ch 16 kultur organisasi

Download Ch 16 Kultur Organisasi

If you can't read please download the document

Upload: okkicarolina

Post on 06-Dec-2014

200 views

Category:

Documents


50 download

TRANSCRIPT

KULTUR ORGANISASISetiap organisasi memiliki sebuah kultur dan bergantung pada kekuasaannya, kultur itu dapat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sikap dan perilaku anggota organisasi. Kultur organisasi yang kuat membantu mereka memahami cara segala sesuatu dilakukan disini. Kultur yang kuat juga memberikan stabilitas bagi sebuah organisasi. Tetapi, bagi sebagian organisasi, kultur yang kuat bisa menjadi hambatan besar untuk berubah. Institusionalisasi : Pelopor Kultur Institusionalisasi beroperasi untuk menghasilkan pemahaman yang sama antar anggota tentang apa yang semestinya dan secara fundamental, perilaku yang bermakna. Jadi ketika suatu organisasi menghadapi kemapaman institusional, cara berperilaku yang dapat diterima menjadi sangat jelas bagi anggota-anggotanya. Sebagaimana akan kita lihat, pada hakikatnya hal yang sama inilah yang dilakukan oleh kultur organisasi. Maka, pemahaman mengenai apa yang membentuk kultur sebuah organisasi dan bagaimana kultur tersebut diciptakan,dipertahankan dan dipelajari akan meningkatkan kemampuan kita untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku orang di tempat kerja. Definisi Kultur Organisasi Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang secara keseluruhan merupakan hakikat kultur sebuah organisasi. 1 Inovasi dan keberanian mengambil resiko. Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko. 2 Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis dan perhatian pada hal-hal detail. 3 Orientasi hasil Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut. 4 Orientasi orang

Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada dalam organisasi. 5 Orientasi tim Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada tim kketimbang pada individuindividu. 6 Keagresifan Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai. 7 Stabilitas Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankna dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan. Masing-masing karakteristik ini berada di suatu kontinum mulai dari rendah sampai tinggi. Karenanya, menilai organisasi berdasarkan ketujuh karakteristik ini akan menghasilkan suatu gambaran utuh mengenai kultur sebuah organisasi. Gambaran ini menjadi basis bagi sikap pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi, bagaimana segala sesuatu dilakukan didalamnya dan cara para anggota diharapkan berperilaku.

Kultur adalah suatu Istilah Deskriptif

Kultur organisasi adalah suatu istilah deskiptif. Ini penting karena hal ini membedakan konsep ini dari konsep-konsep kepuasan kerja. Penelitian mengenai kultur organisasi berupaya mengukur bagaimana karyawan memandang organisasi mereka. Sebaliknya kepuasan kerja berusaha mengukur respon afektif terhadap lingkungan kerja. Kepuasan kerja berhubungan dengan bagaimana karyawan merasakan ekspektasi organisasi, praktik imbalan dsb. Kedua istilah ini tidak disangsikan lagi memiliki karakteristik yang saling tumpang tindih dan harus diingat bahwa istilah kultur organisasi bersifat deskriptif sementara kepuasan kerja bersifat evaluatif.

Apakah Organisasi Memiliki Kultur yang Seragam?

Kultur organisasi mewakili persepsi yang sama dari para anggota organisasi. Karena itu, kita bisa berharap bahwa individu-individu yang memiliki latar belakang yang berbeda atau berada di tingkatan yang tidak sama dalam organisasi akan memahami kultur organisasi dengan pengertian yang serupa. Namun, pengakuan bahwa kultur organisasi memiliki pengertian yang sama tidak berarti bahwa tidak dimungkinkan adanya subkultur di dalam kultur tertentu. Jika organisasi tidak memiliki kultur dominan dan hanya tersusun atas banyak subkultur, nilai kultur organisasi sebagai sebuah variabel independen akan berkurang secara signifikan karena tidak akan ada keseragaman penafsiran mengenai apa yang merupakan perilaku yang semestinya dan perilaku yang tidak semestinya.

Kultur Kuat versus Kultur Lemah

Membedakan kultur yang kuat dari kultur yang lemah menjadi semakin populer dewasa ini. Argumennya disini adalah bahwa kultur yang kuat memiliki dampak yang lebih besar terhadap perilaku karyawan dan lebih terkait langsung dengan menurunnya perputaran karyawan. Dalam kultur yang kuat, nilai-nilai inti organisasi dipegang teguh dan dijunjung bersama. Kultur yang kuat akan memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku anggota-anggotanya karena kadar kebersamaan dan intensitas yang tinggi menciptakan suasana internal berupa kendali perilaku yang tinggi. Salah satu hasil spesifik dari kultur yang kuat adalah menurunnya tingkat perputaran karyawan. Keharmonisan tujuan semacam ini membangun kekompakan, loyalitas, dan komitmen keorganisasian. Sifat-sifat ini pada gilirannya memperkecil kecenderungan karyawan untk meninggalkan organisasi.

Kultur versus Formalisasi

Kita bisa memandang formalisasi dan kultur sebagai dua jalan yang berbeda menuju ke tujuan yang sama. Semakin kuat kultur sebuah organisasi, semakin kecil kebutuhan manajemen untuk menyusun dan menetapkan beragam aturan dan ketentuan formal yang dimaksudkan guna menuntun perilaku karyawan. Tuntunan itu akan diinternalisasikan dalam diri karyawan ketika mereka memeluk kultur organisasi tersebut. Kultur yang kuat mampu mengantar anggota organisasi mencapai tujuan yang sama tanpa perlu dokumentasi tertulis seperti yang diharapkan oleh formalisasi.

Kultur Organisasi versus Kultur Nasional

Penelitian menunjukkan bahwa kultur nasional memiliki dampak yang lebih besar terhadap karyawan daripada kultur organisasi mereka. Ini berarti bahwa bila kultur organisasi ditemukan memengaruhi pembentukan perilaku karyawan, kultur nasional demikian pula, bahkan lebih. Kesimpulan sebelumnya harus dikualifikasi untuk mencerminkan pilihan individual yang muncul pada tahap perekrutan. Kita bisa berharap bahwa proses seleksi karyawan akan digunakan oleh perusahaan multiasional untuk mencari dan merekrut pelamar kerja yang sesuai dengan kultur dominan organisasi mereka, sekalipun pelamar seperti ini agak atipikal (tidak lazim) untuk anggota negara mereka.

