cerita pandanarang memeluk agama islam; suntingan dan

18
SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018 ISBN 978-602-0960-89-0| 240 Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan Terjemahan Naratif Babad Demak Pupuh XXXVII-XXXIX Lutfianto Guru bahasa Jawa SMAN1 Pajangan Bantul dan Mahasiswa S2 Program Studi Interdiciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Telp: 08122964680, Posel: [email protected] Abstrak Tokoh Pandanarang menjadi tokoh yang melegenda di Semarang, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Cerita lisan berkenaan dengan tokoh ini ada dan tetap hidup di masyarakat. Cerita tentang sosok ini juga ada dalam tradisi tulis, salah satunya di dalam naskah Babad Demak. Dalam tulisan ini penulis tidak hanya akan menyunting teks Babad Demak, tetapi juga menerjemahkan dengan terjemahan naratif. Hal ini bertujuan untuk membantu pemahaman pembaca tentang cerita Pandanarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cerita Pandanarang dalam memeluk agama Islam terdiri dari tujuh babak. Dari tujuh babak pembaca dapat mengambil hikmahnya, yaitu pembaca dapat mengidentifikasikan bahwa orang yang mau berubah ke arah yang lebih baik itu memerlukan perjuangan yang sungguh-sungguh. Kata kunci : Pandanarang, naskah Babad Demak, suntingan, terjemahan naratif PENDAHULUAN Pandanarang menjadi nama sebuah pondok pesantren yang cukup besar di Yogyakarta. Selain itu juga menjadi nama rumah sakit di Boyolali Jawa Tengah. Masih banyak masyarakat yang mengabadikan nama tersebut. Cerita Pandanarang seakan tetap hidup lestari di masyarakat. Cerita Pandananarang terdapat dalam naskah Babad Demak berbahasa Jawa dan beraksara Jawa. Oleh karena itu maka diperlukan kerja filologi, yaitu penyuntingan dan penerjemahan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan cerita tersebut dari sumber tertulis dan disajikan ke khalayak. Suntingan teks atau terbitan teks adalah salah satu proses yang harus dilalui dalam penelitian filologi. Begitu juga dengan penelitian yang ingin kami lakukan terhadap salah satu naskah Babad Demak ini. Ada beberapa cara penyuntingan yang sudah biasa dilakukan, yaitu dengan cara membuat pohon silsilah naskah atau stemma. 1 Cara yang lain 1 S.O. Robson,”Pengkajian Sastra-sastra Tradisional Indonesia” dalam Bahasa dan Sastra tahun IV nomor 6 adalah edisi diplomatik, yaitu jika seseorang ingin memberikan contoh kepada pembacanya mengenai cara sebuah teks untuk dideklamasikan/ diungkapkan dalam naskah yang dimaksudkan untuk itu. 2 Sedangkan seseorang yang ingin menerbitkan teks seperti fungsinya pada abad ke-14, maka ia harus memberikan kepada pembacanya dengan edisi kritis. Cara pertama, penerbitan edisi kritis ini dilakukan dengan berusaha mengadakan perbaikan teks asli yang hilang, berdasarkan sumber-sumber yang ada, memilih bacaan-bacaan yang terbaik, memperbaiki kesalahan dan membakukan ejaan. Cara kedua, bisa dengan cara membuat sumber yang ada menjadi bentuk yang semurni mungkin, berdasarkan satu naskah, tidak mempunyai varian; kesalahan-kesalahan dikoreksi hanya terbatas (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978), hlm.15-27. 2 Ibid., hlm, 21-27.

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 240

Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan Terjemahan Naratif Babad Demak Pupuh XXXVII-XXXIX

Lutfianto

Guru bahasa Jawa SMAN1 Pajangan Bantul dan Mahasiswa S2 Program Studi Interdiciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Telp: 08122964680, Posel: [email protected]

Abstrak

Tokoh Pandanarang menjadi tokoh yang melegenda di Semarang, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Cerita lisan berkenaan dengan tokoh ini ada dan tetap hidup di masyarakat. Cerita tentang sosok ini juga ada dalam tradisi tulis, salah satunya di dalam naskah Babad Demak. Dalam tulisan ini penulis tidak hanya akan menyunting teks Babad Demak, tetapi juga menerjemahkan dengan terjemahan naratif. Hal ini bertujuan untuk membantu pemahaman pembaca tentang cerita Pandanarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cerita Pandanarang dalam memeluk agama Islam terdiri dari tujuh babak. Dari tujuh babak pembaca dapat mengambil hikmahnya, yaitu pembaca dapat mengidentifikasikan bahwa orang yang mau berubah ke arah yang lebih baik itu memerlukan perjuangan yang sungguh-sungguh.

Kata kunci : Pandanarang, naskah Babad Demak, suntingan, terjemahan naratif

PENDAHULUAN Pandanarang menjadi nama sebuah

pondok pesantren yang cukup besar di Yogyakarta. Selain itu juga menjadi nama rumah sakit di Boyolali Jawa Tengah. Masih banyak masyarakat yang mengabadikan nama tersebut. Cerita Pandanarang seakan tetap hidup lestari di masyarakat. Cerita Pandananarang terdapat dalam naskah Babad Demak berbahasa Jawa dan beraksara Jawa. Oleh karena itu maka diperlukan kerja filologi, yaitu penyuntingan dan penerjemahan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan cerita tersebut dari sumber tertulis dan disajikan ke khalayak.

Suntingan teks atau terbitan teks adalah salah satu proses yang harus dilalui dalam penelitian filologi. Begitu juga dengan penelitian yang ingin kami lakukan terhadap salah satu naskah Babad Demak ini. Ada beberapa cara penyuntingan yang sudah biasa dilakukan, yaitu dengan cara membuat pohon silsilah naskah atau stemma.1 Cara yang lain

1 S.O. Robson,”Pengkajian Sastra-sastra Tradisional Indonesia” dalam Bahasa dan Sastra tahun IV nomor 6

adalah edisi diplomatik, yaitu jika seseorang ingin memberikan contoh kepada pembacanya mengenai cara sebuah teks untuk dideklamasikan/ diungkapkan dalam naskah yang dimaksudkan untuk itu.2

Sedangkan seseorang yang ingin menerbitkan teks seperti fungsinya pada abad ke-14, maka ia harus memberikan kepada pembacanya dengan edisi kritis. Cara pertama, penerbitan edisi kritis ini dilakukan dengan berusaha mengadakan perbaikan teks asli yang hilang, berdasarkan sumber-sumber yang ada, memilih bacaan-bacaan yang terbaik, memperbaiki kesalahan dan membakukan ejaan. Cara kedua, bisa dengan cara membuat sumber yang ada menjadi bentuk yang semurni mungkin, berdasarkan satu naskah, tidak mempunyai varian; kesalahan-kesalahan dikoreksi hanya terbatas

(Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978), hlm.15-27. 2 Ibid., hlm, 21-27.

Page 2: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 241

pada kesalahan dalam penulisan dan tidak dibutuhkan pembakuan.3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Di bawah ini akan dipaparkan hasil penelitian yang meliputi daftar transliterasi, ejaan, pemenggalan kata, tanda baca, penyalin naskah, dan penerjemahan. Penerjemahan yang dilakukan dengan cara terjemahan naratif. METODE Daftar Transliterasi

Berikut akan disajikan sistem transliterasi yang digunakan dalam semua bagian salinan yang dibuat dalam tulisan ini. Penyusunan disesuaikan dengan logika urutan suku kata Jawa tradisional. Contoh aksara Jawa yang digunakan adalah hasil teknologi scan sehingga sesuai dengan bentuk aslinya.

Naskah Babad Demak yang dijadikan sumber penelitian ini dapat dibaca oleh peneliti hampir tanpa kerusakan. Hal ini mempermudah peneliti yang kesehariannya berbahasa Jawa. Standardisasi dilakukan agar kata-kata yang ada dalam teks dapat terpelihara. Kata-kata distandardisasikan berdasarkan pedoman umum ejaan bahasa Jawa huruf Latin yang disempurnakan.4 Kemudian ejaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

a) Pěpět ( ) dengan tanda ě, contoh:

sěni: b) Tanda cěcěk ( ) tidak ditandai dengan

(ŋ ) tetapi digunakan adalah (ng), contoh:

sabarang: c) Huruf capital dipakai untuk sebutan

Tuhan, nama orang, pangkat atau kehormatan, tempat, hari, bulan, dan

3 Ibid., hlm, 22.

4 Balai Bahasa Yogyakarta, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin yang disempurnakan (Yogyakarta: Kanisius, 2006).

tahun. Contoh: Nuswantara:

Pemenggalan Kata a) Suntingan disesuaikan dengan aturan

tembang macapat sehingga pemisahan dalam satu larik didasarkan pada arti kata dan disesuaikan dengan konteks kalimat. Contoh: singa mara měndhěti (sing amara měndhěti) (IV.20.5)

b) Penulisan huruf rangkap di dalam teks yang terjadi karena afiksasi ataupun bentuk dasar disajikan dengan menghilangkan salah satu huruf. Contoh: raganning wang menjadi raganing wang

Tanda Baca Tanda pembacaan naskah yang berupa pungtuasi ini adalah sebagai berikut: a) Setiap awal pupuh diberi nomor

menggunakan angka romawi dengan disertai nama pupuh. Contoh: pupuh XXXVII. Kinanthi

b) Tanda garis miring satu ( / ) menandakan pemisah antar gatra ‘baris’, Kuněng malih kang winarni / (XXXVII.1.1). Sedangkan garis miring dua (// ) merupakan akhir bait suatu tembang, wong dagang utang sadaya// ( XXXVII.1.7)

c) Tanda [ ] merupakan pergantian halaman dalam teks. Contoh: Ki Ageng Semarang ling [304] gih// ( XXXVII.12.1 ). Ini berarti baris/ bait yang berada di depan tanda [ ] adalah terdapat pada halaman 304.

d) Tanda ( ) dalam contoh atau kutipan mengacu pada urutan teks. Contoh: tanda (XXXVII.12.1) menunjukkan teks pada pupuh ke-372, bait ke-12 dan baris ke-1.

