ckb ich

57

Upload: nindya-rizki-tsani

Post on 25-Dec-2015

21 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

ckb ich

TRANSCRIPT

Page 1: ckb ich
Page 2: ckb ich

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah,

serta inayah-Nya kepada penyusun sehingga Laporan Kasus Laboratorium Ilmu

Bedah yang berjudul “Cidera Kepala Sedang dengan Intracerebral Hematoma

dan Contusio Cerebri” ini dapat terselesaikan sesuai harapan.

Tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas

Kepaniteraan Klinik Madya serta guna menambah ilmu pengetahuan mengenai

permasalahan di bidang penyakit bedah saraf khususnya Cidera Kepala Sedang

dengan Intracerebral Hematoma dan Contusio Cerebri. Penyusun menyampaikan

terima kasih kepada pembimbing kami, dr. Yahya Ari Pramono, Sp.BS. atas

segenap waktu, tenaga dan pikiran yang telah diberikan kepada kami selama

proses pembuatan laporan kasus ini.

Penyusun menyadari bahwa laporan kasus ini belumlah sempurna. Untuk itu,

saran dan kritik dari para dosen dan pembaca sangat diharapkan demi perbaikan

laporan ini. Atas saran dan kritik dosen dan pembaca, penyusun ucapkan terima

kasih.

Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi dosen, penyusun, pembaca serta

rekan-rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan di bidang

kedokteran.

Kepanjen, Agustus 2014

Penyusun

Andre Setyawan C N

Page 3: ckb ich

DAFTAR ISI

Judul

Kata Pengantar .................................................................................................1

Daftar Isi ..........................................................................................................2

BAB I : Pendahuluan

Latar Belakang...........................................................................................3

Rumusan Masalah......................................................................................4

Tujuan........................................................................................................4

Manfaat......................................................................................................5

BAB II : Status Pasien

Identitas Penderita......................................................................................6

Anamnesa...................................................................................................6

Pemeriksaan Fisik......................................................................................7

Penanganan IGD........................................................................................9

Primary Survey & Pemeriksaan Fisik........................................................9

Pemeriksaan Penunjang...........................................................................10

Resume.....................................................................................................11

Working Diagnosa...................................................................................11

Prognosis..................................................................................................11

Planning Terapi........................................................................................11

BAB III : Tinjauan Pustaka

Anatomi Kepala.......................................................................................12

Cedera Kepala..........................................................................................16

Perdarahan Intraserebral .........................................................................31

BAB IV : Penutup ..........................................................................................35

Daftar Pustaka.................................................................................................36

Page 4: ckb ich

LAPORAN KASUS LABORATORIUM ILMU BEDAH

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa

tumpul atau tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral

sementara. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada

kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini

diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan

kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping

penanganan pertama yang belum benar - benar, serta rujukan yang terlambat.

Di Indonesia kejadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai

500.000 kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di

rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokan sebagai

cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera kepala sedang, dan 10 % termasuk

cedera kepala berat.

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para

dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama

pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan

tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya

cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting

untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang

penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang

memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan

CT Scan kepala. Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan

adalah pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,

anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara

serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat

pasien tiba di Rumah Sakit.

Page 5: ckb ich

Pada penderita dengan cedera kepala

ringan dan sedang hanya 3% -5% yang

memerlukan tindakan operasi kurang lebih

40% dan sisanya dirawat secara

konservatif. Prognosis pasien cedera

kepala akan lebih baik bila

penatalaksanaan dilakukan secara tepat

dan cepat. Adapun pembagian trauma

kapitis adalah: Simple head injury, Commutio cerebri, Contusion cerebri,

Laceratio cerebri, Basis cranii fracture. Simple head injury dan Commutio

cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala ringan, sedangkan Contusio

cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat.

Kasus cidera kepala termasuk dalam kasus dengan area kompetensi 3B, dimana

dokter umum atau dokter pada tingkat layanan primer harus mampu membuat

diagnosa klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan

(misalnya laboratorium sederhana atau X-Ray) serta dapat memutuskan dan

memberikan terapi pendahuluan serta merujuk ke spesialis yang relevan (kasus

gawat darurat). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penyusun mengangkat

kasus ini sebagai bahan pembelajaran dalam upaya penanganan cidera kepala.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Bagaimana etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis dan patogenesis Cidera

Kepala Sedang dengan Intracerebral Hematoma dan Contusio Cerebri?

1.2.2. Bagaimana penatalaksanaan, prognosis dan komplikasi Cidera Kepala

Sedang dengan Intracerebral Hematoma dan Contusio Cerebri?

1.3. Tujuan

1.3.1. Mengetahui etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis Cidera Kepala Sedang

dengan Intracerebral Hematoma dan Contusio Cerebri?

1.3.2. Mengetahui penatalaksanaan, prognosis dan komplikasi Cidera Kepala

Sedang dengan Intracerebral Hematoma dan Contusio Cerebri?

Page 6: ckb ich

1.4. Manfaat

Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang

Cidera Kepala Sedang dengan Intracerebral Hematoma dan Contusio Cerebri,

sehingga dapat dijadikan tambahan ilmu pengetahuan dalam penegakan diagnosa

dan penatalaksanaannya pasien.

Page 7: ckb ich

LAPORAN KASUS LABORATORIUM ILMU BEDAH

BAB II

STATUS PASIEN

2.1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn S

Umur : 70 tahun

Jenis kelamin : laki- laki

Pekerjaan : Swasta

Agama : Islam

Alamat : Bantur , Malang

Status perkawinan : Menikah

Suku : Jawa

Tanggal MRS : 19 Agustus 2014

Tanggal periksa : 19 Agustus 2014

No. Reg : 356195

2.2 ANAMNESA

1. Keluhan Utama : nyeri kepala post kecelakaan lalu lintas

dengan luka di kepala bagian kiri

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien laki-laki 70 tahun datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen

dengan riwayat keluhan nyeri kepala setelah mengalami kecelakaan lalu

lintas. Menurut keterangan keluarga, hari Selasa sekitar pukul 18.00 WIB

pasien mengalami kecelakaan sepeda motor, pasien terjatuh dengan posisi

kepala terbentur terlebih dahulu., Pasien mengeluh kepalanya pusing dan

nyeri di bagian belakang. Pasien juga mengeluh mual dan ingin muntah..

