama

Eksistensi Tuhan, perbedaan ajaran &

keyakinan antara agama baru & lama

Konversi agama Ya Tidak Ya Ya

Tipe perk moral Submissive Adaptive Submissive Submissive Self directive

Konflik keagamaan

Katolik VS Islam | Kebiasaan masa lalu

VS saat ini

Percaya VS Ragu Katolik VS Islam | Kebiasaan masa lalu

VS saat ini

Konflik Intrapersonal

approach VS avoidance | approach

VS approach

- approach VS avoidance

approach vs avoidance

Dampak pd kehidupan

skeptis terhadap agama saat ini,

sangat kritis, sering terlibat pertengkaran

dengan org lain mengenai agama

Merasa cemas dengan kondisi

agama & kehidupan masa depannya

karena pendidikan agama yang minim

dari orang tua

lebih kritis & berusaha mendalami

agamanya saat ini dengan sering

berdialog dengan guru spiritualnya

DISKUSI

Berdasarkan teori Fowler mengenai enam tahap perkembangan religius yang berkaitan

dengan teori perkembangan Erikson, Piaget dan Kohlber, disimpulkan bahwa keempat

subyek saat ini tengah berada pada tahap Iman individuatif-reflektif atau individuative-

reflective faith (transisi masa remaja dan masa dewasa, dewasa awal). Menurut Fowler

ditahap ini untuk pertama kalinya individu mampu sepenuhnya bertanggung jawab terhadap

kondisi religiusnya.

Individu mulai dihadapkan pada keputusan-keputusan seperti: “Apakah saya sebaiknya

mendahulukan kepentingan saya sendiri atau mempertimbangkan kesejahteraan orang lain terlebih

Page 14: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

14

dahulu?” atau “Apakah doktrin agama yang diajarkan kepada saya itu bersifat mutlak atau relatif

sesuai dengan keyakinan saya?”. Hal ini terlihat pada keempat subyek yang mulai bertanggung

jawab pada kehidupan religiusnya. Mereka juga mulai mempertanyakan ajaran dan doktrin

agamanya apakah sudah sesuai dengan keyakinannya. Tetapi hal ini paling jelas ditemukan

pada MG dan RA yang sangat kritis terhadap ajaran agamanya. Dalam memeluk agamanya

saat ini, ia biasanya tidak mau menerima mentah-mentah entah itu doktrin ataupun fatwa

yang dihadapkan padanya. Hal ini membuat MG terkadang dianggap keras kepala oleh

orang-orang sekitarnya.

Perkembangan agama pada masa remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan

rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut Starbuck (Jalaluddin, 2010)

adalah:

1. Pertumbuhan pikiran dan mental.

Hal ini terlihat di dalam perbandingan antara keluarga MG dengan keluarga RA. Di

dalam keluarga MG yang lebih liberal dan mengedepankan keterbukaan dan toleransi

yang tinggi dengan agama lain pada akhirnya justru mendorong MG untuk semakin

kritis terhadap ajaran agamanya. Sedangkan di dalam keluarga RA peran ibu sangat

dominan dalam menularkan agamanya yang lebih konservatif membuat ia lebih taat

dalam menjalankan agamanya. Suasana keagamaan yang diterapkan di dalam keluarga

RA pada dasarnya sudah konservatif & dengan ayah yang otoriter. Baik itu dulu, saat

semua anggota keluarga masih memeluk Katolik, atapun saat ini.

2. Perkembangan perasaan

Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup

yang religius pula. Perkembangan perasaan ini sangat terlihat pada subyek RA, dimana

ia mengaku sebagai individu yang religius yang akhirnya mendorong kehidupan RA ke

arah yang religius pula, seperti menggunakan hijab, mengikuti pengajian, senang

melakukan dialog agama dan berkonsultasi dengan pemuka agama. Sedangkan MG, IG,

dan IE mengaku tidak religius dan belum taat dalam menjalankan agamanya.