Penyalin Naskah ini diputrani ‘disalin kembali’

oleh bapak Atmo Yuwana. Adapun yang memprakarsai penyalinan tersebut adalah raden Widharsa Sartana. Hal ini tampak pada pupuh terakhir naskah ini yang berbunyi sebagai berikut:

Page 3: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 242

De masehi Novemběr kang sasi/ tanggal ira kaping kalih dasa/ pinetang warsa angkane/ gih sewu sangangatus/ wolung dasa gangsal tiniti/ ingkang mangka pengětan/ siněksen nung-anung/ kang nurat Atma Yuwana/ tinupiksa mring kadang darbe kapti/ dyan Widarsa Sartana. (CXVII.2) Artinya:

Adapun Masehi, November bulannya/ tanggal sepuluh/ dihitung angka tahunnya/ yaitu Sembilan ratus/ delapan puluh lima/ yang akan diperingati/ disaksikan dengan seksama/ yang menyalin Atma Yuwana/ diperhatikan kepada yang mempunyai pesan/ raden Widarsa Sartana// Penyalin naskah Babad Demak adalah Atmo Yuwana dan sebagai pemesannya adalah raden Widarsa Sartana. Penerjemahan

Sebagai sebuah teks yang berbentuk macapat, teks Pandanarang ini terikat pada ketentuan tentang larik di setiap bait, jumlah suku kata dalam setiap larik, serta ketentuan vocal suku kata terakhir pada masing-masing larik. Maka sudah barang tentu pembaca masa kini menghadapi teks itu mula pertama harus menyadari bahwa bahasa yang dipergunakan meyimpang dari bahasa Jawa sehari-hari.

Terdapat banyak frasa dan kalimat yang menyimpang dari struktur umum karena mengejar konvensi aturan tembang macapat. Konvensi vocal terakhir juga menuntut pemakaian inversi, yaitu kata-kata yang cocok vokalnya terpaksa ditempatkan di akhir larik sehingga struktur kalimatnya menyimpang dari struktur kalimat umum. Selain itu, jumlah suku kata pada setiap larik juga mempengaruhi gaya bahasa yang akan ditulisnya.5

Penerjemahan yang dilakukan peneliti dengan menggunakan alat-alat bahasa yang tersedia pada masa kini sehingga pemahaman atas teks lebih mudah. Selain dari pada itu peneliti juga menggunakan kamus (Purwadarminta, 1939) maupun kamus (Grericke dan Roorda, 1901). Terjemahan Babad Demak yang dilakukan oleh Pendidikan

5 A. Sudewa, Serat Peniti Sastra (Yogyakarta: Duta Wacana Press, 1991).

dan Kebudayaan juga peneliti pakai untuk menambah khazanah dan memudahkan proses terjemahan yang peneliti lakukan. Jadi, peneliti tidak berusaha mengaitkan teks dengan cakrawala sastra pada kurun waktu teks itu digubah. Sementara itu upaya penerjemahan yang peneliti lakukan adalah dengan “mengganti” teks bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran.6

Peneliti melakukan penerjemahan dengan metode terjemahan bebas atau model gubahan, yaitu penerjemahan yang mengutamakan isi dan mengorbankan teks bahasa sumber. Hal ini peneliti lakukan sekedar untuk memudahkan dalam pembacaan ceritanya. Metode penerjemahan bebas ini berbentuk paraphrase sehingga lebih panjang atau lebih pendek dari teks aslinya.7 Tujuan pemakaian metode terjemahan seperti ini adalah supaya hasil terjemahan sesuai dengan kaidah bahasa sasaran, yaitu bahasa Indonesia yang mempunyai struktur kalimat yang berbeda dengan bahasa Jawa. Penerjemahan bebas ini peneliti lakukan pada setiap bait, hal ini sekedar memudahkan dalam proses terjemahan naratif.

Pembagian naratif dilakukan mulai cerita Pandanarang itu berlangsung sampai cerita itu selesai dalam satu episode. Hal ini dilakukan untuk melihat naratif cerita Pandanarang dalam konteks Babad Demak. Kriteria yang dipakai secara umum adalah adanya perubahan waktu, pelaku, dan latar yang ada pada cerita tersebut. Salah satu cara untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi adalah dengan mengetahui unit-unit naratif. Unit-unit naratif adalah unit-unit pokok yang ada pada sebuah cerita. Sebuah teks cerita terdiri dari unit-unit naratif yang berupa ucapan naratif, yaitu ucapan yang menyatakan suatu tindakan atau perbuatan.8

Adanya ucapan lokutif, yaitu ucapan yang tidak menggerakkan cerita. Ucapan

6 Rochayah Machali, Pedoman Penerjemah (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 5. 7 Ibid., hlm, 49-55. 8 C Groenen, Analisis Naratif Kisah Sengsara [Yoh 18-19] (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 30.

Page 4: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 243

lokutif berisi uraian yang berupa penjelasan, komentar penulis cerita atau tokoh-tokoh yang diceritakan dan mengenai peristiwa, tindakan, perbuatan, dan kejadian yang diceritakan. Peristiwa, tindakan, dan perbuatan akan membentuk semacam berkas yang berpusatkan pada tindakan, peristiwa, perbuatan atau kejadian utama yang dikelilingi oleh yang lainnya. Inilah yang kita sebut sebagai adegan. Beberapa adegan dapat terjadi pada waktu yang berurutan atau bahkan bersamaan yang mempunyai hubungan sebab-akibat. Adegan-adegan akan membentuk suatu unit yang lebih besar, yaitu babak. Akhirnya terbentuklah suatu cerita yang terdiri dari sejumlah babak.9

Adegan dan babak yang terjadi dalam waktu yang susul-menyusul maupun bersamaan tetapi di lain tempat. Babak juga harus saling berkaitan satu sama lain dalam hubungan sebab akibat. Beberapa babak dapat membentuk mikro cerita atau cerita kecil. Sedangkan makro cerita merupakan cerita yang lebih besar. Dalam penelitian ini, episode cerita Pandanarang didudukkan pada salah satu mikro cerita dari makro cerita Babad Demak secara keseluruhan.

Babad Demak berbentuk puisi Jawa yang berupa macapat. Hal ini menjadi kesulitan tersendiri bagi peneliti untuk membagi unit-unit naratif yang terkecil. Tembang macapat terbagi dalam pupuh dan pada/ bait. Pembagian ini tidak mengisyaratkan pada perubahan tokoh, waktu, dan tempat tetapi berkaitan dengan kesesuaian antara watak tembang dengan isi dan suasana cerita yang disampaikan. Jadi, satu pupuh belum tentu satu babak. Demikian juga satu pada/ bait belum tentu merupakan satu kesatuan naratif kecil.

Sebuah karya yang berbentuk tembang macapat mempunyai gaya dan sifat yang khusus dalam kalimat-kalimatnya dibandingkan dengan yang berbentuk prosa. Kekhususan tersebut tampak pada ketidakjelasan unsur-unsur sintaksis, tidak adanya tanda titik ( . ), dan koma ( , ), sehingga batas antar kalimat sulit ditentukan.

9 Ibid., hlm, 30.

Maka dari itu pembagian pupuh dan pada / bait tidak serta merta merupakan pembagian unit terkecil, adegan, babak, dan episode.

Pembagian unit naratif Babad Demak penulis ambil hanya pupuh XXXVII sampai pupuh XXXIX. Pupuh tersebut akan penulis bagi dalam babak, dan adegan. Babak 1 terdiri dari 11 bait, yaitu bait satu sampai sebelas pupuh asmaradana. Babak II terdiri dari 24 bait, bait dua belas sampai bait tiga puluh lima pupuh asmaradana. Babak III terdiri 20 bait, yaitu bait tiga puluh enam sampai bait empat puluh pupuh asmaradana dan bait satu sampai bait lima belas pupuh kinanthi. Babak IV terdiri dari 12 bait, yaitu bait enam belas sampai bait dua puluh delapan pupuh kinanthi. Babak V terdiri dari 13 bait, yaitu bait dua puluh sembilan sampai bait empat puluh satu pupuh kinanthi. Babak VI terdiri dari 19 bait, yaitu bait empat puluh dua sampai bait empat puluh lima pupuh kinanthi dan bait satu sampai bait lima belas pupuh dhandhanggula. Babak VII terdiri dari 10 bait, yaitu bait enam belas sampai bait dua puluh lima pupuh dhandhanggula.

Penomoran babak menggunakan angka Romawi, adegan dengan huruf latin, bait dengan angka Arab. Adapun penyajian ada yang dibuat terpisah dalam sebuah halaman untuk menunjukkan bahwa kedua adegan terjadi pada waktu yang bersamaan tetapi berlainan tempat kejadian. Selain itu, untuk membantu memahami dinamika kisahnya, pembagian unit-unit naratif akan disajikan dengan memberikan judul pada tiap babak dan adegan. Pembagian judul pada tiap babak, dan adegan dapat membantu memperjelas kisah Pandanarang sendiri maupun dalam hubungannya dengan Babad Demak secara keseluruhan. Terjemahan dan pembagian naratif pupuh XXXVII sampai pupuh XXXIX adalah sebagai berikut: Teks Babad Demak Pupuh XXXVII: Asmaradana 1. Kuněng malih kang winarni [302]/ kiyayi agěng Sěmarang/ kang suměkta pakaryane/ kathah garwa putranira/ sugih donya barana/ tanpa etang donyanipun/ wong dagang utang sadaya//

