case ajg

Upload: decy-paulina

Post on 03-Mar-2016

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

s

TRANSCRIPT

STATUS PENDERITA NEUROLOGI

STATUS PASIENI. Identifikasi

Nama

: Tn. RH

Umur

: 43 Tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Penumangan, Tulang Bawang Tengah

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pegawai PabrikII. Anamnesis (Autoanamnesis Tanggal 2 April 2015)

Keluhan Utama : Wajah sebelah kanan tidak dapat digerakkan

Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien datang ke poli Saraf dengan keluhan wajah sebelah kanan tidak bisa digerakan sejak tiga hari yang lalu. Keluhan dirasakan muncul tiba-tiba setelah bangun tidur di pagi hari. Pasien juga mengeluh lipatan dahi sebelah kanan menghilang, kelopak mata sebelah kanan tidak dapat menutup rapat, gangguan penglihatan disangkal. Pasien juga mengeluh mulut mencong ke kiri, bibir kanan tidak dapat digerakkan sehingga jika sedang makan atau minum, makanannya akan mengumpal di sisi sebelah kanan mulut dan sering keluar sendiri dari sisi mulut sebelah kanan. Pasien mengaku rasa pengecapan berkurang pada sisi mulut kanan dan sering keluar air liur dari sudut bibir kanan. Pasien lebih nyaman makan menggunakan sisi kiri mulut. Pasien juga mengaku nyeri di belakang telinga kanan. Pasien mengaku tidak ada bicara pelo, dan kelemahan anggota gerak tubuh baik sisi kiri maupun kanan. Penurunan kesadaran disangkal. Pasien juga menyangkal adanya nyeri pada wajah, serta tidak ada rasa baal dan kesemutan pada wajah. Pasien menyangkal adanya gangguan pendengaran dan riwayat telinga keluar cairan. Riwayat trauma pada kepala atau wajah sebelumnya disangkal.

Sebelumnya pasien sering bekerja pada malam hari dan tidur dengan posisi miring, sehingga kipas angin mengarah langsung ke wajah.

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penyakit darah tinggi disangkal Riwayat penyakit kencing manis disangkal Riwayat dengan keluhan serupa sebelumnya disangkalIII. Pemeriksaan FisikKeadaan UmumKesadaran: Compos Mentis GCS = E : 4, M : 6, V : 5Berat Badan: 68 kg

Tinggi Badan : 169 cm

IMT: 23,8 (status gizi baik)

Tekanan Darah : 120/70 mmHg

Nadi: 85 x/m

Pernapasan: 20 x/m

Suhu Badan: 36,6

Keadaan spesifikKepala

Wajah: Asimetris, lihat status neurologikus.

Mata : Konjungtiva pucat (-), sklera ikterik(-), lihat status neurologikus. Thorax

Jantung: HR = 85 x/m, murmur (-), gallop (-)

Paru-paru: vesikuler (+) N, ronkhi (-), wheezing (-)

Abdomen: datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba besar, BU(+)N

Anggota Gerak: dalam batas normalStatus Psikiatrikus

Sikap

: kooperatif

Perhatian

: normal

Ekspresi Wajah: biasa

Kontak Psikis

: baikStatus NeurologikusNERVUS KRANIALISN. I (Olfaktorius) Penciuman

Anosmia

Hyposmia

Parosmia

N. II (Opticus)Visus

Fundus Occuli

Edema papil

Atrophy papil

Retina bleeding

N. III, IV, VI(Occulomotorius, Trochlearis dan Abducens)

Gerakan Bola MataPupil

Shape

Size

Isokor/anisokor

Refleks Cahaya

langsung konsensuil akomodasiN.V (Trigeminus)Motorik

Menggigit Trismus

RefleksSensorik

Dahi

Pipi DaguN.VII (Facialis)Motorik

Mengerutkan dahi

Menutup mata

Menunjukkan gigi

Lipatan Nasolabial Bentuk Muka

Istirahat

Berbicara/bersiulSensorik

2/3 anterior lidahOtonom

LakrimasiN. VIII (Vestibulocochlear)Suara bisikan

Detik Arloji

Tes WeberTes Rinne Nystagmus

Vertigo

N. IX,X (Glossopharingeus dan Vagus)Arcus Pharingeus

Uvula

Gangguan menelan

Suara serak/sengau

Sensorik

1/3 belakang lidahKananTidak ada kelainan

-

-

-

Kanan

6/6Tidak diperiksa

--

-

Kanan

Baik ke segala arah

Bulat

3mm

isokor

+++Kanan

Tidak ada kelainan

-

+

Normal

Normal

Normal

Kanan

Lipatan dahi (-)