Pasien kemudian langsung dibawa ke RS. Waktu tiba di RS pasien muntah

dan jatuh pingsan. Riwayat kejang disangkal keluarga pasien.

Page 8: ckb ich

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami trauma atau kecelakaan.

Riwayat darah tinggi, sakit gula, sakit jantung, alergi obat dan makan,

serta riwayat sakit lain sebelumnya disangkal.

4. Riwayat Pengobatan:

Pasien langsung dibawa ke RS setelah terjadi kecelakaan

5. Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat penyakit darah tinggi, sakit gula, sakit jantung, maupun sakit

lainnya dalam keluarga disangkal keluarga pasien.

6. Riwayat Gizi :

Sebelum sakit nafsu makan tidak ada masalah, makan 3 kali sehari.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK (Data Rekam Medis)

1) Vital sign

Tensi : 152/126mmHg

Suhu : 37 0 C

Nadi : 77 x/menit

RR : 20 x/menit

2) Status Neurologik

Kesadaran : GCS 3,3.5

3) Status Generalis

Kepala

Bentuk mesocephal, rambut tidak mudah dicabut, terdapat luka

rebek didaerah eyebrow sekitar 3x1 cm sebelah kanan dan 3x2 cm

sebelah kiri.

Mata

Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), hematom palpebra (-/-),

subkonjungtiva bleeding (-).

Telinga

Bentuk normotia, otorhoe (-), bloody otorhoe (-), battle sign (-)

Page 9: ckb ich

Hidung

Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), jejas (-), rinore

(+)

Mulut dan Tenggorokan

Luka (-), perdarahan (-).

Leher

JVP kesan tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar

tiroid (-), kelenjar getah bening tidak teraba membesar, tidak teraba

adanya benjolan, jejas (-)

Thorax

Paru-paru

• Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis, luka

dan benjolan tidak didapatkan.

• Palpasi : Stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri

• Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru

• Auskultasi: Suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung

• Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis

• Palpasi : Teraba ictus cordis di ICS V MCLS

• Perkusi : Redup

Batas atas : ICS III parasternal line sinistra

Batas kiri : ICS V MCLS

Batas kanan : ICS V midsternal line

• Auskultasi: Bunyi jantung I-II regular, Murmur -/-, Gallop -/-

Abdomen

• Inspeksi : datar, tidak tampak adanya kelainan

• Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

• Perkusi : timpani

• Auskultasi : bising usus (+) normal (5x/mnt)

Kulit

Warna sawo matang, turgor kulit baik.

Page 10: ckb ich

Ekstremitas

Abrasi region brachial sinistra + 6 x 1 cm

PENANGANAN IGD

O2 2-4 lpm

IVFD RL 20 tetes/menit

Inj Omeprazol 40 mg 1 x 1 amp

Inj. Neuralgin 3 x 1 amp

Inj. Citikolin 3 x 1 amp

PRIMARY SURVEY & PEMERIKSAAN FISIK (20-08-2014)

A : Airway clear, snoring (-), gurgling (-), crowing (-), maxillofacial

injury (-), C-spine stabil

B : Spontan, RR : 20 x/mnt, retraksi dinding dada (-), pernafasan cuping

hidung (-)

C : Akral H/M/K, HR : 70 x/mnt, TD : 152/126 mmHg

D : GCS 6 (E1V1M4)

E : 370C

B1 : Breath Airway : Clear, RR : 20 x/mnt, SP : Vesikuler, ST : -,

Bloody Rinorhoe (-), Bloody Otorrhoe (-), sesak (-), asma (-), batuk (-).

B2 : Blood Akral : H/M/K, TD : 152/126 mmHg, HR : 77 x/i, Reguler,

T/V kuat/cukup, Temp : 370 C

B3 : Brain GCS 6 (E1V1M4), pupil isokor, d/s : 3 mm, RC +/+, Ptosis

(-/-), reflek fisiologi (4/4), reflek patologis (-/-)

B4 : Bladder DC (+), warna : kuning jernih.

B5 : Bowel Abdomen supel, peristaltik (+) 5x/mnt

B6 : Bone Oedem (-)

Page 11: ckb ich

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

CT-Scan Kepala tanggal 20-08-2014

Kesan: Intracerebral Hematoma temporal sinistra

Foto Thorax (AP) tanggal 20-08-2014

Page 12: ckb ich

Kesan : thorax normal

2.5 RESUME

Pasien laki-laki 70 tahun datang ke IGD RSUD Kanjuruhan

Kepanjen dengan riwayat keluhan nyeri kepala setelah mengalami

kecelakaan lalu lintas. Menurut keterangan keluarga, hari Selasa sekitar

pukul 18.00 WIB pasien mengalami kecelakaan sepeda motor, pasien

terjatuh dengan posisi kepala terbentur terlebih dahulu., Pasien mengeluh

kepalanya pusing dan nyeri di bagian belakang. Pasien juga mengeluh

mual dan ingin muntah.. Pasien kemudian langsung dibawa ke RS. Waktu

tiba di RS pasien muntah dan jatuh pingsan. Riwayat kejang disangkal

keluarga pasien. . Pada pemeriksaan fisik didapatkan tensi: 152/126

mmHg, suhu: 37 0 C, nadi: 77 x/menit, dan RR: 20 x/menit, kesadaran

GCS 114. Selain itu, terdapat luka robek di kepala bagian eyebrow kanan

dan kiri, terdapat luka abrasi regio brachhial sinistra sekitar 6 cm.

Pemeriksaan CT-Scan kepala tanggal 20-08-2014 memberi kesan: ICH

temporal sinistra.

