contoh kasus 5
DESCRIPTION
dafsTRANSCRIPT
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN PERILAKU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA
LAPORAN KASUS PSIKIATRIK
Pembimbing :
dr. Yuniar , M.Epid
Disusun oleh :
Clarissa 2013 – 061 – 071
Felicia Dea Saputra 2013 – 061 – 072
Marcelina Grace T. Putri 2013 – 061 – 075
Devina Harsono 2013 – 061 – 076
Marco Vidor 2013 – 061 – 078
KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN JIWA DAN PERILAKU
RUMAH SAKIT KETERGANTUNGAN OBAT, JAKARTA
PERIODE 2 JUNI – 5 JULI 2014
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. N
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Pendidikan : SMK
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Status Perkawinan : Duda (cerai mati)
Alamat : Cibubur
II. RIWAYAT PSIKIATRIK
Keluhan utama
Pasien datang untuk kontrol dan meminta obat rutin.
Keluhan tambahan
Pasien merasa berat badannya menurun dan merasa susah tidur apabila mengikuti dosis
Suboxon anjuran yang diresepkan oleh dokter.
Autoanamnesis:
Pasien mulai memakai putaw sejak tahun 1998, pada saat dirinya masih duduk di
bangku SMK. Pasien pertama kali memakai putaw karena diberikan oleh saudara
sepupunya. Pasien mengaku menggunakan putaw tersebut hanya untuk coba-coba dan
pada awalnya, pasien merasa pusing dan mual setiap kali menggunakan putaw. Namun
lama kelamaan, pasien menjadi kecanduan. Pasien merasakan adanya kenikmatan dan
kesenangan setiap kali menggunakan putaw dan pasien akan merasakan
ketidaknyamanan dan berbagai keluhan seperti batuk-batuk sakaw, gelisah dan sulit tidur
apabila tidak menggunakannya. Oleh karena itu, pasien menjadi rutin menggunakan
putaw, sebanyak 3-4 kali seminggu. Awalnya putaw digunakan dengan cara nge-dreg
(dragon), namun lama kelamaan pasien menggunakannya dengan cara suntik untuk
mendapat efek yang diinginkan. Selain itu pasien juga pernah menggunakan shabu dan
ganja sebagai selingan putau, namun menurut pengakuan pasien, shabu dan ganja hanya
dikonsumsi sekitar satu kali dalam sebulan. Hal ini berlangsung selama 7 tahun.
Setelah lulus SMK, pasien menikah, namun pada tahun 2003 istri pasien
meninggal dunia. Akibatnya, pasien menjadi depresi dan konsumsi putaw meningkat.
Pada tahun 2005, pasien bertekad untuk berhenti mengkonsumsi NAPZA dan
memutuskan untuk pindah ke Jogjakarta. Selama di Jogjakarta, pasien berhasil lepas dari
NAPZA dengan cara menahan rasa craving dan gejala withdrawalnya (tanpa
rehabilitasi). Pasien juga berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai juru masak di sebuah
restoran, namun pasien mulai mengeluh batuk-batuk yang tak kunjung sembuh. Pasien
kemudian memeriksakan diri ke rumah sakit. Pasien didiagnosis menderita TBC dan hasil
pemeriksaan HIV positif.
Pada tahun 2012, pasien kembali ke Jakarta untuk tinggal bersama keluarganya.
Oleh saudara sepupunya, pasien diajak mengkonsumsi zat Subutex, sehingga pasien
kembali menjadi pecandu. Namun karena pasien memiliki keinginan yang kuat untuk
kembali berhenti menggunakan NAPZA, maka pasien pergi berobat ke Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) untuk meminta bantuan. Oleh dokter, diberikan terapi
dengan menggunakan Suboxon 1 x 4 mg.
RIWAYAT PEMAKAIAN ZAT PSIKOAKTIF
N
o
Jenis Zat Opioid
(heroin)
Ganja Kokain Alkohol Sedatif-
Hipnotik
Halusino
gen
Metamfetamin Tembakau
1. Sejak umur 18 tahun 18 tahun - - - - 18 tahun -
2. Cara penggunaan Dreg
Suntik
Merokok - - - - Hisap dengan
bong
-
3. Frekuensi pemakaian dan
kuantitas
3-4
kali/bulan
1x/bulan - - - - 1x/bulan -
4. Pemakaian 1 thn terakhir terapi
Suboxon
- - - - - - -
5. Pemakaian 1 bln terakhir terapi
Suboxon
- - - - - - -
6. Pemakaian yg terakhir
kali
terapi
Suboxon
10 tahun
yang lalu
(2004)
- - - - 10 tahun yang
lalu (2004)
-
7. Alasan pemakaian
pertama kali
Diberikan
oleh
Diberikan
oleh
- - - - Diberikan oleh -
sepupu sepupu sepupu
RIWAYAT KEHIDUPAN SEKSUAL
Riwayat berhubungan seksual dengan istri.