3. Pertimbangan sosial

MG dan RA sama-sama terlibat aktif dalam komunitas keagamaannya saat masih

memeluk Katolik. Tapi saat ini, keempat subyek memiliki kesamaan tidak lagi terlibat

aktif dalam kegiatan komunitas keagamaan di sekitarnya. MG beralasan bahwa ia

merasa banyak menemukan ketidakcocokan dengan komunitas agama Islam yang

terkesan mengeksklusifkan karena membatasi interaksi dengan mereka yang non-

muslim.

Page 15: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

15

4. Perkembangan Moral

Perkembangan moral pada remaja berititik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk

mencari proteksi. Tipe moral yang terlihat pada keempat subyek ialah :

a. Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.

Tiper perkembangan ini terlihat pada kondisi keagamaan RA saat ini. RA

memutuskan untuk semakin taat dalam menjalankan ibadah dan agamanya karena

pertimbangan pribadi.

b. Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik. Tipe

perkembangan moral ini terlihat pada subyek IG dimana ia lebih suka mengikuti

alur kehidupan beragama di lingkungan sekitarnya, cenderung menjauhi konflik

dan jarang mengadakan kritik.

c. Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama. RA

meski berusaha taat dalam menjalankan agamanya, masih sering menemukan

beberapa hal keraguan di dalam agamanya yang kemudian muncul menjadi

pertanyaan-pertanyaan baru terhadap suatu ajaran agama di dalam Islam. IE juga

berada pada tipe perkembangan moral ini karena ia mengakui adanya keraguan

terhadap ajaran moral & agamnya, apakah sudah benar atau belum.Tipe moral ini

juga paling terlihat pada subyek MG yang seringkali tampak terang-terangan

menujukkan ketidakyakinan bahkan ketidaksetujuannya pada beberapa ajaran

agama Islam yang ia anggap tidak cocok dengan pola pikirnya. Beberapa

kebiasaan atau budaya dalam lingkup agamanya saat ini di dalam masyarakat

juga tidak sedikit yang dinilai MG tidak masuk akal karena terlalu banyak

melarang dan dianggap kurang bertoleransi terhadap agama lain.

5. Sikap & minat

Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaaan boleh dikatakan sangat kecil

dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang

memperngaruhi mereka. MG, IE, dan RA adalah tiga subyek yang dari kecil dibesarkan

dengan agama yang berbeda dengan yang ia peluk saat ini. Mereka bertiga dididik oleh

ibunya dengan agama yang berbeda dengan yang mereka peluk saat ini. Mereka

mengakui merasakan kondisi yang cukup memberatkan terlebih lagi ketika baru saja

melakukan konversi agama.

Keempat subyek menujukkan sikap dan minat yang berbeda dalam memeluk agama.

Sejak kecil MG terbiasa dan nyaman dengan kehidupan Katolik mengikuti ibunya,

sehingga saat MG menunjukkan minatnya terhadap agama Katolik karena ia sudah

Page 16: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

16

terbiasa dan merasakan kococokan terhadap ajaran yang ada di dalam Katolik.. RA

sama seperti MG, pada awalnya terbiasa dan nyaman dengan kehidupan Katolik

mengikuti ibunya. Hal ini membuat RA cukup kesulitan dalam beradaptasi dengan

budaya dan kehidupannya yang baru sebagai seorang Muslim. Namun dengan

lingkungan agama Islamnya yang lebih kuat, serta ketertarikannya pada ajaran Islam,

menyebabkann RA sudah mulai menggeser keyakinan dan kenyamanannya menuju

pada Islam.

Sedangkan untuk IG, satu-satunya subyek yang memeluk agama yang sama sejak ia

lahir sikap dan minatnya dalam memeluk agama hanya ia tujukan kepada agamanya

saat ini yaitu Islam, tanpa ada pertimbangan untuk memeluk agama lain sama sekali.

6. Ibadah

Berdasarkan kesimpulan Ross dan Oskar Kupky, didapatkan bahwa hanya sekitar

17% remaja yang mengatakan bahwa ibadah bermanfaat untuk berkomunikasi dengan

Tuhan. Perkembangan ibadah ini paling terlihat pada RA, dimana ia menjadi satu-

satunya subyek yang sungguh-sungguh berpendapat bahwa ibadah adalah salah satu

sarana untuk berkomunikasi dengan Tuhan.

Beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya konflik dan keraguan itu antara lain

adalah:

1. Kepribadian yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin

Kepribadian mempengaruhi penafsiran seseorang mengenai kondisi keagamaannya

akan sifat Tuhan dan agamanya itu sendiri. MG merupakan pribadi yang keras kepala

dalam mempertahankan pendapatnya, ia juga sering terlibat perdebatan dengan orang

lain mengenai pandangan terhadap aturan atau ajaran di dalam agamanya. Ia juga

memiliki toleransi tinggi terhadap perbedaan agama orang-orang disekitarnya.

2. Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama

Keraguan yang dialami MG dan RA salah satunya disebabkan oleh kesalahan

pemuka agama dalam menerangkan ataupun memberi jalan dalam menjelaskan aturan,

ajaran di dalam agama mereka.

Ketika RA mempertanyakan eksistensi Tuhan dan Trinitas ajaran agama Katolik, ia

merasa tidak puas dengan jawaban yang diajukan Romonya, karena tidak menjelaskan

hal tersebut dengan penjelasan yang bisa RA mengerti. Lalu saat RA sudah memeluk

agama Islampun, ia masih sangat kritis terhadap ajaran dan aturan agama Islam,

mengenai muhrim, ibadah dsb. Tetapi pada tahap ini ia bertemu dengan sosok pemuka

agama (ustad dalam keluarganya) yang ia anggap bisa memberikan jawaban-jawaban

Page 17: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

17

yang bisa ia terima atas pertanyaan-pertanyaannya selama ini yang menyebabkan

keraguan RA dalam memeluk agamma mulai berkurang.

Sedangkan MG yang juga memiliki banyak pertanyaan mengenai agamanya, tidak

memiliki panutan dalam melakukan dialog agama untuk menjawab pertanyaanya,

sehingga keraguan yang tidak terjawab ini, justru semakin memperbesar konflik yang

MG alami dalam memeluk agama.

3. Pernyataan kebutuhan manusia

Keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan

pernyataan dari kebutuhan manusia normal. Ia terdorong untuk mempelajari ajaran

agama dan kalau ada perbedaan-perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yang telah

dimilikinya akan timbul keraguan.

MG menemukan banyak hal yang tidak sejalan dengan pikirannya pada ajaran Islam,

ia juga mengakui lebih nyaman dalam memeluk Katolik. Sedangkan IE pernah terbesit

untuk mencari tahu mana agama yang paling baik untuk dirinya agar ia memiliki

pegangan hidup. Lalu RA juga berusaha mencari tahu mana agama yang terbaik

untuknya dengan cara membandingkan agama yang ia peluk sebelumnya dan saat ini

untuk menemukan kenyamanan dan terjawabnya semua pertanyaan yang ia miliki

dalam memeluk agama.

4. Kebiasaan

Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu

menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya. MG, IE dan RA

memiliki kesamaan yaitu sama-sama pernah memeluk agama Katolik sejak kecil, lalu

melakukan konversi agama hingga akhirnya memeluk agama Islam seperti sekarang.

Mereka bertiga merasakan perubahan kebiasaan dan ritual ibadah yang dirasa

memberatka, terutama untuk MG dan RA. RA juga menceritakan bahwa ia memiliki

begitu banyak pertanyaan mengenai agama barunya ketika melakukan konversi agama.

5. Pendidikan

Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang

dimilikinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. Remaja yang

terpelajar akan lebih kritis terhadap agamanya, terutama yang banyak mengandung

ajaran yang berisfat dogamatis. Dari keempat subyek, MG adalah remaja yang terlihat

paling aktif dan cerdas diantara lainnya. Karena itulah, pola pikir MG jauh lebih kritis

terhadap ajaran agama yang ia terima di sekitar lingkungannya. Terlebih lagi mengenai

Page 18: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

18

aturan serta fatwa-fatwa yang MG anggap tidak masuk akal dan mengganggu

kehidupan beragama antar manusia.

