case report (edh)_anneke holly_c11109004.docx

39
BAGIAN ILMU BEDAH CASE PRESENTATION FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2013 UNIVERSITAS HASANUDDIN EPIDURAL HEMATOM DISUSUN OLEH : Anneke Holly C 111 09 004 PEMBIMBING : dr. Fikhi Anggara SUPERVISOR : Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS BAGIAN ILMU PENYAKIT BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: delvinat10

Post on 30-Jan-2016

46 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

BAGIAN ILMU BEDAH CASE PRESENTATION

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2013

UNIVERSITAS HASANUDDIN

EPIDURAL HEMATOM

DISUSUN OLEH :

Anneke Holly

C 111 09 004

PEMBIMBING :

dr. Fikhi Anggara

SUPERVISOR :

Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS

BAGIAN ILMU PENYAKIT BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

Page 2: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Anneke Holly

NIM : C 111 09 004

Judul Case Report : Epidural Hematom

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian ilmu bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Oktober 2013

Mengetahui,

Supervisor, Pembimbing,

Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS (K) dr. Fikhi Anggara

Page 3: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

CASE PRESENTATION SUBDIVISI BEDAH SARAF

I. Identitas Pasien

RM : 632686

Ruang : Lontara 3 Bawah Depan K5/B4

Nama : Tn. YNT

Tanggal Lahir : 19-08-1976

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl. Ekonomi No. 9 Kolaka

Tanggal Masuk Rumah Sakit : 15-10-2013

II. Anamnesis

Keluhan Utama :

Kesadaran menurun

Anamnesis Terpimpin :

Dialami sejak ± 20 jam sebelum masuk rumah sakit.

Awalnya pasien sedang memperbaiki atap rumah, secara tiba-tiba pasien terjatuh dari

ketinggian ± 3 meter dengan bagian kepala sisi sebelah kanan membentur tanah. Setelah

kejadian, pasien sempat sadar baik, kemudian mengalami penurunan kesadaran. Riwayat

pingsan tidak ada, muntah tidak ada, demam tidak ada, batuk tidak ada, riwayat keluar

darah dari hidung sebelah kanan, riwayat keluar darah dari telinga kanan.

BAB : Biasa, kesan normal

BAK : Lancar, kesan normal

Riwayat Penyakit Sebelumnya:

Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat DM disangkal

Riwayat alergi disangkal

Riwayat penyakit lain : Asma, serangan terakhir ± 6 bulan yang lalu

Riwayat minuman keras disangkal

Page 4: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

III. Pemeriksaan Fisis

Primary Survey

A : Paten Dilakukan intubasi ETT

B : 28x/menit, tipe pernapasan thorakoabdominal

C : Tekanan Darah : 100/80mmHg

Nadi : 88x/menit

D : GCS 8 (E2M4V2), Pupil anisokor 4mm/2.5mm, Refleks cahaya +/+ menurun,

Lateralisasi motorik -/-

E : Suhu : 36,9oC

Secondary Survey

Regio Periorbita Dextra

Inspeksi : Tampak hematom, oedem

Palpasi : Nyeri tekan (+)

Status Regional

Kepala

Ekspresi wajah : Biasa

Simetris muka : Simetris kiri=kanan

Deformitas : Tidak ada

Tidak di temukan malar atau rash

Rambut : Hitam, sukar dicabut

Mata

Eksoptalmus/Enoptalmus : (-)

Gerakan bola mata : Dalam batas normal

Tekanan bola mata : Tidak dilakukan pemeriksaan

Kelopak mata : Edema palpebral (+) dextra

Konjungtiva : Anemis (-)

Sklera : Ikterus (-)

Kornea : Jernih

Pupil : Bulat, anisokor 4mm/2,5mm, RC +/+ menurun

Page 5: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

Telinga

Tophi / Nyeri tekan di prosesus mastoiseus : (-)

Pendengaran : Dalam batas normal

Hidung

Perdarahan : (-)

Sekret : (-)

Mulut

Bibir : Kering (-) Sianosis (-)

Gigi geligi : Karies (-)

Gusi : Perdarahan (-)

Tonsil : Hiperemis (-), pembesaran (-)

Farings : Hiperemis (-)

Lidah : Kotor (-)

Leher

Kelenjar getah bening : MT (-), NT (-)

Kelenjar gondok : MT (-), NT (-)

DVS : R-2 cmH2O

Pembuluh darah : Bruit (-), tidak ada kelainan

Kaku kuduk : (-)

Tumor : (-)

Dada

Inspeksi

Simteris dada : Simetris kiri = kanan, spider nevi (-)

Bentuk : Normochest

Pembuluh darah : Bruit (-)

Buah dada : Tidak ada kelainan

Sela iga : Tidak ada pelebaran, tidak ada kelainan

Lain-lain : (-)

Palpasi

Massa Tumor : (-)

Page 6: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

Nyeri tekan : (-)