Tidak menutup sempurna

Sudut kanan tertinggal

DatarAsimetrisSudut kanan tertinggalBerkurangTidak diperiksaKanan

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainanTidak dilakukan

Tidak dilakukan

-

-

Kanan

SimetrisDi tengahTidak ada kelainan

-

Tidak ada kelainanKiri

Tidak ada kelainan

-

-

-

Kiri

6/6Tidak diperiksa-

-

-

Kiri

Baik ke segala arah

Bulat

3mm

isokor

+

+

+

Kiri

Tidak ada Kelainan

-

+

Normal

Normal

Normal

Kiri

Lipatan dahi (+)

NormalNormal

NormalAsimetrisTidak ada kelainan

Tidak ada kelainanTidak diperiksaKiri

Tidak ada kelainan

Tidak ada kelainanTidak dilakukan

Tidak dilakukan

-

-

Kiri

SimetrisDi tengahTidak ada kelainan

-

Tidak ada kelainan

N. XI (Accessorius)

Mengangkat bahu

Memutar Kepala

N. XII (Hypoglossus)Mengulurkan Lidah

Fasikulasi

Atrofi Papil

Disartria

MOTORIK

LENGAN

Gerakan

Kekuatan

Tonus

Refleks Fisiologis

Biceps

Triceps

Radius

Ulna

Refleks Patologis

Hoffman Tromner

TUNGKAI

Gerakan

Kekuatan

Tonus

Klonus

Refleks Fisiologis

K P R

A P R

Refleks Patologis

Babinsky

Chaddock

Oppenheim

Gordon

Schaeffer

Rossolimo

Mendel Bechterew Kanan

SimetrisKekuatan samaKanan Di tengah-

-

-

Kanan

Cukup5NormotoniNormalNormalNormalNormal-Kanan

Normal5Normal-

NormalNormal-

-

-

-

-

-

-Kiri

SimetrisKekuatan sama KiriDi tengah-

-

-

Kiri

Cukup

5NormotoniNormal

Normal

Normal

Normal

-Kiri

Normal

5

Normal

-

Normal

Normal

-

-

-

-

-

-

-

SENSORIK

Tidak ada kelainan

FUNGSI LUHUR DAN VEGETATIF

Miksi

: Tidak ada kelainan

Defekasi

: Tidak ada kelainanBahasa, Memori, Orientasi: Tidak ada kelainanGEJALA RANGSANG MENINGEAL

Kaku kudukKernig

Lasseque

Brudzinsky

Leg I

Leg II

-

Kanan

-

-

-

-

-

Kiri

-

-

-

-

-

GAIT DAN KESEIMBANGAN

Tidak ada kelainan

GERAKAN ABNORMAL

Tidak adaVI. Diagnosis Diagnosis Klinis: Parese N. VII dextra tipe perifer Diagnosis Topik: N. VII (antara foramen stilomastoideus dan

ganglion genikulatum) Diagnosis Etiologi: Bells Palsy e.c susp.viral infection Diagnosis Patologi: Inflamasi pada N.VIIVII. Pemeriksaan Anjuran

Laboratorium : Darah lengkap, GDS

ElektromiografiVIII. Penatalaksanaan Non-Medikamentosa

1. Menghindari paparan udara dingin langsung

2. Memakai penutup mata saat tidur, terutama mata kanan3. Melatih gerak otot wajah setiap hari

4. Fisioterapi

Medikamentosa

1. Metilprednisolon 4 x 16 mg tab (H1-6)3 x 8 mg tab (H7-10)

2. Acyclovir 5 x 400 mg

3. Meticobalamin 3 x 500 mg

4. Artificial tears 3 x gtt1

IX. PrognosisQuo ad vitam

: bonam

Quo ad functionam

: bonam Quo ad sanationam

: bonamTINJAUAN PUSTAKAII. 1 Definisi

Bells Palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lowor motor neuron yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya.1 Sindrom ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang ahli anatomi dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell.2