Konflik intrapersonal adalah konflik personal atau konflik diri yang terjadi dalam diri

seseorang individu karena harus memilih dari sejumlah alternatif pilihan yang ada (Wirawan,

2010). Konflik intrapersonal terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua

keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus dan bimbang mana yang harus dipilih.

edua pilihan yang ada sama-sama memiliki akibat yang seimbang.

Sedangkan konflik keagamaan yang dialami subyek, diantaranya:

a. Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu yang dialami subyek IE.

b. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide

keagamaan serta lembaga keagamaan yang dialami subyek MG.

c. Konflik yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan

keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi. Konflik yang dialami oleh RA dan

MG, dimana ia harus beradaptasi dengan agama dan kebiasaan barunya setelah ia

melakukan konversi agama dari Katolik menjadi Islam. Mereka berusaha untuk

melepaskan masa lalunya dan menerima kehidupan keagamaan yang baru.

Bentuk konflik intrapersonal dalam memeluk agama yang dialami subyek berdasarkan

bentuk konflik menurut Lewin (Sarwono, 2002) adalah :

a. MG.

Konflik mendekat-mendekat (approach to approach conflict). Konflik yang terjadi

karena dua kebutuhan bervalensi positif yang muncul bersamaan. Konflik intrapersonal

mendekat-mendekat yang dialami MG berada pada ranah konflik keagamaan diantara

pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide keagaman. Baik itu agamannya

yang lama, yaitu agama Katolik, maupun agamanya saat ini yaitu Islam, keduanya

masing-masing memiliki valensi positif.

Konflik intrapersonal lain yang MG alami adalah, mengenai konfik antar

melepaskan kebiasaan masa lalu dan membiasakan diri dengan kebiasaan agama saat

ini. Konflik ini adalah konflik mendekat-menghindar (approach-avoidance conflict)

dimana kebiasaan agama lama adalah valensi negatif, sementara kebiasaan baru adalah

valensi positif. Meski sudah memeluk agama Islam sejak SMP, tapi MG seringkali

masih membanding-bandingkan ajaran agama Katolik yang dulu ia peluk yang ia

anggap sangat penuh cinta kasih dibandingkan dengan ajaran agama Islam yang saat ini

ia anut.

Page 19: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

19

Pada konflik yang dialami MG, banyaknya ajaran dalam Islam yang tidak cocok

untuknya menjadi kekuatan pendorong untuk memunculkan keraguan dalam memeluk

agama yang ia alami. Namun, rasa bersalah dan “tidak enak” kepada orang tuanya

menjadi vector penghambat MG untuk melakukan konversi agama (lagi) menjadi

Katolik. Dimana kekuatan kebutuhan pribadi MG akan rasa nyaman dengan agama

Katolik mendorongnya untuk melakukan sesuatu, tapi pada akhirnya ditekan oleh

adanya kekuatan pengaruh dari orang tuanya, dalam hal ini Ibunya, agar MG memeluk

agama Islam. Selain itu rasa yakin MG bahwa agama Islam sebenarnya adalah agama

yang paling benar dalam cara yang tidak bisa ia jelaskan meski banyak hal di dalam

Islam yang tidak ia setujui, menunjukkan adanya Impersonal force (kekuatan non

manusia) yang ikut di dalam konflik intrapersonal yang MG alami. Sehingga pada saat

yang sama MG dihadapkan pada dua valensi berbeda yang menimbulkan ketegangan

karena terjadi saling tarik menarik antara kedua hal tersebut.

b. IE

Konflik mendekat-menghindar (approach to avoidance conflict). Konflik yang

terjadi karena seseorang berada dimana ia tertarik dan menolak tujuan yang sama arena

mengalami valensi positif dan negative pada saat yang sama.

IE mengalami konflik intrapersonal mendekat-menghindar, sehubungan diantara

perasaan ingin memeluk agama Islam dan menjalani sepenuhnya namun juga berusaha

menjaga perasaan ibunya yang berbeda agama. Ingin mempelajari agama Islam dengan

lebih baik adalah valensi positif di tengah konflik yang tengah IE alami. Sedangkan

keengganannya terhadap reaksi ibunya yang berbeda agama adalah valensi negatif.

