preskas anestesi ga - ich sah edh

Upload: anonymous-ot2xhy1u

Post on 08-Jan-2016

36 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

presentasi kasus

TRANSCRIPT

Presentasi Kasus

SEORANG PEREMPUAN 57 TAHUN DENGAN ICH REGIO TEMPOROPARIETALIS (S), EDH REGIO TEMPOROPARIETALIS (D), SAH REGIO OCCIPITALIS PRO CRANIOTOMY EVAKUASI ICH DENGAN STATUS FISIS ASA III PLAN GAET

Oleh:Ekkim Al KindiG99141057

PEMBIMBING:dr. Ardana Tri Arianto, MSi.Med., Sp.An.,

KEPANITERAAN KLINIKSMFANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIFFAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDISURAKARTA20151

3

39

BAB ILAPORAN KASUS

I. ANAMNESISA. Identitas PenderitaNama: Ny. CSUmur: 57 tahunAgama: IslamPekerjaan: -Alamat: MojosongoTanggal masuk: 8 September 2015Tanggal pemeriksaan: 10 September 2015No RM: 013131xx

B. Data Dasar1. Keluhan UtamaPenurunan kesadaran post KLL.2. Riwayat Penyakit SekarangPasien di serempet sepeda motor saat sedang mengendarai motor 2 jam SMRS. Pasien jatuh dengan posisi kepala membentur aspal, pingsan (+), mual (-), muntah (-). Oleh penolong pasien dibawa ke klinik Mojosongo, pasien diinfus dan diberi obat-obatan. Oleh keluarga, pasien dibawa ke RSUD Dr. Moewardi.3. Riwayat Penyakit DahuluRiwayat cedera kepala sebelumnya: disangkalRiwayat diabetes mellitus: disangkalRiwayat alergi obat: disangkalRiwayat asma: disangkal4. Riwayat Penyakit KeluargaRiwayat diabetes mellitus: disangkalRiwayat alergi obat: disangkalRiwayat asma: disangkal5. Riwayat KebiasaanMerokok: disangkalMinuman beralkohol: disangkalKetergantungan obat: disangkal6. Riwayat asupan giziPasien makan makanan keluarga satu hari tiga kali makan dengan nasi, lauk dan sayur.Kesan: asupan gizi baik. 7. Riwayat Sosial EkonomiPasien berobat dengan BPJS.

II. PEMERIKSAAN FISIKA. Primary SurveyAirway:Terpasang oropharyngeal tubeBreathing: Inspeksi: Pengembangan dada kanan=kiriPalpasi: Fremitus raba kanan=kiri, krepitasi (-/-)Perkusi: Sonor/sonor Auskultasi:Suara dasar vesikuler (+/+), ST (-/-)Circulation: Tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 69 x/menit, RR 22x/menit.Disability: GCS: E1VxM1, pupil anisokor ukuran 3 mm/ 2 mm Exposure :jejas (+) terdapat hematom R. occipitalis (D)B. Secondary SurveyStatus gizi:Berat badan: 50 kgTinggi badan: 155 cmBMI: 20.81 (normoweight)Kulit:Sawo matang, turgor menurun (-), lembab (-), ikterik(-) Kepala : terdapat hematom R. occipitalis (D)Mata:Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Telinga:Sekret (-), nyeri tekan tragus (-), darah (-)Hidung: Epistaksis (-/-), nafas cuping hidung (-), sekret (-)Mulut: Sianosis (-), mukosa basah (+)Leher:Trakhea di tengah, simetris, massa/pembesaran limfonodi (-), JVP tidak meningkatThoraks :Bentuk normothoraks, retraksi dinding dada (-)Cor: Inspeksi: Ictus cordis tidak tampakPalpasi:Ictus cordis teraba di SIC IV linea midclavicularis, tidak kuat angkatPerkusi : Batas jantung dalam batas normalAuskultasi: BJ I-II int normal, reguler, bising (-)Pulmo: Inspeksi: Pengembangan dada kanan=kiriPalpasi: Fremitus raba kanan=kiri, krepitasi (-/-)Perkusi: Sonor/sonorAuskultasi:Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (-/-)Abdomen:Dinding perut // dinding dada, supel, timpani, hepar dan lien tidak terabaEkstremitas:Oedem-- Akral Dingin - --- - -

III. PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan laboratorium tanggal 8 September 2015PEMERIKSAANHASILSATUANRUJUKAN

Hematologi rutin

Hemoglobin13.3g/dl10.8-12.8

Hematokrit 41%35-43

Leukosit 23.1Ribu/ul5.5-17.0

Trombosit 463Ribu/ul150-450

Eritrosit 4.66Juta/ul3.90-5.30

Golongan O

Hemostasis

PT15.0detik10.0-15.0

APTT27.0detik20.0-40.0

INR1.250

Hematologi Klinik

GDS209mg/dl60-140

Ureum23mg/dl 5 mmPenanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi sederhana (burr hole). Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma. Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang. Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume (American Collage Surgeon, 2004):1) > 25 cc desak ruang supra tentorial2) > 10 cc desak ruang infratentorial3) > 5 cc desak ruang thalamusIndikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan (American Collage Surgeon, 2004):1) Penurunan klinis.2) Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis yang progresif.3) Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis yang progresif.d. Nonmedikamentosa1) Posisi TidurPenderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar (Japardi, 2002).2) Nutrisi AdekuatPada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari (Japardi, 2002).7. PrognosisPrognosis tergantung pada (Heegaard & Biros, 2007):a. Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )b. Besarnyac. Kesadaran saat masuk kamar operasi.Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi (Heegaard & Biros, 2007).8. KomplikasiKomplikasi cedera kepala yang mungkin terjadi diantaranya adalah sebagai berikut (Price & Wilson, 2006):a. Cedera otak sekunder akibat hipoksia dan hipotensib. Edema serebralc. Hernia jaringan otakd. Infeksie. Emboli lemakf. Hidrosefalus g. Fistula cairan serebrospinalis

B. MANAJEMEN ANESTESI PADA CEDERA KEPALA BERAT1. Preoperatifa. Penilaian awal kondisi pasien1) Penilaian neurologi (Dunn, 2000).a) Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan metode yang sederhana dan diterima secara universal untuk menilai tingkat kesadaran dan status neurologis pasien dengan trauma kepala. Skor GCS 130 mmHg.d) Infus dengan NaCl 0.9%, batasi pemberian RL, bias diberikan koloid. Hematokrit pertahankan 33%.e) Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada pasien sehat ( bukan kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%.f) Untuk mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb dengan kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin terjadi kejang berikan diazepam 5-10 mg intravena (0,3 mg/kg bb) perlahan lahan selama 1-2 menit.

C. Anestesi1. DefinisiAnestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri.Anestesi umumialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat.Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena.Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin. (Munaf, 2008).Dalam tesis Nainggolan (2011), untuk menentukan prognosis ASA (American Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahandarurat dengan mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.Menurut Kee et al (1996), Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering dipakai dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari:a. Hipnotik diberikan semalam sebelumnyab. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya, midazolam dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk mengurangi sekresi diberikan kira-kira 1 jam sebelum pembedahanc. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental (Pentothal)d. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigene. Pelemas otot jika diperlukan

2. Tahap-tahap AnestesiStadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran.Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi.Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan.Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut.Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Munaf, 2008).

Tabel 2.1. Tahap AnestesiTahapNamaKeterangan

1AnalgesiaDimulai dengan keadaan sadar dan

Diakhiridengan hilangnyakesadaran.

Sulit untuk bicara; indra penciuman dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta halusinasi pendengaran dan penglihatan mungkin terjadi. Tahap ini dikenal juga sebagai tahap induksi.

2Eksitasi atau deliriumTerjadi kehilangan kesadaran akibatpenekanan korteks serebri. Kekacauanmental, eksitasi, atau delirium dapat terjadi. Waktu induksi singkat.

