responsi urtikaria ch

29
RESPONSI ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN URTIKARIA FALKUTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA I. IDENTITAS PASIEN Nama : Nn. E Umur : 23 tahun Status : Belum menikah Suku/ Bangsa : Indonesia Agama : Kristen Pekerjaan : Mahasiswa Alamat : Jl. Manyar kertadi VIII-215, Surabaya Tanggal Pemeriksaan : 20 Maret 2014 II. ANAMNESA 1. Keluhan Utama : Muncul bintul-bintul pada lengan kanan- kiri, wajah dan badan disertai rasa gatal. 2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSAL dr. Ramelan Surabaya dengan keluhan muncul bintul – bintul dengan kulit kemerahan pada lengan kanan-kiri, wajah dan badan 1

Upload: william-sulistyono

Post on 12-Dec-2015

249 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sase kulit

TRANSCRIPT

Page 1: Responsi Urtikaria Ch

RESPONSI ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMINURTIKARIA

FALKUTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

I. IDENTITAS PASIEN Nama : Nn. E

Umur : 23 tahun

Status : Belum menikah

Suku/ Bangsa : Indonesia

Agama : Kristen

Pekerjaan : Mahasiswa

Alamat : Jl. Manyar kertadi VIII-215, Surabaya

Tanggal Pemeriksaan : 20 Maret 2014

II. ANAMNESA

1. Keluhan Utama :

Muncul bintul-bintul pada lengan kanan-kiri, wajah

dan badan disertai rasa gatal.

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poli kulit dan kelamin RSAL dr.

Ramelan Surabaya dengan keluhan muncul bintul – bintul

dengan kulit kemerahan pada lengan kanan-kiri, wajah dan

badan disertai gatal – gatal. Keluhan ini timbul sejak 2 jam

sebelum pasien berobat.

Keluhan muncul secara tiba-tiba, tanpa diketahui

penyebabnya. Awalnya pasien mengaku bahwa gatal – gatal

dirasakan di bagian lengan kanan dan kiri saja, kemudian

menjalar di daerah wajah lalu badan. Saat digaruk pada

bagian yang gatal muncul bintul – bintul kemerahan

1

Page 2: Responsi Urtikaria Ch

berbentuk seperti pulau – pulau dengan ukuran bervariasi.

Saat pemeriksaan gatal yang dirasakan pasien menjadi lebih

berat, bintul-bintul menjadi lebih banyak dan membesar

dengan cepat setelah bagian yang gatal tersebut digaruk.

Pasien mengaku 7 hari sebelumnya sempat

menderita sakit radang tenggorokan selama beberapa hari,

dan tidak mengkonsumsi obat apapun. Pasien tidak

merasakan bengkak pada kelopak mata, bibir, tangan

atapun kakinya, tidak serak atau sesak nafas dan tidak ada

nyeri di daerah yang bintul.

3. Riwayat Penyakit dahulu :

Pasien penah menderita sakit kulit atau sakit seperti

ini 7 bulan yang lalu. Keluhan menghilang setelah

pasien minum obat Loratadine.

Riwayat Asma disangkal

Riwayat Alergi makanan / obat / lain – lain disangkal

Riwayat digigit serangga disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluarga tidak ada yang sakit seperti pasien

Riwayat asma disangkal

Riwayat Alergi makanan / obat / lain – lain disangkal

5. Riwayat Psikososial :

Pasien mandi teratur 2x sehari dengan sabun dan

menggunakan air PDAM.

Lingkungan tempat tinggal pasien cukup bersih

Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama seperti

pasien di lingkungan sekitarnya

2

Page 3: Responsi Urtikaria Ch

III. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis

Keadaan Umum : Baik

Kesadaraan : Compos Mentis

Status gizi : Baik

Kepala : dalam batas normal

Leher : Pembesaran KGB dalam batas normal

Thorax : Dalam batas normal

Abdomen : Dalam batas normal

Ekstremitas : Lihat status dermatologis

2. Status Dermatologis

Regio Extremitas Superior (Volar) Dext et Sin, Regio

abdomen, Regio Thoracal, Regio wajah

Efloresensi : tampak peninggian kulit dengan

permukaan datar berwarna pucat di atas kulit yang

eritematous, ukuran bervariasi.

3

Page 4: Responsi Urtikaria Ch

4

Page 5: Responsi Urtikaria Ch

3. Pemeriksaan Kulit :

Tes tekan : warna merah pada kulit hilang saat ditekan,

kemudian muncul lagi saat jari dilepaskan.