RIWAYAT PENYAKIT
• Penyakit fisik : Tuberculosis (TBC), HIV
• Penyakit psikiatri : -
RIWAYAT MENGGUNAKAN JARUM SUNTIK
Riwayat menggunakan jarum suntik (+).
RIWAYAT BERHUBUNGAN DENGAN HUKUM
(+) pada tahun 2000 karena ketahuan saat sedang transaksi putaw. Pasien dipenjara selama 8
bulan.
Selama di penjara, pasien masih menggunakan putaw.
STRESSOR PSIKOSOSIAL
Masalah dengan :
1. Orang tua : -
2. Anggota Keluarga Lain: sepupu pasien adalah pengguna putaw
3. Teman : -
4. Pekerjaan : -
5. Keuangan : -
KEADAAN FISIK
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 120/70mmHg
Nadi : 78 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7oC
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 65 kg
Kepala : normosefali, deformitas (-)
Mata : sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-
Hidung : septum nasi di tengah, sekret -/-
Mulut : mukosa oral basah, merah muda
Paru : dalam batas normal
Jantung : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Punggung : deformitas (-), kifosis (-), skoliosis (-)
Ekstremitas :
Capillary Refill Time < 2 detik
Akral hangat
Refleks fisiologis +/+, refleks patologis -/-
Needle track (-)
HASIL PEMERIKSAAN PSIKIATRIK
Penampilan : Sikap & perilaku baik, berpakaian rapi
Perilaku dan aktivitas psikomotor : Tenang
Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif
Pembicaraan : Spontan; tidak ada gangguan berbahasa
Mood : Euthym
Afek : Luas
Keserasian : Serasi
Gangguan persepsi
Halusinasi : -
Ilusi : -
Arus pikiran
Produktivitas : baik
Kontinuitas : tidak terganggu
Isi pikiran
Preokupasi pikiran : -
Waham : -
Usaha bunuh diri : -
Sensorium, kognitif
Kesadaran : Compos mentis
Orientasi
waktu : Baik
tempat : Baik
orang : Baik
situasi : Baik
Daya ingat
Recent memory : Baik
Immediate memory : Baik
Remote memory : Baik
Konsentrasi, perhatian : Baik
Pikiran abstrak : Baik
Pengendalian impuls : Baik
Insight : Baik (derajat VI)
Judgement : Baik
Taraf dapat dipercaya : Dapat dipercaya
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM
• Tidak dilakukan
• Drug test : tidak dilakukan
HASIL PEMERIKSAAN ELEKTRO-DIAGNOSTIK
Tidak dilakukan
HASIL PEMERIKSAAN PSIKOLOGIS
Afek : Luas
Persepsi : Tidak terganggu
Isi pikir : Tidak terganggu
HASIL EVALUASI SOSIAL
Tidak dilakukan
RIWAYAT PERAWATAN/PENGOBATAN/REHABILITASI SEBELUMNYA
Pasien belum pernah direhabilitasi sebelumnya.
RESUME
Riwayat penggunaan zat :
– Putaw (heroin) : tahun 1998- 2005
– Metamfetamin : tahun 1998 – 2005 (occasional)
– Ganja: tahun 1998- 2005 (occasional)
Efek Positif : Kemampuan sosial menjadi lebih baik, pasien merasa lebih tenang, ringan,
gembira
Efek Negatif : Gelisah, marah-marah dan memaki
Riwayat penyakit : HIV (+), TBC (+)
Laboratorium : dalam batas normal
DIAGNOSIS
Axis I : F11.2 Sindrom Ketergantungan akibat Penggunaan Opioida
Axis II : Z03.2 tidak ada diagnosis
Axis III : A00-B99 Penyakit Infeksi dan parasit tertentu (HIV)
Axis IV : tidak ada
Axis V : GAF current : 90-81 (gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas, tidak lebih
dari masalah harian yang biasa)
GAF highest level past year : 90-81 (gejala minimal, berfungsi baik, cukup
puas, tidak lebih dari masalah harian yang biasa)
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
PENATALAKSANAAN
Terapi Farmakologi :
Suboxon 1 x 4 mg
Tenofovir 4x300 mg po
Lopinavir 2 x 200 mg, Ritonavir 2 x 50 mg
DASAR TEORI
OPIOID
Opioid merupakan salah satu golongan NAPZA yang sangat kuat potensi
ketergantungannya, sehingga disebut dengan julukan "horror drug". Termasuk golongan opioid
adalah morfin, petidin, heroin, metadon, kodein. Golongan opioid yang paling sering
disalahgunakan adalah heroin. Heroin di Indonesia disebut "putauw". Heroin merupakan opioid
semi-sintetik yang berasal dari morfin. Ada 3 bentuk penggunaan heroin di Indonesia, yaitu:
a. cara "dragon" : uap heroin yang dipanaskan melalui alumunium foil dihirup dengan bibir
( menggunakan bong pipa dari uang kertas atau plastik).