Page 5: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 244

2. Alumuh kirang angabukti/ tan arsa lamun nganggura/ apa sabarang gawene/ sadina-dina lumampah/ donyane raja brana/ sabarang murah tinuku/ yen larang winade samya// 3. Tan mantra yen sampun sugih/ borongi wuhon karyanya/ mring pasar saběn dinane/ kanjěng Sunan kang winarna/ Kalijaga wus pirsa/ yen badhe mukmin satuhu/ ngelmune dereng binuka// 4. Ki Agěng cinoba nuli/ jěng sunan mindha kawula/ wade kamběngan karsane/ nging sajroning ngalang-alang/ sinelehan buntělan/ salawe kětheng kehipun/ jěng sunan nulya lumampah// 5. Ki Agěng kawarna malih/ sigra lumampah ing pasar/ ngupaya wudhon sědyane/ nuli mring gen alang-alang/ Tanya mring jěng sunan/ pira rěgane sapikul/ paman alang-alang ira/// 6. Jěng sunan nahuri aris/ rěgine kamběngan kula/ pan inggih sělawe kětheng/ botěn kenging dipunanyang/ yen botěn papajěngan/[303] inggih kula běkta mantuk/ ki Agěng gumujěng suka// 7. Angandika esmu manis/ pathuk bangkung sira paman/ yen sun těmpuh sarěgane/ nanging sira atěrěna/ marang ing mismaning wang/ ki Agěng saksana kondur/ jěng sunan trěmbat tut wuntat// 8. Wus prapta ing dalěm wingking/ ki Agěng ambayar uwang/ kathahe salwe kětheng/ pan sarwi angling wawěkas/ paman dol alang-alang/ yen akeh tunggilipun/ sun tuku ya atěrěna// 9. Sang tapa aris nahuri/ gih kiyahi benjang enjang/ kula atěr kamběngane/ kanjěng sunan nulya kesah/ sigra kang alang-alang/ apan kinen ngudhal gupuh/ kinarya ma yu gědhogan// 10. Ingudhal nuli udani/ buntělan ing alang-alang/ kathahe salawe kětheng/ nuli katur ki dipatya/ wau ingkang buntělan/ ki dipati mesěm muwus/ iki artane si paman// 11. Binuntěl geneya keri/ aneng jroning alang-alang/ boya lali paman kae/ wus bějane raganing wang/ tuku nora kelangan/ ing dalu datan winuwus/ kawarnaha enjingira// 12. Ki Agěng Sěmarang ling[304] gih/ aneng ing pandhapanira/ ingayap gung pawongane/

ki Dipati arsa dhahar/ kinarya sasarapan/ dhaharan wus aneng ayun/ ngadhěp wedang tiněpasan// 13. Kang namur kawula prapti/ kanjěng sunan kalijaga/ sarwi mikul kamběngane/ den irit ing palataran/ dhatěng kang jaga lawang/ ki Dipati mirsa muwus/ lah paman neng emper linggiha// 14. Kang mindha kawula linggih/ ngemper kidul pěrnahira/ sarwi ngadhěp pikulane/ ngěnteni denira dhahar/ kyai Agěng Sěmarang/ wus linorot amběnganipun// 15. Ki Dipati angling malih/ dhatěng kang mindha kawula/ dene esuk prapta kene/ apa pěrak wismanira/ kang namur aris mojar/ apan těbih wisma ulun/ pan inggih ardi Jabalkat// 16. Ki Agěng ngungun napda ris/ dene adoh wismanira/ ing kene ngěndi pondhoke/ kang mindha atur ris napda/ tan mawi mondhok kula/ saking Jabalkat pan esuk/ yen sontěn prapteng Sěmarang// 17. Langkung ngungun ki Dipati/ miyarsa ture kang mindha/ saksana ngambil artane/ salawe[305] kětheng kehira/ ingulungakěn sigra/ wus(n) tinampan artanipun/ jěng sunan nulya ngandika// 18. Duh kula kyai Dipati/ nuwun pariman andika/ apan salila-lilane/ kang pinaring ing hyang suksma/ sigra kyai Dipatya/ nulya ngambil artanipun/ sakětheng nguncalakěn sigra// 19. Dhumatěng sang maha yaksi/ tibeng jubin mungging arsa/ sang tapa aris sapdane/ tan nědha artanira/ tan děměn dunya brana/ yen maringi kula nuwun/ unine bědhug Sěmarang// 20. Ki Dipatya ngucap běngis/ lěnggu těměn paman sira/ tan arsa arta sakětheng/ iku gěmpaling reyal/ reyal gěmpaling dirham/ anědha unine bědhug/ mangsa bědhug antuk dirham// 21. Jěng Sunan nahuri malih/ kiyayi sampun mangkana/ tan sae benjang akhire/ lah sampun mangeran dunya/ dunya dadi brahala/ tan němu suwarga ayu/ yen mangeran raja brana// 22. Amětěngi suwarga/ kaliyan ing dunya brana/ tan wikan mulya swargane/ kyai jěněng ing kawula/ tan langgěng aneng

Page 6: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 245

dunya/ ing benjang tan wan[306] de mantuk/ marang ajal rahmating Hyang// 23. Manira nora kapingin/ rěměn dunya lir andika/ ngapirani benjang těmbe/ dunya nora melu mring swarga/ tan langgěng aneng donya/ yen mulih bisa mulih swarga gung/ gěmine tan kěna ngetang// 24. Wong mulya aneng suwargi/ barang kang cinepta ana/ tan susah rawat dunyane/ wong gaota pitung warsa/ maksih kěna ingetang/ wong mulya aneng suwarga gung/ lamine tan kěna ngetang// 25. Sang dipati mesěm angling/ anggěděbus paman sira/ karya wong wěruh swargane/ yen wruha sira paman/ mongsa dol alang-alang/ lan mongsa ngěmis sabědhug/ pasti krasan aneng swarga// 26. Jěng Sunan nahuri malih/ yen manira rěměn dunya/ tan susah rawat donyane/ angědhuk mongsa danguwa/ angambil mas sasingkal/ jěng sunan sinungan pacul/ mring latar amacul lěmah// 27. Sagaclokan sampun dadi/ mas puthon gěnge sasingkal/ nuli den ungkil pacule/ sang tapa aris ngandika/ kyai Dipati arsa/ punika mas ing swarga gung/ ingkang pinaringkěn ing wang// 28. Sigra tědhaki Dipati/ ningali ěmas sasingkal/ mancorong[307] kathah tunggile/ ki Dipati lěngěr mulat/ langkung gěgětunira/ ajrih asih manahipun/ ěmas winangsulkěn sigra// 29. Ki Dipati ajrih asih/ marang kang namur kawula/ nuli cinandhak astane/ kinanthi biněkta lěnggah/ jajar aneng pandhapa/ umatur sarwi tumungkul/ niti warti tata krama// 30. Nuwun ingapura kyai/ saking kalěpatan amba/ langkung ngina sasamine/ mangke kyai tur kula/ apasrah jiwa raga/ kawula nunuwun guguru/ andherek ing karsa tuwan// 31. Nadyan prapteng lena pati/ kawula datan lěnggana/ punapa tuwan karsane/ inggih sumangga ragamba/ nging nuntěn kawějangan/ ewuhe tiyang tumuwuh/ měnawi kelingan pějah// 32. Sang tapa ngandika aris/ lamun těměn jěbeng sira/ arsa guguru maring ngong/ ingsung anjaluk pratondha/ tandhane

puruhita/ manuta parentah ingsun/ supayane winějanga// 33. Ingsung anjaluk sayakti/ patangprakara kehira/ ngibadahe salawase/ kalawan ngaděgna iman/ ngeslamna wong Sěmarang/ nginguwa santri lan kaum/ kar[308] yaha bědhug lan langgar// 34. Dene ingkang kaping kalih/ lawan jakat krana lila/ wajibe kang dunya akeh/ jinekat lan wong kathah/ ajine den murwata/ dene ingkang kaping tělu/ wajibe wong puruhita// 35. Pasti kentar saking panti/ anuntunakěn bidhiyan/ marang wismane gurune/ yen satuhu puruhita/ marang jěněng manira/ sira nusula maringsun/ marang ing gunung Jabalkat// 36. Saksana amit ing rabi/ wowolu kathahing garwa/ tur samya kathah putrane/ sami ayu warnane/ sadaya sugih dunya/ tur sami putra tuměnggung/ prandene datan kaetang// 37. Gung raja brana winaris/ dhatěng putra wayahira/ wajibe jinekatake [309]/ marang santri kang mělarat/ tuwin ingkang pinatah/ ruměksa nagaranipun/ gěng alit sami dinuman// 38. Miwah lakuning nagari/ ginatungan raja brana/ tan kěna owah lakune/ pinasrahakěn kang tuwa/ těrtibe kang něgara/ tuwin carane gung hunting// 39. Kang garwa sěpuh pribadi/ kalangkung lumuh tinilar/ kědah tumut ing lakine/ ngarih-arih aturira/ dhuh kyai badan kula/ pějah gěsang kědah tumut/ ing dunya prapteng ngakirat// 40. Tan etang běrana siwi/ mung nědya nunggil panuksma/ lawan kiyagěng akhire/ swarga nraka sampun pisah/ kawula ngestu pada/ kiyagěng ngandika arum/ ya dadiya kanthining wang// Teks Babad Demak Pupuh XXXVIII: Kinanthi 1. Ki agěng malih amuwus/ lah yayi yen melu mami/ aja sira gawa brana/ wawalěre guru mami/ běrana iku brahala/ amětěngi ing suwargi// 2. Yen sira aměksa amilu salina busana putih/ kang garwa matur sandika/ wau ta kyai dipati/ aměngangge sarwa seta/ kalung kěskul těkěn ěcis//

Page 7: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 246

3. Amit marang garwanipun/ ingkang kari kiri sami [310]/ tuwin putra wayah ira/ animbul sarwi měměling/ kinen atut akěkadang/ kang tilar angaběkti// 4. Kiyagěng nulya lumaku/ tan mawi rowang sawiji/ sumědya amati raga/ lěstari denya lumaris/ nyai agěng atut wuntat/ panganggene sarwi putih// 5. Wuluh gadhing těkěnipun/ ingisen rětna di luwih/ dinar lawan lalantakan/ kěbak ingkang wuluh gadhing/ ngati-ati karsanira/ kathah lire lumaris// 6. Tan wawarta kakungipun/ angontel lumakyeng wuri/ ajrih manawi konangan/ denira gawa rětna di/ mring laki kyahi Dipatya/ kalangkung denya malěri// 7. Ingkang raka sampun wěruh/ isine kang wuluh gadhing/ nanging api datan wikan/ akěbat denya lumaris/ kang garwa tansah tinilar/ angontel lumakyeng wuri// 8. Wus těbih denya lumaku/ kapungkur tanah Sěmawis/ langkung wana Tarataban/ těbih desa murang margi/ kiyagěng ing Pandhanarang/ kapapag wong ngadhang margi// 9. Tiyang tiga ing Dělanggung/ nědya begal wong lumaris/ angěndhěg ingkang lumampah/ lah paman mandhěga dhi[311]ngin/ ingsung nědya sangunira/ ki Agěng aris nahuri// 10. Datan gawa lakuning sun/ yen sira kuranga bukti/ wuri ika garwaning wang/ anggawa rětna di luwih/ neng těkěn wuluh wadhahnya/ rěbutěn kang wuluh gadhing// 11. Aja gěpok awakipun/ den kěna kang wuluh gadhing/ pasti warěg sira pangan/ yen kěna kang wuluh gadhing/ kiyagěng lajěng lumampah/ wong tělu angadhang margi// 12. Nyai Agěng nuli langkung/ těkěne riněbat kěni/ nyai gěng sigra lumajar/ anangis nututi laki/ kyai nuwun tulung kula/ tiyang tri salah kang ati// 13. Dadi karan desanipun/ salah tiga ingkang nami/ yata kang wuluh piněcah/ pating pancorong kang isi/ masa dinar rětna sosotya/ tiyang tri suka ing galih// 14. Pinara tiga wus dinnum/ nulya ana prapta malih/ arane ki Sambangdalan/ angling jaluk ingsung iki/ winartan ing kancanira/ dika tututana aglis//