Apa Pengaruh Kultur ? Kita sedikit menyinggung mengenai dampak kultur organisasi terhadap perilaku. Dalam bagian ini, kira akan mengulas secara lebih saksama fungsi fungsi yang dijalankan oleh kultur dan menilai apakah kultur bisa merugikan sebuah organisasi.

Fungsi fungsi Kultur

Kultur memiliki sejumlah fungsi dalam sebuah organisasi. Pertama, hal ini berperan sebagai penent batas batas; artinya kultur menciptakan pebedaan atau distingsi antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Kedua, hal ini memuat rasa identitas anggota organisasi. Ketigam kultur memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan individu. Keempat, kultur meningkatkan stabilitas sistem sosial, kultur adalah perekat sosial yang membantu menyatukan organisasi dengan cara meneyediakan standar mengenai apa yang sebainya dikatakan dan dilakukan karyawan. Terakhir, kultur bertindak sebagau mekanisme sense making serta kendali yang menuntun dan membentuk sikap dan perilaku karyawan. Fungsi terakhir inilah yang paling menarik bagi kita. Sebagaimana dijelaskan oleh kutipan berikut, kultur mendefinisikan aturan main: Dalam definisinya, bersifat samar, tanmaujud, imlisit, dan begitu adanya. Tetapi, setiap mengembangkan sekumpulan inti yang berisi asumsi, pemahaman, dan aturan aturan implisit yang mengatur perilaku sehari hari di tempat kerja... Hingga para pendatang baru mempelajari aturan, mereka tidak diterima sebagai anggota penuh organisasi. Pelanggaran aturan oleh pihak eksekutif tinggi atau karyawan lini depan membuat publik luas tidak senang dan memberi mereka hukuman yang berat. Ketaatan pada aturan menjadi basis utama bagi pemberian imbalan dan mobilitas ke atas. Peran kultur dalam memengaruhi perilaku karyawan menjadi semakin penting di tempat kerja saat ini. Tatkala organiasi terus memperluas rentang kendali, meratakan struktur, memperkenalkan tim, mengurangi formalisasi, dan memberdayakan karyawan mereka, makna bersama yang diberikan oleh kultur yang kuat memastikan bahwa setiap orang dituntun ke arah yang sama. Sebagaimana akan kita lihat nanti di bab ini, siapa yang diterima untuk bergabung dalam organisasi, yang dinilai sebagai karyawan berkinerja tinggi, dan yang mendapatkan promosi sangat dipengaruhi oleh ketaatan individu organisasi artinya apakah sikap dan perilaku pelamar atau karyawan cocok dengan kultur yang ada. Bukan sebuah kebetulan bahwa hampir semua karyawan di taman hiburan Disney kelihatan menarik, bersih, segar, dengan senyum cemerlang. Citra itulah yang memang dicari Disney. Perusahaan menyeleksi karyawan yang dapat mendukung citra itu. Bila mereka sudah diterima bekerja, kultur yang kuat, yang didukung pleh aturan dan ketentuan formal yang ada, memastikan bahwa

karyawan taman hiburan Disney akan bertindak dengan cara yang relatif seragam dan dapat diprediksi. Kultur Sebagai Beban Kami memandang kultur tanpa syakwasangka. Kami tidak mengatakan bahwa kultur itu baik atau buruk, tetapi sekadar mengatakan bahwa kultur itu ada. Banyak yang fungsinya, seperti telah diuraikan, sangat bernilai baik bagi organisasi maupun karyawan. Kultur menpertinggi komitmen organisasional dan meningkatkan konsistensi perilaku karyawan. Ini jelas merupakan keuntungan bagi organisasi. Dari sudut pandang karyawan, kultur bernilai karena mengurangi ambiguitas, kultur memberi tahu karyawan bagaimana segala sesuatu dilakukan dan apa yang penting. Tetapi, kita tidak boleh mengabaikan aspek aspek kultur yang berpotensi disfungsional, terutama aspek yang besar, terhadap keefektifan sebuah organisasi. Hambatan untuk Perubahan Kultur menjadi kendali manakala nilai nilai yang dimiliki bersama tidak sejalan dengan nilai - nilai yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Hal ini paling mungkin terjadi apabila lingkungan sebuag organisasi bersifat dinamis. Ketika lingkungan terus berubah dengan cepat, kultur yang sudah mengakar dalam sebuah organisasi mungkin tidak pas lagi. Karenanya, konsistensi perilaku menjadi aset bagi sebuah organisasi hanya ketika hal ini berhadapan dengan lingkungan yang stabil. Namun, konsistensi semcam itu bisa menghambat dan mempersulit organisasi untuk menanggapi perubahan yang terjadi di ligkungan. Hal ini membantu menjelaskan tantangan tantangan yang dihadapi para eksekutif di organisasi organisasi seperti Mitsubishi, Eastman Kodak, Boeing, dan Biro Penyelidikan Federal AS belakangan ini dalam menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan mereka. Organisasi organisasi ini memiliki kultur yang kuat yang berhasil di masa silam. Tetapi, kultur - kultur yang kuat ini menjadi hambatan untuk berubah ketika bisnis sebagaimana biasanya tidak lagi efektif. Hambatan bagi Keragaman Merekrut karyawan baru yang, karena faktor ras, usia, jenis kelamin, ketidakmampuan (cacat), atau perbedaan perbedaan lain, tidak sama dengan mayoritas anggota organisasi lain akan menciptakan sebuah paradoks. Manajemen menginginkan karyawan baru tersebut menerima nilai nilai inti dari kultur organisasi. Jika tidak, karyawan karyawan ini tidak mungkin cocok atau diterima. Terapi pada saat yang sama, manajemen ingin secara terbuka

megakui dan menjunjung tinggi berbagai perbedaan yang dibawa oleh karyawan karyawan ini ke tempat kerja. Kultur yang kuat memberi tekanan yang besar kepada karyawan untuk menyesuaikan diri. Kultur tersebut membatasi rentang nilai dan gaya yang dapat diterima. Dalam beberapa contoh, seperti kasus Texaco yang banya dipublikasikan (yang diselesaikan atas nama 1.400 karyawan dengan uang ganti rugi senilai 176 juta dolar) dimana para manajer senior membuat keterangan yang tidak menyenangkan mengenai kelompok minoritas, sebuah kultur yang kuat yang menghidup- hidupkan prasangka dapat memperlemah kebijakan formal keragaman korporat. Organisasi mencari dan merekrut individu yang berbeda beda karena kekuatan alternatif yang mereka bwa ke tempat kerja. Namun, perilaku dan kekuatan yang beragam ini kiranya akan berkurang di dalam kultur organisasi yang kuat karena orang mau tidak mau harus menyesuaikan dirinya. Karena itu, kultur yang kuat bisa menjadi kendala manakala secara efektif meniadakan kekuatan kekuatan unik yang dibawa oleh orang dengan beragam latar belakang ke dalam organisasi. Selain itu, kultur yang kuat juga bisa menjadi penghambat ketika mendukung bias institutional atau tidak sensitif pada perbedaan orang.

