presus edh

Upload: hermansyah-chiu

Post on 05-Mar-2016

57 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pdf

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANI. Latar BelakangTrauma pada susunan saraf pusat merupakan problematika yang komplek, bila tidak mendapat penanganan dengan baik akan mempengaruhi kualitas hidup seseorang, baik terhadap fungsi motorik, fungsi sosial maupun mental. Trauma susunan saraf pusat merupakan penyebab kematian tersering pada populasi penduduk dibawah usia 45 tahun di negara-negara berkembang. Kematian akibat trauma tersebut, sebagian besar disebabkan oleh cedera kepala. Selain menyebabkan kematian, cedera kepala juga sering mengakibatkan kecacatan permanen.Cedera kepala merupakan kegawatdaruratan yang harus ditangani secara tepat dan cermat. Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada dasarnya memiliki tujuan untuk sedini mungkin memperbaiki keadaan umum serta mencegah cedera kepala sekunder. Penanganan yang dilakukan saat terjadi cedera kepala adalah menjaga jalan nafas penderita, mengontrol pendarahan dan mencegah syok, imobilisasi penderita, mencegah terjadinya komplikasi dan cedera sekunder. Setiap keadaan yang tidak normal dan membahayakan harus segera diberikan tindakan resusitasi pada saat itu juga .Cedera kepala merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera primer sangat menentukan hasil, sedangkan cedera sekunder yang disebabkan faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia, hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia, dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan otak lanjutan dan memperburuk trauma SSP. Manajemen anestesi perioperatif yang tepat dan dimulai sejak periode preoperatif, terutama saat pasien berada di Unit Gawat Darurat, sangat menentukan keluaran dari pasien.

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Epidural Hematoma1. DefinisiEpidural hematoma merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater (dikenal dengan istilah hematom ekstradural). Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens (a. Meningea media). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi (Sjamsuhidajat, 2003).

Gambar 1. CT Scan Epidural Hematom2. EtiologiKausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi:1) Trauma kepala2) Sobekan arteri/vena meningea mediana3) Ruptur sinus sagitalis/sinus tranversum4) Ruptur vena diplorica3. KlasifikasiBerdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi:1) Akut: ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma.2) Subakut: ditentukan diagnosisnya antara 24 jam7 hari.3) Kronis: ditentukan diagnosisnya hari ke 7.4. PatofisiologiEpidural hematoma sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila ada benturan keras pada tulang tengkorak. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital (Hafid, 2004).Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar (Hafid, 2004).Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium (Hafid, 2004).Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria di medulla oblongata dapat menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif (Hafid, 2004). Semakin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun (Hafid, 2004). Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Pada subdural hematoma yang cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar (Hafid, 2004).

Brief contact force Cedera kepala berat atau fraktur kraniumRuptur arteri meningea mediaPerdarahan semakin cepatRuptur permukaan luar duramaterDarah merembes diantara duramater dan kranium Darah terkumpulBekuan darah membentuk massaMenekan otakPeningkatan tekanan intrakranialCedera otak sekunderKerusakan otak permanenKomaPembesaran pupilNyeri kepala Kematian