15. Těkěne kang lanang durung/ kang kěna sun rěbat iki/ lagi kang wadon kewala/ kang lanang lumaku dingin/ yata nuli Sambangdalan/ nututi ingkang lumaris// 16. Kawar[312]na ingkang lumaku/ kang nututi marang laki/ adoh denira kacandhak/ Nyai Agěng sru anangis/ sasambate amlas arsa/ boya laki mami// 17. Adarbe garwa maringsun/ dene tan arsa nulungi/ tega těměn nilar ing wang/ Kiyagěng ngandika aris/ sira priyangga kang jarag/ lali anggawa rětna di// 18. Majade mongsa na wěruh/ isine kang wuluh gadhing/ suprandene nora kilap/ mung těkěn kang sinilih/ wus yayi sira nrimaha/ wus pinundhhut ingkang kardi// 19. Lah pa yoha aneng ngayun/ ingsun ingkang aneng wuri/ nulya lajěng lampah ira/ kawarnaha kang nututi/ Ki Sambangdalan wus prapta angrěbat těkěn ira cis// 20. Wus sinungkěn těkěnipun/ kayu sawang tanpa isi/ tinampan sigra tinampan/ těkěn marang Ki Dipati/ Ki Sambangdalan sru ngucap/ paman jaluk olih-olih// 21. Kiyayi ngandika arum/ ingsun ora gawa picis/ Ki Sambangdalan sru měksa/ lah ěndi sangumu aglis/ apa nganti ingsun gěbag/ ingsun jaluk olih-olih// 22. Kiyagěng ngandika asru/ andalarung sira ki/ kaya wědhu[313] s amběkira/ Sambangdalan malih warni/ Sambangdalan malih warni/ Sambangdalan tan rumangsa/ warna domba agěng inggih// 23. Ki Dipati apandulu/ yen kang begal malih warni/ langkung jrih nuli lumampah/ ingkang domba anututi/ tan wikan yen malih warna/ taksih ngucap tata jalmi// 24. Saksana an(y)abrang ranu/ tan bisa ngidaki warih/ lawan wruh wayanganira/ angrasa yen malih warni/ sru nangis ki Sambangdalan/ srah tobat lajěng nututi// 25. Tut wuri saparanipun/ samarga-marga anangis/ wau Kiyagěng Sěmarang/ kalangkung kawratan galih/ tan liya kacipteng driya/ among kangjěng Sunan Kali// 26. Kiyagěng denya lumaku/ talatah Těmbayat prapti/ minggah wukir Ijabalkat/ manggih padasan satunggil/ datan ana toyanira/ lawan manggih masjid alit//

Page 8: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 247

27. Ing ngriku denya dhudhukuh/ ing wukir tan ana warih/ Sambangdalan angawula/ nuwun luware kang warni/ kinen ngiseni padasan/ tan mawi dipun tutupi// 28. Lamun tan kalilan turu/ yen dereng kěbak kang warih/ padasan enceh agěngya/ tigan prangkuling jalmi/ sapanggayuh inggilira/ rina wěngi den iseni [314]// 29. Yen ngambil toya tumurun/ saonjotan prapteng kali/ sangking wrate arsa luwar/ Sambangdalan anglampahi/ ing manah langkung jrihira/ lajěng nědya guru nadi// 30. Pěndhak dina laminipun/ genira prapteng wukir/ tanpa nendra Sambangdalan/ karipan angambil warih/ padasan tan bisa kěbak/ mancur toyanya drěs mijil// 31. Anuli Jěng sunan rawuh/ alěnggah gigilang bancik/ Ki Dipati/ sarěng mulat/ tanapi nyai Dipati/ ngaras padane Jěng sunan/ Sambangdalan angaběkti// 32. Sang tapa ngandika arum/ dene domba angaběkti/ bisa ngucap tata jalma/ apa purwanya ing nguni/ kang domba umatur němbah/ mongsa boronga sang Yogi// 33. Saderenge ulun matur/ paduka sampun udani/ sang tapa umatur ngandika/ ya ingsun uwis udani/ sira tobata hyang Suksma/ minta awaluyweng jati// 34. Jatine manungsa tuhu/ ya muliha marang jalmi/ mandi sabdane sang tapa/ Sambangdalan ingkang warni/ mari denya warni domba/ mulih marang jalma malih// 35. Dumugi denira ngangsu/ padasan kěbak pribadi/ jěng sunan asih tumingal/ dhumatěng nyahi dipati/ dene wadon pisah toya[315]/ langkung marmanireng galih// 36. Hěcis tinancěp dinudut/ tilasing cis mili warih/ mancur satěkěn umbulnya/ jěng Sunan ngandika aris/ tambakěn karyaněn blumbang/ iline toya awěning// 37. Kang toya tinambak sampun/ balumbang langkung rěspati/ kadi toya aneng dandang/ kincling-kincling saha rěsik/ sinabdan tan kěna ewah/ kětiga rěndhěng pan sami// 38. Wusnya mangkana sang Wiku/ napda marang Ki Dipati/ manjing wali mukmin sira/ lamun sun paring kasih/ pangeran Těmbayat prayoga/ ngeslamna wong Buda kari// 39. Dadi paguron sireku/ ya tungguněn masjit iki/ iki masjid těka Měkah/ Jabalkat

pinangkaneki/ ngaděgna Jumuwah sira/ angipuka gunging santri// 40. Lan malihe jěbeng iku/ Sambangdalan miku sakit/ mung sira apuraha/ wějangěn ngelmu sějati/ Kiyagěng matur sandika/ saksana kyahi Dipati// 41. lan ingsung paring juluk/ Ki Seh Domba iku běcik/ kang liringan atur sěmbah/ sandika panuwun kawula/ nuntěn kawějanga Gusti// 42. Kiyagěng anuli matur/ kawula nuwun pa[316] ngarti/ yun uninga sangkan paran/ wěkasan hamba pribadi/ pirsakěna mupung gěsang/ manawa kalangan pati// 43. malih ngandika sang Wiku/ ya běněr jěběng sireki/ lah den pěrak ngarsaning wang/ sun babar ngelmu supi/ kang gěmi aja kawědhar/ ing sastra kalawan lathi// 44. larangane wali ratu/ yen kawědhar saking lathi/ binasmi saking sarengat/ kakekate tanpa dadi/ rujukna lawan tarekat/ makripate tanpa silip// 45. wruhanira urip lampus/ tinilar panggawe pasti/ wong ala aněmu ala/ wong běcik aněmu běcik/ yen wong urip nora wikan/ tan antuk manising Widhi// Teks Babad Demak Pupuh XXXIX : Dhandhanggula 1. urip iku neng donya tan lami/ upamane jěbeng měnyang pasar/ tan langgěng neng pasar pasar wae/ tan wurung nuli mantuk/ marang wisma sangkaning nguni/ ing mangke aja samar/ sangkane ing wau/ kalamun tan mangkonoha/ yen tan wěruh sangkan paran ira nguni/ kasasar ambělasar// 2. yen kongsi sasar jroning pati/ dadi tiwas uripe kasasar/ tanpa pencokan sukmane/ saparan-paran nglangut/ kadi mega katiyup angin/ wusana dadi udan/ [317]/ mulih marang banyu/ dadi bali nuting wadhag/ ing wajibe suksma tan kenging pati/ langgěng donya ngakerat// 3. lamun sira jěbeng prapteng jangji/ aja pěgat jěbeng dhikirira/ den awas rupane dhewe/ lah poma wěkas ingsun/ ngelmu supi dipun udani/ abot dalěm sekarat/ akeh kang kadulu/ ana rupa pawong sanak/ ana rupa bapa biyang guru Gusti/ pan arsa jarah iman//

Page 9: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 248

4. anataa suwarga linuwih/ ana kang ngaku malaekat/ angatěr widadarine/ warnane langkung ayu/ nuli sira ningali masjit/ gumantung ngawang-awang/ tanpa canthel iku/ lalangsene endah pelag/ kang dinulu lungsing bang lan lungsir kuning/ putih turutanira// 5. ingkang masjit kancana kinardi/ lawang gědhah iněbe sakawan/ bisa měnga miněp dhewe/ yen miněp katon mancur/ kadi wulan purnama sidi/ katrangan dening ima/ tranggana mangumpul/ puniku tingali sasar/ kang sampurna tan ana panggih pinanggih/ among suksma kewala// 6. lamun ana kadulu ing pati/ warna rupa iku cakra bawa/ pandu[318] lu nira jatine/ cahyanira satuhu/ ingkang dadya puputran gadhing/ cahya mancur kumilat/ aneja ngunguwung/ iku paesaning suksma/ kang kuwasa masesa sarira iki/ iku tunggal pinangka// 7. ing hyang suksma kang murba sireki/ tělu iku ya tělu tunggal/ tunggal rasa lan uripe/ ya parěng ananipun/ kang paesan jagad jagad linuwih/ yen iku nora ana/ jagad kabeh suwung/ ginulung ing ananira/ lamun iku kapanggih ing dunya ngakir/ barang cinipta ana// 8. lah ta jěbeng iku aja lali/ lamun sira jěbeng narik napas/ kang awas rupa dheweke/ ywa pěgat dhikiripun/ ana rupa lamun kaeksi/ warnanira wasesa/ purbaněn satuhu/ yen sira durung pěrcaya/ nyatakěna mupung sira taksih urip/ ywa kandhěg basa swara// 9. upamane manungsa linuwih/ jroning gěsang nglakonana pějah/ tan panggih rupa rasane/ warnane aja pandung/ lan rasane den krasa ngati/ upama ngilo sira/ ing carěmin iku/ kang aneng sajroning kaca/ iya sira ya kawula ya sajati/ kang ngilo suksma purba// 10. [319]lamun sirna wayangane kaki/ waspadakna sirnane wayangan/ marang ing ngěndi parane/ awasěna satuhu/ aja kongsi samar ing jati/ yen sira wus karasa/ saběn-saběn waktu/ den carěmna ing satmata/ yen tan bisa saběn waktu sira panggih/ panggihe saběn condra// 11. lamun nora panggih saběn sasi/ ing sawarsa panggihe sapisan/ yen tan panggih