Perkusi

Paru kiri : Sonor

Paru kanan : Sonor

Batas paru hepar : ICS V dextra anterior

Batas paru belakang kanan : V. Thoracal VIII dextra posterior

Pekak setinggi V. Th VIII

Batas paru belakang kiri : V. Thoracal VIII sinistra posterior

Pekak setinggi V Th VIII

Auskultasi

Bunyi pernapasan : Vesikuler

Bunyi tambahan : Rh-/- Wh -/-

Cor

Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Iktus kordis tidak teraba

Perkusi : Pekak, batas jantung normal

Auskultasi : BJ I/II murni regular, Bunyi tambahan : Bising (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar, ikut gerak napas

Palpasi : MT (-), NT (-)

Hati : sulit dinilai

Limpa : sulit dinilai

Ginjal : Ballottement (-)

Perkusi : Ascites (-), shifting dullness (-)

Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan

Anus dan rectum : Tidak dilakukan pemeriksaan

Page 7: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

Punggung

Inspeksi : Skoliosis (-), Kifosis (-)

Palpasi : MT (-), NT (-)

Perkusi : (-)

Auskultasi : Rh-/- ,Wh-/-

Gerakan : Dalam batas normal

Lain-lain : (-)

Ekstremitas : Tidak ada kelainan

Kulit : Tidak ada kelainan

Status Neurologis

Tanda Rangsang Meningeal

Kaku Kuduk : (-)

Kernig Sign : (-)

Lasegue : (-)

Brudzinsky : (-)

Nervi Craniles:

N. Olfaktorius Kanan Kiri

Penciuman Tidak dilakukan pemeriksaan

N.Opticus

Visus Tidak dilakukan pemeriksaan

Lapangan pandang Tidak dilakukan pemeriksaan

Nn. Occulomotorius, Trochlearis dan Abducens

Kanan Kiri

Pupil

- Bentuknya bulat bulat

- Besarnya Ø 4 mm Ø 2,5 mm

- Isokor/anisokor anisokor

- Midriasis/miosis tidak ada tidak ada

Page 8: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

- Refleks cahaya

- Langsung (+), menurun (+), menurun

- Tidak langsung (+), menurun (+), menurun

Diplopia tidak dilakukan pemeriksaan

Ptosis tidak ada tidak ada

Strabismus tidak ada tidak ada

Exophtalmus tidak ada tidak ada

Gerakan bola mata

N.Trigeminus

Motorik

- Menggigit tidak ada

- Trismus tidak ada

- Refleks kornea (+) (+)

Sensorik

- Dahi tidak dilakukan pemeriksaan

- Pipi tidak dilakukan pemeriksaan

- Dagu tidak dilakukan pemeriksaan

N.Facialis

Motorik tidak dilakukan pemeriksaan

Sensorik tidak dilakukan pemeriksaan

N. Cochlearis

Pendengaran tidak dilakukan pemeriksaan

N. Vestibularis

Nistagmus tidak dilakukan pemeriksaan

Vertigo tidak dilakukan pemeriksaan

N. Glossopharingeus dan N. Vagus

Arcuspharingeus tidak dilakukan pemeriksaan

Uvula tidak dilakukan pemeriksaan

Gangguan menelan tidak dilakukan pemeriksaan

Suara serak/sengau (-)

Denyut jantung tidak dilakukan pemeriksaan

N. Accessorius

Mengangkat bahu tidak dilakukan pemeriksaan

Page 9: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

Memutar kepala tidak dilakukan pemeriksaan

N. Hypoglossus

Mengulur lidah tidak dilakukan pemeriksaan

Disartria tidak dilakukan pemeriksaan

MOTORIK LENGAN Kanan Kiri

Kekuatan tidak dilakukan pemeriksaan

Tonus tidak dilakukan pemeriksaan

TUNGKAI Kanan Kiri

Kekuatan tidak dilakukan pemeriksaan

Tonus tidak dilakukan pemeriksaan

Klonus

- Paha tidak ada tidak ada

- Kaki tidak ada tidak ada

GAIT DAN KESEIMBANGAN

Gait Keseimbangan dan Koordinasi

Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan

GERAKAN ABNORMAL

Tremor : tidak ada

IV. Pemeriksaan Laboratorium

15-10-2013

Hasil Nilai Rujukan Satuan

WBC 24.25+ 4.00-10.0 103/uL

RBC 4.21 4.00-6.00 106/uL

HGB 12.1 12.0-16.0 g/dL

HCT 34.9 37.0-48.0 %

PLT 104 150-400 103/uL

SGOT 40 <38 U/L

SGPT 26 <41 U/L

Albumin 3.1 3.5-5.0 gr/dL

Page 10: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

Natrium 151 136-145 mmol

Kalium 5.0 3.5-5.1 mmol

Klorida 119 97-111 mmol

CT 7’00” 4-10 menit

BT 2’30” 1-7 menit

PT 10.3 control 11.1 10-14 detik

INR 0.9 -- --

APTT 33.5 control 26.6 22.0-30.0 detik

GDS 185 140 mg/dL

Ureum 20 10-50 mg/dL

Kreatinin 0.9 L(<1.3); P(<1.1) mg/dL

V. Pemeriksaan Penunjang

Foto Thorax AP 15-10-2013

- Tampak becak-bercak infiltrate dan gambaran ground glass pada lapangan paru

kanan

- Cor : CTI dalam batas normal, aorta dilatasi

- Kedua sinus dan diafragma baik

- Tulang-tulang intak

Kesan :