2.6 WORKING DIAGNOSA

Cedera Kepala sedang + Intracerebral Hematom temporal Sinistra +

Contusio Cerebri

Page 13: ckb ich

2.7 PROGNOSIS

Dubia ad bonam

2.8 PLANNING TERAPI

1. Non-operatif

a. Non-medikamentosa

KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) MRS

b. Medikamentosa

O2 2 lpm nasal canuleInfus RL 20 tpmInjeksi iv cefotaxim 2x1 gram Injeksi iv Noralgin 3 x1gram Injeksi iv Ranitidine 2x1 gInjeksi iv Omeprazol 1x1 gram

2. operatif

Page 14: ckb ich

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI KEPALA

Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang membungkusnya,

tanpa perlindungan ini, otak yang lembut yang membuat kita seperti adanya, akan

mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Selain itu, sekali neuron

rusak, tidak dapat di perbaiki lagi.

1) SCALP

SCALP atau kulit kepala terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling melekat

dan bergerak sebagai satu unit. SCALP terdiri dari:

Skin atau kulit

Tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar sebacea.

Connective Tissue atau jaringan penyambung

Jaringan lemak fibrosa yang menghubungkan kulit dengan aponeurosis dari m.

occipitofrontalis di bawahnya. Banyak mengandung pembuluh darah besar

terutama dari lima arteri utama yaitu cabang supratrokhlear dan supraorbital

dari arteri oftalmik di sebelah depan, dan tiga cabang dari karotid eksternal-

temporal superfisial, aurikuler posterior, dan oksipital di sebelah posterior dan

lateral. Pembuluh darah ini melekat erat dengan septa fibrosa jaringan subkutis

sehingga sukar berkontraksi atau mengkerut. Apabila pembuluh ini robek, maka

pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat menyebabkan

kehilangan darah yang bermakna pada penderita laserasi kulit kepala.

Perdarahan sukar dijepit dengan forcep arteri. Perdarahan diatasi dengan

menekannya dengan jari atau dengan menjahit laserasi.

Aponeurosis atau galea aponeurotika

Merupakan suatu jaringan fibrosa, padat, dapat digerakkan dengan bebas, yang

membantu menyerap kekuatan trauma eksternal, menghubungkan otot frontalis

dan otot occipitalis. Spatium subaponeuroticum adalah ruang potensial dibawah

aponeurosis epicranial. Dibatasi di depan dan di belakang oleh origo m.

Occipito frontalis, dan meluas ke lateral sampai ke tempat perlekatan

aponeurosis pada fascia temporalis.

Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar

Menghubungkan aponeurosis galea dengan periosteum cranium (pericranium).

Mengandung beberapa arteri kecil dan beberapa v.emmisaria yang

Page 15: ckb ich

menghubungkan v.diploica tulang tengkorak dan sinus venosus intrakranial.

Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh

ke dalam tengkorak, sehingga pembersihan dan debridement kulit kepala harus

dilakukan secara seksama bila galea terkoyak. Darah atau pus terkumpul di

daerah ini dan tidak bisa mengalir ke region occipital atau subtemporal karena

adanya perlekatan occipitofrontalis. Cairan bisa masuk ke orbita dan

menyebabkan hematom yang bisa jadi terbentuk dalam beberapa waktu setelah

trauma kapitis berat atau operasi kranium.

Pericranium

Merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar tulang tengkorak.

Sutura diantara tulang-tulang tengkorak dan periousteum pada permukaan luar

tulang berlanjut dengan periousteum pada permukaan dalam tulang-tulang

tengkorak.

Gambar 3.1: Anatomi Kepala

2) Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis cranii (bagian terbawah).

Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi di daerah ini dilapisi oleh otot temporalis.

Basis cranii terbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat

bergerak akibat proses akselerasi dan deselarasi.

Pada orang dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak

memungkinkan perluasan isi intracranial. Tulang tengkorak mempunyai 3 lapisan:

a) Tabula interna ( lapisan tengkorak bagian dalam)

b) Diploe (rongga di antara tabula)

c) Tabula eksterna (lapisan tengkorak bagian luar)

Tabula interna mengandung alur-alur yang berisiskan arteria meningea anterior,

media, dan posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan terkoyaknya

Page 16: ckb ich

salah satu dari arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang di akibatkannya, yang

tertimbun dalam ruang epidural, dapat menimbulkan akibat yang fatal kecuali bila di

temukan dan diobati dengan segera.

Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fossa anterior yang merupakan

tempat lobus frontalis, fossa media yang merupakan tempat lobus temporalis, fossa

posterior yang merupakan tempat bagian bawah batang otak dan cerebellum.

Gambar 3.2: Tulang Tengkorak

3) Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari 3 lapisan yaitu:

1. Duramater: selaput keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat

pada permukaan dalam kranium. Duramater terdiri dari dua lapisan, yaitu:

Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar,

dibentuk oleh periosteum yang

membungkus dalam calvaria.

Lapisan meningeal sebelah dalam adalah

suatu selaput fibrosa yang kuat, berlanjut

terus di foramen mágnum dengan

duramater spinalis yang membungkus medulla spinalis.

Karena tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat

suatu ruang potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan

arakhnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,

pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis

superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan

dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan

darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus ini

dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea terletak antara

duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur

dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat

Gambar 3.3: Meningen

Page 17: ckb ich

menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera

adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

2. Arakhnoid: membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan tembus pandang. Di

bawah lapisan ini terdapat ruang yang dikenal sebagai subarakhnoid, yang

merupakan tempat sirkulasi cairan LCS.

3. Piamater: membran halus yang melekat erat pada permukaan korteks cerebri,

memiliki sangat banyak pembuluh darah halus, dan satu-satunya lapisan

meningeal yang masuk ke dalam semua sulkus dan membungkus semua girus.

4) Otak

Otak manusia terdiri dari serebrum,

serebelum, dan batang otak. Serebrum

terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang

dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan

duramater dari sisi inferior sinus sagitalis

superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak yang

mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.

Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi

dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan

fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus

oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.

Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata.

Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi

dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat

kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi

kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.

Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak

dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak, dan juga

kedua hemisfer serebri.