5. Penegakkan Diagnosisa. Anamnesis1) Riwayat trauma2) Gangguan kesadaran (bisa dalam keadaan tidak sadar, hilang kesadaran singkat atau tidak mengalami kehilangan kesadaran).3) Adanya interval lucid, Intervallucidklasik muncul pada 20-50% pasien dengan perdarahan epidural. Pada awalnya, tekanan mudah-lepas yang menyebabkan cedera kepala mengakibatkan perubahan kesadaran. Setelah kesadaran pulih, perdarahan epidural terus meluas sampai efek massa perdarahan itu sendiri menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, menurunnya tingkat kesadaran, dan kemungkinan sindroma herniasi.Intervallucidyang bergantung pada luasnya cedera, merupakan kunci untuk menegakkan diagnosa perdarahan epidural.b. Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik (Mardjono, 2000; Sjamsir, 2006; 1) Pasien mungkin cedera kepala seperti laserasi kulit kepala,cephalohematoma, atau kontusio.2) Cedera sistemik juga dapat muncul sebagai tanda adanya trauma3) TriasCushingklasik mungkin terjadi melibatkan hipertensi sistemik, bradikardia, dan depresi pernafasan. Respon ini biasanya muncul ketika perfusi serebral.4) Penilaian neurologis1) tingkat kesadaranGCS penting dalam menilai kondisi klinis terkini. GCS positif berhubungan dengan hasil akhir 2) aktivitas motorik3) Pada pasien yang sadar dengan lesi massa, fenomenadrift pronatormungkin membantu dalam menilai arti klinis. Arah ekstremitas ketika pasien diminta menahan kedua lengan teregang keluar dengan kedua telapak tangan menghadap keatas mengindikasikan efek massa yang sulit dipisahkan namun penting. tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia.4) pembukaan mata5) respon verbal6) reaktivitas dan ukuran pupilc. Pemeriksaan Penunjanga. Pemeriksaan Laboratorium (Mardjono, 2000; Sjamsir, 2006Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma. b. Pencitraan (Mardjono, 2000; Sjamsir, 2006; Syamsuhidayat, 2004)a) CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat (Mardjono, 2000; Sjamsir,).b) Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin serum yang rendah (Mardjono, 2000; Sjamsir, )3) MRIPerdarahan akut pada MRI terlihatisointense, menjadikan cara ini kurang tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas (Mardjono, 2000; Sjamsir 2006).6. Penatalaksanaana. Penatalaksanaan Awal1) Jalan nafas (airway) dengan stabilisasi servikalJalan napas diinspeksi segera untuk memastikan patensi dan segera identifikasi segala penyebab obstruksi (benda asing, serpihan fraktur, gangguan trakea-laring, cedera tulang servikal). Jika terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang umumnya sering terjadi pada penderita yang tidak sadar yang dapat terjadi karena adanya benda asing, lendir atau darah, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah, maka jalan nafas harus segera dibersihkan. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus hati-hati, bila ada riwayat/dugaan trauma sevikal harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Kontrol servikal harus dipertahankan karena pasien dengan multitrauma harus dianggap juga mendapat cedera leher hingga pemeriksaan radiologi menyatakan sebaliknya. Chin lift dan jaw thrust adalah metode awal menyokong patensi jalan napas yang secara otomatis melindungi vertebra servikal (Feliciano et al., 2004).2) Pernapasan (breathing) dan ventilasi Ketika patensi jalan napas telah terjaga, kemampuan pasien bernapas segera dinilai. Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh hasil analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. Tindakan hiperventilasi dilakukan pada penderita cedera kepala berat yang menunjukkan perburukan neurologis akut (GCS menurun secara progresif atau terjadi dilatasi pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmHg (Feliciano et al., 2004).3) Nadi dan tekanan darah (circulation) dan kontrol perdarahan Adanya hipotensi merupakan petunjuk bahwa telah terjadi kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas. Hipotensi memiliki efek berbahaya bagi pasien cedera kepala karena membahayakan tekanan perfusi otak dan berperan dalam timbulnya edema dan iskemia otak. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah (Feliciano et al., 2004).b. Konservatif1) Manitol 20%Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm (Japardi, 2002).2) Loop diuretik (Furosemid)Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan serebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/IV (Japardi, 2002).3) Terapi barbiturat (Fenobarbital)Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Terapi ini bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain. Fenobarbital bekerja dengan cara menekan metabolisme otak sehingga kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara pemberiannya: bolus 10 mg/kgBB/IV selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari (Japardi, 2002).4) Cairan IntravenaPrinsip manajemen trauma kapitis adalah mempertahankan perfusi serebral yang adekuat dengan menjaga tekanan atau bahkan menaikkan tekanan darah. Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan normovolemia, jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hipoglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak (De Jong, 2004). Strategi terbaik adalah mempertahankan volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi hiponatremia yang bisa menyebabkan edema otak (Seth & Morris, 2004).5) AntikonvulsanKejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma kepala tumpul dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca trauma bukan prediksi epilepsi tetapi kejang dini bisa memperburuk secondary brain injury dengan menyebabkan hipoksia, hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan peningkatan ICP (Feliciano et al., 2004).Pengobatan (Japardi, 2002):a. Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/harib. Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila cenderung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan 25 ml2) Keadaan pasien memburuk3) Pendorongan garis tengah > 5 mmPenanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi sederhana (burr hole). Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma. Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang. Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume (American Collage Surgeon, 2004):1) > 25 cc desak ruang supra tentorial2) > 10 cc desak ruang infratentorial3) > 5 cc desak ruang thalamusIndikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan (American Collage Surgeon, 2004):1) Penurunan klinis.2) Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis yang progresif.3) Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis yang progresif.d. Nonmedikamentosa1) Posisi TidurPenderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar (Japardi, 2002).2) Nutrisi AdekuatPada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari (Japardi, 2002).7. PrognosisPrognosis tergantung pada (Heegaard & Biros, 2007):a. Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )b. Besarnyac. Kesadaran saat masuk kamar operasi.Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi (Heegaard & Biros, 2007).8. KomplikasiKomplikasi cedera kepala yang mungkin terjadi diantaranya adalah sebagai berikut (Price & Wilson, 2006):a. Cedera otak sekunder akibat hipoksia dan hipotensib. Edema serebralc. Hernia jaringan otakd. Infeksie. Emboli lemakf. Hidrosefalus g. Fistula cairan serebrospinalisB. Manajemen Anestesi Pada Cedera Kepala1. Preoperatifa) Evaluasi Prabedah dengan mengetahui riwayat medis lengkap keadaaan Umum seperti kesadaran ,respirasi,kardiovaskuler,dan neurologisb) Anamnesis adanya gejala kenaikan ICP( sakit kepala ,mual, muntah,penurunan kesadaran,gangguan penglihatan).adanya kejang,defisit neurologis akibat penekan lokal dari trauma,riwayat operasi sebelumnya .c) Pemeriksaan fisik : tanda tanda vital harus segera diperiksa ,apakah hipertensi atau hipotensi,perhatikan jalan napas,paru ,sistem kardiovaskuler dan ssp2. IntraopertifTeknik operasi adalah anestesi umum dengan pemasanga ETT non kingking.Induksi :a) Preoksigenasi dengan memberi o2 100 % sampai tercapai saturasi 100%.kemudian fentanil 1-4 mg/bbb) Penthotal 3-6 mg/kg atau propofol 1,25-2,25 mg/kg sebagai hipnotik sedativec) Kemudian diikuti ventilasi dengan sungkup mukad) Neuromuskular blokade:vecoronium 0,1-0,15 mg/kg iv.merupakan pilihan karna kardiovaskular stabil dan efek icp yang minimale) Lalu hiperventilasi melalui sungkup muka dengan 02 atau O2 dengan Isoflurant konsentrasi terendah 0,5 %f) Lidokain 1-1,5 untuk mengurangi lonjakan hemodinamik saat intubasi dan setengah dosis obat diberikan sebelum dilakukan intubasig) Kombinasi narkotik fentanil 5 mg/kg diberikan sebagai analgetikh) Kontrol ventilasi PaCO2 -35 mmhgi) Kemudian Intubasi dengan ETT non kingking sesuai ukuran pasienPemeliharaana) Harus mempunyai efek paling kecil terhadap autoregulasi serebral dan kemampuan merespon Co2 .Infus Fenthotal kuntiniyu 0,2-0,3mm/kg menit sampai dosis total 20-25 mg/kg atau propofol kuntiniyu 50-150 mg/kg menit dapat menurunkan CBF atau sevofluran 0,5%-1,5%.b) Analgetik maintenan fentanil 1-2 mg/kg jam.berikan bolus fentanil 2 mg/kg(saat pemasangan pin atau insisi kulit )c) Isofluran < 1vol % dalam O2 umumnya menghasilkan intrakranial yang dinamik yang lebih stabild) Posisi kepala head up ,vena jugularis bebase) Manitol 05-0,75 gr/kgf) Pastikan cairan adekuat(nacl 0,9% atau hes 6%PengakhiranKeputusan diekstubasi atau tidak tergantung kondisi pasien saat dilakukan operasi.ETT dipertahankan bila manipulasi dalal,pasien belum bangun,perdarahan banyak saat manipulasi3. Standar MonitorEkg,kapnometer,pulse oksimetri,tensimeter,jalur tekanan arteri invasif ,pemasangan cvp4. Pasca OperatifKomplikasi : Kejang ,hipertensi ,aritmia,neurogenic pulomonari edema,emboli lemak,emboli udara,defisit neurologis,perdarahan,pembengkakan dan peningkatan tekanan intrakranialPenatalaksaan Nyeri : ketoprofen 100 mg IM ,Metamizol 1000 iv dan metamizol 2000 drip15 gtt/menit