- Bronchopneumonia dextra

- Suspek efusi pleura dextra

- Dilatatio aortae

Page 11: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

CT-Scan Kepala tanpa kontras 16-10-2013

Brain Window : EDH parietotemporobasal dextra

Bone Window : Fraktur linier

VI. Resume

Seorang pasien, laki-laki, usia 37 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan kesadaran

menurun yang dialami sejak ± 20 jam sebelum masuk rumah sakit akibat terjatuh dari

ketinggian ± 3 meter. Awalnya pasien sedang memperbaiki atap rumah, secara tiba-tiba

pasien terjatuh dari ketinggian ± 3 meter dengan bagian kepala sisi sebelah kanan

membentur tanah. Setelah kejadian, pasien sempat sadar baik, kemudian mengalami

penurunan kesadaran. Riwayat pingsan (-), muntah (-), riwayat keluar darah dari hidung

sebelah kanan setelah terjatuh, riwayat keluar darah dari telinga kanan. BAB dan BAK

dalam batas normal. Riwayat asma, serangan terakhir ± 6 bulan yang lalu.

Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya jalan napas paten yang kemudian dilakukan

intubasi ETT, jumlah pernapasan 28x/menit, tekanan darah 110/80mmHg, nadi

88x/menit, GCS 8 (E2M4V2), pupil bulat, anisokor 4mm/2.5mm, reflex cahaya +/+

Page 12: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

menurun, lateralisasi motorik -/-, suhu 36,9oC. Pemeriksaan pada regio periorbita dextra

tampak hematom dan udem serta nyeri tekan.

VII. Diagnosis

Diagnosis Klinis : TCB GCS 8 (E2M4V2)

Diagnosis Kerja : TCB GCS 8 (E2M4V2)

EDH Temporoparietal dextra

VIII. Rencana Tindakan

- Pemasangan ETT

- O2 10 lpm via NRM

- Head up 30o

- IVFD RL 20 tpm

- Pasang kateter

- Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv

- Ketorolac 1 amp/8jam/iv

- Ranitidin 1 amp/8jam/iv

- Manitol 20% 200 cc habis dalam 15 menit

- Cito craniectomi

IX. Evaluasi Tindakan

- Pemeriksaan fisis : Setiap kali control

- Laboratorium : Darah rutin, CT, BT

Page 13: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

DISKUSI

EPIDURAL HEMATOM

I. PENDAHULUAN

Epidural hematom (EDH) adalah suatu akumulasi atau penumpukan darah akibat

trauma yang berada diantara tulang tengkorak bagian dalam dan lapisan membran duramater,

keadaan tersebut biasanya sering mendorong atau menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial yang akibatnya kepala seperti dipukul palu atau alat pemukul baseball. Pada 85 –

95% pasien, trauma terjadi akibat adanya fraktur yang hebat. Pembuluh – pembuluh darah

otak yang berada didaerah fraktur atau dekat dengan daerah fraktur akan mengalami

perdarahan. Prognosanya biasanya baik apabila diterapi secara agresif.(1)

Epidural hematom biasanya terjadi akibat tekanan yang keras terhadap pembuluh

darah yang terletak diluar duramater, baik yang terjadi pada tulang tengkorak atau pada

kolumna spinalis. Pada tulang tengkorak, tekanan yang berlebihan pada arteri meningeal akan

menyebabkan epidural hematom.(2)

Hematoma yang terbentuk secara luas akan menekan otak, menyebabkan

pembengkakan dan akhirnya akan merusak otak, hematoma yang luas juga akan

menyebabkan otak bagian atas dan batang otak akan mengalami herniasi. (2,3)

Gejala epidural hematom dapat berupa sakit kepala hebat yang biasanya segera

timbul, akan tetapi dapat juga baru muncul beberapa jam kemudian. Kemudian sakit kepala

tersebut akan menghilang dan akan muncul lagi setelah beberapa jam kemudian dengan nyeri

yang lebih hebat dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa

ngantuk, kelumpuhan, pingsan, sampai koma. (3)

II. ANATOMI MENINGEN OTAK

Secara konvensional, duramater diuraikan sebagai dua lapisan, lapisan endosteal dan

lapisan meningeal. Lapisan endosteal tidak lebih dari suatu periosteum yang menutupi

permukaan dalam tulang – tulang kranium. Pada foramen magnum lapisan endosteal tidak

berlanjut dengan duramater medulla spinalis. Pada sutura, lapisan endosteal berlanjut dengan

ligamentum sutura. Lapisan endosteal paling kuat melekat pada tulang diatas dasar kranium.(4)

Lapisan meningeal merupakan duramater yang sebenarnya. Lapisan meningeal

merupakan membran fibrosa kuat, padat menutupi otak, dan melalui foramen magnum

berlanjut dengan duramater medulla spinalis. Lapisan meningeal ini memberikan sarung

tubuler untuk saraf – saraf kranial pada saat melintas melalui lubang – lubang kranium.