Hambatan bagi Akuisisi dan Merger. Secara historis, faktor faktor kunci yang diperhatikan manajemen ketika membuat keputusan akuisisi atau merger terkait dengan isu keuntungan finansial atau sinergi produk. Belakangan ini, kompatibilitas (kesesuaian) kultur juga menjadi fokus utama. Sementara laporan keuangan atau lini produk yang menggembirakan mungkin merupakan daya tarik awal perusahaan yang akan diakuisisi, apakah akuisisi tersebut benar benar akan berhasil tampaknya lebih terkait dengan seberapa cocok atau sesuai kultur kedua organisasi tersebut. Banyak akuisisi yang gagal tidak lama setelah proses penggabungan. Sebuah survei oleh konsultan A.T. Kearney mengungkapkan bahwa 58 persen meger gagal mencapai nilai sasaran yang ditetapkan oleh manajer puncak. Penyebab utama kegagalan tersebut adalah kultur organisasi yangs saling bertentangan. Sebagaimana komentar seorang pakar, Merger memiliki tingkat kegagalan yang sangat tinggi dan senantiasa disebabkan oleh persoalan manusia. Sebagai contoh meger memiliki tingkat kegagalan yang sangat tinggi, dan

senantiasa disebabkan oleh persoalan manusia. Sebagai contoh merger 183 milyar dolar pada tahun 2001 antara America Online (AOL) dan Time Warner adalah yang terbesar dalam sejarah korporat. Merger tersebut berubah menjadi bencana hanya dua tahun setelahnya, nilai saham mereka merosit drastis sebesar 90 persen. Benturan kultur umumnya dianggap sebagai salah satu penyebab timbulnya permasalahan di AOL Time Warner. Sebagaimana dinyatakan seorang pakar. Dalam beberapa hal, merger AOL dan Time Warner adakah seperti pernikahan seorang remaja dengan seorang bankir berusia paruh baya. Kultur mereka sangat berbeda. Di AOL, orang menggunakan baju santai dan jins. Time Wrner lebih konservatif dalam hal pakaian.

MENCIPTAKAN DAN MEMPERTAHANKAN KULTUR Kultur sebuah organisasi tidak muncul begitu saja. Bila sudah mapan, kultur itu susah terhapuskan. Faktor faktor apa saja yang memengaruhi penciptaan sebuah kultur? Apa yang memperkuat dan menjaga kekuatan kekuatan kultur ini begitu hal ini mapan? Kita akan menemukan jawaban atas kedua pertanyaan ini di bagian berikutnya.

Asal muasal sebuah Kultur Kebiasaan, tradisi, dan tata cara umum dalam melakukan segala sesuatu yang ada di sebuah organisasi saat ini terutama merupakan hasil atau akibat dari yang telah dilakukan sebelumnya dan seberapa besar kesuksesan yang telah diraihnya pada masa lalu. Ini membawa kita ke sumber tertinggi kultur sebuah organisasi yakni, para pendirinya. Secara tradisional, pendiri organisasi memiliki pengaruh besar terhadap kultur awal organisasi tersebut. Mereka memiliki visi tentang akan menjadi apa nantinya organisasi itu. Mereka tidak memiliki kendala arena kebiasaan atau ideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi. Proses penciptaan kultur terjadi dalam tiga cara. Pertama, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, mereka melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan berperilaku mereka kepada karyawan. Terakhir, perilaku pendiri sendiri

bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri dan, dengan demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai pada asumsi pendiri tersebut. Apabila organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri alu dipandang sebagai faktor penentu utama keberhasilan itu. Di titik ini, seluruh kepribadian para pendiri jadi melekat dalam kultur organisasi. Kultur di Hyundai, konglomerat raksasa Korea, merupakan cerminan dari pendirinya, Chung Ju Yung. Gaya Hyundai yang keras dan kompetitif serta sifatnya yang disiplin dan otoriter mencerminkan karakteristik yang sering digunakan untuk menggambarkan Chung. Contoh-contoh kontemporerlain dari pendiri yang memiliki pengaruh amat besar terhadap kultur organisasi mereka termasuk Bill Gates di Microsoft, Ingvar Kamprad di IKEA, Herb Kellerher di Southwest Airlines, Fred Smith di Federal Express, dan Richard Branson di Virgin Group. MEMPERTAHANKAN KELANGSUNGAN HIDUP KULTUR Ketika suatu kultur sudah terbentuk, dibutuhkan praktik praktik di dalam organisasi yang berfungsi memeliharanya dengan cara membuat karyawan memiliki pengalaman yang sama. Sebagai contoh, banyak praktik pengembangan sumber daya manusia yang akan kita bahas di bab selanjutnya merupakan uaya untuk memperkuat kultur organisasi. Proses seleksi, kriteria evaluasi kinerja, kegiatan pelatihan dan pengembangan, dan prosedur promosi memastikan bahwa mereka yang mendukungnya dan memberi sanksi (dan bahkan mendepak) mereka yang menentangnya. Ada tiga hal yang memainkan peran sangat penting dalam mempertahankan sebuah kultur: praktik seleksi, tindakan manajemen puncak, dan metode sosialisasi. Mari kita amati masing - masing secara lebih seksama. Seleksi. Tujuan eksplisit dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan merekrut individu individu yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan untuk berhasil, menjalankan pekerjaan di dalam organisasi. Biasanya, ada lebih dari satu calon yang memenuhi persyaratan kerja yang ditentukan yang teridentifikasi. Ketika hal tersebut terjadi, naif untuk mengabaikan fakta bahwa keputusan akhir mengenai siapa yang direkrut akan banyak dipengaruhi oleh penilaian pengambil keputusan menyangkut seberapa cocok seorang calon dengan organisasi. Upaya untuk memastikan kesesuaian ini, entah disengaja atau tidak, menghasilkan rekrutan yang memegang nilai - nilai yang pada intinya selaras dengan nilai