Tes demografisme (+)

IV. RESUME

Perempuan, 23 tahun datang dengan keluhan muncul

bintul-bintul pada lengan kanan-kiri, wajah dan badan disertai

rasa gatal sejak 2 jam sebelum berobat. Pasien penah

menderita sakit kulit atau sakit seperti ini 7 bulan yang lalu.

Keluhan menghilang setelah pasien minum obat

Loratadine.Tidak ada riwayat alergi baik pada pasien maupun

keluarganya.

Status Dermatologi :

Regio Extremitas Superior (Volar) Dext et Sin, Regio

abdomen, Regio Thoracal, Regio Fascia

Efloresensi : tampak peninggian kulit dengan

permukaan datar berwarna pucat di atas kulit yang

eritematous, ukuran bervariasi.

Pemeriksaan Kulit :

Tes tekan : warna merah pada kulit hilang saat ditekan,

kemudian muncul lagi saat jari dilepaskan.

Tes Demografisme (+)

5

Page 6: Responsi Urtikaria Ch

V. DIAGNOSA KERJA

Urtikaria kronis

VI. DIAGNOSA BANDING

Dermatitis Kontak Alergi

Angioedema

VII. PLANNING

Planning diagnose :

o Tes eliminasi makanan

o Pemeriksaan kadar IgE

o Pemeriksaan darah

Planing terapi

Non Medikamentosa :

Memperhatikan obat-obat yang diminum yang

mempengaruhi timbulnya gatal, dan hindari obat-obat

yang menimbulkan gejala serupa

Menghindari makanan yang berpotensi memicu

gejala

Menghindari tempat-tempat yang memungkinkan

digigit serangga dan obat pengusir serangga.

Tidak menggaruk bagian lengan yang gatal karena

dapat menimbulkan lecet dan infeksi sekunder.

Medikamentosa :

Antihistamin : Loratadine 1 x 10 mg

Bedak anti gatal : Acidum salicylicum 2 %

6

Page 7: Responsi Urtikaria Ch

TINJAUAN PUSTAKA

URTIKARIA

1. Defenisi

Urtikaria adalah reaksi vaskuler pada kulit yang ditandai dengan

munculnya bercak/bintul (wheal) yang dikelilingi oleh bagian merah dan

menyala (flare) dan diikuti dengan rasa yang sangat gatal, sensasi

menyengat atau sensasi menusuk. Bercak/bintul ini diakibatkan oleh

adanya edema lokal. Lesi tampak lebih pucat dibagian tengah, bisa

bergabung berbentuk anular atau polisiklik (Andrew, 2011).

Keadaan tersebut dapat berlangsung paling singkat 30 menit

sampai paling lama 36 jam. Ukuran diameternya bervariasi mulai dari

milimeter sampai 6 – 8 inci yang disebut Giant urticaria. Warna urtikaria

berubah menjadi pucat dengan penekanan sama halnya seperti pembuluh

darah yang ditekan, yang juga menjelaskan adanya warna pucat di tengah

edema. Pelebaran pembuluh darah dan peningkatan permeabilitasnya

menandakan bahwa urtikaria terjadi di dermis superfisial dan melibatkan

pleksus venular di lokasi tersebut (Fitzpatrick, 2008).

2. Epidemiologi

Urtikaria dan angioedema sering dijumpai pada semua umur,

orang dewasa lebih banyak mengalami urtikaria dibandingkan dengan

usia muda. Sheldon (1951), menyatakan bahwa umur rata-rata penderita

urtikaria ialah 35 tahun, jarang dijumpai pada umur kurang dari 10 tahun

atau lebih dari 60 tahun (Djuanda, 2007). 15 – 25% urtikaria (kronik, akut

atau keduanya) dapat terjadi selama kehidupan individu. Insiden urtikaria

akut lebih tinggi pada individu dengan riwayat atopi, sering terjadi pada

anak – anak dan dewasa muda (Wong, 2013).

3. Klasifikasi

Urtikaria akut berkembang dari beberapa hari sampai beberapa

minggu menghasilkan bercak edema yang secara individu jarang bertahan

7

Page 8: Responsi Urtikaria Ch

sampai lebih dari 12 jam dengan resolusi lengkap. Onsetnya berlangsung

selama 6 minggu. Episode harian urtikaria dan atau angioedema yang

berlangsung lebih dari 6 minggu disebut urtikaria kronik. Urtikaria kronik

mengenai orang dewasa dan dua kali lebih umum terjadi pada wanita

(Andrew, 2011).