5) Cairan serebrospinal

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus

khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20

ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui

foramen monro menuju ventrikel III kemudian melalui

aquaductus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya

CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada

Gambar 3.4: Otak

Gambar 3.5: Cairan Serebrospinal

Page 18: ckb ich

di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam

sirkulasi vena melalui vili araknoid.

6) Tentorium

Tentorium serebelli

membagi rongga tengkorak

menjadi ruang supra

tentorial (terdiri atas fossa

kranii anterior dan fossa

kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

B. CEDERA KEPALA

1. Definisi

Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul

atau tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.

Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia

produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalulintas.

Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu kerusakan

pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh

serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran

yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

Menurut David A. Olson dalam artikelnya cedera kepala didefinisikan sebagai

beberapa perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan

keras pada kepala.

2. Etiologi

Penyebab cedera kepala antara lain :

Kecelakaan sepeda motor

Jatuh

Pukulan keras

Luka tembakan.

3. Klasifikasi

Secara umum cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan tiga hal, yaitu:

1) Berdasarkan mekanisme, terbagi atas 2:

• Static loading

• Dynamic loading: (a) Lesi impact dan (b) Lesi akselerasi-deselerasi

a. Static loading

Gambar 3.6: Tentorium

Page 19: ckb ich

Gaya langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja lambat,

lebih dari 200 milidetik, mekanisme static loading ini jarang terjadi, tetapi

kerusakan yang dihasilkan sangat berat mulai dari cidera pada kulit kepala

sampai kerusakan tulang kepala, jaringan otak dan pembuluh darah otak.

b. Dynamic loading

Gaya mengenai kepala terjadi secara cepat (kurang dari 50 milidetik),

gaya yang bekerja pada kepala dapat secara langsung (Impact injury)

ataupun gaya tersebut bekerja tidak langsung (Accelerated-decelerated

injury), mekanisme cidera kepala dynamic loading ini paling sering terjadi.

Impact injury

Gaya langsung bekerja pada kepala, gaya yang terjadi akan

diteruskan kesegala arah, jika mengenai jaringan lunak akan diserap

sebagian dan sebagian yang lain akan diteruskan sedangkan jika

mengenai jaringan yang keras akan dipantulkan kembali. Gaya impact

ini dapat juga menyebabkan lesi akselerasi-deselerasi. Akibat dari

impact injury akan menimbulkan lesi:

o Cidera pada kulit kepala (SCALP): Vulnus apertum, Excoriasi,

Hematom

o Cidera pada tulang atap kepala: Fraktur linier, Fraktur diastase,

Fraktur steallete, Fraktur depresi

o Fraktur basis kranii.

o Hematom intrakranial: Hematom epidural, Hematom subdural,

Hematom intraserebral, Hematom intraventrikular

o Kontusio serebri: Contra coup kontusio, Coup kontusio

o Laserasi serebri

o Lesi diffuse: Komosio serebri, Diffuse axonal injury.(DAI)

Lesi akselerasi – deselerasi

Gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian

tubuh yang lain tetapi kepala tetap ikut terkena gaya. Oleh karena

adanya perbedaan densitas antara tulang kepala dengan densitas yang

tinggi dan jaringan otak dengan densitas yang lebih rendah, maka jika

terjadi gaya tidak langsung maka tulang kepala akan bergerak lebih

dahulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap berhenti, sehingga

pada saat tulang kepala berhenti bergerak maka jaringan otak mulai

bergerak dan oleh karena pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-

Page 20: ckb ich

tonjolan maka akan terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan

tulang kepala tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa:

o Hematom subdural

o Hematom intraserebral

o Hematom intraventrikel

o Contra coup kontusio

Selain itu gaya akselerasi dan deselerasi akan menyebabkan gaya

tarikan ataupun robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa:

o Komosio serebri

o Diffuse axonal injury

2) Berdasarkan morfologi

a. Fraktur kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada

atap atau dasar tengkorak, dan dapat

terbentuk garis atau bintang dan dapat

pula terbuka atau tertutup. Fraktur

dasar tengkorak biasanya merupakan

pemeriksaan CT Scan untuk

memperjelas garis frakturnya. Adanya

tanda-tanda klinis fraktur dasar

tengkorak menjadikan petunjuk

kecurigaan untuk melakukan

pemeriksaan lebih rinci.

Tanda-tanda tersebut antara lain:

Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)

Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )

Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan

Parese nervus facialis ( N VII )

Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke

dalam, lebih tebal dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan

pembedahan.

b. Lesi Intrakranial

Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua

jenis lesi sering terjadi bersamaan. Termasuk lesi local :

1) Perdarahan Epidural

Gambar 3.7: Fraktur Basis Cranii

Page 21: ckb ich

Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya 

terjadi pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri

meningea media (Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan

kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam.

Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan

neurologist unilateral. Kemudian gejala neurology timbul secara progresif

berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi

transcentorial.

Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari

sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran,

nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Ciri

perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.

Gambar 3.8: Epidural Hematom

2) Perdarahan Subdural

Lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira 30 % dari

cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-

vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat

vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh

arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi

seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih

berat dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.

Gambar 3.9: Subdural Hematom

3) Kontusio dan Perdarahan Intracerebral

Page 22: ckb ich

Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal,

walau terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan

cerebellum. Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari

atau jam mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral.  Apabila

lesi meluas dan terjadi

penyimpangan neurologist lebih lanjut.

4) Cedera Difus

Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang

normal, namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan

dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan

lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio

ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus (CAD).

Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat

akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering

terjadi pada cedera kepala. Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana

kesadaran tetap tidak terganggu, namun terjadi disfungsi neurologist yang

bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun

karena ringan sering kali tidak diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari

kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia

retrograd, amnesia integrad (keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan

sesudah cedera).

Komusio cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunya

atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia

pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera.

Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan

reversible. Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam

waktu kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik

pulih kembali tanpa cacat neurologist, namun pada beberapa penderita

dapat timbul deficit neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist itu

misalnya : kesulitan mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta

gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio

yang dapat cukup berat.

