case report (edh)_anneke holly_c11109004.docx
TRANSCRIPT
BAGIAN ILMU BEDAH CASE PRESENTATION
FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2013
UNIVERSITAS HASANUDDIN
EPIDURAL HEMATOM
DISUSUN OLEH :
Anneke Holly
C 111 09 004
PEMBIMBING :
dr. Fikhi Anggara
SUPERVISOR :
Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS
BAGIAN ILMU PENYAKIT BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Anneke Holly
NIM : C 111 09 004
Judul Case Report : Epidural Hematom
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian ilmu bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, Oktober 2013
Mengetahui,
Supervisor, Pembimbing,
Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS (K) dr. Fikhi Anggara
CASE PRESENTATION SUBDIVISI BEDAH SARAF
I. Identitas Pasien
RM : 632686
Ruang : Lontara 3 Bawah Depan K5/B4
Nama : Tn. YNT
Tanggal Lahir : 19-08-1976
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Ekonomi No. 9 Kolaka
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 15-10-2013
II. Anamnesis
Keluhan Utama :
Kesadaran menurun
Anamnesis Terpimpin :
Dialami sejak ± 20 jam sebelum masuk rumah sakit.
Awalnya pasien sedang memperbaiki atap rumah, secara tiba-tiba pasien terjatuh dari
ketinggian ± 3 meter dengan bagian kepala sisi sebelah kanan membentur tanah. Setelah
kejadian, pasien sempat sadar baik, kemudian mengalami penurunan kesadaran. Riwayat
pingsan tidak ada, muntah tidak ada, demam tidak ada, batuk tidak ada, riwayat keluar
darah dari hidung sebelah kanan, riwayat keluar darah dari telinga kanan.
BAB : Biasa, kesan normal
BAK : Lancar, kesan normal
Riwayat Penyakit Sebelumnya:
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat alergi disangkal
Riwayat penyakit lain : Asma, serangan terakhir ± 6 bulan yang lalu
Riwayat minuman keras disangkal
III. Pemeriksaan Fisis
Primary Survey
A : Paten Dilakukan intubasi ETT
B : 28x/menit, tipe pernapasan thorakoabdominal
C : Tekanan Darah : 100/80mmHg
Nadi : 88x/menit
D : GCS 8 (E2M4V2), Pupil anisokor 4mm/2.5mm, Refleks cahaya +/+ menurun,
Lateralisasi motorik -/-
E : Suhu : 36,9oC
Secondary Survey
Regio Periorbita Dextra
Inspeksi : Tampak hematom, oedem
Palpasi : Nyeri tekan (+)
Status Regional
Kepala
Ekspresi wajah : Biasa
Simetris muka : Simetris kiri=kanan
Deformitas : Tidak ada
Tidak di temukan malar atau rash
Rambut : Hitam, sukar dicabut
Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : (-)
Gerakan bola mata : Dalam batas normal
Tekanan bola mata : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kelopak mata : Edema palpebral (+) dextra
Konjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterus (-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, anisokor 4mm/2,5mm, RC +/+ menurun
Telinga
Tophi / Nyeri tekan di prosesus mastoiseus : (-)
Pendengaran : Dalam batas normal
Hidung
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
Mulut
Bibir : Kering (-) Sianosis (-)
Gigi geligi : Karies (-)
Gusi : Perdarahan (-)
Tonsil : Hiperemis (-), pembesaran (-)
Farings : Hiperemis (-)
Lidah : Kotor (-)
Leher
Kelenjar getah bening : MT (-), NT (-)
Kelenjar gondok : MT (-), NT (-)
DVS : R-2 cmH2O
Pembuluh darah : Bruit (-), tidak ada kelainan
Kaku kuduk : (-)
Tumor : (-)
Dada
Inspeksi
Simteris dada : Simetris kiri = kanan, spider nevi (-)
Bentuk : Normochest
Pembuluh darah : Bruit (-)
Buah dada : Tidak ada kelainan
Sela iga : Tidak ada pelebaran, tidak ada kelainan
Lain-lain : (-)
Palpasi
Massa Tumor : (-)
Nyeri tekan : (-)
Perkusi
Paru kiri : Sonor
Paru kanan : Sonor
Batas paru hepar : ICS V dextra anterior
Batas paru belakang kanan : V. Thoracal VIII dextra posterior
Pekak setinggi V. Th VIII
Batas paru belakang kiri : V. Thoracal VIII sinistra posterior
Pekak setinggi V Th VIII
Auskultasi
Bunyi pernapasan : Vesikuler
Bunyi tambahan : Rh-/- Wh -/-
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, batas jantung normal
Auskultasi : BJ I/II murni regular, Bunyi tambahan : Bising (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Palpasi : MT (-), NT (-)
Hati : sulit dinilai
