bahan alam
DESCRIPTION
herbalTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Kanker merupakan suatu kelompok penyakit yang mempunyai lebih dari
100 jenis, yang ditandai oleh tidak terkontrolnya pertumbuhan seluler, invasi
jaringan lokal, dan metastasis ke tempat yang jauh dari tempat sel tumor. Penyakit
ini menempati peringkat kedua setelah kardiovaskular dalam menimbulkan
kematian di Inggris dan Amerika Serikat (Di Piro et al., 1997).
Di Indonesia kematian akibat kanker mencapai 4,3 % dan menduduki
peringkat ke–6 penyebab kematian dan mempunyai kecenderungan yang semakin
meningkat (Anonim, 1988). Usaha-usaha pencegahan atau pengobatan kanker
menjadi semakin penting mengingat tingkat kejadiannya yang cukup tinggi.
Beberapa usaha pengobatan kanker telah dilakukan secara intensif meliputi
pengobatan fisik, dengan pembedahan maupun dengan pengobatan dengan
senyawa kimia (kemoterapi). Sampai saat ini obat kanker yang benar-benar efektif
belum ditemukan. Hal ini karena rendahnya selektifitas obat-obat kanker yang
digunakan maupun karena belum diketahuinya dengan jelas proses karsinogenesis
itu sendiri.
Kurkumin (Gambar 1.) merupakan bagian terbesar pigmen kuning yang terdapat
dalam rimpang kunyit (Curcuma longa L.) yang memiliki berbagai aktivitas
biologis seperti antioksidan, antiinflamasi, dan antineoplastik. Oleh penduduk
Asia, utamanya India dan Indonesia zat warna kuning dari kurkuma tersebut
sering digunakan sebagai bahan tambahan makanan, bumbu atau
obat-obatan dan tidak menimbulkan efek toksik
yang merugikan (Meiyanto, 1999).
Gambar 1. Struktur kurkumin (1,7 bis (4-hidroksi-3-
metoksifenil) 1,6-heptadiene-3,5 dion)
Selama dua dekade belakangan ini penelitian tentang kurkumin sebagai
bahan aktif untuk beberapa penyakit telah banyak dilakukan. Di antara penelitian
penelitian tersebut antara lain melaporkan tentang efek kurkumin sebagai
antioksidan (Rao, 1997; Majeed et al., 1995), antiinflamasi (Van der Goot, 1997;
Sardjiman, 1997), antikolesterol (Bourne et al., 1999), antiinfeksi (Sajithlal et al.,
1998), antikanker (Huang et al., 1997; Singletary et al., 1998; Huang et al., 1998),
dan anti HIV (Mazumder et al., 1997; Barthelemy et al., 1998).
Mekanisme aksi kurkumin sebagai antikanker merupakan suatu
permasalahan yang sangat kompleks. Aktivitas antioksidan dan penangkap radikal
kurkumin terdokumentasi dengan baik dan mengindikasikan hubungannya
sebagai penghambat proses karsinogenesis kanker. Aktivitasnya sebagai
antiinflamasi yaitu sebagai inhibitor enzim siklooksigenase memiliki kaitan
dengan aktivitanya sebagai antikanker terutama kanker kolon. Penelitian lain
menunjukkan bahwa kurkumin juga aktif dalam menghambat proses
karsinogenesis pada tahap inisiasi dan promosi atau progesi. Akhir-akhir ini
dilaporkan bahwa kurkumin juga memiliki efek memacu proses apoptosis yaitu
suatu proses alami kematian sel dalam rangka mempertahankan integritas sel
secara keseluruhan (Meiyanto, 1999). Kurkumin juga mampu menghambat
pertumbuhan sel kanker payudara manusia tanpa tergantung ekspresi reseptor
estrogen (Verma et al., 1998).
