peritoneal adhesi

15
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 ANATOMI DAN FUNGSI PERITONEUM. Peritoneum merupakan selapis sel mesotelium komplek dengan membran basalis yang ditopang oleh jaringan ikat yang kaya akan pembu- luh darah. Peritoneum terdiri dari peritoneum parietal yang melapisi dinding bagian dalam rongga abdomen, diafragma dan organ retroperitoneum dan peritoneum visceral yang melapisi seluruh permukaan organ dalam abdomen. Luas total peritoneum lebih kurang 1,8 m 2 . Setengahnya ( ± 1 ) m 2 berfungsi sebagai membran semipermeabel terhadap air, elektrolit dan makro serta mikro molekul, (Witmann & Walker, 1994). Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas organ intraperitoneum. Normal terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga peritoneum, yang memelihara permukaan peritoneum tetap licin. Karakter- istik cairan peritoneum; berupa transudat, berat jenis 1,016, konsentrasi protein kurang dari 3 g/dl, leukosit kurang dari 3000/uL; mengandung komplemen mediator sebagai antibakterial dan aktivitas fibrinolisis. Sirku- lasi cairan peritoneum melalui kelenjar lymph dibawah permukaan dia- fragma dengan kecepatan pertukaran cairan ekstrasellular 500 ml perjam. Melalui stoma di mesothelium diafragma partikel-partikel termasuk bakteri dengan ukuran kurang dari 20 ųm dibersihkan, selanjutnya di alirkan teru- Universitas Sumatera Utara

Upload: hendy-nurahadi

Post on 22-Oct-2015

160 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

n

TRANSCRIPT

BAB II 

TINJAUAN KEPUSTAKAAN 

2.1  ANATOMI DAN FUNGSI PERITONEUM. 

Peritoneum merupakan selapis sel mesotelium komplek dengan

membran basalis yang ditopang oleh jaringan ikat yang kaya akan pembu-

luh darah. Peritoneum terdiri dari peritoneum parietal yang melapisi

dinding bagian dalam rongga abdomen, diafragma dan organ

retroperitoneum dan peritoneum visceral yang melapisi seluruh

permukaan organ dalam abdomen. Luas total peritoneum lebih kurang 1,8

m2. Setengahnya ( ± 1 ) m2 berfungsi sebagai membran semipermeabel

terhadap air, elektrolit dan makro serta mikro molekul, (Witmann & Walker,

1994).

Fungsi utama peritoneum adalah menjaga keutuhan atau integritas

organ intraperitoneum. Normal terdapat 50 mL cairan bebas dalam rongga

peritoneum, yang memelihara permukaan peritoneum tetap licin. Karakter-

istik cairan peritoneum; berupa transudat, berat jenis 1,016, konsentrasi

protein kurang dari 3 g/dl, leukosit kurang dari 3000/uL; mengandung

komplemen mediator sebagai antibakterial dan aktivitas fibrinolisis. Sirku-

lasi cairan peritoneum melalui kelenjar lymph dibawah permukaan dia-

fragma dengan kecepatan pertukaran cairan ekstrasellular 500 ml perjam.

Melalui stoma di mesothelium diafragma partikel-partikel termasuk bakteri

dengan ukuran kurang dari 20 ųm dibersihkan, selanjutnya di alirkan teru-

Universitas Sumatera Utara

tama ke dalam duktus thorasikus kanan.

Peritoneum parietal disarafi oleh saraf aferen somatik dan visceral

yang cukup sensitif terutama pada peritoneum parietal bagian anterior,

sedangkan pada bagian pelvis agak kurang sensitif. Peritoneum visceral

disarafi oleh cabang aferen sistem otonom yang kurang sensitif. Saraf ini

terutama memberikan respon terhadap tarikan dan distensi, tetapi kurang

respon terhadap tekanan dan tidak dapat menyalurkan rasa nyeri dan

temperatur (Witmann & Walker, 1994).

2.2 DEFENISI. 

Adhesi intraperitoneal didefenisikan sebagai jaringan fibrosa yang

menghubungkan antara dinding rongga abdomen bagian dalam dengan

permukaan organ tubuh yang terdapat dalam rongga abdomen (saluran

cerna, uterus, kantung kemih dan lainnya) atau antar sesama organ in-

traabdomen dimana dalam keadaan normal jaringan tersebut tidak ada.

