bahan alam

25
PENDAHULUAN Kanker merupakan suatu kelompok penyakit yang mempunyai lebih dari 100 jenis, yang ditandai oleh tidak terkontrolnya pertumbuhan seluler, invasi jaringan lokal, dan metastasis ke tempat yang jauh dari tempat sel tumor. Penyakit ini menempati peringkat kedua setelah kardiovaskular dalam menimbulkan kematian di Inggris dan Amerika Serikat (Di Piro et al., 1997). Di Indonesia kematian akibat kanker mencapai 4,3 % dan menduduki peringkat ke–6 penyebab kematian dan mempunyai kecenderungan yang semakin meningkat (Anonim, 1988). Usaha-usaha pencegahan atau pengobatan kanker menjadi semakin penting mengingat tingkat kejadiannya yang cukup tinggi. Beberapa usaha pengobatan kanker telah dilakukan secara intensif meliputi pengobatan fisik, dengan pembedahan maupun dengan pengobatan dengan senyawa kimia (kemoterapi). Sampai saat ini obat kanker yang benar-benar efektif belum ditemukan. Hal ini karena rendahnya selektifitas obat-obat kanker yang digunakan maupun karena belum diketahuinya dengan jelas proses karsinogenesis itu sendiri. Kurkumin (Gambar 1.) merupakan bagian terbesar pigmen kuning yang terdapat dalam rimpang kunyit (Curcuma longa L.) yang memiliki berbagai aktivitas biologis seperti antioksidan, antiinflamasi, dan antineoplastik. Oleh penduduk Asia, utamanya India dan Indonesia zat warna

Upload: doni-dermawan

Post on 23-Dec-2015

20 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

herbal

TRANSCRIPT

Page 1: bahan alam

PENDAHULUAN

Kanker merupakan suatu kelompok penyakit yang mempunyai lebih dari

100 jenis, yang ditandai oleh tidak terkontrolnya pertumbuhan seluler, invasi

jaringan lokal, dan metastasis ke tempat yang jauh dari tempat sel tumor. Penyakit

ini menempati peringkat kedua setelah kardiovaskular dalam menimbulkan

kematian di Inggris dan Amerika Serikat (Di Piro et al., 1997).

Di Indonesia kematian akibat kanker mencapai 4,3 % dan menduduki

peringkat ke–6 penyebab kematian dan mempunyai kecenderungan yang semakin

meningkat (Anonim, 1988). Usaha-usaha pencegahan atau pengobatan kanker

menjadi semakin penting mengingat tingkat kejadiannya yang cukup tinggi.

Beberapa usaha pengobatan kanker telah dilakukan secara intensif meliputi

pengobatan fisik, dengan pembedahan maupun dengan pengobatan dengan

senyawa kimia (kemoterapi). Sampai saat ini obat kanker yang benar-benar efektif

belum ditemukan. Hal ini karena rendahnya selektifitas obat-obat kanker yang

digunakan maupun karena belum diketahuinya dengan jelas proses karsinogenesis

itu sendiri.

Kurkumin (Gambar 1.) merupakan bagian terbesar pigmen kuning yang terdapat

dalam rimpang kunyit (Curcuma longa L.) yang memiliki berbagai aktivitas

biologis seperti antioksidan, antiinflamasi, dan antineoplastik. Oleh penduduk

Asia, utamanya India dan Indonesia zat warna kuning dari kurkuma tersebut

sering digunakan sebagai bahan tambahan makanan, bumbu atau

obat-obatan dan tidak menimbulkan efek toksik

yang merugikan (Meiyanto, 1999).

Gambar 1. Struktur kurkumin (1,7 bis (4-hidroksi-3-

metoksifenil) 1,6-heptadiene-3,5 dion)

Page 2: bahan alam

Selama dua dekade belakangan ini penelitian tentang kurkumin sebagai

bahan aktif untuk beberapa penyakit telah banyak dilakukan. Di antara penelitian

penelitian tersebut antara lain melaporkan tentang efek kurkumin sebagai

antioksidan (Rao, 1997; Majeed et al., 1995), antiinflamasi (Van der Goot, 1997;

Sardjiman, 1997), antikolesterol (Bourne et al., 1999), antiinfeksi (Sajithlal et al.,

1998), antikanker (Huang et al., 1997; Singletary et al., 1998; Huang et al., 1998),

dan anti HIV (Mazumder et al., 1997; Barthelemy et al., 1998).