Secara umum urtikaria kronik diklasifikasikan menjadi urtikaria

kronik autoimun dan urtikaria kronik idiopatik. Pada urtikaria kronik

autoimun terdapat auto-antibodi IgG yang beredar dalam sirkulasi darah

yang bereaksi terhadap afinitas tinggi subunit alfa reseptor IgE pada sel

mast dan basofil kulit yang menyebabkan stimulasi kronik pada sel – sel

tersebut sehingga melepaskan histamin dan mediator inflamasi lain yang

menyebabkan terjadinya urtikaria dan angioedema. Urtikaria kronik

autoimun juga berhubungan dengan anti thyroid antibodi dalam 27%

kasus dan rheumatoid arthritis. Helicobacter pylori juga dianggap berperan

sebagai etiologi dari urtikaria kronik autoimun dengan cara menurunkan

toleransi kekebalan tubuh dan merangsang pembentukan autoantibodi.

Namun, terbatasnya jumlah penelitian yang dilakukan menghasilkan

sejumlah pertentangan (Kanani, 2011).

Pada urtikaria kronik idiopatik didapatkan tidak adanya bukti yang

menunjukan adanya hubungan autoimunitas. Urtikaria bentuk ini,

menunjukan adanya aktifitas yang terus menerus dari sel mast, tetapi

mekanisme pemicunya belum diketahui (Kanani, 2011). Lebih dari 50%

urtikaria kronik adalah idiopatik (Andrew, 2011).

8

Page 9: Responsi Urtikaria Ch

Gambar 1. Klasifikasi Urtikaria (Kanani, 2011).

. Rangsangan fisik dapat menimbulkan reaksi urtikaria terjadi

sebanyak 7 – 17% dari kasus urtikaria kronik. Urtikaria kronik meliputi :

(Andrew, 2011).

Urtikaria dermatografik.

Edema lokal atau bintul dengan kulit yang eritematous disekitarnya,

terjadi beberapa detik sampai beberapa menit setelah kulit digores.

Terjadi pada 2 – 5% populasi (Andrew, 2011).

9

Page 10: Responsi Urtikaria Ch

Gambar 2. Urtikaria Dermatografik.

Urtikaria kolinergik

Terjadi karena aksi asetilkolin dari sel mast, muncul beberapa

menit, sangat gatal, tampak bitul belang – belang atau papul

dengan diameter 1- 3 mm dikelilingi kulit yang eritematous. Dapat

ditemukan di bagian tubuh (trunkus) dan wajah. Bertahan 30 – 90

menit dengan periode refrakter hingga 24 jam. Lesi dapat

didinduksi karena latihan (exercise), stress emosional, peningkatan

suhu lingkungan, injeksi intradermal bahan nikotine picrate atau

methacoline (Andrew, 2011).

Urtikaria adrenergik dapat terjadi sendiri atau gejala ikutan dengan

urtikaria kolinergik. Keduanya dimediasi oleh norepinefrin. Tampak

lesi kecil (1 – 5 mm) eritematous dan terdapat papul – papul

dengan bagian tengah yang pucat. Muncul sekitar 10 – 15 menit

setelah emosi, mengkonsumsi kopi atau coklat. Serum

katekolamin, norepinefrin, dopamin dan epinefrin mungkin

meningkat saat serangan terjadi, tetapi level histamin dan serotonin

dalam batas normal (Andrew, 2011).

10

Page 11: Responsi Urtikaria Ch

Gambar 3. Urtikaria kolinergik. Tampak papul kecil – kecil

disekitarnya terdapat kulit yang eritematous.

Urtikaria dingin (Cold Urticaria)

Paparan terhadap suhu dingin dapat menimbulkan edema atau

bintul pada area yang terpapar, biasanya muka dan tangan.

Urtikaria tidak muncul selama terjadi paparan tetapi muncul saat

kondisi mulai menghangat (rewarming). Fatal shock dapat terjadi

jika seseorang berenang pada air yang dingin atau mandi dengan

air shower yang dingin. Tipe urtikaria dingin (Cold Urticaria)

biasanya muncul saat dewasa. Dan biasanya ice tube test positif

(Andrew, 2011).