Page 14: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

Kedalam lapisan meningeal membentuk empat septa, yang membagi rongga kranium menjadi

ruang – ruang yang berhubungan dengan bebas dan merupakan tempat bagian – bagian otak.(4)

Falx serebri merupakan lipatan duramater yang berbentuk sabit, terletak dalam garis

tengah antara dua hemispherium serebri. Ujung anteriornya melekat ke Krista frontalis

interna dan Krista galli. Bagian posterior yang lebar bercampur di garis tengah dengan

permukaan atas tentorium serebelli. Sinus sagitalis superior berjalan dalam tepi bagian atas

yang terfiksasi; sinus sagitalis inferior berjalan pada tepi bagian bawah yang konkaf, dan

sinus rektus berjalan disepanjang perlekatannya dengan tentorium serebelli. (4)

Tentorium serebelli merupakan lipatan duramater berbentuk sabit yang membentuk

atap diatas fossa kranialis posterior, menutupi permukaan atas serebellum dan menokong

lobus occipitalis hemisperium serebri. Berdekatan dengan apex pars petrosus os temporale,

lapisan bagian bawah tentorium membentuk kantong kearah depan dibawah sinus petrosus

superior, membentuk suatu resessus untuk n. trigeminus dan ganglion trigeminal.

Falx serebri dan falx serebelli masing – masing melekat ke permukaan atas dan bawah

tentorium. Sinus rektus berjalan di sepanjang perlekatan ke falx serebri; sinus petrosus

superior, bersama perlekatannya ke os petrosa; dan sinus transverses, disepanjang

perlekatannya ke os occipitalis. Falx serebelli merupakan suatu lipatan duramater berbentuk

sabit, kecil melekat ke krista occipitalis interna, berproyeksi kedepan diantara diantara dua

hemispherium serebelli. Diaphragma Sella merupakan suatu lipatan duramater sirkuler,

membentuk atap untuk sella tursika. (4)

Persarafan Duramater(4)

Persarafan ini terutama berasal dari cabang n.trigeminus, tiga saraf servikalis bagian

atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan n.vagus. resptor – reseptor nyeri dalam dura

mater diatas tentorium mengirimkan impuls melalui n.trigeminus, dan suatu nyeri kepala

dirujuk ke kulit dahi dan muka. Impuls nyeri yang timbul dari bawah tentorium dalam fossa

kranialis posterior berjalan melalui tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk

kebelakang kepala dan leher.

Pendarahan Duramater (4)

Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu; arteri karotis interna, arteri maxillaries,

arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis. Dari segi klinis, yang paling

Page 15: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

penting adalah arteri meningea media, yang umumnya mengalami kerusakan pada cedera

kepala.

Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaries dalam fossa temporalis,

memasuki rongga kranialis melalui foramen spinosum dan kemudian terletak antara lapisan

meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian terletak antara lapisan meningeal

dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian berjalan ke depan dank e lateral dalam suatu

sulkus pada permukaan atas squamosa bagian os temporale. Cabang anterior (frontal) secara

mendalam berada dalam sulkus atau saluran angulus antero – inferior os parietale,

perjalanannya secara kasar berhubungan dengan garis gyrus presentralis otak di bawahnya.

Cabang posterior melengkung kearah belakang dan mensuplai bagian posterior duramater.

Vena –vena meningea terletak dalam lapisan endosteal duramater. Vena meningea

media mengikuti cabang – cabang arteri meningea media dan mengalir kedalam pleksus

venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena terletak di lateral arteri.

Sinus Venosus Duramater (4)

Sinus – sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara lapisan – lapisan

duramater. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari otak melalui vena – vena serebralis

dan cairan serebrospinal dari ruang – ruang subarachnoidea melalui villi arachnoidalis. Darah

dalam sinus – sinus duramatr akhirnya mengalir kedalam vena – vena jugularis interna

dileher. Vena emissaria menghubungkan sinus venosus duramater dengan vena – vena

diploika kranium dan vena – vena kulit kepala.

Sinus Sagitalis Superior menduduki batas atas falx serebri yang terfiksasi, mulai di

anterior pada foramen caecum, berjalan ke posterior dalam sulkus di bawah lengkungan

kranium, dan pada protuberantia occipitalis interna berbelok dan berlanjut dengan sinus

transverses. Dalam perjalanannya sinus sagitallis superior menerima vena serebralis superior.

Pada protuberantia occipitalis interna, sinus sagitallis berdilatasi membentuk sinus konfluens.

Dari sini biasanya berlanjut dengan sinus transverses kanan, berhubungan dengan sinus

transverses yang berlawanan dan menerima sinus occipitalis.

Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas dari falx serebri, berjalan

kebelakang dan bersatu dengan vena serebri magna pada tepi bebas tentorium cerebelli

membentuk sinus rektus. Sinus rekrus menempati garis persambungan falx serebri dengan

tentorium serebelli, terbentuk dari persatuan sinus sagitalis inferior dengan vena serebri

magna, berakhir membelok kekiri membentuk sinus transfersus.