Mekanisme aksi kurkumin sebagai antikanker merupakan suatu

permasalahan yang sangat kompleks. Aktivitas antioksidan dan penangkap radikal

kurkumin terdokumentasi dengan baik dan mengindikasikan hubungannya

sebagai penghambat proses karsinogenesis kanker. Aktivitasnya sebagai

antiinflamasi yaitu sebagai inhibitor enzim siklooksigenase memiliki kaitan

dengan aktivitanya sebagai antikanker terutama kanker kolon. Penelitian lain

menunjukkan bahwa kurkumin juga aktif dalam menghambat proses

karsinogenesis pada tahap inisiasi dan promosi atau progesi. Akhir-akhir ini

dilaporkan bahwa kurkumin juga memiliki efek memacu proses apoptosis yaitu

suatu proses alami kematian sel dalam rangka mempertahankan integritas sel

secara keseluruhan (Meiyanto, 1999). Kurkumin juga mampu menghambat

pertumbuhan sel kanker payudara manusia tanpa tergantung ekspresi reseptor

estrogen (Verma et al., 1998).

KURKUMIN SEBAGAI ANTIKANKER

1. Kurkumin sebagai senyawa penangkal radikal

(radical scavenger) dan antioksidan Kurkumin telah dikenal memiliki aktivitas

antioksidan (Sharma, 1976) dan sebagai penangkal radikal (Tonnesen and

Greenhill, 1992). Di samping itu kurkumin juga bertindak sebagai katalisator

pembentukan radikal hidroksil (Kunchandy and Rao, 1989). Kemampuan tersebut

menjadikan kurkumin mampu bertindak sebagai radical scavenger terhadap

metabolit antara reaktif senyawa karsinogen, sehingga mengurangi insiden

terjadinya kanker. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian

kurkumin pada punggung mencit mampu menghambat pembentukan tumor kulit

Page 3: bahan alam

yang terinduksi benzo[a]piren atau DMBA (7,12- dimetilbenz[a]antrasen) (Huang

et al., 1992).

2. Kurkumin sebagai senyawa antiproliferasi

Kurkumin mampu menghambat proses perkembangbiakan sel, sehingga

disebut senyawa antiproliferasi. Pada mamalia, perkembangbiakan sel diatur oleh

serangkaian protein yang diproduksi oleh gen-gen pengatur tumor yang disebut

onkogen (yang pada keadaan normal disebut protoonkogen) dan tumor suppressor

gene (TS) (suatu tipe gen penghambat perkembangbiakan sel) (Mandelson et al.,

1995 cit Meiyanto, 1999). Kedua jenis gen tersebut dibedakan berdasarkan

fungsinya. Onkogen berfungsi sebagai pemacu perkembangbiakan sel, sedangkan

tumor suppressor gen (TS) berfungsi sebagai penghambat perkembangbiakan.

Kedua jenis gen tersebut bekerja secara harmonis dalam mengatur

perkembangbiakan sel dalam rangka menjaga integritas tubuh secara keseluruhan.

Kerusakan atau terjadinya mutasi pada gen-gen tersebut beresiko terjadinya

kanker atau proliferasi sel yang berlebihan. Kurkumin mampu menghambat

perkembangbiakan sel melalui berbagai mekanisme. Kurkumin dilaporkan

mampu menghambat aktivitas protein kinase C (PKC) karena perlakuan dengan

porbol ester (Liu and Lin, 1993 cit Meiyanto, 1999). Protein ini mempunyai peran

yang sangat vital pada proses awal pembelahan sel yaitu berperan dalamaktivasi

Raf melalui proses fosforilasi (Sozeri et al., 1992 cit Meiyanto, 1999).

Penghambatan terhadap PKC berarti menghambat satu proses perkembangbiakan

sel sehingga senyawa yang menghambat aktivitas PKC tersebut berpotensi

sebagai antikanker atau lebih tepatnya sebagai zat kemopreventif.

Kurkumin juga mampu menghambat perkembangbiakan sel kanker

payudara melalui jalur lain. Kurkumin mampu menghambat pertumbuhan sel

kanker payudara manusia tidak tergantung terhadap reseptor estrogen.