Gambar 4. Ice cube test positif pada individu dengan cold-induced

urticaria. Tampak bekas aliran es yang mengalir.

11

Page 12: Responsi Urtikaria Ch

Heat Urticaria

Dalam waktu 5 menit kulit diberikan paparan panas diatas 43oC,

area yang terpapar akan terasa terbakar, tersengat dan menjadi

merah, bengkak dan timbul indurasi. Merupaka tipe urtikaria yang

sangat jarang. Provokatif tes dapat diberikan dengan memanaskan

silinder 50 – 55oC dipaparkan pada area kulit di bagian atas tubuh

(upper body) selama 30 menit (Andrew, 2011).

Urtikaria solaris

Muncul segera setelah kulit yang tak terlindungi terpapar sinar

matahari (Andrew, 2011).

Urtikaria akuagenik

Kondisi ini jarang terjadi, ditimbulkan oleh air (tawar) atau air laut

pada suhu apapun. Edema/bintul (wheals) yang gatal timbul segera

atau dalam beberapa menit di lokasi kulit yang terpapar air,

terlepas dari suhu dan sumber air, dan menghilang setelah 30 – 60

menit. Keringat, air liur atau bahkan air mata dapat memicu reaksi.

Patogenesisnya belum diketahui tetapi mungkin berhubungan

dengan antigen yang terlarut dalam air yang berdifusi ke dalam

dermis yang menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast yang

sensitif (Andrew, 2011).

Urtikaria yang diinduksi oleh latihan (exercise-induced urticaria)

Peningkatan suhu tubuh secara pasif tidak akan menginduksi

exercise urticaria. Lesi urtikaria timbul 5 – 30 menit setelah

memulai latihan (exercise). Lesi lebih luas dan tebal dibandingkan

pada lesi urtikaria kolinergik. Riwayat atopi sering ditemukan pada

individu ini dan beberapa individu yang mempunyai riwayat alergi

makanan (Andrew, 2011).

12

Page 13: Responsi Urtikaria Ch

Gambar 5. Exercise-induced urticaria.

Delayed-pressure Urticaria

Delayed-pressure urticaria ditandai dengan munculnya edema

(swelling) yang nyeri sekitar 3 – 12 jam setelah diberikannya

tekanan lokal. Sering terjadi pada kaki setelah berjalan, pantat

setelah duduk lama. Termasuk daerah pinggang (setelah memakai

celana ketat) dan daerah pergelangan kaki atau betis setelah

kontak dengan tali/karet pada kaos kaki (Kanani, 2011). Edema

disertai nyeri berlangsung 8 – 24 jam (Andrew, 2011).

4. Etiologi

Obat – obatan yang paling sering adalah Penicillin. Individu yang

sensitif terhadap aspirin, cenderung memiliki sensistifitas terhadap

tartrazine, pewarna azo benzone dan azo lainnya, salisilat alami

dan turunannya. Aspirin menyebabkan eksaserbasi pada urtikaria

kronik pada 30% pasien.

Makanan makanan yang sifatnya alergenik yaitu coklat, kerang,

kacang – kacangan, kacang tanah, tomat, strawberrie, melon,

daging babi, keju, telur, susu, rempah – rempah. Parasit yang

terdapat pada ikan laut dan kerang yaitu Anisakis simplex dapat

menyebabkan urtikaria/angioedema.

13

Page 14: Responsi Urtikaria Ch

Bahan tambahan pada makanan (food additive) < 10% kasus

urtikaria kronik disebabkan oleh bahan tambahan pada makanan,

termasuk ragi, salisilat, asam sitrat dan albumin ikan.

Infeksi urtikaria akut berhubungan dengan infeksi saluran

pernapasan atas kususnya Streptococcal infection terutama pada

kasus infeksi pada anak – anak. Kemungkinan infeksi lokal lainnya

adalah infeksi pada tonsil, gigi, sinus, kantung empedu, prostad,

kandung kemih atau ginjal. Infeksi virus seperti hepatitis B dan C

juga dapat menyebabkan urtikaria. Selain itu juga infeksi cacing

seperti Ascaris, Ankylostoma, Strongyloides, Filaria, Echinococcus,

Schistosoma, Trichinella, Toxocara dan Liver fluke.

Stress emosional seseorang yang dalam tekanan stress secara

emosi apapun masalahnya dapat menimbulkan urtikaria.

Menthol Jarang terjadi. Dapat ditemukan dalam rokok, permen,

mint, obat batuk, semprotan aerosol, dan obat – obatan topikal.