Page 16: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

Sinus transverses merupakan struktur berpasangan dan mereka mulai pada

protuberantia occipitalis interna. Sinus kanan biasanya berlanjut dengan sinus sagitalis

superior, dan bagian kiri berlanjut dengan sinus rektus. Setiap sinus menempati tepi yang

melekat pada tentorium serebelli, membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus posterior

os parietale. Mereka menerima sinus petrosus superior, vena – vena serebralis inferior, vena –

vena serebellaris dan vena – vena diploika. Mereka berakhir dengan membelok ke bawah

sebagai sinus sigmoideus.

Sinus sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus tranversus yang akan

melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis interna. Sinus occipitalis merupakan suatu

sinus kecil yang menempati tepi falx serebelli yang melekat, ia berhubungan dengan vena –

vena vertebralis dan bermuara kedalam sinus konfluens. Sinus kavernosus terletak dalam

fossa kranialis media pada setiap sisi corpus os sphenoidalis.

Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf simpatis, berjalan kedepan melalui

sinus. Nervus abdusen juga melintasi sinus dan dipisahkan dari darah oleh suatu pembungkus

endothelial. Sinus petrosus superior dan inferior merupakan sinus –sinus kecil pada batas –

batas superior dan inferior pars petrosus os temporale pada setiap sisi kranium. Setiap sinus

kavernosus kedalam sinus transverses dan setiap sinus inferior mendrainase sinus cavernosus

kedalam vena jugularis interna.

Arachnoidea Mater (4)

Arachnoidea mater merupakan membran tidak permeable, halus, menutupi otak dan

terletak diantara pia mater di interna dan duramater di eksterna. Arachnoidea mater

dipisahkan dari duramater oleh suatu ruang potensial, ruang subdural, terisi dengan suatu

lapisan tipis cairan, dipisahkan dari piamater oleh ruang subarachnoidea, yang terisi dengan

cairan serebrospinal. Permukaan luar dan dalam arachnoidea ditutupi oleh sel –sel

mesothelial yang gepeng.

Pada daerah – daerah tertentu, arachnoidea terbenam kedalam sinus venosus untuk

membentuk villi arachnoidalis. Villi arachnoidalis bertindak sebagai tempat cairan

serebrospinal berdifusi kedalam aliran darah. Arachnoidea dihubungkan ke piamater oleh

untaian jaringan fibrosa halus yang menyilang ruang subarachnoidea yang berisi cairan.

Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis,

ketiga dan keempat otak. Cairan ini keluar dari ventrikulus memasuki subarachnoid,

kemudian bersirkulasi baik kearah atas diatas permukaan hemispherium serebri dan kebawah

disekeliling medulla spinalis.

Page 17: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

Piamater otak (4)

Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang ditutupi oleh sel – sel mesothelial

gepeng. Secara erat menyokong otak, menutupi gyri dan turun kedalam sulki yang terdalam.

Piamater meluas keluar pada saraf – saraf cranial dan berfusi dengan epineurium. Arteri

serebralis yang memasuki substansi otak membawa sarung pia mater bersamanya. Piamater

membentuk tela choroidea dari atap ventrikulus otak ketiga dan keempat, dan berfusi dengan

ependyma untuk membentuk pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis, ketiga, dan

keempat otak.

III. FISIOLOGI MENINGENS (4)

Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung membranosa yang

konsentrik. Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut duramater, membran

tengah tipis dan halus serta diketahui sebagai arachnoidea mater, dan membrane paling dalam

halus dan bersifat vaskuler serta berhubungan erat dengan permukaan otak dan medulla

spinalis serta dikenal sebagai piamater.

Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai periosteum

tulang – tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan meningeal yang berfungsi

untuk melindungi jaringan saraf dibawahnya serta saraf – saraf cranial dengan membentuk

sarung yang menutupi setiap saraf kranial. Sinus venosus terletak dalam duramater yang

mengalirkan darah venosa dari otak dan meningen ke vena jugularis interna dileher.

Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx serebri, yang terletak vertical

antara hemispherium serebri dan lembaran horizontal, yaitu tentorium serebelli, yang

berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebellum, yang berfungsi untuk membatasi

gerakan berlebihan otak dalam kranium.

Arachnoidea mater merupakan membran yang lebih tipis dari duramater dan

membentuk penutup yang longgar bagi otak. Arachnoidea mater menjembatani sulkus –

sulkus dan masuk kedalam yang dalam antara hemispherium serebri. Ruang antara

arachnoidea dengan pia mater diketahui sebagai ruang subarachnoidea dan terisi dengan

cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal merupakan bahan pengapung otak serta

melindungi jaringan saraf dari benturan mekanis yang mengenai kepala.

Page 18: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

Piamater merupakan suatu membran vaskuler yang menyokong otak dengan erat.

Suatu sarung piamater menyertai cabang – cabang arteri arteri serebralis pada saat mereka

memasuki substansia otak. Secara klinis, duramater disebut pachymeninx dan arachnoidea

serta pia mater disebut sebagai leptomeninges.

IV. DEFINISI

Epidural hematom adalah suatu akumulasi darah yang terletak diantara meningen

(membran duramater) dan tulang tengkorak yang terjadi akibat trauma. Duramater

merupakan suatu jaringan fibrosa atau membran yang melapisi otak dan medulla spinalis.