Penghambatan tersebut lebih efektif pada pertumbuhan sel ER (estrogen receptor)

negatif daripada sel ER positif (Verma et al., 1998). Aktivasi pada reseptor

estrogen ini akan mengakibatkan aktivasi faktor transkripsi untuk memacu

pertumbuhan sel melalui induksi RNA polimerase (Jordan, 1998). Aktivasi pada

keadaan normal dilakukan oleh estrogen atau senyawa yang menyerupai estrogen

Page 4: bahan alam

seperti pestisida. Pada jalur ini penghambatan perkembangbiakan sel kanker

payudara oleh kurkumin akan lebih efektif bila dilakukan bersama-sama dengan

senyawa isoflavonoid seperti genistein (Verma et al., 1998). Kurkumin juga

mampu menghambat aktivitas tirosin kinase dari protein p185neu (Hong et al.,

1999) yaitu suatu protein yang dihasilkan oleh onkogen erb B-2/neu (atau dikenal

sebagai HER-2). Onkogen ini diekspresi secara berlebihan pada sekitar 30 %

kasus kanker payudara (Salmon et al., 1997). Mekanisme penghambatan ini

melalui dua cara, pertama dengan menghambat aktivitas enzimatik dari protein

tersebut dan kedua dengan cara menurunkan kadarnya. Aktivitas ganda yang

ditunjukkan oleh kurkumin tersebut terbukti sangat efektif untuk mencegah

proliferasi sel-sel kanker dan sekaligus mencegah penyebarannya. Kurkumin pada

kadar rendah (10-100 μg) mampu menghambat ekspresi c-myc (suatu tipe gen

pemacu proliferasi sel) (Chen et al., 1998).

Preparasi Sampel Jahe Merah (Zingiber officinale var rubrum)

Sampel yang akan kita gunakan adalah sampel kering jahe merah.

Selama proses pengeringan terdapat perubahan warna, tekstur dan berat.

Rimpang jahe merah segar berwarna kuning pada bagian tengahnya dan

berwarna merah di tepiannya. Setelah proses penjemuran, terjadi perubahan

warna menjadi coklat, serta perubahan tekstur menjadi keras dan kaku

sehingga dapat dipatahkan dengan tangan. Perubahan warna tersebut

disebabkan oleh terjadinya foto-oksidasi pada rimpang jahe merah,

sedangkan perubahan tekstur dan berat disebabkan rimpang jahe merah yang

kehilangan beberapa persen kandungan airnya. Dari 14 kg jahe merah segar

yang digunakan, diperoleh ±1 kg serbuk jahe (simplisia).

Gambar 7. Simplisia jahe merah yang telah dihaluskan

Ekstraksi Oleoresin Jahe Merah (Zingiber officinale var rubrum)

Dalam proses ekstraksi ada beberapa faktor yang mempengaruhi

Page 5: bahan alam

hasilnya, yaitu: pelarut (kepolaran, toksisitas, konsentrasi) dan interaksi

sampel dengan pelarut (luas permukaan bidang sentuh, suhu, waktu,

pengadukan, pengulangan), pemisahan pelarut dengan ekstrak yang

dihasilkan.

Dalam penelitian ini akan dilihat pengaruh dari medote ekstraksi

terhadap oleoresin yang dihasilkan, yang nantinya akan digunakan sebagai

antibakteri E.coli. Ada 3 metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian

ini, yaitu metode maserasi dengan pengadukan, sokletasi, dan digesti. Untuk

metode digesti dilakukan pemanasan pada suhu 40℃ selama 2 jam,

sementara pada sokletasi, dilakukan pemanasan hingga mencapai titik didih

etanol, setelah itu dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Sedangkan

untuk metode maserasi dengan pengadukan, tidak dilakukan pemanasan,

tetapi langsung didiamkan selama 24 jam saja.

Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi dipilih berdasarkan

tingkat kepolarannya. Senyawa-senyawa yang ingin diekstrak pada penelitian

ini adalah senyawa turunan fenol yang bersifat polar sehingga dibutuhkan

pelarut yang bersifat polar pula. Salah satu jenis pelarut polar yang baik

adalah etanol. Pada penelitian ini digunakan pelarut etanol 96% yang

memiliki konstanta dielektrikum 24,30 dan titik didih 78,4℃. Semakin tinggi

konstanta dielektrikum suatu pelarut akan semakin baik pula kemampuannya

dalam menarik senyawa-senyawa aktif dari sampel.