Neoplasma dapat timbul karena carcinoma dan hodgkin disease.

Inhalant serbuk sari, tungau debu rumah (house dust mites),

bulu, formaldehida, akrolein, serbuk kedelai, biji kapas, ketombe

binatang, kosmetik dan aerosol.

Alkohol

Ketidak seimbangan hormonal wanita dua kali lebih besar

kemungkinannya mengalami urtikaria kronik karena rendahnya

level dehydroepiandosterone (DHEA)-S.

Genetik (Andrew, 2011).

5. Patogenesis

Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler

yang meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan

pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema

disertai kemerahan.

Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi

akibat pelepasan mediator – mediator kimia, misalnya histamin, kinin,

14

Page 15: Responsi Urtikaria Ch

serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan

prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil. Selain itu terjadi pula inhibisi

proteinase oleh enzim proteolitik misalnya kalikrin, tripsin, plasmin dan

hemotripsin di dalam sel mast.

Baik faktor imunologi maupun non-imunologi mampu merangsang

sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut. Pada yang

non-imunologi siklik AMP (Adenosine mono phosphate)memegang

peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti

golongan amin dan derivat amidin, obat – obatan seperti morfin, kodein,

polimiksin dan beberapa antibiotik berperan dalam keadaan ini. Bahan

kolinergik misalnya asetilkolin dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit secara

tidak diketahui mekanismenya, sehingga dapat mempengaruhi sel mast

untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma

tumpul, sinar X dan pemijatan dapat secara langsung merangsang sel

mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi dan alkohol

dapat merangsang langsung pembuluh darah kapiler sehingga terjadi

vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.

Faktor imunologi lebih berperan pada urtikaria yang akut dari pada

yang kronik. Biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau

basofil karena adanya reseptor Fc. Bila ada antigen yang sesuai akan

berikatan dengan IgE, dan akan terjadi degranulasi sel sehingga mampu

melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe 1

(Anafilaksis) misalnya alergi obat dan makanan. Aktivasi komplemen juga

ikut berperan baik secara klasik atapun alternatif menyebabkan pelepasan

anafilaktiksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mast dan basofil,

misalnya akibat venom atau toksin bakteri.

Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi

sitotoksik dan kompleks imun. Pada keadaan ini juga dilepaskan zat

anafilaktoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga terjadi misalnya setelah

pemakaian bahan anti serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin.

Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik juga menyebabkan

edema angioneurotik yang herediter (Djuanda, 2007).

15

Page 16: Responsi Urtikaria Ch

6. Manifestasi Klinik

Batas tegas, menonjol, eritematous, biasanya gatal dengan area

edema yang cepat hilang yang melibatkan dermis superfisial disebut

urtikaria (Fitzpatrick, 2008).

Urtikaria : peninggian kulit yang datar oleh karena edema pada

dermis bagian atas. Bersifat gatal, timbulnya cepat, hilangnya cepat, pori –

pori melebar, warna pucat (Murtiastutik, 2013).

Lesi dari urtikaria timbul mendadak, jarang menetap lebih dari 24

– 48 jam dan mungkin berulang dalam jangka waktu yang tak terbatas,

bersifat sangat gatal (Fitzpatrick, 2008).

Ketika proses edema meluas hingga dermis bagian dalam dan

atau subkutis dan lapisan sub mukosa dikenal dengan angioedema.

Urtikaria dan angioedema mungkin dapat terjadi secara bersamaan di

lokasi manapun dalam suatu individu. Angioedema biasanya mengenai

bagian muka atau sebagian ekstrimitas. Mungkin terasa nyeri tetapi tidak

gatal dan bertahan beberapa hari. Angioedema sering melibatkan bibir,

pipi, dan area peri-orbital tetapi juga mengenai lidah, farinx dan larinx

(Fitzpatrick, 2008).

7. Diagnosis

Diagnosa urtikaria dengan atau tanpa angioedema didasarkan

terutama pada gejala dan pemeriksaan fisik. Tes diagnostik mungkin juga

membantu mengkonfirmasi diagnosis dari urtikaria akut, kronik atau fisik

(Kanani, 2011).

Gejala dan pemeriksaan fisik seharusnya mengandung informasi

yang detail seperti : frekuensi, waktu, durasi, pola lesi saat serangan,

bentuk, ukuran, dan distribusi lesi, faktor pencetus, respon terhadap

pengobatan yang telah dilakukan, dan riwayat atopi individu atau riwayat

keluarga (Kanani, 2011).