Sehingga pada saat yang sama IG dihadapkan pada dua valensi berbeda yang

menimbulkan ketegangan karena terjadi saling tarik menarik antara kedua hal tersebut.

Kondisi ini menyebabkan IE menjadi enggan untuk mendalami Islam dengan lebih

baik, hanya mengikuti arus kehidupannya tanpa melakukan upaya terhadap kondisinya

saat. ini.

Kasus IE, yang menjadi kekuatan pendorong yang paling utama adalah

ketidakharmonisan kedua orangtuanya mengenai toleransi kehidupan beragama di

dalam keluarga. Sedangkan kekuatan kebutuhan pribadi IE kepada ajaran dan

keinginan memeluk agama yang benar untuk dirinya membuat ia ingin melakukan

sesuatu terhadap kondisi agamanya yang tidak jelas.

IE ingin mendalami agama yang ia peluk saat ini secara utuh dan benar. Ia pernah

mencoba untuk menujukkan identitas dan niatnya sebagai Muslim dengan mencoba

Page 20: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

20

menggunakan jilbab. Namun hal ini harus terhambat disebabkan kekuatan penghambat

berkenaan dengan perasaan bersalah IE kepada ibunya jika ia nantinya berusaha

memahami atau memeluk Islam secara seutuhnya. Ditambah lagi adanya kekuatan

pengaruh dari ibunya yang menujukkan ketidaksetujuan pada IE untuk menggunakan

jilbab yang akhirnya menyebabkan IE merasa mengalami konflik antara ingin menjadi

Muslim dengan benar dan menuruti serta menjaga perasaan ibunya.

Konflik intrapersonal lain yang ia alami adalah konflik antara percaya dan ragu

terhadap ajaran agamanya. Pada konflik ini, IE juga mengalami konflik mendekat-

menghindar. Valensi positif di sini adalah rasa percaya terhadap ajaran agama,

sedangkan keraguan bertindak sebagai valensi negative.

IE sering bertanya pada dirinya sendiri apakah agama yang ia peluk sudah benar.

Apakah yang ia lakukan sudah benar. Namun tidak berusaha mencari tahu dan

mendalami agamanya dengan lebih baik lagi karena takut menyakiti hati ibunya. Hal ini

menyebabkan IE cukup terganggu dengan konflik yang ia alami. IE juga sering merasa

gamblang dan tidak memiliki pegangan hidup, hingga merasa cemas dengan masa

depannya.

Keinginan IE yang ingin memahami agamanya dengan sungguh-sungguh dalam

memeluk agama di sini sebagai kekuatan pendorong IE untuk memahami ajaran

agamanya dengan baik dan benar. Namun minimnya pendidikan agama yang diberikan

oleh orang tuanya sejak kecil, terutama ayahnya yang seagama dengan IE namun dirasa

tidak pernah memberikan pendidikan agama sama sekali kepada IE menjadi kekuatan

peghambat dan kekuatan pengaruh, sehingga IE tidak bisa belajar untuk mendalami

agama yang ia peluk dengan lebih baik lagi. Yang akhirnya mendorong munculnya

konflik intrapersonal antara percaya dan ragu terhadap ajaran agama yang ia peluk.

c. RA

Konflik intrapersonal mendekat-menjauh (approach-avoidance) yang dialami RA

berada pada ranah konflik keagamaan dimana ia berusaha melepaskan kebiasaan masa

lalunya dengan kehidupan beragamanya yang baru, yang saat ini RA anggap sebagai

agama yang paling sempurna. RA harus membiasakan diri dengan susah payah setelah

ia melakukan konversi agama dari Katolik menjadi Islam. Beradaptasi dan menerima

agama barunya adalah valensi positif, sedangkan membiasakan diri untuk terlepas dari

kebiasaan lama hidup beragamanya adalah valensi negative, sehingga kondisi ini

disebut konflik intrapersonal mendekat-menjauh.