nilai organisasi, atau paling tidak beberapa bagian dari nilai nilai itu. Selain itu, proses seleksi memberikan informasi kepada para pelamar mengenai organisasi tersebut. Para calon belajar tentang organisasi itu dan, jika menemukan atau merasakan suatu pertentangan antara nilai nilai mereka dan nilai nilai organisasi, mereka bisa mundur teratur. Karena itu, seleksi menjadi jalan dua arah yang memungkinkan pemberi kerja dan pelamar untuk mempertahankan kelangsungan hidup kultur sebuah organisasi dengan cara mengeluarkan individu individu yang mungkin tidak sesui atau akan menggerogoti nilai nilai intinya. Sebagai contoh, W. L. Gore & Associates, pembuat kain Gore-Tex yang digunakan untuk pakaian luar, membanggakan kultur organisasinya yang ditandai oleh demokrasi dan kerja sama tim. Tidak ada nama jabatan di Gore, dan tidak ada pula atasan atau rantai komando. Semua pekerjaan dilakukan dalam tim. Dalam proses seleksinya, tim tim karyawan harus mengaharuskan pelamar kerja menjalani wawancara ekstensif untuk memastikan bahwa calon yang tidak dapat menghadapi tingkat ketidakpastian, fleksibilitas, dan kerja tim yang harus karyawan hadapi di pabrik pabrik Gore akan terpental. Manajemen Puncak. Tindakan manajemen puncak juga memiliki dampak besar terhadap kultur organisasi. Melalui apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka berperilaku, para eksekutif senior memantapkan norma norma yang berlaku di organisasi terkait sejauh mana pengambilan resiko diharapkan; seberapa banyak kebebasan yang para manajer harus berikan kepada karyawan mereka; pakaian apa yang pantas; tindakan apa yang akan membuahkan hasil berupa kenaikan gaji, promosi, dan imbalan lain;dan semacamnya. Sebagai contoh, Robert A. Keirlin disebut sebut sebagai CEO termiskin di Amerika. Keirlin adalah presiden direktur dan CEO Fastenal Co. Peritel yang mengkhususkan diri pada nuts dan bolts terbesar di AS dengan 6.500 karyawan. Ia hanya menerima gaji 60.000 doar per tahun. Ia memiliki tiga setel jas, yang masing masing dibelinya di pasar loak. Ia mengumpulkan kupon makanan mengendarai Toyota, dan tinggal di motel motel murahan ketika melakukan perjalanan bisnis. Apakah Keirlin memang harus hidup irit seperti itu? Tidak. Nilai pasar sahamnya di Fastenal adalah sekitar 300 juta dolar. Tetapi, laki laki yang satu itu lebih menyukai gaya hidup pribadi yang sederhana. Danm perilaunya itu adalah wujud suatu pesan yang dikirimkannya kepada seluruh karyawannya: kita tidak boleh menyia nyiakan apa pun di perusahaan ini. Keirlin memandang dirinya sebagai model peran bagi

sikap hemat, dan para karyawan di Fastenal belajar untuk mengikuti contoh yang diberikannya.

SosialisasiTak peduli seberapa baik pekerjaan yang dilakukan organisasi dalam melakukan perekrutan dan seleksi, karyawan baru tidak sepenuhnya terindoktrinasi ke dalam kultur organisasi. Karena belum mengenal betul kultur organisasi tersebut, para karyawan itu berpotensi mengganggu tradisi dan kebiasaan yang ada. Karena itu, organisasi mesti membantu para karyawan baru tersebut beradaptasi dengan kulturnya. Proses adaptasi ini disebut sosialisasi. Semua marinir harus menjalani boot camp (kamp militer untuk rekrutmen baru), di mana mereka menunjukkan komitmen mereka. Tentu, pada saat yang sama, para pelatih marinir akan mengindoktrinasi mereka yang baru direkrut itu dengan cara marinir. Seluruh karyawan baru di Neumann Homes di Warrenville, Illinois, menjalani program orientasi 40 jam. Mereka diperkenalkan dengan nilai-nilai dan kultur perusahaan melalui berbagai kegiatantermasuk melayani makan siang pelanggan, acara diskusi interaktif antardepartemen, dan presentasi oleh kelompok karyawan baru kepada CEO menyangkut nilai-nilai inti perusahaan. Bagi karyawan yang baru masuk di jajaran atas, perusahaan sering mencurahkan jauh lebih banyak waktu dan upaya dalam proses sosialisasi. Di limited brands, para wakil presiden dan direktur regional yang baru saja menjalani program intensif satu bulan, disebut onboarding, yang dirancang untuk membantu para eksekutif ini terjun ke dalam kultur Limited Brands. Selama sebulan itu mereka tidak punya tanggung jawab langsung atas tugas-tugas yang menyertai posisi baru mereka. Alih-alih mereka menghabiskan waktu mereka untuk bertemu dengan para pemimpin senior dan mentor, bekerja langsung di toko ritel, mengevaluasi kebiasaan karyawan dan pelanggan, menyelidiki persaingan, dan mempelajari operasi Limited Brands baik dulu maupun sekarang. Saat kita berbicara tentang sosialisasi, ingatlah bahwa tahapan sosialisasi yang paling kritis adalah pada saat masuk ke dalam organisasi. Pada saat inilah organisasi berusaha mencetak orang luar menjadi seorang karyawan dengan reputasi baik. Karyawan yang gagal mempelajari berbagai perilaku yang esensial atau penting berisiko dicap nonkonformis atau pembangkang, yang mungkin akan membuatnya tersingkir. Tetapi, organisasi akan melakukan sosialisasi kepada semua karyawan, walau mungkin tidak secara eksplisit, di sepanjang kariernya di organisasi tersebut. Cara ini lebih jauh menyumbang untuk mempertahankan kultur.