sawarsane/ ya sapisan Saumur/ jatan nora sira kapanggih/ kalawan dhewekira/ ika warana gung/ tan ana kang mamadha/ kěmbar rupa kalawan sira pribadi/ rasane ya neng sira// 12. ing margane arěmit arungsit/ patukune těka luwih larang/ gampang angel patukune/ abot lamun tinuku/ gampang lamun dipun lakoni/ dudu mas raja brana/ ya patukunipun/ poma jěbeng den prayitna/ ing panyipta ya kědhap-kědhap ing ngati/ pilih prapteng kasidan// 13. poma kaki iku den agěmi/ aja rasan sujalma kang liyan/ yen nora kanugrahane/ lamun sira mumuruk/ marang anak putumu kaki/ yen nora lawan niya[320] t/ iya oranipun/ katara ing solah muna/ ulat liring iku utusaning ngati/ minongka paněngěran// 14. iya ngelmi pan minangka wiji/ kang winulang upamane papan/ upama kacang kědhěle/ tinandur aneng watu/ yen watune datanpa siti/ kodanan kěpanasan/ sayěkti tan thukul/ mundhak biněndon hyang Suksma/ lah yen mulang nora nugraha sajati/ lir pendah mangan pisang// 15. Ki Dipati nuwun atur běkti/ wus kacakup apadhang sumilak/ tan ana walang sangkěre/ sang tapa malih muwus/ lah ta uwis jěbeng den běcik/ patrapna ing sarengat/ yen Jumungah waktu/ salata mring masjid Děmak/ salat sira mring Měkah amunggah kaji/ lah wus kariya mulya// 16. nuli murca Kangjěng Sunan Kali/ ingkang kari Pangeran Těmbayat/ ing galih ilang rěgěde/ kang garwa wus winuruk/ Ki Seh Domba sampun winisik/ dadi kadang taruna/ wěnang dadi guru/ cěrmanira jěng Pangeran/ nuli tědhak mring desa ngiman-imani/ mumulang gama Eslam// 17. jěng pangeran mindha pěkathik/ marang de[321]sa ing Wědhi sědyannya/ jujug Ki Tasik wismane/ angindra dadi batur/ Nyai Tasik pakaryane ki/ wade srabi lan cara/ pěndhak pasaripun/ sěmana nuju pasaran/ nyai Tasik mětoni pasar ing Wědhi/ pangeran Pěkathiknya// 18. ngědalakěn barange wo(ng) grami/ kěrěn kayu jaladren riněmbat/ miwah toya kalěnthinge/ sěmana kayu kantun/ aneng wismanira/ Ki Tasik/ kang tuku langkung/

Page 10: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 249

kantu dening kayu/ Ni Tasik kalangkung suka/ lah Pakathik ora gawa kayu iki/ dene kayu ko tinggal// 19. apa tanganira kang kinardi/ anggěneni sarabi lan cara/ kasusu kang tuku akeh/ pangěran nuli nurut/ astanira ingkang kinardi/ gěneni jaladrennnya/ aneng kěrěn murub/ mangangah kalangkung panas/ pangran angling lan andika anyěrabi/ gěni sampun mangangah// 20. nyai Tasik gumětěr kang ati/ aningali marang pakathiknya/ nyěrabi ginělak bae/ wus tělas jladrenipun/ langkung kathah jalma ningali/ sami gawok tumingal/ wong sapasar rubung/ emut ingkang namur lěnggah/ wus linorot astanya pě [322] jah kang gěni/ nuli kondur ing wisma// 21. Nyai Tasik saksana borongi/ gung woh-wohan kang manis rasanya/ sigra mantuk age-age/ wus prapta wismanipun/ awawarta marang Ki Tasik/ tingkahe pěkathhik/ wau kang tinutur/ Ki Tasik grahiteng griya/ nora nyana lamun den ngengeri wali/ němbah nuwun ngapura// 22. Nyai Tasik saksana ngaběkti/ sarwi atur ingka(ng) dhadhaharan/ langkung mangrěpa ature/ pangeran ngandika rum/ sun tarima sira Ni Tasik/ muga-muga larisa/ barang dol

tinuku/ nanging ingsun aněnědha/ marang sira gung anak putumu Wědhi/ padha ngimana Bayat// 23. tur sandika Tasik jalu estri/ jěng Pangeran kondur mring Těmbayat/ Kiyai Tasik dherekake/ tuwin sa anak putu/ tuwa anom sami angering/ wus rawuh ing Těmbayat/ Ki Tasik winuruk/ pranatane gama Eslam/ kyai Tasik wus Eslam sa anak rabi/ ngiman marang Těmbayat// 24. langkung nuwun ature Ki Tasik/ sawulange pangěran Těmbayat/ tan nědya měngěng manahe/ kathah pi[323] wulangipun/ Jěng Pangeran marang Ni Tasik/ kacakup ing wardaya/ pangeran nabda rum/ lah uwis sira muliha/ Kyai Tasik němbah lengser saking ngarsi/ bubar mantuk sadaya// 25. tan winarna lamine sang Yogi/ denya dhěkah ana ing Těmbayat/ agěmah dadi prajane/ wong Sěmarang keh rawuh/ putra wayah samya kapanggih/ akathah dherek wisma/ kang brongta ing ngelmu/ nahěnta ingkang dhědhěkah/ kawarnaha kyana patih Majapahit/ kang den undur lěnggahnya// Terjemahan Naratif Babak I Pupuh XXXVII: Asmaradana

Adegan A: Narasi cerita keadaan Pandanarang 1. Adapun yang diceritakan lagi Kyai Ageng Semarang, yang rajin dalam bekerja. Istri dan anaknya banya, kaya harta bendanya sampa tidak bisa dihitung. Orang yang berdagang hutang semua kepadanya. 2. (dia) tidak ingin hanya berpangku tangan. Apa-apa dikerjakannya setiap hari dan tidak kenal lelah. Hidupnya adalah harta kekayaan. Apapun barang yang murah dibelinya. Jika harganya mahal segera dijualnya. Adegan B: Kanjeng Sunan Kalijaga ingin mencoba Kyai Pandanarang 3. Tidak terasa Pandanarang sudah menjadi kaya raya. Pekerjaannya membeli dagangan ke pasar setiap hari. Kanjeng Sunan yang diceritakan. Sunan Kalijaga sudah mengetahui keadaan Pananarang. Jika ingin menjadi seorang muslim sejati, hendaknya ilmunya belum dibuka.

4. Ki Ageng Pandanarang kemudian dicoba. Kanjeng Sunan menyamar menjadi rakyat jelata. Ingin berjualan alang-alang. Hanya saja di dalam alang-alang diletakkan bungkusan duapuluh lima kětheng banyaknya. Kanjeng Sunan kemudian berjalan. Adegan C: Pertemuan Pandanarang dengan Sunan Kalijaga 5. Ki Ageng diceritakan lagi. Ia segera berjalan ke pasar dan ingin berusaha mencari dagangan. Kemudian menuju tempat (penjual) alang-alang. Bertanya kepada Kanjeng Sunan” Berapa harga satu pikul paman alang-alangmu.” 6. Kanjeng Sunan menjawab pelan ” Harga alang-alang saya, yaitu duapuluh lima kětheng. Tidak boleh ditawar. Jika tidak laku akan saya bawa pulang.” Ki Ageng tertawa senang. 7. Berkata dengan ramah,”Pathuk bangkung kamu, Paman. Jika saya beli sesuai

Page 11: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 250

harganya tetapi kamu antarkan ke rumahku.” Ki Ageng kemudian pulang. Kanjeng Sunan segera mengikuti di belakangnya. Adegan D: Pandanarang Memesan Alang-Alang (dagangan) kepada Kanjeng Sunan Lagi 8. Sudah sampai di rumah bagian belakang, Ki Ageng membayarnya dengan uang sebanyak duapuluh lima kětheng. Seraya memberi pesan,”Paman penjual alang-alang, jika masih banyak yang lainnya akan saya beli dan antarkan ke sini.” 9. Kanjeng Sunan membala pelan, Iya Kyai, besok pagi saya antar alang-alangnya.” Kanjeng Sunan kemudian pergi. Segera alang-alang itu, ia suruh untuk membukanya segera untuk pakai sebagai atap gědhogan.

Adegan E: Pandanarang Senang Mendapatkan Bungkusan Berisi Uang yang seharga dengan Pembeliannya 10. Di bukak dengan cara diambil satu persatu kemudian ketahuan bungkusan di dalam alang-alang sebanyak dua puluh lima kětheng. Kemudian diberikan ke Ki Dipatya bungkusan tadi. Ki Dipati tersenyum dan berkata, “Ini harta kepunyaan paman tadi, 11. Bungkusan kenapa tertinggal di dalam alang-alang. Apa lupa paman tadi. Sudah menjadi keberuntunganku, membeli tidak kehilangan. Malam hari tidak diceritakan. Diceritakan pagi harinya. Terjemahan dan Pembagian Naratif Babak II Adegan A: Pandanarang Makan di pagi hari dilayani oleh pelayannya 12. Ki Ageng Semarang duduk di pendapanya dan didampingi para pelayannya. Ki Dipati berkeinginan untuk makan pagi untuk sarapan. Hidangan makanan sudah siap. Ki Dipati menghadap minuman dan dikipasi. Adegan B: Kedatangan Kanjeng Sunan Kalijaga 13. Yang menyamar rakyat kecil sampai, Kanjeng Sunan Kalijaga. Dengan memikul alang-alangnya, diletakkan di pelataran kepada yang menjaga pintu. Ki Dipati mengetahui dan berkata, “Iya, Paman di emperan duduklah.”