BAB IIILAPORAN KASUSA. Identitas PasienNama: An. AUmur: 11tahunBerat badan: 32 KgJenis kelamin: PerempuanAlamat: Kavling Bukit MelatiAgama: IslamTanggal masuk RSMS: 06 Januari 2015Diagnosa : Epidural HematomB. Primary survey1. A: tidak clear, gigi ompong (-), gigi palsu (-), Malapati 12. B: Spontan, RR : 24x/menit, suara dasar vesikuler +/+, Wh (-), Rh (-), stridor (-/-)3. C: TD 120/90 mmHg, Nadi 94 kali/menit, reguler, tegangan dan isi cukup, S1>S2, G (-), M (-)4. D: GCS E4M6V5, BB 32 kg, TB 139 cm, Suhu 37,2CC. Secondary survei1. Anamnesisa. Keluhan utama : tidak sadar dirib. Keluhan tambahan: muntah c. Riwayat penyakit sekarangPasien dibawa keluarga ke IGD RSUD EF Batam atas rujukan RS X dengan Cedera Kepala ringan setelah mengalami kecelakaan lalu lintas yakni menabrak lori saat pasien bermain sepeda. Kecelakaan terjadi 3 jam sebelum pasien datang ke IGD RSUD. Menurut keluarga korban, pasien langsung tidak sadarkan diri dan muntah sebanyak 1x .d. Riwayat penyakit dahulu1) Riwayat hipertensi: disangkal2) Riwayat kencing manis: disangkal3) Riwayat asma: disangkal4) Riwayat jantung: disangkal5) Riwayat alergi: disangkal6) Riwayat operasi sebelumnya : disangkale. Riwayat penyakit keluarga1) Riwayat hipertensi: disangkal2) Riwayat kencing manis: disangkal3) Riwayat asma: disangkal4) Riwayat jantung: disangkal5) Riwayat alergi: disangkal2. Pemeriksaan Fisika. Keadaan umum: Lemahb. Kesadaran: GCS E4M6V5c. Tanda vital:Tekanan darah: 120/90 mmHgNadi: 94x/ menitRespirasi: 20x/ menitSuhu: 37.2Cd. BB: 32 kge. TB: 139 cmf. Status Generalis1) Kepala: normocephalRambut dan kulit kepala :hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut2) Mata:palpebra superior edema (+), mata cekung (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-) RC +/+ 3) Telinga :otorrhoae (-)/(-), sekret (-)4) Hidung:septum deviasi (-), sekret (-), napas cuping hidung (-) darah (-)5) Mulut:bibir kering (-), sianosis (-), darah (-)6) Tenggorokan:faring sdn, tonsil sdn, malapati sdn7) Leher:simetris, trakhea di tengah, kelenjar tiroid, submandibula, supra-infra clavicula tidak teraba8) Ekstremitas :akral dingin, sianosis (-), edema (-), deformitas (-)9) Kulit:turgor baik, petechiae (-)10) Genitalia:tidak dilakukan11) Anus Rektum :tidak dilakukang. Status Lokalis1) ParuSuara vesikuler , rhonki -/-, whezing -/-2) JantungAuskultasi: S1>S2 Tidak ada suara tambahan3) AbdomenAuskultasi: bising usus (+) N3. Pemeriksaan PenunjangPEMERIKSAANHASILSATUANNILAI RUJUKAN