Limpa : sulit dinilai
Ginjal : Ballottement (-)
Perkusi : Ascites (-), shifting dullness (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus dan rectum : Tidak dilakukan pemeriksaan
Punggung
Inspeksi : Skoliosis (-), Kifosis (-)
Palpasi : MT (-), NT (-)
Perkusi : (-)
Auskultasi : Rh-/- ,Wh-/-
Gerakan : Dalam batas normal
Lain-lain : (-)
Ekstremitas : Tidak ada kelainan
Kulit : Tidak ada kelainan
Status Neurologis
Tanda Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : (-)
Kernig Sign : (-)
Lasegue : (-)
Brudzinsky : (-)
Nervi Craniles:
N. Olfaktorius Kanan Kiri
Penciuman Tidak dilakukan pemeriksaan
N.Opticus
Visus Tidak dilakukan pemeriksaan
Lapangan pandang Tidak dilakukan pemeriksaan
Nn. Occulomotorius, Trochlearis dan Abducens
Kanan Kiri
Pupil
- Bentuknya bulat bulat
- Besarnya Ø 4 mm Ø 2,5 mm
- Isokor/anisokor anisokor
- Midriasis/miosis tidak ada tidak ada
- Refleks cahaya
- Langsung (+), menurun (+), menurun
- Tidak langsung (+), menurun (+), menurun
Diplopia tidak dilakukan pemeriksaan
Ptosis tidak ada tidak ada
Strabismus tidak ada tidak ada
Exophtalmus tidak ada tidak ada
Gerakan bola mata
N.Trigeminus
Motorik
- Menggigit tidak ada
- Trismus tidak ada
- Refleks kornea (+) (+)
Sensorik
- Dahi tidak dilakukan pemeriksaan
- Pipi tidak dilakukan pemeriksaan
- Dagu tidak dilakukan pemeriksaan
N.Facialis
Motorik tidak dilakukan pemeriksaan
Sensorik tidak dilakukan pemeriksaan
N. Cochlearis
Pendengaran tidak dilakukan pemeriksaan
N. Vestibularis
Nistagmus tidak dilakukan pemeriksaan
Vertigo tidak dilakukan pemeriksaan
N. Glossopharingeus dan N. Vagus
Arcuspharingeus tidak dilakukan pemeriksaan
Uvula tidak dilakukan pemeriksaan
Gangguan menelan tidak dilakukan pemeriksaan
Suara serak/sengau (-)
Denyut jantung tidak dilakukan pemeriksaan
N. Accessorius
Mengangkat bahu tidak dilakukan pemeriksaan
Memutar kepala tidak dilakukan pemeriksaan
N. Hypoglossus
Mengulur lidah tidak dilakukan pemeriksaan
Disartria tidak dilakukan pemeriksaan
MOTORIK LENGAN Kanan Kiri
Kekuatan tidak dilakukan pemeriksaan
Tonus tidak dilakukan pemeriksaan
TUNGKAI Kanan Kiri
Kekuatan tidak dilakukan pemeriksaan
Tonus tidak dilakukan pemeriksaan
Klonus
- Paha tidak ada tidak ada
- Kaki tidak ada tidak ada
GAIT DAN KESEIMBANGAN
Gait Keseimbangan dan Koordinasi
Tidak dilakukan pemeriksaan Tidak dilakukan pemeriksaan
GERAKAN ABNORMAL
Tremor : tidak ada
IV. Pemeriksaan Laboratorium
15-10-2013
Hasil Nilai Rujukan Satuan
WBC 24.25+ 4.00-10.0 103/uL
RBC 4.21 4.00-6.00 106/uL
HGB 12.1 12.0-16.0 g/dL
HCT 34.9 37.0-48.0 %
PLT 104 150-400 103/uL
SGOT 40 <38 U/L
SGPT 26 <41 U/L
Albumin 3.1 3.5-5.0 gr/dL
Natrium 151 136-145 mmol
Kalium 5.0 3.5-5.1 mmol
Klorida 119 97-111 mmol
CT 7’00” 4-10 menit
BT 2’30” 1-7 menit
PT 10.3 control 11.1 10-14 detik
INR 0.9 -- --
APTT 33.5 control 26.6 22.0-30.0 detik
GDS 185 140 mg/dL
Ureum 20 10-50 mg/dL
Kreatinin 0.9 L(<1.3); P(<1.1) mg/dL
V. Pemeriksaan Penunjang
Foto Thorax AP 15-10-2013
- Tampak becak-bercak infiltrate dan gambaran ground glass pada lapangan paru
kanan
- Cor : CTI dalam batas normal, aorta dilatasi
- Kedua sinus dan diafragma baik
- Tulang-tulang intak
Kesan :
- Bronchopneumonia dextra
- Suspek efusi pleura dextra
- Dilatatio aortae
CT-Scan Kepala tanpa kontras 16-10-2013
Brain Window : EDH parietotemporobasal dextra
Bone Window : Fraktur linier
VI. Resume
Seorang pasien, laki-laki, usia 37 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan kesadaran
menurun yang dialami sejak ± 20 jam sebelum masuk rumah sakit akibat terjatuh dari
ketinggian ± 3 meter. Awalnya pasien sedang memperbaiki atap rumah, secara tiba-tiba
pasien terjatuh dari ketinggian ± 3 meter dengan bagian kepala sisi sebelah kanan
membentur tanah. Setelah kejadian, pasien sempat sadar baik, kemudian mengalami
penurunan kesadaran. Riwayat pingsan (-), muntah (-), riwayat keluar darah dari hidung
sebelah kanan setelah terjatuh, riwayat keluar darah dari telinga kanan. BAB dan BAK
dalam batas normal. Riwayat asma, serangan terakhir ± 6 bulan yang lalu.
Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya jalan napas paten yang kemudian dilakukan
intubasi ETT, jumlah pernapasan 28x/menit, tekanan darah 110/80mmHg, nadi
88x/menit, GCS 8 (E2M4V2), pupil bulat, anisokor 4mm/2.5mm, reflex cahaya +/+
menurun, lateralisasi motorik -/-, suhu 36,9oC. Pemeriksaan pada regio periorbita dextra
tampak hematom dan udem serta nyeri tekan.
VII. Diagnosis
Diagnosis Klinis : TCB GCS 8 (E2M4V2)
Diagnosis Kerja : TCB GCS 8 (E2M4V2)
EDH Temporoparietal dextra
VIII. Rencana Tindakan
- Pemasangan ETT
- O2 10 lpm via NRM
- Head up 30o
- IVFD RL 20 tpm
- Pasang kateter
- Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
- Ketorolac 1 amp/8jam/iv
- Ranitidin 1 amp/8jam/iv
- Manitol 20% 200 cc habis dalam 15 menit
- Cito craniectomi
IX. Evaluasi Tindakan
- Pemeriksaan fisis : Setiap kali control
- Laboratorium : Darah rutin, CT, BT
DISKUSI
EPIDURAL HEMATOM
I. PENDAHULUAN
Epidural hematom (EDH) adalah suatu akumulasi atau penumpukan darah akibat
trauma yang berada diantara tulang tengkorak bagian dalam dan lapisan membran duramater,
keadaan tersebut biasanya sering mendorong atau menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial yang akibatnya kepala seperti dipukul palu atau alat pemukul baseball. Pada 85 –
95% pasien, trauma terjadi akibat adanya fraktur yang hebat. Pembuluh – pembuluh darah
otak yang berada didaerah fraktur atau dekat dengan daerah fraktur akan mengalami
perdarahan. Prognosanya biasanya baik apabila diterapi secara agresif.(1)
Epidural hematom biasanya terjadi akibat tekanan yang keras terhadap pembuluh
darah yang terletak diluar duramater, baik yang terjadi pada tulang tengkorak atau pada
kolumna spinalis. Pada tulang tengkorak, tekanan yang berlebihan pada arteri meningeal akan
menyebabkan epidural hematom.(2)
Hematoma yang terbentuk secara luas akan menekan otak, menyebabkan
pembengkakan dan akhirnya akan merusak otak, hematoma yang luas juga akan
menyebabkan otak bagian atas dan batang otak akan mengalami herniasi. (2,3)
Gejala epidural hematom dapat berupa sakit kepala hebat yang biasanya segera
timbul, akan tetapi dapat juga baru muncul beberapa jam kemudian. Kemudian sakit kepala
tersebut akan menghilang dan akan muncul lagi setelah beberapa jam kemudian dengan nyeri
yang lebih hebat dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa
ngantuk, kelumpuhan, pingsan, sampai koma. (3)
II. ANATOMI MENINGEN OTAK
Secara konvensional, duramater diuraikan sebagai dua lapisan, lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Lapisan endosteal tidak lebih dari suatu periosteum yang menutupi
permukaan dalam tulang – tulang kranium. Pada foramen magnum lapisan endosteal tidak
berlanjut dengan duramater medulla spinalis. Pada sutura, lapisan endosteal berlanjut dengan
ligamentum sutura. Lapisan endosteal paling kuat melekat pada tulang diatas dasar kranium.(4)
Lapisan meningeal merupakan duramater yang sebenarnya. Lapisan meningeal
merupakan membran fibrosa kuat, padat menutupi otak, dan melalui foramen magnum
berlanjut dengan duramater medulla spinalis. Lapisan meningeal ini memberikan sarung
tubuler untuk saraf – saraf kranial pada saat melintas melalui lubang – lubang kranium.