Epidural dimaksudkan untuk organ yang berada disisi luar duramater dan hematoma

dimaksudkan sebagai masa dari darah. (1,2)

V. ETIOLOGI

Epidural hematom terjadi akibat suatu trauma kepala, biasanya disertai dengan fraktur

pada tulang tengkorak dan adanya laserasi arteri. Epidural hematom juga bisa disebabkan

akibat pemakaian obat – obatan antikoagulan, hemophilia, penyakit liver, penggunaan

aspirin, sistemik lupus erimatosus, fungsi lumbal. Spinal epidural hematom disebabkan akibat

adanya kompresi pada medulla spinalis. Gejala klinisnya tergantung pada dimana letak

terjadinya penekanan.(1,2,3,4)

VI. PATOFISIOLOGI (1,3,4,5)

Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf,

pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada

jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan

penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan

massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan

tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak.

Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke

bawah, otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan

batang otak, keadaan ini disebut dengan herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong

otak kecil dan batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) kedalam

medulla spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi

fital (denyut jantung dan pernafasan).

Page 19: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak yang

hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan, sangat peka terhadap

terjadinya perdarahan di sekeliling otak.

Perdarahan epidural timbul akibat cedera terhadap arteri atau vena meningeal. Arteri

yang paling sering mengalami kerusakan adalah cabang anterior arteri meningea media.

Suatu pukulan yang menimbulkan fraktur kranium pada daerah anterior inferior os parietal,

dapat merusak arteri. Cedera arteri dan venosa terutama mudah terjadi jika pembuluh

memasuki saluran tulang pada daerah ini. Perdarahan yang terjadi melepaskan lapisan

meningeal duramater dari permukaan dalam kranium. Tekanan intracranial meningkat, dan

bekuan darah yang membesar menimbulkan tekanan pada daerah motorik gyrus presentralis

dibawahnya. Darah juga melintas kelateral melalui garis fraktur, membentuk suatu

pembengkakan di bawah m.temporalis.

Apabila tidak terjadi fraktur, pembuluh darah bisa pecah juga, akibat daya

kompresinya. Perdarahan epidural akan cepat menimbulkan gejala – gejala, sesuai dengan

sifat dari tengkorak yang merupakan kotak tertutup, maka perdarahan epidural tanpa fraktur,

menyebabkan tekanan intrakranial yang akan cepat meningkat. Jika ada fraktur, maka darah

bisa keluar dan membentuk hematom subperiostal (sefalhematom), juga tergantung pada

arteri atau vena yang pecah maka penimbunan darah ekstravasal bisa terjadi secara cepat atau

perlahan – lahan. Pada perdarahan epidural akibat pecahnya arteri dengan atau tanpa fraktur

linear ataupun stelata, manifestasi neurologik akan terjadi beberapa jam setelah trauma

kapitis.

VII. MANIFESTASI KLINIS (1,2,3,4,5,6)

Saat awal kejadian, pada sekitar 20% pasien, tidak timbul gejala apa – apa,

tetapi kemudian pasien tersebut dapat berlanjut menjadi pingsan dan bangun bangun

dalam kondisi kebingungan. Beberapa penderita epidural hematom mengeluh sakit

kepala, muntah, dan kejang.

Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa posterior akan

menyebabkan keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis. Penderita akan

merasa kebingungan dan berbicara kacau, lalu beberapa saat kemudian menjadi

apneu, koma, kemudian meninggal.

Respon chusing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya

peningkatan tekanan intara kranial, dimana gejalanya dapat berupa :

Hipertensi

Page 20: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

Bradikardi

Bradipneu

Kontusio, laserasi atau tulang yang retak dapat diobservasi di area trauma.

Dilatasi pupil ipsilateral kearah lesi, adanya gejala – gejala peningkatan tekanan

intrakranial, atau herniasi.

Adanya tiga gejala klasik sebagai indikasi dari adanya herniasi yang menetap,

yaitu:

o Coma

o Dilatasi pupil

o Deserebrasi

Adanya hemiplegi kontralateral lesi dengan gejala herniasi harus dicurigai

adanya epidural hematom.

VIII. DIAGNOSA (2)

Adanya gejala neurologis merupakan langkah pertama untuk mengetahui tingkat

keparahan dari trauma kapitis. Kemampuan pasien dalam berbicara, membuka mata dan

respon otot harus dievaluasi disertai dengan ada tidaknya disorientasi (apabila pasien sadar)

tempat, waktu dan kemampuan pasien untuk membuka mata yang biasanya sering

ditanyakan. Apabila pasiennya dalam keadaan tidak sadar, pemeriksaan refleks cahaya pupil

sangat penting dilakukan.

Pada epidural hematom dan jenis lainnya dapat mengakibatkan peningkatan tekanan

intrakranial yang akan segera mempengaruhi nervus kranialis ketiga yang mengandung

beberapa serabut saraf yang mengendalikan konstriksi pupil. Tekanan yang menghambat

nervus ini menyebabkan dilatasi dari pupil yang permanen pada satu atau kedua mata. Hal

tersebut merupakan indikasi yang kuat untuk mengetahui apakah pasien telah mengalami

hematoma intrakranial atau tidak.