Cedera Aksonal difus (Diffuse Axonal Injuri, DAI) adalah penderita

mengalami coma pasca cedera, berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh

suatu lesi masa atau serangan iskemi. Biasanya penderita dalam keadaan

Gambar 3.10: Intracerebral hematom

Page 23: ckb ich

koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu, penderita sering

menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering tetap

dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering

menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis,

hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.

3) Berdasarkan tingkat keparahan

Tingkat kesadaran yang diukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS) telah

digunakan untuk mengklasifikasikan derajat keparahan cedera kepala, yakni:

Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan

Commotio Cerebri

o Skor GCS 13-15

o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit

o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala

o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada

pemeriksaan neurologist.

Cedera Kepala Sedang (CKS)

o Skor GCS 9-12

o Ada pingsan lebih dari 10 menit

o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad

o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.

Cedera Kepala Berat (CKB)

o Skor GCS <8

o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat

o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif

Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.

Perlu ditekankan di sini bahwa penilaian derajat gangguan kesadaran ini

dilakukan sesudah stabilisasi sirkulasi dan pernafasan guna memastikan bahwa

defisit tersebut diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh sebab yang lain.

Skala ini yang digunakan untuk menilai derajat gangguan kesadaran,

dikemukakan pertama kali oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974.

Penilaiannya adalah berdasarkan respons membuka mata (= E), respon motorik

(= M), respon verbal (= V). Daftar penilaian GCS selengkapnya adalah seperti

terlihat pada tabel di bawah:

Kemampuan membuka kelopak mata (E)

Secara spontan    4

Page 24: ckb ich

Atas perintah     3 Rangsangan nyeri    2 Tidak bereaksi    1

Kemampuan komunikasi (V)

Orientasi baik    5 Jawaban kacau    4 Kata-kata tidak berarti   3 Mengerang     2 Tidak bersuara    1

Kemampuan motorik (M)

Kemampuan menurut perintah  6 Reaksi setempat    5 Menghindar     4 Fleksi abnormal    3 Ekstensi     2 Tidak bereaksi    1

* GCS sum score = (E+M+V); best possible score = 15, worst possible score = 3

Adapun pembagian cedera kepala lainnya:

1. Simple Head Injury, dapat ditegakkan berdasarkan:

Ada riwayat trauma kapitis

Tidak pingsan

Gejala sakit kepala dan pusing

Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat

simptomatik dan cukup istirahat.

2. Commotio Cerebri

Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung

tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan

jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin

muntah dan tampak pucat.

Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau

terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri

mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan

sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini

timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis.

Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG,

pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk

observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi bertahap.

3. Contusio Cerebri

Page 25: ckb ich

Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di

dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata,

meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting

untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika

itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi

yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh

karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga

menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis

difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu,

kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung.

Timbulnya lesi contusio di daerah “coup”, “contrecoup”, dan

“intermediate” menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa

refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli

kembali, si penderita biasanya menunjukkan “organic brain syndrome”.

Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang

beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah

cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi

rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena

pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan

bisa timbul.

Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi

dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan

antiserebral edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan

7-10 hari.

4. Laceratio Cerebri

Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan

robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan

subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat

dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.

Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan

oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur

depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh

deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.

5. Fracture Basis Cranii

Page 26: ckb ich

Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa

posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang

terkena. Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:

Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding

Epistaksis

Rhinorrhoe

Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:

Hematom retroaurikuler, Ottorhoe

Perdarahan dari telinga

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.

Komplikasi:

Gangguan pendengaran

Parese N.VII perifer

Meningitis purulenta akibat robeknya duramater

Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi

terapinya harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk

mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang

berlangsung lebih dari 6 hari.

4. Mekanisme

Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung

pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa

fraktur tulang tengkorak. Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom

epidural, subdural dan intraserebral. Cedera difus dapat mengakibatkan gangguan

fungsi saja, yaitu gegar otak atau cedera struktural yang difus.

Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah. Gelombang ini

mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi kerusakan

jaringan otak di tempat benturan yang disebut “coup” atau ditempat yang

berseberangan dengan benturan (contra coup).

5. Patofisiologi

1) Cedera primer

Luka primer termasuk transfer eksternal dari energi kinetik ke berbagai komponen

struktur otak (misal neuron, sinaps saraf, sel glial, akson, dan pembuluh darah

cerebral). Desakan zat biokimia bertanggung jawab terhadap luka otak primer dapat

diklasifikasikan secara umum sebagai concussive/compressive (misal pukulan benda

tumpul, luka penetrasi peluru) dan akselerasi/deselerasi (misal pergerakan otak akibat

Page 27: ckb ich

kecelakaan bermotor). Luka primer terkategori selanjutnya sebagai fokal (misal luka

memar, hematoma) atau difusse.

2) Cedera sekunder

Suatu rangkaian patofisiologi yang kompleks dipercepat oleh cedera otak primer

dapat mengganggu secara serius terhadap keseimbangan antara kebutuhan dan supply

oksigen di CNS. Hipotensi selama periode awal pasca trauma merupakan penyebab

utama terhadap ketidakseimbangan yang terjadi dan faktor yang menentukan outcome.

Hasil akhir dari ketidakseimbangan ini dapat menimbulkan iskemia cerebral, yang

merupakan kunci patofisiologi pemicu luka sekunder.

Gangguan metabolisme jaringan otak akan mengakibatkan oedem yang dapat

menyebabkan herniasi jaringan otak melalui foramen magnum, sehingga jaringan otak

tersebut dapat mengalami iskemi, nekrosis, atau perdarahan dan kemudian meninggal.

Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Cedera

kepala dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen dan glukosa, yang terjadi karena

berkurangnya oksigenisasi darah akibat kegagalan fungsi paru atau karena aliran darah

ke otak yang menurun, misalnya akibat syok. Karena itu, pada cedera kepala harus

dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak

terganggu sehingga oksigenisasi cukup.