Reformasi adhesi adalah terulangnya adhesi setelah adhesiolisis. “De

novo adhesion” adalah adanya adhesi baru yang terbentuk di lokasi yang

sebelumnya tidak memiliki adhesi. ( Diamond MP & Orhon E 1996 )

2.3 ETIOLOGI 

Banyak faktor yang dapat menimbulkan adhesi pascalaparotomi,

antara lain; infeksi intrabdominal (peritonitis, endometriosis, apendisitis

akut, diverticulitis, penyakit crohn’s, cholecystitis, penyakit radang pelvis (

PID), abses intraabdomen dan abses hati ) ( Perry dkk, 1955; Dizerega

2000 ) trauma (abrasi atau tindakan operasi yang kasar ), cedera panas

Universitas Sumatera Utara

(kauterisasi, paparan lampu operasi), iskemia (termasuk jahitan yang

tegang, tebal dan kasar, kauterisasi, kekeringan serosa, devaskulerisasi

), paparan benda-benda asing (bubuk tepung dari sarung tangan, serat-

serat jaringan, atau potongan benang ), dan Iain-lain (Badawy & Iskandar,

1974; Ellis, 1982)

2.4 PATOFISIOLOGI PEMBENTUKAN ADHESI 

2.4.1 RESPON TRAUMA PADA PERITONEUM 

Trauma pada jaringan mesothelium peritoneum menimbulkan

reaksi inflamasi sebagai respon tubuh. Di tingkat selular, dilepaskan pros-

taglandin dan diaktifkan komponen inflamasi seperti netrofil, makrofag, sel

mast, basofil, platelet, sel endothelial limfosit dan leukosit. Sel mast me-

lepaskan mediator inflamasi berupa histamin, serotonin, enzim lisosom,

faktor kemotaksis, dan sitokin serta metabolit oksigen reaktif untuk mem-

bunuh bakteri, mengeliminir benda asing dan memperbaiki fungsi tubuh

baik secara anatomi dan fisiologi (Lai, dkk., 1993).

Histamin menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah

peritoneum menghasilkan transudasi yang kaya fibrinogen ke dalam

rongga peritoneum, dan menyebabkan netrofil memasuki daerah luka.

Fungsi utama sel netrofil adalah fagositosis, menghancurkan bakteri dan

membantu membersihkan jaringan yang mati. Infiltrasi sel netrofil menca-

pai puncaknya setelah 24 jam dan secara perlahan digantikan oleh

monosit. Monosit selanjutnya berubah menjadi makrofag yang akan

melanjutkan penghancuran bakteri dan debrideman luka (diZerega, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Makrofag mensekresikan Transforming Growth Factor Beta (TGF β)

yang merangsang proliferasi fibroblast dan regulasi sel mesotelium untuk

menghasilkan fibrin. Pada hari kedua makrofag akan membentuk lapisan

pada peritoneum yang mengalami trauma. Deposit fibrin akan terbentuk

antara 48 sampai 72 jam pascalaparotomi. Pada hari ketiga dan keempat

terjadi infiltrasi dan proliferasi sel fibroblast. Pada saat ini juga terjadi pro-

liferasi sel endotel pada proses neovaskulerisasi, proses re-epitelisasi dan

ditemukan deposit kolagen yang menetap di jaringan peritoneum (Lai,

dkk., 1993).

Fibrinolisis dimulai minimal tiga hari setelah trauma dan meningkat

pesat pada hari kedelapan setelah regenerasi sel mesotelium secara

komplek. Bila proses fibrinolisis berlangsung normal maka pada hari

keempat dan kelima sel mesotelium akan tumbuh di sepanjang garis luka

dan menutupi kerusakan secara total. Mulai hari ke lima dan keenam jum-

lah makrofag akan menurun dan pada hari kedelapan sel mesotelium akan

menutupi luka dan beregenerasi secara komplek ( Witmann & Walker,

1994; Holmdahl, 1997).

Seluruh permukaan peritoneum yang mengalami trauma akan

mengalami reepitelisasi secara simultan sehingga defek peritoneum baik

besar maupun kecil akan sembuh secara sempurna dengan sama cepat.

Berbeda pada kulit, proses penyembuhan terjadi secara sentripetal dari

pinggir luka (Witmann & Walker, 1994).

Universitas Sumatera Utara

Lamanya proses penyembuhan untuk peritoneum parietal sekitar 5-

6 hari dan peritoneum visceral membutuhkan waktu 5-8 hari ( Ellis, 1982 ).