KURKUMIN SEBAGAI ANTIKANKER
1. Kurkumin sebagai senyawa penangkal radikal
(radical scavenger) dan antioksidan Kurkumin telah dikenal memiliki aktivitas
antioksidan (Sharma, 1976) dan sebagai penangkal radikal (Tonnesen and
Greenhill, 1992). Di samping itu kurkumin juga bertindak sebagai katalisator
pembentukan radikal hidroksil (Kunchandy and Rao, 1989). Kemampuan tersebut
menjadikan kurkumin mampu bertindak sebagai radical scavenger terhadap
metabolit antara reaktif senyawa karsinogen, sehingga mengurangi insiden
terjadinya kanker. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian
kurkumin pada punggung mencit mampu menghambat pembentukan tumor kulit
yang terinduksi benzo[a]piren atau DMBA (7,12- dimetilbenz[a]antrasen) (Huang
et al., 1992).
2. Kurkumin sebagai senyawa antiproliferasi
Kurkumin mampu menghambat proses perkembangbiakan sel, sehingga
disebut senyawa antiproliferasi. Pada mamalia, perkembangbiakan sel diatur oleh
serangkaian protein yang diproduksi oleh gen-gen pengatur tumor yang disebut
onkogen (yang pada keadaan normal disebut protoonkogen) dan tumor suppressor
gene (TS) (suatu tipe gen penghambat perkembangbiakan sel) (Mandelson et al.,
1995 cit Meiyanto, 1999). Kedua jenis gen tersebut dibedakan berdasarkan
fungsinya. Onkogen berfungsi sebagai pemacu perkembangbiakan sel, sedangkan
tumor suppressor gen (TS) berfungsi sebagai penghambat perkembangbiakan.
Kedua jenis gen tersebut bekerja secara harmonis dalam mengatur
perkembangbiakan sel dalam rangka menjaga integritas tubuh secara keseluruhan.
Kerusakan atau terjadinya mutasi pada gen-gen tersebut beresiko terjadinya
kanker atau proliferasi sel yang berlebihan. Kurkumin mampu menghambat
perkembangbiakan sel melalui berbagai mekanisme. Kurkumin dilaporkan
mampu menghambat aktivitas protein kinase C (PKC) karena perlakuan dengan
porbol ester (Liu and Lin, 1993 cit Meiyanto, 1999). Protein ini mempunyai peran
yang sangat vital pada proses awal pembelahan sel yaitu berperan dalamaktivasi
Raf melalui proses fosforilasi (Sozeri et al., 1992 cit Meiyanto, 1999).
Penghambatan terhadap PKC berarti menghambat satu proses perkembangbiakan
sel sehingga senyawa yang menghambat aktivitas PKC tersebut berpotensi
sebagai antikanker atau lebih tepatnya sebagai zat kemopreventif.
Kurkumin juga mampu menghambat perkembangbiakan sel kanker
payudara melalui jalur lain. Kurkumin mampu menghambat pertumbuhan sel
kanker payudara manusia tidak tergantung terhadap reseptor estrogen.
Penghambatan tersebut lebih efektif pada pertumbuhan sel ER (estrogen receptor)
negatif daripada sel ER positif (Verma et al., 1998). Aktivasi pada reseptor
estrogen ini akan mengakibatkan aktivasi faktor transkripsi untuk memacu
pertumbuhan sel melalui induksi RNA polimerase (Jordan, 1998). Aktivasi pada
keadaan normal dilakukan oleh estrogen atau senyawa yang menyerupai estrogen
seperti pestisida. Pada jalur ini penghambatan perkembangbiakan sel kanker
payudara oleh kurkumin akan lebih efektif bila dilakukan bersama-sama dengan
senyawa isoflavonoid seperti genistein (Verma et al., 1998). Kurkumin juga
mampu menghambat aktivitas tirosin kinase dari protein p185neu (Hong et al.,
1999) yaitu suatu protein yang dihasilkan oleh onkogen erb B-2/neu (atau dikenal
sebagai HER-2). Onkogen ini diekspresi secara berlebihan pada sekitar 30 %
kasus kanker payudara (Salmon et al., 1997). Mekanisme penghambatan ini
melalui dua cara, pertama dengan menghambat aktivitas enzimatik dari protein
tersebut dan kedua dengan cara menurunkan kadarnya. Aktivitas ganda yang
ditunjukkan oleh kurkumin tersebut terbukti sangat efektif untuk mencegah
proliferasi sel-sel kanker dan sekaligus mencegah penyebarannya. Kurkumin pada
kadar rendah (10-100 μg) mampu menghambat ekspresi c-myc (suatu tipe gen
pemacu proliferasi sel) (Chen et al., 1998).