6. Diagnosis

Umum: derajat kesadaran melalui system GCS

Gejala: amnesia pasca trauma (lebih dari 1 jam), pusing yang bertambah, sakit

kepala sedang sampai berat, kelemahan anggota badan, atau paresthesia

mungkin mengindikasikan cedera yang lebih berat

Tanda: CSF otorrhea atau rhinorhea dan kejang mungkin mengindikasikan

cedera yang lebih berat. Kemunduran status mental yang cepat sangat

menandakan adanya lesi yang meluas dalam tengkorak.

Tes laboratorium : ABGs (Arterial Blood Gas) mengindikasikan hipoksia

(penurunan PaO2) atau hypercapnia yang menandakan gangguan

ventilasi/pernafasan

Tes diagnosa lain:

o CT scan kepala: alat diagnosa penting untuk mendeteksi adanya massa

lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.

o Lumbal Pungsi: menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus

dilakukan sebelum 6 jam dari saat terjadinya trauma

o EEG: mencari lesi

Page 28: ckb ich

o Roentgen foto kepala: melihat ada tidaknya fraktur tulang tengkorak

Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:

Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:

a. Battle sign (warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)

b. Hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga)

c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)

d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)

e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;

a. Pasien tertidur atau kesadaran menurun beberapa saat kemudian sembuh.

b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.

c. Mual atau dan muntah.

d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.

e. Perubahan keperibadian diri.

f. Letargik.

Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;

a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak

menurun atau meningkat.

b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).

c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).

d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi

abnormal ekstremitas.

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal cedara kepala pada dasarnya bertujuan untuk memantau

sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan

umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel otak yang

sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung tingkat keparahannya, berupa

cedera kepala ringan, sedang, atau berat. (ariwibowo, 2008).

Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam

penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway,

breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan

resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat

survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan

mencegah homeostasis otak(ariwibowo, 2008).

Page 29: ckb ich

Gambar 3.11: Penatalaksanaan Awal pada Cedera Kepala

Page 30: ckb ich

CKR : Perawatan selama 3-5 hari Mobilisasi bertahap Terapi simptomatik Observasi tanda vital

CKS : Perawatan selama 7-10 hari Anti cerebral edem Anti perdarahan Simptomatik Neurotropik Operasi jika ada komplikasi

CKB : Seperti pada CKS Antibiotik dosis tinggi Konsultasi bedah saraf

Penatalaksanaan untuk pasien tidak sadar (Standar Pelayanan Medik, 2009):

1. Suportif ABC

a. A airway (jalan nafas)

b. B breathing (pernafasan)

c. C circulation (sirkulasi/peredaran darah)

Mengatasi syok hipovolemik

Page 31: ckb ich

Infus dengan cairan kristaloid :

Ringer laktat

NaCl 0,9%; D5%; 0,45 saline

Infus dengan cairan koloid

Transfusi darah

2. Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial

a. Manitol 0,5-1 gr/kgBB, diberikan dalam waktu 20 menit diulang tiap 4-6 jam

b. Furosemid 1-2 mg/kgBB

c. Hiperventilasi dengan mempertahankan PaCO2 25-30 mmHg

3. Koreksi gangguan elektrolit asam basa

4. Antikonvulsan bila perlu

5. Antibiotik profilaksis

6. Nutrisi

7. Operasi Cedera Kepala

Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis

tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal, kontrol

pendarahan dan mencegah perdarahan ulang.

lndikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini :

Status neurologis

Status radiologis

Pengukuran tekanan intrakranial

Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :

Massa hematoma kira-kira 40 cc

Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm

EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah>4 cm

dengan GCS 8 atau kurang.

Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau

pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm.

Pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai berkembangnya

tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25 mm Hg.

lndikasi Burr hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak

memungkinkan dan didapat :

Dilatasi pupil ipsilateral

Hemiparese kontralateral

Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba

Page 32: ckb ich

8. Evaluasi Pasca Cidera

Komplikasi kejang dan meningitis tidak selalu terjadi ketika berada di rumah

sakit dan dapat terjadi kemudian

Jika terjadi kejang, penting bagi pasien untuk menemukan tempat tertentu

yang aman bagi pasien dan tidak lupa menyarankan memanggil ambulan

Jika terjadi sakit kepala yang semakin meningkat, penting untuk segera

menghubungi dokter dan bila keluar cairan dari hidung penting bagi pasien

untuk segera ke instalasi gawat darurat

Jika pasien mulai merasa tidak nyaman, demam atau terjadi kekakuan pada

leher atau tidak mampu mentolerir cahaya terang maka penting untuk segaera

dibawa ke rumah sakit.

9. Komplikasi

Kejang Pasca Trauma

Pada sebagian penderita trauma kapitis dapat terjadi serangan kejang. Serangan

ini dapat timbul dini pada minggu-minggu pertama sesudah trauma, mungkin

pula timbul berbulan-bulan sesudahnya. Epilepsi lambat cenderung terjadi pada

pasien yang mengalami serangan kejang dini, fraktur impresi dan hematoma

akut. Epilepsi juga lebih sering terjadi pada trauma yang menembus durameter.

Lesi di daerah sekitar sulkus sentralis cenderung menimbulkan epilepsi fokal.

Insiden epilepsi  setelah fraktur impresi sebesar 7 sampai 9,5 persen, dan

semata-mata ditentukan oleh kerusakan otak pada saat impak. 

Infeksi (meningoencephalitis)

Gangguan neurologis, dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII

dan gangguan N. VIII, disartria, disfagia, kadang ada hemiparese.

Sindrom pasca trauma, dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi

berkurang, libido menurun, mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar,

mudah lupa, gangguan tingkah laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan,

penurunan intelegensia, menarik diri, dan depresi.

10. Prognosis

Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma

kapitis serta menilai kemungkinan prognosis pada pasien.

Page 33: ckb ich

C. PERDARAHAN INTRASEREBRAL

1. Definisi

Intraserebral atau intraparenkim hematoma adalah area perdarahan yang homogen

dan konfluen yang terdapat di dalam parenkim otak.12

2. Etiologi

Intraserebral hematoma bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak

dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat

trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu

di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.