II. 2 Anatomi Terkait

Nervus fasialis merupakan saraf kranial yang mempersarafi otot ekspresi wajah dan menerima sensorik dari lidah. Nervus ini bekerja sama dengan nervus kranialis lain, oleh sebab itu digolongkan menjadi mix cranial nerve. Nervus fasialis ini sebenarnya terdiri atas serabut motorik, tetapi dalam perjalanan nervus ini, terdapat nervus yg lebih kecil, yaitu nervus intermedius yang bergabung bersama-sama dengan komponen motorik yang berukuran lebih besar. Nervus intermedius ini tersusun atas serabut sekremotorik dan sensorik.

Nervus Fasialis memiliki empat inti, yaitu :

1. Nukleus fasialis untuk saraf somatomotorik yang mempersarafi otot-otot ekspresi wajah di antaranya m. bucinator, m. platysmus, m. oksipital, m. stylohioid, m. stapedius.

2. Nukleus salivatorius superior untuk saraf viseromotorik, terdiri dari serabut yang menstimulasi sekresi submandibular, sublingual dan glandula lakrimalis, juga membran mukosa nasofaring, palatum mole, dan durum.

3. Nukleus solitarius untuk saraf viserosensorik yang menghantarkan impuls pengecap dari 2/3 bagian anterior lidah..

4. Nukleus sensorik trigeminus untuk saraf somatosensorik,

Inti motorik nervus fasialis terletak pada bagian ventrolateral tegmentum pons bagian bawah. Sedangkan nervus intermedius terletak di antara nervus VII dan nervus VIII. Selanjutnya serabut motorik nervus fasialis, bersama-sama dengan nervus intermedius dan nervus vestibulocochlearis memasuki meatus akustikus internus untuk meneruskan perjalanannya di dalam os petrosus (kanalis fasialis).3,4,5

Gambar 1. Perjalanan Nervus FasialisII. 3 EpidemiologiBells palsy menempati urutan ke tiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut. Insidens kasus ini sekitar 23 kasus per 100.000 orang setiap tahun. Bells palsy mengenai laki-laki dan perempuan dengan perbandingan yang sama, dan dapat menyerang semua umur, namun insiden terbanyak pada usia 15-50 tahun.Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.6II. 4 Etiologi dan Patofisiologi

Etiologi pasti dari bells palsy ini masih belum dapat disimpulkan. Namun terdapat beberapa teori yang kemungkinan berhubungan dengan proses terjadinya penyakit ini. Teori yang banyak berkembang yaitu teori iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter dan imunologi. Teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi dari penyakit ini. Pada suatu penelitian pernah ditemukan bahwa diidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bells Palsy. Adanya infeksi virus ini memungkinkan terjadinya reaksi inflamasi pada nervus fasialis2,7,8,9

Adapun teori lain yang juga banyak berkembang adalah teori adanya suatu proses iskemik vaskular di sekitar nervus fasialis sehingga dapat menimbulkan reaksi inflamasi, edema dan penjepitan nervus fasialis sepanjang perjalanannya di os temporalis sehingga menimbulkan kompresi dan kerusakan langsung ataupun iskemik sekunder pada nervus fasialis.10

II. 5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis Bells Palsy dapat berbeda-beda, sesuai dengan letak lesi. Bila lesi di foramen stylomastoideus, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atass (Bells Phenomenon). Selain itu, mata juga dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu.

Manifestasi klinis dapat berbeda lagi apabila lesi terjadi setinggi kanalis fasialis yaitu di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum, maka akan menunjukkan semua gejala seperti lesi di foramen stylomastoideus ditambah pengecapan menghilang pada duapertiga anterior lidah pada sisi yang sama.