HEMATOLOGI

Darah Lengkap

Hemoglobin12.4Gr/dl14-22

Leukosit9450/L5000- 1100

Hematokrit40,5%37-43

Eritrosit5,3106 /L4

Trombosit159000/L150.000 500.000

Waktu perdarahan2,3Menit/dt1-3 menit

Waktu pembekuan9Menit/dt5-11 menit

Gds98Mg/dl70-106

Natrium 139Mmol/dl135-153

Kalium 3,2 Mmol/dl3,5-5,1

klorida110Mmol/dl98-109

a. CT-scan Tanpa KontrasEdh diregio Frontal dextra,Fraktur linear os frontal dextra,Edema serebri,Hematosinus

D. Diagnosis KlinisDiagnosis prabedah: CKR + Epidural HematomaDiagnosis pasca bedah: post Craniotomi Epidural Hematoma Jenis pembedahan: Craniotomi evakuasi EDHE. Kesimpulan Pemeriksaan FisikStatus ASA IF. TindakanDilakukan: Craniotomi evakuasi EDHTanggal: 07 Januari 2015

G. LAPORAN ANESTESIStatus Anestesi1. Persiapan Anestesi a. Informed concent b. Pasang IV line NaCl tetes cepat c. Mulai puasa sebelum operasi2. Penatalaksanaan Anestesi a. Jenis anestesi: General Anestesi (GA)b. Premedikasi: Ondansentron 4 mgc. Co-induksi: Fentanyl 125 gram, d. Induksi: Propofol 70 mge. Fasilitas intubasi: Rocuronium 20 mgf. Pemeliharaan: O2 5 ltr, N2O 5 ltr, dan sevofluran 2 %3. Teknik anestesia. Pasien dalam posisi telentangb. Dilakukan intubasi dengan pemasangan ET ukuran 6c. Respirasi : Ventilasi kendalid. Jumlah cairan yang masuk selama operasi:kristaloid 1000 cc ( NaCl 1000 )4. Pemantauan selama anestesi :a. Mulai anestesi : 20.30 WIBb. Mulai pembedahan: 20.45 WIBc. Selesai operasi: 21.35 WIB5. Cairan yang masuk durante operasi:NaCl 1000 ccTerapi cairanBerat badan = 32 kgMaintenence = 2xKgBB/jam 64 cc/jamPengganti Puasa = Lama puasa x kebutuhan per jam 512 ccStress operasi (operasi besar) 8cc x 32 = 252 cca. Kebutuhan jam pertama50% puasa + stress operasi + kebutuhan per jam256 cc + 252 cc + 64 cc b. Kebutuhan jam kedua25% puasa + stress operasi + kebutuhan per jam156 cc + 252 + 64 cc c. Kebutuhan jam ke tiga25% puasa + stress operasi + kebutuhan per jam156 cc + 252 + 64 cc6. Pemantauan tekanan darah dan frekuensi nadi selama operasi.Jam(WIB)TindakanTekanan Darah (mmHg)Nadi (x/menit)Saturasi O2 (%)

20.30a. Pasien masuk ke kamar operasi, dan dipindahkan ke meja operasib. Pemasangan monitoring tekanan darah, nadi, saturasi O2c. Infus NaCl 500cc terpasang pada tangan kanan d. Pemberian premedikasi ondansentron 4 mge. Pemberian Co-induksi Fentanyl 100 gramf. Pemberian Induksi Propofol 100 mgg. Fasilitas intubasi Rocuronium 20 mgh. Pemasangan ET120/9096100