1.Metode Maserasi dengan pengadukan

Gambar 8. Ekstraksi oleoresin jahe merah

dengan meetode maserasi dengan pengadukan

Kelebihan dari metode maserasi adalah biayanya yang murah dan

mudah untuk dilakukan. Maserasi termasuk metode ekstraksi dingin,

yaitu metode esktraksi tanpa pemanasan. Sehingga metode ini hanya

tergantung oleh lamanya waktu kontak antara pelarut dengan sampel, dan

kepolaran pelarutnya. Semakin lama waktu kontak antara pelarut dengan

Page 6: bahan alam

sampel, maka akan semakin banyak pula senyawa metabolit sekunder

yang terekstrak. Setelah penyaringan didapatkan filtrat sebanyak 1 L.

Ekstrak kental yang didapat sebanyak 17,04 g. Berdasarkan hasil

perhitungan diketahui bahwa rendemen hasil maserasi sebanyak 5,68%.

2.Metode Digesti

Metode digesti ini cukup efektif untuk mengekstraksi oleoresin jahe,

karena dengan adanya pengadukan akan memaksimalkan proses ekstraksi

sehingga rendemen yang dihasilkan juga semakin banyak. Setelah

dilakukan proses ekstraksi dan penyaringan didapatkan filtrat sebanyak

900 mL, sehingga dihasilkan ekstrak kental digesti sebanyak 54,89 g

dengan rendemen sebesar 18,29%.

Gambar 9. Ekstraksi oleoresin jahe merah menggunakan metode digesti

3. Metode Sokletasi

Metode sokletasi termasuk metode ekstraksi dengan cara panas.

Ekstraksi dengan cara ini pada dasarnya merupakan jenis ekstraksi secara

berkesinambungan (Dirjen POM, 2010). Ekstrak yang didpapatkan akan

dihilangkan kandungan pelarutnya menggunakan vacum rotary

evaporator sehingga dihasilkan ekstrak kental sebanyak 20,14 g.

Berdasarkan perhitungan didapatkan rendemen sebesar 10,07%.

Gambar 10. Ekstraksi oleoresin jahe merah dengan metode sokletasi

Dari ketiga metode tersebut, metode digestilah yang memberikan

rendemen paling besar, yaitu 18,29%. Sementara rendemen yang paling kecil

dihasilkan dari metode maserasi, yaitu 5,68%. Rendemen yang kecil tersebut

diduga karena pengaruh waktu kontak antara pelarut dan sampel. Ekstraksi

dengan metode maserasi membutuhkan waktu kontak yang lama, sementara

dalam penelitian ini waktu kontaknya hanya 24 jam. Hal ini menyebabkan

Page 7: bahan alam

etanol sebagai pelarut tidak dapat mengekstraksi seluruh komponenkomponen

senyawa metabolit sekunder yang diinginkan dari simplisia jahe

merah tersebut.

Sementara dalam metode digesti terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi berlangsungnya ekstraksi, seperti adanya pemanasan (suhu),

pengadukan dan waktu kontak selama 24 jam. Dengan adanya beberapa

faktor ini membuat interaksi yang terjadi antara pelarut dengan sampel

semakin maksimal dan laju reaksi pengekstrakan semakin meningkat.

Sehingga akan semakin banyak pula senyawa yang tertarik ke dalam etanol

96% sebagai pelarut.

Pada metode sokletasi, rendemen yang hanya 10,07% diduga

dikarenakan masih ada ekstrak yang tertinggal pada serbuk simplisia jahe

merah dan tidak ikut tersaring ke dalam pelarut. Selain itu, diduga dalam

proses penyaringan pada metode digesti yang hanya menggunakan kertas

saring Watmann No.1, mengakibatkan masih terdapat beberapa serbuk jahe

yang lolos dan ikut tertimbang di dalam ekstrak jahe merah tersebut.

Sementara pada metode sokletasi serbuk jahe tidak dicampurkan dengan

pelarut, hal ini mengurangi kemungkinan serbuk yang ikut tertimbang

sehingga rendemennya lebih kecil dibandingkan dengan ekstrak hasil metode

digesti.