Sedangkan bila lesi terdapat di meatus akustikus internus, maka semua gejala yang telah disebutkan sebelumnya dapat terjadi disertai dengan gangguan pendengaran, yaitu gangguan pada nervus vestibulocochlear.11

Gambar 2. Manifestasi Klinis Sesuai Lesi yang TerjadiII. 6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibedakan menurut lokasi lesi sentral dan perifer. Kelainan sentral dapat diakibatkan berbagai keadaan, misalnya stroke apabila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral, tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya, dan trauma apabila terdapat fraktur atau riwayat trauma sebelumnya.

Sedangkan kelainan di perifer dapat merupakan akibat dari suatu otitis media supuratif dan mastoiditis, tumor kelenjar parotis dan inflamasi pada nervus fasialis.1,6,11,12

Letak lesi dapat diperkirakan dengan melihat kelumpuhan pada otot-otot wajah. Otot bagian dahi, menerima persarafan dari traktus kortikobulbar secara kontralatateral dan ipsilateral. Sehingga dapat disimpulkan, apabila terjadi kelumpuhan pula pada otot dahi, maka letak lesi berada di perifer.II. 7 Pemeriksaan Penunjang

Bells Palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang mungkin diperlukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis nervus kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-Scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang dan keterlibatan system saraf pusat.2,7,11

Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, dan sclerosis multiple. Selain itu MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras nervus fasialis.

Sedangkan untuk membantu menentukan prognosis, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa elektromiografi, yaitu suatu pemeriksaan untuk menilai saraf perifer dan otot. Melalui pemeriksaan elektromiografi, dapat diperkirakan jenis kerusakan saraf yang terjadi. Apabila ditemukan penurunan kecepatan hantaran saraf dan latensi yang memanjang, kemungkinan hanya terjadi mielinopati yang prognosisnya akan lebih baik. Sedangkan apabila didapatkan penurunan amplitudo CMAP (Coumpound Muscle Action Potensial), kemungkinan telah terjadi aksonopati atau neuropati yang prognosisnya akan lebih buruk. II. 8 PenatalaksanaanPeran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi dini dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain pada pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosis banding Bells palsy, jika tidak tersedia, dokter umum dapat menentukan terapi selanjutnya setelah menyingkirkan diagnosis banding lain . Terapi yang diberikan dokter umum dapat berupa kombinasi non-farmakologis dan farmakologis seperti yang dijelaskan di bawah ini.

Terapi Non-Farmakologis

Terapi non-farmakologis ini bertujuan untuk mengurangi tingkat morbiditas yang mungkin terjadi akibat proses perjalanan penyakit. Fisioterapi berupa rehabilitasi fasial merupakan salah satu terapi yang penting. Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam 4 bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Rehabilitasi fasial ini meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah.Selanjutnya untuk melindungi fungsi mata yang mungkin terganggu akibat adanya lagoftalmus. Kornea mata yang tidak tertutup sempurna memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, atau plester mata.13,14Terapi Farmakologis

Inflamasi dan edema nervus fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam pathogenesis Bells Palsy. Oleh sebab itu penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari inflamasi nervus fasialis yang terjepit. Pilihan steroid yang dapat diberikan seperti metilprednisolon yang dimulai kurang dari 72 jam sejak onset dapat dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian 1 mg per kg berat badan per hari selama enam hari diikuti empat hari tapering off.15,16

Berkenaan dengan infeksi virus yang diperkirakan menjadi salah satu penyebab terjadinya Bells Palsy, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa kombinasi antivirus dengan kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih besar dibandingkan dengan kortikosteroid saja. Dosis pemberian asiklovir untuk dewasa dengan dosis oral yaitu 2000 4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7 10 hari.15,17,18II. 9 PrognosisPerjalanan alamiah Bells Palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bells Palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membarik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten , dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.1,2,12Faktor resiko prognosis yang buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post auricular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bells Palsy, dan bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat).2,11Faktor yang dapat mendukung ke prognosis yang baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.2,11Selain menggunakan pemeriksaan neurofisiologi untuk menentukan prognosis, House-Brackmann Facial Nerve Grading System dapat digunakan untuk mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien Bells palsy.