3SurgicalProsedur pembedahan biasanya dilakukan pada tahap ini

4Paralisis medularTahap toksik dari anestesi. Pernapasan

hilang dan terjadi kolaps sirkular. Perlu diberikan bantuan ventilasi.

Sumber: E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi.Edisi 10. Jakarta: EGC.

3. Sifat-Sifat Anestesi Umum yang IdealSifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar;(4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP (Munaf, 2008).4. Anestesi Cair yang Menguapa. HalotanEfek terhadap Sistem dalam Tubuh1) KardiovaskularDepresi miokard bergantung pada dosis, penurunan otomatisitas sistem konduksi, penurunan aliran darah ginjal dan splanknikus dari curah jantung yang berkurang, serta pengurangan sensitivitas miokard terhadap aritmia yang diinduksi katekolamin yang menyebabkan terjadinya hipotensi untuk menghindari efek hipotensi yang berat selama anestesi, yang dalam hal ini perlu diberikan vasokonstriktor langsung, seperti fenileprin (Munaf, 2008).2) PernapasanDepresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat menyebabkan menurunnya volume tidal dan sensitivitas terhadap pengaturan respirasi yang dipacu oleh CO2.Pemberian bronkodilator poten sangat baik untukmengurangi spasme bronkus (Munaf, 2008).3) Susunan Saraf PusatHilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang menyebabkan tekanan intrakranial menurun (Munaf, 2008).4) GinjalMenurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal disebabkan oleh curah jantung yang menurun (Munaf, 2008).5) HatiAliran darah ke hati menurun (Munaf, 2008).6) UterusMenyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam manipulasi kasus obstetrik (misalnya penarikan plasenta) (Munaf, 2008).MetabolismeSebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20% melalui metabolisme di hati.Metabolit berupa bromida dan asam trifluoroasetat (Munaf, 2008).Keuntungan dan KerugianPotensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik, iritasi jalan napas tidak ada, serta bronkodilator yang sangat baik. Sedangkankerugiannya adalah depresi miokard dan pernapasan, sensitisasi miokard terhadap aritmia yang diinduksi oleh katekolamin, serta aliran darah serebral menurun yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Munaf, 2008).Indikasi KlinikHalotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak karena ketidakmampuannya menginduksi inhalasi secara cepat dan status asmatikus yang refraktur.Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit intrakranial (Munaf, 2008).Efek samping/Toksisitas1) Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien yang mempunyai resiko adalah yang mengalami obesitas, wanita usia muda lebih banyak terjadi dengan periode waktu yang singkat; ditandai dengan nekrosis sentrilobuler; uji fungsi hati abnormal dan eosinofilia. Sindrom ini dapat juga terjadi dengan isofluran dan etran (Munaf, 2008).2) Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan peningkatan suhu tubuh secara belebihan, rigiditas otot rangka, serta dijumpai asidosis metabolik. Secara umum, hal ini berakibat fatal kecuali jika diobati dengan dantrolen yang merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari retikulum sarkoplasmik (Munaf, 2008).b. EnfluranEfek terhadap Sistem dalam Tubuh1) KardiovaskularDepresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator arterial, dan sensitisasi ringan miokard terhadap katekolamin (Munaf, 2008).2) RespirasiDepresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia ablasia yang disebabkan oleh bronkodilator (Munaf, 2008).3) Susunan Saraf PusatDapat menimbulkan kejang pada kadar enfluran tinggi dengan tekanan parsial CO2 (PCO2) menurun (hipokarbia); vasodilatasi serebral dengan meningkatnya tekanan intrakranial (Munaf, 2008).4) GinjalAliran darah ginjal dan GFR menurun (Munaf, 2008).MetabolisneSebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit utama, yaitu fluorida mempunyai potensi untuk menimbulkan nefrotoksis (sangat jarang digunakan secara klinis) (Munaf, 2008).Keuntungan dan kerugianSecara klinis, enfluran merupakan bronkodilator yang baik, respons kardiovaskular stabil, kecenderungan aritmia jantung minimal, dan tidak mengiritasi saluran napas.Sedangkan kerugiannya adalah Enfluran mempunyai potensi aktivitas kejang.Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan intrakranial yang meningkat disertai dengan gangguan patologik intrakranial (Munaf, 2008).c. IsofluranEfek terhadap Sistem dalam Tubuh1) KardiovaskularTerjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada dosis, sedangkan curah jantung biasanya normal disebabkan sifat vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal terhadap katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal oleh vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang berlebihan (Munaf, 2008).2) RespirasiDepresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia ventilasi, bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas (Munaf, 2008).3) GinjalGlomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal rendahdisebabkan tekanan arterial menengah yang menurun (Munaf, 2008).4) Susunan Saraf PusatEfek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen metabolik serebral menurun, dan merupakan obat pilihan untuk bedah saraf (Munaf, 2008).MetabolismeHanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya diekskresikan pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas (Munaf, 2008).Keuntungan dan KerugianKeadaan kardeiovaskular stabil, tidak bersifat aritmogenik, tekanan ntrakranial tidak meningkat, bronkodilator.Sedangkan kerugiannya adalah Iritasi jalan napas sedang (Munaf, 2008).d. SevofluranSevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak begitumenyengat, dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya cepat. Indikasi klinik: sebagai anestesi umum untuk melewati stadium 2 dan untuk pemeliharaan umum (Munaf, 2008).Tabel 2.2. Obat SevofluranObatAritmiaSensitivitasCurahTekananRefleksToksisitas