b. cara injeksi dengan menggunakan suntikan melalui intra venous atau intra muskuler
c. cara merokok : bubuk heroin dicampurkan dengan rokok/tembakau.
EPIDEMIOLOGI
Orang dengan ketergantungan opioid paling sering menggunakan heroin. Menurut DSM-IV-TR ,
prevalensi seumur hidup penggunaan heroin adalah sekitar 1%. Jumlah pengguna heroin di
Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 300-500ribu. Rasio pria terhadap wanita dengan
ketergantungan heroin adalah sekitar 3:1. Pengguna opioid biasanya mulai menggunakan zat
pada usia awal 20-an, sebagian besar ketergantungan opioid berusia 30-an sampai 40-an.
Menurut DSM-IV-TR, kecenderungan ketergantungan mengalami remisi biasanya
dimulai setelah umur 40 tahun dan disebut pendewasaan.
ETIOLOGI
Faktor Psikososial
Ketergantungan opioid tidak terbatas pada kelas sosioekonomi rendah, meski insiden
ketergantungan opioid lebih besar pada kelompok ini daripada kelas sosioekonomi yang lebih
tinggi. Kurang lebih 50% pengguna heroin di perkotaan adalah anak dari orang tua tunggal atau
orang tua bercerai dan berasal dari keluarga yang setidaknya
satu anggota keluarga lain mengalami gangguan terkait zat.
Sejumlah pola perilaku konsisten tampaknya terutama menonjol pada remaja dengan
ketergantungan opioid. Pola ini disebut sebagai sindrom perilaku heroin : depresi yang
mendasari, sering berupa agitatif dan kerap disertai gejala ansietas; impulsivitas yang
ditunjukkan dengan orientasi pasif-agresif; takut gagal; penggunaan heroin sebagai obat
antiansietas untuk menyamarkan perasaan rendah diri, keputusasaan ; rendahnya toleransi
frustasi disertai kebutuhan pemuasan segera; serta gangguan dalam hubungan sosial dan
interpersonal dengan teman sebaya yang dipertahankan dengan pengalaman menggunakan zat
bersama.
Faktor Biologis dan genetik
Terdapat bukti adanya faktor kerentanan yang diturunkan secara genetik yang
meningkatkan kecenderungan mengalami ketergantungan obat. Orang dengan gangguan terkait
opioid mungkin memiliki hipoaktivitas sistem opiat yang ditentukan secara genetik.
DIAGNOSIS
HEROIN
Heroin (INN: diacetylmorphine, BAN: diamorphine) adalah semi sintetik
opioid yang di sintesa dari morphin yang merupakan derivat dari opium. Pada
kadar yang lebih rendah dikenal dengan sebutan putaw. Heroin didapatkan dari
pengeringan ampas bunga opium (Papaverum somniferum) yang mempunyai
kandungan morfin dan kodein yang merupakan penghilang rasa nyeri yang
efektif. Heroin merupakan 3.6-diacetyl ester dari morphine (oleh karena itu
disebut juga diasetilmorphine). Nama lain dari heroin: smack, junk, china ehirte,
chiva, black tar, speed balling, dope, brown, dog,negra, nod, white hores, stuff.
Karakteristik
Heroin merupakan narkoba yang sangat sering menimbulkan efek
ketergantungan. Heroin ini bentuknya berupa serbuk putih dengan rasa pahit.
Dalam pasaran banyak beredar warnanya putih, coklat atau dadu. Penggunaannya
dengan injeksi atau dihirup atau per oral.
Farmakokinetik
Absorpsi
Heroin diabsorpsi baik di subkutaneus, intramuscular, dan permukaan mukosa hidung
atau mulut.