2.4.2 MEKANISME TERJADINYA ADHESI 

Secara normal penyembuhan luka terjadi tanpa adanya pembentu-

kan adhesi (Johnson & Whitting, 1980; Ellis, 1982; Holmdahl, dkk, 1997).

Kerusakan jaringan akan diikuti dengan pembentukan fibrin. Trom-

boplastin, protrombin dan trombin akan mengaktifasi fibrinogen menjadi

fibrin. Bekuan platelet yang berasal dari agregasi platelet bersama dengan

bekuan fibrin membentuk jaringan fibrin.

Banyak studi eksperimental telah membuktikan bahwa berbagai

bentuk cedera pada mesothelium secara nyata menurunkan potensi fibri-

nolisis. Whitaker dkk, menunjukkan bahwa kultur murni sel mesothelium

memiliki kemampuan fibrinolisis. Didukung suatu studi Antibodi Inhibisi

dan Antigenik Immunoassays yang menjelaskan bahwa tissue Plasmino-

gen Activator (tPA) adalah plasminogen aktivator utama pada biopsi peri-

toneal manusia, yang merangsang lisisnya fibrin dan mencegah perleka-

tan serosa ( Mireille van Westreenen 1998 ).

Namun, selama periode awal setelah pembedahan terjadi proses

iskemia dan inflamasi, hal ini menyebabkan Plasminogen Activator Activity

(PAA) menghilang ini terutama dikaitkan dengan peningkatan dramatis

Plasminogen Activator inhibitor (PAI) dalam peritoneum yang cedera.

Pengamatan pada sel menunjukkan PAI dihasilkan oleh mRNA hibridis-

asi. Studi-studi ini menegaskan bahwa mesothelium memainkan peran

Universitas Sumatera Utara

penting dalam penghambatan fibrinolisis peritoneum akibat cedera (

Mireille van Westreenen 1998 )

Terganggunya proses fibrinolisis maka makrofag akan bertahan dan

fibroblast berproliferasi. Dalam waktu lima hari jaringan fibrin yang terben-

tuk akan digantikan oleh sel fibroblast dan jaringan kolagen serta pemben-

tukan pembuluh darah baru, akan membawa anti-plasmin untuk melawan

efek fibrinolisis dan mempertebal jaringan fibrosa untuk membentuk ad-

hesi fibrosa yang permanen (Evans, dkk., 1993, Holmdahl & Risberg,

1997, Eko & Sutanto, 1997),

Gambar I. merupakan skematik dugaan mekanisme pembentukan adhesi yang dijelaskan oleh Gutman dan Diamond.

 

 

                 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Migrasi & Frolif‐erasi Fibrinoblas‐

tik 

Pembentukan Adhesion 

Fibrin split  Products

Plasminogen activator (di Submesothelium) 

Fibrinolysis tidak adequate (Ischemia, abrasi, deposisi fi‐brin berlebihan) 

Fibrinolysis 

Awal dari kaskade kom‐plemen 

Perdarahan Intra‐abdominal 

Eksudat Inflammasi, Ma‐trik Fibrin degan Elemen 

sellular

Plasminogen

Plasmin

Fibrin

Hilangnya Sel Mesothelial + 

Peningkatan Permeabilitas 

Pelepasan Tromboplastine 

Cedera Peritoneum

Berkebangnya Auto Antibodi 

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Mekanisme untuk pembentukan adhesi. ( Dari Gutman dan 6,7Diamond).

2.5 DERAJAT ADHESI INTRAABDOMEN 

Derajat adhesi digunakan untuk menilai tingkat keparahan adhesi,

berguna untuk penelitian dan klinis. Derajat ini dinilai baik secara mak

roskopis maupun mikroskopis. Derajat adhesi yang digunakan pada

penelitian ini adalah sebagai berikut

Table 1. Grading of adhesi Menurut Zuhike et al *

skor Derajat Deskripsi 0 Tidak ada pe-

lekatan

1 Filmy adhesi diperlukan pembedahan tumpul yang lembut, untuk pembebasan adhesi

2 Mild adhesi diperlukan pembedahan tumpul agresif un-tuk membebaskan adhesi

3 Moderat adhesi pembedahan tajam diperlukan untuk mem-bebeskan adhesi

4 Severe adhesi diperlukan diseksi untuk membebaskan ad-hesi, tidak dapat dihindari kerusakan organ

* nilai adhesi berdasarkan masing-masing lokasi termasuk garis tengah, adnexa / subcutis, perut bagian atas (hati), peritoneum parietalis, omentum, dan diantara loop usus. Jumlah lokasi tersebut membentuk adhesi total skor (0-24).