Gambar 11. Hubungan metode ekstraksi dengan rendemen ekstrak jahe merah

4.3. Uji Fitokimia

Untuk melihat masih ada tidaknya kandungan senyawa metabolit

sekunder pada ekstrak kental jahe merah ini dilakuakn uji fitokimia. Uji

fitokimia yang dilakukan adalah uji alkaloid, uji terpenoid, uji steroid, uji

flavonoid, uji saponin dan uji fenolik. Hasil dari pengujian ini adalah

sebagai berikut :

Table 2. Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Jahe Merah

Page 8: bahan alam

(Zingiber officinale var rubrum) masing-masing metode

Uji

Hasil dan pengamatan

maserasi digesti Sokletasi

Alkaloid - + +

Flavoniod - + +

Saponin - - -

Terpenoid + + +

Steroid - - -

Fenolik - + +

Dari table di atas, dapat dilihat bahwa ketiga ekstrak, baik itu dari

metode maserasi, digesti dan sokletasi membentuk endapan coklat ketika

direaksikan dengan pereaksi wagner. Sehingga ketiganya dinyatakan

positif mengandung alkaloid.

Saat ekstrak maserasi direaksikan dengan reagen, tidak terjadi

perubahan warna. Hal ini berarti ekstrak maserasi tidak mengandung

senyawa flavonoid. Sementara untuk ekstrak digesti dan sokletasi, terjadi

perubahan warna. Dimana ekstrak digesti menjadi warna merah dan

ekstrak sokletasi berwarna jingga. Sehingga keduanya dinyatakan positif

mengandung senyawa flavonoid.

Saat direaksikan dengan reagen Lieberman-Buchard, ketiga ekstrak

menunjukkan warna merah kehitaman. Hal ini berarti ketiga ekstrak

dinyatakan positif mengandung senyawa terpenoid dan negatif

mengandung senyawa steroid.

Pada uji fenolik ini, ekstrak maserasi membentuk warna kuning pucat

yang merupakan warna asli reagennya. Sementara ekstrak digesti dan

sokletasi berturut-turut membentuk warna hijau pekat dan hijau muda.

Sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak maserasi negatif mengandung

senyawa fenolik, sementara ekstrak digesti dan sokletasi positif

mengandung senyawa fenolik.

Pada uji saponin ini, saat larutan ekstrak dikocok sekuat-kuatnya dan

didiamkan selama 5 – 15 menit, terbentuk busa yang tingginya hanya 0,3

Page 9: bahan alam

cm. Maka dari itu, disimpulkan bahwa ketiga ekstrak negatif mengandung

senyawa saponin.

Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa ekstrak hasil maserasi hanya

menunjukkan uji positif pada pengujian senyawa terpenoid dan alkaloid.

Hal ini menunjukkan bahwa banyak senyawa metabolit sekunder golongan

lain yang belum tertarik ke pelarut selama proses maserasi dikarenakan

waktu kontak yang singkat.

Ekstrak digesti dan sokletasi memiliki kandungan senyawa metabolit

sekunder yang sama, yaitu alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan fenolik.

Namun ekstrak digesti menghasilkan perubahan warna yang lebih jelas

dan lebih pekat.

Senyawa utama yang diinginkan dalam proses ekstraksi ini adalah

gingerol yang merupakan senyawa turunan fenol. Senyawa ini tidak

mengalami kerusakan ketika dipanasakan pada suhu dibawah 70℃,

melainkan akan terkonversi menjadi senyawa shogaol yang akan

meningkatkan rasa pedas pada ekstrak jahe merah. Jadi adanya penambahan

suhu pada proses digesti yang suhu pemanasannya hanya 40℃ tidak

merusak senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam sampel.

Sementara ekstrak yang dihasilkan pada metode sokletasi menunjukkan

perubahan warna yang tidak terlalu pekat, hal ini diduga karena dalam proses

ekstraksi dengan metode ini telah terjadi kerusakan pada senyawa-senyawa

metabolit sekunder yang ada pada sampel. Mengingat pelarut yag digunakan

adalah etanol 96% harus dididihkan dan diguapkan hingga suhu sebesar

40

78,4℃, sehingga beberapa senyawa metabolit sekunder yang tidak tahan

dipanaskan pada suhu tersebut akan mengalami kerusakan.