Preparasi Sampel Jahe Merah (Zingiber officinale var rubrum)
Sampel yang akan kita gunakan adalah sampel kering jahe merah.
Selama proses pengeringan terdapat perubahan warna, tekstur dan berat.
Rimpang jahe merah segar berwarna kuning pada bagian tengahnya dan
berwarna merah di tepiannya. Setelah proses penjemuran, terjadi perubahan
warna menjadi coklat, serta perubahan tekstur menjadi keras dan kaku
sehingga dapat dipatahkan dengan tangan. Perubahan warna tersebut
disebabkan oleh terjadinya foto-oksidasi pada rimpang jahe merah,
sedangkan perubahan tekstur dan berat disebabkan rimpang jahe merah yang
kehilangan beberapa persen kandungan airnya. Dari 14 kg jahe merah segar
yang digunakan, diperoleh ±1 kg serbuk jahe (simplisia).
Gambar 7. Simplisia jahe merah yang telah dihaluskan
Ekstraksi Oleoresin Jahe Merah (Zingiber officinale var rubrum)
Dalam proses ekstraksi ada beberapa faktor yang mempengaruhi
hasilnya, yaitu: pelarut (kepolaran, toksisitas, konsentrasi) dan interaksi
sampel dengan pelarut (luas permukaan bidang sentuh, suhu, waktu,
pengadukan, pengulangan), pemisahan pelarut dengan ekstrak yang
dihasilkan.
Dalam penelitian ini akan dilihat pengaruh dari medote ekstraksi
terhadap oleoresin yang dihasilkan, yang nantinya akan digunakan sebagai
antibakteri E.coli. Ada 3 metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian
ini, yaitu metode maserasi dengan pengadukan, sokletasi, dan digesti. Untuk
metode digesti dilakukan pemanasan pada suhu 40℃ selama 2 jam,
sementara pada sokletasi, dilakukan pemanasan hingga mencapai titik didih
etanol, setelah itu dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Sedangkan
untuk metode maserasi dengan pengadukan, tidak dilakukan pemanasan,
tetapi langsung didiamkan selama 24 jam saja.
Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi dipilih berdasarkan
tingkat kepolarannya. Senyawa-senyawa yang ingin diekstrak pada penelitian
ini adalah senyawa turunan fenol yang bersifat polar sehingga dibutuhkan
pelarut yang bersifat polar pula. Salah satu jenis pelarut polar yang baik
adalah etanol. Pada penelitian ini digunakan pelarut etanol 96% yang
memiliki konstanta dielektrikum 24,30 dan titik didih 78,4℃. Semakin tinggi
konstanta dielektrikum suatu pelarut akan semakin baik pula kemampuannya
dalam menarik senyawa-senyawa aktif dari sampel.
1.Metode Maserasi dengan pengadukan
Gambar 8. Ekstraksi oleoresin jahe merah
dengan meetode maserasi dengan pengadukan
Kelebihan dari metode maserasi adalah biayanya yang murah dan
mudah untuk dilakukan. Maserasi termasuk metode ekstraksi dingin,
yaitu metode esktraksi tanpa pemanasan. Sehingga metode ini hanya
tergantung oleh lamanya waktu kontak antara pelarut dengan sampel, dan
kepolaran pelarutnya. Semakin lama waktu kontak antara pelarut dengan
sampel, maka akan semakin banyak pula senyawa metabolit sekunder
yang terekstrak. Setelah penyaringan didapatkan filtrat sebanyak 1 L.