Pada umumnya, pasien dengan Bells Palsy yang tidak diberi intervensi pengobatan apapun, akan menunjukkan perbaikan dalam dua hingga tiga minggu setelah onset timbulnya gejala. Pasien Bells Palsy dengan paralisis fasialis komplit sebanyak 70% akan mengalami perbaikan setelah enam bulan, sedangkan pasien Bells Palsy paralisis inkomplit umumnya sekitar 94% akan mengalami perbaikan setelah enam bulan tersebut.19,20,21

Sedangkan untuk mengetahui kemajuan motorik penderita Bells Palsy, dapat dinilai dengan Ugo Fisch score. Ada 4 penilaian yaitu :

0 %

: Wajah asimetri total, tidak ada gerakan volunteer.

30%

:Simetri buruk, sudah ada perbaikan dimana fungsi motorik wajah lebih condong asimetri total.

70%

: Cukup simetri, perbaikan parsial lebih baik, lebih condong

Ke arah simetri normal.

100%

: Simetri normal / komplit.22NoPada SaatPersentaseFaktorNilai

1.Waktu Istirahat0 %30 %

70%

100 %2020

20

2006

14

20

2.Mengerutkan Dahi0 %

30 %

70%

100 %1010

10

1003

7

10

3.Menutup Mata0 %

30 %

70%

100 %3030

30

3009

21

30

4.Tersenyum0 %

30 %

70%

100 %3030

30

300

9

21

30

5.Bicara / Bersiul0 %

30 %

70%

100 %1010

10

1003

7

10

Total UFS 100 : Normal

70 - 99 : Baik

30 69 : Sedang

< 30 : Buruk

ANALISIS KASUS

Dari anamnesis didapatkan, bahwa seorang pasien laki-laki berusia 43 tahun mengeluhkan wajah sisi sebelah kanan tidak dapat digerakkan sejak tiga hari yang lalu. Keluhan dirasakan muncul tiba-tiba setelah bangun tidur di pagi hari. Pasien juga mengeluh lipatan dahi kanan menghilang, kelopak mata kanan tidak dapat menutup rapat, mulut mencong ke kiri, makanan yang dimakan menggumpal di sisi sebelah kanan mulut, rasa pengecapan berkurang pada sisi mulut kanan. Keluhan yang dirasakan pasien ini, menandakan adanya suatu kelumpuhan pada bagian wajah kanan yang sifatnya perifer karena otot dahi pasien juga mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan yang terjadi pada bagian motorik wajah khususnya dahi, kelopak mata, dan mulut. Selain itu juga terdapat gangguan pada bagian sensorik lidah sisi kanan. Gangguan ini mungkin menggambarkan suatu kelainan pada nervus fasialis.Pasien mengaku tidak ada bicara pelo, dan kelemahan anggota gerak tubuh baik sisi kiri maupun kanan. Penurunan kesadaran dan riwayat trauma sebelumnya disangkal. Hal ini menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding stroke dan fraktur atau trauma.

Sebelumnya pasien sering bekerja pada malam hari dan tidur dengan posisi miring, sehingga kipas angin mengarah langsung ke wajah.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan wajah yang asimetris. Pada pemeriksaan nervus kranialis, yaitu nervus VII (fasialis) didapatkan kerutan dahi kanan hilang, lagoftalmus dextra, bells phenomenon, lipatan nasolabial kanan datar, tidak dapat menunjukkan gigi sisi kanan, wajah asimetris saat tersenyum. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat ditentukan diagnosis klinis pada pasien ini yaitu Parese N. VII dextra tipe perifer karena jika kelainan ini bersifat sentral, seharusnya tidak terjadi kelumpuhan pada otot dahi kanan karena bagian dahi mendapat inervasi saraf dari ipsilateral dan kontralateral hemisfer cerebri.