Table 2. Derajat vaskulerisasi adhesi menurut Hulka modifikasi Omran dan Berger, 1978.

Derajat Diskripsi

Grade 0 Tidak ada adhesi

Grade I filmly, Adhesi yang avaskuler, mudah dipisahkan dan terbatas

hanya pada satu tempat

Grade 2 Adhesi yang memiliki vaskulerisasi, tebal dan meninggalkan

permukaan yang kasar setelah dilakukan pemisahan, tetapi

masih terbatas pada satu tempat

Remesothelialisasi

Universitas Sumatera Utara

Grade 3 Adhesi yang telah meluas di beberapa tempat

2.6 USAHA UNTUK PENCEGAHAN ADHESI INTRAPERITONEUM 

Setiap usaha pencegahan adhesi harus dimulai sejak prosedur

pembedahan dimulai dan dilanjutkan selama tiga sampai empat hari sete-

lah operasi (Witmann & Walker, 1994). Upaya pencegahan dapat dilaku-

kan dengan menggunakan teknik operasi mutakhir misalnya laparoskopik

dan menciptakan keseimbangan proses fibrinogenesis dan fibrinolisis

(Risberg, 1997). Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara:

2.6.1 PENCEGAHAN DEPOSISI DARI FIBRIN 

Antara lain dengan penggunaan anti-koagulan seperti sodium si-

trat, heparin, dikumarol dan dextran atau aprotinin (Trasylol). Anti-

koagulan akan mencegah tebentuknya bekuan dan pembentukan fibrin.

2.6.2 MENGHILANGKAN EKSUDAT FIBRIN DARI RONGGA PERITONEUM 

Fase awal terbentuknya adhesi adalah perlengketan organ visceral

yang berdekatan karena eksudat fibrin. Untuk mencegah terjadinya or-

ganisasi eksudat fibrin sehingga menjadi permanen, digunakan agen-

agen fibrinolitik. Agen fibrinolitik bekerja secara langsung dengan mengu-

rangi massa fibrin dan secara tidak langsung dengan merangsang aktivi-

tas plasminogen activator. Beberapa contoh agen fibrinolitik ini adalah fi-

brinolisin, streptokinase, urokinase, hyaluronidase, kimotripsin, tripsin

pepsin dan plasminogen activator. Penggunaan recombinant tissue Plas-

minogen Activator (rtPA) dalam penelitian binatang, dapat mengurangi ter-

Universitas Sumatera Utara

jadinya adhesi. Evans, dkk., (1993), dalam penelitiannya membuktikan

bahwa walaupun rtPA akan mencegah ataupun memodifikasi pembentu-

kan adhesi intraabdomen, sangat tergantung pada dosis pemakaian.

2.6.3 PENCEGAHAN PROLIFERASI FIBROBLAST 

Proliferasi fibroblast dapat di cegah oleh agen antiinflamasi seperti

kortikosteroid, NSAID (tolmetin, ibuprofen, dan indometasin, ketorolak ),

antihistamin ( prometazin ) progesteron, Ca bloker dan kolkisin. Mekan-

isme kerja secara umum menghambat sintesis dan aktivasi pros-

taglandin, mengurangi agregasi platelet, menurunkan permeabilitas

vaskular dan menghambat aktivitas sel-sel PMN, meningkatkan fungsi

makrofag sebagai fagosit, pengurangan sekresi inhibitor plasminogen,

mencegah pembentukan dan pelepasan histamin dan menstabilkan li-

sosom.

NSAID meningkatkan produksi IL-10 yang mengaktifkan proses fib

rinolitik, menghambat neovaskularisasi, mengurangi migrasi dan prolif-

erasi fibroblast serta produksi kolagen sehingga deposit fibrin yang ter-

bentuk dapat lisis dan mencegah terbentuknya adhesi fibrosa yang per-

manen (Witmann & Walker 1994).