Ekstrak kental yang didapat sebanyak 17,04 g. Berdasarkan hasil
perhitungan diketahui bahwa rendemen hasil maserasi sebanyak 5,68%.
2.Metode Digesti
Metode digesti ini cukup efektif untuk mengekstraksi oleoresin jahe,
karena dengan adanya pengadukan akan memaksimalkan proses ekstraksi
sehingga rendemen yang dihasilkan juga semakin banyak. Setelah
dilakukan proses ekstraksi dan penyaringan didapatkan filtrat sebanyak
900 mL, sehingga dihasilkan ekstrak kental digesti sebanyak 54,89 g
dengan rendemen sebesar 18,29%.
Gambar 9. Ekstraksi oleoresin jahe merah menggunakan metode digesti
3. Metode Sokletasi
Metode sokletasi termasuk metode ekstraksi dengan cara panas.
Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya merupakan jenis ekstraksi secara
berkesinambungan (Dirjen POM, 2010). Ekstrak yang didpapatkan akan
dihilangkan kandungan pelarutnya menggunakan vacum rotary
evaporator sehingga dihasilkan ekstrak kental sebanyak 20,14 g.
Berdasarkan perhitungan didapatkan rendemen sebesar 10,07%.
Gambar 10. Ekstraksi oleoresin jahe merah dengan metode sokletasi
Dari ketiga metode tersebut, metode digestilah yang memberikan
rendemen paling besar, yaitu 18,29%. Sementara rendemen yang paling kecil
dihasilkan dari metode maserasi, yaitu 5,68%. Rendemen yang kecil tersebut
diduga karena pengaruh waktu kontak antara pelarut dan sampel. Ekstraksi
dengan metode maserasi membutuhkan waktu kontak yang lama, sementara
dalam penelitian ini waktu kontaknya hanya 24 jam. Hal ini menyebabkan
etanol sebagai pelarut tidak dapat mengekstraksi seluruh komponenkomponen
senyawa metabolit sekunder yang diinginkan dari simplisia jahe
merah tersebut.
Sementara dalam metode digesti terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi berlangsungnya ekstraksi, seperti adanya pemanasan (suhu),
pengadukan dan waktu kontak selama 24 jam. Dengan adanya beberapa
faktor ini membuat interaksi yang terjadi antara pelarut dengan sampel
semakin maksimal dan laju reaksi pengekstrakan semakin meningkat.
Sehingga akan semakin banyak pula senyawa yang tertarik ke dalam etanol
96% sebagai pelarut.
Pada metode sokletasi, rendemen yang hanya 10,07% diduga
dikarenakan masih ada ekstrak yang tertinggal pada serbuk simplisia jahe
merah dan tidak ikut tersaring ke dalam pelarut. Selain itu, diduga dalam
proses penyaringan pada metode digesti yang hanya menggunakan kertas
saring Watmann No.1, mengakibatkan masih terdapat beberapa serbuk jahe
yang lolos dan ikut tertimbang di dalam ekstrak jahe merah tersebut.
Sementara pada metode sokletasi serbuk jahe tidak dicampurkan dengan
pelarut, hal ini mengurangi kemungkinan serbuk yang ikut tertimbang
sehingga rendemennya lebih kecil dibandingkan dengan ekstrak hasil metode
digesti.
Gambar 11. Hubungan metode ekstraksi dengan rendemen ekstrak jahe merah
4.3. Uji Fitokimia
Untuk melihat masih ada tidaknya kandungan senyawa metabolit
sekunder pada ekstrak kental jahe merah ini dilakuakn uji fitokimia. Uji
fitokimia yang dilakukan adalah uji alkaloid, uji terpenoid, uji steroid, uji
flavonoid, uji saponin dan uji fenolik. Hasil dari pengujian ini adalah
sebagai berikut :
Table 2. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Jahe Merah
(Zingiber officinale var rubrum) masing-masing metode
Uji
Hasil dan pengamatan
maserasi digesti Sokletasi
Alkaloid - + +
Flavoniod - + +
Saponin - - -
Terpenoid + + +
Steroid - - -
Fenolik - + +
Dari table di atas, dapat dilihat bahwa ketiga ekstrak, baik itu dari
metode maserasi, digesti dan sokletasi membentuk endapan coklat ketika
direaksikan dengan pereaksi wagner. Sehingga ketiganya dinyatakan
positif mengandung alkaloid.