Berdasarkan hasil rendemen ekstrak jahe merah yang dihasilkan

maupun hasil uji fitokimia, dapat dilihat bahwa metode digesti merupakan

metode yang paling baik digunakan untuk mengekstrak oleoresin jahe jika

dibandingkan dengan metode sokletasi dan maserasi. Dapat dilihat dari hasil

rendemennya yang paling besar yaitu 18,29% dan dari hasil uji fitokimia

dapat dilihat bahwa ekstrak digesti mengandung senyawa alkaloid, flavonoid,

Page 10: bahan alam

terpenoid dan fenolik dengan perubahan warna yang paling jelas dan pekat.

Kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman jahe

terutama golongan flavonoida, fenolik, terpenoida, dan minyak atsiri (Benjelalai,

1984). Senyawa fenol jahe merupakan bagian dari komponen oleoresin, yang

berpengaruh dalam sifat pedas jahe (Kesumaningati, 2009), sedangkan senyawa

terpenoida adalah merupakan komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai

bau, dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan minyak atsiri.

Monoterpenoid merupakan biosintesa senyawa terpenoida, disebut juga senyawa

“essence” dan memiliki bau spesifik. Senyawa monoterpenoid banyak

dimanfaatkan sebagai antiseptik, ekspektoran, spasmolitik, sedative, dan bahan

pemberi aroma makanan dan parfum. Menurut Nursal, 2006 senyawa-senyawa

metabolit sekunder golongan fenolik, flavanoiada, terpenoida dan minyak atsiri

yang terdapat pada ekstrak jahe diduga merupakan golongan senyawa bioaktif

yang dapat menghambat pertumbuhan bakeri.

Antioksidan Pada Jahe. Menurut Kusumaningati RW (2009) kemampuan

jahe sebagai antioksidan alami tidak terlepas dari kadar komponen fenolik total

yang terkandung di dalamnya, dimana jahe memiliki kadar fenol total yang tinggi

dibandingkan kadar fenol yang terdapat dalam tomat dan mengkudu. Gingerol dan

shogaol telah diidentifikasi sebagai komponen antioksidan fenolik jahe.

Rimpang jahe juga bersifat nefroprotektif terhadap mencit yang diinduksi oleh

gentamisin, dimana gentamisin meningkatkan Reactive Oxygen Species (ROS)

dan jahe yang mengandung flavanoida dapat menormalkan kadar serum kreatinin,

urea dan asam urat (Laksmi B.V.s ., Sudhakar M, 2010).

Farmakokinetik Jahe. Menurut Zick SM, et al ., 2008. Pada manusia

konjugat jahe mulai muncul 30 menit setelah pemberian melalui oral, dan

mencapai Tmax antara 45 -120 menit, dengan t½ eliminasi 75 – 120 menit pada

dosis dua gram. Pada uji ini tidak ada efek samping dilaporkan setelah

menggunakan 2 g ekstrak jahe.

Page 11: bahan alam

CABE JAWA

Cabe jawa merupakan tanaman obat dan bumbu (Emmyzar, 1992), namun

tidak banyak masakan yang berbumbu cabe jawa. Pada masakan dan minuman

yang ingin ditambahkan rasa pedas dan hangat yang khas dapat ditambahkan buah

cabe jawa kering. Cabe jawa digunakan sebagai bumbu pada beberapa masakah

seperti gulai, kare, soto, sate padang, sambal, oseng tempe serta minuman seperti

wedang secang, bir pletok, bandrek, bajigur, wedang jahe, dan kopi jamu. Soleh

(2003) melaporkan racikan kopi jamu di Madura adalah 3 kg bubuk kopi, 0,25 kg

bubuk temu lawak, 0,25 kg bubuk kunyit, dan 1 kg bubuk cabe jamu (cabe jawa).

Formulasi bubuk kopi dan cabe jawa perlu dikembangkan terutama di sentra

produksi kopi untuk meningkatkan pendapatan petani. Atal and Ojha (1964)

melaporkan rasa cabe jawa pedasnya seperti lada dan sedikit rasa jahe. Menurut

Djauhariya dan Rosman (2008), di Madura serbuk dari buah biasa dibubuhkan ke

dalam minuman seperti teh, kopi, susu dan minuman lainnya. Penduduk Ulias di

Ambon menggunakan buah cabe jamu sebagai rempah pengganti cabe rawit.