Kedalam lapisan meningeal membentuk empat septa, yang membagi rongga kranium menjadi
ruang – ruang yang berhubungan dengan bebas dan merupakan tempat bagian – bagian otak.(4)
Falx serebri merupakan lipatan duramater yang berbentuk sabit, terletak dalam garis
tengah antara dua hemispherium serebri. Ujung anteriornya melekat ke Krista frontalis
interna dan Krista galli. Bagian posterior yang lebar bercampur di garis tengah dengan
permukaan atas tentorium serebelli. Sinus sagitalis superior berjalan dalam tepi bagian atas
yang terfiksasi; sinus sagitalis inferior berjalan pada tepi bagian bawah yang konkaf, dan
sinus rektus berjalan disepanjang perlekatannya dengan tentorium serebelli. (4)
Tentorium serebelli merupakan lipatan duramater berbentuk sabit yang membentuk
atap diatas fossa kranialis posterior, menutupi permukaan atas serebellum dan menokong
lobus occipitalis hemisperium serebri. Berdekatan dengan apex pars petrosus os temporale,
lapisan bagian bawah tentorium membentuk kantong kearah depan dibawah sinus petrosus
superior, membentuk suatu resessus untuk n. trigeminus dan ganglion trigeminal.
Falx serebri dan falx serebelli masing – masing melekat ke permukaan atas dan bawah
tentorium. Sinus rektus berjalan di sepanjang perlekatan ke falx serebri; sinus petrosus
superior, bersama perlekatannya ke os petrosa; dan sinus transverses, disepanjang
perlekatannya ke os occipitalis. Falx serebelli merupakan suatu lipatan duramater berbentuk
sabit, kecil melekat ke krista occipitalis interna, berproyeksi kedepan diantara diantara dua
hemispherium serebelli. Diaphragma Sella merupakan suatu lipatan duramater sirkuler,
membentuk atap untuk sella tursika. (4)
Persarafan Duramater(4)
Persarafan ini terutama berasal dari cabang n.trigeminus, tiga saraf servikalis bagian
atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan n.vagus. resptor – reseptor nyeri dalam dura
mater diatas tentorium mengirimkan impuls melalui n.trigeminus, dan suatu nyeri kepala
dirujuk ke kulit dahi dan muka. Impuls nyeri yang timbul dari bawah tentorium dalam fossa
kranialis posterior berjalan melalui tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk
kebelakang kepala dan leher.
Pendarahan Duramater (4)
Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu; arteri karotis interna, arteri maxillaries,
arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis. Dari segi klinis, yang paling
penting adalah arteri meningea media, yang umumnya mengalami kerusakan pada cedera
kepala.
Arteri meningea media berasal dari arteri maxillaries dalam fossa temporalis,
memasuki rongga kranialis melalui foramen spinosum dan kemudian terletak antara lapisan
meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian terletak antara lapisan meningeal
dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian berjalan ke depan dank e lateral dalam suatu
sulkus pada permukaan atas squamosa bagian os temporale. Cabang anterior (frontal) secara
mendalam berada dalam sulkus atau saluran angulus antero – inferior os parietale,
perjalanannya secara kasar berhubungan dengan garis gyrus presentralis otak di bawahnya.
Cabang posterior melengkung kearah belakang dan mensuplai bagian posterior duramater.
Vena –vena meningea terletak dalam lapisan endosteal duramater. Vena meningea
media mengikuti cabang – cabang arteri meningea media dan mengalir kedalam pleksus
venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena terletak di lateral arteri.
Sinus Venosus Duramater (4)
Sinus – sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara lapisan – lapisan
duramater. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari otak melalui vena – vena serebralis
dan cairan serebrospinal dari ruang – ruang subarachnoidea melalui villi arachnoidalis. Darah
dalam sinus – sinus duramatr akhirnya mengalir kedalam vena – vena jugularis interna
dileher. Vena emissaria menghubungkan sinus venosus duramater dengan vena – vena
diploika kranium dan vena – vena kulit kepala.
Sinus Sagitalis Superior menduduki batas atas falx serebri yang terfiksasi, mulai di
anterior pada foramen caecum, berjalan ke posterior dalam sulkus di bawah lengkungan
kranium, dan pada protuberantia occipitalis interna berbelok dan berlanjut dengan sinus
transverses. Dalam perjalanannya sinus sagitallis superior menerima vena serebralis superior.
Pada protuberantia occipitalis interna, sinus sagitallis berdilatasi membentuk sinus konfluens.
Dari sini biasanya berlanjut dengan sinus transverses kanan, berhubungan dengan sinus
transverses yang berlawanan dan menerima sinus occipitalis.
Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas dari falx serebri, berjalan
kebelakang dan bersatu dengan vena serebri magna pada tepi bebas tentorium cerebelli
membentuk sinus rektus. Sinus rekrus menempati garis persambungan falx serebri dengan
tentorium serebelli, terbentuk dari persatuan sinus sagitalis inferior dengan vena serebri
magna, berakhir membelok kekiri membentuk sinus transfersus.
Sinus transverses merupakan struktur berpasangan dan mereka mulai pada
protuberantia occipitalis interna. Sinus kanan biasanya berlanjut dengan sinus sagitalis
superior, dan bagian kiri berlanjut dengan sinus rektus. Setiap sinus menempati tepi yang
melekat pada tentorium serebelli, membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus posterior
os parietale. Mereka menerima sinus petrosus superior, vena – vena serebralis inferior, vena –
vena serebellaris dan vena – vena diploika. Mereka berakhir dengan membelok ke bawah
sebagai sinus sigmoideus.