Tes diagnostik

Skin prick test membantu mengkonfirmasi diagnosis terhadap

urtikaria akut hasil dari alergi atau reaksi tipe I (melibatkan IgE). Tes ini

16

Page 17: Responsi Urtikaria Ch

sebaiknya dilakukan oleh ahli alergi yang berpengalaman dalam

membaca hasil tes dalam konteks klinis yang sesuai (Kanani, 2011).

Tes diagnosis dan penilaian tertentu dapat membantu dalam

diagnosis dan diferensial diagnosis urtikaria kronik, termasuk : complete

blood count (CBC), serum protein electrophoresis (SPE), the autologus

serum skin test (ASST), the basofil activation test, thyroid autoantibody,

antinuclear antibody (ANA) dan erythrocyte sedimentation rate (ESR)

(Kanani, 2011).

Challenge testing merupakan tes yang mereproduksikan paparan

terhadap stimulus yang dicurigai, sering diindikasikan untuk

menkonfirmasi diagnosis terhadap urtikaria fisik. Cold-induced urticaria

dapat dikonfirmasi menggunakan ice cube test. Urtikaria dermatografik

dapat dikonfirmasi dengan garukan kulit secara ringan. Urtikaria

akuagenik dapat diidentifikasi dengan perendaman bagian tubuh ke dalam

air hangat atau melalui kompres hangat. Mandi air panas (Hot bath

testing) dapat membantu mengidentifikasi urtikaria kolinergik dan aplikasi

dengan memberikan beban/tekanan pada paha membantu dalam

mendiagnosis delayed-pressure urticaria (Kanani, 2011).

8. Terapi

Strategi pengobatan untuk urtikaria akut adalah menghindari

pencetus, pemberian antihistamin dan kortikosteroid. Untuk urtikaria

pemberian antihistamin merupakan terapi yang utama. Kortikosteroid dan

macam – macam terapi imunomodulator/imunosupresan mungkin juga

dapat digunakan untuk kasus – kasus yang berat, atau untuk pasien yang

memberikan respon buruk terhadap pemberian antihistamin (Kanani,

2011).

Pada orang dewasa, pemberian antihistamin non-sedasi

memberikan risiko lebih rendah terhadap gangguan psikomotor. Jika

faktor penyebab timbulnya urtikaria akut dapat diidentifikasi,

menghindarinya adalah yang utama. Pada pasien urtikaria akut yang tidak

17

Page 18: Responsi Urtikaria Ch

merespon terhadap pemberian antihistamin, kortikosteroid sistemik

umumnya efektif (Andrew, 2011).

Andalan pengobatan untuk urtikaria kronis juga pemberian

antihistamin. Kombinasi antihistamin H1 dan H2 seperti hydroxyzine dan

cimetidine atau ranitidine diduga efektif dalam beberapa kasus.

Sayangnya, meskipun kortikosteroid sistemik efektif menekan terjadinya

urtikaria kronik pada kebanyakan kasus, efek samping jangka panjangnya

membuat penggunaannya tidak praktis secara klinis. Segera setelah

kortikosteroid dihentikan gatal – gatal segera berulang. Selain itu, jika

pemicunya adalah infeksi, keadaan ini dapat diperburuk oleh penggunaan

kortikosteroid jangka panjang (Andrew, 2011).

Kortikosteroid topikal, antihistamin topikal dan anestesi topikal

tidak memberikan peranan dalam pengobatan urtikaria kronik. Camphor

topikal dan mentol dapat meredakan gejala (Andrew, 2011).

Antihistamin

Generasi kedua, non-sedasi antihistamin reseptor H1

(fexofenadine, desloratadine, loratadine, cetirizine) merupakan terapi

andalan untuk urtikaria. Generasi pertama, sedasi antihistamin digunakan

untuk terapi adjuvan kepada pasien yang sulit tidur akibat gejala muncul

pada malam hari. 15% reseptor histamin di kulit adalah tipe H2-receptor,

antihistamin reseptor H2 seperti cimetidine, ranitidine, dan nizatidine

mungkin juga membantu pada beberapa pasien dengan urtikaria. Namun,

obat ini tidak diberikan sebagai monoterapi karena mempunyai efek

terbatas terhadap pruritus (Kanani, 2011).