Saat ekstrak maserasi direaksikan dengan reagen, tidak terjadi
perubahan warna. Hal ini berarti ekstrak maserasi tidak mengandung
senyawa flavonoid. Sementara untuk ekstrak digesti dan sokletasi, terjadi
perubahan warna. Dimana ekstrak digesti menjadi warna merah dan
ekstrak sokletasi berwarna jingga. Sehingga keduanya dinyatakan positif
mengandung senyawa flavonoid.
Saat direaksikan dengan reagen Lieberman-Buchard, ketiga ekstrak
menunjukkan warna merah kehitaman. Hal ini berarti ketiga ekstrak
dinyatakan positif mengandung senyawa terpenoid dan negatif
mengandung senyawa steroid.
Pada uji fenolik ini, ekstrak maserasi membentuk warna kuning pucat
yang merupakan warna asli reagennya. Sementara ekstrak digesti dan
sokletasi berturut-turut membentuk warna hijau pekat dan hijau muda.
Sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak maserasi negatif mengandung
senyawa fenolik, sementara ekstrak digesti dan sokletasi positif
mengandung senyawa fenolik.
Pada uji saponin ini, saat larutan ekstrak dikocok sekuat-kuatnya dan
didiamkan selama 5 – 15 menit, terbentuk busa yang tingginya hanya 0,3
cm. Maka dari itu, disimpulkan bahwa ketiga ekstrak negatif mengandung
senyawa saponin.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa ekstrak hasil maserasi hanya
menunjukkan uji positif pada pengujian senyawa terpenoid dan alkaloid.
Hal ini menunjukkan bahwa banyak senyawa metabolit sekunder golongan
lain yang belum tertarik ke pelarut selama proses maserasi dikarenakan
waktu kontak yang singkat.
Ekstrak digesti dan sokletasi memiliki kandungan senyawa metabolit
sekunder yang sama, yaitu alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan fenolik.
Namun ekstrak digesti menghasilkan perubahan warna yang lebih jelas
dan lebih pekat.
Senyawa utama yang diinginkan dalam proses ekstraksi ini adalah
gingerol yang merupakan senyawa turunan fenol. Senyawa ini tidak
mengalami kerusakan ketika dipanasakan pada suhu dibawah 70℃,
melainkan akan terkonversi menjadi senyawa shogaol yang akan
meningkatkan rasa pedas pada ekstrak jahe merah. Jadi adanya penambahan
suhu pada proses digesti yang suhu pemanasannya hanya 40℃ tidak
merusak senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam sampel.
Sementara ekstrak yang dihasilkan pada metode sokletasi menunjukkan
perubahan warna yang tidak terlalu pekat, hal ini diduga karena dalam proses
ekstraksi dengan metode ini telah terjadi kerusakan pada senyawa-senyawa
metabolit sekunder yang ada pada sampel. Mengingat pelarut yag digunakan
adalah etanol 96% harus dididihkan dan diguapkan hingga suhu sebesar
40
78,4℃, sehingga beberapa senyawa metabolit sekunder yang tidak tahan
dipanaskan pada suhu tersebut akan mengalami kerusakan.
Berdasarkan hasil rendemen ekstrak jahe merah yang dihasilkan
maupun hasil uji fitokimia, dapat dilihat bahwa metode digesti merupakan
metode yang paling baik digunakan untuk mengekstrak oleoresin jahe jika
dibandingkan dengan metode sokletasi dan maserasi. Dapat dilihat dari hasil
rendemennya yang paling besar yaitu 18,29% dan dari hasil uji fitokimia
dapat dilihat bahwa ekstrak digesti mengandung senyawa alkaloid, flavonoid,
terpenoid dan fenolik dengan perubahan warna yang paling jelas dan pekat.
Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman jahe
terutama golongan flavonoida, fenolik, terpenoida, dan minyak atsiri (Benjelalai,
1984). Senyawa fenol jahe merupakan bagian dari komponen oleoresin, yang
berpengaruh dalam sifat pedas jahe (Kesumaningati, 2009), sedangkan senyawa
terpenoida adalah merupakan komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai
bau, dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan minyak atsiri.
Monoterpenoid merupakan biosintesa senyawa terpenoida, disebut juga senyawa
“essence” dan memiliki bau spesifik. Senyawa monoterpenoid banyak
dimanfaatkan sebagai antiseptik, ekspektoran, spasmolitik, sedative, dan bahan
pemberi aroma makanan dan parfum. Menurut Nursal, 2006 senyawa-senyawa
metabolit sekunder golongan fenolik, flavanoiada, terpenoida dan minyak atsiri
yang terdapat pada ekstrak jahe diduga merupakan golongan senyawa bioaktif
yang dapat menghambat pertumbuhan bakeri.
Antioksidan Pada Jahe. Menurut Kusumaningati RW (2009) kemampuan
jahe sebagai antioksidan alami tidak terlepas dari kadar komponen fenolik total
yang terkandung di dalamnya, dimana jahe memiliki kadar fenol total yang tinggi
dibandingkan kadar fenol yang terdapat dalam tomat dan mengkudu. Gingerol dan
shogaol telah diidentifikasi sebagai komponen antioksidan fenolik jahe.
Rimpang jahe juga bersifat nefroprotektif terhadap mencit yang diinduksi oleh
gentamisin, dimana gentamisin meningkatkan Reactive Oxygen Species (ROS)
dan jahe yang mengandung flavanoida dapat menormalkan kadar serum kreatinin,
urea dan asam urat (Laksmi B.V.s ., Sudhakar M, 2010).
Farmakokinetik Jahe. Menurut Zick SM, et al ., 2008. Pada manusia
konjugat jahe mulai muncul 30 menit setelah pemberian melalui oral, dan
mencapai Tmax antara 45 -120 menit, dengan t½ eliminasi 75 – 120 menit pada
dosis dua gram. Pada uji ini tidak ada efek samping dilaporkan setelah
menggunakan 2 g ekstrak jahe.
CABE JAWA
Cabe jawa merupakan tanaman obat dan bumbu (Emmyzar, 1992), namun
tidak banyak masakan yang berbumbu cabe jawa. Pada masakan dan minuman
yang ingin ditambahkan rasa pedas dan hangat yang khas dapat ditambahkan buah
cabe jawa kering. Cabe jawa digunakan sebagai bumbu pada beberapa masakah
seperti gulai, kare, soto, sate padang, sambal, oseng tempe serta minuman seperti
wedang secang, bir pletok, bandrek, bajigur, wedang jahe, dan kopi jamu. Soleh
(2003) melaporkan racikan kopi jamu di Madura adalah 3 kg bubuk kopi, 0,25 kg
bubuk temu lawak, 0,25 kg bubuk kunyit, dan 1 kg bubuk cabe jamu (cabe jawa).
Formulasi bubuk kopi dan cabe jawa perlu dikembangkan terutama di sentra
produksi kopi untuk meningkatkan pendapatan petani. Atal and Ojha (1964)
melaporkan rasa cabe jawa pedasnya seperti lada dan sedikit rasa jahe. Menurut
Djauhariya dan Rosman (2008), di Madura serbuk dari buah biasa dibubuhkan ke
dalam minuman seperti teh, kopi, susu dan minuman lainnya. Penduduk Ulias di
Ambon menggunakan buah cabe jamu sebagai rempah pengganti cabe rawit.