Page 21: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

21

Kekuatan pendorong pada konflik intrapersonal yang dialami RA adalah adanya

konversi agama yang dilakukan ibunya setelah melakukan perceraian, untuk kembali

memeluk agama Islam. Namun ketaatannya pada agamanya yang lama, juga menjadi

kekuatan penghambat karena membuat RA merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri

dengan ajaran dan aturan agama yang baru di dalam Islam, terlebih lagi mengenai

pelaksanaan ibadah. Kekuatan kebutuhan pada RA adalah keinginan untuk memeluk

agama dengan baik dan sempurna, karena pada dasarnya dia adalah remaja yang taat.

Lalu ketaatan dan kereligiusan sosok ibu dalam memeluk agama Islam, serta adanya

tokoh agama Islam yang dianggap sebagai guru spiritual di dalam keluarga, menjadi

kekuatan pengaruh pada konflik RA yang akhirnya semakin mendorong RA untuk terus

beradaptasi dan lebih mendalami ajaran agamanya yang baru sebagai muslim yang taat.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menujukkan bahwa tiga diantara empat subyek mengalami konflik

intrapersonal dalam memeluk agama karena dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti adanya

konversi agama, pendidikan agama yang diberikan oleh orang tua, serta peran orang tua yang

berjenis kelamin sama. Konflik intrapersonal yang dialami para subyek penelitian berada

dalam wilayah kehidupan yang berbeda-beda. Tipe-tipe konflik intrapersonal yang dialami

ketiga subyek mencakup konflik mendekat-menjauh dan konflik mendekat-mendekat.

Remaja yang memiliki salah satu orang tua yang cenderung lebih konservatif dalam

menjalankan dan mengajarkan agamanya, berpengaruh pada mereka untuk lebih tetap taat

pada ajaran agamanya serta meminimalisir munculnya konflik intrapersonal dalam memeluk

agama. Kondisi perkembangan jiwa keagamaan remaja juga sangat dipengaruhi oleh peran

orang tua yang berjenis kelamin sama di dalam hidup mereka. Remaja yang pernah

melakukan konversi agama mengalami konflik intrapersonal yang lebih besar daripada

subyek yang hanya memeluk satu agama sejak kecil tanpa pernah melakukan konversi

agama. Keempat subyek yang dibesarkan dengan dua lingkungan beragama yang berbeda

membentuk mereka menjadi individu yang sangat bertoleransi terhadap agama lain di dalam

kehidupan sehari-hari.

SARAN

Pasangan yang memutuskan untuk melakukan pernikahan berbeda agama diharapkan

mendiskusikan mengenai keputusan beragama anak-anak mereka sedini mungkin. Sebaiknya

anak hanya memeluk salah satu agama orang tua sejak kecil. Orang tua juga sebaiknya

memberikan pendidikan agama kepada anak mereka sejak dini dari satu pihak orang tua saja

Page 22: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

22

baik itu untuk ritual, kebiasaan, dan ajaran-ajaran yang diberikan orang tua tentang agama

mereka agar tidak semakin menimbulkan keraguan dan konflik dalam memeluk agama.

Jika di tengah jalan anak dari pasangan berbeda agama akhirnya melakukan konversi

agama mengikuti agama orang tuanya yang lain atau agama yang sama sekali baru.

Sebaiknya dalam memeluk agamanya yang baru, para remaja ini mendapat pengetahuan yang

baik dan jelas yang bisa menjawab keraguan dan pertanyaan-pertanyaan mereka tentang

agama yang baru dengan didampingi oleh guru / panutan / tokoh agama hingga mendapat

perhatian penuh dari salah satu orang tua untuk mengurangi keraguan dan konflik dalam

memeluk agama.

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Z. (2007). Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama Setelah Berlakunya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Kabupaten Semarang. Thesis.

Universitas Diponegoro Semarang.

Belina, L. S.(2007). Konflik Moral pada Anak Pasangan Beda Agama, Studi Kasus pada

Anak Pasangan Islam-Nasrani. Skripsi. Universitas Indonesia.