Antihistamin lebih efektif jika dikonsumsi setiap hari dari pada jika

dikonsumsi saat diperlukan saja. Jika gejala terkendali terhadap

pemberian antihistamin dengan dosis baku, pengobatan dapat dilanjutkan

sampai beberapa bulan, kadang – kadang penghentian terapi dibutuhkan

dalam waktu singkat untuk mengetahui apakah urtikaria sudah sembuh

spontan atau belum. Pada pasien yang gejalanya menetap pada

pemberian antihistamin dengan dosis baku, dapat meningkatkan dosis

18

Page 19: Responsi Urtikaria Ch

pemberiannya. European guidelines merekomendasikan untuk

meningkatkan 4x dari dosis baku pemberian terapi antihistamin (Kanani,

2011).

Gambar 6. Antihistamin dan dosis yang biasa digunakan untuk terapi

urtikaria.

Kortikosteroid

Untuk beberapa pasien dengan urtikaria yang berat yang tidak

adekuat dalam merespon pemberian antihistamin, dapat diberikan

kortikosteroid oral misalnya, prednison dengan dosis sampai dengan 40

mg/hari selama 7 hari (Kanani, 2011).

Terapi imunosupresan/imunomodulator

Beberapa terapi imunosupresan/imunomodulator dapat

memberikan beberapa manfaat bagi pasien dengan urtikaria kronik yang

berat. Cyclosporin (3 – 5 mg/kg/hari) efektif pada pasien dengan urtikaria

kronik yang tidak merespon secara adekuat terhadap antihistamin.

Selama terapi dengan cyclosporin, pemberian antihistamin reseptor H1

tetap dilanjutkan dan tekanan darah, fungsi renal dan level serum harus

dipantau secara teratur mengingat adanya efek samping yang signifikan

terhadap pemberian terapi ini, seperti hipertensi dan toksisitas ginjal

(Kanani, 2011).

19

Page 20: Responsi Urtikaria Ch

Terapi lain

Antagonis reseptor leukotrien seperti montelukast (Singulair) atau

zafirlukast (Accolate), juga terbukti efektif dalam pengobatan urtikaria

kronik yang tak terkontrol. Namun, agen ini hanya digunakan sebagai

terapi adjuvan pada pemberian terapi antihistamin, karena hanya sedikit

bukti yang mengatakan agen ini berguna pada monoterapi. Epinefrin

injeksi juga harus diresepkan pada pasien dengan riwayat urtikaria berat

dan angioedema yang menyebabkan anafilaksis (Kanani, 2011).

9. Prognosis

Prognosis pada urtikaria akut sangat baik, dengan sebagian besar

kasus dapat sembuh dalam beberapa hari. Urtikaria akut biasanya dapat

dikendalikan dengan hanya memberikan pengobatan simptomatik dengan

antihistamin. Jika faktor pemicunya diketahui, menghindarinya adalah

terapi yang paling efektif. Urtikaria akut menyebabkan ketidak nyamanan

tetapi tidak menimbulkan kematian, kecuali terkait dengan angioedema

yang melibatkan saluran nafas atas. Jika individu terus terpapar pemicu

yan diketahui maka dapat menjadi kronis. Morbiditas tergantung dari

kondisi keparahan dan durasi (Wong, 2013).

Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat

dapat diatasi, urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit

dicari (Djuanda, 2007).

20

Page 21: Responsi Urtikaria Ch

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda Adhi ed, 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi

kelima. Jakarta: Balai penerbit FKUI, hlm: 169 – 175

2. James William D., Berger Timothy G., Elston Dirk M., 2011.

Andrew’ Diseases of the Skin Clinical Dermatology. 11th ed.

Elsevier, p: 147 – 154

3. Kanani Amin, Schellenberg Robert, Warrington Richard, 2013.

Urticaria and Angioedema. Allergy, Asthma & Clinical Immunology.

Journal, Vol. 7

www.aacijournal.com/content/7/S1/S9

4. Murtiastutik Dwi, Ervianti Evy, Agusni Indropo, Suyoso Sunarso,

2013. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kedua. Surabaya:

AUP, hlm: 1

5. Wolff Klaus, Goldsmith Lowell A, Katz Stephen I., et all, 2008.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed, volume 1and

2. The Mc Graw hill Companies, p: 330 – 343

6. Wong Henry K, 2013. Acute Urticaria. Article

www.emedicine.medscape.com

21