Sebagai obat tradisional, buah cabe jawa digunakan sebagai stimulan, karminatif,
tonik, dan perawatan ibu melahirkan (Vinay et al., 2012), juga untuk mengobati
asma, kejang perut, lemah syahwat, penyakit infeksi bakteri (Jamal et al., 2013),
demam, masuk angin, influensa, kolera, obat cacing gelang, tekanan darah rendah,
sakit kepala, bronchitis, sesak nafas, dan radang mulut (Evizal, 2013), anti perut
kembung karena angin (antiflatulent), penghilang dahak (expectorant), antitusif,
antijamur, pembangkit selera makan, dan menurunkan kolesterol (Kim et al.,
2011), meningkatkan pencernaan makanan, sirkulasi darah, asma, influenza
(Chaveerach et al., 2006).
Buah cabe jawa mengandung alkaloid piperin, kavisin, piperidin,
isobutildeka-trans-2-trans-4-dienamida; saponin, polifenol, minyak atsiri, asam
palmitat, asam tetrahidropiperat, 1 undesilenil-3,4-metilendioksibenzena, dan
sesamin (Badan POM RI, 2010). Kandungan piperin sekitar 2% dan minyak atsiri
sekitar 1% (Ruhnayat et al., 2011; Rajopadhye et al., 2011). Minyak atsiri buah
cabe jawa mengandung 3 komponen utama yaitu β-caryophyllene (17%), pen-
tadecane (17,8%) dan β- bisabollene (11,2%). Daun cabe jawa mengandung
minyak atsiri yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Komponen minyak at-
siri daun cabe jawa disajikan pada Tabel 1 (Jamal et al., 2013). Djumidi dan
Hutapea (1992) melaporkan cara ekstraksi buah cabe jawa kering dengan berbagai
pelarut seperti etanol, kloroform, methanol, eter, dan air panas. Ekstraksi
menggunakan etanol 50% menghasilkan rendemen enstrak kental yang paling
tinggi yaitu 6,73% dan menghasilkan 7 bercak dengan kromatografi lapis tipis.
Kandungan piperin cabe jawa lebih rendah daripada Piper nigrum dan P.
longum namun lebih tinggi daripada P. cubeba dan P. betle (Vinay et al., 2012;
Rajopadhye et al., 2011) seperti terlihat pada Tabel 2. Buahnya yang dikeringkan
merupakan simplisia yang digunakan dalam pembuatan berbagai jenis jamu,
sehingga disebut juga sebagai cabe jamu. Efek farmakologis adalah bersifat
analgetik (penghilang rasa sakit), afrodisiak (penambah syahwat), diaforetik
(peluruh/penghilang keringat), karminatif (pembuang angin), sedatif (obat
menenangkan, meredakan), hematinik, dan antelmintik (obat cacing)(Evizal,
2013). Buah cabe jawa memberi efek penghilang rasa nyeri atau sakit (analgesik)
telah dilaporkan oleh Irwan (2009) yang meneliti pemberian ekstrak etanol buah
cabe jawa pada mencit. Piperidin dari buah cabe jawa dilaporkan mempunyai efek
anti-obesitas (Kim et al., 2011).
Penelitian senyawa bioaktif tumbuhan obat dan pemanfaatannya untuk
obat paten akan semakin meningkat termasuk pada tanaman cabe jawa (Kardono,
1992). Efek farmakologi buah cabe jawa antara lain aktivitas antioksidan
(Chanwitheesuk et al., 2005) dan potensial untuk mengobati malaria (Sudhanshu
et al., 2012), antimikroba (Khan and Siddiqui, 2007), antibakteri (Phatthalung et
al. 2012), aktivitas depresan syaraf pusat (Wo et al., 1979), antikanker
(Bidarisugma, 2011), antidiabetes (Coman et al., 2012) serta merangsang
perkembangan dan aktivitas organ-organ reproduksi laki-laki (efek androgenik).