Sinus sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus tranversus yang akan
melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis interna. Sinus occipitalis merupakan suatu
sinus kecil yang menempati tepi falx serebelli yang melekat, ia berhubungan dengan vena –
vena vertebralis dan bermuara kedalam sinus konfluens. Sinus kavernosus terletak dalam
fossa kranialis media pada setiap sisi corpus os sphenoidalis.
Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf simpatis, berjalan kedepan melalui
sinus. Nervus abdusen juga melintasi sinus dan dipisahkan dari darah oleh suatu pembungkus
endothelial. Sinus petrosus superior dan inferior merupakan sinus –sinus kecil pada batas –
batas superior dan inferior pars petrosus os temporale pada setiap sisi kranium. Setiap sinus
kavernosus kedalam sinus transverses dan setiap sinus inferior mendrainase sinus cavernosus
kedalam vena jugularis interna.
Arachnoidea Mater (4)
Arachnoidea mater merupakan membran tidak permeable, halus, menutupi otak dan
terletak diantara pia mater di interna dan duramater di eksterna. Arachnoidea mater
dipisahkan dari duramater oleh suatu ruang potensial, ruang subdural, terisi dengan suatu
lapisan tipis cairan, dipisahkan dari piamater oleh ruang subarachnoidea, yang terisi dengan
cairan serebrospinal. Permukaan luar dan dalam arachnoidea ditutupi oleh sel –sel
mesothelial yang gepeng.
Pada daerah – daerah tertentu, arachnoidea terbenam kedalam sinus venosus untuk
membentuk villi arachnoidalis. Villi arachnoidalis bertindak sebagai tempat cairan
serebrospinal berdifusi kedalam aliran darah. Arachnoidea dihubungkan ke piamater oleh
untaian jaringan fibrosa halus yang menyilang ruang subarachnoidea yang berisi cairan.
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis,
ketiga dan keempat otak. Cairan ini keluar dari ventrikulus memasuki subarachnoid,
kemudian bersirkulasi baik kearah atas diatas permukaan hemispherium serebri dan kebawah
disekeliling medulla spinalis.
Piamater otak (4)
Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang ditutupi oleh sel – sel mesothelial
gepeng. Secara erat menyokong otak, menutupi gyri dan turun kedalam sulki yang terdalam.
Piamater meluas keluar pada saraf – saraf cranial dan berfusi dengan epineurium. Arteri
serebralis yang memasuki substansi otak membawa sarung pia mater bersamanya. Piamater
membentuk tela choroidea dari atap ventrikulus otak ketiga dan keempat, dan berfusi dengan
ependyma untuk membentuk pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis, ketiga, dan
keempat otak.
III. FISIOLOGI MENINGENS (4)
Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung membranosa yang
konsentrik. Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut duramater, membran
tengah tipis dan halus serta diketahui sebagai arachnoidea mater, dan membrane paling dalam
halus dan bersifat vaskuler serta berhubungan erat dengan permukaan otak dan medulla
spinalis serta dikenal sebagai piamater.
Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai periosteum
tulang – tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan meningeal yang berfungsi
untuk melindungi jaringan saraf dibawahnya serta saraf – saraf cranial dengan membentuk
sarung yang menutupi setiap saraf kranial. Sinus venosus terletak dalam duramater yang
mengalirkan darah venosa dari otak dan meningen ke vena jugularis interna dileher.
Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx serebri, yang terletak vertical
antara hemispherium serebri dan lembaran horizontal, yaitu tentorium serebelli, yang
berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebellum, yang berfungsi untuk membatasi
gerakan berlebihan otak dalam kranium.
Arachnoidea mater merupakan membran yang lebih tipis dari duramater dan
membentuk penutup yang longgar bagi otak. Arachnoidea mater menjembatani sulkus –
sulkus dan masuk kedalam yang dalam antara hemispherium serebri. Ruang antara
arachnoidea dengan pia mater diketahui sebagai ruang subarachnoidea dan terisi dengan
cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal merupakan bahan pengapung otak serta
melindungi jaringan saraf dari benturan mekanis yang mengenai kepala.
Piamater merupakan suatu membran vaskuler yang menyokong otak dengan erat.
Suatu sarung piamater menyertai cabang – cabang arteri arteri serebralis pada saat mereka
memasuki substansia otak. Secara klinis, duramater disebut pachymeninx dan arachnoidea
serta pia mater disebut sebagai leptomeninges.
IV. DEFINISI
Epidural hematom adalah suatu akumulasi darah yang terletak diantara meningen
(membran duramater) dan tulang tengkorak yang terjadi akibat trauma. Duramater
merupakan suatu jaringan fibrosa atau membran yang melapisi otak dan medulla spinalis.