Gambar 3. Foto Klinis Pasien Saat Istirahat, Mengerutkan Dahi, Menutup Mata, Tersenyum, Menyeringai

Selanjutnya untuk menetukan diagnosis topik atau lokasi kemungkinan terjadinya lesi pada nervus fasialis, dapat dilihat dalam gambar berikut ini :

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, tidak ditemukan adanya gangguan pendengaran. Manifestasi klinis yang muncul yaitu kelemahan otot wajah sisi sebelah kanan, gangguan pada pengecapan dan salivasi. Hal ini menandakan lesi yang timbul kemungkinan berada pada N. VII yaitu antara foramen stilomastoideus dan ganglion genikulatum. Ditunjukkan dengan nomor 4 pada gambar.Untuk penyebab atau diagnosis etiologi pada kasus ini diperkuat dengan keterangan pasien bahwa sebelumnya ia sering bekerja pada malam hari dan tidur dengan posisi miring, sehingga kipas angin mengarah langsung ke wajah. Pajanan angin hanya ke salah satu sisi ini merupakan salah satu risiko munculnya kasus Bells Palsy.

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien meliputi penatalaksanaan non farmakologi dan farmakologi. Untuk penatalaksanaan non farmakologi, pasien disarankan untuk menghindari paparan udara dingin langsung agar tidak terjadi rekurensi, memakai penutup mata saat tidur agar melindungi mata dari kekeringan dan benda asing. Pasien juga disarankan untuk fisioterapi dan melatih kekuatan otot wajah di rumah setiap hari. Hal ini bertujuan untuk mengurangi tingkat morbiditas yang mungkin terjadi. Sedangkan tatalaksana farmakologi yang diberikan berupa pemberian metilprednisolon 4 x 16 mg tab selama enam hari pertama, lalu dilakukan tapering off menjadi 3 x 8 mg tab selama tiga hari berikutnya. Dosis pemberian 1 mg per kg berat badan per hari selama enam hari diikuti empat hari tapering off.Pemberian steroid diikuti dengan pemberian antiviral. Pada pasien diberikan Acyclovir 5 x 400 mg. Hal ini sesuai dengan hasil beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa kombinasi antivirus dengan kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih besar dibandingkan dengan kortikosteroid saja. Dosis oral pemberian asiklovir untuk dewasa yaitu 2000 4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7 10 hari.

Pada pasien juga diberikan Meticobalamin 3 x 500 mg. Pemberian obat ini bertujuan untuk membantu perbaikan fungsi sel-sel saraf. Meticobalamin ini berfungsi sebagai kofaktor dalam sintesis protein untuk menjaga fungsi sel-sel saraf dan pembentukan myelin.Untuk mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut pada mata akibat kelopak mata yang tidak tertutup sempurna, dapat diberikan artificial tears yang berfungsi mengurangi tingkat kekeringan pada mata.Prognosis pada pasien ini baik vitam, functionam maupun sanationam adalah bonam. Hal ini dipertimbangkan dari data epidemiologi bahwa sekitar 80-90% pasien dengan Bells Palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membarik dalam 3 minggu. Hanya sekitar 10% yang mengalami asimetri muskulus fasialis persisten , dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. Pada pasien ini tidak ada faktor risiko yang memperburuk prognosis seperti tidak adanya riwayat rekurensi, diabetes, dan bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat). Sedangkan faktor yang dapat mendukung ke prognosis yang baik adalah usia pasien yang masih muda dan pemberian pengobatan sejak awal onset terjadinya penyakit.

Untuk menilai tingkat kemajuan motorik pasien ini, dapat kita hitung skor awal pada pasien ini dengan Ugo Fisch Score, yaitu sebagai berikut :

NoPada SaatPersentaseFaktorNilai

1.Waktu Istirahat0 %

30 %

70%

100 %20

20

20

200

6

14

20

2.Mengerutkan Dahi0 %

30 %

70%

100 %10

10

10

100

3

7

10

3.Menutup Mata0 %

30 %

70%

100 %30

30

30

300

9

21

30

4.Tersenyum0 %

30 %

70%

100 %30

30

30

300

9

21

30

5.Bicara / Bersiul0 %

30 %

70%

100 %10

10

10

100

3

7

10

Total : 42Total UFS 100 : Normal

70 - 99 : Baik

30 69 : Sedang

< 30 : Buruk

Untuk menentukan tingkat kemajuan kesembuhan pasien, Ugo Fisch Score harus dihitung setiap minggu.DAFTAR PUSTAKA

1. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of Peripheral Nerves : Bells Palsy. In : Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical Neurology, 6th Ed. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc. 2005. P. 182.