20.45Operasi dimulai110/8090100

21.00120/9098100

21.15Kondisi terkontrol110/8596100

21.30Kondisi terkontrol110/9093100

21.351. Operasi selesai1. Diberikan Ketorolac 30 mg1. Pelepasan ET1. Pemasangan sunngkup oksigen pada pasien1. Pelepasan alat monitoring1. Persiapan ke ruangan RR dan ke ICU120/8590100

BAB IVPEMBAHASANAnestesi Pada Trauma Kepala ( Bedah Syaraf)Trauma kepala memberikan kontribusi lebih dari 50% kematian dari seluruh kasus kecelakaan. Banyak penderita dengan trauma kepala berusia muda, dan banyak (10-40%) berhubungan dengan trauma intraabdoment dan fraktur tulang-tulang panjang, atau kedua-duanya terjadi. Diskusi umum pasien trauma dapat dijumpai dalam bab 41. karakteristik trauma kepala ini tergantung tidak hanya pada kelainan neurologik yang ireversibel pada saat itu,tetapi juga akibat skunder lain. Kelainan itu meliputi:(1) Faktor sistemik yang menimbulkan hipoxia, hipercapnia, atau hipotensi (2) bentuk dan luasnya subdural, epidural, atau hematoma intrakranial (3) peningkatan tekanan intra kranial. Pembedahan dan menegement anestesi pada pasien ini di hubungkan langsung pada akibat sekunder yang diakibatkannya. Tindakan operasi fraktur depres, evakuasi dari epidural, subdural , dan beberapa perdarahan intrakranial, maupun tindakan debridement luka terbuka , biasanya bersifat electif. Monitoring tekanan intra cerebral (ICP), biasanya diindikasikan untuk contusio, perdarahan intrakranial atau pada jaringan yang bergeser. Hipertensi intrakranial yang terjadi harus di obati dengan moderate hiperventilasi, manitol, gol barbiturat atau propofol (lihat Bab 25). Beberapa studi yang dijalankan menganggap peningkatan tekanan yang menetap diatas 60mmHg menyebabkan udem otak yang irreversible. Tidak seperti pada pengelolaan pada trauma medula spinalis pemberian glukocortikoid dalam dosis besar, tidaklah memberikan efek outcome yang cepat seperti pada trauma kepala. Monitoring ICP harus juga dipertimbangkan pada pasien-pasien yang memberikan tanda hipertensi intrakranial yang akan dilakukan tindakan non-neurologikal prosedure.Pengelelolaan preoperatifeAnestetik care pada pasien-pasien dengan cedera kepala berat idealnya sudah dimulai pada bagian emergenci. Menjaga jalan napas tetap utuh, ventilasi dan oksigenasi yang adekuat, mengoreksi peningkatan tekanan darah sistemik haruslah dikerjakan simultan bersama dengan penilaian neurologiknya. Sumbatan jalan napas dan hipoventilasi adalah penyulit yang umum terjadi. Lebih dari 70% terjadi hipoksemia, dapat terjadi komplikasi contusio paru, emboli lemak, atau neurogenik pulmoneri udem. Yang lebih lanjut dapat menyebabkan hipertensi sistemik atau pulmoner oleh karena penekanan aktifitas simpatik nervus sistem. Suplemen oksigen haruslah diberikan pada semua pasien dalam evaluasi jalan napas dan ventilasi. Semua pasien haruslah dianggap mendapat trauma spinal servical( lebih dari 10%), sampai terbukti secara radiologis. In line posisi haruslah dikerjakan selama manipulasi jalan napas, untuk menjaga kepala dalam posisi netral (lihat Bab 41). Pasien dengan hipoventilasi, dan reflex gag yang tidak ada, atau pada persisten GCS dibawah 8 harus dilakukan intubasi endotrakeal dan hiperventilasi. Semua pasien harus di observasi secara hati-hati dari perburukan yang dapat terjadi.IntubasiSemua pasien harus dianggap dalam keadaan lambung yang terisi penuh, dan harus dilakukan penekanan crikoid selama tindakan ventilasi dan trakeal intubasi. Bersamaan dengan melakukan preoksigenasi dan ventilasi dengan sungkup, pemberian thiopental 2-5 mg/kgBB atau propofol 1,5- 3mg/kgBB, dan pemberian NMBA yang onsetnya cepat, dapat menumpulkan efek intubasi yang dapat meningkatkan TIK. Jika pasien dalam keadaan hipotensi(tekanan sistole< 100 mmHg) baik thiopental atau propofol dosis kecil dapat diberikan atau etomidat. Penggunaan succinilcollins pada trauma tertutup kepala masih contraversial, oleh karena potensialnya menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial dan peningkatan kadar kalium darah, rocuronium atau mivacurium menjadi pilihan alternativ yang disukai. Jika kesulitan intubasi terantisipasi, awake intubasi, tehnik fiberoptik atau trakeostomi mungkin berguna. Nasal blind intubasi di kontra indikasikan pada pasien yang mengalami fraktur dasar tengkorak, yang memberikan tanda adanya rinnorhoe atau otorhoe, hemotympanum, atau adanya ekimosis jaringan periorbital (raccon sign) atau pada kedua telinga ( battle sign).HipotensiHipotensi yang terjadi pada trauma kepala selalu dekat berhubungan dengan injuri ditempat lain (biasanya intra abdoment). Perdarahan dari kulit kepala biasanya terjadi pada laserasi kulit yang terjadi pada anak. Hipotensi mungkin dapat terlihat pada trauma pada medula spinal karena terjadinya