3. Patofisiologi

Patogenesis dari perdarahan intraserebral belum diketahui secara jelas tetapi

diduga disebabkan oleh deformasi dan pecahnya pembuluh darah intrinsik (tunggal

atau multipel) pada waktu cedera terjadi. Kerusakan dari beberapa pembuluh darah

kecil menyebabkan penggabungan dari banyak perdarahan yang kecil-kecil.

Hematoma yang besar berperan menjadi lesi desak ruang dan menyebabkan

peningkatan tekanan intrakranial dan menghasilkan herniasi transtentorial. 11

Perdarahan intraserebral dapat berdiri sendiri atau sebagai bagian dari komplek

perdarahan intradural. Perdarahan intraserebral yang terisolasi lebih sering muncul

pada orang tua. Mekanisme perkembangan dari traumatik perdarahan intraserebral

adalah sama dengan perdarahan spontan intraserebral dimana arteri atau arteriol pecah

oleh kekuatan hantaman atau ruptur secara spontan, menyebabkan darah di bawah

tekanan arteri keluar ke parenkim otak. Perdarahan berhenti ketika tekanan jaringan

sekitar bekuan darah mencapai tekanan yang sama dengan tekanan arteri yang pecah.

Bekuan darah dapat tetap berada didalam parenkim otak atau keluar ke dalam

ventrikel, daerah subdural atau area subarakhnoid. Terdapat cincin dari daerah iskemia

sekitar hematoma, dimana akan menjadi daerah penumbra yang dimana secara

fungsional tidak berfungsi tetapi potensial sebagai jaringan yang dapat diperbaiki. 11

Cedera kepala primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak

difusa yang dimana masing-masing memiliki mekanisme etiologis dan patofisiologi

yang unik. Fraktur tulang kepala dapat disertai atau tanpa kerusakan otak, namun

biasanya jejas ini bukan penyebab utama timbulnya kecacatan neurologis. Cedera otak

pada umumnya merupakan akibat trauma langsung pada vaskular atau saraf, atau

sebagai akibat langsung dari adanya defek massa. Cedera fokal merupakan akibat

kerusakan setempat yang biasanya didapatkan pada kira-kira setengah dari kasus

cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematoma subdural,

Page 34: ckb ich

epidural dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata telanjang

sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas. Cedera otak difusa secara prinsip

berbeda dengan cedera fokal, dimana keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak

yang luas, serta biasanya tidak tampak secara makroskopis. Mengingat kebanyakan

melibatkan akson, maka cedera ini juga dikenal dengan nama cedera aksonal difusa.13

Hematoma intraserebral traumatika yang besar jarang dijumpai. Mengingat bahwa

keadaan ini kerap berkaitan dengan kontusi kortikal yang luas, maka kebanyakan

tampak sebagai suatu kontusi yang melibatkan disrupsi pembuluh darah yang lebih

luas dan lebih dalam. Hematoma yang lebih kecil biasanya tidak berhubungan dengan

kontusi, dan mungkin lebih banyak disebabkan oleh kumpulan gelombang hantaman

yang ditimbulkan oleh benturan atau cedera jaringan bagian dalam akibat akselerasi. 13

Kerusakan otak sekunder paling sering disebabkan oleh hipoksia dan hipotensi,

hipoksia dapat timbul akibat dari adanya aspirasi, obstruksi jalan nafas, atau cedera

thoraks yang bersamaan dengan cedera kepala. Hipotensi pada penderita cedera kepala

biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah kontusi atau merupakan tahap akhir dari

kegagalan meduler yang berkaitan dengan herniasi serebral. Jarang sekali akibat

cedera kepalanya sendiri atau dengan kata lain adanya syok pada penderita cedera

kepala perlu diperiksa dengan cermat untuk mencari perdarahan diluar kepala. Edema

otak traumatik merupakan keadaan dan gejala patologis, radiologis maupun gambaran

intraoperatif yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala, dimana keadaan ini

mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift)

dan peningkatan tekanan intrakranial. Edema serebral yang mencapai maksimal pada

hari ketiga pasca cedera dapat menimbulkan defek massa yang bermakna. 13

4. Gejala

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain penurunan kesadaran, derajat

penurunan kesadaran dipengaruhi oleh mekanisme dari energi trauma yang dialami.

Sedangkan gejala klinis dari cedera kepala difusa sebagai lanjutan dari perdarahan

intraserebral adalah sangat bervariasi bergantung pada luas cedera dan lokasi. Yang

paling ringan bisa berupa gangguan saraf kranial, kelumpuhan anggota gerak,

gangguan otonom, gejala peningkatan tekanan intrakranial hingga penderita jatuh

kondisi koma. 12

5. Pemeriksaan penunjang

1. Foto polos tengkorak (skull X-ray)

Mengingat hanya sedikit informasi yang didapat dari pemeriksaan ini yang

dapat mengubah alternatif pengobatan yang diberikan pada penderita cedera

Page 35: ckb ich

kepala, maka pemeriksaan ini sudah mulai ditinggalkan dan digantikan dengan

pemeriksaan yang lebih canggih seperti CT-scan dan MRI. Informasi yang bisa kita

dapatkan dari pemeriksaan ini adalah:

Fraktur tulang kepala, diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai

lokasi dan tipe fraktur, baik bentuk linear, stelata atau depresi

Adanya benda asing

Pneumocephalus

Brain shift, kalau kebetulan ada kalsifikasi kelenjar pineal

2. CT-scan

Pemeriksaan ini merupakan metode diagnostik standar terpilih “gold standard”

untuk kasus cedera kepala mengingat selain prosedur ini tidak invasif juga

memiliki kehandalan yang tinggi, dalam hal ini dapat diperoleh informasi yang

lebih jelas tentang lokasi dan adanya perdarahan intrakranial, edema, udara, benda