terhadapjantungDarahRespirasipada

katekolaminHepar

Halotan+++

Enfluran+

Isofluran----(stimulasi awal)--

Sevofluran------------

Nitrogen oksida------------

Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan.Edisi 11. Jakarta: EGC.

5. Anestesi IntravenaPada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk induksi cepat melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan dipertahankan dengan suatu anestesi umum per inhalasi.Karena anestesi IV ini cepat menginduksi stadium anestesi, penyuntikan harus dilakukan secara perlahan-lahan (Kee, et al (1996).

Tabel 2.3. Anestesi IntravenaObatWaktu induksiPertimbangan Pemakaian

Natrium ThiopentalCepatMasa kerja singkat. Dipakai untuk induksi cepat pada anestesi umum. Membuat pasien tetap hangat, karena dapat terjadi tremor. Dapat menekan pusat pernafasan, mungkin diperlukan bantuan ventilasi

Natrium TiamilalCepatDipakai untuk induksi anestesi dan anestesi untuk terapi elektrosyok

DroperidolSedang sampai cepatSering digunakan bersama anestesi umum. Dan juga dipakai sebagai obat preanestetik

Ketamin HidrokloridaCepatDipakai untuk pembedahan jangka singkat atau untuk induksi pembedahan. Obat ini meningkatkan salvias, tekanan darah, dan denyut jantung.

Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.

6. Anestesi GasObatWaktu InduksiPertimbangan pemakaian

Nitrous OksidaSangat CepatPemulihan cepat. Mempunyai efek minimal padakardiovaskuler. Harus diberikan bersama-sama oksigen. Potensi rendah

SiklopropanSangat CepatSangat mudah terbakar dan meledak. Jarang digunakan.

Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.