Sosialisasi dapat dikonseptualisasikan sebagai sebuah proses yang terdiri atas tiga tahap : prakedatangan, perjumpaan, dan metamorfosis. Tahap pertama mencakup semua pembelajaran yang terjadi sebelum seorang anggota baru bergabung dengan organisasi. Pada tahap kedua, karyawan baru melihat seperti apa sebenarnya organisasi itu dan menghadapi kemungkinan bahwa antara harapan dan kenyataan berbeda. Pada tahap ketiga, terjadi perubahan yang berlangsung relatif lama. Karyawan baru menguasai ketrampilanketrampilan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaannya, berhasil menjalankan peran barunya, serta melakukan penyesuaian dengan nilai-nilai dan norma-norma kelompok kerja. Proses tiga tahap ini berdampak pada produktivitas kerja karyawan baru, komitmennya terhadap sasaran organisasi, dan keputusan akhirnya untuk tinggal bersama organisasi. Tampilan 17-2 menggambarkan proses ini. Tahap prakedatangan secara terbuka mengakui bahwa setiap individu datang dengan sekumpulan nilai, sikap, dan harapan tertentu. Hal ini mencakup pekerjaan yang akan dijalankan maupun organisasi. Sebagai contoh, dalam banyak pekerjaan, terutama pekerjaan profesional, anggota-anggota baru harus menjalani sosialisasi terlebih dahulu dalam pelatihan maupun di lembaga pendidikan. Salah satu tujuan poko dari sekolah bisnis, misalnya, adalah untuk memperkenalkan para mahasiswanya dengan sikap dan perilaku yang diinginkan perusahaan. Jika para eksekutif bisnis yakin bahwa karyawan yang baik adalah yang menghargai etika profit, loyal, sanggup bekerja keras, dan memiliki hasrat tinggi untuk berprestasi, mereka akan merekrut lulusan sekolah bisnis yang telah dibentuk sebelumnya dalam pola seperti ini. Selain itu, sebagian besar orang dalam bisnis menyadari bahwa tak peduli seberapa baik mereka pikir mereka dapat membantu para pendatang baru bersosialisasi dengan organisasi mereka, prediktor paling penting dari perilaku para pendatang baru tersebut adalah perilaku mereka pada masa lalu. Penelitian menunjukkan bahwa apa yang diketahui orang sebelum mereka bergabung dengan suatu organisasi, seberapa proaktif kepribadian mereka, merupakan prediktor penting bagi seberapa baik mereka akan dapat menyesuaikan diri dengan kultur baru. Salah satu hal yang teramat penting dari masa praperekrutan dalam usaha sosialisasi adalah memilih karyawan dengan kepribadian yang pas, dan menggunakan proses seleksi untuk memberi tahu calon karyawan tentang organisasi tersebut secara keseluruhan. Selain itu, sebagaimana dinyatakan di awal, proses seleksi juga berfungsi untuk

Tampilan 17-2 Model Sosialisasi

memastikan masuknya jenis yang tepat mereka yang kira-kira akan sesuai. Sungguh, kemampuan individu untuk bersikap dengan benar selama proses seleksi sangat menentukan apakah ia akan sanggup masuk ke dalam organisasi. Jadi, keberhasilan bergantung pada sejauh mana anggota yang akan masuk itu mampu mengetahui secara tepat harapan dan keinginan dari mereka yang ada di dalam organisasi, khususnya yang bertanggung jawab atas proses seleksi. Kerika masuk ke dalam organisasi, anggota baru memasuki tahap perjumpaan. Di sini, individu menghadapi kemungkinan dikotomi antara harapan- menyangkut pekerjaan, rekan kerja, atasan, dan organisasi secara umum- dan kenyataan. Jika harapan ternyata kurang lebih akurat, tahap perjumpaan ini sekadar memberikan penegasan kembali mengenai persepsi yang telah diperoleh sebelumnya. Namun, yang terjadi seringkali tidak demikian. Bilamana harapan dan kenyataannya berbeda, karyawan baru harus menjalani sosialisasi untuk melepaskan berbagai asumsi yang sebelumnya ia pegang dan menggantikannya dengan asumsi-asumsi lain yang dipandang tepat oleh organisasi. Dalam kasus ekstrem, anggota baru mungkin merasa sangat kecewa dengan aktualitas pekerjaan yang ditemuinya dan lalu memutuskan untuk mengundurkan diri. Seleksi yang benar semestinya memperkecil kemungkinan terjadinya pengunduran diri sampai semaksimal mungkin. Juga, jaringan teman dan rekan kerja dari seorang karyawan dapat memainkan peran penting dalam membantu mereka mempelajari hal-hal yang baru itu. Para pendatang baru memiliki komitmen lebih besar terhadap organisasi manakal mereka memiliki jaringan pertemanan yang besar dan beragam. Jadi, organisasi dapat membantu mereka bersosialisasi dengan cara mendorong pertemanan di dalam organisasi. Akhirnya, anggota baru harus memecahkan segala masalah yang ditemuinya selama tahap perjumpaan. Ini mungkin berarti melakukan perubahan- karena itu, kami menyebutnya tahap metamorfosis. Berbagai pilihan yang disajikan dalam tampilan 17-3 adalah alternatif yang