simpatectomi dan dihubungkan dengan spinal shock yang terjadi. Pada pasien dengan cedera kepala, mengkoreksi hipotensi dan mengontrol perdarahan yang terjadi lebih bermakna dari penilaian radiologis dan tindakan definitif neurologik, karena tekanan darah arteri kurang dari 80 mmHg berhubungan atas outcome yang jelek. Banyak anestesiologist percaya bahwa cairan primer resusitasi dengan menggunakan coloid atau darah lebih banyak menguntungkan dibandingkan cairan kristaloid dalam mencegah odem otak. Infus sementara dengan vasopresor sering berguna dalam hipotensi berat yang terjadi. Cairan hipotonik atau yang yang mengandung glukosa sebaiknya tidak digunakan (lihat diatas). Hemarokrit harus dijaga tetap diatas 30%. Monitoring invasif dalam tekanan intra arteri, tekanan vena sentral atau tekanan arteri paru dan tekanan intrra kranial, sangatlah bermakana tetapi janganlah menunda diagnosis dan penatalaksanaanya. Gambaran aritmia dan EKG abnormal pada gel T, gelombang U, St segmen, atau QT interval , umum terjadi pada trauma kepala dan tidaklah penting menghubungkannya dengan kelainan jantung, melainkan oleh karena gangguan fungsi autonomik yang terjadi.Studi DiagnostikPemilihan antara operasi dan pemberian obat pada trauma kepala didasarkan pada gambaran radiologis sebaik sebagaimana dengan gambaran klinisnya. Pasisn- pasien sebaiknya dalam keadaan stabil terlebih dahulu sebelum dilakukan studi CT atau angiografi, keadaan-keadaan yang mengancam selama penilaian harus diawasi ketat. Pada pasien yang gelisah atau tak kooperative dapat diberikan general anestesia. Sedasi yang diberikan tanpa mengontrol jalan napas secara umum sebaiknya dihindari karena beresiko meningkatkan TIK, dari hipercapni dan hipoksia yang terjadi. Keadan yang memburuk sebelum penilaian diagnostik ini, pemberian intra vena manitol dapat dipertimbangkan. Pengelolaan IntraoperativePengelolaan anestesi secara umum sama pada lessi massa yang dihubungkan dengan peningkatan tekanan intracerebral. Management jalan napas telah dibicarakan diatas. Monitoring intra arteri, vena central( tekanan dalam arteri pulmonalis) harus dalam keadaan stabil dan bila alat ini tak tersedia janganlah menunda tindakan decompresi bila pasien jatuh dalam perburukan.Pemberian barbiturat-opioid-N2O-dan NMBA adalah tehnik yang umum digunakan. N2O sebaiknya dihindari pemakaiannya ketika terjadi emboli udara dan hipotensi. Hipotensi dapat terjadi setelah induksi anestesi oleh karena efek kombinasi dari vasodilatasi yang terjadi dan hipovolemi dan harus dikelola dengan pemberian agonis -adrenergik dan penambahan volume infus bila diperlukan. Hipertensi yang kemudian terjadi sebagai respon pembedahan akan meningkatkan ICP secara akut, yang kemudian dihubungkan dengan bradikardi yang terjadi (penomena chusing).Hipertensi dapat dikelola dengan menambahkan dosis obat induksi, dengan meningkatkan konsentrasi anestetik inhalasi, atau dengan anti hipertensi. Hiperventilasi dengan PaCO2 < 30, harus dihindari pada pasien trauma guna menghindari penurunan yang sangat pada CBF. Blokade -adrenergik biasanya efektif dalam mengontrol hipertensi yang berhubungan dengan takikardi. CPP harus terjaga dalam tekanan antara 70-110mmHg. Pemberian Vasodilator hendaknya dihindari sampai durameter dibuka. Adanya vagal dapat dikelola dengan pemberian Atropin atau glycopirolat.DIC dapat terlihat pada trauma kepala berat. Seperti pada trauma lainya, terjadi pelepasan dalam jumlah besar tromboplastin otak, dan dapat pula dihubungkan dengan kejadian akut distres sindrome (lihat Bab 49). DIC dapat didiagnosis dengan test koagulasi dan diobati dengan pemberian platelet darah, FFP, dan cryopresifitat, dan ARDS dapat ditangani dengan pemakaian ventilator. Aspirrasi pulmonal dan neurogenik pulmonal udem dapat pula bertanggung jawab atas perburukan fungsi paru. Penggunaan PEEP hanya dapat dipakai pada ventilator bila ICP dimonitor dengan baik, atau setelah durameter dibuka. Diabetes insipidus dengan karakteristik pengeluaran urin yang banyak, kerap kali mengikuti gejala yang terjadi pada injuri pituitari. Seperti pada penyebab lainnya harus dilakukan pemeriksaan urin dan test osmolaritas serum sebelum dilakukan pengobatan pemberian cairan dan vasopresin (lihat Bab 28). Perdarahan gastrointestinal dapat terjadi sebagai komplikasi penatalaksanaan setelah beberapa hari, hal ini karena terjadinya strees ulcer.Pertimbangan dilakukannya ekstubasi, tergantung beratnya injuri yang terjadi, dengan atau tanpa trauma abdoment atau trauma thorak, penyakit dasarnya dan tingkat kesadaran pada pemeriksaan sebelum operasi. Pada pasien-pasien muda dan sadar sebelumnya, dilakukan ekstubasi setelah pengangkatan lesi, sedangkan pada pasien dengan injuri otak yang diffuse harus tetap terintubasi. Terlebih pada pasien dengan hipertensi intrakranial yang persisten post operatif tetap diberikan continu obat paralisis, sedasi, hiperventilasi dan mungkin saja infus pentobarbital diberikan.Trauma kepala dan tulang belakangSemua pasien trauma dengan penurunan kesadaran harus selalu diduga adanya trauma otak. Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS. Cedera yang membutuhkan tindakan bedah segera yaitu epidural hematoma, acute subdural hematome, trauma tembus otak, fraktur depressed tengkorak kepala. Trauma lainnya yaitu fraktur basis kranii dan perdarahan intraserebral. Fraktur basis kranii tandanya yaitu raccoon eye, battle sign, dan cairan cerebrospinal yang keluar melalui telinga dan hidung. Tanda lain kerusakan otak yaitu gelisah, kejang, disfungsi nervus kranialis (seperti, pupil nonreaktif). Trias cushing ( hipertensi, bradikardi, dan gangguan nafas) merupakan tanda yang tak bisa dipercaya untuk mengetahui adanya herniasi otak. Hipotensi jarang disebabkan hanya oleh trauma kepala. Pasien yang dicurigai trauma kepala, tidak diperbolehkan untuk mendapatkan premedikasi obat yang dapat mempengaruhi status mental pasien (seperti, sedatif, analgesik) atau pemeriksaan neurologis (misal, dilatasi pupil yang diinduksi obat antokolinergik).Trauma otak biasanya diikuti dengan peningkatan tekanan intrakranial karena adanya hematom atau edema. Tekanan tinggi intrakranial dikontrol dengan restriksi cairan (kecuali bila ada tanda shok hipovolemik), diuretic (misal, dengan manitol 0,5g/kg),barbiturat dan kondisi hipokapnia (PaCO2 28-32 mmHg). Intubasi Endotrakeal sangat dibutuhkan , dan juga menjaga dari resiko aspirasi akibat reflek muntah. Hipertensi atau takikardi pada saat intubasi dapat dikurangi dengan pemberian slidokain atau fentanyl intravena. Intubasi sadar (Awake intubation) bisa meningkatkan tekanan intrakranial. Pemasangan endotrakeal tube atau nasogastrik tube pada pasien fraktur basis kranii bisa menyebabkan perforasi cribriformis plate dan infeksi LCS. Sedikit peninggian kepala akan memningkatkan drainase vena dan menurunkan tekanan intrakranial. Pengaruh kortikosteroid pada pasien cedera kepala masih menjadi kontroversi, kebanyakan studi tidak menunjukkan efek samping maupun manfaat kortikosteroid. Obat anestesi yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial sebaiknya tidak dipergunakan (contohnya, ketamin). Hiperglikemia sebaiknya dihindari dan diobati dengan insulin bila terjadi. Hipotermi ringan memberikan manfaat untuk mencegah iskemia-induced injury pada pasien cedera kepala.Autoregulasi aliran darah cerebral biasanya terganggu pada daerah yang cedera, hipertensi arteri bisa memperburuk edema cerebral dan menyebabkan tekanan tinggi intrakranial. Dan hipotensi arteri akan menyebabkan iskemik serebral regional. Umumnya tekanan perfusi cerebral/cerebral perfusion pressure (selisih MABP di otak dengan CVP atau tekanan intrakranial) harus dijaga > 60 mmHg.Pasien dengan cedera kepala berat lebih rentan terjadinya hipoksemia arteri dari sirkulasi pintas paru (pulmonary shunting) dan Ventilasi/perfusi mismatch. Perubahan ini bisa disebabkan aspirasi, atelectasis, perubahan langsung saraf dan pembuluh darah paru-paru. Tekanan tinggi intrakranial menjadi faktor predisposisi edema paru karena meningkatnya system saraf simpatis.Tingkat kerusakan fisiologis pasien dengan trauma tulang belakang, sesuai dngan tinggi lesinya di medulla spinalis. Penanganan khususu harus dilakukan untuk mencegah trauma lebih lanjut pada saat transportasi dan intubasi. Lesi di leher bisa mengenai nervus phrenicus (C3-C5) dan menyebabkan apnea. Rusaknya fungsi interkosta, membatasi cadangan udara paru (pulmonary reserve), dan kemampuan untuk batuk. Trauma tinggi dada akan mengganggu persarafan simpatis jantung (T1-T4), menyebabkan bradikardi. Trauma tinggi medulla spinalis akut bisa menyebabkan spinal shock, suatu kondisi ditandai hilangnya fungsi simpatis, baik kapasitas maupun resistensi pembuluh darah yang berada di bawah lesi, menyebabkan hipotensi, bradikardi, areflexia, atoni gastrointestinal. Distensi vena di kedua kaki adalah tanda trauma medulla spinalis. Hipotensi pada pasien ini membutuhkan terapi cairan yang agresif- waspada akan kemungkinan edema paru setelah keadaan akut telah teratasi. Suksinilkolin aman pada saat 48 jam setelah trauma, tetapi setelahnya bisa menyebabkan hiperkalemia yang mengancam jiwa. Dosis tinggi dan pemberian cepat kortikosteroid dengan metilprednisolon (30mg/kg diteruskan 5,4mg/kg/jam untuk 23 jam) meningkatkan kesembuhan neurologis (neurological outcome) pasien dengan trauma medulla spinalis. Hiperreflexia otonom terjadi bila lesi di atas V. T5 tetapi bukan menjadi masalah pada menajemen akut.