2.6.4 PEMISAHAN MEKANIK 

Barier antiadhesi ada 2 jenis; barier cairan makro molekul dan bar-

ier mekanik. Barier ideal adalah; aman dan efektif, tidak merangsang

reaksi inflamasi, non imunologik, bertahan selama fase remesotelialisasi,

tidak perlu dijahit, aktif dalam lingkungan berdarah, biodegradasinya sem-

purna, tidak mempengaruhi proses penyembuhan luka, tidak meningkat-

kan infeksi atau menyebabkan adhesi. Contoh barier mekanik cairan; RL,

Universitas Sumatera Utara

dextran 70, asam hyaluronat, HA-PBS/aseprocoat, dan karboksi metil se-

lulosa. Sedangkan contoh barier padat yaitu transplant peritoneal autolo-

gous, PTFE (Goretex), oxidized-regenerated cellulosa (Interceed), dan HA

CMC (Seprafilm).

Rangkuman klassifikasi bahan pencegah adhesi dimuat dalam ta-

ble berikut ini, yang di ambil dari modifikasi oleh Cutmann dan Diamond.

Table 3. Klassifikasi bahan Pencegah adhesi :

Pemisahan Mekanik

Instilasi intraabdomen

Dextran

Mineral oil

Silicone

Povidone

Vaseline

Crystalloid solutions

Carboxymethylcellulose

Barrier

Jaringan endogen

Ornental grafts

Peritoneal grafts

Bladder strips

Fetal membranes

Bahan eksogen

Oxidized cellulose

Oxidized regenerated cellulose

Polytetrafluoroethylene

Gelatin

Rubber sheets

Metal foils

Plastic hoods

Universitas Sumatera Utara

Hyaluronic acid

Photopolymerizable gel

Reverse thermal gelation gel

Antikoagulan

Heparin

Citrates

Oxalates

Anti inflamasi

Corticosteroids

Nonsteroidal anti inflammatory drugs

Antihistamines Progesterone

Calcium channel blockers

Antibiotik

Tetracyclines

Cephalosporins

Fibrinolitik

Fibrinolysin

Papain

Streptokinase, Urokinase

Hyaluronidase, Chymotrypsin, Trypsin

Pepsin

Plasmin activators

2.6.4.1 Methylen blue 

Methylen blue merupakan senyawa kimia dengan nama kimia :

3,7-bis(Dimethylamino)-phenothiazin-5-ium chloride mempunyai rumus

molekul : C16H18 N3SCl,. Pada temperatur ruang berbentuk serbuk

padat, yang menghasilkan suatu larutan biru ketika dilarutkan dalam air,

Universitas Sumatera Utara

berat molekul rendah, larut dalam air dan lemak. Membentuk hydrat

mempunyai 3 molekul air dari setiap molekul. Methylen blue tidak akan

merusak jaringan tubuh atau jaringan histologi lainnya.

Rumus bangun:

Penggunaan klinis sebagai zat pewarana pada pemeriksaan histo-

patologik (Wright's stain & Jenner's stain ), anti serotonin toxicity, MAOI

(monoamine oxidase inhibitor ) Anti malaria (Paul Ehrlich 1891), anti do-

tum pada keracunan sianida ( 1 – 9 mg/kg bb ), zat pewarna pada

endoscopic polypectomy , untuk membedakan dysplasia, identifikas fistel,

dan sentinel lymph node.

Selain itu methylen blue diketahui menghambat pembentukan ok-

sigen radikal seperti superoksida dengan cara berkompetisi dengan oksi-

gen untuk transfer elektron dari flavor-enzim, terutama xantina oksidase.

Efek ini menyebabkan hambatan pada pembentukan mediator inflamasi,

yang pada akhirnya menghambat pembentukan adhesi ( Galili dkk. 1998 ).

Sebelumnya Prien dkk ( 1995 ) menemukan methylen blue merangsang

aktifitas makrofag yang pada akhirnya merangsang pembentukan adhesi.

Suatu penelitian pengaruh methylen blue terhadap pembentukan

adhesi intraperitoneal pada tikus, dengan dosis yang berbeda ( Kluger

dkk, 2000 ) menyimpulkan bahwa pada dosis kecil methylen blue

menghambat pembentukan adhesi sedangkan pada dosis besar merang-

Universitas Sumatera Utara

sang pembentukan adhesi. Kluger juga menjelaskan konsentrasi terbaik

methylen blue mencegah adhesi adalah 1% dengan dosis 7 ml/kgbb. Ali

Celik M.D ( 2008 ) dkk. juga menemukan bahwa methylene blue pasca-

operasi mencegah adhesi (p <0,05).

2.6.4.2 Dextran 70 

Dextran suatu kompleks polisakarida berviscositas tinggi. Panjang

rantai bervariasi (dari 10 - 150 kilo daltons). Memiliki Berat Molekul 40.000

( dextran 40 ) dan BM 70.000 ( dextran 70 ) dengan rumus molekul :

H(C6H10O5)xOH.