dirancang untuk menghasilkan metamorfosis yang diharapkan. Perhatikan, misalnya bahwa semakin manajemen mengandalkan program-program sosialisasi yang formal, kolektif, tetap, berseri, dan menekankan pembebasan, semakin besar kemungkinan perbedaan dan perspektif yang dimiliki pendatang baru hilang dan digantikan oleh perilaku yang baku dan dapat diramalkan. Seleksi secara cermat oleh manajemen terhadap pengalaman sosialisasi para pendatang baru dapat secara ekstrem- menciptakan kelompok konformis yang mempertahankan tradisi dan adat, atau kelompok individualis inventif dan kreatif yang menganggap tidak ada praktik organisasi yang sakral. Kita dapat mengatakan bahwa proses metamorfosis dan sosialisasi berhasil ketika anggota baru sudah merasa nyaman dengan organisasi dan pekerjaan mereka. Mereka telah menginternalisasi berbagai norma organisasi dan kelompok kerja mereka, dan memahami serta menerima norma-norma tersebut. Anggota baru tersebut merasa diterima oleh rekan sejawat mereka sebagai individu yang daoat dipercaya dan layak dihargai. Mereka percaya diri bahwa mereka memiliki kompetensi untuk merampungkan pekerjaan. Mereka memahami sistem- tidak hanya tugas mereka sendiri tetapi juga aturan, prosedur, dan praktik-praktik yang diterima secara informal. Akhirnya mereka tahu bagaimana mereka akan dievaluasi; artinya, kriteria apa yang akan digunakan untuk mengukur dan menilai pekerjaan mereka. Mereka tahu apa yang diharapkan dari mereka dan apa yang membuat suatu pekerjaan dapat digolongkan telah terlaksana dengan baik. Sebagaimana ditunjukkan dalam tampilan 17-2, metamorfosis yang berhasil akan berdampak positif terhadap produktivitas karyawan baru dan komitmen mereka terhadap organisasi serta mengurangi kecenderungan mereka untuk meninggalkan organisasi. Rangkuman : Bagaimana kultur terbangun Tampilan 17-4 merangkum bagaimana kultur sebuah organisasi dibangun dan dijaga. Kultur asli berasal dari filosofi pendirinya. Filosofi ini, pada gilirannya, berpengaruh kuat terhadap kriteria yang digunakan dalam perekrutan. Tindakan-tindakan yang diambil manajemen puncak membangun suasana umum terkait perilaku apa yang dapat diterima dan yang tidak dalam organisasi. Bagaimana sosialisasi karyawan baru dilakukan akan bergantung pada tingkat keberhasilan yang dicapai dalam mencocokkan nilai-nilai yang dianut karyawan baru dengan nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi maupun preferensi manajemen puncak dalah hal metode sosialisasi.

Bagaimana Karyawan Mempelajari KulturKultur ditransmisikan ke karyawan melalui berbagai bentuk, dan bentuk yang paling mungkin adalah penceritaan kisah, ritual, simbol-simbol material, dan bahasa. Penceritaan Kisah Ketika Henry Ford II menjadi presiden direktur Ford Motor Co., orang akan sangat sulit menemukan seorang manajer perusahaan yang belum pernah mendengar kisah tentang Tuan Ford yang mengingatkan para eksekutifnya, karena mereka menjadi terlalu arogan, bahwa Nama sayalah yang terpampang di gedung itu. Pesannya jelas : Henry Ford II lah yang menjalankan perusahaan itu. Nike memiliki sejumlah eksekutif senior yang menghabiskan banyak waktu mereka untuk menjadi tukang cerita kisah perusahaan. Melalui kisah-kisah yang mereka ceritakan itu, mereka hendak mengkomunikasikan seperti apa Nike itu. Saat menceritakan kisah tentang bagaimana salah seorang pendiri perusahaan (dan pelatih lari dari Oregon) Bill Bowerman pergi ke bengkelnya dan menuang karet ke dalam alat pembakar sampah istrinya untuk menciptakan sepatu lari yang lebih baik, mereka sebenarnya sedang berbicara tentang semangat inovasi Nike. Ketika karyawan baru mendengar kisah perjuangan bintang lari Oregon, Stevie Prefontaine, untuk menjadikan lari sebagai olahraga profesional dan mendapatkan perlengkapan yang lebih baik, mereka sedang belajar tentang komitmen Nike untuk membantu para atlet. Kisah-kisah semacam ini bergulir di banyak organisasi. Kisah-kisah tersebut biasanya mengandung narasi tentang para pendiri organisasi, pelanggaran terhadap aturan, kesuksesan dari tidak mampu menjadi kaya raya, pengurangan tenaga kerja, pemindahan karyawan, reaksi terhadap kesalahan masa silam, dan penanganan organisasi. Kisah-kisah ini melabuhkan masa kini ke masa silam serta memberikan penjelasan dan legitimasi atas praktik-praktik yang berjalan saat ini.

Tampilan 17-4 Bagaimana Kultur Organisasi Terbangun

Ritual Ritual adalah serangkaian aktivitas berulang yang mengungkapkan dan memperkuat nilainilai dasar dari organisasi sasaran apa yang terpenting, orang mana yang penting, dan orang mana yang bisa dikeluarkan. Salah satu ritual perusahaan yang terkenal adalah nyanyian perusahaan Wal-Mart. Diawali oleh pendirinya, Sam Walton, sebagai cara untuk memotivasi dan menyatukan para pekerjanya, Gimme a W, gimme an A, gimme an L, gimme a squiggle, gimme an M,A,R,T! (Beri saya W, beri saya A, beri saya L, beri saya tanda pisah, beri saya M,A,R,T!) telah menjadi ritual perusahaan yang mempersatukan karyawan Wal-Mart dan memperkuat keyakinan Sam Walton terhadap pentingnya karyawan bagi kesuksesan perusahaannya. Nyanyian serupa digunakan oleh IBM, Ericsson, Novell, Deutsche Bank, dan Pricewaterhouse Coopers. Simbol-simbol Material Kantor pusat Alcoa tidak tampak seperti operasi kantor pusat pada umumnya. Tidak ada banyak ruangan kantor, bahkan untuk para eksekutif senior. Kantor pusat itu pada intinya terdiri atas beberapa ruang kecil, area bersama, dan beberapa ruang rapat. Kantor pusat korporasi yang informal ini seakan hendak mengatakan kepada para karyawan bahwa Alcoa menghargai keterbukaan, kesetaraan, kreativitas, dan fleksibilitas. Beberapa perusahaan menyediakan limusin beserta sopir bagi eksekutif puncak dan pemanfaatan jet perusahaan secara tak terbatas pada saat mereka melakukan perjalanan udara. Perusahaan lainnya mungkin tidak menyiapkan limusin atau jet pribadi, tetapi para eksekutif mereka masih mendapatkan mobil dan transportasi udara atas tanggungan perusahaan. Hanya saja mobilnya adalah Chevrolet (tanpa sopir) dan kursi pesawat kelas ekonomi pesawat komersial. Penataan kantor pusat perusahaan, jenis mobil yang diberikan kepada eksekutif puncak, dan ada atau tidaknya pesawat perusahaan merupakan beberapa contoh simbol material. Contohcontoh lain termasuk ruang kantor yang luas, perabotan yang bagus, bonus eksekutif, dan pakaian khusus. Simbol-simbol material ini menyampaikan kepada karyawan siapa yang penting, tingkat egalitarianisme yang diinginkan oleh manajemen puncak, dan jenis perilaku