7. Penggolongan Muscle RelaxantAnalgesia adalah hilangnya sensasi nyeri.Relaksan otot adalah obat yang mengurangi ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju otot (misalnya kurare, suksinilkolin) (Grace, 2006).Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya' obat-obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi (mengganggu kerja asetilkolin).Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan singkat.Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid.Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi' blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi (Rachmat, et al., 2004).a. Muscle Relaxant Golongan DepolarizingPelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik.Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase (Mangku, 2010).1) Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung.obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang mencapaineuromuscular junction. Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang memanjang (Mangku, 2010).b. Ciri Kelumpuhan1) Ada fasikulasi otot.2) Berpotensiasi dengan antikolinesterase.3) Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot non depolarisasi dan asidosis.4) Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal maupun tetanik.5) Belum diatasi dengan obat spesifikc. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing.Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja (Latief, dkk, 2007).Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah pemberian cepat intravena.Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah' anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile. Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein' dehidrasi' atau perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai injeksi cepat intravena (Lunn, 2004).Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi digolongkan menjadi:1) Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium, doksakurium, mivakurium.2) Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.3) Eter-fenolik : gallamin.4) Nortoksiferin : alkuronium.Ciri Kelumpuhan OtotNon Depolarisasi tidak ada fasikulasi otot.1) Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi (eter, halotan, enfluran, isofluran)2) Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik.3) Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.8. Penawar Pelumpuh OtotAntikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa) (Mangku, 2010).9. AnalgesikMenurut kamus perobatan Oxford (2011), obat anti nyeri bermaksud suatu obat yang meredakan rasa nyeri. Obat anti nyeri ringan (aspirin dan parasetamol) digunakan untuk meredakan nyeri kepala, nyeri gigi dan nyeri reumatik ringan manakala obat anti nyeri yang lebih poten (narkotika atau opioid) seperti morfin dan petidin hanya digunakan untuk meredakan nyeri berat memandangkan ia bisa menimbulkan gejala dependensi dan toleransi. Sesetengah analgesik termasuk aspirin, indometasin dan fenilbutazon bisa juga meredakan demam dan inflamasi serta digunakan dalam kondisi rematik.a. Jenis-Jenis AnalgesikBerdasarkan sifat farmakologisnya, obat anti nyeri (analgesika) dibagi kepada dua kelompok yaitu analgesika perifer dan analgesika narkotika. Analgesika perifer (non-narkotika) terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral manakala analgesika narkotika digunakan untuk meredakan rasa nyeri hebat misalnya pada pesakit kanker (Suleman, 2006).b. Mekanisme Kerja Obat1) Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)Hampir semua obat AINS mempunyai tiga jenis efek yang penting yaitu :a) Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasib) Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeric) Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang meningkat.Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan tindakan awal obat-obat tersebut yaitu penghambatan arakidonat siklooksigenase sekaligus menghambat sintesa prostaglandin dan tromboksan (Rang et al., 2007).Terdapat dua tipe enzim siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-2.COX-1 merupakan enzim konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan termasuklah platlet darah (Rang et al., 2007).Enzim ini memainkan peranan penting dalam menjaga homeostasis jaringan tubuh khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit.Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif.COX-2 pula diinduksi dalam sel-sel inflamatori diaktivasi. Dalam hal ini, stimulus inflamatoar seperti sitokin inflamatori primer yaitu interleukin-1 (IL-1) dan tumour necrosis factor- (TNF- ), endotoksin dan faktor pertumbuhan (growth factors) yang dilepaskan menjadi sangat penting dalam aktivasi enzim tersebut.Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskular dan pada proses pembaikan jaringan. Tromboksan A2, yang disentesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif (Fendrick et al., 2008).2) Obat Anti Inflamasi SteroidMorgan Jr GE, Michail MS, Murray MJ (2006), Menjelaskan bahwa opioid didefinisikan sebagai senyawa dengan efek yang diantagonis oleh nalokson.a) Analgesik Opioid KuatAnalgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri tumpul yang tidak terlokalisasi dengan baik (viseral).Nyeri somatik dapat ditentukan dengan jelas dan bisa diredakan dengan analgesik opioid lemah.Morfin parenteral banyak digunakan untuk mengobati nyeri hebat dan morfin oral merupakan obat terpilih pada perawatan terminal.Morfin dan analgesik opioid lainnya menghasilkan suatu kisaran efek sentral yang meliputi analgesia, euforia, sedasi, depresi napas, depresi pusat vasomotor (menyebabkan hipotensi postural), miosis akibat stimulasi nukleus saraf III (kecuali petidin yang mempunyai aktifitas menyerupai atropin yang lemah), mual, serta muntah yang disebabkan oleh stimulasi chemoreceptor trigger zone.Obat tersebut juga menyebabkan penekanan batuk, tetapin hal ini tidak berkaitan dengan aktivitas opioidnya. Efek perifer seperti konstipasi, spasme bilier, dan konstriksi sfingter Oddi bisa terjadi.Morfin bisa menyebabkan pelepasan histamin dengan vasodilatasi dan rasa gatal.Morfin mengalami metabolisme dalam hati dengan berkonjugasi dengan asam glukoronat untuk membentu morfin-3-glukoronid yang inaktif, dan morfin-6-glukuronid, yaitu analgesik yang lebih poten daripada morfin itu sendiri, terutama bila diberi intratekal.Diamorfin (heroin, diasetilmorfin) lebih larut dalam lemak daripada morfin sehingga mempunyai awitan kerja lebih cepat bila diberikan secara suntikan.Kadar puncak yang lebih tinggi menimbulkan sedasi yang lebih kuat daripada morfin.Dosis kecil diamorfin epidural semakin banyak digunakan untuk mengendalikan nyeri hebat.Dekstromoramid mempunyai durasi kerja singkat (2-4 jam) dan dapat diberikan secara oral maupun sublingual sesaat sebelum tindakan yang menyakitkan.Metadon mempunyai durasi kerja panjang dan kurang sedatif dibandingkan morfin.Metadon digunakan secara oral untuk terapi rumatan pecandu heroin atau morfin. Pada pecandu, metadon mencegah penggunaan obat intravena.Kodein (metilmorfin) diabsorpsi baik secara oral, tetapi mempunyai afinitas sangat rendah terhadap reseptor opioid.Sekitar 10% obat mengalami demetilasi dalam hati menjadi morfin, yang bertanggung jawab atas efek analgesik kodein. Efek samping (kostipasi, mudah, sedasi) membatasi dosis ke kadar yang menghasilkan analgesia yang jauh lebih ringan daripada morfin. Kodein juga digunakan sebagai obat antitusif dan antidiare.3) Analgesik Opioid LemahAnalgesik opioid lemah digunakan pada nyeri ringan sampai sedang.Analgesik ini bisa menyebabkan ketrgantungan dan cenderung disalahgunakan.Akan tetapi, ibuprofen kurang menarik untuk pencandu karena tidak memberikan efek yang hebat.