Manfaat klinis sebagai antithrombotik ( antiplatelet ), Plasma ex-

pander, dan sebagai barier antiadhesi intrabdominal pascaoperasi

laparotomi.

Mekanisme kerja sebagai antiadhesi dengan cara: (1) pemisahan

organ-organ secara mekanis; (2) proses pembungkusan permukaan jaring

an; dan (3) mengubah struktur fibrin, yang membuat fibrin rentan men-

galami proses lisis. (Tangen, dkk, 1972), (4) efek dilusi dari bekuan fibrin

dan faktor kemotaksis lainnya yang mencetuskan terbentuknya adhesi, (5)

juga memiliki aktifitas penghambat lymposit dan makrofag ( Polishuk &

Aboulafia, 1967).

Universitas Sumatera Utara

Dextran 40 tidak menunjukkan manfaat antiadhesi, karena terab-

sorpsi cepat dalam rongga peritoneum.

Dextran 70 tersedia dalam dua konsentrasi 6 % dan 32%. Menurut

penelitian ( Soules MR dkk ) tidak terdapat perbedaan antara 6% dextran

70 dan 32% dextran 70 dalam pencegahan adhesi intraperitoneal. Utian

dkk (1979) tidak menemukan adanya perbedaan terjadinya adhesi dan

tingkat fertilitas antara kelompok dextran 6% dengan 32%. Holtz dkk

(1980) melaporkan berkurangnya angka adhesi dengan dosis rendah dex-

tran 6% setelah trauma peritoneum, tetapi tidak didapati perbedaan angka

kejadian adhesi setelah tindakan lisis dan terapi dengan dosis rendah.

Efek samping yang dilaporkan tidak banyak, meliputi anaphylaxis,

volume berlebihan, edema paru, edema cerebral, dan kelainan fungsi

platelet. komplikasi signifikan akibat efek osmotik dextran adalah Gagal

Ginjal Akut. Pathogenesis gagal ginjal banyak diperdebatkan antara efek

toksik langsung terhadap tubulus dan glomerulus yang lain efek hyper-

viskositas intraluminal. Pada pasien dengan riwayat diabetes melitus, in-

sufisiensi ginjal, kelainan vaskuler dextran beresiko lebih tinggi, sehingga

penggunaannya tidak dianjurkan

2.6.4.3 Oxidized Regenerated Cellulose. 

Bahan ini tersedia dalam bentuk membran atau gel. Mekanisme

kerjanya dengan memisahkan permukaan peritoneum yang rusak atau

cedera yang mungkin beresiko untuk terjadi adhesi. Bahan ini

berpengaruh hanya lokal di tempat diletakkan, tidak berpengaruh pada

tempat lain di rongga peritoneum.

Universitas Sumatera Utara

Bahan membran barier yang pertama dan terbanyak digunakan

pada manusia adalah “Oxidized Regenerated Cellulose” dikenal sebagai

“Interceed” (Johnson & Johnson, New Brunswick, NJ). Bahan ini

merupakan pengembangan dari “oxidized cellulose”, bahan ini memiliki

sifat:

Memiliki aktifitas bakterisida terhadap gram positif dan gram negatif

termasuk bakteri yang resisten terhadap antibiotik (MRSA, VRE,

PRSP dan MRSE)

ORC Natural produk dengan reaksi minimal pada jaringan sekitar

Diserap penuh dalam waktu 7 – 14 hari

Bahan yang tipis, fleksibel dan mudah dipotong dan dibentuk sesuai

permukan penerima, dan mudah lengket tanpa penjahitan

Pencegahan adhesi bersifat lokal pada daerah yang ditutupi

Meskipun penelitian menunjukkan OCR sukses dalam mengurangi

pembentukan adhesi dalam prosedur kebidanan, penggunaannya secara

umum pada prosedur bedah tidak diketahui. Selain itu, telah diketahui

bahwa penggunaan interceed, tidak dianjurkan pada daerah yang per-

gerakanya tinggi dan daerah dimana genangan darah atau cairan tidak

dapat dihindari misalnya didaerah dasar panggul. Hal ini dikarenakan,

kemanjuran Interceed dapat berkurang secara signifikan (Craig IB, Doug-

las T, Carlos ES , 1991 )

Universitas Sumatera Utara