Untuk membedakan antara epidural, subdural dan intracranial hematom dapat

dilakukan dengan CT – Scan atau MRI. Dari hasil tersebut, maka seorang dokter ahli bedah

dapat menentukan apakah pembengkakannya terjadi pada satu sisi otak yang akan

mengakibatkan terjadinya pergeseran garis tengah atau mid line shif dari otak. Apabila

pergeserannya lebih dari 5 mm, maka tindakan kraniotomi darurat mesti dilakukan.

Pada pasien dengan epidural spinal hematom, onset gejalanya dapat timbul dengan

segera, yaitu berupa nyeri punggung atau leher sesuai dengan lokasi perdarahan yang terjadi.

Page 21: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

Batuk atau gerakan -gerakan lainnya yang dapat meningkatkan tekanan pada batang tubuh

atau vertebra dapat memperberat rasa nyeri. Pada anak, perdarahan lebih sering terjadi pada

daerah servikal (leher) dari pada daerah toraks.

Pada saat membuat diagnosa pada spinal epidural hematom, seorang dokter harus

memutuskan apakah gejala kompresi spinal tersebut disebabkan oleh hematom atau tumor.

CT- Scan atau MRI sangat baik untuk membedakan antara kompresi pada medulla spinalis

yang disebabkan oleh tumor atau suatu hematom.(2)

IX. GAMBARAN RADIOLOGI

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah

dikenali. (2)

Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural

hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang

mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong

sulcus arteria meningea media. (8)

Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi

cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single)

tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering

di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas,

midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural

hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan

adanya peregangan dari pembuluh darah. (6,7,10)

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser

posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat

menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis

pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.(7,8,9)

X. DIAGNOSA BANDING(1)

- Perdarahan subarachnoid

Page 22: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di dalamnya. (8)

- Subdural hematom

Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara dura mater dan arachnoid.

Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma epidural yang

berkembang lambat. Bisa di sebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang menyebabkan

bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya

di sertai dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak

penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit. (8)

XI. PENATALAKSANAAN (1)

Penanganan sebelum ke Rumah Sakit

- Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi suportiv dengan

mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.

- Berikan O2 dan monitor

- Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak kurang dari 90

mmHg.

- Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler

Penanganan di bagian Emergensi

- Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk mempertahankan

tekanan sistolik diatas 90 mmHg.

- Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat – obatan sedative

misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi digunakan sebagai fasilitas

untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan hiperventilasi bila diperlukan.

- Elevasikan kepala sekitar 30o setelah spinal dinyatakan aman atau gunakan posisi

trendelenburg untuk mengurangi tekanan intrakranial dan untuk menambah drainase

vena.

- Berikan manitol 0,25 – 1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai 90 mmHg

dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya peningkatan tekanan intra

kranial.

- Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg apabila sudah ada

herniasi atau adanya tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial (ICP).

Page 23: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

- Berikan phenitoin untuk kejang – kejang pada awal post trauma, karena phenitoin

tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang dengan onset lama atau

keadaan kejang yang berkembang dari kelainan kejang sebelumnya.

Terapi medikamentosa (1)

Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan

dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol

20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri yang

terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih mana yang terbaik.

Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam

pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk penggunaan jangka

panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin. Tri-hidroksimetil-amino-metana

(THAM) merupakan suatu buffer yang dapat masuk ke susunan saraf pusat dan secara

teoritis lebih superior dari natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan

intracranial. Barbiturat dapat dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi

dan mempunyai efek protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa

diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian

dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drips 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai

kadar serum 3-4mg%.

Penggunaan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk mempertahankan

tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan intrakranial dan metabolisme otak.

Pemakaian tiophental tidak dianjurkan, karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik.

Manitol dapat digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dan memperbaiki

sirkulasi darah. Phenitoin digunakan sebagai obat propilaksis untuk kejang – kejang pada

awal post trauma. Pada beberapa pasien diperlukan terapi cairan yang cukup adekuat

yaitu pada keadaan tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH2O, dapat digunakan

norephinephrin untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 90 mmHg.

Berikut adalah obat – obatan yang digunakan untuk terapi pada epidural hematom:

Diuretik Osmotik

• Misalnya Manitol : Dosis 0,25 – 1 gr/ kg BB iv.

• Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitif, anuria, kongesti paru,

dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progresif dan gagal jantung yang

progresif.

Page 24: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

• Fungsi : Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan tekanan

intrakranial, dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi darah

otak dan kebutuhan oksigen.

Antiepilepsi

• Misalnya Phenitoin (Dilantin) : Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh

lebihn dari 50 mg/menit.

• Kontraindikasi: pada penderita hipersensitiv, pada penyakit dengan blok

sinoatrial, sinus bradikardi, dan sindrom Adam-Stokes.

• Fungsi : Untuk mencegah terjadinya kejang pada awal post trauma.

