dialisis peritoneal

10
DIALISIS PERITONEAL PENDAHULUAN Dialisis peritoneal pertama kali dirintis oleh Ganter pada tahun 1923 yang memasukkan cairan garam kedalam rongga peritoneum untuk mengobati penderita dengan uremia. Era sebenarnya dari dialisis peritoneal dimulai pada tahun 1959 ketika tersedia kateter dan cairan peritoneal dialisa yang dijual secara komersial. Teknis peritoneal dialisis terus berkembang dan penggunaannya dalam penanggulangan gagal ginjal terus meluas. Hal ini dimungkinkan dengan adanya perusahaan yaang memasarkan cairan dialisa standar yang siap pakai, dispoposble peritoneal dialyse set dengan kateter peritoneal yang mudah dimasukkan ke dalam rongga peritoneum dan juga tersedia kateter yang dapat dipasang dalam jangka waktu lama. 1,2 Meskipun dialisis peritoneal telah berkembang pesat, seperti continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), continuous cyclic peritoneal dialysis (CCPD) dan lain-lainnya, dialisis peritoneal dengan menggunakan stilet kateter masih berperan penting sebagai cara penanggulangan gagal ginjal akut terutama di rumah sakit perifer yang mempunyai sarana dan sumber daya manusia terbatas. Tehnik ini mempunyai keuntungan utama yaitu, prosedurnya sederhana, dapat dilakukan secara bed side dan tidak memerlukan alat- alat yang canggih. 3

Upload: nida-choerunnisa

Post on 21-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

referat fk unila

TRANSCRIPT

Page 1: Dialisis Peritoneal

DIALISIS PERITONEAL

PENDAHULUAN

Dialisis peritoneal pertama kali dirintis oleh Ganter pada tahun 1923 yang

memasukkan cairan garam kedalam rongga peritoneum untuk mengobati penderita

dengan uremia. Era sebenarnya dari dialisis peritoneal dimulai pada tahun 1959

ketika tersedia kateter dan cairan peritoneal dialisa yang dijual secara komersial.

Teknis peritoneal dialisis terus berkembang dan penggunaannya dalam

penanggulangan gagal ginjal terus meluas. Hal ini dimungkinkan dengan adanya

perusahaan yaang memasarkan cairan dialisa standar yang siap pakai, dispoposble

peritoneal dialyse set dengan kateter peritoneal yang mudah dimasukkan ke dalam

rongga peritoneum dan juga tersedia kateter yang dapat dipasang dalam jangka waktu

lama.1,2 Meskipun dialisis peritoneal telah berkembang pesat, seperti continuous

ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), continuous cyclic peritoneal dialysis

(CCPD) dan lain-lainnya, dialisis peritoneal dengan menggunakan stilet kateter masih

berperan penting sebagai cara penanggulangan gagal ginjal akut terutama di rumah

sakit perifer yang mempunyai sarana dan sumber daya manusia terbatas. Tehnik ini

mempunyai keuntungan utama yaitu, prosedurnya sederhana, dapat dilakukan secara

bed side dan tidak memerlukan alat-alat yang canggih.3

Dialisis peritoneal dilakukan dengan memasukkan cairan yang mengandung glukosa

dan garam (cairan dialisat) ke dalam rongga peritoneum. Dengan proses difusi dan

ultrafiltrasi material toksik dapat dikeluarkan dari darah kedalam cairan dialisat dalam

rongga peritoneum, selanjutnya akan dikeluarkan dari tubuh. Selain untuk

menanggulangi gagal ginjal akut, dialisis peritoneal akut dapat juga digunakan pada

beberapa keadaan lain yaitu intoksikasi obat-obatan, koma hepatikum dan keracunan

lainnya.1,4-7

INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI DIALISIS PERITONEAL

Dialisis peritoneal pada anak harus sesegera mungkin dilaksanakan sesuai dengan

indikasi tanpa menunggu gejala atau manifestasi lain yang mungkin timbul. Oleh

Page 2: Dialisis Peritoneal

karena pada anak mempunyai kecepatan metabolisme yang lebih tinggi dari

dewasa sehingga akan lebih cepat terjadi penumpukan sisa metabolism yang

sangat merugikan. Apalagi pada anak dengan oligouri/anuria akan sangat susah

untuk memenuhi kebutuhan kalori karena ada keterbatasan dalam pemberian

jumlah cairan.