Cabe jawa merupakan salah satu tanaman obat unggulan untuk dilakukan
uji klinik (Dewoto, 2007) antara lain terkait dengan efek farmakologisnya sebagai
afrodisiak (Rahardjo, 2010). Kajian efek androgenik buah cabe jawa sudah
banyak dilakukan baik pada hewan percobaan maupun pada manusia. Ekstrak
etanol 70% buah cabe jawa yang diteliti efek androgeniknya pada anak ayam
jantan, pada dosis 3,75 mg/100 g mempunyai respon tidak beda nyata dengan
bahan standar metiltestosteron (Andriol) dosis 500 mg/100g (Wahjoedi et al.,
2004). Ekstrak etanol 97% buah cabe jawa meningkatkan jumlah sel germinal
tikus putih jantan (Mutiara et al., 2013), dan memiliki efek afrodisiaka pada libido
tikus jantan (Rahmawati and Bachri, 2012). Uji klinik pengaruh ekstrak cabe jawa
terhadap efek androgenik pada manusia telah dilakukan. Moeloek et al. (2010)
melaporkan bahwa ekstrak buah cabe jawa pada dosis 100 mg/hari dapat
bersifat/bertindak sebagai fitofarmaka androgenik, yakni dapat meningkatkan
kadar hormon testosteron darah dan libido pada pria hipogonad serta bersifat
aman. Badan POM RI (2010) memasukkan buah cabe jawa sebagai sumber
sediaan afrodisiaka dari obat asli Indonesia.
Cabe jawa mengandung senyawa kimia seperti
piperin, kavisin, piperidin,
isobutildeka-trans-2-trans- 4-dienamida, saponin, polifenol,
minyak atsiri, asam
Tabel 1. Komponen minyak atsiri daun cabe jawa
helompok handungan relatif EBFjonoterpene PI4Ujonoterpene alcohol MIRMpesquiterpene SPI44pesquiterpene alcohol PISNlther components
helompok handungan relatif EBFjonoterpene PI4Ujonoterpene alcohol MIRMpesquiterpene SPI44pesquiterpene alcohol PISNlther components
helompok handungan relatif EBFjonoterpene PI4Ujonoterpene alcohol MIRMpesquiterpene SPI44pesquiterpene alcohol PISNlther components OUION
palmitat, asam tetrahidropiperat, 1-undesilenil-3,4-metilendioksibenzena dan
sesamin (Anonim, 2010).
Di masyarakat penggunaan buah cabe jawa digunakan yaitu sebagai
analgetik, antipiretik, mencegah mulas, lemah syahwat (aprodisiaka), stimulan,
karminatif, diaforetik, tekanan darah rendah, sakit gigi, migrain, influenza,sakit
kuning, demam, anti bakteri, menghangatkan juga menyegarkan tubuh, pemakaian
luar untuk encok dan sesudah melahirkan serta memperlancar perederan darah
(Anonim, 2003; Dalimartha, 1999; Muslisah, 2001; Supriadi, 2001).
Efek farmakologi dari tanaman cabe jawa diketahui dapat meningkatkan
stamina tubuh karena memiliki efek stimulan terhadap sel-sel saraf. Efek
hormonal ini dikenal dengan sebagai aprodisiaka. Cabe jawa digunakan sebagai
aprodisiakakarena memiliki efek androgenik dan anabolik (Anonim, 2003). Dari
hasilpenelitian Azis dan Rahayu (1996) menyatakan bahwa pada ramuan
tradisional jamu kuat pria terdapat 6 formula yang mengandung simplisia cabe
jawa. Piperin yang terkandung dalam buah cabe jawa memiliki khasiat
meningkatkan vasokonstriksi dan penyerapan oksigen pada kaki belakang tikus,
reaksi ini digunakan untuk menunjukkan reaksi termogenik dari piperin (Azis dan
Rahayu, 1996). Dari hasil uji klinik ekstrak cabe jawa pada dosis oral 100 mg/hari
bersifat sebagai androgenik yang dapat meningkatkan kadar testoteron dalam
darah pada pria hipogonad (Moeloek dkk., 2009). Selain itu, ekstrak etanolik buah
cabe jawa dapat memberikan efek aprodisiaka yang lebih efektif daripada ekstrak
heksannya pada tikus putih jantan (Ikawati, 2007).
Toksistasnya ga bisa di copy ada di pdf msih.....................