Distribusi
Heroin dengan cepat masuk kedalam darah dan menuju ke dalam jaringan. Konsentrasi
heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal, dan limpa, sedangkan diotot skelet konsentrasinya
rendah. Heroin menembus sawar darah otak lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan morfin
atau golongan opioid lainnya.
Metabolisme
Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya menjadi
morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam glukuronik menjadi 6-glukoronid yang
berefek analgesic lebih kuat dibandingkan morfin sendiri.
Ekskresi
Heroin terutama dieksresi melalui urine ( ginjal). 90% diekresikan dalam 24 jam pertama ,
meskipun masih dapat ditemukan dalam urin 48 jam.
Farmakodinamik
Opioid agonis menimbulkan analgesia akibat berikatan dengan reseptor spesifik yang
berlokasi di otak dan medulla spinalis, sehingga mempengaruhi transmisi dan modulasi nyeri.
Terdapat 3 reseptor spesifik, yaitu reseptor µ (mu), delta dan kappa. Reseptor µ merupakan
reseptor untuk heroin. Ketiga jenis reseptor ini berhubungan dengan protein G dan berpasangan
dengan adenilsiklase menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas pelepasan
neurotransmitter terhambat.
Gejala dan Tanda Pemakaian Heroin
Efek Pemakaian heroin yaitu kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang selalu berair,
kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara tidak jelas, tidak dapat
berkonsentrasi. Sakaw atau sakit karena putaw terjadi a[abila si pecandu putus menggunakan
putaw. Sebenarnya sakaw salah satu bentuk detoksifikasi alamiah yaitu membiarkan pecandu
melewati masa sakaw tanpa obat, selain didampingi dan dimotivasi untuk sembuh. Gejala sakaw
yaitu mata dan hidung berair, tulang terasa ngilu, rasa gatal dibawah kulit seluruh badan, sakit
perut/diare dan kedinginan.
Penatalaksanaan.
Intoksikasi akut (over dosis)
• Perbaiki dan pertahankan jalan nafas sebaik mungkin
• Oksigenasi yang adekuat
• Naloxone injeksi, dosis awal 0,4 – 2,0 mg IV (anak-anak 0,01 mg/kgBB)
Efek naloxane terlihat dalam 1 – 3 menit dan mencapai puncaknya pada 5-10menit. Bila tidak
ada respon naloxane 2 mg dapat diulang tiap 5 menit hinggamaksimum 10 mg. Naloxone efektif
untuk memperbaiki derjat kesadaran, depresi pernafasan, ukuran pupil. Pasien masih harus
diobservasi terhadap efek naloxonedalam 2-3 jam. Oleh karena duration of action yang pendek.
Untuk mencegahrekulensi efek opiat dapat diberikan infus naloxone 0,4-0,8 mg/jam hingga
gejalaminimal (menghilang).
b. Intoksikasi kronis
Hospitalisasi
Hospitalisasi dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama ditujukan untuk:
1.Terapi kondisi withdrawl
2.Terapi detoksifikasi
3.Terapi rumatan (maintenance)
4.Terapi komplikasi
5.Terapi aftercare
Dengan masuknya pasien adiksi ke RS, evaluasi medis fisik perlu mendapat prioritas.
Disamping pemeriksaan urine drug screen (untuk mengetahui apakah pasien menggunakan zat
lain yang tidak diakuinya), pemeriksaan laboratorium rutin (termasuk fungsi faal hati, ginjal,
danjantung), juga dilakukan foto thorak. Terapi detoksifikasi bertujuan agar pasien memutuskan
penggunaan zatnya dan mengembalikan kemampuan kognitifnya. Tidak ada bentuk terapi
lainyang harus dilakukan sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai. Tujuan hospitalisasi
lainnya adalah membantu pasien agar dapat mengidentifikasi konsekwensi yang diperoleh
sebagai akibat penggunaan zat dan memahami resikonya bila terjadi relaps. Dari segi mental,
hospitalisasi membatu mengendalikan suasana perasaannya seperti depressi, paranoid, quilty
feelingkarena penyesalan perbuatannya dimasa lalu, destruksi diri dan tindak
kekerasan.Hospitalisasi jangka pendek sangat disarankan bagi adiksi zat yang memang harus
mendapatkan perawatan karena kondisinya. Selama perawatan jangka pendek, pasien
dipersiapkan untuk mengikuti terapi rumatan. Untuk kondisi adiksinya, pasien tidak pernah
disarankan untuk perawatan jangka panjang.