Terapi Operatif

Operasi di lakukan bila terdapat : (4)

• Volume hamatom > 30 ml

• Keadaan pasien memburuk

• Pendorongan garis tengah > 3 mm

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk

fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi

operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.(7) Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :

• > 25 cc = desak ruang supra tentorial

• > 10 cc = desak ruang infratentorial

• > 5 cc = desak ruang thalamus

Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :

• Penurunan klinis

• Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan

penurunan klinis yang progresif.

• Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan

penurunan klinis yang progresif.

XII. KOMPLIKASI (1)

Page 25: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

- Kelainan neurologik (deficit neurologis), berupa sindrom gegar otak dapat terjadi

dalam beberapa jam sampai beberapa bulan.

- Kematian

XIII. PROGNOSIS (1)

- Prognosis biasanya baik, kematian tidak akan terjadi untuk pasien –pasien yang belum

koma sebelum operasi.

- Kematian terjadi sekitar 9% pada pasien epidural hematom dengan kesadaran yang

menurun.

- 20% terjadi kematian terhadap pasien – pasien yang mengalami koma yang dalam

sebelum dilakukan pembedahan.

XIV. KESIMPULAN

- Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga lapisan membranosa yang

konsentrik. Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut duramater,

membran tengah tipis dan halus serta diketahui sebagai arachnoidea mater, dan

membran paling dalam halus dan bersifat vaskuler serta berhubungan erat dengan

permukaan otak dan medulla spinalis serta dikenal sebagai piamater.

- Epidural hematom adalah suatu akumulasi darah yang terletak diantara meningen

(membran duramter) dan tulang tengkorak yang terjadi akibat trauma. Duramater

merupakan suatu jaringan fibrosa atau membran yang melapisi otak dan medulla

spinalis. Epidural dimaksudkan untuk organ yang berada disisi luar duramater dan

hematoma dimaksudkan sebagai masa dari darah.

- Epidural hematom terjadi akibat suatu trauma kepala, biasanya disertai dengan

fraktur pada tulang tengkorak dan adanya laserasi arteri. Epidural hematom juga bisa

disebabkan akibat pemakaian obat – obatan antikoagulan, hemophilia, penyakit liver,

penggunaan aspirin, sistemik lupus erimatosus, fungsi lumbal. Spinal epidural

hematom disebabkan akibat adanya kompresi pada medulla spinalis.

- Manifestasi Klinis dari epidural hematom dapat berupa; sakit kepala, muntah –

muntah, kejang – kejang. Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa

posterior akan menyebabkan keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis.

Penderita akan merasa kebingungan dan berbicara kacau, lalu beberapa saat kemudian

menjadi apneu, koma, kemudian meninggal.Respon chusing yang menetap dapat

Page 26: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

timbul sejalan dengan adanya peningkatan tekanan intara kranial, dimana gejalanya

dapat berupa : hipertensi, bradikardi, bradipneu.

- Kontusio, laserasi atau tulang yang retak dapat diobservasi di area trauma, dilatasi

pupil, lebam, pupil yang terfiksasi, bilateral atau ipsilateral kearah lesi, adanya gejala

– gejala peningkatan tekanan intrakranial, atau herniasi. Adanya tiga gejala klasik

sebagai indikasi dari adanya herniasi yang menetap, yaitu: coma, dilatasi pupil,

deserebrasi.

- Adanya hemiplegi kontralateral lesi dengan gejala herniasi harus dicurigai adanya

epidural hematom.

- Penatalaksanaan dapat berupa perawatan sebelum di bawa kerumah sakit, perawatan

di bagian emergensi dan terapi obat – obatan.

- Komplikasi dapat berupa; Kelainan neurologik (deficit neurologis), berupa sindrom

gegar otak dapat terjadi dalam beberapa jam sampai bebrapa bulan. Kondisi yang

kacau, baik fisik maupun mental serta kematian.

- Prognosis biasanya baik, kematian tidak akan terjadi untuk pasien –pasien yang belum

koma sebelum operasi. Kematian terjadi sekitar 9% pada pasien epidural hematom

dengan kesadaran yang menurun. 20% terjadi kematian terhadap pasien – pasien yang

mengalami koma yang dalam sebelum dilakukan pembedahan.

Page 27: Case Report (EDH)_Anneke Holly_C11109004.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.emedicine-epidural hematoma: articly by Daniel D Price, MD.

2. http://www.enotes.com/neurological-disorder-encyclopedia:epidural-hematom

3. http://www.medicastore.com.

4. Snell R.S. Neurologi Klinik. Editor, Sjamsir, edisi ke dua, cetakan pertama, penerbit

buku kedokteran EGC, Jakarta 1996. hal 521-532.

5. Mardjono M., Sidarta P., dalam Neurologi Klinis Dasar, cetakan kedelapan, Penerbit

Dian Rakyat, Jakarta, 2000. hal 255-256.

6. http://www.emedicine-case-based-pediatrics.htm .

7. Mc.Donald D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com

8. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah

Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314

9. Sutton D, Neuroradiologi of The Spine, Textbook of Radiology and Imaging, fifth

edition, Churchill