Indikasi pada gagal ginjal akut adalah hiperkalemia (serum K > 7,0 mEq/L);

Asidosis berat; Fluid overload, biasanya dengan hipertensi, payah jantung dan

bendungan paru; Azotemia berat (BUN> 150 mg/dl); Gejala Uremia (ensefalopati,

perikarditis, perdarahan, intractable vomiting); Hiponatremia, hipokalsemia, dan

hiperphosphatemia (berat dan bergejala); Fluid removal untuk nutrisi yang

optimal, transfuse. Indikasi lain untuk dialisa adalah pada keracunan zat/obat,

antara lain barbiturate, sodium salisilat dan metal alkohol.(9,12,13)

Sedangkan kontra indikasi dialisa peritoneal umumnya berhubungan dengan tidak

utuhnya rongga peritoneum, misalnya pada bayi dengan omphalocele,

gastroschizis, hernia diafragmatika. Pasaca operasi abdomen, adanya shunt

ventriculo – peritoneal pad anak dengan hidrosefalus bukan merupakan

kontraindikasi absolut.(5,12,14)

PROSEDUR DIALISIS PERITONEAL

Cairan dialisa yang digunakan yaitu cairan standar yang mengandung glukosa

1,5%, komposisi elektrolit yang hamper sama denagn cairan ekstraseluler tubuh,

tetapi tidak mengandung kalium. Cairan yang tersedia Perisolution dari Otsuka

dengan konsentrasi glukosa 1,5%, Dianeal dari Baxter dengan konsentrasi glukosa

1,5%, 2,5% dan 4,25%. Pada bayi yang mengalami asidosis metabolik karena

akumulasi dari asam laktat endogen, cairan dialisa yang dipakai bukan cairan

dialisa standar yang mengandung laktat tapi cairan dialisa yang mengandung

bikarbonat sebagai pengganti laktat dan kalsium diberikan secara intravena. (15)

Kateter yang digunakan:(15)

1. Rigid plastic catheter/polythelene catheter dengan stilet. Jenis ini yang

tersedia di Indonesia yaitu buatan Otsuka dan Amecath (Ameco Medical

Page 3: Dialisis Peritoneal

Industries, Egypt). Jenis kateter ini digunakan untuk dialisa peritoneal 48-

72 jam.

2. Tenckhoff catheter dan modifikasinya. Terbuat dari silicon yang

bersifat inert. Dapat dipasang untuk waktu yang lama. Untuk dialisa

peritoneal akut yang diperkirakan lama dipakai jenis kateter ini.

Gambar 4 Jenis Kateter Dialisis Peritoneal

Teknik pemasangan kateter rigid:3,15

1. Persiapan penderita termasuk membersihkan kulit/tindakan antiseptic pada kulit

di sekitar yang akan menjadi insersi kateter, pengosongan kandung kencing dan

usus, informed consent dan premedikasi dengan sedative ringan (diazepam)

2. Memerlihatkan aspek sterilisasi ruangan, pakaian dan pemakaian masker

3. Memilih tempat insersi, yang paling baik pada garis tengah, 2-3 cm di bawah

umbilicus kemudian dilakuakn anestesi okal dengan xylocain 2%/lidokain 2%

4. Buat insisi kulit 2-3 mm, kateter dengan stilet ditusukkan ke dinding abdomen

melalui luka insisi kulit dengan dorongan dan pemutaran. Ketika kateter dengan

stilet masuk ke dalam rongga peritoneum yang dapat diketahui dengan hilangnya

tahanan dan terdengar suara “pep”. Pada saat itu stilet ditarik perlahan-lahan dan

kateter dimasukkan lebih dalam dengan mengarah kea rah pelvis. Seluruh lubang

kateter harus berada I dalam rongga peritoneum untuk menghindari infiltrasi

cairan dialisa ke dinding abdomen. Ada yang menganjurkan, sebelum kateter

Page 4: Dialisis Peritoneal

dengan stilet dimasukkan ke dalam rongga peritoneum, rongga peritoneum diisi

dulu dengan 15-20 ml/kgBB cairan dialisat sebagai priming dengan menggunakan

jarum panjang kecil (intracath). Priming ini untuk menghindarkan tertusuknya

organ vital abdomen, usus, atau pembuluh darah besar.

5. Kateter diperiksa alirannya dengan 2-3 kali siklus tanpa dwelling time. Setelah

diketahui alirannya lancar, kateter diikat pada kulit dan ditutup dengan kassa

steril.

Gambar 5 Posisi Rigid Kateter Intra Abdomen15

Pelaksanaan dialisis peritoneal: (15,16)

1. Cairan dialisat dihangatkan dalam waterbath, suhu sekitar 37-38 °C>

Volume cairan dialisa pada awalnya diberikan 15-20 ml/kgBB, kemudian

secara bertahap dinaikkan menjadi 40-50 ml/kgBB pada bayi dan anak

kecil atau menjadi 30-40 ml/kgBB pada anak yang lebih besar.

2. Heparin 500-1000 unit/L ditambahkan ke dalam cairan dialisa dalam 3

siklus pertama dan diteruskan selama cairan dialisa berwarna merah

3. Cairan dialisa dimasukkan ke dalam rongga peritoneum (inflow) dalam 5-

10 menit, lalu dibiarkan selama 30 menit (dwelling), kemudian

dikeluarkan dalam 10-20 menit (outflow). KCl ditambahkan 3-4 mEq/L

pada cairan dialisa bila kadar K plasma <4 mEq/L.