Epidural dimaksudkan untuk organ yang berada disisi luar duramater dan hematoma
dimaksudkan sebagai masa dari darah. (1,2)
V. ETIOLOGI
Epidural hematom terjadi akibat suatu trauma kepala, biasanya disertai dengan fraktur
pada tulang tengkorak dan adanya laserasi arteri. Epidural hematom juga bisa disebabkan
akibat pemakaian obat – obatan antikoagulan, hemophilia, penyakit liver, penggunaan
aspirin, sistemik lupus erimatosus, fungsi lumbal. Spinal epidural hematom disebabkan akibat
adanya kompresi pada medulla spinalis. Gejala klinisnya tergantung pada dimana letak
terjadinya penekanan.(1,2,3,4)
VI. PATOFISIOLOGI (1,3,4,5)
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf,
pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada
jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan
penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan
massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan
tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak.
Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke
bawah, otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan
batang otak, keadaan ini disebut dengan herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong
otak kecil dan batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) kedalam
medulla spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi
fital (denyut jantung dan pernafasan).
Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak yang
hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan, sangat peka terhadap
terjadinya perdarahan di sekeliling otak.
Perdarahan epidural timbul akibat cedera terhadap arteri atau vena meningeal. Arteri
yang paling sering mengalami kerusakan adalah cabang anterior arteri meningea media.
Suatu pukulan yang menimbulkan fraktur kranium pada daerah anterior inferior os parietal,
dapat merusak arteri. Cedera arteri dan venosa terutama mudah terjadi jika pembuluh
memasuki saluran tulang pada daerah ini. Perdarahan yang terjadi melepaskan lapisan
meningeal duramater dari permukaan dalam kranium. Tekanan intracranial meningkat, dan
bekuan darah yang membesar menimbulkan tekanan pada daerah motorik gyrus presentralis
dibawahnya. Darah juga melintas kelateral melalui garis fraktur, membentuk suatu
pembengkakan di bawah m.temporalis.
Apabila tidak terjadi fraktur, pembuluh darah bisa pecah juga, akibat daya
kompresinya. Perdarahan epidural akan cepat menimbulkan gejala – gejala, sesuai dengan
sifat dari tengkorak yang merupakan kotak tertutup, maka perdarahan epidural tanpa fraktur,
menyebabkan tekanan intrakranial yang akan cepat meningkat. Jika ada fraktur, maka darah
bisa keluar dan membentuk hematom subperiostal (sefalhematom), juga tergantung pada
arteri atau vena yang pecah maka penimbunan darah ekstravasal bisa terjadi secara cepat atau
perlahan – lahan. Pada perdarahan epidural akibat pecahnya arteri dengan atau tanpa fraktur
linear ataupun stelata, manifestasi neurologik akan terjadi beberapa jam setelah trauma
kapitis.
VII. MANIFESTASI KLINIS (1,2,3,4,5,6)
Saat awal kejadian, pada sekitar 20% pasien, tidak timbul gejala apa – apa,
tetapi kemudian pasien tersebut dapat berlanjut menjadi pingsan dan bangun bangun
dalam kondisi kebingungan. Beberapa penderita epidural hematom mengeluh sakit
kepala, muntah, dan kejang.
Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa posterior akan
menyebabkan keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis. Penderita akan
merasa kebingungan dan berbicara kacau, lalu beberapa saat kemudian menjadi
apneu, koma, kemudian meninggal.
Respon chusing yang menetap dapat timbul sejalan dengan adanya
peningkatan tekanan intara kranial, dimana gejalanya dapat berupa :
Hipertensi
Bradikardi
Bradipneu
Kontusio, laserasi atau tulang yang retak dapat diobservasi di area trauma.
Dilatasi pupil ipsilateral kearah lesi, adanya gejala – gejala peningkatan tekanan
intrakranial, atau herniasi.
Adanya tiga gejala klasik sebagai indikasi dari adanya herniasi yang menetap,
yaitu:
o Coma
o Dilatasi pupil
o Deserebrasi
Adanya hemiplegi kontralateral lesi dengan gejala herniasi harus dicurigai
adanya epidural hematom.
VIII. DIAGNOSA (2)
Adanya gejala neurologis merupakan langkah pertama untuk mengetahui tingkat
keparahan dari trauma kapitis. Kemampuan pasien dalam berbicara, membuka mata dan
respon otot harus dievaluasi disertai dengan ada tidaknya disorientasi (apabila pasien sadar)
tempat, waktu dan kemampuan pasien untuk membuka mata yang biasanya sering
ditanyakan. Apabila pasiennya dalam keadaan tidak sadar, pemeriksaan refleks cahaya pupil
sangat penting dilakukan.
Pada epidural hematom dan jenis lainnya dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial yang akan segera mempengaruhi nervus kranialis ketiga yang mengandung
beberapa serabut saraf yang mengendalikan konstriksi pupil. Tekanan yang menghambat
nervus ini menyebabkan dilatasi dari pupil yang permanen pada satu atau kedua mata. Hal
tersebut merupakan indikasi yang kuat untuk mengetahui apakah pasien telah mengalami
hematoma intrakranial atau tidak.