14. Yang menyamar rakyat kecil duduk di emperan sisi selatan arahnya sambil menghadap pikulannya. Menunggu olehnya makan Kyai Ageng Semarang. Sesudah diberesi hidangan makanannya. Adegan C: Dialog 1; Pandanarang heran akan jauhnya rumah Sunan Kalijaga 15. Ki Dipati berkata lagi kepada yang menyamar rakyat kecil, ”Kenapa pagi sudah sampai di sini apakah dekat rumahnya.” Yang menyamar berkata pelan, “Iya jauh rumah saya, di gunung Jabalkat.” 16. Ki Ageng heran dan berkata pelan, “Kenapa rumahmu jauh. Di sini, mana pondokannya.” Yang menyamar rakyat kecil berkata pelan,” Tidak dengan mondok saya. Dari gunung Jabalkan pagi hari jika sore sampai Semarang.” 17. Lebih heran lagi Ki Dipati mendengar kata yang menyamar. Kemudian mengambil uangnya sejumlah dua puluh lima kětheng banyaknya. Diberikan segera, sesudah diterima uangnya Kanjeng Sunan kemudian berkata. Adegan D: Dialog 2; Kanjeng Sunan Kalijaga meminta suara bedhug di Semarang 18. “Duh saya Kyai Dipati minta pemberianmu, iya se-ikhlasnya yang telah diberikan oleh yang Maha Kuasa. Segera Kyai Dipati kemudian mengambil hartanya satu kětheng dilemparkan segera. 19. Kepada Kanjeng Sunan, jatuh ke lantai seperti yang ia kehendaki. Kanjeng Sunan berkata pelan, ”Tidak menginginkan uang itu, tidak suka harta benda dunia. Jika berkenan saya minta bunyi bedhug Semarang. 20. Ki Dipati berkata kasar, ”Sombong sekali kau, Paman. Tidak mau uang satu kětheng. Itu pecahan reyal, reyal itu pecahan dirham. Malah meminta bunyi bedhug. Apa bedhug dapat satu dirham. Adegan E : Dialog 3; Penjelasan Sunan Kalijaga tentang Surga 21. Kanjeng Sunan menjawab lagi,”Kyai jangan begitu, tidak baik di akhirnya nanti. Jangan pernah menyembah harta dunia. Itu

Page 12: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 251

akan menjadi berhala, tidak mendapatkan surga yang baik jika menyembah harta benda. 22. Menghalangi Surga. Dengan harta benda dunia tidak dapat mengetahui keagungan Surga. Kyai, nama saya tidak langgeng di dunia. Besuk tidak jualan kembali, kepada ajal rahmat dari yang maha kuasa. 23. Saya tidak tertarik dan senang dunia sepertimu. Ini membuat kesusahan di akhirnya. Dunia tidak ikut ke Surga, tidak abadi di dunia. Jika kembali bisa pulang ke Surga senangnya tidak bisa dihitung. 24. Orang mulia di Surga, sesuatu yang dicipta ada. Tidak susah merawat seperti halnya di dunia. Orang bekerja tujuh tahun masih bisa dihitung. Orang mulia di Surga, lamanya tidak bisa dihitung.” 25. Sang Dipati tersenyum dan berkata,”Anggedebus paman kau. Seperti orang yang pernah melihat Surga. Jika kau mengetahui surga paman. Apa harus jualan alang-alang dan apa harus mengemis sampai tengah hari. Semestinya sudah nyaman tinggal di Surga.” Adegan F: Dialog 4; Pandanarang Terpana Terhadap Kesaktian Sunan Kalijaga 26. Kanjeng Sunan menjawab lagi,”Jika saya suka dunia, tidak susah merawat. Menggali tanah tidak akan lama, mengambil emas sebesar luku.” Kanjeng Sunan mengambil cangkul dan di halaman menggali tanah. 27. Satu cangkulan emas besar sebesar satu luku. Kemudian diangkat cangkulnya, sang Tapa berkata pelan,”Kyai Dipati berkeinginan, itu emas di Surga yang diberikan kepada saya.” 28. Segera mendekat Dipati, melihat emas sebesar satu luku gemerlap dan banyak yang lainnya. Ki Dipati terpukau melihatnya. Lebih menyesal dan takut hatinya. Emas dikembalikan segera. Adegan G :Dialog 5; Permintaan Maaf Pandanarang kepada Sunan Kalijaga 29. Ki Dipati takut kepada yang menyamar rakyat kecil. Kemudian dipegang tangannya, digandeng diajak duduk bersandingan di pendapa. Berkata sambil menunduk dan memperhatikan tata krama yang baik.

30. “Mohon maaf kyai dari kesalahan saya menghina sesamanya. Sekarang Kyai, saya menyatakan pasrah jiwa raga mengikuti kehendak tuan. 31. Meskipun sampai mati saya tidak akan menolak apa kehendak tuan. Iya saya persilahkan badan saya tetapi mohon dinasehati. Kesulitan orang hidup jika teringat mati.” Adegan H: Dialog 5; Ajakan Sunan Kalijaga Supaya Pandanarang Berguru Padanya 32. Sang Tapa berkata pelan,”Jika sungguh kamu seperti itu ingin berguru kepadaku. Saya meminta bukti, tanda orang berguru mengikuti perintah saya supaya diwejang. 33. Saya meminta kesungguhan sebanyak empat perkara. Beribadah seumur hidup dengan beriman, mengislamkan orang Semarang. Hendaknya merawat santri dan kyai. Buatlah bedug dan masjid. 34. Adapun yang nomer dua adalah dengan zakat yang ikhlas. Ini wajib bagi yang berharta benda (kaya). Berzakat kepada orang kebanyakan (miskin), sesuai dengan keadaannya. Adapun yang ketiga, kewajiban orang berguru. 35. Mesti pergi dari rumah menuju ke rumah gurunya. Jika benar-benar berguru ke tempat saya, kamu menyusul saya ke gunung Jabalkat.” Terjemahan dan Pembagian Naratif Babak III Adegan A: Pandanarang Berpamitan kepada Keluarganya 36. Kemudian pamit kepada istrinya yang berjumlah delapan termasuk kepada anak-anaknya yang berparas tampan dan ayu. Semuanya kaya akan harta benda. Ada yang berpangkat tumenggung, tidak terhitung. 37. Banyaknya harta benda yang dijadikan warisan kepada anak cucunya. Semuanya wajib dizakati kepada para santri yang miskin termasuk juga yang dijadikan menjaga negaranya (pamong), besar kecil sama-sama kebagian. 38. Dan juga jalannya negara (pemerintahan) tergantung pada kekayaan dan tidak bisa berubah jalannya. Diberikan kepada yang tua

Page 13: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 252

supaya tertibnya negara dan juga cara menjalannkan tata pemerintahannya. 39. Istri yang tua saja sangat tidak ingin ditinggal, harus ikut suaminya. Sampai memohon dengan sangat (untuk ikut),”Duh, Kyai hamba hidup mati harus ikut, di dunia ini sampai akherat. 40. Tidak menghiraukan harta benda dan anak. Hanya ingin bersama-sama dengan Ki Ageng akhirnya. Surga-neraka jangan sampai pisah. Saya menyembah di kaki.” Ki Ageng berkata pelan,“ Ya, kau menjadi teman (perjalanan) ku.” Adegan B: Keberangkatan Pandanarang dan pesannya terhadap keluarganya Pupuh XXXVIII: Kinanthi 1. Ki Ageng lalu berkata,”Lah jika ikut saya, jangan kamu membawa harta benda. Itu larangan guru saya, harta benda itu berhala dan menghalangi ke surga. 2. Jika kamu memaksa ikut, gantilah dengan baju putih.” Istrinya berkata,”Siap.” Adapun Kyai Dipati memakai (baju) serba putih, kalung kěskul těkên ěcis. 3. Pamit kepada istrinya, tetangga kanan-kiri juga anak cucunya. Ki Dipati berpesan, disuruhnya bersaudara dengan baik. Yang ditinggal mematuhinya. Adegan C: Pandanarang berangkat sendiri 4. Ki Ageng kemudian berjalan sendirian. Sedianya mematikan raga mencegah hawa nafsu, aman olehnya berjalan. Nyai Ageng mengikuti dari belakang, pakainnya serba putih. Adegan D: Nyai Pandanarang mengisi tongkatnya dengan harta benda 5. Wuluh gadhing tongkatnya. Diisi dengan perhiasan yang bagus, dinar dan lalantakan sampai penuh tongkat wuluh gadhing. Hati-hati keinginannya, jauh olehnya berjalan. Adegan E: Nyai Pandanarang mengikuti dari belakang 6. Tidak memberi tahu suaminya, mengikuti berjalan di belakang. Takut jika ketahuan olehnya membawa perhiasan kepada suaminya, Kyai Dipati.

Adegan F: Pandanarang mengetahui Istrinya membawa perhiasan 7. Suaminya sudah mengetahui isinya tongkat wuluh gadhing tetapi pura-pura tidak tahu. Cepat olehnya berjalan, istrinya ditinggal dan berjalan di belakang membuntuti. Adegan G: Pandanarang bertemu perampok di hutan Tarataban 8. Sudah jauh olehnya berjalan, ditinggal daerah Semarang. Melewati hutan Tarataban jauh desa. Ki Ageng Pandhanarang bertemu orang di jalan. 9. Tiga orang di Delanggu, hendak membegal orang lewat. Menghentikan orang yang lewat di situ,”Lah paman berhentilah dahulu. Saya menginginkan barang bawaannmu.” Ki Ageng pelan menjawab. 10. “Tidak membawa apa-apa perjalanannku. Jika kamu kurang bukti, belakang itu istri saya membawa perhiasan lebih. Di dalam tongkat wadhahnya, rebutlah tongkat wuluh gadhing. 11. Jangan melukai badannya. Yang boleh hanya tongkat wuluh gadhing, mesti kenyang buat makan jika mendapatkan wuluh gadhing itu. Ki Ageng kemudian berjalan. Orang bertiga menghadang di jalan. Adegan H: Nyai Ageng Pandanarang dirampok 12. Nyai Ageng kemudian lewat. Tongkatnya kemudian direbut. Nyai Ageng segera berlari, menangis mengikuti suaminya,”Kyai minta tolong saya. Tiga orang berhati jelek.” 13. Menjadi disebut desa itu Salahtiga namanya. Kemudian tongkat dipecah gemerlap isinya emas dinar perhiasan. Orang bertiga yang merampok senang di hati. Adegan I: Sambangdalan (perampok yang lainnya) datang meminta bagian 14. Dibagi tiga sudah dibagi. Kemudian ada yang datang lagi, namanya Ki Sambangdalan berkata meminta bagian. Dikasih tahu temannya,”Kamu ikuti segera (Ki Ageng itu). 15. Tongkatnya yang laki-laki belum. Yang dapat kami rebut baru ini. Baru yang perempuan saja, yang laki-laki berjalan