Page 5: Dialisis Peritoneal

4. Konsentrasi glukosa dalam cairan dialisa (1,5%, 2,5%, 4,25%) dipilih

bergantung pada balans cairan. Pada keadaan kelebihan cairan tubuh,

digunakan cairan dialisa dengan konsentrasi glukosa lebih tinggi dari

standar (1,5%), dengan maksud untuk menarik kelebihan cairan tersebut.

5. Lamanya dialisa peritoneal 36-48 jam, jika gagal ginjal masih berlanjut

dialisa peritoneal diteruskan 48 jam lagi dengan risiko terjadinya

peritonitis menjadi lebih besar.

Pengawasan dan pencatatan

Tanda-tanda vital dicatat pada akhir setiap siklus sampai keadaan penderita stabil.

Pengukuran berat badan selama dialisa dilakukan 2-3 kali dalam sehari.

Perhitungan balans cairan sangat penting termasuk cairan yang keluar dari tubuh

(muntah, diare) harus diganti. Pemeriksaan hematologis, ureum, kreatinin,

elektrolit, glukosa, protein sebelum dan selama dialisa untuk evaluasi pengobatan

dan mencegah komplikasi. Pemeriksaan jumlah sel dan kultur dari cairan dialisa

dilakukan tiap hari.

Page 6: Dialisis Peritoneal

DAFTAR PUSTAKA

1. Drukker W. Peritoneal dialysis: a historical review. Dalam: Maher JF, penyunting. Replacement of renal function by dialysis. Edisi ke-3. Boston. Kluwer Academic Publisher;1989. h. 475.

2. Fine RN. Peritoneal dialysis update. The J of Ped.1982;100:1-7.3. Paul TT, Ramprasad KS. Acute peritoneal dialysis using stylet catheter. Practical

procedure.1994;5:184-9.4. Segar WE, Gibson RK, Rhamy R. Peritoneal dialysis in infants and small

children. Pediatrics.1961;603-12.5. Chan JCM, Campbell RA. Peritoneal dialysis in children: A survey of its

indications and applications. Clin Ped.1973;12:131-8.6. Zawanda ET. Indication for dialysis. Dalam: Daurgidas JT, Ing TS, penyunting.

Handbook of dialysis. Boston. Little Brown and Co;1998. h. 3-7.7. Evans ED, Greenbaum LA, Elttenger BE. Principles of renal replacement therapy

in children, penyunting. Pediatric Clin Nort Am. 1995;42:1579-600.8. Odel HM, Ferris DO, Power MH. Peritoneal lavage as an effective means of

extrarenal excretion. A clinical appraisal. Am J Med. 1950:63-75.9. Gruskin AB, Baluarte HJ, Dabbagh S. Hemodialysis and peritoneal dialysis.

Dalam: Edelmann CM., Bernstein J., penyunting. Pediatric kidney disease. Boston: Little Brown and Co; 1992. h. 827-916.

10. Nolph KD. Peritoneal anatomy and transport physiology. Dalam: Maher FJ, penyunting. Replacement of renal function by dialysis: A textbook of dialysis. Edisi ke-3. Boston: Kluwer Academic; 1989. h. 516-36.

11. Sorkin MI, Diaz-Buxo JA. Physiology of peritoneal dialysis. Dalam: Daugirdas JT, Todds SI, penyunting. Handbook of dialysis. Edisi ke-2. Boston: Little Brown and Co; 1994. h. 245-6.

12. Baliah T. Dialysis. Dalam: Baltimore, Rubin MI, Barrat TM, penyunting. Pediatric nephrology. The Williams & Wilkins Co; 1975. h. 833-41.

13. Stewart C, Devarajan P, Kaskel FJ. Renal replacement therapy. Dalam: Pediatrictextboox of fluid and electrolytes. William and Wilkins; 1990. h. 439-59.

14. Vans Stone JC. Hemodialysis apparatus. Dalam: Daugirdas JT, Ing TS, penyunting. Handbook of dialysis. Boston: Little Brown and Co; 1994. h. 30-52.

15. Khanna R, Nolph KD, Oreopoulus DG. The Essentials of peritoneal dialysis. London: Kluwer Academic Publishers Dortdecht. 1993.

16. Balfe J. Peritoneal dialysis. Dalam: Holliday MA et al, penyunting. Pediatric nephrology. Edisi kedua. London: William & Wilkins; 1986. h. 814-5.

17. Oreopoulus DG, Khanna R. Complications of peritoneal dialysis other than peritonitis. Dalam; Nolph KD, penyunting. Peritoneal dialysis. London: MartinusNijhoff Publishers; 1981. h. 309-29.

18. Mion CM. Practical use of peritoneal dialysis. Dalam: Maher FJ, penyunting. Replacement of renal function by dialysis: A text book of dialysis. Edisi ke-3, terbaru dan diperbesar. Boston. Kluwer Academic Publishers; 1989. h. 537-89.