Untuk membedakan antara epidural, subdural dan intracranial hematom dapat
dilakukan dengan CT – Scan atau MRI. Dari hasil tersebut, maka seorang dokter ahli bedah
dapat menentukan apakah pembengkakannya terjadi pada satu sisi otak yang akan
mengakibatkan terjadinya pergeseran garis tengah atau mid line shif dari otak. Apabila
pergeserannya lebih dari 5 mm, maka tindakan kraniotomi darurat mesti dilakukan.
Pada pasien dengan epidural spinal hematom, onset gejalanya dapat timbul dengan
segera, yaitu berupa nyeri punggung atau leher sesuai dengan lokasi perdarahan yang terjadi.
Batuk atau gerakan -gerakan lainnya yang dapat meningkatkan tekanan pada batang tubuh
atau vertebra dapat memperberat rasa nyeri. Pada anak, perdarahan lebih sering terjadi pada
daerah servikal (leher) dari pada daerah toraks.
Pada saat membuat diagnosa pada spinal epidural hematom, seorang dokter harus
memutuskan apakah gejala kompresi spinal tersebut disebabkan oleh hematom atau tumor.
CT- Scan atau MRI sangat baik untuk membedakan antara kompresi pada medulla spinalis
yang disebabkan oleh tumor atau suatu hematom.(2)
IX. GAMBARAN RADIOLOGI
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah
dikenali. (2)
Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural
hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang
mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong
sulcus arteria meningea media. (8)
Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi
cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single)
tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering
di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas,
midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural
hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan
adanya peregangan dari pembuluh darah. (6,7,10)
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.(7,8,9)
X. DIAGNOSA BANDING(1)
- Perdarahan subarachnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah di dalamnya. (8)
- Subdural hematom
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara dura mater dan arachnoid.
Secara klinis hematoma subdural akut sukar dibedakan dengan hematoma epidural yang
berkembang lambat. Bisa di sebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang menyebabkan
bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya
di sertai dengan perdarahan jaringan otak. Gambaran CT-Scan hematoma subdural, tampak
penumpukan cairan ekstraaksial yang hiperdens berbentuk bulan sabit. (8)
XI. PENATALAKSANAAN (1)
Penanganan sebelum ke Rumah Sakit
- Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi suportiv dengan
mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.
- Berikan O2 dan monitor
- Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak kurang dari 90
mmHg.
- Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler
Penanganan di bagian Emergensi
- Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk mempertahankan
tekanan sistolik diatas 90 mmHg.
- Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat – obatan sedative
misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi digunakan sebagai fasilitas
untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan hiperventilasi bila diperlukan.
- Elevasikan kepala sekitar 30o setelah spinal dinyatakan aman atau gunakan posisi
trendelenburg untuk mengurangi tekanan intrakranial dan untuk menambah drainase
vena.
- Berikan manitol 0,25 – 1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun sampai 90 mmHg
dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat adanya peningkatan tekanan intra
kranial.
- Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg apabila sudah ada
herniasi atau adanya tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial (ICP).
- Berikan phenitoin untuk kejang – kejang pada awal post trauma, karena phenitoin
tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang dengan onset lama atau
keadaan kejang yang berkembang dari kelainan kejang sebelumnya.
Terapi medikamentosa (1)
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan
dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol
20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri yang
terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih mana yang terbaik.
Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam
pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic dan untuk penggunaan jangka
panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin. Tri-hidroksimetil-amino-metana
(THAM) merupakan suatu buffer yang dapat masuk ke susunan saraf pusat dan secara
teoritis lebih superior dari natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan
intracranial. Barbiturat dapat dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi
dan mempunyai efek protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa
diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian
dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drips 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai
kadar serum 3-4mg%.
Penggunaan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk mempertahankan
tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan intrakranial dan metabolisme otak.
Pemakaian tiophental tidak dianjurkan, karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik.
Manitol dapat digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dan memperbaiki
sirkulasi darah. Phenitoin digunakan sebagai obat propilaksis untuk kejang – kejang pada
awal post trauma. Pada beberapa pasien diperlukan terapi cairan yang cukup adekuat
yaitu pada keadaan tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH2O, dapat digunakan
norephinephrin untuk mempertahankan tekanan darah sistoliknya diatas 90 mmHg.
Berikut adalah obat – obatan yang digunakan untuk terapi pada epidural hematom:
Diuretik Osmotik
• Misalnya Manitol : Dosis 0,25 – 1 gr/ kg BB iv.
• Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitif, anuria, kongesti paru,
dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progresif dan gagal jantung yang
progresif.
• Fungsi : Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan tekanan
intrakranial, dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi darah
otak dan kebutuhan oksigen.
Antiepilepsi
• Misalnya Phenitoin (Dilantin) : Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh
lebihn dari 50 mg/menit.
• Kontraindikasi: pada penderita hipersensitiv, pada penyakit dengan blok
sinoatrial, sinus bradikardi, dan sindrom Adam-Stokes.
• Fungsi : Untuk mencegah terjadinya kejang pada awal post trauma.
Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat : (4)
• Volume hamatom > 30 ml
• Keadaan pasien memburuk
• Pendorongan garis tengah > 3 mm
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi
operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.(7) Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
• > 25 cc = desak ruang supra tentorial
• > 10 cc = desak ruang infratentorial
• > 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
• Penurunan klinis
• Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
• Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
XII. KOMPLIKASI (1)
- Kelainan neurologik (deficit neurologis), berupa sindrom gegar otak dapat terjadi
dalam beberapa jam sampai beberapa bulan.
- Kematian
XIII. PROGNOSIS (1)
- Prognosis biasanya baik, kematian tidak akan terjadi untuk pasien –pasien yang belum
koma sebelum operasi.
- Kematian terjadi sekitar 9% pada pasien epidural hematom dengan kesadaran yang
menurun.
- 20% terjadi kematian terhadap pasien – pasien yang mengalami koma yang dalam
sebelum dilakukan pembedahan.
XIV. KESIMPULAN
- Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga lapisan membranosa yang
konsentrik. Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut duramater,
membran tengah tipis dan halus serta diketahui sebagai arachnoidea mater, dan
membran paling dalam halus dan bersifat vaskuler serta berhubungan erat dengan
permukaan otak dan medulla spinalis serta dikenal sebagai piamater.
- Epidural hematom adalah suatu akumulasi darah yang terletak diantara meningen
(membran duramter) dan tulang tengkorak yang terjadi akibat trauma. Duramater
merupakan suatu jaringan fibrosa atau membran yang melapisi otak dan medulla
spinalis. Epidural dimaksudkan untuk organ yang berada disisi luar duramater dan
hematoma dimaksudkan sebagai masa dari darah.
- Epidural hematom terjadi akibat suatu trauma kepala, biasanya disertai dengan
fraktur pada tulang tengkorak dan adanya laserasi arteri. Epidural hematom juga bisa
disebabkan akibat pemakaian obat – obatan antikoagulan, hemophilia, penyakit liver,
penggunaan aspirin, sistemik lupus erimatosus, fungsi lumbal. Spinal epidural
hematom disebabkan akibat adanya kompresi pada medulla spinalis.
- Manifestasi Klinis dari epidural hematom dapat berupa; sakit kepala, muntah –
muntah, kejang – kejang. Pasien dengan epidural hematom yang mengenai fossa
posterior akan menyebabkan keterlambatan atau kemunduran aktivitas yang drastis.
Penderita akan merasa kebingungan dan berbicara kacau, lalu beberapa saat kemudian
menjadi apneu, koma, kemudian meninggal.Respon chusing yang menetap dapat
timbul sejalan dengan adanya peningkatan tekanan intara kranial, dimana gejalanya
dapat berupa : hipertensi, bradikardi, bradipneu.
- Kontusio, laserasi atau tulang yang retak dapat diobservasi di area trauma, dilatasi
pupil, lebam, pupil yang terfiksasi, bilateral atau ipsilateral kearah lesi, adanya gejala
– gejala peningkatan tekanan intrakranial, atau herniasi. Adanya tiga gejala klasik
sebagai indikasi dari adanya herniasi yang menetap, yaitu: coma, dilatasi pupil,
deserebrasi.
- Adanya hemiplegi kontralateral lesi dengan gejala herniasi harus dicurigai adanya
epidural hematom.
- Penatalaksanaan dapat berupa perawatan sebelum di bawa kerumah sakit, perawatan
di bagian emergensi dan terapi obat – obatan.
- Komplikasi dapat berupa; Kelainan neurologik (deficit neurologis), berupa sindrom
gegar otak dapat terjadi dalam beberapa jam sampai bebrapa bulan. Kondisi yang
kacau, baik fisik maupun mental serta kematian.
- Prognosis biasanya baik, kematian tidak akan terjadi untuk pasien –pasien yang belum
koma sebelum operasi. Kematian terjadi sekitar 9% pada pasien epidural hematom
dengan kesadaran yang menurun. 20% terjadi kematian terhadap pasien – pasien yang
mengalami koma yang dalam sebelum dilakukan pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.emedicine-epidural hematoma: articly by Daniel D Price, MD.
2. http://www.enotes.com/neurological-disorder-encyclopedia:epidural-hematom
3. http://www.medicastore.com.
4. Snell R.S. Neurologi Klinik. Editor, Sjamsir, edisi ke dua, cetakan pertama, penerbit
buku kedokteran EGC, Jakarta 1996. hal 521-532.
5. Mardjono M., Sidarta P., dalam Neurologi Klinis Dasar, cetakan kedelapan, Penerbit
Dian Rakyat, Jakarta, 2000. hal 255-256.
6. http://www.emedicine-case-based-pediatrics.htm .
7. Mc.Donald D., Epidural Hematoma, www.emedicine.com
8. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314
9. Sutton D, Neuroradiologi of The Spine, Textbook of Radiology and Imaging, fifth
edition, Churchill