Sebagai obat tradisional, buah cabe jawa digunakan sebagai stimulan, karminatif,

tonik, dan perawatan ibu melahirkan (Vinay et al., 2012), juga untuk mengobati

asma, kejang perut, lemah syahwat, penyakit infeksi bakteri (Jamal et al., 2013),

demam, masuk angin, influensa, kolera, obat cacing gelang, tekanan darah rendah,

sakit kepala, bronchitis, sesak nafas, dan radang mulut (Evizal, 2013), anti perut

kembung karena angin (antiflatulent), penghilang dahak (expectorant), antitusif,

antijamur, pembangkit selera makan, dan menurunkan kolesterol (Kim et al.,

2011), meningkatkan pencernaan makanan, sirkulasi darah, asma, influenza

(Chaveerach et al., 2006).

Buah cabe jawa mengandung alkaloid piperin, kavisin, piperidin,

isobutildeka-trans-2-trans-4-dienamida; saponin, polifenol, minyak atsiri, asam

palmitat, asam tetrahidropiperat, 1 undesilenil-3,4-metilendioksibenzena, dan

sesamin (Badan POM RI, 2010). Kandungan piperin sekitar 2% dan minyak atsiri

sekitar 1% (Ruhnayat et al., 2011; Rajopadhye et al., 2011). Minyak atsiri buah

cabe jawa mengandung 3 komponen utama yaitu β-caryophyllene (17%), pen-

tadecane (17,8%) dan β- bisabollene (11,2%). Daun cabe jawa mengandung

minyak atsiri yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Komponen minyak at-

Page 12: bahan alam

siri daun cabe jawa disajikan pada Tabel 1 (Jamal et al., 2013). Djumidi dan

Hutapea (1992) melaporkan cara ekstraksi buah cabe jawa kering dengan berbagai

pelarut seperti etanol, kloroform, methanol, eter, dan air panas. Ekstraksi

menggunakan etanol 50% menghasilkan rendemen enstrak kental yang paling

tinggi yaitu 6,73% dan menghasilkan 7 bercak dengan kromatografi lapis tipis.

Kandungan piperin cabe jawa lebih rendah daripada Piper nigrum dan P.

longum namun lebih tinggi daripada P. cubeba dan P. betle (Vinay et al., 2012;

Rajopadhye et al., 2011) seperti terlihat pada Tabel 2. Buahnya yang dikeringkan

merupakan simplisia yang digunakan dalam pembuatan berbagai jenis jamu,

sehingga disebut juga sebagai cabe jamu. Efek farmakologis adalah bersifat

analgetik (penghilang rasa sakit), afrodisiak (penambah syahwat), diaforetik

(peluruh/penghilang keringat), karminatif (pembuang angin), sedatif (obat

menenangkan, meredakan), hematinik, dan antelmintik (obat cacing)(Evizal,

2013). Buah cabe jawa memberi efek penghilang rasa nyeri atau sakit (analgesik)

telah dilaporkan oleh Irwan (2009) yang meneliti pemberian ekstrak etanol buah

cabe jawa pada mencit. Piperidin dari buah cabe jawa dilaporkan mempunyai efek

anti-obesitas (Kim et al., 2011).

Penelitian senyawa bioaktif tumbuhan obat dan pemanfaatannya untuk

obat paten akan semakin meningkat termasuk pada tanaman cabe jawa (Kardono,

1992). Efek farmakologi buah cabe jawa antara lain aktivitas antioksidan

(Chanwitheesuk et al., 2005) dan potensial untuk mengobati malaria (Sudhanshu

et al., 2012), antimikroba (Khan and Siddiqui, 2007), antibakteri (Phatthalung et

al. 2012), aktivitas depresan syaraf pusat (Wo et al., 1979), antikanker

(Bidarisugma, 2011), antidiabetes (Coman et al., 2012) serta merangsang

perkembangan dan aktivitas organ-organ reproduksi laki-laki (efek androgenik).