Chariri, A. (2009). Landasan Filsafat Dan Metode Penelitian Kualitatif. Paper. Universitas

Diponegoro.

Collone, S., Rika E. (2005). Gambaran Tipe-Tipe Konflik Intrapersonal ditinjau dari Identitas

Gender. Jurnal Psikologia Universitas Sumatera Utara, 1, 2, 96-104.

Daradjat, Z. (2003). Ilmu Jiwa Agama, Cetakan ke-16. Jakarta : Bulan Bintang.

Dewi, S. (2006). Konflik dan Resolusi Konflik dalam Memilih Agama pada Anak dari

Pasangan Berbeda Agama. Skripsi. Universitas Gunadarma.

Herdiansyah, H. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif: Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta :

Salemba Humanika.

Hurlock, E.B. (2000). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Jakarta: Gelora Aksara Pratama Erlangga.

Iskandar. (2009). Metodologi Peneltiian Kualitatif: Aplikasi untuk Penelitian Pendidikan,

Hukum, Ekonomi & Manajemen, Sosial, Humakiora, Polotik, Agama dan Filsafat.

Jakarta: GP Press

Jalaluddin, R. (2010). Psikologi Agama (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Khotimah, K. (2006). Makna Agama Hingga Munculnya Agama Baru. Skripsi. Universitas

Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau.

Page 23: JURNAL PSIKOLOGI Konflik Intrapersonal Dalam Memeluk Agama Pada Remaja Dengan Orang Tua Yang Berbeda Agama

23

Leeman, A. (2009). Interfaith Marriage in Islam: An Examination of the Legal Theory

Behind the Traditional and Reformist Positions. Indiana University Journal, 84, 2, 742-

771.

Ningsih, N. (2008). Pengambilan Keputusan Beragama Pada Anak Dari Pasangan Beda

Agama. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Novelita, M. (2011). Gambaran Konflik pada Individu yang Menikah Semarga Suku Batak

Toba. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

Nurcholis, A. ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace) Online : Dilema Nikah

Agama dalam http://icrp-online.org/042012/post-1775.html, diakses tanggal 11 April

2012.

Papalia, D.E. & Olds, S.W. (2001). Human Development. 3rd Edition. New York.

Prastiwi, N.I. (2007). Pola Asuh Anak pada Pernikahan Beda Agama. Skripsi. Universitas

Gunadarma.

Rinasti, F. (2006) Hubungan antara Tingkat Religiusitas dengan Subjective Well-Being

(SWB) pada Remaja Awal. Skripsi. Universitas Gunadarma.

Santrock, J.W. (2007). Remaja. Jakarta : Erlangga.

Sarwono, S. (2002). Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Rajawali Press.

Surbakti, M. (2009). Pemilihan Agama Pada Anak Dari Perkawinan Beda Agama: Studi

Kasus Proses Pengambilan Keputusan Memilih Agama Di Kel.Lau Cimba Dan Padang

Mas Kec.Kabanjahe Kab.Karo. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

Satori, D. & Komariah, A. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Syamhudi, H. (2009). Rumah Tangga Beda Agama, Konstruksi, Struktur Dan Relasi Antar

Penganut Agama Dalam Keluarga Muslim Tionghoa Probolinggo Jawa Timur.

Disertasi. PPs-IAIN Sunan Ampel.

Tim Penulis Goethe-Institut Indonesien. Tata Nilai, Impian, Cita-Cita Pemuda Muslim di

Asia Tenggara. www.goethe.de/indonesien/youthsurvey, di akses pada tanggal 22 Mei

2012.

Waruwu, F.E. (2003). Perkembangan kepribadian dan religiusitas remaja. Jurnal Ilmiah

Psikologi ARKHE, 8, 1, 23-30.

Wirawan. (2010). Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi dan Penelitian. Jakarta :

Salemba Humanika.

Yohan, Y. Strategi Penyelesaian Konflik pada Keluarga Inti Beda Agama dalam Pemilihan

Agama anak di Usia Remaja. Skripsi. Universitas Airlangga.

Yusuf, S. (2001). Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.