asing intrakranial, serta pergeseran struktur dalam otak.13

Pada CT-scan dengan perdarahan akut maka akan terlihat suatu area dengan

peningkatan atenuasi atau hiperdens (putih) dengan dikelilingi daerah hipodens

(gelap) yang edema. Ketika bekuan darah muncul seiring waktu, edema meningkat

lebih banyak dalam 4 hari dan bekuan darah menjadi area isodens dalam beberapa

minggu. Batas cairan dalam hematoma mengindikasikan koagulapati dan pencairan

dari bekuan darah, atau terkait pencairan jaringan serebral yang ekstensif dan

sebagai prognosis yang buruk. 11

Impresi fraktur dianggap bermakna apabila tabula eksterna segmen yang

impresi (misalnya kontusio serebri atau intraserebral hematoma) masuk dibawah

tabula interna segmen tulang yang sehat (> 1 diploe). 12

Indikasi operasi pada fraktur impresi adalah apabila fraktur impresi lebih dari 1

diploe atau terdapat lesi intrakranial dibawah segmen yang impresi (misalnya

kontusio serebri atau intraserebral hematoma) atau terdapat defisit neurologis yang

sesuai dengan daerah yang impresi. 12

6. Terapi

1. Terapi konservatif

Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah obat-obatan golongan

dexamethason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg setiap 6 jam),

mannitol 20% yang bertujuan untuk mengatasi edema serebri. tetapi kedua jenis obat

tersebut hingga saat ini masih kontroversial pendapat mana yang terbaik untuk dipilih.

Dan juga diberikan obat-obatan anti kejang seperti fenitoin yang dimana dianjurkan

Page 36: ckb ich

diberikan sebagai terapi profilaksis sedini mungkin (dalam 24 jam pertama) untuk

mencegah timbulnya fokus epiletogenik, untuk penggunaan jangka panjang dapat

dilanjutkan dengan karbamazepin. 13

Pada fraktur impresi terbuka, tindakan pertama yang harus dilakukan oleh dokter di

ruang gawat darurat adalah segera membersihkan dan mencuci dengan cairan NaCl

0,9% steril kemudian dilakukan penjahitan luka jika penemuan kasus dilakukan

dengan golden period. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko infeksi karena

terdapat hubungan dunia luar dengan ruang intrakranial. Selanjutnya dilakukan

pemeriksaan penunjang dan segera dikonsulkan ke rumah sakit yang memiliki

pelayanan bedah saraf.12

2. Terapi operatif

Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai indikasi tindakan operatif adalah

adanya lesi massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah ≥ 5 mm. Kasus kasus

dengan lesi massa intrakranial yang mempunyai indikasi operasi, berkaitan dengan

predileksi lokasi khususnya di lobus frontal bagian inferior dan lobus, biasanya insisi

kulit, biasanya insisi kulit yang kerap dilakukan dalam tindakan kraniotomi adalah

berbentuk “tanda tanya”. Bila ada penurunan kesadaran/perburukan klinis yang

progresif, perlu dilakukan tindakan operasi dekompresi berupa kraniektomi untuk

mengurangi tekanan batang otak dan kemungkinan terjadinya herniasi tentorial. 13

Tindakan operasi pada cedera kepala terbuka agak berbeda dengan cedera kepala

tertutup. Pada cedera kepala terbuka yang menjadi tujuan adalah debridemant jaringan

otak nekrotik, mengangkat fragmen tulang atau korpus alienum, menghentikan

perdarahan, evakuasi hematoma dan penutupan duramater dan kulit yang kedap air.

Pembukaan kranial disini cenderung terbatas : berupa insisi linear huruf “S” atau flap

berbentuk “U” dan dilanjutkan dengan kraniektomi atau kraniotomi kecil. 13

Page 37: ckb ich

BAB III

PENUTUP

Cedera kepala dapat menyebabkan kematian tetapi juga bisa

mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya tergantung lokasi

dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.Terjadinya cedera kepala,

kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer yang

merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa, dan cedera

sekunder yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul

sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer.

Aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa

klasifikasi yaitu berdasar mekanismenya, beratnya, dan morfologinya.

Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang

menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi,

apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan

fungsi yang terjadi juga tergantung bagian otak mana yang terkena.

Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan,

sensasi, berbicara, penglihatan dan pendengaran.

Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola

tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma.

Page 38: ckb ich

DAFTAR PUSTAKA

1. Wedro B C, Stoppler MC. Head Injury Overview. on emedicine health. Available at http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey =59402&page=1#overview

2. Thai T J G K. Helmet protection against basilar skull fracture. Biomechanical of basilar skull fracture. On ATSB Research and analysis report road safety research grant report 2007-03. Australia 2007

3. Qureshi N H, Harsh G, Nosko M G, Talavera F, Wyler A R, Zamboni P. Skull fracture. On emedicine health 2009. Available at http://emedicine.medscape.com/article/248108-clinicalmanifestations last update 10 mei 2011

4. Krauss F.Jess: 1993; Epidemology of head injury, Cooper R.Paul (ed) head injury, Baltimore, USA, William & Wilkins.

5. Cedera Kepala dalam American College of Surgeon. Advance Trauma Life Support. 1997. USA: First Impression. Halaman 196-235.

6. Dwliel F.Kelly.Curtis.D.Donald P.Becker: 1996 General principles of head injury management dalam Narayan Raj.K, James E. Wilberger Jr, Jhon.Povlishock (ed); Neuro trauma

7. Rathore MH. Do prophylactic antibiotics prevent meningitis after basilar skull fracture Pediatric Infect Dis J 1991;10:87–8.

8. Bachrudin, M. Dasar-Dasar Neurologi. 2008.

9. Melbourne Neurosurgery. Skull Fracture. 2000.

10. Moore K.L., Agur A.M.R. 2002. Essential Clinical Anatomy. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

11. Reilly, Peter L And Bullock, Ross. 2005. Head Injury-Pathophysiology And Management. Oxford University Press : New-York

12. Sadewo dkk. 2011. Sinopsis Ilmu Bedah Saraf. Penerbit FKUI : Jakarta

13. Satynegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. PT Gramedia : Jakarta.

14. Daniel F.Kelly,D.L.Nikos,D.P.Becker: 1996, Diagnosis and treatmen of moderate and severe head injuries (ed) neurological surgery, Philadelphia, USA, W.B.Sauders and co.