Cabe jawa merupakan salah satu tanaman obat unggulan untuk dilakukan

uji klinik (Dewoto, 2007) antara lain terkait dengan efek farmakologisnya sebagai

afrodisiak (Rahardjo, 2010). Kajian efek androgenik buah cabe jawa sudah

banyak dilakukan baik pada hewan percobaan maupun pada manusia. Ekstrak

etanol 70% buah cabe jawa yang diteliti efek androgeniknya pada anak ayam

jantan, pada dosis 3,75 mg/100 g mempunyai respon tidak beda nyata dengan

bahan standar metiltestosteron (Andriol) dosis 500 mg/100g (Wahjoedi et al.,

Page 13: bahan alam

2004). Ekstrak etanol 97% buah cabe jawa meningkatkan jumlah sel germinal

tikus putih jantan (Mutiara et al., 2013), dan memiliki efek afrodisiaka pada libido

tikus jantan (Rahmawati and Bachri, 2012). Uji klinik pengaruh ekstrak cabe jawa

terhadap efek androgenik pada manusia telah dilakukan. Moeloek et al. (2010)

melaporkan bahwa ekstrak buah cabe jawa pada dosis 100 mg/hari dapat

bersifat/bertindak sebagai fitofarmaka androgenik, yakni dapat meningkatkan

kadar hormon testosteron darah dan libido pada pria hipogonad serta bersifat

aman. Badan POM RI (2010) memasukkan buah cabe jawa sebagai sumber

sediaan afrodisiaka dari obat asli Indonesia.

Cabe jawa mengandung senyawa kimia seperti

piperin, kavisin, piperidin,

isobutildeka-trans-2-trans- 4-dienamida, saponin, polifenol,

minyak atsiri, asam

Tabel 1. Komponen minyak atsiri daun cabe jawa

helompok handungan relatif EBFjonoterpene PI4Ujonoterpene alcohol MIRMpesquiterpene SPI44pesquiterpene alcohol PISNlther components

helompok handungan relatif EBFjonoterpene PI4Ujonoterpene alcohol MIRMpesquiterpene SPI44pesquiterpene alcohol PISNlther components

helompok handungan relatif EBFjonoterpene PI4Ujonoterpene alcohol MIRMpesquiterpene SPI44pesquiterpene alcohol PISNlther components OUION

Page 14: bahan alam

palmitat, asam tetrahidropiperat, 1-undesilenil-3,4-metilendioksibenzena dan

sesamin (Anonim, 2010).

Di masyarakat penggunaan buah cabe jawa digunakan yaitu sebagai

analgetik, antipiretik, mencegah mulas, lemah syahwat (aprodisiaka), stimulan,

karminatif, diaforetik, tekanan darah rendah, sakit gigi, migrain, influenza,sakit

kuning, demam, anti bakteri, menghangatkan juga menyegarkan tubuh, pemakaian

luar untuk encok dan sesudah melahirkan serta memperlancar perederan darah

(Anonim, 2003; Dalimartha, 1999; Muslisah, 2001; Supriadi, 2001).

Efek farmakologi dari tanaman cabe jawa diketahui dapat meningkatkan

stamina tubuh karena memiliki efek stimulan terhadap sel-sel saraf. Efek

hormonal ini dikenal dengan sebagai aprodisiaka. Cabe jawa digunakan sebagai

aprodisiakakarena memiliki efek androgenik dan anabolik (Anonim, 2003). Dari

hasilpenelitian Azis dan Rahayu (1996) menyatakan bahwa pada ramuan

tradisional jamu kuat pria terdapat 6 formula yang mengandung simplisia cabe

jawa. Piperin yang terkandung dalam buah cabe jawa memiliki khasiat

meningkatkan vasokonstriksi dan penyerapan oksigen pada kaki belakang tikus,

reaksi ini digunakan untuk menunjukkan reaksi termogenik dari piperin (Azis dan

Rahayu, 1996). Dari hasil uji klinik ekstrak cabe jawa pada dosis oral 100 mg/hari

bersifat sebagai androgenik yang dapat meningkatkan kadar testoteron dalam

darah pada pria hipogonad (Moeloek dkk., 2009). Selain itu, ekstrak etanolik buah

cabe jawa dapat memberikan efek aprodisiaka yang lebih efektif daripada ekstrak

heksannya pada tikus putih jantan (Ikawati, 2007).

Toksistasnya ga bisa di copy ada di pdf msih.....................