BAB VKESIMPULAN1. Tanggal 07 januari 2015 telah dilakukan tindakan cranotomi evakuasi EDH dengan menggunakan teknik anastesi yang dipakai adalah anastesi general dengan menggunakan roculax, fentanyl, dan propofol.2. Tahapan preoperative diantaranya adalah memeriksa pasien untuk memastikan kelayakan pasien apakah dapat dilakukan operasi atau tidak, puasa, dan dapat dilakukan premedikasi. Pasien diminta puasa3. Tahapan intraopratif diantaranya adalah pemberian induksi dan juga pemasangan ET. Pada pasien ini pemasangan ET dilakukan karena waktu operasi yang lma (2 jam) dan pasien dalam posisi telentang.4. Tahapan postoperative dilakukan dengan melakukan menajemen nyeri, dan keseimbangan cairan. Diantaranya dengan pemberian obat analgesik, kristaloid, koloid, dan obat antibiotik.

DAFTAR PUSTAKAAmerican College Surgeon. 2004. Advanced Trauma Life Support Edisi Ketujuh. United States of America.Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE. Anesthesia for Neurosurgery. In: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical Anesthesia. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001.De Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.Ezekiel MR. Neuroanesthesia. In: Ezekiel MR, eds. Current Clinical Strategies: Handbook of Anesthesiology. 2004-2005 ed. Current Clinical Strategies Publishing, USA. 2004.Feliciano, David, Kenneth Mattox, Ernest Moore. 2004. Trauma. 5th Ed. New York: McGraw-Hill. Gilroy, J. 2000. Basic Neurology. USA: McGraw-Hill.Hafid, A. 2004. Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: EGC, hal. 818-819Heegaard, William dan Michelle Biros. 2007. Traumatic Brain Injury. Emerg Med Clin N Am. 25: 655678.Kirkness CJ, Burr RL, Cain KC, Newell DW, Mitchell PH. Relationship of Cerebral Perfusion Pressure Level to Outcome in Traumatic Brain Injury. Acta Neurochir, 2005; 95: 13-16.Japardi, Iskandar. 2002. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. (online). Available at: library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi37%20.pdf. Diakses tanggal 11 februari 2015.Patterson JT, Hanbali F, Franklin RL, Nauta HJW. Neurosurgery. In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox K, eds. Sabiston Textbook of Surgery. 18th ed. Saunders Elsevier. 2007.Price, Sylvia A., Wilson M. Lorraine. 2007. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses Penyakit. Jakarta: EGC.Seth J. Karp, MD. James P. G. Morris, MD. David I. Soybel. 2004. Blueprints Surgery. Third Edition. UK: Blackwell Publishing.Sjamsuhidajat R, Jong WD. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.Mardjono M., Sidarta P., 2000. Neurologi Klinis Dasar, cetakan kedelapan, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta hal 255-256.R. Syamsuhidayat.2004. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi ke2; EGC; Jakarta