2. Lo B. Emergency Medicine-Neurology : Bells Palsy. Eastern Virginia : Medscape. 2010.

3. De Jongs. The Neurologic Examination The Facial Nerve 5th ed, page : 181-200.4. Netter F. H. : The Ciba Collection of Medical Collection, Vol. 1, Nervous Systems, Part II, Neurologic and Neuromuscular Disorders, Ciba Geigy, USA, 1986, page 102 : 104.5. Duus, Peter. Topical Diagnosis in Neurology. Georg Thieme Verlag Stutt, Ed II 1989, page : 107 112.

6. Hauser WA, Karnes WE, Annis J, Kurland LT. Incidence and Prognosis of Bells Palsy in The Population of Rochester, Minnesota. Mayo Clin Proc. 1971 ; 46 : 258.7. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Ruggiero DA. Cranial Nerves and Chemical Senses. In : Strominger NL, editor. The Human Nervous System : Structure and Function, 6th Ed. New Jersey : Humana Press : 2005, p. 253.

8. Sabirin J. Bell's Palsy. In : Hadinoto HS, Noerjanto M, Jenie MN, Wirawan RB, Husni A, editors. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1996. P. 163 72.9. Seok JI, Lee DK. The Usefulness of Clinical Findings in Localisting Lesions in Bells Palsy : Comparison With MRI. J Neurol Nerosurg Psychiatry. 2008 ; 418 20.10. Kanerva, Mervi. 2008. Peripheral Facial Palsy. Department of Otorhinolaryngology. University of Helsinki : Finlandia.

11. Ropper AH, adam RD. Disease of Spinal Cord, Peripheral Nerve and Muscle. In : Ropper AH, Brown RH, editors. Adam and Victors Principles of Neurology, 8th Ed. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc. 2005. P. 1180-2.12. Murakami S, Honda N, Mizobuchi M, Nakashiro Y, Hato N, Gyo K, et al. Rapid Diagnosis of Varicella Zoster Virus in Acute Facial Palsy. Neurology. 1998 ; 51 : 1202.

13. Hato N, Yamada H, Kohno H, Matsumoto S, Honda N, Gyo K, et al. Valacyclovir and Prednisolone Treatment for Bells Palsy : a Multicenter, Randomized, Placebo-Controlled Study. Otol Neurotol. 2007;28:408-13.

14. Van Swearingen J. Facial Rehabilitation : a Neuromuscular Reeducation, Patient-Centered Approach. Facial Plast Surg. 2008;24:250-9.

15. Gilden DH. Clinical Practice Bells Palsy. N Engl J Med. 2004;351:1323-31.16. Chrousus GP. Adrenocorticosteroids & Adrenocortical Antagonists. In : Katzung BG, editor. Basic and Clinical Pharmacology. 9th Ed. USA : The McGraw-Hill Companies;2004.p.641-6017. Tiemstra JD, Khatkhate N. Bells Palsy : Diagnosis and Management. Am Fam Physician. 2007;76:997-1002.18. Sullivan FM, Swan IRC, Donnan PT, Morrison JM, Smith BH, McKinstry B, et al. Early Treatment with Prednisolone or Acyclovir in Bells Palsy. N Eng J Med. 2007;357:1598-607.19. Peitersen E. Bells palsy: The Spontaneous Course of 2.500 Peripheral Facial Nerve Palsies of Different Etiologies. Acta Otolaryngol Suppl. 2002(549):4-30.20. Engstrom M, Berg T, Stjernquist-Desatnik A, et al. Prednisolone and Valaciclovir in Bells Palsy : a Randomised, Double-blind, Placebo Controlled, Multicentre Trial. Lancet Neurol. Nov 2008;7(11):993-1000.21. Peitersen E. Natural History of Bells palsy. Acta Otolaryngol Suppl. 1992;492:122-124.22. Wayan, Subagiartha. 2001. Gambaran Elektromiografi Sebagai Faktor Penentu Prognosis Bells Palsy. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. PAGE 16