Page 14: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 253

duluan. Kemudian Sambangdalan mengikuti yang berjalan. Terjemahan dan Pembagian Naratif Babak IV Adegan A: Nyai Pandanarang dibiarkan Menangis oleh Pandanarang 16. Diceritakan yang berjalan, yang mengikuti suaminya. Jauh olehnya mendapatkan. Nyai Ageng keras olehnya menangis, mengeluh menyanyat hati. Bukan suami saya. 17. Mempunyai istri saya sebab tidak mau menolong, tega meninggalkan saya. Ki Ageng berkata pelan,” Kamu sendiri yang sengaja, lupa membawa perhiasan yang bagus.” 18. “Masak ada yang tahu isinya tongkat wuluh gadhing.” Memaksa tidak salah, hanya tongkat yang dipinjam. “Sudahlah kamu hendaknya menerima. Sudah yang mengambil yang melakukan.” 19. “Lah apa di belakang. Saya yang di belakang. Kemudian kamu berjalan.” Diceritakan yang mengikuti Ki Sambangdalan sudah sampai. Ia hendak merebut tongkat isi perhiasan. Adegan B: Sambangdalan Tidak mendapatkan hasil rampokannya kepada Pandanarang 20. Sudah diberikan tongkatnya. Kayu sawang tanpa ada isinya. Diterima segera diterima tongkat itu kepada Ki Dipati. Ki Sambangdalan berkata dengan keras, “ Paman minta oleh-oleh.” 21. Kyai berkata pelan,”Saya tidak membawa perhiasan.” Ki Sambangdalan berkata kasar dan memaksa,”Mana bekalmu cepat. Apa sampai saya pukul. Saya minta oleh-oleh.” Adegan C: Pandanarang mengutuk Sambangdalan 22. Ki Ageng berkata keras, “Kurang ajar kau, Ki. Seperti kambing watakmu.” Sambangdalan berubah warna. Sambangdalan tidak merasa berubah wujud kambing besar. 23. Ki Dipati memperhatikannya, jika perampok itu berubah ujud. Lebih takut, kemudian berjalan. Kambing itu mengikutinya, dan tidak mengetahui jika

berubah wujud. Masih berkata seperti halnya manusia. Adegan D: Sambangdalan mengetahui perubahan wujudnya menjadi kambaing sewaktu akan menyeberang sungai 24. Selanjutnya menyeberang sungai tetapi tidak bisa menginjak air, dengan melihat bayangannya/ merasa kalau berubah wujud. Menangis keras Ki Sambangdalan pasrah, bertobat kemudian mengikuti. 25. Mengikut di belakang ke mana arah perginya Ki Pandanarang. Di sepanjang jalan menangis. Ki Ageng Semarang lebih keberatan di dalam hatinya. Tidak lain karena keinginan hatinya hanya bertemu Kanjeng Sunan Kalijaga. Adegan E: Pandanarang sampai di Tembayat 26. Ki Ageng olehnya berjalan sampai daerah Tembayat, naik di gunung Jabalkat menemukan satu padasan tidak ada airnya dan juga masjid kecil. 27. Di situ olehnya tinggal di gunung, tidak ada air. Sambangdalan mengabdi, memohon keluar dari wujudnya. Sambangdalan disuruh mengisi padasan dengan tidak ditutupi. 28. Jangan sampai tertidur, jika belum penuh air. Padasan enceh besarnya tigang prangkuling jalmi, sapanggayuh tingginya, siyang malam diisinya. Terjemahan dan Pembagian Naratif Babak V Adegan A: Sambangdalan menjalani ujian untuk lepas dari kutukan 29. Jika mengambil air turun. Satu kronjot sampai di sungai. Ini dilakukan karena beratnya ingin keluar dari kutukan. Sambangdalan menjalani karena di dalam hati lebih takutnya. / kemudian mencari sumber air (sungai). 30. Setiap hari lamanya olehnya sampai di gunung tidak tidur Sambangdalan. Kesiangan mengambil air, padasan tidak bisa penuh. Padasan memancar airnya deras keluar. Adegan B: Kedatangan Sunan Kalijaga dan lepasnya kutukan Sambangdalan 31. datang Kemudian Kanjeng Sunan datang kemudian duduk di batu gilang. Ki Dipati

Page 15: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 254

setelah mengetahui dan juga Nyai Dipati mencium kaki Kanjeng Sunan. Sambangdalan mengabdi. 32. Sang Tapa berkata pelan kenapa domba mengabdi, bisa berkata seperti manusia, apa awalnya dahulu. Domba itu berkata sambil menyembah,” Terserah kepada Sang Yogi. 33. Sebelum saya berbicara, kamu sudah mengetahui.” Sang Tapa berkata,”Ya, saya sudah tahu. Kamu bertobatlah kepada Yang Maha Kuasa, memohon (supaya) kembali sedia kala. 34. Sejatinya manusia, ya hendaknya kembali kepada manusia.” Manjur perkataan Sang Tapa. Wujud Sambangdalan kembali dari berujud kambing kembali ke wujud manusia lagi. Adegan C: Padasan penuh dengan sendirinya dan pembuatan kolam oleh Sunan Kalijaga 35. Sampai di tempat memenuhi air, padasan penuh dengan sendirinya. Kanjeng Sunan senang melihatnya kepada Nyai Dipati. Adapun wanita lepas dari air oleh karena itu lebih prihatin dalam dirinya. 36. Tombak ditancapkan diangkat. Bekas tombak mengalir air memancar setinggi tongkat. Kanjeng Sunan berkata pelan, “Bendunglah, buatlah kolam, mengalirnya air bening.” 37. Air sudah dibendung. Kolam indah sangat seperti air di dalam dangdang. Kinclong-kinclong dan bersih. Disabda tidak berubah, baik di musim kemarau maupun penghujan. Adegan D Pesan Sunan Kalijaga kepada Pandanarang dan perubahan nama Sambangdalan menjadi she Domba 38. Setelah kejadian itu Sang Wiku berkata kepada Ki Dipati,”Menjadi wali mukmin kamu jika saya beri nama Pangeran Tembayat lebih pantas, bertugas mengislamkan orang Budha. 39. Menjadi tempat berguru kamu, menunggu masjid. Ini masjid dari Makkah. Jabalkat menjadi tempat melaksanakan ibadah Jumat. Kamu memelihara para santri. 40. Dan kembalinya Sambangdalan itu dari wujudnya kambing setelah kamu beri maaf.

Ajarilah ilmu yang sejati.” Ki Ageng berkata,” siap.” Kemudian Kyai Dipati. 41. Dan, saya beri julukan Ki Seh Domba itu baik. Yang dilihat berkata dan menyembah,”Siap berterimakasih saya. Kemudian diberi nasehat Gusti.” Terjemahan dan Pembagian Naratif Babak VI Adegan A: Sunan Kalijaga menjabarkan ilmu Sufi 42. Ki Ageng kemudian berkata,”Saya mohon pengertian, ingin mengetahui asal usul akhir hamba ini. Beri tahu selagi masih hidup jika kehilangan pati.” 43. Ganti berkata Sang Wiku,”Ya benar kamu itu. Lah akan saya kasih tahu di hadapanku akan saya jabarkan ilmu sejati (sufi). Yang tidak tersampaikan di dalam kitab maupun di lisan. 44. Larangan para wali ratu, jika dijabarkan dari lisan, dihilangkan sariat, hakekatnya tidak sampai, sesuaikan dengan tarekat, makrifatnya tidak akan terselip. 45. Ketahuilah hidup akan mati, ditinggal pekerjaan. Orang jelek akan menemukan kejelekan. Orang baik akan mendapatkan kebaikan. Jika orang hidup tidak mengetahui, tidak mendapatkan kebaikan dari yang Maha Kuasa. Adegan B: Penjabaran Sunan Kalijaga tentang Hidup di dunia Pupuh XXXIX: Dhangdhanggula 1. Hidup di dunia bagaikan berangkat ke pasar, tidak abadi di pasar saja. Akhirnya akan kembali ke rumah asalnya kamu dulu. Nanti jangan ragu, asalnya dahulu. Jika tidak begitu, tidak mengetahui asal usulnya dahulu akan tersesat sesesat-sesatnya. 2. Jangan sampai tersesat di kematian, menjadi mati hidupnya tersesat. Tidak ada tambatan sukmanya. Terlunta-lunta, seperti awan tertiup angina. Akhirnya menjadi hujan, kembali menjadi air. Menjadi kembali seperti wadahnya di dalam kewajiban. Sukma tidak bisa mati, abadi dunia akherat. Adegan C: Penjabaran Sunan Kalijaga tentang Surga

Page 16: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 255

3. jika sudah sampai kepastian jangan berhenti dzikirnya. Ingat diri kita masing-masing. Lah jika ingat pesan saya, ilmu sufi diketahui. Teras berat, saya bingung banyak yang terlihat. Ada wujud menjaga persaudaraan, ada wujud ayah, ibu guru dan yang Maha Kuasa sebab ingin merampas iman. 4. Ada yang terlena dengan surga yang lebih. Ada yang mengaku malaikat. Menghantar bidadari, warnanya cantik. Kemudian kamu melihat masjid tergantung di awang-awang. Tanpa tautan, indah sekali. Yang terlihat merah dan kuning, putih mengikutinya. 5. Masjid itu terbuat dari emas, pintu gědhah tutupnya empat. Bisa terbuka dan tertutup sendiri. Jika tertutup terlihat memancar seperti bulan purnama. Jika tertutup oleh mega, bintang berkumpul itu terlihat memancar yang sempurna tidak ada yang bertemu satu sama lain. Hanya sukma saja. Adegan D: Penjabaran Sunan Kalijaga tentang kematian 6. Jika ada yang terlihat di kematian. Warna dan rupa itu ciptaan pandanganmu sejatinya cahaya, sebenarnya yang menjadi cahaya memancar mengkilat seperti cahaya memancar itu ibarat sukma yang berkuasa menguasai kita. Itu semua menjadi satu. 7. Pada Yang Maha Kuasa yang menguasai kamu itu. Ketiganya menjadi satu, satu rasa dalam keberadaannya. Yang memberi adanya. Yang menghiasi alam semesta. Jika itu tidak ada dunia kosong di keberadaannya. Jika itu ketemu di akhir dunia, sesuatu yang dicipta menjadi ada. 8. Lah hendaknya jangan lupa itu jika kamu menarik nafas, yang mengawasi wujudnya. Jangan putus ingat padanya, ada wujud jika diketahui, wujudnya kekuasaan. Kuasailah dengan sungguh jika kamu belum percaya. Nyatakanlah mumpung kamu masih hidup, jangan berhenti dengan bahasa swara. 9. Jika manusia hebat di dalam hidup menghadapi mati, tidak menemui wujud dan rasanya. Wujudnya jangan lupa, dan rasanya rasakanlah dalam hati. Seumpama anda