(misalnya, berani mengambil resiko, konservatif, otoriter, partisipatif, individualistis, sosial) yang tepat. Bahasa Banyak organisasi dan unit dalam suatu organisasi menggunakan bahasa sebagai sarana untuk mengidentifikasi anggota dari sebuah kultur atau subkultur. Dengan mempelajari bahasa ini, para anggota menegaskan penerimaan mereka terhadap kultur dan, dengan demikian, membantu melestarikannya. Berikut ini contoh-contoh teknologi yang digunakan oleh para karyawan di Knight Ridder Information, sebuah redistributor data yang bermarkas di California : Accession number (nomor yang dipakai untuk tiap catatan individu dalam sebuah basis data); KWIC- keywords in context(sekumpulan kata kunci dalam konteks); dan relational operator (mencari basis data untuk nama-nama atau istilah-istilah kunci dalam suatu urutan). Jika merupakan karyawan baru di Boeing, Anda akan belajar banyak kosakata khas penggunaan berupa akronim, termasuk BOLD Boeing Online Data (Data Online Boeing), CATIA- computer graphics aided three(dimensional interactive application), aplikasi interkatif tiga dimensi dengan bantuan grafis komputer, MAIDS- Manufacturing Assembly and Installation Data System (sistem data instalasi dan perakitan manufaktur), POP- purchased outside production (membeli produk dari luar), dan SLO- service level objectives (sasaran tingkat layanan). Dari waktu ke waktu, organisasi terus mengembangkan istilah-istilah khas untuk menggambarkan perlengkapan, kantor, personalia kunci, pemasok, pelanggan, atau produk yang terkait dengan bisnisnya. Karyawan baru sering kerepotan dengan berbagai akronim dan jargon yang setelah enam bulan bekerja sepenuhnya menjadi bagian dari bahasa mereka. Begitu terasimiliasi, istilah-istilah ini menjadi denominator umum/bersama yang menyatukan para anggota sebuah kultur atau subkultur tertentu.

Menciptakan Kultur Organisasi Yang EtisIsi dan kekuatan suatu kultur memengaruhi suasana etis sebuah organisasi dan perilaku etis para anggotanya. Kultur sebuah organisasi yang punya kemungkinan paling besar untuk membentuk standar etika tinggi adalah kultur yang tinggi toleransinya terhadap resiko tinggi, rendah sampai sedang dalam hal keagresifan, dan fokus pada sarana selain juga hasil. Para manajer dalam kultur semacam ini didorong untuk mengambil risiko dan berani berinovasi,

dilarang terlibat dalam persaingan yang tak terkendali, dan akan memberikan perhatian pada bagaimana tujuan dicapai dan juga pada tujuan apa yang dicapai. Kultur organisasi yang kuat akan lebih mempengaruhi karyawan daripada kultur yang lemah. Jika kulturnya kuat dan mendorong standar etika yang tinggi, ia pasti akan berpengaruh kuat dan positif terhadap perilaku karyawan. Johnson & Johnson misalnya, memiliki kultur yang kuat yang sudah lama menekankan kewajiban perusahaan kepada pelanggan, karyawan, masyarakat, dan para pemegang saham. Ketika Tylenol (sebuah produk Johnson & Johnson) yang mengandung racun dijumpai di rak-rak toko, karyawan J&J di seluruh AS secara sadar dan sukarela menarik produk tersebut dari toko bahkan sebelum manajemen mengeluarkan pernyataan menyangkut hal itu. Tak seorang pun memberi tahu orang-orang ini hal yang benar secara moral; mereka tahu apa yang diharapkan oleh J&J untuk mereka lakukan. Sebalikya, kultur kuat yang mendorong sikap yang sangat agresif bisa menjadi faktor yang dominan dalam membentuk perilaku tidak etis. Sebagai contoh, kultur agresif Enron, dengan tekanan yang tak henti-hentinya pada para eksekutif untuk meningkatkan pendapatan secara cepat, mendorong dilanggarnya nilai-nilai etis dan akhirnya berkontribusi terhadap runtuhnya perusahaan. Apa yang dapat manajemen lakukan untuk menciptakan kultur yang lebih etis? Kami menyarankan gabungan dari praktik-praktik berikut ini :

1

Jadilah model peran yang visibel. Karyawan akan melihat perilaku manajemen puncak sebagai acuan standar untuk menentukan perilaku yang semestinya mereka ambil. Ketika manajemen senior dianggap mengambil jalan yang etis, hal ini memberi pesan positif bagi semua karyawan.

2

Komunikasikan harapan-harapan yang etis. Ambiguitas

etika dapat

diminimalkan dengan menciptakan dan mengkomunikasikan kode etik organisasi. Kode etik ini harus menyatakan nilai-nilai utama organisasi dan berbagai aturan etis yang diharapkan akan dipatuhi para karyawan.

3

Berikan pelatihan etis. Selenggarakan seminar, lokakarya, dan programprogram pelatihan etis. Gunakan sesi-sesi pelatihan ini untuk memperkuat standar tuntutan organisasi, menjelaskan praktik-praktik yang diperbolehkan dan yang tidak, dan menangani dilema etika yang mungkin muncul.

4

Secara nyata, berikan penghargaan atas tindakan etis dan beri hukuman terhadap tindakan yang tidak etis. Penilaian kinerja terhadap para manajer harus mencakup evaluasi hal demi hal mengenai bagaimana keputusan-keputusannya cukup baik menurut kode etik organisasi. Penilaian harus mencakup sarana yang dipakai untuk mencapai sasaran dan juga pencapaian tujuan itu sendiri. Orang-orang yang bertindak etis harus diberi penghargaan yang jelas atas perilaku mereka. Sama pentingnya, tindakan tidak etis harus diganjar secara terbuka/nyata.

5

Berikan mekanisme perlindungan. Organisasi perlu memiliki mekanisme formal sehingga karyawan dapat mendiskusikan dilema-dilema etika dan melaporkan perilaku tidak etis tanpa takut. Cara ini bisa meliputi pembentukan konselor etis, badan pengawas (ombudsmen), atau petugas etika.