BAB IVDAFTAR PUSTAKA

Anestesiologi.Edisi 2. Jakarta; Bagian Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 3: 66-70.Calvey TN, Williams NE., 1982. Principles and practice of pharmacology for anaesthetists.London; Blackwell Scientific Publications; 159-84.Campbell., 1995. Anesthesia. Blackwell scientific publication.E.B.C, et al., 2008.Anestesiologi.Edisi 10. Jakarta: EGC.Fendrick, A.M., Pan, D.E., and Johnson, G.E., 2008.OTC Analgesics and Drug Interactions: Clinical Implications. Osteopathic Medicine and Primary Care2 (2).Gerard M Doherty. Current Surgical Diagnosis and Treatment. Edisi 12. McGraw-Hill Companies. New York. p 245-259Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR., 2007. Pelumpuh Otot. Petunjuk PraktisLatief, S,A, Surjadi K, Dachlan R., 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Pertama. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h 41 9.Lunn JN., 2004. Farmakologi Terapan Anestesi Umum. Catatan KuliahAnestesi. Edisi 4. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC; 4: 86-93.Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An., 2010.Buku Ajar Ilmu Anestesidan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.Morgan Jr GE, Mikhail MS, Murray Mj., 2006. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: Mcgraw-Hill Companies.Munaf, S., 2008.Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC.Omoigui, S., 2009.Buku Saku Obat-Obatan.Edisi 11. Jakarta: EGC.Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., and Moore, P.K., 2007.Pharmacology. 5th ed. UK: Churchill Livingstone.Sabiston, D.C., 2005. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.Suleman, A., 2006. Tinjauan Farmakologis Obat-Obat Analgesik Untuk RasaNyeri. Dalam: Hasan, W., (eds). 2006. Info Kesehatan Masyarakat. FakultasKesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan: 90-97.