bercermin di cermin itu. Yang ada di dalam kaca itu ya kamu, ya hamba, ya sejatinya. Yang bercermin yang menguasai sukma. Adegan E: Penjabaran Sunan Kalijaga tentang Allah dan Makhluk 10. Jika kamu bayangannya perhatikanlah hilangnya bayangan ke mana arahnya. Perhatikan sungguh-sungguh jangan sampai terlewat. Jika kamu sudah merasa setiap waktu supaya diperhatikan dalam penglihatan. Jika tidak bisa setiap waktu kamu ketemu, temuilah setiap bulan. 11. Jika tidak bisa ketemu setiap bulan maka di setiap tahun ketemunya. Jika tidak bisa ketemu setiap tahun maka sekali seumur hidup. Jika tidak bisa ketemu dengan dia itu tabir yang besar. Tidak ada yang menyerupai sama wujud dengan kamu sendiri, rasanya ya ada di dirimu. 12. Di jalannya berliku, pembeliannya lebih mahal. Mudah-sulit pembeliannya, berat jika dibeli tetapi mudah jika dijalani. Bukan emas harta benda yang dipakai untuk membelinya. Jika kamu dalam kehati-hatian dalam pencipta akan terasa di hati, memilih sampai mati. 13. Jika itu yang kau pakai jangan merasa orang yang keletihan. Jika tidak mendapatkan kanugrahan. Jika anda memberi nasehat kepada anak cucumu. Jika tidak dengan niat iya tidaknya kelihatan pada tingkah laku. Perhatian itu utusan hati, menjadi penanda. 14. Iya ilmu merupakan biji yang diajarkan pada suatu tempat. Seumpama kacang kedelai ditanam di atas batu. Jika batunya tanpa tanah, kena hujan dan panas. Sungguh tidak akan tumbuh. Akibatnya dimarahi Yang Maha Kuasa. Lah jika tidak mengajarkan kebahagiaan sejati seperti makan pisang. Adegan F: Pandanarang berterimakasih kepada Sunan Kalijaga 15. Ki Dipati berterimakasih dan menghaturkan bakti. Sudah tercakup terang benderang tidak ada penghalang lagi. Sang Tapa kemudian berkata,”Sudahlah berbuatlah baik, terapkan syariat. Jika hari Jumat sholatlah di masjid Demak. Sholatmu ke Mekah ketika naik haji. Sudah mendapatkan kemulyaan.”

Page 17: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 256

Terjemahan dan Pembagian Naratif Babak VII Adegan A: Sunan Kalijaga pergi meninggalkan Pandanarang 16. Kemudian hilang Kanjeng Sunan Kali. Yang tinggal hanya Pangeran Tembayat. Di dalam hati hilang kotorannya, istrinya sudah diajari. Ki Seh Domba sudah diajari, menjadi saudara muda. Berhak menjadi guru seperti Kanjeng Pangeran (Tembayat). Kemudian mendatangi desa-desa, mengajarkan agama Islam. Adegan B: Pandanarang menyamar menjadi pembantu Keluarga Ki Tasik 17. Kanjeng Pangeran menyamar menjadi pěkathik ke desa di Wedhi. Keinginannya menuju rumah Ki Tasik menyamar menjadi pembantu. Nyai Tasik pekerjaannya itu menjual srabi dan cara setiap hari pasaran. Waktu itu sedang pasaran, Nyai Tasik menuju ke Wedhi. Pangeran Tembayat yang menjadi pěkathik-nya. 18. Mengeluarkan barang-barang untuk berdagang. Tungku kayu adonan dipikul juga air (di) kalěnthing-nya. Waktu itu kayunya tertinggal di rumahnya Ki Tasik. Yang membeli terlalu banyak, kantu oleh karena kayu. Nyi Tasik tidak suka,”Lah Pakathik tidak membawa kayu ini, oleh karena kayu kamu tinggal.” Adegan C: Tangan Pandanarang bisa dipakai untuk memasak 19. Apa tanganmu yang kau pakai bekerja memasak sarabi dan cara, terburu-buru karena yang membeli banyak. Pangeran kemudian mengikuti perintah, tangannya yang dipakai untuk bekerja memasak adonan. Di dalam tungku menyala, berkobar panasnya lebih. Pangeran berkata dan anda menyaksikan api sudah membara. 20. Nyai Tasik gemetar hatinya memperhatikan pembantunya membuat serabi cepat sekali. Sudah habis adonannya, semakin banyak orang pada melihat. Sama-sama terkagum melihat. Orang satu pasar mengerubuti. Sadar akan hal itu, yang menyamar kemudian duduk, setelah ditarik

tangannya maka apinya mati api. Kemudian pulang ke rumah. Adegan D: Nyai Tasik memborong dagangan karena mendapatkan untung yang banyak 21. Nyai Tasik kemudian memborong buah-buahan yang manis rasanya dalam jumlah yang banyak. Bergegas segera pulang, sesudah sampai di rumahnya memberitahukan kepada Ki Tasik perbuatan pembantunya tadi yang dikatakan. Ki Tasik berfikir dalam hati, tidak menduga jika wali mengabdi kepadanya. Kemudian mereka menyembah meminta maaf. Adegan E: Keluarga Ki Tasik mengabdi kepada Pandanarang 22. Nyai Tasik kemudian mengabdi dengan menghaturkan makanan. Lebih hormat tutur katanya. Pangeran berkata pelan, “Saya terima kau Nyai Tasik. Semoga menjadi laris barang yang dijual tetapi saya mempunyai permintaan kepadamu dan anak keturunanmu semua di Wedhi. Hendaknya percaya Bayat.” 23. Berkata,”Bersedia.” Kyi dan Nyi Tasik. Kanjeng Pangeran kembali ke Tembayat. Kyai Tasik mengantarkan juga anak dan cucunya. Baik yang tua muda saling mengiring. Sesampai di Tembayat. Ki dan Nyi Tasik berkata bersedia. Kanjeng Pangeran pulang dari Tembayat. Kyai Tasik diajari tata aturan agama Islam. Kyai Tasik sudah beragama Islam se-anak istrinya percaya kepada sunan Tembayat. 24. “Terima kasih banyak.” Katanya Kyai Tasik setelah diajari Pangeran Tembayat. Tidak ingin menolak hatinya, banyak ajarannya Kanjeng Pangeran kepada Nyi Tasik termuat dalam hatinya. Pangeran berkata pelan,”Lah sudah kamu hendaknya pulang.” Kyai Tasik menyembah, pamit kembali dari hadapan. Setelah itu pulang semua. Adegan F: Warga Semarang banyak yang datang ke Tembayat untuk berguru 25. Tidak diceritakan lamanya Sang Yogi olehnya berada di Tembayat. Menjadi penyebab kemakmurannya. Orang-orang Semarang banyak yang datang. Anak cucu

Page 18: Cerita Pandanarang Memeluk Agama Islam; Suntingan dan

SEMINAR NASIONAL BAHASA, SASTRA DAERAH, DAN PEMBELAJARANNYA (SN-BSDP) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA DAERAH FPBS - UNIVERSITAS PGRI SEMARANG Semarang, 21 Februari 2018

ISBN 978-602-0960-89-0| 257

sama-sama bertemu. Banyak yang mendirikan rumah, yang punya keinginan kuat untuk menuntut ilmu. Kerasan bertempat tinggal. Diceritakan patih Majapahit, yang disisihkan kedudukannya. SIMPULAN

Cerita Pandanarang dalam teks Babad Demak berisi tentang perjuangan yang sungguh-sungguh dalam merubah orientasi hidupnya, dari cinta dunia menjadi cinta akherat. Adapun isi cerita Pandanarang adalah sebagai berikut; diawali dengan pertemuan dengan Sunan Kalijaga. Kemudian adanya kesadarannya terhadap Islam dan kepergiannya ke gunung Jabalkat.

Sebelum pergi ke gunung Jabalkat, Pandanarang berpamitan dan meninggalkan pesan kepada anak-anaknya. Pandanarang mengutuk Sambangdalan, seorang perampok yang merampoknya ketika dalam perjalanan. Sambangdalan lepas dari kutukan Pandanarang setelah melaksanakan pengabdian yang tulus. Pandanarang beserta Sambangdalan diwejang oleh Sunan Kalijaga berkaitan dengan ilmu sufi, kehidupan, kematian, maha pencipta dan makhluknya. Setelah cukup mendapatkan ilmu kemudian mengajarkan kepada yang lainnya sebagaimana Sunan Kalijaga melakukannya.

DAFTAR PUSTAKA Balai Bahasa Yogyakarta. 2006. Pedoman

Umum Ejaan Bahasa Jawa Huruf Latin

yang disempurnakan. Yogyakarta: Kanisius.

Baried, Siti Baroroh dkk.1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Gericke, JFC dan T. Roorda. 1901. Javaansch-nederlandsch handwoordenboek dell I. Leiden. Boekhandel en Drukkerij Voorden E.J Brill.

Gericke, JFC dan T. Roorda. 1901. Javaansch-nederlandsch handwoordenboek dell II. Leiden. Boekhandel en Drukkerij Voorden E.J Brill.

Groenen, C. 1993. Analisis Naratif Kisah Sengsara (Yoh 18-19). Yogyakarta: Kanisius.

Machali, Rochayah,2000. Pedoman Penerjemah. Jakarta. Grasindo.

Poerwadarminta, W. J. S. 1939. Baoesastra Djawa. Groningen, Batavia: J. B. Wolters Uitgevers Maatschappij N. V.

Robson, S.O. 1978. ”Pengkajian Sastra-sastra Tradisional Indonesia” dalam Bahasa dan Sastra tahun IV nomor 6. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Sudewa, A. 1991. Serat Peniti Sastra.Yogyakarta: Duta Wacana Press.

Naskah Babad Demak.