Menciptakan Kultur Tanggap Pelanggan Menciptakan kultur yang tanggap pelanggan merupakan jalan untuk mendapatkan loyalitas pelanggan dan profitabilitas jangka panjang. Banyak perusahaan yang mencoba menciptakan kultur ini, untuk membangun bisnis pelanggan yang kuat dan loyal dan pada umumnya mereka berhasil megalahkan para pesaing mereka dalam pertumbuhan dan kinerja keuangan. Di bagian ini, kita secara ringkas akan mengidentifikasi variable-variabel yang membentuk

kultur tanggap pelanggan serta memberikan beberapa saran yang dapat dijalankan oleh manajemen untuk menciptakan kultur semacam ini. Variable-variabel kunci yang membentuk kultur tanggap pelanggan Sebuah kajian menemukan bahwa beberapa variabel secara rutin ditemukan dalam kulturkultur yang tanggap pelanggan : 1 2 3 Jenis karyawan itu sendiri Tingkat formalisasi yang rendah Penguatan tingkat formalisai yang rendah-memanfaatkan pemberdayaan dalam arti luas 4 5 6 Ketrampilan mendengarkan yang baik Kejelasan peran Kultur tanggap pelanggan memiliki karyawan yang menampilkan perilaku warga organisasi Kultur tanggap pelanggan merekrut karyawan-karyawan yang memiliki ketrampilan mendengarkan yang baik dan kesediaan untuk mengatasi kendala-kendala pekerjaan mereka dan untuk melakukan apa yang diperlukan guna memuaskan pelanggan. Kultur ini kemudian menjelaskan peran mereka, membebaskan mereka untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang senantiasa berubah dengan meminimalkan aturan dan ketentuan, dan memberi mereka banyak kebebasan memutuskan guna menunaikan pekerjaan bila mereka anggap sesuai. Tindakan manajerial Ada beberapa tindakan yang diambil oleh para manajemen jika ingin membuat kulturnya laebih tanggap pelanggan. Tindakan ini dirancang untuk membentuk karyawan yang memiliki kompetensi, kemampuan, dan kemauan untuk memecahkan masalah pelanggan pada saat masalah itu muncul. 1 Seleksi Merekrut orang yang akan ditempatkan dibagian layanan pelanggan yang memiliki kepribadian dan sikap yang selaras dengan orientasi layanan yang tinggi. Beberapa

study menunjukan bahwa keramahan,antusias dan sikap penuh perhatian dalam diri karyawan jasa berpengaruh positif pada persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan. 2 Pelatihan dan sosialisasi Organisasi yang berusaha lebih tanggap pelanggan tidak selalu memiliki opsi merekrut karyawan baru. Yang lebih lazim, manajemen dihadapkan pada tantangan untuk membuat karyawan yang sudah ada menjadi lebih focus pada pelanggan. 3 Desain struktur Struktur organisasi perlu memberi karyawan lebih banyak kebebasan. Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi aturan dan ketentuan. Karyawan lebih mampu memuaskan pelanggan ketika mereka memiliki kebebasan saat memberikan layanan. Jadi, manajemen perlu membebaskan karyawan untuk menyesuaikan perilaku mereka dengan kebutuhan dan permintaan pelanggan yang senantiasa berubah. 4 Pemberdayaan Sejalan dengan formalisasi yang rendah adalah upaya memberdayakan karyawan dengan memberi mereka kebebasan untuk mengambil keputusan terkait kegiatan pekerjaan sehari-hari. Hal ini merupakan komponen wajib dari kultur tanggap pelanggan karena memungkinkan karyawan membuat keputusan seketika untuk memuaskan pelanggan. 5 Kepemimpinan Para pemimpin mentransmisikan kultur organisasi melalui ucapan dan tindakan mereka. Pemimpin yang efektif dalam kultur tanggap pelanggan memberikan dengan menyampaikan sebuah misi yang berfokus pada pelanggan dan yang memperlihatkan dengan perilaku mereka bahwa mereka memiliki komitmen terhadap pelanggan. 6 Evaluasi kinerja Terdapat banyak bukti bahwa evaluasi kinerja berbasis perilaku sejalan dengan membaiknya layanan pelanggan. Evaluasi berbasis perilaku menilai karyawan berdasarkan bagaimana mereka berperilaku atau bertindak- berdasarkan kriteria

seperti upaya, komitmen ,kerja tim, keramahan, dan kemampuan memecahkan masalah pelanggan- ketimbang berdasarkan hasil terukur yang mereka capai. 7 Sistem imbalan Jika manajer menginginkan karyawan memeberikan layanan yang bagus, mereka harus memberi imbalan kepada layanan yang layak. Spiritualitas dan Kultur Organisasi Spiritualitas dan Kultur Organisasi (workplace spirituality) menyadari bahwa manusia memiliki kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang bermakna yang berlangsungdalam konteks komunitas. Orgaisasi yang mendukung kultur spiritual mengakui bahwa manusia memiliki pikiran dan jiwa, berusaha mencari makna dan tujuan dalam pekerjaan mereka, dan hasrat untuk berhubungan dengan orang lain, serta menjadi bagian dari sebuah komunitas. Model-model historis dari manajemen dan perilaku organisasi pada masa lalu tidak memiliki ruang bagi spiritualitas. Mitos tentang rasionalitas beranggapan bahwa organisasi yang dijalankan dengan baik adalah yang menafikan perasaan. Demikian pula, kepedulian terhadap kehidupan batin karyawan tidak memiliki peran dalam model yang sepenuhnya rasional. Karakteristik sebuah organisasi spiritual Konsep spiritualitas di tempat kerja mendasarkan pembahasannya pad atopic terdahulu seperti nilai, etika, motivasi, kepemimpinan, dan keseimbangan kerja/ kehidupan. Terdapat liam karakteristik kultur yang cenderung ada dalam organisasi spiritual : ; ; ; ; ; Kesadaran akan tujuan yang kuat Focus terhadap pengembangan individual Kepercayaan dan respek Praktik kerja yang manusiawi Toleransi bagi ekspresi karyawan

Kritik terhadap spiritualitas

Para pengkritik gerakan spiritualitas dalam organisasi telah menfokuskan perhatian mereka pada tiga isu utama : 1 2 3 Persoalan fondasi keilmuan Apakah organisasi spiritual itu valid Persoalan ekonomi